• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEJADIAN KECACINGAN DAN HIGIENE PERORANGAN PADA SISWA SDN KOTA TEBING TINGGI TAHUN 2019 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEJADIAN KECACINGAN DAN HIGIENE PERORANGAN PADA SISWA SDN KOTA TEBING TINGGI TAHUN 2019 SKRIPSI"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

KEJADIAN KECACINGAN DAN HIGIENE PERORANGAN PADA SISWA SDN 163086 KOTA TEBING TINGGI

TAHUN 2019

SKRIPSI

Oleh

PUTRI SRIHARDIYANTI LAIA NIM. 151000005

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(2)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

PUTRI SRIHARDIYANTI LAIA NIM. 151000005

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(3)
(4)

Telah diuji dan dipertahankan Pada tanggal: 13 Agustus 2019

TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : dr. Surya Dharma, M.P.H.

Anggota : 1. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M.

2. Ir. Indra Chahaya S., M.Si.

(5)

Pernyataan Keaslian Skripsi

Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul “Kejadian Kecacingan dan Higiene Perorangan pada Siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019” beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Agustus 2019

Putri Srihardiyanti Laia

(6)

Abstrak

Prevalensi cacingan di Indonesia umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu, dengan sanitasi yang buruk berkisar antara 2,5% - 62%, berdasarkan hasil pemeriksaan feses yang dilakukan oleh Puskesmas Pasar Gambir pada awal tahun 2017 terhadap 25 siswa dari SDN 163086 Kota Tebing Tinggi, ditemukan ada 5 anak yang positif mengalami kecacingan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara higiene perorangan dengan infeksi kecacingan pada siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan rancangan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan November 2018-Juli 2019. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas I-VI SDN 163086 sebanyak 155 orang, sampel berjumlah 61 orang, diambil secara proportional stratified random sampling. Data diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, wawancara dan observasi dengan menggunakan kuesioner, dianalisis menggunakan uji Fisher pada α=0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka infeksi kecacingan di SDN 163086 sebesar 21,3%. Hasil observasi sanitasi lingkungan SDN 163086 diketahui bahwasanya sarana air bersih dan halaman sekolah memenuhi persyaratan, sedangkan toilet (kamar mandi, wc, dan urinoir), sarana pembuangan limbah dan sarana pembuangan sampah tidak memenuhi persyaratan. Hasil uji Fisher diperoleh ada hubungan signifikan antara kebiasaan mencuci tangan (p=0,028), kebersihan kuku (p=0,007), penggunaan alas kaki (p=0,005), dan kebiasaan kontak dengan tanah (p=0,026) dengan infeksi kecacingan. Tidak ada hubungan signifikan antara kebiasaan mandi dengan infeksi kecacingan (p=0,213). Disarankan agar terus meningkatkan kualitas higiene perorangan untuk mencegah infeksi cacingan pada murid sekolah dasar tersebut.

Kata kunci: Higiene perorangan, infeksi kecacingan

(7)

Abstract

The prevalence of intestinal worms in Indonesia is generally still very high, especially among the poor population, with poor sanitation ranging from 2.5% - 62%, based on the results of a fecal examinations conducted by Puskesmas Pasar Gambir in early 2017 of 25 students from SDN 163086 Tebing Tinggi, it was found that there were 5 children who tested positive for worms infestation. The purpose of this study was to determine the relationship between personal hygiene and worms infestation in students of SDN 163086. This study was observational analytic with cross sectional design which was held in November 2018-July 2019. The population in this study were all students of class I-VI SDN 163086 as many as 155 people, a sample of 61 people was taken by proportional stratified random sampling. Data obtained through laboratory tests, interviews and observations using questionnaires, were analyzed using the Fisher test at α = 0.05. The results showed that the rate of worms infestation in SDN 163086 was 21.3%. Observation of environmental sanitation at SDN 163086 is known that clean water facilities and school yards meet the requirements, while toilets (bathrooms, toilet and urinal), waste disposal facilities do not meet the requirements. Fisher's test results obtained there was a significant relationship between hand washing habits (p = 0.028), nail hygiene (p = 0.007), use of footwear (p = 0.005), and habit of contact with soil (p

= 0.026) with worms infestation. There was no significant relationship between bathing habits and worms infestation (p = 0.213). It is recommended that need to improve about the quality of personal hygiene to prevent worm infections in students of SDN 163086.

Keywords: Personal hygiene, worm infections

(8)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkah yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Kejadian Kecacingan dan Higiene Perorangan pada Siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019”. Skripsi ini adalah salah satu syarat yang ditetapkan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M. selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan sekaligus Dosen Penguji I saya yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. dr. Surya Dharma, M.P.H. selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

(9)

5. Ir. Indra Chahaya S., M.Si. selaku Dosen Penguji II yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

7. Para Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat USU atas ilmu yang telah diajarkan selama ini kepada penulis.

8. Pegawai dan Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terkhusus Dian Afriyanti.

9. Kepala SDN 163086 Kota Tebing Tinggi yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian serta seluruh guru yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepala Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian.

11. Teristimewa untuk orang tua (Fatiziduhu Laia, S.K.M. dan Henni Erawati) serta Mama Nur Lela Dalimunthe yang telah memberikan kasih sayang yang begitu besar dan kesabaran dalam mendidik dan memberi dukungan kepada penulis.

12. Terkhusus untuk saudari (Nur Fadhillah Ramadhani Laia, S.H. dan Nurul Annisa Wardani Laia) yang telah memberikan semangat kepada penulis.

13. Teman-teman terdekat (Dian, Wilda, Yulia, Puden, Widya, Mutia, Henny, Erikson, Faisal) yang telah menyemangati dan mendukung penulis.

(10)

14. Teman-teman sedari dulu (Pika, Naya, Arbi, Baba, Lisa, Lela, Yuni, Paijah) yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis.

15. Keluarga PBL FKM USU 2019 Desa Bangun Sari Batubara yang selalu menyemangati dan mendoakan penulis.

16. Teman-teman keluarga UKMI Al-ishlah FKM USU yang selalu menyemangati penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Agustus 2019

Putri Srihardiyanti Laia

(11)

Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i

Halaman Penetapan Tim Penguji ii

Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii

Abstrak iv

Abstract v

Kata Pengantar vi

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xii

Daftar Gambar xiii

Daftar Lampiran xiv

Riwayat Hidup xv

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Tujuan umum 3

Tujuan khusus 3

Manfaat Penelitian 4

Tinjauan Pustaka 5

Kecacingan 5

Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) 5

Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator 9

americanus) 9

Cacing cambuk (Trichuris trichiura) 12

Jenis Cacing Lain yang dapat Menginfeksi Manusia 14

Cacing trematoda 14

Cacing cestoda 15

Dampak Kecacingan terhadap Manusia 17

Higiene Perorangan 18

Defenisi 18

Jenis-jenis higiene perorangan 18

Tujuan perawatan higiene perorangan 20

Sanitasi Lingkungan Sekolah 21

Landasan Teori 22

Kerangka Konsep 23

Hipotesis Penelitian 24

Metode Penelitian 25

(12)

Jenis Penelitian 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Populasi dan Sampel 25

Variabel dan Definisi Operasional 28

Metode Pengumpulan Data 30

Metode Pengukuran 31

Metode Analisis Data 34

Hasil Penelitian 36

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 36

Karakteristik Seluruh Siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi 36

Hasil Analisis Univariat 37

Gambaran Kondisi Fasilitas Sanitasi SDN 163086 Kota Tebing 38

Tinggi 38

Gambaran Kondisi Higiene Perorangan 40

Kebiasaan mencuci tangan 40

Kebiasaan mandi 41

Kebersihan kuku 42

Kebiasaan menggunakan alas kaki 43

Kebiasaan kontak dengan tanah 44

Infeksi Kecacingan 45

Infeksi Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing 45

Hasil Analisis Bivariat 46

Pembahasan 50

Karakteristik Responden 50

Jenis Cacing 50

Sanitasi Lingkungan SDN 163086 Kota Tebing Tinggi 51

Sarana air bersih 51

Sarana kamar mandi (toilet/WC) 53

Sarana pembuangan air limbah 53

Sarana pembuangan sampah 54

Halaman sekolah 55

Hubungan Komponen Higiene Perorangan dengan Kejadian 56

Kecacingan 56

Keterbatasan Penelitian 59

Kesimpulan dan Saran 60

Kesimpulan 60

Saran 61

Daftar Pustaka 62

Lampiran 65

(13)

Daftar Tabel

No Judul Halaman

1 Distribusi Proporsi Seluruh Siswa SDN 163986 Kota Tebing

Tinggi Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas Tahun 2019 37 2 Distribusi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin di SDN 163086

Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 38

3 Distribusi Siswa Berdasarkan Umur di SDN 163086 Kota Tebing

Tinggi Tahun 2019 38

4 Observasi Kondisi Fasilitas Sanitasi SDN 163086 Kota Tebing

Tinggi Tahun 2019 39

5 Hasil Observasi Kondisi Fasilitas Sanitasi SDN 163086 Kota

Tebing Tahun 2019 40

6 Distribusi Siswa Berdasarkan Kebiasaan Mencuci Tangan di

SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 40

7 Distribusi Siswa Berdasarkan Kategori Kebiasaan Mencuci

Tangan di SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 41 8 Distribusi Siswa Berdasarkan Kebiasaan Mandi di SDN 163086

Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 41

9 Distribusi Siswa Berdasarkan Kategori Kebiasaan Mandi di SDN

163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 42

10 Distribusi Siswa Berdasarkan Kebersihan Kuku di SDN 163086

Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 42

11 Distribusi Siswa Berdasarkan Kategori Kebersihan Kuku di SDN

163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 43

12 Distribusi Siswa Berdasarkan Kebiasaan Menggunakan Alas

Kaki di SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 43 13 Distribusi Siswa Berdasarkan Kategori Kebiasaan Menggunakan

Alas Kaki di SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 44 14 Distribusi Siswa Berdasarkan Kebiasaan Kontak dengan Tanah di

SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 44

(14)

15 Distribusi Siswa Berdasarkan Kategori Kebiasaan Kontak

dengan Tanah di SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 45 16 Distribusi Infeksi Kecacingan pada Siswa SDN 163086 Kota

Tebing Tinggi Tahun 2019 45

17 Infeksi Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing pada Siswa SDN

163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 46

18 Infeksi Kecacingan Berdasarkan Karakteristik Umur dan Jenis

Kelamin pada Siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 47 19 Hubungan Higiene Perorangan Siswa dengan Kejadian Ke-

cacingan pada Siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 47

(15)

Daftar Gambar

No Judul Halaman

1 Telur cacing Ascaris lumbricoides 7

2 Telur cacing Ancylostoma duodenale 10

3 Telur cacing Necator americanus 10

4 Telur cacing Trichuris trichiura 12

5 Telur cacing Fasciolopsis buski 14

6 Telur cacing Taenia saginata 16

7 Kerangka konsep penelitian 23

(16)

Daftar Lampiran

Lampiran Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian 65

2 Lembar Observasi 69

3 Dokumentasi Penelitian 72

4 Surat Permohonan Izin Penelitian 76

5 Surat Selesai Penelitian 77

6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium 79

7 Output Statistik 81

(17)

Riwayat Hidup

Penulis bernama Putri Srihardiyanti Laia berumur 21 tahun. Penulis lahir di Tebing Tinggi pada tanggal 20 Maret 1998. Penulis beragama Islam, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Fatiziduhu Laia dan Ibu Henni Erawati.

Pendidikan formal dimulai di TK Harapan Kota Tebing Tinggi Tahun 2002.

Pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2003- 2009, sekolah menengah pertama di MTs Alwashliyah Kota Tebing Tinggi Tahun 2009-2012, sekolah menengah atas di MAS Alwashliyah Kota Tebing Tinggi Tahun 2012-2015, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, Agustus 2019

Putri Srihardiyanti Laia

(18)

Pendahuluan

Latar Belakang

Data dari World Health Organization (WHO, 2018) menyatakan bahwa lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi cacing yang ditularkan melalui tanah di seluruh dunia. Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis dengan jumlah terbesar terjadi di Afrika sub-Sahara, Amerika, Cina, dan Asia Timur. Spesies cacing utama yang menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).

Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing usus yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya. Sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian karena kehilangan karbohidrat, protein dan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dengan sanitasi yang buruk. Prevalensi cacingan ini bervariasi antara 2,5% - 62%

(Permenkes RI No.15, 2017).

Hasil survey kecacingan pada anak sekolah dasar di 7 kabupaten kawasan Danau Toba tahun 2017 di temukan sebanyak 11,3% siswa yang tinjanya mengandung telur cacing, dengan demikian siswa tersebut terinfeksi kecacingan (BTKLPP Medan, 2018).

(19)

2

Berdasarkan Permenkes RI No.15 tahun 2017, infeksi cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang sangat erat dengan kebiasaan BAB sembarangan, tidak mencuci tangan sebelum makan serta anak-anak yang bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki. Kebiasaan BAB sembarangan menyebabkan tanah terkontaminasi telur cacing. Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab dan kemudian berkembang menjadi telur infektif. Telur cacing infektif yang ada di tanah dapat tertelan masuk ke dalam pencernaan manusia bila tidak mencuci tangan sebelum makan dan infeksi cacingan juga dapat terjadi melalui larva cacing yang menembus kulit.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartini (2016) bahwasanya siswa yang tidak mencuci tangan berisiko 7 kali untuk terinfeksi cacing dibandingkan siswa yang mencuci tangannya, serta siswa dengan kondisi kuku kotor berisiko 4 kali terinfeksi cacing dibandingkan dengan siswa yang memiliki kuku bersih.

Anak usia sekolah adalah calon generasi penerus bangsa yang sangat diharapkan tumbuh dan berkembang menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan potensial untuk masa depan, akan tetapi anak sekolah merupakan kelompok usia yang paling sering menderita penyakit kecacingan. Penyakit kecacingan ini termasuk penyakit yang kurang diperhatikan, meskipun tidak berakibat fatal tapi sangat mempengaruhi status kesehatan masyarakat, terutama bagi anak usia sekolah yang merupakan sumber daya manusia di masa depan.

Pencegahan kecacingan dapat dilakukan oleh siswa dengan memakai sepatu ketika masuk kelas, siswa juga disarankan untuk tidak bermain tanah, serta perlu

(20)

dilakukan pemeriksaan higiene perorangan teratur semingggu sekali terutama tentang kebersihan kuku.

Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan daerah dari 33 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan luas 38,44 km² dan berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan. SDN 163086 adalah salah satu SD yang berada di Kelurahan Bandar Utama Kecamatan Tebing Tinggi Kota, Kota Tebing Tinggi.

Berdasarkan pengamatan awal yang telah dilakukan oleh peneliti terlihat bahwa masih ada siswa yang tidak mencuci tangan sebelum kontak dengan makanan, masih ada siswa dengan kuku kotor dan panjang, serta masih ada siswa yang tidak memakai alas kaki saat bermain. Berdasarkan hasil pemeriksaan feses yang dilakukan oleh puskesmas setempat pada awal Tahun 2017 terhadap 25 siswa SDN 163086, ditemukan ada 5 anak yang positif mengalami kecacingan.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai ”Kejadian Kecacingan dan Higiene Perorangan pada Siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019”.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari survei awal yang telah peneliti lakukan di SDN 163086 Kota Tebing Tinggi dengan demikian kemungkinan masih terdapat kejadian kecacingan terkait dengan higiene perorangan pada siswa di SDN 163086.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum. Menganalisa hubungan komponen higiene perorangan siswa dengan kejadian kecacingan.

Tujuan khusus. Tujuan khusus penelitian ini adalah:

(21)

4

1. Mengetahui karakteristik siswa berdasarkan umur dan jenis kelamin.

2. Mengetahui gambaran kondisi fasilitas sanitasi lingkungan SDN 163086 Kota Tebing Tinggi.

3. Mengetahui gambaran komponen higiene perorangan siswa berdasarkan kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan mandi, kebersihan kuku, kebiasaan menggunakan alas kaki, dan kebiasaan kontak dengan tanah.

4. Mengetahui kejadian kecacingan dan jenis cacing berdasarkan pemeriksaan feses siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi.

5. Menganalisis hubungan komponen higiene perorangan siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi dengan kejadian kecacingan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khusus nya bagi peneliti karena sebagai wadah dalam menerapkan ilmu yang didapatkan selama perkuliahan sehingga menambah pengetahuan terutama tentang hubungan higiene perorangan dengan kejadian kecacingan pada siswa.

2. Manfaat praktis

Bagi pihak SDN 163086 Kota Tebing Tinggi dan orang tua, sebagai bahan evaluasi untuk terus memantau dan membimbing siswa menerapkan higiene perorangan dalam kehidupan sehari-hari serta bekerjasama untuk menjaga kebersihan lingkungan sekolah, dan juga sebagai bahan informasi untuk penelitian yang selanjutnya.

(22)

Tinjauan Pustaka

Kecacingan

Cacingan yang akan dibahas pada bagian ini adalah infeksi dari cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminths/STH). STH yang banyak ditemukan di Indonesia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale/

Necator americanus) (Permenkes RI No.15, 2017).

Cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Cacing gelang ini dapat ditemukan di seluruh dunia terutama di daerah tropis serta erat hubungannya dengan higiene dan sanitasi. Lebih sering ditemukan pada anak-anak, di Indonesia frekuensinya tinggi berkisar antara 20-90%. (Safar, 2009).

Ascaris lumbricoides biasanya sebagai parasit dalam usus manusia, dapat menyebabkan penyakit yang dikenal dengan nama askariasis (Irianto, 2009).

Klasifikasi. Pengklasifikasian jenis cacing ini adalah:

Kelas : Nematoda Subkelas : Phasmida Superfamilia : Ascaroidea Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides

Morfologi. Morfologi dari jenis cacing ini adalah:

1. Dalam keadaan segar berwarna putih atau kuning kemerahan.

2. Badannya panjang berbentuk silinder, bagian kepala dan ekornya lancip,

(23)

6

3. Mulutnya berbibir tiga, satu dorsal dan dua lateroventral.

4. Bibir dorsal mempunyai dua buah papilla peraba, ketiga bibir itu pada sebelah dalam mempunyai sejumlah gigi kitin yang kecil.

5. Ukuran:

Cacing jantan dewasa: panjang 15-30 cm dan lebar 0,5 cm Cacing betina dewasa: panjang 22-35 cm dan lebar 0,5 cm

6. Cacing yang jantan mempunyai dua spikula, ujung posterior jantan melengkung.

7. Letak vulva betina pada S anterior tubuh uterus berdampingan pada T bagian belakang tubuh.

8. Pada prinsipnya morfologi Ascaris lumbricoides merupakan dasar dari morfologi nematoda pada umumnya (Irianto, 2009).

Daur hidup. Seekor cacing dewasa betina mampu menghasilkan 200.000

butir telur setiap harinya. Cacing dewasa dapat bertahan hidup dalam usus manusia selama setahun lebih. Telur yang belum infektif akan keluar bersama feses, setelah 20-24 hari telur ini kemudian menjadi infektif dan bila telur ini tertelan, di dalam usus halus dari telur ini keluar larva dan menembus dinding usus halus mengikuti peredaran darah melalui saluran vena hati, vena kava inferior menuju jantung kanan terus ke paru-paru. Di paru-paru, larva ini menembus alveoli dan melalui bronkiolus dan bronkus maka sampailah larva ke dalam trakea. Selanjutnya melalui faring, esofagus, dan ventrikulus sampailah larva ke dalam usus tempat mereka menetap dan menjadi dewasa serta mengadakan kopulasi (Irianto, 2009).

(24)

Dalam kebanyakan kasus, infeksi tidak benar-benar menyebabkan gejala yang terlihat secara jelas. Namun bila terjadi, gejala tersebut akan muncul dalam dua tahap yang berbeda:

1. Gejala fase awal: Telur yang baru menetas akan bergerak dari usus halus (di mana mereka biasanya tinggal) ke paru-paru yang bisa menyebabkan sejumlah gejala gangguan kesehatan termasuk demam, batuk kering, sesak napas dan mengi. Gejala pada fase awal bisa jelas terlihat dalam jangka waktu 4-16 hari setelah telur tertelan.

2. Gejala fase akhir: Ketika cacing yang hidup di usus halus telah dewasa bisa menyebabkan penyumbatan pada sistem pencernaan yang bisa menyebabkan rasa sakit perut ringan, mual, diare, dan pada akhirnya akan mengeluarkan cacing melalui kotoran. Hal ini cenderung tidak terlihat hingga sekitar enam minggu setelah infeksi awal terjadi.

Gambar 1. Telur cacing Ascaris lumbricoides

(25)

8

Cara infeksi. Cara terinfeksi cacing ini adalah dengan menelan telur

infektif. Di usus halus telur akan menetas, kemudian larva menembus dinding usus masuk ke dalam kapiler-kaliper darah, melalui hati, jantung kanan, paru-paru, bronkus, trakea, laring, dan tertelan masuk ke esofagus, rongga usus halus dan tumbuh menjadi dewasa (Safar, 2009).

Diagnosis. Dapat ditegakkan dengan ditemukannya telur dalam feses

penderita atau larva pada sputum, dan dapat juga dengan menemukan cacing dewasa keluar bersama feses atau melalui muntah pada infeksi berat (Safar, 2009).

Pencegahan. Upaya pencegahan yang perlu dilakukan seperti penyuluhan

tentang penggunakan jamban dan sanitasi yang baik, higiene keluarga dan pribadi seperti tidak memakai tinja segar sebagai pupuk, cuci tangan sebelum makan, sayuran mentah yang dimakan sebagai lalap supaya dicuci dan disiram dengan air panas sebelum dihidangkan serta mengobati penderita (Gani, 2002).

Pengobatan. Penderita kecacingan dapat diberikan pengobatan sebagai

berikut:

1. Piperazine, dengan piperazine hasil pengobatan (cure rate) 90%

berhasil.

2. Tetramisol, Levamisole.

3. Pyrantel pamoate: 10 mg/kgbb

4. Mebendazole: 2 x 100 mg/hari selama 3 hari berturut-turut.

5. Oxantel pamoate.

6. Kombinasi dari Pyrantel pamoate dan Mebendazole.

7. Albendazole, 400 mg (dosis tunggal) (Gani, 2002).

(26)

Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).

Cacing ini dapat ditemukan hampir di seluruh daerah khatulistiwa terutama di daerah pertambangan. Frekuensi cacing ini di Indonesia masih sangat tinggi kira- kira 60-70%, terutama di wilayah pertanian dan pinggir pantai (Safar, 2009).

Klasifikasi. Klasifikasi dari jenis cacing ini adalah sebagai berikut :

Filum : Nemathelmintes Kelas : Nematoda Subkelas : Phasmida Ordo : Rhabditida

Familia : Ancylostomatidae

Genus : Ancylostoma dan Necator

Spesies : Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (Irianto, 2009).

Morfologi. Adapun morfologi dari jenis cacing tambang dewasa menurut

Ideham dan Pusarawati (2007) adalah sebagai berikut:

Ancylostoma duodenale. Memiliki ukuran yang kecil, relatif gemuk, silindris, bagian depan lebih langsing dan bagian leher melengkung ke arah dorsal- anterior sehingga tampak seperti huruf C. Cacing hidup berwarna coklat muda atau merah muda keputihan, cacing jantan panjangnya 10-11 mm dengan diameter 0,4- 0,5 mm dan betina panjangnya 10-13 mm dan diameter 0,6 mm. Pada bagian mulut (buccal capsule) terdiri atas bahan chitine dan memiliki dua pasang gigi ventral.

Bagian posterior cacing jantan melebar terdapat bentukan bursa copulatric dan sepasang spikula yang panjang, sedangkan pada cacing betina tumpul.

(27)

10

Gambar 2. Telur cacing Ancylostoma duodenale

Necator americanus. Berbentuk gilig, ujung anterior menekuk ke arah punggung sehingga tampak seperti huruf S. Buccal capsule terdapat bentukan semilunar cutting plate digunakan untuk membedakan dengan Ancylostoma duodenale. Cacing dewasa memiliki ukuran 7-9 mm dan berdiameter 0,3 mm sedangkan cacing betina 9-11 mm berdiameter 0,4 mm. Bursa copulatric cacing jantan panjang dan lebar.

Gambar 3. Telur cacing Necator americanus

(28)

Daur hidup. Telur cacing tambang akan keluar bersama feses, kemudian

dalam waktu 2-3 hari akan menetas dan keluar larva rhabditiform, selama 2 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform (infektif) yang tahan terhadap perubahan iklim dan dapat hidup selama 7-8 minggu ditanah lembab. Larva filariform menembus kulit masuk ke pembuluh darah kapiler dan mengikuti peredaran darah masuk ke jantung kanan kemudian ke paru-paru lalu ke pharynx kemudian ke usus halus (duodenum) dan disana tumbuh menjadi dewasa (Gani, 2002).

Cara infeksi. Menurut Gani (2002) cara cacing tambang menginfeksi

manusia adalah sebagai berikut:

1. Larva filariform menembus kulit menimbulkan Ancylostomiosis.

2. Tertelan larva filariform A. duodenale menimbulkan penyakit Wakana (Wakana diseases).

3. Tertelan telur A. ceylanium mungkin bisa menjadi dewasa di usus.

Diagnosis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya telur di dalam

feses segar dan larva pada feses yang sudah lama. Telur kedua spesies tidak dapat dibedakan, adapun untuk membedakan spesies, telur dibiakkan menjadi larva dengan salah satu cara, yaitu Harada Mori (Safar, 2009).

Pencegahan. Menurut Ideham dan Pusarawati (2007) ada beberapa cara

yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi dari cacing tambang, yaitu dengan memperbaiki sanitasi lingkungan dan tidak buang air besar di tanah, tidak menggunakan tinja untuk pupuk, menggunakan alas kaki untuk mencegah kontak

(29)

12

dengan larva dan menggunakan sarung tangan bila berkebun serta pendidikan masyarakat tentang kesehatan.

Pengobatan. Obat pilihan adalah Albendasol, dapat juga diberi Mebendasol

atau Pirantel pamoat. Mebendasol tidak diberikan pada anak-anak dikarenakan efek samping obat. Untuk anemia dapat diberi terapi besi (Ideham & Pusarawati, 2007).

Cacing cambuk (Trichuris trichiura). Frekuensi cacing cambuk di Indonesia adalah 75-90%, distribusi parasit ini kosmopolitan (tersebar diseluruh dunia) tetapi lebih sering dijumpai di daerah tropis dikarenakan iklim dan cuaca sepanjang tahun serta kondisi sanitasi dan higiene sangat mendukung kelangsungan hidup parasit ini di alam bebas (Ideham & Pusarawati, 2007).

Gambar 4. Telur cacing Trichuris trichiura

Klasifikasi. Klasifikasi dari jenis cacing ini adalah sebagai berikut :

Kelas : Nematoda Subkelas : Aphasmida Ordo : Enoplida Superfaili : Trichuroidea Familia : Trichuridae

(30)

Genus : Trichuris

Spesies : Trichuris trichiura (Irianto, 2009).

Morfologi. Bentuknya silindris seperti cambuk dimana bagian yang

tipis/halus seperti benang merupakan bagian kepala dan bagian yang tebal/gemuk merupakan bagian ekor. Cacing betina panjangnya 5 cm dengan ekor lurus, cacing jantan panjangnya 4 cm dengan ekor melengkung. Telur berbentuk lonjong seperti tong dan mempunyai knob yang menonjol di kedua kutub telur (Gani, 2002).

Daur hidup. Hidupnya di usus besar dan kepalanya terbenam di dalam

mukosa usus. Dalam daur hidupnya tidak melewati paru-paru, telur akan keluar bersama feses penderita, setelah 2-3 minggu ditanah telur tersebut menjadi infektif/berisi larva. Cacing ini mampu hidup beberapa tahun dalam usus besar hospes. Cacing betina mampu bertelur 5000 butir/hari (Gani, 2002).

Cara infeksi. Bila telur ini tertelan oleh manusia, maka akan menetas

didalam usus halus dan larvanya keluar dan masuk ke usus besar kemudian disana tumbuh menjadi dewasa dan menetap (Gani, 2002).

Diagnosis. Menurut Ideham dan Pusarawati (2007) diagnosis secara pasti

dapat ditegakkan dengan ditemukannya telur pada pemeriksaan feses penderita.

Pencegahan. Menurut Gani (2002) pencegahan yang dapat dilakukan

adalah dengan melakukan penyuluhan tentang higiene masyarakat dan sanitasi yang tepat guna serta memelihara personal hygiene, tidak memakai tinja segar untuk pupuk dan melakukan pengobatan untuk penderita.

Pengobatan. Menurut Safar (2009) pengobatan yang dapat diberikan kepada penderita adalah Mebendazol dan Oxantel pamoat.

(31)

Jenis Cacing Lain yang Dapat Menginfeksi Manusia

Cacing trematoda. Cacing ini memiliki siklus hidup yang bersifat kompleks, juga memerlukan hewan perantara seperti siput air tawar untuk dapat berkembang pada tahap serkaria. Dengan adanya siput air tawar ini, berbagai jenis cacing trematoda lainnya dapat berkembang dan dapat meneruskan ke hospes lainnya. Salah satu penyakit kecacingan yang disebabkan oleh cacing trematoda ini adalah fasciolopsisasis yang disebabkan oleh cacing dari jenis Fasciolopsis buski yang berkembang di usus manusia sebagai hospes tempatnya hidup atau pada hewan perantaranya.

Gambar 5. Telur cacing Fasciolopsis buski

Ketika manusia terinfeksi cacing ini maka umumnya akan mengalami sakit dan kehilangan darah yang banyak karena anemia. Penyakit kecacingan fasciolopsisasis ini secara endemik di Indonesia hanya ditemukan di Kalimantan Selatan dengan prevalensi antara 1,2 – 7,8 % khususnya di Kabupaten Sungai Utara (Hendriek & Sehatman, 2015).

(32)

Siklus hidup. Tahap awal pada siklus cacing trematoda ini adalah dari telur

dewasa yang menetas dan akan mengeluarkan mirasidium di dalam air. Kemudian mirasidium akan masuk ke dalam hewan perantara pertamanya seperti siput, lalu berkembang di limpa menjadi sporokista, redia, dan serkaria. Lalu serkaria berkembang menjadi mesoserkaria sehingga akhirnya berenkistasi pada hewan perantara kedua berupa tanaman air menjadi metaserkaria, sehingga akan menjadi cacing dewasa pada hospes defenitifnya. Jenis lain dari cacing trematoda ini ada yang langsung menginfeksi hospes definitifnya sejak masih berupa serkaria sampai berkembang menjadi dewasa (Annida & Paisal, 2014).

Cara infeksi. Dengan memakan tanaman air seperti umbi-umbian, teratai

dan buah tanaman air yang mengandung metaserkaria dan tidak di masak terlebih dahulu maka hospes defenitif seperti manusia dan hewan dapat terinfeksi dari telur cacing ini, selanjutnya setelah masuk ke dalam saluran pencernaan hospes defenitifnya maka akan berkembangbiak selama 3 bulan sehingga mampu menghasilkan telur selanjutnya. Penyakit ini biasanya dialami oleh anak-anak karena umumnya anak-anak suka bermain di tanah, air dan rawa-rawa (Hendriek &

Sehatman, 2015).

Cacing cestoda. Cacing ini disebut juga dengan cacing pita, dapat menyebabkan berbagai macam penyakit seperti taeniasis yang berasal dari genus Taenia, lalu sistiserkosis yang biasanya disebabkan dari infeksi telur Taenia solium yang persebarannya hanya terdapat pada tiga daerah yaitu Bali, Papua, dan Sumatera Utara, dimana masyarakat di daerah tersebut masih menggunakan cara tradisional untuk mengolah daging. Kemudian penyakit saluran infeksi pencernaan

(33)

16

yang disebabkan oleh cacing dewasa Taenia saginata (Suriawanto, Guli, &

Miswan, 2014).

Gambar 6. Telur cacing Taenia saginata

Siklus hidup. Menurut Tantri, Setyawati dan Khotimah (2013) cacing

cestoda memerlukan hospes perantara misalnya siput untuk menjadi tempatnya memproduksi telur, kemudian hewan seperti sapi atau babi akan terinfeksi bila meminum air atau memakan makanan yang telah tercemar telur cestoda, setelah cacing masuk ke pencernaan hewan defenitifnya maka cacing tersebut akan terus berkembangbiak.

Taenia solium dan Taenia saginata merupakan cacing yang hidup dalam usus halus manusia, keadaan lingkungan yang tercemar dapat menyebabkan manusia atau babi terinfeksi telur Taenia solium, sedangkan Taenia saginata akan mengifeksi sapi (Widarso, Margono, Purba, & Subahar, 2001).

Cara infeksi. Menurut pendapat Saragih (1995), apabila manusia sebagai hospes defenitif dari Taenia solium ini memakan daging babi atau sapi tanpa

(34)

memasak dengan panas yang sesuai yaitu lebih dari 60°C maka siklus hidup cacing ini akan terus berlanjut.

Dampak Kecacingan terhadap Manusia

Berdasarkan Permenkes RI No.15 (2017) kecacingan dapat mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan dan metabolisme makanan. Secara kumulatif kecacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja dapat juga menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya. Pada anak sekolah dasar hal tersebut jelas mempengaruhi dalam proses belajar mengajar karena dapat mengganggu konsentrasi sehingga dapat berakibat pada menurunnya prestasi belajar siswa.

Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi (Satari, 2010).

Gangguan gizi dapat disebabkan oleh infeksi cacing, khususnya cacing usus yang ditularkan melalui tanah. Selain itu, larva cacing seperti Ascaris lumbricoides yang masuk ke paru-paru dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus.

Keadaan ini disebut dengan sindroma Loeffler. Cacing Ascaris lumbricoides dewasa juga dapat menimbulkan gangguan usus seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi, bahkan jika terjadi infeksi berat bisa menimbulkan malabsorpsi makanan. Kondisi yang lebih serius dapat terjadi ketika cacing menggumpal di dalam usus lalu menimbulkan penyumbatan (Wintoko, 2014).

(35)

Higiene Perorangan

Definisi. Personal higiene berasal dari bahasa Yunani, yaitu personal yang artinya perorangan dan higiene berarti sehat. Kebersihan perorangan merupakan suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik maupun psikis (Tarwoto & Wartonah, 2010). Pada dasarnya higiene perorangan lebih terkait pada perilaku individu dalam menjaga kebersihan diri.

Setiap individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan higiene mereka sendiri, tidak hanya berisiko pada kondisi psikologis yang buruk, tetapi juga mengalami penurunan kondisi fisik (Dingwall, 2010). Hal ini juga merupakan salah satu faktor terjadinya infeksi kecacingan pada siswa sekolah dasar, dimana siswa dengan kondisi higiene perorangan yang kurang baik akan lebih mudah mengalami kecacingan.

Jenis-jenis higiene perorangan. Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010) beberapa hal yang meliputi kebersihan perorangan adalah sebagai berikut:

Kebersihan rambut. Rambut yang terpelihara dengan baik akan membuat

terpelihara dengan subur dan kesan indah sehingga akan menimbulkan kesan cantik dan tidak berbau apek, dengan selalu menjaga kebersihan rambut dan kulit kepala maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini:

1. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci sekurang-kurangnya 2 kali seminggu.

2. Mencuci rambut dengan menggunakan sampo/bahan pencuci rambut lainnya.

3. Sebaiknya menggunakan peralatan rambut sendiri.

(36)

Kebersihan gigi. Menggosok gigi secara teratur dan baik akan menguatkan

dan membersihkan gigi sehingga terlihat cemerlang. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjaga kesehatan gigi adalah:

1. Menggosok gigi secara benar dan teratur dianjurkan setiap sehabis makan.

2. Memakai sikat gigi sendiri.

3. Menghindari makanan yang merusak gigi.

4. Membiasakan makan buah yang menyehatkan gigi.

5. Memeriksa gigi secara teratur.

Kebersihan mata. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga

kesehatan mata adalah sebagai berikut:

1. Membaca di tempat terang.

2. Makan makanan yang bergizi.

3. Istirahat yang cukup dan teratur.

4. Memakai peralatan sendiri dan bersih (seperti handuk dan sapu tangan).

5. Memelihara kebersihan lingkungan.

Kebersihan telinga. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjaga

kebersihan telinga adalah:

1. Membersihkan telinga teratur.

2. Jangan mengorek–ngorek telinga menggunakan benda tajam.

Kebersihan kulit. Kebersihan kulit adalah cerminan kesehatan yang pertama kali memberi kesan, oleh sebab itu kita perlu memelihara kulit sebaik- sebaiknya. Untuk memelihara kesehatan kulit tidak dapat terlepas dari kebersihan

(37)

20

memelihara kebersihan kulit ada beberapa kebiasaan sehat yang harus selalu diperhatikan seperti:

1. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri.

2. Mandi minimal 2 kali sehari.

3. Mandi memakai sabun.

4. Menjaga kebersihan pakaian.

5. Makan yang bergizi terutama sayur dan buah.

6. Menjaga kebersihan lingkungan.

Kebersihan tangan, kaki dan kuku. Seperti halnya kulit, kebersihan

tangan, kaki dan kuku juga harus dijaga, dan ini berhubungan dengan kebersihan lingkungan sekitar serta kebiasaan hidup sehari-hari. Selain indah dipandang mata, tangan, kaki, dan kuku yang bersih juga menghindarkan kita dari berbagai penyakit.

Kuku dan tangan yang kotor dapat menyebabkan bahaya kontaminasi dan menimbulkan berbagai macam penyakit.

Faktor higiene perorangan seperti mencuci tangan sebelum makan, setelah BAB dan setelah bermain di tanah juga mempengaruhi timbulnya infeksi cacingan misalnya melalui tangan yang kotor, serta kuku jari tangan yang kotor memungkinkan terselipnya telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini didukung lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan (BTKLPP Medan, 2018).

Tujuan perawatan higiene perorangan. Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010) tujuan perawatan higiene perorangan adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan derajat kesehatan seseorang.

(38)

2. Memelihara kebersihan diri seseorang.

3. Memperbaiki personal hygiene yang kurang.

4. Pencegahan penyakit.

5. Meningkatkan percaya diri seseorang.

6. Menciptakan keindahan.

Pada anak sekolah dasar merawat higiene perorangan merupakan hal yang harus benar-benar diperhatikan mengingat dengan menurunnya kondisi higiene perorangan maka dapat menyebabkan terjangkitnya berbagai penyakit, dalam hal ini adalah infeksi kecacingan.

Sanitasi Lingkungan Sekolah

Sekolah dasar merupakan tahapan paling awal dalam pendidikan formal di Indonesia yang ditempuh dalam kurun waktu 6 tahun, hampir satu harian waktu yang dihabiskan oleh anak usia sekolah dasar untuk belajar di sekolah kemudian dilanjutkan dengan berbagai kegiatan ekstrakulikuler yang diadakaan oleh sekolah.

Pada masa usia ini anak-anak banyak berinteraksi dengan teman-temannya selama berada di sekolah, dengan atau tanpa pengawasan orang tua bisa saja anak-anak tidak memperhatikan kebersihan dirinya sehingga mudah terserang infeksi kecacingan. Lingkungan sekolah secara tidak langsung dapat memberikan konstribusi terhadap penularan penyakit infeksi cacingan pada siswa. Adapun faktor lingkungan sekolah yang berhubungan dengan penularan infeksi kecacingan berdasarkan Kepmenkes RI No.1429 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaran Kesehatan Lingkungan Sekolah adalah ketersediaan air bersih, ketersediaan kamar mandi (toilet/WC), ketersediaan sarana pembuangan air limbah

(39)

22

(SPAL), ketersediaan sarana pembuangan sampah, dan kebersihan halaman sekolah.

Landasan Teori

Menurut Azwar (1996) higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya untuk mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan.

Keadaan higiene yang tidak baik seperti tangan dan kuku yang kotor memungkinkan telur cacing dapat terselip dibawah kuku kemudian tidak mencuci tangan sebelum makan dapat memudahkan telur cacing berpindah ke dalam saluran pencernaan, tidak menjaga kebersihan diri dengan mandi dua kali sehari dengan air bersih dan sabun serta tidak memakai alas kaki dapat memudahkan telur cacing tambang menembus kulit, hal ini dapat menimbulkan infeksi kecacingan.

Cacingan merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan maka perhatian terhadap sanitasi lingkungan perlu ditingkatkan. Lingkungan sekolah merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap infeksi kecacingan, mengingat hampir separuh waktu anak-anak berada di sekolah.

(40)

Kerangka Konsep

Gambar 7. Kerangka konsep penelitian Higiene Perorangan:

1. Kebiasaan mencuci tangan

2. Kebiasaan mandi 3. Kebersihan kuku 4. Kebiasaan

menggunakan alas kaki

5. Kebiasaan kontak dengan tanah

Kondisi Fasilitas Sanitasi SDN 163086:

1. Sarana air bersih 2. Sarana kamar mandi 3. Sarana Pembuangan

Air Limbah

4. Sarana Pembuangan Sampah

5. Halaman sekolah

Kejadian Kecacingan

(41)

Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan signifikan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian kecacingan pada siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.

2. Ada hubungan signifikan antara kebiasaan mandi dengan kejadian kecacingan pada siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.

3. Ada hubungan signifikan antara kebersihan kuku dengan kejadian kecacingan pada siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.

4. Ada hubungan signifikan antara kebiasaan menggunakan alas kaki dengan kejadian kecacingan pada siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.

5. Ada hubungan signifikan antara kebiasaan kontak dengan tanah dengan kejadian kecacingan pada siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.

(42)

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah bersifat observasional analitik yaitu untuk mengetahui hubungan komponen higiene perorangan siswa SDN 163086 dengan kejadian kecacingan di Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 dengan rancangan penelitian cross sectional.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian. Dilaksanakan di SDN 163086 Kecamatan Tebing Tinggi Kota, Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 dengan alasan belum pernah ada dilakukan penelitian tentang kejadian kecacingan dan higiene perorangan pada siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi.

Waktu penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2018-Juli 2019.

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas I-VI SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun Ajaran 2018/2019, yang berjumlah 155 orang. Adapun jumlah siswa kelas I adalah 16 siswa, kelas II berjumlah 28 siswa, kelas III berjumlah 19 siswa, kelas IV berjumlah 30 siswa, kelas V berjumlah 29 siswa dan kelas VI berjumlah 33 siswa.

Sampel penelitian. Perhitungan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:

𝑛 = N

1 + N𝒆𝟐

(43)

26

𝑛 = 155

1 + 155 x 0,01 = 60,8 ≈ 61 Keterangan :

N = Besar populasi = 155 siswa n = Besar sampel = 61 siswa

e = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan = 10%

Berdasarkan rumus di atas maka besar sampel minimal yang dibutuhkan di SDN 163086 adalah 61 siswa. Selanjutnya untuk menentukan jumlah besar sampel pada masing-masing kelas ditentukan secara proportional stratified random sampling dengan perhitungan:

Kelas I = N1

N × n = 16

155 × 61 = 6,3 ~ 6 Kelas II = 𝑁2

N × n = 28

155 × 61 = 11 Kelas III = N3

N × n = 19

155 × 61 = 7,5 ~ 8 Kelas IV = N4

N × n = 30

155 × 61 = 11,8 ~ 12 Kelas V = N5N × n = 29

155 × 61 = 11,4 ~ 11 Kelas VI = N6N × n = 33

155 × 61 = 12,9 ~ 13 Keterangan :

N = Besar populasi siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi N1 = Besar subpopulasi kelas I

N2 = Besar subpopulasi kelas II N3 = Besar subpopulasi kelas III N4 = Besar subpopulasi kelas VI

(44)

N5 = Besar subpopulasi kelas V N6 = Besar subpopulasi kelas VI n = Besar sampel siswa SDN 163086

Pemilihan sampel penelitian untuk masing-masing kelas dilakukan secara random sistematis berdasarkan sampling frame berupa daftar absensi. Subpopulasi kelas I adalah 16 siswa, sampel yang dibutuhkan adalah 6 siswa, dengan interval adalah 16/6 = 2,6 ~ 3. Sehingga anggota subpopulasi kelas I yang menjadi sampel adalah setiap elemen yang mempunyai nomor kelipatan 3 yakni 3,6,9, . . . . sampai mencapai jumlah 6 siswa sebagai responden.

Subpopulasi kelas II adalah 28 siswa, sampel yang dibutuhkan adalah 11 siswa, dengan interval adalah 28/11= 2,5 ~ 2. Sehingga anggota subpopulasi kelas II yang menjadi sampel adalah setiap elemen yang mempunyai nomor kelipatan 3 yakni 3,6,9, . . . . sampai mencapai jumlah 11 siswa sebagai responden.

Subpopulasi kelas III adalah 19 siswa, sampel yang dibutuhkan adalah 8 siswa, dengan interval adalah 19/8 = 2,4 ~ 2. Sehingga anggota subpopulasi kelas III yang menjadi sampel adalah setiap elemen yang mempunyai nomor kelipatan 2 yakni 2,4,6, . . . . sampai mencapai jumlah 8 siswa sebagai responden.

Subpopulasi kelas IV adalah 30 siswa, sampel yang dibutuhkan adalah 12 siswa, dengan interval adalah 30/12 = 2,5 ~2. Sehingga anggota subpopulasi kelas IV yang menjadi sampel adalah setiap elemen yang mempunyai nomor kelipatan 2 yakni 2,4,6, . . . . sampai mencapai jumlah 12 siswa sebagai responden.

Subpopulasi kelas V adalah 29 siswa, sampel yang dibutuhkan adalah 11 siswa, dengan interval adalah 29/11 = 2,6 ~ 3. Sehingga anggota subpopulasi kelas

(45)

28

I yang menjadi sampel adalah setiap elemen yang mempunyai nomor kelipatan 3 yakni 3,6,9, . . . . sampai mencapai jumlah 11 siswa sebagai responden.

Subpopulasi kelas VI adalah 33 siswa, sampel yang dibutuhkan adalah 13 siswa, dengan interval adalah 33/13 = 2,5 ~ 2. Sehingga anggota subpopulasi kelas I yang menjadi sampel adalah setiap elemen yang mempunyai nomor kelipatan 2 yakni 2,4,6, . . . . sampai mencapai jumlah 13 siswa sebagai responden.

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel. Variabel dalam penelitian ini adalah higiene perorangan yang merupakan variabel independen atau bebas, dan kejadian kecacingan sebagai variabel dependen atau terikat.

Definisi operasional. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Higiene perorangan adalah upaya kebersihan perorangan pada anak sekolah agar terhindar dari infeksi kecacingan meliputi kebiasaan cuci tangan, kebiasaan mandi, kebiasaan menjaga kebersihan kuku, kebiasaan menggunakan alas kaki, dan kebiasaan kontak dengan tanah.

2. Kebiasaan mencuci tangan adalah perilaku responden untuk membersihkan tangan yang kotor.

3. Kebiasan mandi adalah perilaku responden untuk membersihkan tubuh.

4. Kebersihan kuku adalah perilaku responden dalam memelihara kebersihan kuku.

5. Kebiasaan menggunakan alas kaki adalah perilaku responden yang senantiasa menggunakan alas kaki bila bermain di luar rumah.

(46)

6. Kebiasaan kontak dengan tanah adalah perilaku responden yang senantiasa kontak dengan tanah.

7. Fasilitas sanitasi sekolah adalah kondisi sarana sanitasi sekolah yang mungkin menimbulkan infeksi kecacingan yang terdiri dari: sarana air bersih, saluran pembuangan air limbah, sarana kamar mandi (toilet/WC), sarana pembuangan sampah dan halaman sekolah.

8. Sarana air bersih adalah ketersediaan air bersih di lingkungan sekolah dengan kualitas dilihat dari parameter fisik yaitu tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna, tersedia air bersih yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari, dan jarak dari sumber pencemar minimal 10 m (Kepmenkes RI No.1429, 2006).

9. Saluran pembuangan air limbah adalah ketersediaan saluran pembuangan air limbah di lingkungan sekolah yang memenuhi syarat kesehatan yaitu saluran tersebut terpisah dengan saluran penuntasan air hujan, terbuat dari bahan kedap air, tertutup, dan air dapat mengalir dengan lancar, tidak mencemari lingkungan, dibuang melalui tangki septik dan diresapkan melalui tanah, serta memilki bak kontrol untuk memudahkan pembersihan bila terjadi penyumbatan (Kepmenkes RI No.1429, 2006).

10. Sarana kamar mandi (toilet/WC) adalah keadaan toilet/WC yang tersedia di lingkungan sekolah yaitu letak WC terpisah dari ruang kelas, WC terpisah antara laki-laki dan perempuan, proporsi jumlah WC adalah satu WC untuk 40 siswa dan satu WC untuk 25 orang siswi, toilet dalam keadaan keadaan bersih, tidak ada genangan air pada lantai WC, ada lubang penghawaan yang langsung

(47)

30

berhubungan dengan udara luar, bak penampungan air tidak menjadi tempat perindukan nyamuk (Kepmenkes RI No.1429, 2006).

11. Sarana pembuangan sampah adalah sarana untuk menampung sampah secara sementara di lingkungan sekolah agar sampah tidak berserakan, yaitu di setiap ruangan harus tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan tutup, tersedia tempat pengumpulan sampah sementara, tempat pengumpulan sampah sementara berjarak 10 m dari ruang kelas (Kepmenkes RI No.1429, 2006).

12. Kebersihan halaman adalah kondisi keadaan halaman sekolah yaitu lahan sekolah harus jelas dan tersedia pagar yang kuat dan aman, halaman sekolah harus selalu bersih, tidak becek, dan tidak menjadi sarang tempat berkembangbiaknya serangga atau binatang pengganggu lainnya, tersedia tempat parkir kendaraan, ada tempat upacara, tersedia lahan untuk apotik hidup, ada saluran penuntasan air hujan yang diresapkan ke tanah atau dialirkan ke saluran umum (Kepmenkes RI No.1429, 2006).

13. Kejadian kecacingan adalah ditemukan adanya telur cacing pada siswa dari hasil pemeriksaan feses di laboratorium.

Metode Pengumpulan Data

Data primer. Data yang akan dikumpulkan diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu karakteristik responden berupa umur dan jenis kelamin. Data higiene perorangan siswa diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Data sanitasi lingkungan sekolah diperoleh dengan observasi. Data kejadian kecacingan diperoleh dengan pemeriksaan feses masing-masing sampel yang akan diperiksa di Laboratorium Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi.

(48)

Data sekunder. Data sekunder diperoleh dari pihak SDN 163086 baik berupa profil singkat sekolah maupun jumlah keseluruhan siswa, dan Puskesmas Pasar Gambir yang berhubungan dengan penelitian.

Metode Pengukuran

Aspek pengukuran. Aspek pengukuran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kebiasaan mencuci tangan ditentukan dengan kriteria:

a. Baik, bila responden memenuhi kriteria sebagai berikut:

- Mencuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun.

- Mencuci tangan setiap sebelum makan.

- Mencuci tangan setelah bermain.

- Mencuci tangan setelah buang air besar.

b. Tidak baik, apabila responden tidak memenuhi semua kriteria diatas.

2. Kebiasan mandi ditentukan dengan kriteria:

a. Baik, bila mandi dua kali sehari secara teratur menggunakan air bersih mengalir dan sabun.

b. Tidak baik, apabila mandi kurang dari dua kali sehari dan tidak menggunakan sabun.

3. Kebiasaan menjaga kebersihan kuku ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:

a. Baik, bila responden memenuhi kriteria berikut:

- Apabila selalu memotong kuku satu kali dalam seminggu secara teratur.

(49)

32

- Apabila memotong kuku sampai pendek dan bersih.

- Apabila responden tidak sering menggigiti kuku tangan.

- Apabila responden tidak sering memasukkan jari kedalam mulut.

b. Tidak baik, bila responden tidak memenuhi kriteria di atas.

4. Kebiasaan menggunakan alas kaki ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:

a. Baik, apabila memenuhi kriteria berikut:

- Bila responden selalu memakai alas kaki ketika keluar dan bermain di luar rumah.

- Bila responden tidak membuka sepatu saat bermain ketika di sekolah.

b. Tidak baik, bila responden tidak memenuhi kriteria di atas.

5. Kebiasaan kontak dengan tanah ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:

a. Baik, apabila memenuhi kriteria:

- Apabila responden tidak membuka sepatu saat bermain ditanah.

- Apabila responden tidak makan sambil bermain di tanah.

- Apabila responden tidak pernah memakan makanan yang sudah jatuh ke tanah.

b. Tidak baik, bila responden tidak memenuhi ktriteria di atas.

6. Sarana air bersih ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:

a. Memenuhi syarat : bila skor observasi = 3 b. Tidak memenuhi syarat : bila skor observasi < 3

7. Saluran pembuangan air limbah ditentukan dengan kriteria sebagai berikut : a. Memenuhi syarat : bila skor observasi = 6

(50)

b. Tidak memenuhi syarat : bila skor observasi < 6

8. Sarana kamar mandi (toilet/wc) adalah ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:

a. Memenuhi syarat : bila skor observasi = 7 b. Tidak memenuhi syarat : bila skor observasi < 7 9. Sarana pembuangan sampah ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:

a. Memenuhi syarat : bila skor observasi = 3 b. Tidak memenuhi syarat : bila skor observasi < 3 10. Kebersihan halaman ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:

a. Memenuhi syarat : bila skor observasi = 6 b. Tidak memenuhi syarat : bila skor observasi < 6

11. Kejadian kecacingan ditentukan berdasarkan pemeriksaan feses di laboratorium menggunakan larutan eosin meliputi:

a. Ya, jika tinja positif (+) mengandung telur cacing.

b. Tidak, jika tinja negatif (-) mengandung telur cacing.

Variabel independen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah:

Higiene perorangan. Pengukuran higiene perorangan menggunakan

kuesioner. Jumlah pertanyaan untuk kuesioner sebanyak 21 pertanyaan. Pertanyaan terdiri dari kebiasaan cuci tangan, kebiasaan mandi, kebiasaan menjaga kebersihan kuku, kebiasaan menggunakan alas kaki, dan kebiasaan kontak dengan tanah.

Skala pengukuran yang digunakan dalam variable ini adalah skala Guttman.

Skala pengukuran dengan tipe ini akan mendapatkan jawaban yang tegas, yaitu ya- tidak, benar-salah, pernah-tidak pernah, positif-negatif.

(51)

34

Pengukuran variabel higiene perorangan dilakukan dengan menjumlahkan skor dari setiap pertanyaan yang di beri bobot dengan kriteria:

a. Jika menjawab Benar = 1 b. Jika menjawab Salah = 0

Berdasarkan skor yang diperoleh, maka higiene perorangan yang terdiri dari kebiasaan cuci tangan , kebiasaan mandi, kebiasaan menjaga kebersihan kuku, kebiasaan menggunakan alas kaki, dan kebiasaan kontak dengan tanah dapat dikategorikan berdasarkan (Pratomo, 1990):

1. Baik, apabila responden dapat menjawab dengan benar ≥ 75% dari total skor.

2. Tidak baik, apabila responden mendapat nilai < 75% dari seluruh skor yang ada.

Variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah:

Kejadian kecacingan. Dilakukan dengan pemeriksaan feses yang dilakukan

sehari setelah pembagian pot tinja pada Siswa SDN 163086 di Laboratorium Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi menggunakan larutan eosin, dengan interpretasi sebagai berikut:

a. Positif infeksi kecacingan: bila didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium ada telur cacing di dalam feses.

b. Negatif infeksi kecacingan: bila tidak didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium ada telur cacing di dalam feses.

Metode Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan sistem komputerisasi menggunakan analisa univariat dan bivariat. Analisa univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran pada variabel komponen higiene perorangan, karakteristik

(52)

siswa berdasarkan umur dan jenis kelamin, jumlah siswa yang terinfeksi kecacingan maupun yang tidak terinfeksi, kemudian data ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

Analisa bivariat digunakan untuk menganalisis ada tidaknya hubungan antara komponen higiene perorangan dengan kejadian kecacingan. Menggunakan uji statistik Chi-Square dengan derajat kepercayaan 95%. Jika syarat uji Chi-Square tidak terpenuhi maka digunakan uji Fisher exact.

(53)

Hasil Penelitian

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Tebing Tinggi memiliki 5 kecamatan yang salah satu nya adalah termasuk Kecamatan Tebing Tinggi Kota, terdapat 18 Sekolah Dasar Negeri dan 9 Sekolah Dasar Swasta yang berada di kecamatan ini. Sekolah Dasar Negeri 163086 yang didirikan pada tahun 1952 berlokasi di Jalan Pendidikan, Kelurahan Bandar Utama Kecamatan Tebing Tinggi Kota, Kota Tebing Tinggi. Memiliki 8 ruangan, dimana 6 diantaranya adalah ruangan belajar mengajar dan 2 lagi ruangan guru serta kepala sekolah. Tenaga pengajar berjumlah 9 orang dengan jumlah siswa di Tahun Ajaran 2018/2019 sebanyak 155 orang.

Sekolah ini terletak di pinggir jalan dan berada tepat di belakang Rumah Sakit Umum Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi serta berdampingan dengan pemukiman penduduk, pada bagian sisi kiri dari pagar sekolah ini terdapat tempat penampungan sampah sementara dari penduduk sekitar.

Sarana dan prasarana yang tersedia di SDN 163086 Kota Tebing Tinggi adalah ruang belajar, ruang guru/kepala sekolah, lapangan bulu tangkis, toilet siswa dan guru, gudang barang, dan perpustakaan.

Karakteristik Seluruh Siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi

Jumlah seluruh siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi dari kelas I sampai dengan kelas VI Tahun Ajaran 2018/2019 berjumlah 155 orang, dengan jumlah siswa laki-laki sebanyak 72 orang dan perempuan sebanyak 83 orang. Proporsi siswa berdasarkan jenis kelamin dan kelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

(54)

Tabel 1

Distribusi Proporsi Siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas Tahun 2019

Kelas

Jenis Kelamin

Jumlah (Orang)

Laki-Laki Perempuan

n % n % n %

I 8 50 8 50 16 10,3

II 15 53,6 13 46,4 28 18,1

III 8 42,1 11 57,9 19 12,2

IV 17 57 13 43 30 19,4

V 10 34,5 19 65,5 29 18,7

VI 14 42,4 19 57,6 33 21,3

Total 72 46,5 83 53,5 155 100

Sumber: Data Siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi T.A 2018/2019

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat jumlah siswa SDN 163086 Kota Tebing Tinggi secara keseluruhan sebanyak 155 orang yang menyebar di enam kelas yaitu kelas I sampai kelas VI. Siswa kelas I sebanyak 10,3% (16 orang), kelas II sebanyak 18,1% (28 orang), kelas III sebanyak 12,2% (19 orang), kelas IV sebanyak 19,4% (30 orang), kelas V sebanyak 18,7% (29 orang), dan kelas VI 21,3% (33 orang). Dapat juga dilihat sebanyak 46,5% (72 orang) berjenis kelamin laki-laki dan yang sebanyak 53,5% (83 orang) berjenis kelamin perempuan.

Hasil Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel independen yaitu higiene perorangan dan pada variabel dependen yaitu kejadian infeksi kecacingan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.

(55)

38

Karakteristik responden. Responden yang diteliti merupakan siswa dari kelas I sampai dengan kelas VI yang bersekolah di SDN 163086 Kota Tebing Tinggi yang berjumlah 61 siswa, dengan distribusi sebagai berikut:

Tabel 2

Distribusi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin di SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 30 49,2

Perempuan 31 50,8

Total 61 100

Berdasarkan tabel 2 diketahui sebanyak 50,8% (31 orang) berjenis kelamin perempuan.

Tabel 3

Distribusi Siswa Berdasarkan Umur di SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019

Umur (tahun) n %

7-10 tahun 32 52,5

11-13 tahun 29 47,5

Total 61 100

Berdasarkan tabel 3 diketahui sebanyak 52,5% (32 orang) berada pada rentang umur 7-10 tahun.

Gambaran Kondisi Fasilitas Sanitasi SDN 163086 Kota Tebing Tinggi

Gambaran kondisi fasilitas sanitasi SDN 163086 Kota Tebing Tinggi berdasarkan pada Kepmenkes RI No. 1492 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah yang terdiri dari sarana air bersih, sarana kamar mandi, sarana pembuangan limbah, sarana pembuangan sampah, dan

(56)

halaman sekolah. Didapatkan hasil observasi kondisi fasilitas sanitasi SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 yang disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4

Observasi Kondisi Fasilitas Sanitasi SDN 163086 Kota Tebing Tinggi Tahun 2019

Objek Pengamatan Penilaian Keterangan

Ya Tidak

Sarana air bersih Air mengalir lancar melalui

keran, tidak berbau,berasa, dan berwarna serta jarak dengan pencemaran ≥10 m Jumlah air bersih memadai √

Keadaan air baik √

Jarak dengan sumber pencemaran √

Sarana kamar mandi

Terpisah dengan ruangan √ Kamar mandi dan ruangan kelas dibatasi oleh dinding, jumlah kamar mandi untuk laki-laki dan perempuan belum sesuai dengan syarat Terpisah antara laki-laki dan

perempuan

Jumlahnya mencukupi √

Dalam keadaan bersih √

Tidak ada genangan air √ Tersedia lubang penghawaan √ Sarana pembuangan limbah

Terpisah dengan saluran air hujan √ Tidak tersedia bak kontrol yang dapat memudahkan pembersihan bila terjadi penyumbatan

Kedap air dan tertutup √ Mengalir dengan lancar √ Tidak menceramari lingkungan √ Melalui tangki septic √

Tersedia bak kontrol √

Sarana pembuangan sampah

Tersedia tempat sampah dengan tutup

√ Tersedia tempat sampah diseluruh ruang kelas akan tetapi tidak memiliki tutup, tempat sampah sementara berada di luar sekolah Tersedia tempat sampah

sementara dari seluruh ruangan

√ Berjarak 10 m dari ruang kelas √

Halaman Sekolah

Lahan jelas dan tersedia pagar √ Terdapat binatang seperti kucing dan ayam peliharaan penduduk sekitar yang berada di sekitar lingkungan sekolah Bersih dan tidak ada binatang √

Tersedia tempat parkir kendaraan √ Tersedia tempat upacara √ Tersedia lahan apotik hidup √ Tersedia saluran air hujan √

Gambar

Gambar 1. Telur cacing Ascaris lumbricoides
Gambar 3. Telur cacing Necator americanus
Gambar 4. Telur cacing Trichuris trichiura
Gambar 5. Telur cacing Fasciolopsis buski
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian di hutan Lindung Gunung Sirimau jumlah tanaman buah – buahan sebanyak 50 % dari jenis vegetasi tanaman kehutanan diantaranya adalah

- Rotasi yang dilaksanakan terus- menerus baik dalam keadaan air kurang, yaitu dengan maksud untuk menghemat air dan agar supaya air tetap terbagi rata

Gambar di atas adalah kondisi sensory slider yang ideal bagi suatu karya arsitektur. Intensitas sensori yang seimbang berarti pengalaman sensori yang dirasakan pun

Mewakili sebuah bangunan showroom sebagai bangunan yang di peruntukan sebagai bangunan komersial yang mewakili citra teknologi tinggi sebuah kendaraan roda empat

Hasil dari sistem Pemantauan dan pengendalian ini adalah sebuah sistem yang dapat memantau persediaan premium pada setiap SPBU dan memberikan informasi setiap

Pada awal Orde Baru (1966-1998), Soeharto mengeluarkan kebijakan asimilasi terhadap kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia. Tujuan dari kebijakan tersebut agar

Tumbuhan paku memiliki potensi pemanfaatan yang cukup baik untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai bahan obat, bahan makanan dan tanaman hias sehingga perlu

• Dasawarsa ini, sama ada kita sedar atau tidak, kita terlalu dihidangkan dengan pembangunan negara yang semakin gah di persada dunia.. Namun di sebalik itu, kita