• Tidak ada hasil yang ditemukan

INFAK MASJID AT TAUFIQ PAILUS UNTUK PEMBIAYAAN MENURUT MAQASID AL-SYARIAH JASSER AUDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "INFAK MASJID AT TAUFIQ PAILUS UNTUK PEMBIAYAAN MENURUT MAQASID AL-SYARIAH JASSER AUDA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

INFAK MASJID AT TAUFIQ PAILUS UNTUK PEMBIAYAAN MENURUT MAQASID AL-SYARIAH JASSER AUDA

Keyword:

Maqasid al-Syari’ah, Jasser Auda, Infak

Keyword:

Maqasid al-Syari’ah, Jasser Auda, Infak

Abstract

This study aims to determine the effectiveness of the use of mosque infaq funds for financing in the perspective of Maqasid al-Shari'ah Jasser Auda. The type of study carried out is a field study carried out by going directly to the At-Taufiq Mosque which is the object, namely in Hamlet Pailus RT 07/03, Karanggondang Village, Mlonggo District, Jepara. Data collection techniques used are observation, interviews and documentation. After the data is collected, then an analysis is carried out using a descriptive qualitative analysis method with the concept of the features of the Maqasid al-Syari'ah Jasser Auda system in the form of 'cognition' of Islamic law, the overall coverage of Islamic law, openness in the law-making process, hierarchies that influence each other, multidimensionality of coverage. law, and an understanding of the philosophical intent of the Shari'a. The results of the study are: first, the use of infaq funds at the At-Taufiq Mosque for financing is considered very effective and functional in terms of the level of problem solving. Second, the law on the use of the At-Taufiq Mosque's infaq funds for financing in the perspective of Maqasid al- Shari'ah Jasser Auda is permissible, it is even recommended to consider the purpose of its use.

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan dana infak masjid untuk pembiayaan dalam perspektif Maqasid al- Syari’ah Jasser Auda. Jenis kajian yang dilakukan adalah kajian lapangan yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke Masjid At-Taufiq yang menjadi objek yaitu di Dukuh Pailus RT 07/03, Desa Karanggondang, Kecamatan Mlonggo, Jepara. Teknik pengumpulan data digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis dengan metode deksriptif analisis kualitatif dengan konsep fitur sistem Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda berupa ‘kognisi’ hukum Islam, kemenyeluruhan cakupan dari syariat Islam, keterbukaan dalam proses pengambilan hukum, hierarki yang saling mempengaruhi, multidimensionalitas cakupan hukum, dan pemahaman akan maksud filsafat dari syariat. Hasil kajian tersebut adalah: pertama, pemanfaatan dana infak di Masjid At-Taufiq untuk pembiayaan dinilai sangat efektif dan fungsional dilihat dari tingkat problem solving. Kedua, Hukum pemanfaatan dana infak Masjid At-Taufiq untuk pembiayaan dalam perspektif Maqasid al- Syari’ah Jasser Auda adalah boleh, bahkan dianjurkan menimbang tujuan dari pemanfaatannya.

Muhammad Fakhri Abdillah PP. Darul Falah Jepara

ryefary@gmail.com

(2)

Pendahuluan

Masjid adalah tempat ibadah kaum muslimin yang pada hakikatnya memiliki peran strategis untuk kemajuan peradaban umat Islam. Dalam sejarah tercatat bahwa di zaman Rasulullah saw. telah membuktikan multi fungsi peranan masjid tersebut, dimana masjid tidak hanya difungsikan sebagai tempat shalat, tetapi juga sebagai pusat pendidikan, pengajian keagamaan, pendidikan militer dan fungsi-fungsi sosial-ekonomi lainnya (Ibnu, 2002: 7).

Di masa sekarang ini, dapat diamati fungsi masjid yang dulu multifungsi itu, ternyata masih banyak yang difungsikan hanya sebatas pada rutinitas ibadah seperti pengajian dan shalat berjamaah saja, sedangkan fungsi hablun min al-nas terlihat masih sangat kurang. Berkaitan dengan hal tersebut, setidaknya ada dua hal yang sangat disayangkan dewasa ini terkait keberadaan dan kiprah masjid. Pertama, masjid hanya ramai saat salat Jumat dan Ramadan, namun terasa sepi di hari-hari lainnya. Kedua, masyarakat masih menganggap masjid hanya sebagai tempat ibadah khusus (mahḍah), sehingga melupakan sejarah masjid itu sendiri.

Dalam era global, seharusnya masjid sudah difungsikan pada suatu upaya pemberdayaan umat yang mengarah kepada pembangunan life skill dan militansi da'i-da'iyahnya, di samping pemberdayaan yang mengarah kepada penguatan bangunan tauhid umat.

Untuk menuju kesana, banyak hal yang harus dibenahi agar eksistensi dan keberlangsungan

fungsi ideal masjid dapat terus ditingkatkan, dan agar dapat dicapai pula keseimbangan peran masjid, baik sebagai tempat ibadah vertikal maupun untuk menyelenggarakan ibadah horizontal seperti muamalah (Abdzar, 2012: 109).

Catatan sejarah juga menunjukkan kegiatan pemberdayaan ekonomi umat berbasis masjid telah dilaksanakan pada masa Rasulullah saw.

dan diteruskan oleh para khalifah hingga dinasti-dinasti Islam setelahnya. Misalnya di Masjid Nabawi, selain melaksanakan aktivitas menimba ilmu, berdiskusi persoalan politik, Rasulullah saw juga melakukan aktivitas pengembangan ekonomi masyarakat (Kamaruddin, 2013: 58). Masjid merupakan pusat peradaban umat Islam, seperti firman Allah Swt.:

“Hanyalah yang memakmurkan masjid- masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. at-Taubat/9:

18).

Oleh karena itu, tradisi keilmuan ekonomi yang eksis di masa silam harus dihidupkan kembali di masjid-masjid, supaya fungsi masjid dalam bidang ekonomi khususnya sebagaimana pada zaman Rasulullah saw.

dapat diwujudkan kembali, dimana masjid berperan menyelesaikan problematika masyarakat dengan solusi praktis bukan hanya

(3)

sebatas memberi kajian keilmuan teoritis.

Pada observasi awal yang telah dilakukan penulis di lingkungan Masjid At-Taufiq, Dukuh Pailus, RT 07, RW 03, Desa Karanggondang, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara pada tanggal 31 Mei 2021 lalu ditemukan upaya nyata untuk menghidupkan fungsi masjid sebagai fasilitator problem solving masyarakat sekitar.

Masjid menyediakan program pinjaman tanpa bunga (qarḍ) menggunakan dana infak yang dikelola pengurus masjid untuk masyarakat sekitar masjid yang membutuhkan tambahan dana modal, atau talangan dana pengeluaran rumah tangga dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjauhkan masyarakat dari pinjaman yang mengandung riba, dan sekaligus dakwah bilhal. Namun, pemanfaatan dana masjid untuk qarḍ merupakan hal baru dalam pengelolaan dana infak masjid.

Pemanfaatan dana infak masjid untuk qarḍ tidak selaras dengan pemikiran ulama terdahulu terkait pemanfaatan harta masjid.

Kemaslahatan untuk masjid digambarkan diantaranya untuk gaji muazin, imam, pembelian minyak untuk bahan bakar lampu penerangan masjid. Seluruhnya ialah maslahat yang berhubungan langsung dengan masjid.

Perbedaan antara ‘untuk pembangunan’

dan ‘untuk kemaslahatan masjid’ adalah bahwa harta yang telah permanen harta wakaf secara hukum dan dzat bentuknya seperti pembangunan, pengecatan, pengokohan, pembuatan tangga tangga, jalan, maka semua

itu termasuk ‘untuk pembangunan’.

Sedangkan yang mencangkup semua itu sekaligus apapun yang bisa membuat kemaslahatan untuk masjid seperti gaji muadzin, imam, pembelian minyak untuk bahan bakar lampu maka seluruhnya itu termasuk ‘untuk kemaslahatan masjid’.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa ‘maslahat’ itu lebih umum dari pada

‘pembangunan’ (Al-Qolyubi dan‘Umairah, 2015: juz 3, 108).

Dalam analisis hukum, penulis memilih Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda sebagai perspektifnya supaya Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda menjadi perspektif landasan hukum dalam pemanfaatan dana infak untuk qarḍ di Masjid At-Taufiq dengan analisis sistem dari Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda yang disajikan berkisar pada enam fitur sistem, yaitu sistem watak kognisi pemahaman Fikih, kemenyeluruhan, keterbukaan, hierarki

yang saling mempengaruhi,

multidimensionalitas, dan kebermaksudan (Auda, 2015: 86). Melihat fenomena Fikih dari aspek sistemnya untuk mencapai tujuan pokok dalam kehidupan beragama yaitu kemaslahatan.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka kajian ini akan menjawab persoalan tentang bagaimana efektivitas praktik pemanfaatan dana infak masjid untuk pembiayaan di Masjid At-Taufiq menurut perspektif Maqasid al- Syari’ah Jasser Auda dan bagaimana hukum pemanfaatan dana infak masjid untuk pembiayaan di Masjid At-Taufiq dalam

(4)

perspektif Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda.

Metode Penulisan

Penulisan ini merupakan penulisan lapangan karena pengumpulan data yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke Masjid At-Taufiq yang menjadi objek yaitu di Dukuh Pailus RT 07/03, Desa Karanggondang, Kecamatan Mlonggo, Jepara.

Dalam hal ini penulis akan berfokus menganalisis praktik dan hukum pemanfaatan dana infak untuk pembiayaan menggunakan tinjauan Maqasid al-Syari’ah sesuai temuan lapangan, dengan tujuan memperoleh pandangan hukum Islam terkini terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat.

Dalam melakukan kajian ini, penulis menggunakan pendekatan Maqasid al- Syari’ah Jasser Auda mengenai hukum pemanfaatan dana infak untuk pembiayaan menggunakan pendekatan fitur sistem Maqasid al-Syari’ah berupa ‘kognisi’ hukum Islam, kemenyeluruhan cakupan dari syariat Islam, keterbukaan dalam proses pengambilan hukum, hierarki yang saling mempengaruhi, multidimensionalitas cakupan hukum, dan pemahaman akan maksud filsafat dari syariat.

Jenis kajian disini termasuk dari penulisan hukum empiris yang merupakan penulisan hukum dengan data primer atau suatu data yang diperoleh langsung dari sumbernya yaitu praktik pembiayaan yang diperoleh dari wawancara dengan pihak terkait. Selanjutnya perspektif Maqasid al-Syari’ah terhadap hukum pemanfaatan dana infak masjid untuk

pembiayaan.

Sedangkan sumber data sekunder yang menjelaskan sumber data primer yaitu seperti hasil penulisan, pendapat para pakar yang mendukung tema pembahasan atau hasil dari karya ilmiah (Nasution, 1998: 26). Dalam hal ini adalah data yang di dapat dari telaah literatur yakni jurnal ilmiah. buku atau literatur asli dalam hal ini adalah al-Qur’an, hadis, atau kitab terkait analisis hukum pemanfaatan dana infak dan pembiayaan.

Untuk memudahkan dalam mengetahui kondisi yang diinginkan, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi.

Metode observasi digunakan ketika ingin melakukan penamatan terhadap objek penulisan secara langsung. Pengamatan ini berkaitan dengan penglihatan dan pendengaran untuk menangkap gejala yang diamati dan apa saja yang perlu dicatat.

Selanjutnya, catatan tersebut dianalisis. Dalam hal ini penulis mendatangi langsung lokasi Masjid At-Taufiq untuk mendapatkan data yang konkret.

Teknik analisis data yang dilakukan oleh penulis termasuk analisis deskriptif dengan cara menggambarkan atau mendekajiankan keadaan/status fenomena dengan kata-kata yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan fitur sistem hierarki yang saling mempengaruhi (‘interrelated hierarchy’) dalam Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda.

Kemudian, penulis melakukan analisa dengan konsep sistem Maqasid al-Syari’ah Jasser

(5)

Auda sebagai acuan dalam menentukan aspek hukum dari objek penulisan.

Mekanisme Pengelolaan Dana Masjid Infak menurut KBBI memiliki arti pemberian (sumbangan) harta dan sebagainya (selain zakat wajib) untuk kebaikan, sedekah, nafkah (KBBI). Kata infak diambil dari bahasa Arab; yaitu anfaqa-yanfiqu-infaqan yang berarti; membelanjakan, mengeluarkan atau mempergunakan harta (Zawawi dkk, 1993:15).

Adapun menurut terminologi syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam (Hal. 15). Sedangkan penyebutan infak masjid dalam penulisan ini berarti harta berupa uang yang diberikan kepada masjid.

Standar Pembinaan Manajemen Masjid merujuk kepada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2004 Tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid, dibuat dengan tujuan memberikan pedoman tentang pembinaan dan pengelolaan masjid di bidang idarah, imarah, dan riayah kepada aparatur pembina kemasjidan maupun pengurus masjid dalam rangka meningkatkan kualitas pembinaan dan bimbingan untuk terwujudnya kemakmuran masjid dan kehidupan umat yang rukun, moderat, dan toleran.

Masjid At-Taufiq Pailus, Karanggondang termasuk kedalam kategori Masjid Jami. Yaitu, masjid yang terletak di pusat pemukiman di wilayah pedesaan/kelurahan, menjadi pusat

kegiatan keagamaan, menjadi pembina masjid, mushalla, dan majlis taklim yang ada di wilayah tersebut, dan kepengurusan masjid dipilih oleh jamaah dan ditetapkan oleh pemerintah setempat. Susunan struktur organisasi pengurus masjid sekurang- kurangnya terdiri atas:

Dalam Standar Pembinaan Manajemen Masjid Jami, termasuk standar pengelolaan Masjid Jami di bidang imarah ialah menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan sosial dan ekonomi antara lain UPZ (Unit Pengumpulan Zakat), BMT, Koperasi, dll;

dengan diawasi oleh pengawas khusus atau oleh pimpinan itu sendiri. Pengurus secara keseluruhan juga harus melakukan pengawasan secara menyeluruh.

Masjid di samping tempat ibadah sekaligus berfungsi sebagai forum komunikasi jamaah, forum ini dikembangkan fungsinya sebagai kontak para jamaah dalam bidang ekonomi anatara lain dengan mendirikan UPZ, BMT ataupun koperasi di lingkungan masjid untuk meningkatkan kesejahteraan taraf hidup diantara mereka. Pengurus masjid perlu mensosialisasikan tujuan diadakannya dan

Ketua Sekretaris

Bidang

Ri'ayah Bidang

Imaroh Bidang Idarah

Bendahara

(6)

menjelaskan bahwasanya hal tersebut dianjurkan dan sesuai dengan ajaran islam untuk menggairahkan kesadaran umat akan pentingnya usaha peningkatan ekonomi, memberi keterampilan mereka dalam bidang usaha dalam rangka kesejahteraan umat dan jamaah atau anggota.

Selanjutnya, secara advokasi dan melakukan kerjasama dengan pengurus masjid untuk pengamanan asset dan kekayaan masjid dan melakukan administrasi pemgelolaan masjid adalah termasuk tugas dari Badan Kesejahteraan Masjid.

Badan Kesejahteraan Masjid yang sclanjutnya disebut BKM adalah lembaga semi resmi yang dibentuk oleh Departemen Agarna untuk meningkatkan peranan dan fungsi masjid sebagai tcmpat ibadah dan sarana pembinaan umat Islam. Pengurus BKM Desa/Kelurahan diangkat dan diberhentikan oleh Kepala KUA atas pertirnbangan Lurah/Kepala Dcsa setempat terdiri dari ketua, Sekretaris, Bendahara serta anggota sesuai kebutuhan.

Ketua BKM Desa/Kelurahan ialah Penyuluh Agama Islam KUA atau Kemenag yang ada di Desa/Kelurahan yang bersangkutan karena jabatannya. Sedangkan pengurus lainnya ditunjuk dari ulama, tokoh masyarakat, guru agama lslarn atau wakil pcngurus masjid yang ada di Desa/Kelurahan yang bersangkutan sesuai kebutuhan.

1. Mekanisme pengelolaan dana infak masjid menurut fikih klasik

Masjid yang merupakan objek infak memiliki status sebagaimana manusia merdeka

dalam hal harta, yang mana masjid bisa memiliki penuh hak suatu kepemilikan (Al- Haytami, 2015: 208). Sehingga, tentu harta yang diberikan kepada masjid menjadi milik masjid seutuhnya. Namun, bukan berarti ketika harta diberikan kepada masjid dan menjadi milik masjid seketika berubah statusnya menjadi harta wakaf.

Ulama Syāfi‘iyah menetapkan salah satu syarat yang harus ada pada benda wakaf (mawqūf) adalah keutuhan bendanya setelah dimanfaatkan (‘baqa’‘aynih’). Sedangkan uang tunai tidak akan utuh setelah dipergunakan.

Berbeda dengan ulama Syāfi‘iyah, ulama Hanafiyah menyatakan bahwa dinar atau dirham (uang) boleh diwakafkan karena dipandang sebagai pengecualian atas dasar istihsān bi al-‘urf walaupun keutuhannya tidak kekal setelah pemanfaatannya (al-Syahir, 1979:

363). Kebolehan wakaf uang di sini dikarenakan pertimbangan hal tersebut telah banyak dipraktekkan dalam masyarakat.

Dalam literatur fikih banyak sekali pembahasan terkait status ‘harta masjid’

(amwālul masjid), ‘harta masjid’ berdasarkan perolehan dan peruntukannya sedikitnya dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:

a. Bagian ‘pembangunan masjid’, yaitu harta yang diperoleh dari:

1) Harta yang diberikan (mauhu>b) atau disedekahkan (mutas{addaq) pada masjid untuk pembangunan masjid 2) Harta yang diperoleh dari hasil tas{arruf

dari harta wakaf masjid

(7)

b. Bagian ‘kemaslahatan masjid’, yaitu harta yang diperoleh dari:

1) Harta yang diberikan (mauhu>b) atau disedekahkan (mutas{addaq) pada masjid untuk kemaslahatan masjid 2) Harta yang diperoleh dari hasil tas{arruf

dari harta wakaf untuk kemaslahatan masjid

3) Harta yang diperoleh dari hasil penjualan harta masjid yang rusak

c. Bagian ‘mutlak’/tanpa peruntukan khusus, yaitu harta yang diberikan/sedekahkan kepada masjid tanpa peruntukan khusus, atau hasil tas{arruf dari harta wakaf masjid tanpa peruntukan khusus.

Perbedaan antara ‘untuk pembangunan’ dan

‘kemaslahatan masjid’ adalah bahwa harta yang telah permanen menjadi harta wakaf secara hukum dan dzat bentuknya seperti pembangunan, pengecatan, pengokohan, pembuatan tangga-tangga, jalan, maka semua itu termasuk ‘pembangunan’. Sedangkan yang mencakup semua itu beserta apapun yang digunakan untuk kemaslahatan masjid seperti gaji muazin, imam, pembelian minyak untuk bahan bakar lampu maka seluruhnya itu disebut maslahat. Jadi ‘maslahat’ itu lebih umum dari pada ‘pembangunan’ (Al-Qolyubi dan Umaira, 2015: 08).

Tasarruf harta masjid harus maslahat, dan ranah kemaslahatannya kembali pada masjid, kepentingan orang-orang muslim atau kebutuhan-kebutuhan orang muslim secara umum. Adapun jika tas{arruf hanya untuk kemaslahatan khusus tidak diperbolehkan

kecuali kemaslahatan khusus yang berkaitan dengan masjid (Al-Haytami, Hal. 208).

Sehingga, menurut pandangan fikih klasik tas{arruf harta untuk kemaslahatan khusus seperti peruntukan pembiayaan tidak diperbolehkan kecuali ada kaitannya dengan masjid atau orang-orang muslim secara umum.

Secara umum, al-Qur’an tidak menyebutkan wakaf secara jelas. Bahkan kata wakaf tidak ditemukan di dalamnya. Al-Qur’an hanya memiliki term nafaqa beserta turunannya. Para ulama mengkategorikan wakaf sebagai infak.

Sebab itu, dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al- Qur’an yang menjelaskan tentang infak.

QS. Al-Baqarah/2: 254:

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at.

Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.

QS. Al-Baqarah/2: 261-263:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia- Nya) lagi Maha Mengetahui.

QS. At-Taubah/9: 18

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid

(8)

Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan memakmurkan masjid adalah dengan cara membangun masjid, membetulkan masjid jika temboknya rusak, mengokohkannya, dan ini merupakan memakmurkan masjid secara fisik.

Sebagian ulama juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan memakmurkan masjid adalah dengan cara ibadah seperti salat di dalamnya dan segala macam bentuk pendekatan diri pada Allah. Ini adalah memakmurkan masjid secara maknawi yang mana ini adalah tujuan luhur didirikannya masjid (As-Sabuni, 2004: 401).

Sehingga, memakmurkan masjid bisa dilakukan dengan cara;

a. Membangunnya dan memperbaiki masjid.

b. Menghadiri dan senantiasa ada di dalamnya. Sebagaimana perkataan “Si fulan memakmurkan masjid” artinya dia selalu hadir di masjid dan dan senantiasa ada di masjid. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Apabila kalian melihat seseorang yang sering berada di masjid maka saksikanlah akan keimanannya.”

Maka termasuk memakmurkan masjid adalah selalu hadir di dalamnya (Al-Razi, 2004: 202).

Dasar Hukum Akad QS. An-Nisa/4: 29:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama- suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS.

An-Nisa/4: 29).

Q.S. Al-Baqarah/2: 275:

“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Dasar Hukum Qard}

QS. At-Taghabun /64: 17:

“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun”.

QS. Al-Baqarah/2: 245:

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.

Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu

(9)

dikembalikan”.

QS. Al-Baqarah/2: 280i:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.

Kandungan ayat di atas menerangkan jika orang yang berutang dalam kesulitan untuk melunasi, atau akan terjerumus dalam kesulitan bila peminjam memaksakan diri membayar utangnya, maka syariat menganjurkan untuk memberi tenggang waktu untuk melunasi sampai peminjam memperoleh kelapangan, ayat tersebut menyatakan bahwa meringankan yang berutang terlebih membebaskannya dari utang sangat besar balasannya di sisi Allah.

“Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat” (H.R. Muslim) (al-Aasqalany, 2000:

208).

Sama halnya dengan hadis sebelumnya, hadis di atas berisi penjelasan bahwa Allah akan memberikan balasan dengan membebaskan kesulitannya di hari kiamat dan Allah akan senantiasa memberikan kemudahan di dunia dan akhirat bagi siapa saja yang meringankan beban saudara sesama muslim.

Teori Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda Maqasid al-Syari’ah terdiri dari dua suku kata yaitu Maqasid dan al-Syari’ah.

Maqasid adalah bentuk plural dari maqsad yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir. Maqasid al-Syari’ah adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud di balik syariat itu (Auda, Hal. 33).

Kata Maqasid al-Syari’ah merupakan istilah yang tidak asing dalam ranah us}ul al- fiqh Islam. Ada beberapa istilah atau nama yang beragam namun sejalan dengan makna Maqasid al-Syari’ah. Di antaranya adalah qasd al-sya ri’ bi al-hukm, kemudian ghard al- syari’, ma arada al-syari’ bi al-hukm, ma tasyawwafa al-syari’ ilaih, munasabat al- qiyas, al-hikmah, al-maslahah, al- maslahah al-mursalah (Auda, 2006: 47-48).

Maqasid al-Syari’ah dapat dianggap sebagai jumlah tujuan yang dianggap ilahi dan konsep akhlak yang melandasi proses tasyri’

al-Islami (penyusunan hukum berdasarkan syariat Islam) seperti prinsip keadilan, kehormatan manusia, kebebasan berkehendak, kesucian, kemudahan dan lain sebagainya.

Tujuan-tujuan dan konsep-konsep tersebut yang membentuk sebuah jembatan antara al- tasyri’ al-Islami dan konsep-konsep yang berjalan tentang HAM (Auda, 2006: 1-4).

Konsep Maqasid al-Syari’ah dalam hukum Islam klasik diberlakukan dan dipahami secara hierarkis sebagaimana berikut:

(10)

Daruriyyat didefinisikan sebagai tujuan yang harus ada, yang bahkan ketiadaannya didefinisikan sebagai tujuan yang harus ada, yang ketiadaannya akan berakibat menghancurkan kehidupan secara total, misalnya untuk menyelamatkan jiwa, Islam mewajibkan Ibadah.

Hajiyyat didefinisikan sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan- kepentingan yang termasuk ke dalam kategori daruriyyat, misalnya untuk melaksanakan ibadah salat sebagai tujuan primer dibutuhkan berbagai fasilitas antara lain bangunan masjid, jika tidak ada masjid maka terjadi kesulitan dalam melaksanakan ibadah meskipun ketiadaan masjid tidak sampai menghancurkan ibadah karena ibadah dapat dilakukan di luar masjid.

Tahsiniyyat didefinisikan sebagai sesuatu

yang kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi bersifat akan memperindah proses perwujudan kepentingan Daruriyyat dan hajiyyat. Sebaliknya ketiadakhadirannya tidak akan menghancurkan maupun mempersulit kehidupan, tetapi mengurangi rasa keindahan dan etika.

Jasser Auda berusaha untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan atau mengembang- kan teori Maqasid al-Syari’ah. Teori Maqasid al-Syari’ah klasik hanya tertuju pada individu daripada keluarga, masyarakat maupun manusia secara umum sedangkan para ulama kontemporer telah menginduksi konsep- konsep tersebut dengan cakupan yang lebih umum yaitu masyarakat, bangsa bahkan umat manusia(Auda, 2006: 6).

1. Fitur Pendekatan Sistem Maqasid al- Syari’ah Jasser Auda

Perspektif sistem adalah cara pandang menengah antara pandangan realis dan pandangan normalis ketika melihat hubungan antara realitas dan konsepsi manusia tentang realitas itu. Menurut teori sistem, terdapat keterkaitan antara konsepsi dan realitas tanpa mengharuskan adanya identitas maupun dualitas (Auda, 2006: 86).

Menurut Jasser Auda, ilmu Ushul fikih adalah sebuah sistem, yang akan dikaji berdasarkan sejumlah fitur. Sekelompok fitur untuk sistem ini dan akan memberikan argumen untuk masing-masing fitur dari dua perspektif; teori sistem dan teologi Islam. Analisis sistematis yang disajikan akan berkisar pada enam fitur sistem

Maq>as{id al-Sya>ri’ah D}aruriyyat

(Kebutuhan Primer)

Hajiyyat (Kebutuhan Sekunder)

Tahsiniyyat (Kebaikan)

Hifz}

ad-Din

Hifz}

al-Nafs

Hifz}

al- Ma>l

Hifz}

al-Aql

Hifz}

an-Nasl

Hifz}

al-'Ird}

D}aruriyyat (Kebutuhan Primer)

Hajiyyat (Kebutuhan Sekunder)

Tahsiniyyat (Kebaikan)

(11)

berikut, yaitu ‘kognisi dalam pemahaman fikih’, ‘kemenyeluruhan’, ‘keterbukaan’,

‘hierarki yang saling mempengaruhi’,

‘multidimensionalitas’, dan

‘kebermaksudan’.

a. Kognisi (cognitive nature), Jasser Auda menjelaskan walaupun nas} bersifat ilahi, namun pemahaman akan nas}

sesuai dengan pandangan penafsiran atau pandangan dunia dari penafsir atau ahli fikih tersebut. Maksud daripada cognitive nature adalah watak kognitif/pemahaman/idrak yang membangun sistem hukum Islam (fikih).

Dalam perspektif teologi, Hukum Islam merupakan hasil pemikiran dan usaha manusia (ijtihad) dalam memahami nas sebagai jalan untuk mengungkap makna yang tersembunyi dan implikasi praktisnya. Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa fikih merupakan bagian dari kognisi atau idrak dan hasil pemahaman, interpretasi manusia, ketimbang sebagai manifestasi literal dari perintah Tuhan.

Keyakinan bahwa suatu keputusan hukum tertentu juga kemauan Tuhan adalah klaim yang mustahil dapat dibuktikan. Fitur watak kognitif hukum Islam ini mutlak diperlukan untuk validasi, suatu kebutuhan kuat terdapat pandangan pluralistik pada seluruh mazhab-mazhab fikih (Hal. 87).

Untuk membongkar validasi semua kognisi (pengetahuan tentang teks),

Auda menekankan pentingnya memisahkan teks (al-Qur’an dan sunah) dari pemahaman orang terhadap teks.

Harus dibedakan antara syariat, fiqh dan fatwa sebagai berikut:

1. Syariat: wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Syariah inilah yang menjadi risalah dan tujuan wahyu yang harus direalisasikan di tengah kehidupan.

Di sini, secara sederhana syariat berarti al- Qur’an dan sunah nabi.

2. Fiqh: Koleksi dalam jumlah besar, pendapat hukum yang diberikan oleh ahli hukum Islam dari berbagai mazhab, berkenaan dengan aplikasi syariah pada berbagai aplikasi kehidupan nyata sepanjang 14 abad terakhir.

3. Fatwa: penerapan syariat dan fiqh di tengah realitas kehidupan umat Islam saat ini.

Dengan pemahaman seperti itu, maka syariah Islam merupakan wahyu (al-Qur’an dan sunah) yang sempurna, sedangkan kesempurnaan syariat bergantung pada upayanya yang selalu berkesinambungan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat dan mengarahkan manusia pada esensi kemanusiaan dan semangat kehidupan.

Di sini, syariat sebagai wahyu harus dibedakan dengan hasil pemikiran tentang syariat atau interpretasi terhadap wahyu.

Syariat Islam bukanlah segala hukum agama, aturan ibadah, legislasi hukum, segala pendapat para ahli fiqh, mufassir, pandangan para komentator dan ajaran tokoh agama.

b. Kemenyeluruhan (wholeness), Dalam

(12)

teori system permasalahan selalu dipandang secara holistik-menyeluruh.

Auda menyatakan pendekatan ini jauh lebih baik dibanding dengan pendekatan atomistik yang melihat suatu permasalahan secara parsial. Pendekatan atomistik/parsial seperti ini memandang sesuatu dalam posisi sebab-akibat.

Sedangkan pendekatan sistem melihat setiap relasi sebab dan akibat sebagai satu bagian dari keseluruhan gambar, dimana sekelompok hubungan melahirkan karakteristik yang muncul dan berpadu untuk membentuk keseluruhan daripada sekedar

‘penjumlahan bagian-bagiannya’.

Dengan ‘mengadopsi’ fitur kemenyeluruhan, metode pembacaan yang berkaitan dengan tema-tema, prinsip-prinsip didasarkan pada anggapan bahwa nas} merupakan suatu keseluruhan yang menyatu.

Implikasinya ayat al-ahkam misalnya, akan meluas dari ratusan menjadi seluruh teks Al-Qur’an.

Begitu juga dengan ayat-ayat tentang aqidah, kisah nabi-nabi, kehidupan akhirat dan alam semesta akan menjadi bagian dari sebuah gambar utuh. Dengan harapan akan memainkan peranan dalam pembentukan hukum-hukum yuridis.

c. Keterbukaan (openness), Teoretikus sistem membedakan antara sistem terbuka dan tertutup. Sistem dalam kehidupan harus menjadi sistem yang

terbuka yang memiliki kemampuan untuk mencapai target-target yang sama dari kondisi awal yang berbeda melalui alternatif-alternatif valid yang setara.

Dengan demikian, sistem terbuka berinteraksi dengan lingkungan yang berada di luar sistem. Berbeda halnya dengan sistem tertutup yang terisolasi dari lingkungan.

Jasser Auda mengatakan bahwa sistem hukum Islam merupakan sistem yang terbuka. Prinsip openness (keterbukaan) penting bagi hukum Islam. Pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad tertutup hanya akan menjadikan hukum Islam menjadi statis.

Padahal ijtihad merupakan hal yang urgen dalam fiqh, sehingga para ahli hukum mampu mengembangkan mekanisme dan metode tertentu untuk mensikapi suatu persoalan yang baru supaya makhluk hidup tetap hidup dan eksis, ia harus memelihara suatu sistem keterbukaan begitu juga sebuah sistem.

Jasser Auda menawarkan dua cara agar menuju keterbukaan. Pertama, merubah pandangan dan kedua, pembaruan hukum dengan keterbukaan filosofis. Pembentukan world view atau

‘pandangan dunia’ dimulai dari segala hal di lingkungan, mulai dari agama, identitas diri, geografi dan lingkungan, politik, budaya, masyarakat, ekonomi dan Bahasa.

Hierarki yang saling mempengaruhi

(13)

(interrelated hierarchy), pada bagian ini Auda merujuk pada teori kategorisasi dalam ilmu kognitif sebagai upaya mendekajiankan strategi kategorisasi universal yang sesuai subyek yang dikaji.

Kategorisasi merupakan proses memperlakukan entitas yang terpisah, menuju ruang yang bersifat multidimensional. Kategorisasi merupakan salah satu aktivitas kognitif yang sangat mendasar dimana manusia mengerti informasi yang diterima, membuat generalisasi dan prediksi, memberi nama serta menilai beragam ide dan item.

Berdasarkan sains kognitif ada dua alternatif teoritik untuk menjelaskan kategorisasi yang dilakukan manusia di mana merepresentasikan metode kategorisasi itu sendiri. Metode alternatif ini adalah kategorisasi berdasarkan ‘feature similarity’ dan

‘mental concept’.

Kategorisasi berbasis fitur berupaya untuk menemukan kesamaan dan perbedaan natural antara dua entitas yang diukur berdasarkan sejauh mana keduanya cocok atau berbeda dalam kaitannya dengan fitur yang ditentukan terlebih dahulu.

Auda berupaya untuk menerapkan kategorisasi berdasarkan konsep pada dasar-dasar hukum Islam. Analisis yang dilakukan Auda diperluas tidak berhenti

pada hasil hierarki ‘struktur pohon’, akan tetapi diperluas untuk menganalisa hubungan saling mempengaruhi antara subkonsep-subkonsep yang dihasilkan.

Fitur hierarki-saling berkaitan (al- harakīriyyah al-mu’tamadah tabaduliyyan;

interrelated hierarchy), setidaknya memberikan perbaikan pada dua dimensi Maqasid al-Syari’ah. Yaitu; jangkauan Maqasid al-Syari’ah itu sendiri, dan jangkauan orang/objek yang diliputi Maqasid al-Syari’ah.

Pertama, perbaikan jangkauan Maqasid al- Syari’ah. Klasifikasi Maqasid al-Syari’ah kontemporer Jasser Auda dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1) Maqasid Umum (al-maqasid al-‘ammah), jenis Maqasid ini bisa ditelaah di seluruh bagian hukum Islam seperti keharusan dan kebutuhan atau rasionalitas, manfaat, keadilan dan moralitas.

2) Maqasid Spesifik (al-maqasid al- khashshah), Maqasid ini dapat diamati melalui bab-bab tertentu dalam hukum Islam, seperti kesejahteraan anak dalam hukum keluarga, perlindungan dari kejahatan dalam hukum kriminal; dan perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi.

3) Maqasid parsial (al-maqasid al-juz’iyyah), adalah parsial adalah maksud dibalik suatu nas atau hukum tertentu, seperti maksud meringankan kesulitan dalam membolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa, maksud memberi makan kepada

(14)

orang miskin, dalam melarang umat muslim menimbun daging selama idul adha (Hal. 36-37).

Ketiga tingkatan Maqasid al-Syari’ah tersebut harus dilihat secara holistik, tidak terpisah-pisah dan bersifat hierarkis sebagaimana dalam teori Maqasid al-Syari’ah klasik. Kesatuan Maqasid al-Syari’ah ini sepenuhnya harus dilihat dalam spektrum atau dimensi yang lebih luas. Inilah pintu masuk untuk melakukan pembaharuan dalam merespon persoalan-persoalan konteks zaman kekinian. Relasi hierarki digambarkan sebagaimana berikut:

Kedua, perbaikan jangkauan orang/objek hukum yang diliputi Maqasid al-Syari’ah.

Menurut Jasser Auda, agar syariat Islam mampu memainkan peran positif dalam mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dan mampu menjawab tantangan-tantangan masa kini, maka cakupan dan dimensi teori Maqasid al-Syari’ah seperti yang telah dikembangkan pada hukum Islam klasik harus diperluas (Hal.13). Yang semula terbatas pada kemaslahatan individu, harus diperluas dimensinya mencakup wilayah yang lebih umum; dari wilayah individu menjadi wilayah masyarakat atau umat manusia dengan segala tingkatannya, selanjutnya dijabarkan sebagai berikut:

Relasi antara tujuan-tujuan tersebut selanjutnya dijabarkan sebagai berikut:

c. Multidimensionalitas (multi-

Hifz ad-Din Perlindungan

Agama

Hifz al-Huriyyah al- I’tiqad Perlindungan

kebebasan berkeyakinan

Hifz al-Nafs Perlindungan Jiwa

Hifz al-Huquq al- Insan Perlindungan Hak-

hak Manusia

Hifz al-Mal Perlindungan Harta

Pewujudan Solidaritas Sosial

Hifz al-Aql Perlindungan Akal

Pewujudan berpikir ilmiah atau pewujudan semangat mencari ilmu pengetahuan

Hifz an-Nasl Perlindungan

Keturunan

Hifz al-Usrah Perlindungan

Keluarga

Hifz al-'Ird Perlindungan

Kehormatan

Perlindungan harkat dan martabat

manusia/ hak-hak asasi manusia

Hifz al- Huriyyah al-

I’tiqad

Hifz al- Huquq al-Insan

Hifz al- Usrah

Hifz al-Aql Hifz al-

'Ird Hifz al-

Mal

Maqasid Umum Maqasid Parsial

Maqasid Spesifik

(15)

dimensionality), dalam istilah sistem memiliki dua dimensi, yaitu pangkat (rank) dan tingkatan (level). Pangkat dalam kognisi multidimensi menunjukkan kuantitas dimensi dalam hal yang akan dibahas.

Adapun tingkatan merepresentasikan banyaknya tingkatan atau kadar proporsional yang mungkin ada pada suatu dimensi. Sebuah sistem bukanlah sesuatu yang tunggal, tetapi terdiri dari beberapa bagian yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Hukum Islam adalah sebuah sistem yang memiliki berbagai dimensi.

Prinsip ini digunakan Jasser Auda untuk mengkritisi akar pemikiran binary opposition di dalam hukum Islam.

Menurutnya, dikotomi antara qat’iy dan z}anniy telah begitu dominan dalam metodologi penetapan hukum Islam, sehingga muncul istilah qat’iyyu al-dilalah, qat’iyyu as-subut, qat’iyyu al-mantiq.

Paradigma oposisi binary harus dihilangkan untuk menghindari pereduksian metodologis, serta mendamaikan beberapa dalil yang mengandung pertentangan dengan mengedepankan aspek Maqasid (tujuan utama hukum). Misalnya, perbedaan- perbedaan dalil yang muncul dalam sunah tentang ibadah hendaknya dilihat dari sisi mempermudah (Maqasid li taysir);

perbedaan-perbedaan dalam hadis yang berkaitan dengan ‘urf harus dilihat dari

perspektif universality of law; serta keberadaan naskh sebaiknya dilihat sebagai penetapan hukum yang bersifat gradual.

Penggabungan fitur multidimensionalitas dengan pendekatan Maqasid al-Syari’ah adalah salah satu solusi atas dalil yang bertentangan (ta’arud}).

Multidimensionalitas menerapkan dua konsep dasar ushul fiqh yaitu kepastian dan pertentangan. Diperluasnya jangkauan pandangannya dengan memasukkan satu dimensi lagi, yaitu Maqasid al-Syari’ah, akan menjadi sebuah solusi. Karena, bisa jadi dalil- dalil yang terlihat berlawanan, sesungguhnya tidaklah demikian jika dilihat dan dinilai dari sisi yang berbeda. Jadi, kedua dalil yang dilihatnya berlawanan dapat menghasilkan suatu konteks yang baru.

d. Orientasi tujuan (purposefulness), Keenam fitur pendekatan Sistem diatas saling terkait, satu dengan yang lain. Fitur purposefulness adalah fitur yang menjangkau semua fitur dengan kebermaksudan.

Teori Maqasid al-Syari’ah disandingkan dengan standar dasar konsep yang penting, yaitu asas rasionalitas (rationality), asas manfaat (utility), asas keadilan (justice). dan asas moralitas (morality).

Jasser Auda menempatkan Maqasid al- Syari’ah sebagai prinsip mendasar dan metodologi fundamental dalam reformasi hukum Islam kontemporer. Mengingat efektivitas suatu sistem diukur berdasarkan tingkat pencapaian tujuannya, maka efektivitas

(16)

sistem hukum Islam dinilai berdasarkan tingkat pencapaian Maqasid al-Syari’ah-nya.

Dengan kata lain, sejauh mana tingkat problem solving-nya terhadap permasalahan tertentu:

apakah lebih efektif, lebih berdaya guna, dan lebih membawa manfaat yang besar bagi umat dan kemanusiaan.

Dengan adanya pembaruan dalam Maqasid al-Syari’ah kontemporer ini, memungkinkan Maqasid al-Syari’ah mengungguli historisitas keputusan fikih serta mencerminkan nilai dan prinsip umum dari nas} tersebut. Lalu, hukum- hukum detail dapat digali dari prinsip-prinsip nas} secara kulliyah, menyeluruh (Hal. 37).

Biografi singkat Jasser Auda

Jasser Auda lahir tahun 1966 di Kairo. Masa mudanya dihabiskan untuk Belajar agama di Masjid Al Azhar Kairo, dari tahun 1983 sampai 1992. Selama di Mesir, Jasser tidak pernah mengenyam pendidikan agama di lembaga formal, seperti Universitas al-Azhar.

Jasser hanya mengikuti pengajian dan halaqah di Masjid al-Azhar. Sembari aktif di pengajian, ia mengambil kuliah di Cairo University jurusan Ilmu Komunikasi: studi strata satu diselesaikan tahun 1988 dan gelar master diperoleh tahun 1993.

Usai mengantongi gelar MSc (Master of Science) dari Cairo University, Jasser melanjutkan pendidikan Doktoral bidang System Analysis di Universitas Waterloo, Kanada. Tahun 1996, Ia berhasil memperoleh gelar Ph.D dari Waterloo. Kemudian Ia kembali mengenyam pendidikan di Islamic American University konsentrasi Hukum

Islam, tiga tahun berikutnya (1999), gelar Bachelor of Arts (BA) untuk kedua kalinya diperoleh dari Islamic American University dalam bidang Islamic Studies.

Pada kampus yang sama Ia melanjutkan jenjang Master dengan konsentrasi hukum Islam dan selesai tahun 2004. Kemudian Ia pergi ke Inggris untuk melanjutkan jenjang Doktoral di Universitas Wales. Pada tahun 2008, Ia berhasil meraih gelar Ph.D bidang Hukum Islam (Ferdiansyah, 2018: 86).

Jasser Auda adalah anggota Associate Professor di Qatar Fakultas Studi Islam (QFIS) dengan fokus kajian kebijakan publik dalam program studi Islam. Jasser Auda adalah Anggota Pendiri persatuan Ulama Muslim Internasional yang berbasis di Dublin, anggota dewan akademik di Institute International Advenced System Research (IIAS), Kanada, Anggota Dewan Pengawas Global Pusat Studi Peradaban (GCSC), Inggris, Anggota Dewan Eksekutif Asosiasi Ilmuwan Muslim Sosial (AMSS) Inggris, Anggota Forum Perlawanan Islamofobia dan Recism (FAIR), Inggris dan konsultan untuk Islamonline.net.

Jasser Auda juga menjabat sebagai direktur sekaligus pendiri Maqashid Research Center dan Filsafat Hukum Islam di London, Inggris, dan menjadi Dosen tamu di berbagai negara.

Jasser memperoleh 9 penghargaan di antaranya: 1) Global Leader in Law certificate, Qatar Law Forum, 2009. 2) Muslim Student Association of the Cape Medal, South Africa, 2008. 3) International Centre for moderation Award, Kuwait, 2008. 4) Cairo University

(17)

Medal, 2006. 5) Innovation Award, International Institue of Advanced System Reseach (IIAS) Germany, 2002. 6) Province of Ontario, Canada 1994-1996. 7) Province of Saskatchewan, Canada 1993-1994. 8) Qur’an Memorization 1st Award, Cairo, 1991. 9) penghargaan Research Grants (sebagai penulis utama atau penulis pendamping dari beberapa universitas seperti American University of Syari’ah UAE 2003-2004), dan penghargaan bergengsi lainnya (Mu’amar dan Hasan, 2012:

389).

Analisis Efektivitas Praktik Pemanfaatan Dana Infak Masjid untuk Qarḍ di Masjid At-Taufiq Dalam Perspektif Maqasid al- Syari’ah Jasser Auda

Pinjaman Sosial Pahala Megah adalah bentuk tanggapan positif terhadap polemik yang dihadapi masyarakat sekitar Masjid At- Taufiq dengan tujuan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar Masjid At- Taufiq, dan suntikan dana tambahan untuk keperluan diri atau keluarga dalam keadaan tertentu.

Melalui Pinjaman Sosial Pahala Megah, syariat Islam mampu memainkan peran positif dalam mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dan mampu menjawab tantangan- tantangan masa kini.

Analisis Efektivitas Pinjaman Sosial Pahala Megah dilihat dengan fitur interrelated hierarchy dari perspektif sistem Maqasid al- Syari’ah Jasser Auda setidaknya menghasilkan dua gambaran besar konsep yang berkisar pada dua dimensi sistem. Yaitu; jangkauan objek

yang diliputi Maqasid al-Syari’ah, dan Maqasid al-Syari’ah Pinjaman Sosial Pahala Megah itu sendiri (Hal. 90).

Selaras dengan istilahnya, fitur al- harakīriyyah al-mu’tamadah taba>duliyyan atau interrelated hierarchy tidak memahami tujuan-tujuan hukum Islam atau Maqasid al- Syari’ah sebagai variable-variabel yang berbeda, namun kedua dimensi di atas dipahami sebagai sebuah kesatuan dalam hirearki yang saling berhubungan antara satu dan lainnya.

1. Dimensi jangkauan objek yang diliputi Maqasid al-Syari’ah

Dengan memperluas cakupan dan dimensi teori Maqasid al-Syari’ah yang dikembangkan pada hukum Islam klasik.

Konsep objek yang dijangkau sistem Maqasid al-Syari’ah dalam Pinjaman Sosial Pahala Megah bisa ditelaah dari bagaimana tujuan Hifz ad-Din (perlindungan terhadap agama) dalam praktiknya terwujud dengan Hifz al- Huriyyah al-I’tiqad (perlindungan kebebasan berkeyakinan).

Dalam praktiknya, Pinjaman Sosial Pahala Megah tidak hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh hanya masyarakat beragama Islam, tapi seluruh masyarakat sekitar Masjid At-Taufiq. Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman.

Dalam praktiknya, Pinjaman Sosial Pahala Megah diwujudkan dengan tujuan

(18)

mengusung Hifz al-Huquq al-Insan (perlindungan terhadap hak-hak manusia), pewujudan solidaritas sosial terhadap masyarakat sebagai bentuk Hifz al-Mal (penjagaan terhadap harta), pewujudan semangat mencari ilmu pengetahuan dengan wasilah bantuan sosial dan moral sebagai konsep besar dari Hifz al-Aql (perlindungan terhadap akal), meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar Masjid At-Taufiq, dan suntikan dana tambahan untuk keperluan diri atau keluarga dalam keadaan tertentu sebagai praktik dari konsep Hifz al-Usrah (perlindungan terhadap keluarga) dan Hifz al-'Ird (perlindungan kehormatan), perlindungan harkat dan martabat manusia/

hak-hak asasi manusia.

2. Dimensi jangkauan Maqasid al-Syari’ah Pinjaman Sosial Pahala Megah

Dalam konsep dimensi jangkauan Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda, Maqasid al-Syari’ah dalam Pinjaman Sosial Pahala Megah diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan holistik, yaitu:

a. Maqasid Umum (al-maqasid al-‘ammah) Awal berdirinya Pinjaman Sosial Pahala Megah ditujukan untuk mencapai dan mewujudkan kesejahteraan umat secara luas dunia dan akhirat. Dengan mengacu pada tujuan utama ini, pendekatan sistem Maqasid al-Syari’ah menjadi sandaran utama dalam menilai efektivitas praktik operasional Pinjaman Sosial Pahala Megah.

Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa

Pinjaman Sosial Pahala Megah dapat memenuhi enam tujuan dari Maqasid al- Syari’ah.

Namun, sistem ekonomi dikatakan sukses berjalan apabila bisa mensejahterakan masyarakatnya dan masyarakat dikatakan sejahtera apabila kebutuhan dasarnya tersebut terpenuhi. Jadi, Pahala Megah harus bisa mengupayakan hal ini untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu social welfare. Tujuan umum dari Pinjaman Sosial Pahala Megah adalah meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar Masjid At-Taufiq, dan suntikan dana tambahan untuk keperluan diri atau keluarga dalam keadaan tertentu.

Maqasid Spesifik (al-maqasid al- khashshah) Pinjaman Sosial berbasis Qard al- Hasan merupakan satu dari sekian program Pahala Megah dari pengurus Masjid At- Taufiq. Akad qard dipilih sebagai solusi yang tepat untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan dana tunai dibandingkan akad lainnya dikarenakan hal-hal spesifik yang ada dalam Qard al-Hasan. Diantaranya:

1) Dana pinjaman leluasa digunakan untuk apapun, tidak seperti mudarabah atau murabahah yang peruntukannya sebagai modal.

2) Dana dikembalikan dengan nominal yang sama, tidak perlu memberi tambahan ketika mendapatkan laba dari tasarruf dengannya.

3) Orang yang tidak memiliki harta tetapi ia mempunyai kemampuan untuk mengembangkannya. Dengan demikian, dapat menjadi bantuan harta untuk memulai

(19)

atau menambah produktifitasnya.

b. Maqasid Parsial (al-maqashid al-juz’iyyah) Tujuan tersirat dari akad qord} berbasis masjid pada Pinjaman Sosial Pahala Megah ialah meramaikan masjid dengan cara menghadiri dan senantiasa ada di dalam masjid, dalam hal ini administrasi Pinjaman Sosial dilaksanakan di teras masjid yang mana merupakan bagian dari masjid. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Apabila kalian melihat seseorang yang sering berada di masjid maka saksikanlah akan keimanannya”.

Memaksimalkan fungsi dari masjid sebagai pusat peradaban Islam mencakup ibadah, keilmuan, ekonomi bahkan politik. Efektivitas Fiqh dinilai berdasarkan tingkat pencapaian Maqasid al-Syari’ah-nya (Hal.98). Yang berarti dalam kasus ini, sejauh mana tingkat problem solving praktik pemanfaatan dana infak masjid untuk qarḍ, yaitu Pinjaman Sosial Pahala Megah terhadap permasalahan masyarakat: apakah lebih efektif, lebih berdaya guna, dan lebih membawa manfaat yang besar.

Dalam fitur sistem, efektivitas sesuatu dinilai dari pencapaian akan tujuannya. Maka, pemanfaatan dana infak di Masjid At-Taufiq untuk qard} dinilai sangat efektif dan fungsional dilihat dari tingkat problem solving dan tercapainya tujuan-tujuan dari praktik qard} tersebut di Masjid At-Taufiq.

Analisis Hukum Pemanfaatan Dana Infak Masjid Untuk Qarḍ Di Masjid At-Taufiq Pailus Dalam Perspektif Maqasid al- Syari’ah Jasser Auda

Selaras dengan konsep Keterbukaan (openness), di mana Jasser Auda menawarkan dua cara agar menuju keterbukaan. Pertama, merubah pandangan dan kedua, pembaruan hukum dengan keterbukaan filosofis.

Pembentukan world view atau ‘pandangan dunia’ dimulai dari segala hal di lingkungan, mulai dari agama, identitas diri, geografi dan lingkungan, politik, budaya, masyarakat, ekonomi dan bahasa (Hal. 89).

Maka, dalam hukum praktik Pinjaman Sosial Pahala Megah tidak lepas dari mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat sekitar Masjid At-Taufiq, dan Standar Pembinaan Manajemen Masjid merujuk kepada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2004 Tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid yang memiliki tujuan meningkatkan kualitas pembinaan dan bimbingan untuk terwujudnya kemakmuran masjid dan kehidupan umat yang rukun, moderat, dan toleran.

Dalam literatur fikih klasik, tasarruf harta untuk kemaslahatan khusus seperti peruntukan pembiayaan tidak diperbolehkan kecuali ada kaitannya dengan masjid atau orang-orang muslim secara umum (Al-Haytami: 208).

Namun, dengan konsep kognisi (cognitive nature), Jasser Auda menjelaskan walaupun nas bersifat ilahi, namun pemahaman akan nas sesuai dengan pandangan penafsiran atau pandangan dunia dari penafsir atau ahli fikih tersebut.

Syariat Islam merupakan wahyu (al-Qur’an

(20)

dan sunah) yang sempurna, sedangkan kesempurnaan menjalankan syariat bergantung pada upayanya yang selalu berkesinambungan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat dan mengarahkan manusia pada esensi kemanusiaan dan semangat kehidupan (Auda, 2006: 24).

Dengan fitur kemenyeluruhan (wholeness), metode pembacaan yang berkaitan dengan tema-tema, prinsip-prinsip didasarkan pada anggapan bahwa nas} merupakan suatu keseluruhan yang menyatu. Implikasinya pada ayat al-ahkam misalnya, akan meluas dari ratusan menjadi seluruh teks Al-Qur’an.

Begitu juga dengan ayat-ayat tentang aqidah, kisah nabi-nabi, kehidupan akhirat dan alam semesta akan menjadi bagian dari sebuah gambar utuh. Dengan harapan akan memainkan peranan dalam pembentukan hukum-hukum yuridis (Hal. 299).

Landasan hukum praktik Pinjaman Sosial Pahala Megah adalah Syariat Islam, yaitu prinsip hukum halal atau kebolehan dalam semua bentuk praktik muamalah sebagaimana firman Allah Swt “.. padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 275).

Segala sesuatu ciptaan Allah di alam semesta yang ditujukan untuk manusia dan kemaslahatannya adalah halal atau diperbolehkan, “...Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba- Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu

(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat".. (Q.S. Al-A’raf/7:32- 33).

Larangan terhadap sesuatu dalam Islam adalah disebabkan oleh kemudaratan yang terkandung dalam sesuatu yang dilarang.

Membuat sesuatu itu halal atau haram adalah kekuasaan prerogatif Allah Swt. Adapun yang mengarah kepada sesuatu yang dilarang atau tidak adil atau mengkondisikan ketidak- moralan individu atau sosial, kesenjangan, atau ketidak-adilan adalah juga termasuk haram (tidak diperbolehkan).

Perniagaan dalam Islam diatur dalam Syariat yaitu: transaksi harus berdasarkan pada persetujuan kedua belah pihak. “Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa/4: 29). Manfaat pertukaran harus dapat dirasakan oleh kedua belah pihak. Klausul kontrak dan implikasinya harus dihormati dan dilaksanakan.

Berbicara masyarakat pra sejahtera tidak lepas dari pengentasan kemiskinan sebagai pintu masuknya. Ekonomi merupakan aspek pembangunan yang memainkan peran penting, terutama dalam kaitannya dengan upaya membangun keadaban publik (public civility), masyarakat yang beradab. Ekonomi menjadi indikator untuk mengukur tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu masyarakat. Kelimpahan atau kelesuan

(21)

ekonomi suatu masyarakat membuka peluang bagi munculnya tindakan anomali, atau penyimpangan seperti berbagai kasus pencurian yang marak terjadi.

Dalam konsep ‘orientasi tujuan’

(purposefulness) Jasser Auda yang menjangkau semua fitur Maqasid al-Syari’ah dengan kebermaksudan. Maqasid al-Syari’ah disandingkan dengan standar dasar konsep yang penting, yaitu asas rasionalitas (rationality), asas manfaat (utility), asas keadilan (justice). dan asas moralitas (morality) (Hal. 290).

Pinjaman Sosial Pahala Megah sangat potensial dalam menangani masalah di atas, karena fungsi sosialnya yang diciptakan memang untuk mengatasi masalah tersebut.

Baik itu sifatnya darurat dan karitatif untuk manfaat yang konsumtif, atau sifatnya pemberdayaan yang mencoba mengangkat ekonomi masyarakat dengan instrumen Qard}

al-Hasan. “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 245).

Qard al-Hasan tidak berdampak negatif seperti kerugian atau kredit macet bagi Pahala Megah atau Masjid At-Taufiq sebagai basisnya, karena memang seluruh dana yang disediakan diperuntukkan untuk tunjangan ekonomi dan bantuan sosial untuk masyarakat sekitar. “Dan jika dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.

Dan menyedekahkan itu, lebih baik bagimu,

jika kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah/2:

280). Kegiatan ini memang harus dilakukan untuk mengangkat derajat masyarakat sekitar dari pra sejahtera menjadi umat yang sejahtera.

Dengan program Pinjaman Sosial Pahala Megah, pertama, Masjid At-Taufiq menjadi agent of social change khususnya di bidang ekonomi. Karena orientasinya memang diciptakan untuk mengangkat kesejateraan umat berbasis pada syariah. Kedua, program Pinjaman Sosial dapat dijadikan media dakwah karena diciptakan sebagai instrumen penerapan syariah di bidang muamalah.

Selanjutnya, dengan masjid sebagai basisnya, praktik qard di Masjid At-Taufiq ini bentuk implementasi da’wah bi al-hal dengan memaksimalkan potensi masjid sebagai pusat peradaban Islam dan meramaikan masjid,

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah/9:18).

Ketiga, karena dua sifat di atas, maka Masjid At-Taufiq melalui Pinjaman Sosial Pahala Megah selain menjadi problem solving keperluan atau kebutuhan mendesak dari masyarakat sekitar, tapi juga menumbuhkan usaha-usaha ekonomi produktif baru, atau melahirkan pelaku usaha baru “Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan

(22)

membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat” (H.R.

Muslim).

Dengan menjadikan konsep Maqasid al- Syari’ah Jasser Auda sebagai prinsip dan metodologi fundamental dalam reformasi hukum Islam kontemporer, yang memungkinkan Maqasid al-Syari’ah mengungguli historisitas keputusan fikih serta mencerminkan nilai dan prinsip umum dari nas tersebut. Lalu, hukum-hukum detail digali dari prinsip-prinsip nas secara kulliyah, menyeluruh. Hukum pemanfaatan dana infak Masjid At-Taufiq untuk qard adalah halal atau boleh, bahkan dianjurkan menimbang tujuan dari pemanfaatannya, dan dibutuhkannya untuk kemaslahatan baik secara ekonomi atau akidah dan syariat Islam masyarakat sekitar Masjid At-Taufiq.

Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, maka bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Pemanfaatan dana infak di Masjid At- Taufiq untuk qard dinilai sangat efektif dan fungsional dilihat dari tingkat problem solving dan tercapainya tujuan-tujuan dari praktik qard di Masjid At-Taufiq, yaitu Pinjaman Sosial Pahala Megah terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat sekitar Masjid At- Taufiq. Karena dalam fitur sistem, efektivitas sesuatu dinilai dari pencapaian akan tujuannya.

Hukum pemanfaatan dana infak Masjid At- Taufiq untuk qard dalam perspektif Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda adalah halal atau boleh, bahkan dianjurkan menimbang tujuan dari pemanfaatannya. Konsep ‘fitur sistem’

Maqasid al-Syari’ah Jasser Auda memungkinkan prinsip-prinsip nas digali secara kulliyah dan mengungguli historisitas keputusan fikih.

Daftar Pustaka

Abdul Kadir, Muhammad. 2004. Hukum dan Penulisan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Al-‘Asqalany, Ibnu Hajar. 2000. Bulugh al- Maram min Adillat al-Ahkam. Riyad: Dar Athlas.

Al-Haytami, Ibn Hajar. 2015. terj. Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro. Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah.

Al-Razi, Fakhruddin. 1986. Tafsir al-Razi.

Beirut: Dar Ibnu Asasah.

al-Syahir, Muhammad Amin. 1979. terj. Radd al-Mukhtār. Libanon: Dār al-fukad.

Al-Qolyubi & ‘Umairah, 2015. trans.

Hasyiyata al-Qolyubi wa ‘Umairah.

Mesir: Maktabah Taufiqiyyah.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta.

As-Sabuni, Muhammad Ali. 2004. terj.

Rawai’ul Bayan tafsir Ayat al-Ahkam.

Beirut: Dar Ibnu Asasah.

Auda, Jasser. 2015. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah. terj.

Jakarta: Mizan.

(23)

Auda, Jasser. 2013. al-Maqasid untuk Pemula.

terj. Ali Abdelmon’im. Yogyakarta:

Suka Press.

Auda, Jasser. terj. 2006. Fiqh Maqasid ; Inatah al-Ahkam al-Syar’iyah bi Maqasidiha, London: al- Ma’had al-Alami li al-Fikr al-Islami.

DISPERMADES DUKCAPIL PROV.

JATENG, “SIDesa Jawa Tengah”, Diakses 8 Agustus 2021, https://sidesa.jatengprov.go.id/desa/33.2 0.07.2014

Departemen Agama Republik Indonesia. 1994.

Al-Qur'an Dan Terjemahan. Edisi revisi.

Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo.

Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syari’ah. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ferdiansyah, Hengki. 2018. Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda. tangerang Selatan:

Yayasan Pengkajian Hadist el-Bukhori.

Gumanti, Retna. 2018. “Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem dalam Hukum Islam)” Jurnal Al- Himayah Vol. 2 Nomor 1: 97-118.

Kamaruddin. 2013. “Analisis Potensi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Masjid Di Kota Banda Aceh”

Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 13. No.

1: 58-70.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

“Kamus versi online/daring (dalam jaringan)”, Diakses 13 Juni 2020, https://kbbi.web.id/

Kementrian Agama Republik Indonesia. 2015.

Al-Qurán dan Terjemahnya. Bandung:

Syaamil Qurán.

Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2004. Standar Pembinaan Manajemen Masjid.

M. Abzar D. 2012. “Revitalisasi Peran Masjid Sebagai Basis Dan Media Dakwah Kontemporer” Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 13, No. 1: 109-121.

Mu’amar, M. Arfan & Abdul Wahid Hasan.

2012. Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, Yogyakarta: IRCiSoD.

Meilani, Cindi. 2019. “Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktek Peminjaman Uang Kas Majlis Ta’Lim Untuk Pemberdayaan Masyarakat (Studi Di Majlis Ta’lim Masjid Al-Hilal Desa Bumirejo Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu)”. Kajian. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Moleong, Lexy J. 2014. Metode Penulisan Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nasution, Arikunto S.a. 1998. Metode Penulisan Naturalistic Kulitatif.

Bandung: Tarsito.

Nur Baits, Ammi. “Ahliyah at-Tasharruf”,

Diakses 13 Juni 2021,

https://yufidia.com/2562-ahliyah-at- tasharruf.html.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2006, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dewan

(24)

Kesejahteraan Masjid.

Pratomo, Hilmy. ”Peran Teori Maqasid Asy- Syari’ah Kontemporer Dalam Pengembangan Sistem Penafsiran Al- Qur’an” Al-Mu‘ashirah Vol. 16, No. 1 (2019): 92-111.

Ramdani Nur F, Husni. 2018. “Efektivitas Pendayagunaan Dana Zakat Infaq Shadaqah Perspektif Maqashid Syariah Studi Pada Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid (Dpu-Dt) Yogyakarta”. Kajian.

Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Rusina, Yenny. 2020. “Pengelolaan Dana Masjid Al-Jihad Banjarmasin Untuk Pemberdayaan Ekonomi Perspektif Maqâshid Asy-Syarî’ah”. Tesis.

Universitas Islam Antasari Banjarmasin.

Sabil, Ibnu. 2002. Peran Mesjid Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Logos.

Sabiq, Sayyid. 1987. terj. Fiqhus Sunnah.

Beirut: Darul Kitab al-Arabi.

Saleh, al-Fauzan. 2005. Fiqih Sehari-hari.

Jakarta: Gema Insani Press.

Satori, Djam’an dan Aan Komariah. 2017.

Metodologi Penulisan Kualitatif.

Bandung: Alfabeta.

Sholihin, Ahmad Ifham. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sugiyono. 2014. Metode Penulisan Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Soemitro, Ronny Hanitjo. 2010. Dualisme Penulisan Hukum (Empiris & Normatif).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syukri Nur, Muhammad. 2020. Tinjauan Pustaka Sistematis. Klaten: Penerbit Lakeisha.

Yunus, Mahmud .Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyah, 2009.

Zawawi, Somad dkk.. 1993. Ensiklopedi Islam.

Jakarta: CV Anda Utama.

Zubaidah, Siti. 2018. “Analisis Dana Non Halal Dalam Pembiayaan Qordhul Hasan Perspektif Maqashid Al-Syari’ah”.

Kajian. Lampung: Fakultas Syari’ah Uin Raden Intan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian Nurmayanti & Harmanto (2017) mengemukakan bahwa strategi ecological citizenship salah satunya melalui yayasan mangrove center melalui program

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk membedah wacana yang digagas oleh para aktivis lingkungan hidup dalam teks pengantar mereka pada lima petisi terpilih di situs

Paradigma Biosentrisme berpendapat bahwa tidak benar apabila hanya manusia yang mempunyai nilai, akan tetapi alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri

Hasil uji beda mean kinerja perusahaan yang melakukan privatisasi menunjukkan bahwa setelah melakukan privatisasi kinerja keuangan perusahaan menunjukkan tidak ada

Beberapa sifat baik dari peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah antara lain : (1) mineralisasi bahan organik akan melepaskan unsur hara tanaman secara lengkap (N, P, K,

Herkes, cephey bekrleyecek bir gürültü işitmek için kulak kabartı yor .Porta, onun artık Rusya'da değil, Ren nehri üze rinde olduğunu, çünkü Ren'in çok kez Almanya'mı

Merupakan kata2 yang dicetak di formulir untuk menunjukkan siapa yang harus mengisi data dan apa yang harus diisikan.. Macam2-nya : box caption, yes/no check off caption,

Tässä tutkielman luvussa kootaan yhteen edellisessä pääluvussa esitellyt tutkimuksen kautta saadut tulokset sekä esitelleen niiden antamat vastaukset tutkielman