• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PROSEDUR KULTUR SEBAR MIKROSPORA ANTERA CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN PERLAKUAN ANTIBIOTIK PADA KONDISI LOKAL DI BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI PROSEDUR KULTUR SEBAR MIKROSPORA ANTERA CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN PERLAKUAN ANTIBIOTIK PADA KONDISI LOKAL DI BOGOR"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh : Lestari Budi Utami

G34101067

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

(2)

ABSTRAK

LESTARI BUDI UTAMI. Implementasi Prosedur Kultur Sebar Mikrospora Antera Cabai (Capsicum annuum L.) dengan Perlakuan Antibiotik pada Kondisi Lokal di Bogor. Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA dan SUHARSONO.

Prosedur kultur sebar mikrospora (KSM) berhasil dikembangkan di Wageningen, Belanda untuk mendapatkan tanaman haploid ganda dari kultivar cabai Indonesia. Implemetasi prosedur ini pada kondisi lokal di Bogor mengalami hambatan utama berupa kontaminasi yang disebabkan oleh mikrob. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh penggunaan antibiotik timentin, rifampisin, dan kombinasi keduanya untuk mengatasi masalah kontaminasi bakteri pada kultur. Kombinasi rifampisin (10 mg/l) dan timentin (400 mg/l) dapat mengatasi kontaminasi bakteri dengan meminimalkan pengaruh fitotoksik antibiotik. Embrio lengkap (embrio dengan kotiledon, hipokotil dan radikula) yang dihasilkan yaitu 2.7 embrio per kuncup bunga, yang merupakan 39%

dari total embrio. Embrio lengkap mampu berkecambah dan berkembang menjadi tanaman normal. Kemampuan dan kapasitas embriogenesis pada kultur ini selain dipengaruhi oleh tingkat fitotoksik antibiotik juga dipengaruhi oleh kisaran suhu praperlakuan dan inkubasi kultur.

ABSTRACT

LESTARI BUDI UTAMI. Implementation of Anthers Shed-Microspore Culture Protocol of Pepper (Capsicum annuum L.) with Antibiotics Treatment under Local Conditions of Bogor.

Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA and SUHARSONO.

A shed-microspore culture procedure was developed in Wageningen, the Netherlands for producing doubled haploid plants of Indonesian hot pepper. In order to implement this procedure under the local conditions of Bogor, the high chance of microbial contamination of culture is the main problem. Therefore, the application of single and combination treatment of antibiotics rifampicin and timentin were investigated to prevent bacterial contamination in culture. The combined treatment of rifampicin (10 mg/l) and timentin (400 mg/l) was successfully preventing the bacterial contamination and eliminating the phytotoxic effect in culture. The yield of complete embryo (embryo with cotyledons, hypocotile and radicle) was 2.7 embryos per flower bud, which was 39% from total embryo yield. Complete embryos were able to germinate and develop into normal plants. The embryogenesis capability and capacity in this system was not only affected by the phytotoxic of antibiotic, but also by the range of temperature in the pretreatment and culture incubation periods.

(3)

IMPLEMENTASI PROSEDUR KULTUR SEBAR MIKROSPORA ANTERA CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN

PERLAKUAN ANTIBIOTIK PADA KONDISI LOKAL DI BOGOR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Lestari Budi Utami

G34101067

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

(4)

Judul : Implementasi Prosedur Kultur Sebar Mikrospora Antera Cabai (Capsicum annuum L.) dengan Perlakuan Antibiotik pada Kondisi Lokal di Bogor

Nama : Lestari Budi Utami NRP : G34101067

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si Dr. Ir. Suharsono, DEA NIP 131851278 NIP 131664393

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP 131473999

Tanggal lulus :

(5)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan mulai bulan April 2005 sampai dengan Oktober 2006, di rumah kaca dan Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si. dan Dr.

Suharsono, DEA selaku pembimbing atas segala saran, bantuan, dan waktu yang telah diberikan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Rita Megia atas masukan untuk perbaikan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi beserta seluruh staf dan karyawan atas sarana, prasarana, dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pak Mulya, Mbak Pepi, Mbak Nia, Mbak Ara, Pak Asep, Pak Joni dan Mbak Yeni atas bantuan dan kerjasamanya.

Ucapan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam juga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta: Bapak, Ibu dan Mas Ari Iswantoro yang selalu memberi bantuan, perhatian, doa dan kasih sayangnya. Juga kepada para sahabat yang selalu memberi semangat: Rifka Liputo, Aditia Windiko, Mas Eka, Tessa, Tri Astha, Syendy dan Ika R. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Nana, Ruly, QQ, Erna, Made, Ahong dan teman-teman Bio 38, teman-teman Malabar 18, juga kepada rekan-rekan di lab yaitu Mbah, Amir, Popi, Ammay, Hakiim, Tuti, Joel, Prasna TPG 39, Lulut, Uzy, Jaya, Mas Ade, Mas Firdaus, Mbak Wiwid, Mbak Kiki, Mbak Muti, Mbak Agust, Mas Huda, Abang Yasier, Mbak Rida, Mbak Rina, Bu Ela, Mbak Zendi, Mbak Nana, Mbak Didi, Mbak Ratna, Pak Muzuni, Pak Hadi, Bu Srilis dan Bu Hanum atas segala bantuan, persahabatan serta diskusi yang sangat membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2007

Lestari Budi Utami

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Desember 1983 dari ayah Parino dan ibu Iswati.

Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 31 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum Biologi Dasar, Botani Umum dan Taksonomi Tumbuhan Berpembuluh. Penulis juga sempat aktif di organisasi mahasiswa HIMABIO sebagai anggota divisi Infokom pada tahun 2001/2002 dan pada organisasi kewirausahaan mahasiswa BIOWORLD sebagai sekretaris pada tahun 2003/2004. Penulis melaksanakan kegiatan praktik lapang pada tahun 2004 di perusahaan Bina Usaha Flora Cipanas.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vii

PENDAHULUAN ... 1

METODE Metode Kultur Sebar Mikrospora ... 1

Komposisi media kultur ... 1

Bahan tanaman dan sumber antera ... 2

Isolasi antera dan inkubasi... 2

Perlakuan Antibiotik dan Pengamatan Kultur... 2

Perlakuan ... 2

Pengamatan ... 2

HASIL Efektivitas Timentin dan Rifampisin dalam Mengatasi Kontaminasi Kultur ... 2

Fenomena Embriogenesis pada Kultur ... 3

Periode Kultur dan Suhu Inkubasi ... 4

PEMBAHASAN ... 5

SIMPULAN ... 6

DAFTAR PUSTAKA ... 6

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Pengaruh timentin dalam menghambat kontaminasi bakteri pada KSM antera cabai

haploid ganda ‘Tombak’ dan ‘Galaxy’... 3 2 Pengaruh rifampisin dalam menghambat kontaminasi bakteri pada KSM antera cabai

haploid ganda ‘Tombak’ dan ‘Galaxy’ ... 3 3 Pengaruh kombinasi rifampisin dan timentin dalam menghambat kontaminasi bakteri pada KSM antera cabai ‘Galaxy’... 3 4 Jumlah rataan embrio yang dihasilkan per cawan petri dari kultur ‘Tombak’ dan ‘Galaxy’

pada periode ketiga (Agustus-Oktober 2006) dengan suhu praperlakuan dan inkubasi 5oC hingga 10oC ... 4 5 Perbandingan rataan total embrio per cawan petri yang dihasilkan pada suhu praperlakuan dan inkubasi yang berbeda... 5

(9)

jumlah yang besar. Pada tahun 2004, luas pertanaman cabai di Indonesia adalah 194 588 ha dari luas total pertanaman sayuran sebesar 977 552 ha (Deptan 2005). Area pertanaman cabe merupakan yang terluas di antara komo- ditas sayuran lainnya. Namun produktivitas cabai di Indonesia masih rendah jika di- bandingkan dengan produktivitas di negara- negara Asia lainnya. Pada tahun 2004, produktivitas cabai di Indonesia hanya sebesar 5.66 ton/ha, sedangkan pada tahun yang sama, produktivitas cabai di Thailand sebesar 14 ton/ha, di India 9.18 ton/ha, dan di Cina bahkan mencapai 19.96 ton/ha (http://faostat.fao.org).

Produktivitas tanaman dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, diantaranya dengan menggunakan benih yang lebih berkualitas dan berdaya hasil tinggi, contohnya benih hibrida. Pembentukan benih hibrida mem- butuhkan galur murni, yang prosesnya secara konvensional melalui penyerbukan sendiri terkendali yang memerlukan 5 sampai 7 generasi. Oleh karena itu, teknik yang efisien untuk menghasilkan galur murni sangat diperlukan. Salah satu cara untuk men- dapatkan galur murni adalah melalui teknik kultur haploid yang dilanjutkan dengan peng- gandaan kromosom tanaman haploid.

Mikrospora (polen muda) dan polen dewasa merupakan sel gamet jantan tanaman yang bersifat haploid atau mengandung kromosom setengah dari jumlah yang terdapat dalam sel somatik. Walaupun mikrospora se- cara alami akan berkembang menjadi polen dewasa, ternyata secara in vitro dapat di- induksi untuk mengalami pembelahan sporo- fitik dan selanjutnya berkembang membentuk embrio. Proses ini disebut embriogenesis mikrospora atau embriogenesis polen (Powell 1990).

Embriogenesis mikrospora secara in vitro dapat diinduksi melalui dua cara, yaitu kultur antera pada media padat, misalnya untuk Capsicum annuum tipe paprika (Dumas de Vaulx et al. 1981) dan Helianthus (Nurhidayah et al. 1996) atau kultur isolasi mikrospora pada media cair, misalnya untuk Brassica napus (Telmer et al. 1992) dan Triticum aestivum (Indrianto et al. 1999).

Supena et al. (2006a) berhasil mengem- bangkan prosedur kultur haploid yang berbeda untuk cabai kultivar dari Indonesia, yaitu dengan cara mengkulturkan antera pada media dua-lapis (media cair di atas media padat).

selanjutnya mikrospora tersebut akan ber- kembang menjadi embrio, sehingga teknik ini disebut kultur sebar mikrospora (KSM).

Supena et al. (2006a) mengembangkan prosedur KSM ini di Wageningen, Belanda.

Dalam proses implementasi prosedur KSM di Indonesia, ternyata menghadapi beberapa hambatan, diantaranya faktor kontaminasi yang dapat menghambat pertumbuhan kultur atau bahkan menggagalkan kultur. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kontaminasi, diantaranya adalah sterilisasi permukaan eksplan dan penambahan anti- biotik ke dalam media yang digunakan.

Kendala yang seringkali muncul dalam penggunaan antibiotik untuk mengatasi kontaminasi oleh bakteri pada kultur jaringan tanaman adalah efek toksiknya terhadap tanaman (fitotoksik), terutama oleh antibiotik yang mekanisme kerja penghambatannya dengan cara mengganggu sintesis RNA (Falkiner 1998), seperti antibiotik rifampisin.

Sebaliknya, antibiotik seperti timentin yang mekanisme kerjanya lebih ke arah peng- hambatan sintesis dinding sel bakteri menim- bulkan efek fitotoksik yang lebih rendah (Falkiner 1998). Timentin bahkan dilaporkan dapat memberi efek yang positif dalam kultur in vitro beberapa tanaman, misalnya Nicotiana tabacum (Nauerby et al. 1997), Lycopersicon esculentum (Costa et al. 2000), dan Capsicum annuum (Supena et al. 2006b).

Dalam rangka menerapkan prosedur KSM antera cabai (Capsicum annuum L.) pada kondisi lokal di Bogor, penelitian ini ber- tujuan mempelajari pengaruh penggunaan antibiotik timentin, rifampisin, dan kombinasi keduanya untuk mengatasi masalah kon- taminasi kultur yang disebabkan oleh bakteri.

METODE

Metode Kultur Sebar Mikrospora

Komposisi media kultur. Media kultur yang digunakan adalah media dua-lapis, media cair di atas media padat. Media padat yang digunakan adalah media Nitsch (Nitsch

& Nitsch 1969) dengan penambahan maltosa 20 g/l, arang aktif 10 g/l dan agar-agar Gelrite 2 g/l. Komposisi media cair sama dengan media padat, tetapi tanpa arang aktif dan Gelrite, serta diperkaya dengan penam- bahan zeatin 2.5 µM dan asam indol-3-asetat 5 µM (Supena et al. 2006a). Untuk cawan petri berdiameter 6 cm, dibutuhkan 3 ml

(10)

media padat di bagian bawah, dan 3 ml media cair akan ditambahkan di atasnya menjelang kultur. Antibiotik timentin dan rifampisin digunakan dengan cara penambahan pada media cair saat kultur. Media padat MS ½ konsentrasi (Murashige & Skoog 1962) digunakan untuk mengecambahkan embrio yang terbentuk.

Bahan tanaman dan sumber antera.

Bahan tanaman yang digunakan adalah cabai merah besar haploid ganda ‘Tombak’ dan

‘Galaxy’ yang merupakan turunan dari hasil kultur sebar mikrospora (Supena et al. 2006a).

Pertanaman dilakukan dalam pot dengan media tanam berupa campuran tanah dan kasting dengan perbandingan 3:1. Pemelihara- an dilakukan seperti pertanaman cabai dalam pot pada umumnya dan diletakkan di alam terbuka (tidak di dalam rumah kaca). Kuncup bunga yang digunakan adalah yang mengandung lebih dari 50% mikrosporanya berada pada stadia uniseluler akhir (Supena et al. 2006a).

Antera dengan perkembangan mikrospora pada stadia uniseluler akhir dicirikan oleh kuncup bunga yang panjang mahkotanya sama dengan atau sedikit lebih panjang dari kelopaknya dan terdapat warna keunguan pada ujung antera (Dolcet-Sanjuan et al. 1997).

Kuncup bunga dimasukkan ke dalam wadah tertutup yang berisi kertas lembab, kemudian diberi praperlakuan berupa suhu 5sampai 10oC selama satu hari.

Isolasi antera dan inkubasi. Kuncup bunga didesinfeksi selama 1 menit dalam alkohol 70%, kemudian dibilas 2 kali dalam akuades steril. Kuncup bunga selanjutnya didesinfeksi selama 10 menit dalam NaOCl 2% dengan penambahan Tween-20 0.05%

(v/v), kemudian dibilas 3 kali dalam akuades steril. Mulai proses sterilisasi kuncup ini di- laksanakan pada kondisi steril di dalam laminar. Kuncup bunga dibuka dengan meng- gunakan pinset, kemudian antera dipisahkan dari filamen, putik dan kelopak bunga. Antera diletakkan pada media dua lapis sehingga mengapung pada permukaan media cair.

Kultur diinkubasi pada suhu 5 sampai 10oC selama seminggu kemudian dilanjutkan de- ngan suhu inkubasi 28oC, selalu dalam ke- adaan gelap.

Perlakuan Antibiotik dan Pengamatan Kultur

Perlakuan. Media kultur diberi tiga per- lakuan berbeda secara terpisah, yaitu (1) anti- biotik timentin, (2) antibiotik rifampisin, dan (3) kombinasi keduanya, masing-masing de- ngan 4 sampai 5 taraf konsentrasi. Timentin

diberikan dengan konsentrasi 0, 100, 200 dan 400 mg/l; rifampisin diberikan dengan konsentrasi 0, 5, 10, dan 20 mg/l. Pengaruh kombinasi antibiotik (rifampisin, timentin) diamati pada konsentrasi sebagai berikut:

(0,0); (10,0); (10,100); (10,200); (10,400) mg/l. Pada setiap cawan petri dikulturkan 6 buah antera (setara dengan satu buah kuncup bunga) yang diambil secara acak dari 6 bunga yang berbeda. Untuk setiap taraf perlakuan di- usahakan minimal 10 cawan petri. Karena di- jumpai kendala teknis, pelaksanaan kultur dalam penelitian ini dilakukan pada tiga periode berbeda, yaitu periode (1) Oktober 2005-April 2006, (2) Mei-Juli 2006, dan (3) Agustus-Oktober 2006.

Pengamatan. Tingkat kontaminasi kultur dan perkembangan antera diamati setiap minggu. Setelah kultur berumur 6 sampai 8 minggu, embrio yang terbentuk diamati dan dihitung. Embrio dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu embrio lengkap dan embrio tidak lengkap. Embrio lengkap adalah embrio yang berkembang baik, ditandai de- ngan adanya radikula, hipokotil, dan kotiledon, yang pada umumnya akan berkembang menjadi bibit yang tumbuh normal. Sedangkan embrio tidak lengkap adalah embrio yang tidak mempunyai kotiledon, yaitu embrio dengan radikula dan hipokotil maupun embrio dengan hanya radikula.

HASIL

Efektivitas Timentin dan Rifampisin dalam Mengatasi Kontaminasi Kultur

Penambahan antibiotik timentin 100 mg/l pada media dalam teknik kultur sebar mikro- spora (KSM) untuk cabai haploid ganda

‘Tombak’ dan ‘Galaxy’ telah efektif menekan kontaminasi kultur yang disebabkan oleh bak- teri. Kontaminasi akan semakin rendah dengan meningkatnya konsentrasi timentin yang digunakan, yaitu 200 dan 400 mg/l (Tabel 1).

Perlakuan timentin 400 mg/l pada kultur

‘Tombak’ bahkan dapat membuat kultur bebas kontaminasi. Perlakuan timentin 400 mg/l juga sangat efektif dalam menekan kontaminasi pada kultur ‘Galaxy’, karena telah mampu menekan kontaminasi sebesar 62.5%, yaitu dari 80% pada kontrol terkontaminasi, men- jadi hanya 30% kultur yang terkontaminasi pada perlakuan timentin 400 mg/l.

Perlakuan rifampisin (20 mg/l) dapat menghambat atau menahan pertumbuhan kontaminasi bakteri pada kultur ‘Tombak’

dan ‘Galaxy’ (Tabel 2). Perlakuan rifampisin 20 mg/l pada kultur ‘Tombak’ dapat me-

(11)

Tabel 2 Pengaruh rifampisin dalam meng- hambat kontaminasi bakteri pada KSM antera cabai haploid ganda

‘Tombak’ dan ‘Galaxy’

Kontaminasi* Konsentrasi

rifampisin (mg/l)

Tombak Galaxy 0 (kontrol) 25.0% (2/8) 61.5% (8/13) 5 25.0% (2/8) 53.8% (7/13) 10 25.0% (2/8) 61.5% (8/13) 20 12.5% (1/8) 41.7% (5/12)

*angka-angka di dalam kurung menunjukkan perbandingan jumlah cawan petri yang terkontaminasi terhadap total cawan petri

Tabel 1 Pengaruh timentin dalam mengham- bat kontaminasi bakteri pada KSM antera cabai haploid ganda ‘Tom- bak’ dan ‘Galaxy’

Kontaminasi* Konsentrasi

timentin (mg/l)

Tombak Galaxy

0 (kontrol) 33.3% (4/12) 80% (8/10) 100 8.3% (1/12) 50% (5/10) 200 7.7% (1/13) 30% (3/10) 400 0% (0/13) 30% (3/10)

*angka-angka di dalam kurung menunjukkan perbandingan jumlah cawan petri yang terkontaminasi terhadap total cawan petri

Tabel 3 Pengaruh kombinasi rifampisin (Rif) dan timentin (Tim) dalam meng- hambat kontaminasi bakteri pada KSM antera cabai ‘Galaxy’

Konsentrasi Rif + Tim (mg/l)

Kontaminasi* Rif 0 + Tim 0 (kontrol) 50% (5/10) Rif 10 + Tim 0 40% (4/10) Rif 10 + Tim 100 40% (4/10) Rif 10 + Tim 200 40% (4/10) Rif 10 + Tim 400 0% (0/10)

*angka-angka di dalam kurung menunjukkan perbandingan jumlah cawan petri yang terkontaminasi terhadap total cawan petri

nurunkan persentase kontaminasi hingga 50%

dibandingkan kontrol, yaitu 25% kultur ter- kontaminasi pada kontrol menjadi hanya 12.5% kultur yang terkontaminasi pada per- lakuan rifampisin 20 mg/l. Perlakuan rifam- pisin 20 mg/l pada kultur ‘Galaxy’ juga dapat menurunkan persentase kontaminasi sebesar 32%, yaitu 61.5% kultur terkontaminasi pada kontrol menjadi hanya 41.7% kultur yang ter- kontaminasi pada perlakuan rifampisin 20 mg/l.

Perbedaan efektivitas timentin dan rifam- pisin pada kultur ‘Tombak’ dan ‘Galaxy’ ter- jadi karena adanya perbedaan tingkat kontami- nasi di antara kedua genotipe tanaman. Pada penelitian ini, tingkat kontaminasi pada kultur

‘Galaxy’ lebih tinggi dibandingkan dengan kultur ‘Tombak’. Hal ini terlihat pada kontrol untuk perlakuan timentin dan rifampisin. Pada kontrol untuk perlakuan timentin, kultur

‘Tombak’ hanya terkontaminasi sebesar 33.3%

sedangkan kultur ‘Galaxy’ terkontaminasi hingga 80% (Tabel 1). Hal yang serupa juga terjadi pada kontrol untuk perlakuan rifam- pisin, kultur dengan eksplan ‘Tombak’ hanya terkontaminasi sebesar 25% sedangkan kultur dengan eksplan ‘Galaxy’ terkontaminasi hampir 2.5 kali lipat lebih besar, yaitu sebesar 61.5% (Tabel 2).

Perlakuan kombinasi rifampisin 10 mg/l dan timentin 400 mg/l terbukti dapat menjadikan kultur ‘Galaxy’ bebas kontaminasi (Tabel 3). Pada

kultur ‘Tombak’, efek perlakuan kombinasi rifampisin dan timentin tidak dapat terlihat pada penelitian ini karena baik pada kontrol maupun semua kombinasi perlakuan kultur tidak terkontaminasi.

Fenomena Embriogenesis pada Kultur Kultur sebar mikrospora antera cabai

‘Tombak’ dan ‘Galaxy’ berhasil dilakukan pada kondisi lokal di Bogor. Sebagian besar embrio yang dihasilkan adalah dari kultur periode ketiga, dengan kondisi suhu pra- perlakuan dan inkubasi 5 sampai 10oC.

Periode ini bertepatan dengan percobaan perlakuan kombinasi antibiotik rifampisin dan timentin. Rataan embrio yang dihasilkan pada percobaan ini, baik untuk ‘Tombak’ maupun

‘Galaxy’ disajikan pada Tabel 4.

Pengaruh kombinasi antibiotik rifam- pisin dan timentin dapat diamati pada kultur

‘Galaxy’. Rifampisin 10 mg/l menurunkan produktivitas embrio, baik produktivitas embrio lengkap, embrio tidak lengkap, mau- pun embrio total, sedangkan timentin dapat mengurangi efek negatif (fitotoksik) rifam- pisin terhadap embriogenesis mikrospora. Hal ini dibuktikan dengan penambahan timentin 100, 200, dan 400 mg/l pada rifampisin 10 mg/l yang memberi hasil peningkatan kembali produktivitas embrio. Hasil pengamatan kuali- tas embrio, dari 199 embrio ternyata 78 diantaranya (39% dari total) merupakan em- brio lengkap, dengan ciri memiliki radikula, hipokotil, dan kotiledon (Gambar 1B dan 1C-a).

Embrio lengkap ini akan tumbuh menjadi planlet normal setelah ditransfer ke media perkecambahan (Gambar 1D). Sedangkan sisanya (121 embrio atau 61% dari total) merupakan embrio tidak lengkap karena tidak memiliki kotiledon yang menjadi syarat untuk perkecambahan embrio serta pertumbuhan dan perkembangan tanaman lengkap se- lanjutnya (Gambar 1C-b).

(12)

Gambar 1 Kultur sebar mikrospora antera cabai: (A) antera dengan dinding yang membuka pada minggu ketiga setelah kultur; (B) embrio fase terpedo yang terbentuk pada minggu kelima setelah kultur; (C) dua kategori embrio yang mulai berkecambah pada minggu keenam: a. embrio lengkap, b. embrio tidak lengkap; (D) planlet normal yang ber- kembang dari embrio lengkap setelah ditransfer ke media perkecambahan MS ½. Bar A=1 mm, B=0.3 mm, C=1.5 mm, D=1 cm.

Periode Kultur dan Suhu Inkubasi

Kultur pada penelitian ini dilakukan dalam tiga periode isolasi dan inkubasi, yaitu (1) periode Oktober 2005-April 2006, (2) Mei-Juli 2006 dan (3) Agustus-Oktober 2006. Kultur periode pertama mengalami kontaminasi total karena alat laminar yang digunakan tidak ber- fungsi dengan baik, sehingga kondisi aseptik yang merupakan salah satu persyaratan untuk kultur jaringan tidak terpenuhi. Kondisi yang tidak aseptik ini mengakibatkan kultur ter- kontaminasi oleh cendawan maupun bakteri yang berasal dari udara di sekitar lingkungan saat mengkultur.

Kondisi laminar pada periode kedua sudah memadai untuk kultur dengan kondisi aseptik, sehingga kontaminasi yang berasal dari udara dapat dicegah. Pada kondisi aseptik seperti ini, kemungkinan terjadinya kontaminasi diharapkan hanya berasal dari eksplan tanaman. Kontaminasi inilah yang diupayakan untuk ditekan dengan penam- bahan antibiotik ke dalam media kultur.

Walaupun pada periode kedua ini kontaminasi sudah dapat ditekan dengan penambahan antibiotik timentin atau rifam- pisin, tetapi tingkat embriogenesis yang ter- jadi sangat rendah atau bahkan tidak di- Tabel 4 Jumlah rataan embrio yang dihasilkan per cawan petri dari kultur ‘Tombak’ dan

‘Galaxy’pada periode ketiga (Agustus-Oktober 2006) dengan suhu praperlakuan dan inkubasi 5sampai 10oC

Embrio lengkap Embrio tidak lengkap Total embrio Tanaman haploid ganda

Perlakuan rataan selang

data rataan selang

data rataan selang data Tombak*

Rif 0 + Tim 0 (kontrol) 0.1 (0-1) 1.1 (0-4) 1.3 (0-5)

Rif 10 + Tim 0 0 (0-0) 0.4 (0-1) 0.4 (0-1)

Rif 10 + Tim 100 0 (0-0) 0.3 (0-1) 0.3 (0-1)

Rif 10 + Tim 200 0.1 (0-1) 0.1 (0-1) 0.3 (0-1)

Rif 10 + Tim 400 0 (0-0) 0.1 (0-1) 0.1 (0-1)

Galaxy**

Rif 0 + Tim 0 (kontrol) 7.6 (2-5) 4.0 (3-15) 11.6 (5-20)

Rif 10 + Tim 0 1.7 (0-4) 2.0 (1-4) 3.7 (2-5)

Rif 10 + Tim 100 2.2 (0-7) 3.3 (1-6) 5.5 (0-13)

Rif 10 + Tim 200 2.0 (0-6) 2.2 (0-6) 4.2 (0-11)

Rif 10 + Tim 400 2.7 (0-7) 2.0 (0-6) 4.7 (1-11)

*data berdasarkan 7 petri yang tidak terkontaminasi

**data berdasarkan 6 petri yang tidak terkontaminasi, kecuali perlakuan Rif 0 + Tim 0 berdasarkan 5 petri yang tidak terkontaminasi

A B

C D

a

b

(13)

hasilkan embrio sama sekali. Masalah ini diduga akibat pengaruh kisaran suhu pra- perlakuan dan inkubasi yang diberikan cukup besar, yaitu antara 2 sampai 14oC.

Dugaan rendahnya embriogenesis pada periode kedua akibat kondisi suhu pra- perlakuan dan inkubasi pada tahap awal kultur dapat ditunjukkan dengan jelas pada perlakuan kombinasi rifampisin dan timentin yang di- lakukan pada dua periode yang berbeda, yaitu periode kedua dan ketiga. Perbedaan periode kultur yang prinsipnya karena berbeda kisaran suhu praperlakuan dan inkubasi yaitu antara 2 sampai 14oC dan 5sampai 10oC telah secara nyata menyebabkan perbedaan jumlah rataan embrio yang dihasilkan (Tabel 5).

Tabel 5 Perbandingan rataan total embrio per cawan petri yang dihasilkan pada suhu praperlakuan dan inkubasi yang berbeda

Rataan total embrio Suhu praperlakuan

dan inkubasi Tombak Galaxy 2sampai 14oC* 0 0.1 5sampai 10oC** 0.5 5.5 * periode kultur Mei-Juli 06 (periode kedua)

** periode Agsts-Okt 06 (periode ketiga) PEMBAHASAN

Kombinasi rifampisin (10 mg/l) dan timentin (400 mg/l) dalam penelitian ini ter- bukti dapat mengatasi kontaminasi bakteri pada kultur sebar mikrospora antera cabai pada kondisi lokal di Bogor. Walaupun pada penelitian ini rifampisin baru memperlihatkan efek penghambatan kontaminasi pada konsen- trasi 20 mg/l, tetapi untuk perlakuan kombina- si dengan timentin hanya digunakan konsen- trasi rifampisin 10 mg/l, karena pada studi Supena et al. (2006b) dengan penambahan rifampisin 20 mg/l pada KSM cabai tidak menghasilkan embrio.

Penggunaan timentin 100 mg/l sebenarnya sudah efektif menekan kontaminasi dan seiring dengan peningkatan konsentrasinya (200 dan 400 mg/l) semakin menekan kon- taminasi, tetapi penggunaan timentin sampai dengan 400 mg/l tidak menimbulkan masalah terhadap produktivitas embrio. Penambahan timentin 100, 200, dan 400 mg/l pada rifam- pisin 10 mg/l mengurangi efek fitotoksik rifampisin terhadap embriogenesis mikro- spora, ditandai dengan meningkatnya kembali produktivitas embrio, terutama embrio lengkap pada kultur ‘Galaxy’ (Tabel 4). Hasil ini sejalan dengan simpulan Supena et al.

(2006b).

Pada penelitian ini, timentin lebih efektif daripada rifampisin dalam menekan kon- taminasi. Rifampisin merupakan antibiotik yang lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram positif (Chanprame et al. 1996), sedangkan timentin aktif menghambat per- tumbuhan bakteri gram negatif (Nauerby et al. 1997). Berdasarkan data pada penelitian ini, diduga kontaminasi yang terjadi pada kultur lebih disebabkan oleh bakteri gram negatif, sehingga penggunaan antibiotik timentin menjadi lebih efektif.

Kondisi genotipe tanaman yang di- gunakan sebagai eksplan juga mempengaruhi tingkat kontaminasi kultur. Terlihat pada kontrol yang digunakan, tingkat kontaminasi pada ‘Galaxy’ jauh lebih tinggi daripada

‘Tombak’. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi tanaman ‘Galaxy’ merupakan inang bakteri yang lebih besar secara kuantitatif dibandingkan dengan ‘Tombak’ pada periode penelitian ini (Tabel 1 dan 2). Tetapi, dengan perlakuan kombinasi rifampisin 10 mg/l dan timentin 400 mg/l, kontaminasi pada kultur

‘Galaxy’ juga dapat diatasi.

Embriogenesis mikrospora cabai pada percobaan ini dapat terjadi akibat perlakuan cekaman suhu dingin (5sampai 10oC) selama tujuh hari. Hal ini berarti telah terjadi perubahan perkembangan gametofitik mikro- spora ke arah sporofitik. Tanpa adanya per- lakuan cekaman, mikrospora cabai pada kultur in vitro akan cenderung melanjutkan perkembangan gametofitik menjadi polen dewasa (Indrianto et al. 2004).

Menurut Johansson et al. (1982), perlakuan suhu dingin akan menurunkan konsentrasi asam absisat (ABA) di dalam kultur. Senyawa ABA bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan mikro- spora (polen muda) menjadi polen dewasa, sehingga penurunan ABA akan menghambat perkembangan gametofitik.

Kondisi optimal untuk praperlakuan kuncup bunga yang akan dijadikan eksplan kultur adalah suhu 4oC selama satu hari dan inkubasi tahap awal kultur idealnya pada suhu 9oC selama tujuh hari pertama (Supena et al. 2006a). Rendahnya embrio yang terbentuk pada periode kedua diduga lebih karena perlakuan suhu dingin yang kurang sesuai (2 sampai 14oC). Hal ini dibuktikan pada periode ketiga, tingkat embriogenesis lebih tinggi dengan perlakuan suhu dingin sebesar 5 sampai 10oC daripada periode sebelumnya (Tabel 5). Hasil ini memberi gambaran bahwa kisaran suhu praperlakuan

(14)

dan inkubasi pun sangat mempengaruhi kemampuan embriogenesis pada KSM cabai.

SIMPULAN

Kombinasi rifampisin (10 mg/l) dan timentin (400 mg/l) terbukti dapat mengatasi kontaminasi bakteri pada kultur sebar mikro- spora antera cabai pada kondisi lokal di Bogor dengan meminimalkan pengaruh fitotoksik antibiotik. Embrio yang dihasilkan pada cabai haploid ganda ‘Galaxy’ adalah 2.7 embrio lengkap per kuncup bunga. Embrio lengkap tersebut hanya 39% dari total embrio.

Embriogenesis pada kultur sebar mikrospora cabai selain dipengaruhi oleh tingkat fito- toksik antibiotik juga sangat dipengaruhi oleh kisaran suhu praperlakuan dan inkubasi kultur.

DAFTAR PUSTAKA

Chanprame S, Todd JJ, Widholm JM. 1996.

Prevention of pink-pigmented methylotrophic bacteria (Methylobacterium mesophilicum) contamination of plant tissue cultures. Plant Cell Rep 16: 222-225.

Costa et al. 2000. Influence of the antibiotic timentin on plant regeneration of tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) cultivars.

Plant Cell Rep 19: 327-332.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Statistik Pertanian 2005. Jakarta: Deptan.

Dolcet-Sanjuan R, Claveria E, Huerta A.

1997. Androgenesis in Capsicum annuum L. J Amer Soc Hort Sci 122: 468-475.

Dumas de Vaulx R, Chambonnet D, Pochard E.

1981. Culture in vitro d’anthères du piment (Capsicum annuum L.): amélioration des taux d’obtention de plantes chez différents génotypes par des traitements à +35oC (with abstract in English). Agronomie 1:

859-864.

Falkiner FR. 1998. The consequences of antibiotic use in horticulture. J Antimicrob Chemother 41: 429-431.

Indrianto A, Heberle-Bors E, Touraev A. 1999.

Assessment of various stresses and carbohydrates for their effect on the induction of embryogenesis in isolated wheat microspores. Plant Sci 143: 71-79.

Indrianto A, Semiarti E, Surifah. 2004.

Produksi galur murni melalui induksi embriogenik mikrospora cabai merah besar dengan stres. Zuriat 15: 133-139.

Johansson L, Andersson B, Eriksson T. 1982.

Improvement of anther culture technique:

Activated charcoal bound in agar medium in combination with liquid medium and elevated CO2 concentration. Physiol Plant 54: 24-30.

Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bio-assay with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15: 473-497.

Nauerby B, Billing K, Wyndale R. 1997.

Influence of the antibiotic timentin on plant regeneration compared to carbenicillin and cefotaxime in con- centrations suitable for elimination of Agrobacterium tumefaciens. Plant Sci 123: 169-177.

Nitsch JP, Nitsch C. 1969. Haploid plants from pollen grains. Science 163: 85-85.

Nurhidayah T, Horn R, Röcher T, Friedt W.

1996. High regeneration rates in anther culture of interspesific sunflower hybrids. Plant Cell Rep 16: 167-173.

Powell W. 1990. Environmental and Genetical Aspects of Pollen Embryogenesis. Di dalam: Bajaj YPS, editor. Biotechnology in Agriculture and Forestry, Vol. 12 Haploids in Crop Improvement I. Berlin:

Springer-Verlag. hlm. 45-65.

Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E, Custers JBM. 2006a. Successful development of a shed-microspore culture protocol for double haploid production in Indonesian hot pepper (Capsicum annuum L.). Plant Cell Rep 25: 1-10.

Supena EDJ, Muswita W, Suharsono S, Custers JBM. 2006b. Evaluation of crucial factors for implementing shed- microspore culture of Indonesian hot pepper (Capsicum annuum L.) cultivars.

Sci Hort 107: 226-232.

Telmer CA, Simmonds DH, Newcomb W.

1992. Determination of developmental stage to obtain high frequencies of embryogenic microspores in Brassica napus. Physiol Plant 84: 417-424.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

This evening is also often used for young men looking at their candidates (looking for girlfriends), and (3) the shift in the tradition after the marriage

By downloading this soft documents book Paranoia: High Programmers (MGP6672) By Gareth Hanrahan in the online link download, you are in the initial step right to do. This site

Skripsi Perlindungan Hukum bagi Pramuniaga yang Bekerja Shift Malam pada Indomaret 24 Jam di Kota Semarang ini mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan Hukum

For dense reconstruction semi-global matching is used and it is shown in section 5 how redundant stereo information can be used to automatically filter matching errors and

Hasil penelitian terkait berjudul Efektivitas Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Pada Pokok Bahasan Persamaan Kuadrat Ditinjau dari Minat Belajar Siswa

netral Tidak ada Mediator (dipilih oleh para pihak) Evaluator yang dipilih para pihak Pencari fakta yang dipilih oleh para pihak Hakim yang tidak dipilih oleh para