BAB II TEORI DASAR
2.1. Metode Magnetik Gradiometer
Magnetik Gradiometer merupakan metode geofisika yang menggunakan magnetometer dengan konfigurasi khusus untuk mengukur variasi kemagnetan di bawah permukaan bumi yang dangkal dalam satuan nano Tesla (nT) (Clay, 2001 dalam Turner, 2018).
Magnetik Gradiometer memanfaatkan medan magnet bumi untuk mendeteksi benda atau objek yang terkubur di dalam permukaan bumi, dengan menggunakan dua magnetometer yang dipisahkan secara vertikal dengan jarak tertentu. Kedua sensor dalam gradiometer sensitif terhadap kemagnetan bumi yang ada di sekitarnya, umumnya sensor yang lebih rendah diletakkan 2-3 meter di atas permukaan tanah untuk mendeteksi variasi kemagnetan bumi (Clay, 2001 dalam Turner, 2018). Ketika perbedaan dalam bacaan magnetometer atas dan bawah mendekati nol maka tidak ada perbedaan lokal dalam kekuatan medan magnet yang ada di sekitar lapangan survei. Metode magnetik gradiometer umumnya digunakan untuk mendeteksi objek yang terkubur dibawah permukaan bumi sehingga banyak digunakan dalam penelitian arkeologi.
2.1.1. Prinsip Dasar Metode Magnetik Gradiometer
Pada dasarnya terdapat dua teknik dalam metode magnetik gradiometer yang dinamakan total field gradiometry dan vector magnetic gradiometry. Adapun pada teknik yang pertama dilakukan pengukuran vertical gradient secara langsung dari medan magnet bumi dan intensitas total medan magnet dengan menggunakan dua sensor yang dipisahkan secara vertikal dengan jarak yang diketahui sehingga nilai gradien magnetiknya dapat ditentukan dari perbedaan intensitas magnetik total di antara dua sensor tersebut dan teknik lainnya adalah dengan mengukur multiple vector dari magnetometer yang dikombinasikan sehingga didapatkan nilai gradien magnetik
Dalam penelitian kali ini digunakan metode pengukuran vertical gradient menggunakan dua sensor proton magnetometer yang mengukur medan magnetik bumi dan dari kedua bacaan sensor tersebut dihitung nilai anomali gradien magnetik dengan membagi selisih kedua nilai intensitas magnetik yang terukur pada kedua sensor dengan jarak antar sensor. Ilustrasi dari akuisisi data magnetik gradiometer dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut :
Gambar 2. 1. Ilustrasi Pengukuran Metode Magnetik Gradiometer.
Dari gambar di atas terlihat bahwa terdapat dua sensor yang dipisahkan secara vertikal yang akan mengukur medan magnetik total pada lokasi pengukuran dan main unit yang akan menampilkan hasil bacaan yang terukur. Untuk mendapatkan
nilai anomali gradiometer maka digunakan persamaan sebagai berikut :
∆𝑇 = 𝑓𝑖𝑒𝑙𝑑 𝑙𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑐ℎ𝑎𝑛𝑛𝑒𝑙(𝑛𝑇)−𝑓𝑖𝑒𝑙𝑑 𝑢𝑝𝑝𝑒𝑟 𝑐ℎ𝑎𝑛𝑛𝑒𝑙 (𝑛𝑇)
𝐷𝑖𝑠𝑡𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑏𝑒𝑡𝑤𝑒𝑒𝑛 𝑠𝑒𝑛𝑠𝑜𝑟𝑠 (𝑚) (2.1.1) dimana :
∆T = Anomali gradiometer
field lower channel = Medan magnetik total pada sensor bawah (nT) field upper channel = Medan magnetik total pada sensor atas (nT) distance between sensors = Jarak antara kedua sensor (m)
2.1.2. Keunggulan dan Batasan Metode Magnetik Gradiometer
Setiap metode geofisika memiliki keunggulan dan batasan masing-masing, oleh karena itu penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang akan didapatkan. Berikut ini merupakan keunggulan dan batasan dari metode magnetik gradiometer :
a. Keunggulan Metode Magnetik Gradiometer
• Dapat dilakukan secara airborne dan surface.
• Meminimalisir aliasing.
• Mengidentifikasi batas struktur lebih detail (Sunderland, 2009).
• Sangat sensitif terhadap objek yang dekat dengan permukaan.
• Resolusi lebih tinggi.
• Dapat mengenali objek yang memiliki magnetisasi lemah.
• Gangguan yang jauh dari magnetometer (variability time / koreksi diurnal) dapat dihilangkan atau setidaknya berkurang secara signifikan dengan mengurangi simultan pembacaan kedua sensor dari satu sama lain, sehingga tanpa harus membuat stasiun base.
• Sangat berguna pada area geologi yang kompleks.
(Vonderosten – Woldenburg, 2011)
b. Batasan Metode Magnetik Gradiometer
• Jangkauannya lebih kecil dan dangkal.
• Sangat sensitif sehingga perubahan inklinasi sedikit pada instrumen dapat menyebabkan hasil yang salah (Schmidt dan Clark, 2000 dalam Vonderosten – Woldenburg, 2011)
2.1.3. Model Sintetik
Berdasarkan konsep metode gradiometer yaitu selisih dari bacaan dua sensor magnetometer yang dibagi dengan beda ketinggian, maka dibuat berbagai model sintetik untuk mengetahui bagaimana respon anomali pada kondisi yang dibuat. Kondisi pertama dibuat dengan bodi seluas 200 meter x
100 meter dan perbedaan ketinggian sebesar 25 meter dimana bodi pertama dibuat pada kedalaman 0-100 meter dan bodi kedua pada kedalaman 25-125 meter. Respon anomali dapat dilihat pada Gambar 2.2. berikut :
Gambar 2. 2. Respon Anomali dan Model Sintetik Dengan Kondisi Beda Ketinggian 25 Meter.
Dari gambar di atas terlihat bahwa respon anomali gradiometer menunjukkan batas antar bodi dengan lebih detail dibandingkan dengan respon anomali dari magnetic field biasa yang ditandai dengan lekukan dari batas ujung-ujung dari bodi tersebut lebih terlihat. Untuk melihat respon anomali terhadap beda ketinggian, maka dibuat model sintetik pula dengan ketinggian yang berbeda sejauh 100 meter, dengan kedalaman bodi pertama 0-100 meter dan kedalaman bodi kedua 100-200 meter. Adapun respon anomalinya dapat dilihat pada Gambar 2.3. berikut :
Gambar 2. 3. Respon Anomali dan Model Sintetik Dengan Kondisi Beda Ketinggian 100 Meter.
Dari gambar di atas terlihat bahwa pada model bodi pertama di kedalaman 0-100 meter menunjukkan respon anomali yang lebih detail dibandingkan dengan model bodi kedua pada kedalaman 100-200 meter dan respon anomali gradien magnetiknya pun memiliki hasil yang lebih detail daripada respon anomali magnetic field ditandai dengan lekukan di batas bodi pada anomali.
Selanjutnya dibuat model sintetik dengan kondisi dua bodi yang dipisahkan secara lateral untuk melihat pengaruh jarak antara dua bodi. Pada model sintetik ini dibuat nilai gradien magnetiknya memiliki beda ketinggian 25 meter dengan jarak antar bodi secara lateral sejauh 10 meter dan 400 meter.
Respon anomali dari pengaruh jarak secara lateral dapat dilihat pada Gambar 2.4. dan Gambar 2.5. berikut ini :
Gambar 2. 4. Respon Anomali dan Model Sintetik Dengan Kondisi Dua Bodi Beda Ketinggian 25 Meter dan Jarak Antar Bodi 10 Meter.
Gambar 2. 5. Respon Anomali dan Model Sintetik Dengan Kondisi Dua Bodi Beda Ketinggian 25 Meter dan Jarak Antar Bodi 400 Meter.
Dari kedua gambar di atas terlihat bahwa respon anomali gradiometer menunjukkan batas antar bodi secara signifikan sehingga dari beberapa respon anomali tersebut dapat disimpulkan bahwa metode gradiometer memiliki keunggulan menunjukkan respon anomali yang lebih detail untuk menentukan batas-batas struktur yang ada di bawah permukaan.
2.2. Metode Geolistrik
Metode geolistrik adalah salah satu dari beberapa metode geofisika yang ada dimana metode ini dapat mendeteksi aliran listrik di bawah permukaan bumi yang meliputi pengukuran arus, beda potensial dan elektromagnetik yang terjadi secara alami maupun dengan sumber buatan yaitu mengalirkan sumber arus listrik ke dalam bumi. Metode ini merupakan metode yang cukup populer dalam eksplorasi geofisika karena cukup baik untuk mengetahui keadaan bawah permukaan dengan berdasarkan variasi nilai resistivitas atau tahanan jenis yang cukup kontras terhadap sekitar untuk keperluan eksplorasi seperti air tanah dan panas bumi (Kanata & Zubaidah, 2008).
Penggunaan metode geolistrik pertama kali digunakan oleh Conrad Schlumberger pada tahun 1912. Adapun sistem kerja metode geolistrik adalah dengan mengukur beda potensial dari permukaan bumi pada titik-titik tertentu yang didapatkan dari menginjeksikan arus listrik ke bawah permukaan bumi. Injeksi arus listrik ini menggunakan sejumlah elektroda yaitu elektroda arus yang biasa disebut dengan AB serta elektroda potensial yang disebut MN. Hal ini ditujukan untuk menentukan distribusi resistivitas di bawah permukaan dan kemudian digunakan untuk menginterpretasi material-material yang ada di bawah permukaan bumi.
Metode geolistrik memiliki beberapa keunggulan diantaranya tidak bersifat destruktif ataupun merusak lingkungan, biayanya lebih murah, mudah dan cepat dalam pengoperasiannya, serta dapat mengidentifikasi kondisi bawah permukaan sampai kedalaman beberapa meter sehingga cukup banyak digunakan dalam survei geofisika (Supeno dalam Miswar, 2017).
2.2.1. Konsep Dasar Metode Geolistrik
Konsep dasar metode geolistrik resistivitas adalah Hukum Ohm.
Dimana pada tahun 1826 George Simon Ohm melakukan eksperimen untuk menentukan hubungan antara tegangan (V) pada penghantar dan arus (I) yang merambat melalui penghantar dalam batas-batas karakteristik parameter penghantar yang disebut sebagai resistansi (R) atau hambatan yang didefinisikan sebagai hasil bagi tegangan (V) dan arus (I), sehingga dapat dituliskan :
𝑹 = 𝑽
𝑰 (2.2.1)
atau
𝑽 = 𝑰. 𝑹 (2.2.2)
dimana :
V = adalah besar tegangan (Volt) I = adalah kuat arus (Ampere)
R = adalah resistansi atau hambatan (Ω)
Dalam metode geolistrik resistivitas terdapat konfigurasi dari pemasangan elektroda yang sangat berpengaruh dalam pengukuran resistivitas.
Dari tiap-tiap konfigurasi memiliki faktor geometri yang berbeda tergantung dari jarak antar elektroda yang digunakan pada saat pengukuran. Adapun solusi umum untuk nilai resistivitas semu dengan mempertimbangkan faktor geometri adalah :
𝝆 = 𝟐𝝅
(𝒓𝟏𝟏−𝒓𝟐𝟏−𝒓𝟑𝟏−𝒓𝟒𝟏)
∆𝑽
𝑰 (2.2.3)
𝝆 = 𝑲∆𝑽
𝑰 (2.2.4)
Dimana :
ρ = Resistvitas semu (Ωm) K = Faktor geometri
∆V = Beda potensial (Volt) I = Kuat arus (Ampere)
2.2.2. Konfigurasi Wenner
Pada metode geolistrik terdapat beberapa konfigurasi yang dapat digunakan dan salah satu dari konfigurasi yang ada ialah konfigurasi Wenner. Konfigurasi ini merupakan salah satu yang sering digunakan dalam eksplorasi dengan susunan jarak spasi sama panjang (r1=r4=a dan r2=r3=2a). Pada konfigurasi Wenner jarak antara elektroda arus dan elektroda potensial adalah sama (Telford dkk, 1990). Pengaturan dari elektroda konfigurasi wenner dijelaskan pada Gambar 2.6.
Gambar 2. 6. Bagan Elektroda Konfigurasi Wenner
Adapun setiap konfigurasi memiliki faktor geometri (k) yang berbeda- beda, dan untuk konfigurasi Wenner ini penurunan persamaan dari faktor geometri (k) adalah sebagai berikut :
𝑲 = 𝟐𝝅 [(𝟏
𝒓𝟏− 𝟏
𝒓𝟐) − (𝟏
𝒓𝟑− 𝟏
𝒓𝟒)]−𝟏 (2.2.5)
=
𝟐𝝅{𝟏
𝒓𝟏−𝟏
𝒓𝟐−𝟏
𝒓𝟑+𝟏
𝒓𝟒}
(2.2.6)
=
𝟐𝝅{𝟏
𝒂−𝟏
𝟐𝒂−𝟏
𝟐𝒂+𝟏
𝒂}
(2.2.7)
=
𝟐𝝅{𝟐
𝒂−𝟐
𝟐𝒂}
(2.2.8)
=
𝟐𝝅𝒂 (𝟐𝒂)𝟐(𝟐𝒂)−𝟐𝒂
(2.2.9)
=
𝟐𝝅𝒂 (𝟐𝒂)𝟒𝒂−𝟐𝒂
(2.2.10)
=
𝟐𝝅𝒂 (𝟐𝒂)𝟐𝒂
(2.2.11)
= 𝟐𝝅𝒂
(2.2.12)Sehingga persamaan dari nilai resistivitas semu dengan menggunakan konfigurasi Wenner adalah :
𝝆 = 𝟐𝝅𝒂∆𝑽
𝑰 (2.2.13)
2.3. Panas Bumi
Panas bumi (geothermal) ialah sumber daya alam yang berupa air panas atau uap yang terbentuk di dalam reservoir yang berada di bawah permukaan bumi melalui proses pemanasan air bawah permukaan oleh batuan beku panas (Winarsih, 2014). Dalam Pasal 1 UU No.27 Tahun 2003 tentang panas bumi disebutkan bahwa Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan.
2.3.1. Sistem Panas Bumi
Sistem panas bumi mencakup sistem hydrothermal yang merupakan sistem tata air, proses pemanasan dan kondisi sistem dimana air yang terpanasi
terkumpul. Sehingga sistem panas bumi memiliki persyaratan seperti air, batuan yang menjadi sumber panas, batuan yang menjadi sarang serta batuan penutup. Adapun sistem panas bumi dapat dilihat ilustrasinya pada Gambar 2.7. berikut ini :
Gambar 2. 7. Model Sistem Panas Bumi (Goff & Janik, 2000).
2.3.2. Komponen Sistem Panas Bumi
Menurut Goff & Janik (2000) komponen sistem panas bumi yang lengkap terdiri dari tiga komponen utama, yaitu adanya batuan reservoir yang permeable, adanya air yang membawa panas, dan sumber panas itu sendiri.
Komponen-komponen tersebut saling berkaitan dan membentuk sistem yang mampu mengantarkan energi panas dari bawah permukaan hingga ke permukaan bumi. Sistem ini bekerja dengan mekanisme konduksi dan konveksi (Hochstein & Brown, 2000).
a. Sumber panas
Sumber panas dari suatu sistem hidrotermal umumnya berupa tubuh intrusi magma. Akan tetapi terdapat juga sumber panas hidrotermal yang bukan berasal dari batuan beku melainkan dihasilkan dari peristiwa uplift basement rock yang masih panas, akibat adanya perlipatan atau patahan.
Perbedaan sumber panas ini akan berimplikasi pada perbedaan suhu reservoar panas bumi secara umum, juga akan berimplikasi pada perbedaan sistem panas bumi.
b. Batuan reservoar
Batuan reservoar adalah batuan yang memiliki kemampuan menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah yang besar dan signifikan. Dalam kata lain, batuan ini memiliki permeabilitas dan porositas yang baik dan ini sangat berpengaruh pada kecepatan sirkulasi fluida yang digunakan dalam sistem panas bumi. Batuan reservoar juga sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan fluida hidrotermal karena fluida hidrotermal akan mengalami reaksi dengan batuan reservoar yang akan mengubah kimiawi dari fluida tersebut. Dalam Nicholson (1993) dijelaskan bahwa batuan vulkanik, sedimen klastik, dan batuan karbonat umumnya akan menghasilkan fluida hidrotermal dengan karakter kimia yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
c. Fluida
Dalam Nicholson (1993) disebutkan bahwa terdapat empat macam asal fluida panas bumi, yaitu :
- Air meteorit atau air permukaan, yaitu air yang berasal dari presipitasi atmosferik atau hujan yang mengalami sirkulasi dalam hingga beberapa kilometer.
- Air formasi atau connate water yang merupakan air meteorit yang terperangkap dalam formasi batuan sedimen dalam kurun waktu yang lama. Air connate mengalami interaksi yang intensif dengan batuan yang menyebabkan air ini menjadi lebih saline.
- Air metamorfik yang berasal dari modifikasi khusus dari air connate yang berasal dari rekristalisasi mineral hydrous menjadi mineral yang kurang hydrous selama proses metamorfisme batuan.
- Air magmatik, disebutkan bahwa air magmatik terbagi menjadi dua yakni air magmatik yang berasal dari magma tetapi pernah menjadi bagian dari air meteorit dan juga air juvenil yang belum pernah menjadi bagian dari meteorit (Ellis & Mahon, 1977).
2.3.3. Manifestasi Panas Bumi
Manifestasi merupakan gejala di permukaan yang menjadi ciri terdapatnya potensi energi panas bumi di suatu daerah. Bukti kegiatan panas bumi dinyatakan oleh manifestasi yang berada di permukaan, menandakan bahwa fluida hidrotermal yang berasal dari reservoir telah keluar melalui bukaan-bukaan struktur atau satuan batuan dengan permeabilitas yang tinggi.
Adapun manifestasi dari panas bumi antara lain :
a. Tanah Panas (Warm Ground), yaitu adanya sumber daya panas bumi di bawah permukaan dapat ditunjukkan dari adanya tanah yang memiliki temperatur yang lebih tinggi dari tanah yang ada di sekitarnya. Hal ini terjadi karena adanya perpindahan panas secara konduksi dari batuan bawah permukaan ke batuan permukaan (Saptadji, N. M., 2002 dalam Broto, 2011).
b. Air Panas (Hot Springs), merupakan tanda adanya sumber panas bumi di bawah permukaan. Hal ini terbentuk karena adanya aliran air panas dari bawah permukaan melalui rekahan batuan. Hot Springs ini biasanya memiliki temperatur di atas 50°C dan biasanya agak asam, bila netral umumnya berasosiasi dengan sistem air panas jenuh dengan silika dan menghasilkan endapan sinter. Endapan teras travetin biasanya berhubungan dengan karbonat yang terkandung dalam fluida tersebut (Santoso, 2002 dalam Broto, 2011).
Temperatur cukup berpengaruh terhadap nilai kemagnetan dan resistivitas suatu medium. Seperti yang dikemukakan Dakhnov (1962) dalam Hersir dan Arnason (2009) yang menyebutkan temperatur akan berpengaruh terhadap nilai resistivitas air yang dapat dilihat pada persamaan berikut :
𝝆
𝒘= 𝝆𝒘𝟎 𝟏+𝜶(𝑻−𝑻𝟎)(2.2.14)
dimana,
ρw = Resistivitas air (Ωm)
ρw0 = Resistivitas fluida pada temperatur T0 (Ωm) α = Koefisien temperatur resistivitas