1 1.1 Latar Belakang
Cedera kepala adalah kondisi dimana struktur kepala mengalami benturan dari luar dan berpotensi menimbulkan gangguan pada fungsi otak. Beberapa kondisi pada cedera kepala meliputi luka ringan, memar dikulit kepala, bengkak, pendarahan, dislokasi, patah tulang tengkorak dan geger otak, tergantung dari mekanisme benturan dan parahnya cedera yang dialami.
Cedera kepala masih merupakan permasalahan kesehatan global sebagai penyebab kematian, disabilitas, dan defisit mental. Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian disabilitas pada usia muda. Penderita cedera kepala seringkali mengalami edema serebri yaitu akumulasi kelebihan cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang otak atau perdarahan intrakranial yang mengakibatkan meningkatnya tekanan intra kranial. (Kumar, 2013). Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Syahrir H.2012).
Traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Wijaya & Putri, 2013).
Cidera kepala adalah gangguan traumatik pada otak yang menimbulkan perubahan fungsi atau struktur pada jaringan otak akibat mendapatkan kekuatan mekanik eksternal berupa trauma tumpul ataupun penetrasi yang menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik maupun psikososial baik
sementara ataupun permanen (Dawodu., 2015 ; Brain Injury Association of America., 2012). Cidera kepala masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara karena dapat menyebabkan kematian, kecacatan, mengurangi waktu produktif seseorang karena melibatkan kelompok usia produktif dan mengakibatkan beban sosial ekonomi yang besar pertahun (Spencer, 2010; Tjahjadi, 2013). Biaya yang harus dikeluarkan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat kejadian cidera kepala untuk perawatan korban dengan cidera kepala lebih dari 60,43 juta dollar per tahun (Finkelstein., 2006 ; Faul., 2015).
Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 150.000 kasus cedera kepala. Dari jumlah tersebut 100.000 diantaranya mengalami kecacatan dan 50.000 orang meninggal dunia. Saat ini di Amerika Serikat terdapat sekitar 5.300.000 orang dengan kecacatan akibat cedera kepala. Data insiden cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000 populasi. Inseden cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per tahun ( Putri, D & Fitria, C N, 2018).
Prevalensi cedera kepala di Indonesia menurut dinas kesehatan adalah 11,9%, dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Gorontalo (17,9%) dan terendah di Kalimantan Selatan (8,6%). dan cedera kepala yang paling banyak adalah di daerah timur, yang menduduki urutan keduan adalah di Papua (15,7%), Sulut (15,3%), NTB (15,1%), dan NTT (15%) (Kementrian kesehatan, 2018).
Berdasarkan data dari riskesdas angka kejadian cedera kepala dari provinsi kalimantan selatan menduduki urutan paling terendah di indonesia dengan prevalensi cedera kepala berjumlah 8,6 % pada tahun 2018 sedangkan pada tahun 2016 berjumlah 13,8 %.
Berdasarkan data yang didapat dari rumah sakit umum daerah Ulin Banjarmasin kasus cedera kepala dari bulan Januari sampai bulan Agustus
2019 ada 466 kasus cedera kepala, dan hal ini menempati urutan pertama dalam kasus 10 besar penyakit bedah terbanyak di IGD RSUD Ulin Banjarmasin selama priode tersebut dan data pada tahun 2016 jumlah pasien cedera kepala dari bulan Januari sampai bulan Juni berjumlah 559 orang.
Pengelolaan cedera kepala adalah mengoptimalkan pemulihan dari cedera kepala primer dan mencegah cedera kepala sekunder. Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemia. Iskemia otak adalah suatu gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai ke suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang irreversibel. Metode dasar dalam melakukan proteksi otak adalah dengan cara membebaskan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat (Safrizal, Saanin, Bachtiar, 2013).
Pada cedera kepala terjadi pendarahan kecil-kecil pada permukaan otak yang tersebar melalui subtansi otak daerah tersebut dan bila area contusio besar akan akan menimbulkan efek massa yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Long, 2013).
Peningkatan intrakranial menyebabkan aliran darah ke otak menurun dan terjadi henti aliran darah ke otak/iskemia. Bila terjadi iskemia dan lebih dari 3 sampai 5 menit. Otak akan menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.
Pada iskemia serebral, pusat vasomotor testimulasi dan tekanan sistem meningkat untuk mempertahankan aliran darah yang disertai dengan lambatnya denyutan nadi dan pernafasan yang tidak teratur. Dampak terhadap modula oblongata yang merupakan pusat pengatur pernafasan terjadi gangguan pola nafas (Brunner & Suddart, 2012).
Oksigen merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh.
Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara ruangan dalam setiap kali bernapas. Penyampaian oksigen ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi sistem respirasi, kardiovaskuler, dan keadaan hematologis.
Adanya kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan (Anggraini & Hafifah, 2014).
Ketepatan pemberian oksigen khususnya dengan alat bantu kanul nasal diharapkan mampu mempertahankan suplai oksigen dalam tubuh yang adekuat. Oleh karena itu, perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan dapat memberikan terapi oksigen sesuai standar operasional prosedur oksigenasi.
Apabila perawat dalam memberikan terapi oksigen menggunakan kanul nasal tidak dilakukan sesuai dengan SOP oksigenasi maka akan mengakibatkan pasien sesak, sianosis, pucat, pusing dan keletihan (Djojodibroto, D. 2015).
Terapi oksigen menggunakan kanul nasal dapat meningkatkan konsentrasi oksigen dalam tubuh. Setiap satu liter pemberian terapi oksigen menggunakan kanul nasal dapat meningkatkan fraksi oksigen sebesar 4% (Berman et al.
2013).
Pemberian terapi oksigen menggunakan kanul nasal dengan kecepatan aliran 3 lpm dapat meningkatkan saturasi oksigen rata-rata 1,77% sedangkan pemberian terapi oksigen dengan kecepatan aliran 4lpm dapat meningkatkan saturasi oksigen rata-rata mencapai 3,33%. Ada pengaruh pemberian kecepatan aliran oksigen terhadap perubahan saturasi oksigen pada pasien dengan cedera dengan p-value 0,001. Pemberian terapi oksigen enggunakan kanul nasal dengan kecepatan aliran 2 lpm dapat meningkatkan saturasi oksigen sebesar 2,2% dan kecepatan aliran 3 lpm dapat meningkatkan saturasi oksigen sebesar 2,9% (Khalid, M. A. 2014).
Saturasi oksigen adalah ukuran banyaknya persentase oksigen yang mampu dibawa oleh hemoglobin. Oksimetri nadi merupakan alat non invasif yang digunakan untuk mengukur saturasi oksigen darah arteri pasien yang dipasang pada ujung jari, ibujari, hidung, daun telinga atau dahi. Oksimetri nadi dapat mendeteksi hipoksemia sebelum tanda dan gejala klinis muncul. Kisaran normal saturasi oksigen adalah >95-100%. Pulse oximetry (oksimetri nadi) merupakan alat pemantauan saturasi paling bermanfaat yang tersedia saat ini, sehingga menjadi metode pilihan untuk pemantauan oksigenasi darah arteri secara berkesinambungan. Pulse oximetry digunakan sebagai standar untuk memonitor hipoksemia dan sebagai pedoman dalam pemberian terapi oksigen pada pasien (Berman et al. 2013).
Berdasarkan data dan uraian diatas peneliti tertarik meneliti perbedaan saturasi oksigen terhadap pemberian terapi oksigen nasal kanul pada pasien cedera kepala di IGD RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2019.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu “Apakah terdapat perbedaan saturasi oksigen terhadap pemberian terapi oksigen nasal kanul pada pasien cedera kepala di IGD RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2019 ?”.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan saturasi oksigen terhadap pemberian terapi oksigen nasal kanul pada pasien cedera kepala di IGD RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2019.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitin ini bertujuan :
1.3.2.1 Mengetahui saturasi oksigen pasien cedera kepala sebelum diberikan terapi oksigen nasal kanul di instalasi gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2019
1.3.2.2 Mengetahui saturasi oksigena pasien cedera kepala sesudah diberikan terapi oksigen nasal kanul di instalasi gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2019.
1.3.2.3 Menganalisis perbedaan saturasi oksigen pasien cedera kepala sesudah diberikan terapi oksigen nasal kanul di instalasi gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2019.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dan sebagai bahan masukan bagi rumah sakit.
1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan dengan adanya penelitian ini memungkinkan bagi perawat maupun mahasiswa yang praktik dapat melaksanakan pemberian terapi oksigen dalam meningkatkan saturasi oksigen pasien cedera kepala.
1.4.3 Bagi Institusi pendidikan
Penelitian ini membantu dalam memberikan informasi dan menambah referensi pada perpustakaan serta pengetahuan kepada mahasiswa sebagai calon perawat.
1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai masalah oksigenasi pada pasien dengan cedera kepala.
1.5 Penelitian Terkait
1.5.1 Arief Hidayat (2013) melakukan penelitian dengan judul pengaruh terapi oksigen terhadap mean arterial pressure (MAP) pada pasien
cedera kepala di igd Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokert tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi oksigen terhadap mean arterial pressure (MAP). Desain penelitian yang digunakan adalah desain Pre Eksperiment dengan one-Group Pre-Post Test. Dengan teknik pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling dengan responden sebanyak 30 orang. Hasil penelitian menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah pemberian terapi oksigen dengan nilai t tabel 2,045 (sig 5%) dan perbedaan skor MAP pasien cedera kepala sebelum dan sesudah pemberian terapi oksigen X = 9,600, t = 6,160, dan nilai P value 0,000.
1.5.2 Ayu Lintang Putri (2014) melakukan penelitian dengan judul hubungan trauma kepala ringan sampai sedang dengan vertigo di Rsud Dr.Moewardi Surakarta tahun 2014 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan trauma kepala ringan sampai sedang dengan vertigo. Desain penelitian yang digunakan adalah desain cross sectional. Dengan teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling dengan responden sebanyak 50 orang sampel yang terbagi menjadi 30 sampel trauma kepala ringan sampai sedang dan 20 sampel non-trauma kepala. Setelah dilakukan analisa data dengan menggunakan uji chi square, di dapatkan hasil p=0,0009 dengan p<0,05.
1.5.3 Satria Bagos Adi Putra (2016) melakukan penelitian ini dengan judul Gambaran penanganan pasien cedera kepala di instalasi gawat darurat Rsu Pku Muhammadiyah Bantul tahun 2016 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penanganan pasien cedera kepala di instalasi gawat darurat. Desain penelitian ini menggunakan kuantitatif non eksperimental. Dengan teknik pengambilan sampel menggunakan nonprobility sampling dengan jenis convenience sampling dengan responden sebanyak 25 orang. Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam penanganan dengan waktu tanggap 1 menit, lama
penanganan paling banyak 30 menit 5 orang (20%) umur >25 tahun, responden laki-laki 18 orang (72%) kegawatan kategori ringan 18 orang (72%).