KARAKTER FISIS KULIT DOMBA SAMAK NABATI MENGGUNAKAN BAHAN PENYAMAK GAMBIR (UNCARIA GAMBIR)
Elis Nurbalia*, Prasetyo Hermawan
Staf Pengajar Politeknik ATK Yogyakarta, Program Studi Teknologi Pengolahan Kulit Jl. Ring Road Selatan,Glugo, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta
*Penulis korespondensi. Telp. +62 274 383727, Fax. +62 274 383727 e-mail : [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the physical character of vegetable tanned sheep using gambir (uncaria gambir). Twelve pieces of sheep pikel skin were tanned using 25% vegetable tanning material from three types of gambir (A, B, C) and two kinds of tanning formulations ((Std) and (Std + Aux)). Skin products were tested for physical characteristics (tensile strength, elongation, tear strength, softness and shrinkage temperature). Furthermore the test results were compared with two standard leather products, namely; standard 1 (SNI 06-0237-1989: standard for lining leather) and standard 2 (SNI 4593: 2011: standard for jacket leather). The use of all types of gambir and tanning formulations has produced skin that pass the standards of skin tensile strength, standard 1 (minimum 75 kg / cm2) and standard 2 (minimum 150 kg / cm2). The results of the skin elongation test showed that only the use of gambier A pass the standard 1 (maximum 25%) and only the use of gambier C with tanning formulations (Std + Aux) that did not pass standard 2 (maximum 60%). The results of the use of gambir A produced the highest tensile / elongation ratio, 12.16 kg / cm2for the tanning formulation (Std) and 10.42 kg/cm2for the formulation (Std + Aux). Skin tear strength was not required by standard 1 and all skins pass standard 2 (minimum 12.5 kg / cm). Skin softness was not required by standard 1 and all skins do not pass standard 2 standards (5.0-7.6 mm). The use of gambier B results the highest temperature shrinkage of skin, this was influenced by a high ratio t/nt (1.77) and low gum content (6.15%), the addition of auxiliaries (penetrator and sulphate oil) in the formulation tanning (Std + Aux) increases shrinkage temperature the skin from 760C to 780C.
Keywords: leather physical characteristics, vegetable tannage, gambir
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter fisis kulit domba samak nabati menggunakan bahan penyamak gambir (uncaria gambir). Kulit pikel domba sejumlah 12 lembar disamak menggunakan 25 % bahan penyamak nabati dari tiga macam gambir (A, B, C) dan dua macam formulasi penyamakan ((Std) dan (Std+Aux)). Produk kulit diuji karakter fisisnya (berupa;
kekuatan tarik, kemuluran, kekuatan sobek, kelemasan dan temperatur kerut). Selanjutnya hasil uji dibandingkan dengan dua buah standar produk kulit, yaitu; standar 1 (SNI 06-0237-1989: standar kulit lining) dan standar 2 (SNI 4593:2011: standar kulit jaket). Penggunaan semua jenis gambir dan formulasi penyamakan telah menghasilkan kulit yang memenuhi standar kekuatan tarik, yaitu;
standar 1 (minimal 75 kg/cm2) dan standar 2 (minimal 150 kg/cm2). Hasil uji kemuluruan kulit, menunjukkan bahwa hanya penggunaan gambir A yang memenuhi standar 1 (maksimal 25 %) dan hanya penggunaan gambir C dengan formulasi penyamakan (Std +Aux) yang tidak memenuhi standar 2 (maksimal 60%). Penggunaan gambir A menghasilkan kulit dengan rasio kekuatan tarik /kemuluran paling tinggi, yaitu 12,16 kg/cm2 pada formulasi penyamakan (Std) dan 10,42 kg/cm2 pada formulasi (Std+Aux). Kekuatan sobek kulit tidak dipersyaratkan pada standar 1 dan semua kulit memenuhi standar 2 (minimal 12,5 kg/cm). Kelemasan kulit tidak dipersyaratkan pada standar 1 dan semua kulit tidak memenuhi standar standar 2 (5,0–7,6 mm). Penggunaan gambir B menghasilkan temperatur kerut kulit yang paling tinggi, hal ini dipengaruhi oleh tingginya rasio
t/nt (1,77) dan rendahnya kandungan gum (6,15%), penambahan auxiliaries (penetrator dan minyak sulfat dan bahan samak alumunium) pada formulasi (Std+Aux) menaikkan temperatur kerut dari 760C menjadi 780C.
Kata kunci : karakter fisis kulit, samak nabati, gambir
PENDAHULUAN
Tanaman gambir (uncaria gambier) seolah kurang populer dikenal masyarakat sebagai komoditi unggulan dari Indonesia dibandikan dengan kelapa sawit dan karet, tetapi ternyata 80% perdagangan gambir dunia berasal dari Indonesia, terutama berasal dari Propinsi Sumatra Barat (Laksmono dkk., 2012).
Gambir menurut Isnawati, dkk. (2012) adalah sejenis getah yang dikeringkan yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan bernama uncaria gambir. Pemanfaatan gambir diantaranya sebagai; ramuan makan sirih, astrigen, antiseptik, obat sakit perut, bahan pencampur kosmetika dan penyamak kulit.
Secara umum proses pengolahan kulit dibagi dalam empat tahap, yaitu;
beam house operation, penyamakan / tanning, pasca tanning dan finishing (Purnomo, 1985). Tujuan penyamakan kulit untuk; menstabilkan kulit dari enzim pendegradasi, menaikkan ketahan kulit terhadap bahan kimia, menaikkan temperatur kerut kulit dan meningkatkan ketahanan fisis kulit. Bahan penyamakan kulit yang digunakan antara lain; mineral, nabati, aldehid, minyak dan kombinasi.
Pada saat ini hampir 80% penyamakan kulit dilakukan menggunakan bahan penyamak mineral, khususnya garam krom sulfat. (anonim, 1990 dan anonim, 2007)
Penyamakan nabati / vegetable tanning adalah pengolahan pada kulit dengan cara merendamnya atau memutarnya dalam larutan bahan penyamak nabati, dengan maksud menstabilkan sifat kulit (Anomius, 1980). Bahan penyamak nabati terbagi menjadi dua tipe, yaitu; bahan penyamak nabati kondensasi / catechol tannin dan bahan penyamak nabati terhidrolisa / pyrogallol tannin (Thortensen, 1993). Zat penyamak nabati kondensasi mempunyai sifat;
membesar ukuran molekulnya ketika dipanaskan dalam larutan asam, terdispersi jika ditambahkan alkali, mudah teroksidasi dan berubah berwarna merah, berwarna hijau jika ditambah garam besi. Bahan penyamak nabati dari quebraco, mimosa, watlle dan gambir merupakan mengandung zat penyamak nabati terkondensasi.
Kandungan pada ekstrak bahan penyamak nabati berdasarkan berat molekulnya (BM) dibagi menjadi tiga golongan, yaitu; non tannin (BM < 500), tannin (BM 500 s/d 3000) dan gum (BM> 3000) (Covington, 2009). Menurut Sarkar (1991), bahan penyamak nabati merupakan ekstrak yang sangat heterogen, tidak hanya mengandung tannin tetapi juga mengandung non tannin yang kandungannya sangat bervariasi tergantung dari jenis bahan penyamaknya. Zat non tannin mengandung glukosa, asam gallic, garam mineral dan asam organik lainnya. Zat non tannin tidak mempunyai kemampuan menyamak kulit, tetapi sifat dan kandungan jumlahnya berpengaruh penting pada karakter fisika dan kimia kulit samak. Zat non tannin yang terdistribusi dalam kulit akan memberikan pegangan / filling touch yang lunak pada kulit finish / leather. Gambir dikenal pula sebagai catechu yang merupakan turunan dari derivat catechol phlorogluchol dengan kandungan tannin kering berkisar 35-45%, yang dalam proses penyamakan akan menghasilkan kulit yang lembut (Anonim. 2011).
Pada reaksi antara tannin dengan kolagen kulit, maka ikatan kimia utama / primer terjadi antara hidrogen polifenol tannin dengan oksigen gugus karboksil pada rantai utama polipeptida kolagen kulit. Sedangkan ikatan kovalen sekunder terjadi antara polifenol pada tannin dengan gugus amina polipeptida kolagen kulit (radikal asam amino; lisin dan arginin).
Gambar 1 . Model interaksi antara polifenol tannin dengan kolagen kulit (Covington, 2009)
Menurut Thorntensen (1993), terdapat tiga faktor yang berpengaruh dalam proses penyamakan nabati yaitu; pH, konsentrasi dan temperatur, dimana ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi karakter koloid dan reaksi kimia molekul
tannin. Menurut (anonim, 1976) faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan penyamakan nabati dan karakter kulit samak, yaitu; keseimbangan elektrolit, diffusi (gerakan mekanik, konsentrasi zat penyamak, temperatur) dan fiksasi zat penyamak (pH, konsentrasi garam, ukuran partikel molekul).
Tabel 1. Kebutuhan bahan penyamak nabati pada proses pengolahan kulit (Anonim, 2007)
No. Jenis Kulit Kebutuhan (%)
No. Jenis Kulit Kebutuhan (%) 1 Sole leather 33 - 40 5 Bag and
upholstery
20 - 25 2 Insole Leather 25 - 30 6 Upper leather 20 - 25 3 Combination
tanned bottom leather
30 - 33 7 Sheep and gat skin
(linning leather)
15 – 20
4 Hardness and technical leather
28 - 30 8 Skiver 12 -18
Pengunaan bahan penyamak krom mempunyai potensi terhadap tercemarnya lingkungan / ekosistem, keberadaan senyawa krom kadar tinggi dalam limbah cair industri penyamakan kulit berdampak pada pencemaran lingkungan (Suyasmi, 2015). Industri pengolahan kulit berusaha mencari dan menggunakan bahan penyamak pengganti krom. Sehingga perlu dikembangkan penelitian tentang bahan penyamak nabati atau kombinasi dengan bahan penyamak non krom (Sutyasmi, dkk. 2016). Proses penyamakan nabati dapat dijadikan salah satu alternatif teknologi penyamakan non-krom, namun dengan proses ini perlu dicari terobosan supaya tidak menghasilkan kulit yang kaku, padat, keras dan waktu penyamakan yang relatif lama (Koloka & Moreki, 2011).
Penelitian penggunaan bahan penyamak nabati ataupun gambir telah dilakukan sebelumnya. Suparno, dkk. (2008) dengan menggunakan 25% gambir sebagai bahan penyamak utama, hasilnya memberikan temperatur kerut (Ts) 79oC sedangkan mimosa 82oC, penambahan 10 % oksazolidin (Neosyn TX buatan Hodgson) terjadi peningkatan temperatur kerut (Ts). Peningkatan temperatur kerut untuk gambir menjadi 97 oC dengan tannin terikat pada kolagen sebesar 54 % dan untuk mimosa menjadi 110 oC dengan tannin terikat sebesar 57% pada kulit wet
havana. Ali, dkk. (2013) melakukan proses penyamakan kulit dengan 20 % bahan penyamak nabati haraz (Faidherbia albida) menghasilkan temperatur kerut 85+1
oC, apabila sebelum penyamakan dilakukan penambahan 2% Al2SO3 kulit krast menghasilkan temperatur kerut sebesar 98+1 oC, tetapi apabila ditambahkan 2%
Al2SO3 pada akhir penyamakan menghasilkan kulit krast dengan temperatur kerut 100+1oC. Pada kekuatan tarik, kemuluran, kekuatan sobek dan kepadatan kulit, pemberian 2% Al2SO3 pada akhir proses penyamakan memberi hasil yang lebih baik dibandingkan apabila Al2SO3 dimasukkan sebelum proses penyamakan.
Ardinal, dkk (2013), dalam penelitiannya menggunakan 9% gambir sebagai bahan penyamak pada pH 4 dan 8, menyatakan bahwa pada pH 8 maka kulit tersamak (dry havana) mempunyai kekuatan tarik dan kandungan tannin terikat yang lebih baik dibanding penyamakan nabati yang dimulai pada pH 4.
Pada penelitian ini, bahan penyamak gambir digunakan sebagai bahan penyamak utama / main tanning agent, diawali dengan identifikasi bahan penyamak dan dilanjutkan dengan penyamakan nabati kulit domba. Selanjutnya produk kulit samak nabati dilakukan uji karakter fisis dan hasilnya dibandingkan dengan dua Standar Nasional Indonesia (SNI).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan baku dan bahan pembantu. Bahan baku berupa kulit domba pikel sebanyak 12 lembar dengan luas setiap kulit + 6 ft2 dan ketebalan 6 - 7 mm. Bahan pembantu antara lain berupa; ekstrak gambir A, ekstrak gambir B, ekstrak gambir C, air proses, NaCl, asam oksalat, HCOOH, Pellan 802, Tannigan PR, , Novaltan AL.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa; thicknes meter, gelas ukur, container, boume meter, drum hide processor, pH meter, indikator phenol pthalein dan BCG, staking machine, toggling machine.
Metode Penelitian
Penelitian ini diawali dengan mengindentifikasi karakter bahan penyamak gambir, selanjutnya ketiga bahan penyamak gambir tersebut diaplikasikan dalam penyamakan nabati dengan dua macam formulasi penyamakan. Produk kulit selanjutnya melalui tahapan proses pasca tanning sehingga menghasilkan kulit krast / crust-leather. Gambir yang digunakan ada tiga jenis, yaitu; A (powder), kode B (block), C (silinder), sedangkan formulasi penyamakan terdiri dari formulasi penyamakan (Std) maupun formulasi penyamakan (Std+Aux).
Tabel 2. Perbedaan Formulasi Penyamakan Nabati Bahan
Formulasi Penyamakan Standar
(Std)
Standar + Auxiliaries (Std + Aux)
ekstrak tannin dari gambir (%) 25 % 25 %
sintan penetrator (Tannigan PR) - 2 %
minyak sulfat (Pelan 802) - 2 %
bahan samak alumunium (Novaltan AL ) - 1 %
Gambar 2 . Alur penyamakan nabati kulit domba menggunakan bahan penyamak gambir
Selanjutnya dilakukan pengujian fisis produk kulit (berupa; kekuatan tarik, kemuluran, kekuatan sobek, kelemasan dan temperatur kerut) dan hasilnya dibandingkan dengan dua standar produk, yaitu; SNI: 06-0237-1989 (standar kulit lining) dan SNI: 4593 : 2011 (standar kulit jaket) kemudian dianalisa pengaruh jenis gambir dan formula penyamakan nabati terhadap karakter kulit domba samak nabati.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Karakterisasi Bahan Penyamak Gambir
Perbedaan karakter bahan penyamak gambir (A, B dan C) tertera pada tabel 2. Perbedaan karakter bahan penyamak akan mempengaruhi kualitas kulit, dimana perbedaan ini dipengaruhi antara lain oleh; sumber dan proses pembuatan ekstrak bahan penyamak.
Tabel 2. Karakter Bahan Penyamak Gambir
Karakter Jenis Gambir
A B C
Tannin (%) 44,38 48,46 45,25
non tannin (%) 30,25 27,29 25,43
tannin dalam zat terlarut (%) 59,47 63,86 64,04 rasio tannin/non tannin (n/nt) 1,47 1,77 1,78
pH 3,67 4,13 4,37
gum (%) 20,29 6,15 9,16
Berdasarkan SNl 01-3391-2000 tentang Syarat Mutu Gambir Di Indonesia, maka kandungan tannin ketiga gambir tidak memenuhi standar kualitas (yaitu;
minimal 60 % untuk kualitas I dan 50 % untuk kualitas II). Gambir pada industri penyamakan kulit disyaratkan mempunyai kandungan tannin 40 % untuk jenis blocks dan 50 % untuk jenis cubes (anonim, 2007). Perusahaan pengolah kulit Cuirplastek R. Bisset & Cie menyaratkan bahan penyamak nabati mempunyai kandungan tannin 40% untuk dapat penyamakan kulit (Anonim, 2001).
Pada penelitian ini diperoleh nilai rasio t/nt untuk bahan penyamak gambir A (1,47) lebih rendah dibanding rasio t/nt pada bahan penyamak gambir B (1,77) dan C (1,77). Hasil ini tidak jauh dari data literatur, yaitu 1,2 - 1,5. Rasio t/nt yang
rendah pada akan memberikan efek lembut pada hasil kulit finish / leather (Sarkar, 1991). Nilai pH bahan penyamak gambir merupakan kontribusi dari asam pada tannin dan non tannin. Tannin mengandung asam tannin, sedangkan asam bebas pada non tannin berupa asam galat (kadang juga asam mineral) ataupun dari produk fermentasi glukosa menjadi asam organik (asetat, laktat dan propionat).
Meskipun nilai t/nt pada bahan penyamak gambir B dan C bernilai hampir sama (yaitu, masing-masing : 1,77 dan 1,78), tetapi bahan penyamak gambir B mempunyai kandungan non tannin yang lebih tinggi, sehingga pH bahan penyamak gambir B (4,13) lebih rendah dari bahan penyamak gambir C (4,37).
pH bahan penyamak gambir A (3,67) paling rendah, hal ini berhubungan dengan tingginya kandungan gum (20,29%) sebagai sumber senyawa glukosa kompleks.
nilai pH bahan penyamak ini tidak jauh berbeda dari data literatur, yaitu 4,2 (Sarkar, 1991).
Hasil Kulit Domba Samak Nabati
Gambar 3 . Foto kulit domba samak nabati menggunakan bahan penyamak gambir Berdasar Gambar 3, diketahui bahwa bahan penyamak gambir A menghasilkan kulit domba dengan warna coklat yang lebih tua dibanding dengan kulit yang disamak dengan bahan penyamak gambir B dan C. Hal ini disebabkan bahan penyamak gambir A mempunyai pH paling rendah dan kandungan gum paling tinggi (yaitu, masing-masing; 3,67 dan 20,29 %). Nilai pH tannin yang rendah menyebabkan ukuran molekul tannin semakin besar sehingga tannin banyak bereaksi di permukaan kulit / surface reaction. Kandungan gum yang tinggi menyebabkan semakin banyak senyawa glukosa komplek dengan berat
molekul tinggi akan cenderung mengendap pada permukaan kulit, sehingga akan menghalangi tannin untuk menembus kulit.
Warna coklat yang lebih tua pada kulit domba yang disamak dengan formulasi penyamakan (Std +Aux) disebabkan oleh penambahan auxiliaries (berupa; 2% sintan penetrator, 2 % minyak sulfat dan 1% bahan penyamak alumunium). Sintan penetrator akan mempercepat penetrasi tannin dalam kolagen kulit. Minyak sulfat mempunyai efek menuakan warna kulit / more dark colour effect. Bahan penyamak mineral berupa senyawa alumunium sulfat dapat berkontribusi sebagai bahan mordant dan fiksasi, sehingga membuat warna kulit semakin jelas / deep(Covington, 2009).
Pemenuhan standar karakter fisis produk kulit domba samak nabati yang disamak dengan bahan penyamak gambir tertera pada tabel 3.
Tabel 3. Pemenuhan Standar Karakter Fisis Pada Kulit Domba Samak Nabati
Parameter Uji
Karakter Fisis Kulit Domba Samak Nabati SNI : 06-
0237- 1989;
Standar 1 / kulit lining
Formulasi Penyamakan Dan Jenis gambir
SNI : 4593 : 2011 ; Standar 2 /
Kulit jaket
Formulasi Penyamakan Ddan Jenis Gambir
(Std) (Std + Aux) (Std) (Std + Aux)
A B C A B C A B C A B C
Tebal (mm) rata ü ü ü ü ü ü 0,5-0,8 ü ü ü ü ü ü
Kekuatan Tarik (kg/cm2)
min. 75 ü ü ü ü ü ü min. 140 ü ü ü ü ü ü
Kemuluran (%)
mak. 25 ü x x ü x x mak. 60 ü ~ ü ü ~ x
Kekuatan sobek (kg/cm)
- ü ü ü ü ü ü min. 12,5 ü ü ü ü ü ü
Kelemasan Φ 20 mm (mm)
- ü ü ü ü ü ü 5,0-7,6 x x x x x x
Keterangan; ü: memenuhi, ~ : hampir memenuhi dan x : tidak memenuhi
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa untuk parameter uji; ketebalan, kekuatan tarik dan kekuatan sobek maka semua produk kulit domba samak nabati memenuhi untuk standar kulit lining dan standar kulit jaket. Untuk parameter uji kemuluran, maka hanya gambir A yang mampu menghasilkan kulit yang
memenuhi untuk standar kulit lining, dan hanya kulit yang disamak dengan bahan penyamak gambir C dengan formulasi penyamakan (Std+Aux) yang tidak memenuhi untuk standar kulit jaket. Pada parameter uji kelemasan kulit, maka semua kulit memenuhi untuk standar kulit lining, tetapi tidak memenuhi standar kulit jaket. Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi standar kulit lining, masih diperlukan usaha untuk menurunkan nilai kemuluran kulit, sedangkan untuk memenuhi standar kulit jaket masih diperlukan usaha untuk menaikkan nilai kelemasan kulit.
Hasil Uji Kekuatan Tarik Dan Kekuatan Mulur Kulit Domba Samak Nabati Hasil uji pengaruh jenis bahan penyamak gambir dan formulasi penyamakan terhadap kekuatan tarik dan kekuatan mulur kulit samak nabati tertera pada gambar 4.
Gambar 4. Grafik pengaruh jenis bahan penyamak gambir dan formulasi penyamakan terhadap kekuatan tarik dan kemuluran kulit
Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa penggunaan bahan penyamak gambir B baik dengan formulasi penyamakan (Std) maupun (Std+Aux) menghasilkan karakter kulit dengan kekuatan tarik yang paling besar. Hal ini disebabkan bahan penyamak gambir B mempunyai kandungan tannin yang paling tinggi serta kandungan gum yang paling rendah (yaitu, masing-masing; 48,46%
dan 6,15 %). Kandungan tannin yang tinggi menyebabkan pemicu / driving force terjadinya diffusi tannin ke dalam kulit juga semakin besar sehingga ikatan silang
/ cross link yang terbentuk juga semakin banyak (Anonim, 1976 dan Sarkar, 1991). Kandungan gum yang rendah menyebabkan semakin sedikit gum yang mengendap pada permukaan kulit sehingga semakin kecil halangan tannin untuk menembus dan terpenetrasi pada penampang kulit (Covington, 2009).
Kulit domba yang disamak nabati dengan formulasi penyamakan (Std+Aux) menggunakan semua jenis gambir menghasilkan kulit dengan kekuatan tarik yang lebih kecil dibandingkan dibanding kulit yang disamak dengan formulasi penyamakan (Std). Hal ini karena pada formulasi penyamakan (Std+Aux) penambahan sintan penetrator, minyak sulfat dan bahan samak alumunium kulit akan berkontribusi dalam jumlah ikatan silang / crosslink yang terbentuk sehingga karakter kulit menjadi lebih remah / getas (Sharphouse, 1993). Kepadatan dan ketebalan kulit berpengaruh terhadap kekuatan tarik, pada kulit yang padat maka jumlah protein kulit dalam serat kulit akan menjadi banyak sehingga rantai samping yang akan membentuk ikatan silang akan semakin banyak pula (Kasim dkk., 2015). Semua kulit samak nabati telah memenuhi standar kekuatan tarik, yaitu; standar 1 (minimal 75 kg/cm2) dan standar 2 (minimal 150 kg/cm2).
Berdasarkan Gambar 4, diketahui pula bahwa penggunaan bahan penyamak gambir C baik dengan formulasi penyamakan (Std) maupun (Std+Aux) menghasilkan karakter kulit dengan kemuluran yang paling besar. Hal ini disebabkan gambir C mempunyai kandungan rasio t/nt dan pH yang paling tinggi (yaitu, masing-masing; 1,78 dan 4,37). Rasio t/nt yang tinggi menyebabkan tannin yang bereaksi dengan kolagen kulit / cross link juga semakin banyak. pH tannin yang tinggi menyebabkan lebih terjagannya keseimbangan elektrolit antara tannin dan kulit serta ukuran molekul tannin kecil, sehingga tannin dapat terpenetrasi dalam kulit dengan lebih cepat (Anomin, 1976 dan Sarkar, 1991).
Kulit yang disamak dengan formulasi penyamakan (Std +Aux) menghasilkan kulit dengan kemuluran yang lebih besar dibandingkan dibanding kulit yang disamak dengan formulasi penyamakan (Std). Hal ini disebabkan pada formulasi penyamakan (Std+Aux) terdapat penambahan 2% minyak sulfat yang berfungsi sebagai pelumas / lubricant function, sehingga serat kulit akan
diselubungi oleh minyak. Selanjutnya akan meningkatkan kemampuan luncur dan mengurangi friksi antara serat kulit serta meningkatkan kelemasan / softness, elastisitas, ektensibilitas, ketahanan tekuk dan sifat fisis mekanis lainnya. Semakin sedikit minyak yang dimasukkan kedalam kulit maka pelinciran atau lubrikasi minyak kedalam serat kulit akan lebih sedikit sehingga serat kulit semakin kuat melakukan perlawanan fisis terhadap aksi tarikan. Hasil uji kemuluruan kulit, menunjukkan bahwa hanya penggunaan gambir A yang memenuhi standar 1 (maksimal 25 % ) dan hanya penggunaan gambir C dengan formulasi penyamakan (Std+Aux) yang tidak memenuhi standar 2 (maksimal 60%).
Manipulasi matematis berupa rasio kekuatan tarik/kemuluran (kekuatan tarik yang dibutuhkan setiap persen kemuluran) memberikan implikasi bahwa semakin tinggi rasio kekuatan tarik/kemuluran mengakibatkan kulit tersebut semakin sulit untuk mulur/tighter. Hasil uji pengaruh jenis gambir dan formulasi penyamakan kulit terhadap rasio kekuatan tarik/kemuluran, tertera pada gambar 5.
Gambar 5. Grafik rasio kekuatan tarik/kemuluran
Berdasarkan Gambar 5, diketahui bahwa penggunaan bahan penyamak gambir A baik dengan formulasi penyamakan (Std) maupun (Std+Aux) menghasilkan kulit dengan nilai rasio kekuatan tarik /kemuluran yang paling tinggi, (yaitu masing-masing: 12,16 kg/cm2 dan 10,42 kg/cm2). Hal ini disebabkan kulit samak nabati mempunyai kekuatan tarik dan kemuluran yang paling rendah, sehingga rasio kekuatan tarik/kemuluran mempunyai nilai paling
tinggi. Kulit domba yang disamak dengan formulasi penyamakan (Std +Aux) menggunakan semua jenis bahan penyamak gambir menghasilkan kulit dengan rasio kekuatan tarik/kemuluran yang lebih kecil formulasi penyamakan (Std). Hal ini disebabkan kulit samak nabati mempunyai kenaikan kemuluran yang lebih tinggi dibanding kenaikan kekuatan tarik pada formula penyamakan (Std+Aux) sehingga menghasilkan rasio kekuatan tarik/kemuluran mempunyai nilai semakin rendah. Pada kulit perkamen atau kulit mentah transparan, maka untuk menghasilkan setiap persen kemuluran diperlukan kekuatan tarik sebesar 17,48 kg/cm2 (Anonim, 2007).
Hasil Uji Kekuatan Sobek Dan Kelemasan Kulit Domba Samak Nabati Hasil uji pengaruh jenis gambir dan formulasi penyamakan kulit terhadap kekuatan sobek dan kelemasan kulit samak nabati tertera pada gambar 6.
Gambar 6 . Grafik pengaruh antara jenis gambir dan formulasi penyamakan kulit terhadap kekuatan sobek dan kelemasan kulit samak nabati
Berdasarkan Gambar 6, diketahui bahwa penggunaan bahan penyamak gambir C baik dengan formulasi penyamakan (Std) maupun (Std+Aux) menghasilkan karakter kulit dengan kekuatan sobek paling besar. Hal ini disebabkan gambir C mempunyai kandungan rasio (t/nt) dan pH yang paling tinggi). Rasio t/nt yang tinggi menyebabkan tannin yang terlibat cross link dengan kolagen kulit juga semakin banyak. pH tannin yang tinggi menyebabkan lebih terjagannya keseimbangan elektrolit antara tannin, sehingga tannin dapat
terpenetrasi dalam kulit dengan lebih cepat dan tidak terjadi samak permukaan / pipey grain (anonim, 1976).
Kulit domba samak nabati dengan formulasi penyamakan (Std +Aux) menggunakan semua jenis gambir menghasilkan kulit dengan kekuatan sobek yang cenderung lebih kecil dibandingkan dibanding kulit yang disamak dengan formulasi penyamakan (Std). Hal ini karena pada formulasi penyamakan (Std+Aux) terdapat penambahan 2% minyak sulfat terdistribusi kedalam serat kulit dan memberikan sentuhan kelembutan pada kulit samak nabati dan juga lubrikasi dalam serat kulit menyebabkan tenaga yang diperlukan untuk menyobek kulit menjadi lebih rendah. Penurunan kekuatan sobek kulit juga terkonfirmasi dengan semakin kecilnya kekuatan tarik pada gambar 4. Uji kekuatan sobek memberikan informasi penting tentang kondisi serat kulit, yang disebabkan adanya intensitas proses pengikisan protein dan perubahan serat kulit pada proses penyamakan (Gerhard, 1997). Kekuatan sobek kulit tidak dipersyaratkan pada standar 1 dan semua kulit memenuhi standar 2 (minimal 12,5 kg/cm).
Berdasarkan Gambar 6 diketahui pula bahwa penggunaan bahan penyamak gambir A baik dengan formulasi penyamakan (Std) maupun (Std+Aux) menghasilkan karakter kulit dengan kelemasan yang paling kecil. Hal ini disebabkan bahan penyamak gambir A mempunyai kandungan gum yang paling rendah (6,15 %). Kandungan gum yang rendah menyebabkan semakin sedikit gum yang mengendap pada permukaan kulit sehingga banyak tannin yang menembus penampang kulit dan bereaksi dengan kolagen kulit dan akibatnya kelemasan kulit akan berkurang (karena sifat alami tannin yang cenderung keras).
Kulit domba yang disamak nabati dengan formulasi penyamakan (Std +Aux) menggunakan semua jenis gambir cenderung menghasilkan kulit dengan kelemasan yang lebih kecil dibandingkan formulasi penyamakan (Std). Penurunan kelemasan kulit juga terkonfirmasi dengan semakin kecilnya nya hasil uji kekuatan tarik pada gambar 4, yang semakin kecil pula pada penyamakan (Std+Aux). Selain berfungsi sebagai lubricant agent maka minyak juga berkontribusi mempunyai kemampuan samak.
Weng (1999-21) menyatakan bahwa kelemasan kulit berkorelasi dengan kekuatan sobek, yaitu kulit yang lebih lemas memiliki kekuatan sobek yang lebih tinggi, hal ini sesuai dengan kecenderungan yang terjadi pada gambar 4.
Kelemasan kulit tidak dipersyaratkan pada standar 1 dan semua kulit tidak memenuhi standar 2 (5,0 – 7,6 mm).
Hasil Uji Temperatur Kerut Kulit Domba Samak Nabati
Hasil uji pengaruh jenis gambir dan dan formulasi penyamakan terhadap temperatur kerut kulit domba samak nabati tertera pada gambar 7.
Gambar 7 . Grafik pengaruh jenis gambir dan formulasi penyamakan terhadap temperatur kerut kulit samak nabati
Berdasarkan Gambar 7, maka diketahui bahwa bahan penyamak gambir B baik dengan formulasi penyamakan (Std) maupun (Std+Aux) menghasilkan kulit dengan temperatur kerut yang paling tinggi. Hal ini disebabkan karena gambir B mempunyai kandungan tannin, rasio (t/nt) yang tinggi dan kandungan gum yang paling rendah (yaitu, masing-masing; 48,46%, 1,77 dan 6,15%). Kandungan tannin dan rasio (t/nt) yang tinggi mengakibatkan semakin banyak tannin yang akan masuk dan berikatan dengan kolagen kulit. Kandungan gum yang rendah akan mengurangi halangan tannin untuk menembus pada penampang melintang kulit / trhough. pH tannin B (4,13) mengakibatkan pada awal proses penyamakan tannin pada gambir B mempunyai ukuran molekul yang lebih kecil, sehingga mudah terpenetrasi pada kulit (Thorstensen, 1997). Salah satu tujuan proses penyamakan kulit adalah meningkatnya temperatur kerut atau ketahanan
hidotermal kulit. Kulit besar / hide dan kulit kecil / skin yang disamak dengan bahan penyamak nabati akan memiliki temeratur kerut berkisar 70 – 85 oC (Anonimus, 2007). Salah satu kelemahan kulit yang disamak dengan bahan penyamak nabati diantaranya adalah kestabilan terhadap panas rendah karena ikatan silang antara bahan penyamak dengan jaringan kolagen tidak cukup kuat (Musa et al., 2013).
Kulit domba yang disamak dengan formulasi penyamakan (Std +Aux) mempunyai temperatur kerut yang lebih tinggi dibanding formulasi penyamakan (Std). Hal ini disebabkan pada formulasi penyamakan ( Std+Aux) terdapat penambahan 2% minyak sulfat, 2 % sintan penetrator dan 1% bahan samak alumunium. Sintan penetrator mengakibatkan penetrasi tannin dalam penampang kulit semakin kuat, begitu juga ikatan antara tannin dan kolagen kulit. Minyak beperan sebagai bahan penyamak kulit meskipun mengalami mekanisme terbentuknya senyawa acrolein terlebih dahulu. Bahan penyamak mineral berupa senyawa alumunium sulfat akan berkontribusi sebagai bahan penyamak, yang berikatan kovalen koordinatif dengan gugus karboksilat polipeptida kulit (Covington, 2009).
Salah satu tujuan proses penyamakan kulit adalah meningkatnya temperatur kerut atau ketahanan hidotermal kulit. Kulit besar / hide dan kulit kecil / skin yang disamak dengan bahan penyamak nabati akan memiliki temeratur kerut berkisar 70 – 85 oC (Anonimus, 2007). Salah satu kelemahan kulit yang disamak dengan bahan penyamak nabati diantaranya adalah kestabilan terhadap panas rendah karena ikatan silang antara bahan penyamak dengan jaringan kolagen tidak cukup kuat (Musa et al., 2013).
KESIMPULAN
Dari hasil karakterisasi fisis kulit domba samak nabati menggunakan bahan penyamak gambir, maka dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Semua kulit samak nabati memenuhi standar kekuatan tarik, yaitu; standar 1 (minimal 75 kg/cm2) dan standar 2 (minimal 150 kg/cm2).
2. Pada uji kemuluruan kulit, menunjukkan hanya penggunaan gambir A yang memenuhi standar 1 (maksimal 25 %) dan hanya gambir C dengan formulasi penyamakan (Std +Aux) yang tidak memenuhi standar 2 (maksimal 60%). Hasil penggunaan gambir A menghasilkan kulit dengan nilai rasio kekuatan tarik /kemuluran paling tinggi, yaitu 12,16 kg/cm2 pada formulasi penyamakan (Std) dan 10,42 kg/cm2 pada formulasi (Std+Aux).
3. Kekuatan sobek kulit tidak dipersyaratkan pada standar 1 dan semua kulit telah memenuhi standar 2 (minimal 12,5 kg/cm).
4. Kelemasan kulit tidak dipersyaratkan pada standar 1 dan semua kulit tidak memenuhi standar standar 2 (5,0 – 7,6 mm).
5. Penggunaan gambir B menghasilkan temperatur kerut kulit yang paling tinggi, hal ini dipengaruhi oleh rasio t/nt (1,77) yang tinggi dan kandungan gum (6,15%) yang rendah, selain itu penambahan auxiliaries pada formulasi penyamakan (Std+Aux) menaikkan temperatur kerut kulit dari 760C menjadi 780C.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktur Politeknik ATK Yogyakarta yang telah memberikan stimulan dana dan dukungan pada penelitian ini dan kepada semua pihak yang telah banyak membantu sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S.B., Haroun, H.E. and Musa. A.E., 2013, Alternative Combination Tanning System Based on Haraz and Aluminium for High Stability Leather,Journal Of Forest Products & Industries.
Anonim, 1974, A Survey of Modern Vegetable Tannage, Tanning Extract Producers Federation, Zurich, Switzerland
Anonim, 1980, Istilah dan Definisi untuk Kulit dan Cara Pengolahannya. SII.
0360-80. Departemen Perindustrian. Jakarta.
Anonimus. 1980. Kulit Lapis Domba/ Kambing, SNI 06-0237-1989, Badan Standardisasi Nasional
Anonimus. 2011, Kulit Jaket Domba/kambing, SNI 4593:2011, Badan Standardisasi Nasional
Anonim, 1990, Tanning, Dyeing and Finishing, Bayer, 5th edition, Geschaftshereich Farben 5090 Leverkusen.
Anonimus. 2000. Gambir. SNl 01-3391-2000. Badan Standarisasi Nasional.
Jakarta
Anonim, 2004, Pocket Book for the Leather Technologist. Fourth edition. BASF Aktiengesellschaft 67056. Ludwigshafen. Germany
Anonim, 2011, The Vegetable Tanning Process-A Collection of Historical Articles on leather Production. British Library
Ardinal, Anwar Kasim dan Sri Mutiar, 2013, Karakteristik Penyamakan Kulit Menggunakan Gambir pada pH 4 dan 8. Biopropal Industri Vol. 4 No. 2 Covington A., 2009, Tanning Chemistry : The Science of Leather. Royal Society
of Chemistry. Cambridge CB4 0WF. UK
Gerhard, J, 1997, Posible Defects in Leather Production.Druck Partner Rubelmann GmbH. Car-Benz-Strasse.S-69495.Hembsbach
Isnawati, A. Mariana, R. Ondri, DS. D. Mutiatikum, Lucie, W. Retno, G., 2012, Karakterisasi Tiga Jenis Ekstrak Gambir (Uncaria Gambir Roxb) dari Sumatera Barat.
Kasim A, Alfi Asben, Sri Mutiar, 2015, Kajian kualitas Gambir dan hubungannya dengan Karakteristik Kulit Tersamak. Majalah, Kulit, Karet dan Plastik.
Vol. 31 No.1 Juni Tahun 2015. Yogyakarta.
Koloka, O., and Moreki, J. ,2011, Tanning hides and skins using vegetable tanning agents in Hukuntsi sub-district, Botswana Journal of AgriculturalTechnology, 7(4), 915–922.
Laksmo, J.A., Widiyarti, G., Haryono, A., Sondari, D., Agustian, E., 2012), Laporan Hasil Penelitian Dan Pengembangan, Kekayaan Intelektual, Dan Hasil Pengelolaannya
Purnomo, E. ,1985, Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta
Sarkar, K.T., 1991, Theory and Practice of Leather Manufacture,The Author.,Revisied Edition 1995. Madras.
Sutyasmi, S., 2015, Sifat Fisik, Kimia, Dan Morfologik Kulit Jaket Kambing Tersamak Menggunakan Krom Hasil Recovery Air Limbah Penyamakan, Majalah Kulit, Karet, Dan Plastik Vol. 31 No. 2, 107-114
Sutyasmi, S., Widowati, T.P., Setyadewi, N.M., 2016, Pengaruh Mimosa Pada Penyamakan Kulit Jaket Domba Samak Nabati Menggunakan Sistem C- RFP, Ditinjau Dari Sifat Organoleptis, Fisis, dan Morfologi kulit, Majalah Kulit, Karet, dan Plastik, 32(1), 31-38
Sharphouse, J.H. 1983. Leather Technician’s Hand Book,Leather Producers Association, King Park Road, Moulton Park, Northampton.
Suparno O. Covington, A.D., Evans. C.S., 2008.,Teknologi Baru Penyamakan Kulit Ramah Lingkungan Penyamakan Kombinasi Menggunakan Penyamak Nabati, Naftol Dan Oksazolidin.
Thortensen, T.C. , 1993, Practical Leather Technologist, 4 ed, Robert E. Krieger Publishing Co Inc. Huntington New York
Wenge, Y., 1999, The Mechanical Properties Of Leather In Relation To Softness.
A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy University of Leicester. ProQuest LLC. 789 East Eisenhower Parkway. USA.