• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN GEOMETRI MELALUI MODEL KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS-ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) BERBASIS PROGRAM CABRI GEOMETRY II PLUS DALAM UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP (Studi Eksperimen di SMP Negeri Serui).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBELAJARAN GEOMETRI MELALUI MODEL KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS-ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) BERBASIS PROGRAM CABRI GEOMETRY II PLUS DALAM UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP (Studi Eksperimen di SMP Negeri Serui)."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PERNYATAAN……… ………… ii

LEMBAR PENGESAHAN……… iii

ABSTRAK... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………. v

KATA PENGANTAR ……… vi

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. ix

DAFTAR ISI ………. xii

DAFTAR TABEL ………... xiv

DAFTAR BAGAN ………... xvi

DAFTAR GAMBAR ………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………...……….… 1

1.2 Rumusan Masalah ……….….. …….. 9

1.3 Tujuan Penelitian ………..………..…… . 12

1.4 Manfaat Penelitian ……….……….………… 14

1.5 Asumsi (Anggapan Dasar)… ……… 14

1.6 Hipotesis Penelitian ..……… 15

1.7 Penjelasan Istilah ………….. ...……….…... 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Hakekat Pembelajaran Matematika di SLTP .…………..…….… 18

2.2.Pembelajaran Geometri ……… 20

2.3.Kemampuan Komunikasi Matematis ……… 28

2.4.Model Pembelajaran Kooperatif ………. 39

(2)

xiii

2.6.Teori Belajar yang Melandasi Cooperative Learning (tipe

STAD)………...…. 79

2.7.Beberapa Penelitian yang Relefan ... 83

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ……….…….. 91

3.2 Variabel Penelitian ………… ………..……. 92

3.3 Populasi dan Sampel ……….…… 92

3.4 Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ……….……… 94

3.5 Prosedur Penelitian …… ……….…….. 104

3.6 Teknik Analisa Data ……….…….. 115

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 118

4.1.1 Statistik Deskriptif Hasil Penelitian ……...……… 119

4.1.2 Analisis Hasil Pretes.……….. 125

4.1.3 Analisis Hasil Postes ………. 130

4.1.4 Analisis Gain Skor ………. ……… 135

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ………. 149

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan ... 161

5.2 Saran-Saran... …… 163

DAFTAR PUSTAKA ... 166

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini dunia pendidikan di negara kita semakin mendapat tantangan. Tantangan di bidang pendidikan meliputi kurikulum, metode pembelajaran, media pembelajaran dan sebagainya. Berbagai pembaharuan di bidang pendidikan telah dilakukan untuk memperbaiki kekurangan kita dari negara maju lainnya, misalnya kurikulum mengalami penyempurnaan, beberapa metode, model dan media pengajaran mengalami pembaharuan yang dinamis sebagai upaya yang bertujuan untuk membentuk subyek belajar yang berkualitas, kreatif dan dapat menghadapi perkembangan kemajuan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Dengan demikian siswa perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengelola informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Kemampuan ini membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif dan kemauan bekerjasama yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan melalui belajar matematika karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional.

Pendidikan berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Melalui pendidikan seseorang dapat lebih berpengetahuan, terampil, inovatif dan

(4)

produktif dari pada mereka yang tidak berpendidikan. Bahkan pendidikan diyakini sebagai salah satu faktor penting kualitas sumber daya manusia (Effendi, 1992).

(5)

belajar merupakan proses aktifitas siswa dalam interaksinya dengan lingkungan, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku sebagai akibat dari pengalaman dan hasil interaksi dengan lingkungan.

Djaali (Kompas 2008:12) dalam Komferensi Nasional Matematika XIV dan Kongres Himpunan Matematika Indonesia di Palembang, Sumatera Selatan, mengatakan bahwa mata pelajaran matematika merupakan penyebab utama ketidaklulusan ujian nasional siswa SMP, SMA dan SMK karena nilainya di bawah 4,25. Persoalan ini merupakan tantangan, karena itu Himpunan Matematika Indonesia harus berusaha agar matematika bisa diajarkan dengan menarik di sekolah. Selanjutnya, Baskoro (Kompas 2008:12) sebagai Presiden Himpunan Matematika Indonesia mengatakan bahwa masalah pengajaran matematika tidak hanya dihadapi Indonesia, tetapi juga sejumlah negara maju. Himpunan matematika Indonesia berusaha menerapkan metode pengajaran matematika yang baru. Pendidikan matematika di Indonesia harus diperbaiki agar menyenangkan bagi siswa, misalnya dengan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran harus dimulai dengan apa yang diketahui oleh siswa.

(6)

menyatakan nilai rata-rata ujian nasional mata pelajaran matematika tahun 2008 mencapai 6,05.

Pada umumnya dan secara khususnya di Kabupaten Kepulauan Yapen Papua rendahnya hasil belajar matematika merupakan suatu hal yang umum terjadi, karena aktivitas pembelajaran di kelas berupa penyampaian informasi di mana guru aktif menerangkan sementara siswa pasif mendengarkan dan mencatat sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab. Guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan soal latihan yang sifatnya rutin kurang melatih daya nalar, kemampuan komunikasi dan kemampuan lain yang dibutuhkan dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran konvensional yang berlangsung selama ini mengakibatkan terjadinya proses penghafalan konsep atau prosedur belaka, pemahaman konsep-konsep rendah, sehingga siswa tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks.

Cara pengajaran matematika di sekolah perlu diubah karena mata pelajaran matematika terbukti masih menjadi penyebab utama ketidaklulusan siswa. Pelajaran matematika harus diberikan dengan cara yang menyenangkan sehingga lebih mudah dipahami siswa.

(7)

mengkonstruksi pengetahuan mereka. Dalam proses belajar tersebut, hendaknya diingat bahwa diakhir dari suatu rangkaian kegiatan belajar dan mengajar, kompetensi-kompetensi penalaran, koneksi, komunikasi, representasi harus sudah nampak sebagai hasil belajar siswa. Karena itu dalam proses pembelajaran hendaknya kegiatan belajar diarahkan untuk munculnya kompetensi-kompetensi tersebut yang dianjurkan agar kegiatan tersebut dapat terjadi pada setiap jenjang pendidikan (NCTM, 2000). Belajar matematika, khususnya dalam belajar geometri ketrampilan melukis dan membaca gambar bangun datar/ruang merupakan yang hendaknya dikuasai. Geometri adalah bagian dari matematika yang membahas mengenai titik, bidang dan ruang. Sudut adalah besarnya rotasi antara dua buah garis lurus; ruang adalah himpunan titik- titik yang dapat membentuk bangun- bangun geometri; garis adalah himpunan bagian dari ruang yang merupakan himpunan titik- titik yang mempunyai sifat khusus; bidang adalah himpunan- himpunan titik- titik yang terletak pada permukaan datar , misalnya permukaan meja (Negoro, 2003:1).

(8)

masalah dan saling berkomunikasi; (3) pada umumnya motivasi siswa untuk belajar matematika rendah; (4) masih banyak siswa berpendapat bahwa matematika itu sulit dan membosankan. Padahal salah satu tujuan Pendidikan Matematika (KTSP 2006) adalah mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Secara umum, komunikasi mencakup keterampilan/kemampuan menulis, membaca, discussing and assessing, dan wacana (discourse). Kemampuan komunikasi dalam matematika merupakan kemampuan yang harus dikembangkan karena sangat diperlukan agar proses pembelajaran di dalam kelas lebih bermakna, artinya melalui kemampuan matematis siswa dapat mengkomunikasikan ide-ide matematika. Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan tradisional, kemampuan serta aktivitas siswa dalam mengomunikasikan ide-ide matematikanya masih kurang. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal yang harus dibenahi, di antaranya model pembelajaran yang digunakan, mencakup strategi dan bahan ajar yang didesain untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

(9)

Implementasi model pembelajaran dalam proses belajar mengajar matematika tentunya merupakan satu hal yang turut menentukan keberhasilan siswa. Karena itu pemilihan metode, strategi dan pendekatan dalam mendesain model pembelajaran guna tercapainya iklim pembelajaran aktif dan bermakna adalah tututan yang mesti dipenuhi oleh para guru. Iklim pembelajaran yang dikembangkan oleh guru mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan dan kegairahan belajar (Wahab, 1986), demikian pula kualitas dan keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketepatan guru dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran. Disamping itu, tidak sedikit siswa mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran dikarenakan metode pembelajaran yang dipilih dan digunakan oleh guru dirasakan kurang tepat. Dengan demikian proses belajar-mengajar (PBM) akan berlangsung secara kaku, sehingga kurang mendukung pengembangan kemampuan komunikasi siswa. Pemilihan model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi siswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru (Djahiri, 1992). Hal ini didasari oleh asumsi, bahwa ketepatan guru dalam memilih model dan metode pembelajaran akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan hasil belajar siswa, karena model dan metode pembelajaran yang digunakan oleh guru berpengaruh terhadap kualitas PBM yang dilakukannya.

(10)
(11)

dan apa yang tetap dan dapat menyusun konjektur dari situasi geometri yang diberikan.

Dari uraian di atas, maka diduga pembelajaran matematika khususnya geometri melalui model kooperatif tipe Student Teams-Achievement Division (STAD) berbasis Program Cabri Geometry II Plus dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Mungkinkah pembelajaran matematika khususnya geometri melalui model kooperatif tipe Student Teams-Achievement Division (STAD) berbasis Program Cabri Geometry II Plus dapat memberi suatu solusi terhadap rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa yang turut mempengaruhi prestasi belajar siswa?

Berdasarkan asumsi di atas, peneliti tertarik untuk melakukan tentang Pembelajaran Geometri melalui Model Kooperatif Tipe Student

Teams-Achievement Division (STAD) berbasis Program Cabri Geometry II Plus

dalam upaya peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP (Studi Eksperimen di SMP Negeri Serui).

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

(12)

memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD saja dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus saja?

1.2.2 Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD saja dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus saja?

1.2.3 Bagaimana kualitas peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD saja dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus saja?

1.2.4 Apakah ada perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD saja? 1.2.5 Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis

(13)

kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD saja?

1.2.6 Apakah ada perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus saja?

1.2.7 Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan peningkatan kemampuan matematis siswa dan kelas yang memperoleh kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus saja?

1.2.8 Apakah ada perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model Kooperatif Tipe STAD dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus saja?

(14)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

1.3.1 Mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa SMP antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

1.3.2 Mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa SMP antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

1.3.3 Mengetahui kualitas peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

(15)

tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD.

1.3.5 Mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa SMP antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD.

1.3.6 Mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa SMP antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

1.3.7 Mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa SMP antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

1.3.8 Mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa SMP antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

(16)

kooperatif tipe STAD dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan bagi semua pihak , terutama bagi guru, siswa dan para peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Secara rinci manfaat penelitian ini ialah:

1.4.1 Bagi Siswa

Siswa mampu mengembangkan kemampuan komunikasi matematis untuk meningkatkan prestasi belajarnya pada mata pelajaran matematika melalui model kooperatif tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

1.4.2 Bagi Guru

Model kooperatif tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dapat menjadi alternatif model pembelajaran untuk memberikan variasi dalam pembelajaran matematika secara umum dan khususnya pada pembelajaran geometri. 1.4.3 Semua pihak yang berkepentingan untuk dapat dijadikan bahan rujukan dalam penelitian selanjutnya.

1.5 Asumsi (Anggapan Dasar )

(17)

kegiatan penelitian ini, penulis akan bertitik tolak dari anggapan dasar berikut ini:

1.5.1 Pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dapat digunakan untuk siswa tingkat SMP.

1.5.2 Dengan pengetahuan dan pengalaman dalam belajar bahasa sejak memasuki SMP, siswa SMP memiliki kemampuan untuk mencapai kemampuan matematis melalui model kooperatif tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

1.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teoritis diselaraskan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: 1.6.1 Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas

yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus, kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD, dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

(18)

memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

1.7 Penjelasan Istilah

Untuk memperoleh kesamaan pandangan dan menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah dalam penelitian ini maka, diberikan batasan-batasan istilah sebagai berikut:

1.7.1 Model kooperatif adalah model pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil, setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda, menggunakan kegiatan belajar yang bervariasi untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap topik/materi pelajaran yang diajarkan. Student Team- Achievement Divisions (STAD) adalah salah satu tipe model kooperatif yang paling sederhana. Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerjanya, jenis kelamin dan suku. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu dengan catatan, saat kuis mereka tidak boleh saling membantu.

(19)

(dimensi 2) beserta hubungan di antara mereka. Di Cabri tersedia berbagai menu menggambar mulai dari menggambar garis (dan ruas garis) sampai menggambar conflicf line antara lingkaran dan garis (yang akan menghasilkan dua buah parabola).

1.7.3 KoopSTAD-CG II plus adalah singkatan dari pembelajaran geometri melalui model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

1.7.4 KoopSTAD adalah singkatan dari pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD.

1.7.5 CG II plus adalah singkatan dari pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas KoopSTAD-CG II plus dengan kelas koopSTAD dan kelas CG II plus. Karena dalam penelitian ini terdapat unsur pemanipulasian (perlakuan), yaitu kelas KoopSTAD-CG II plus, dan kelas koopSTAD, serta kelas CG II plus. Karena dalam penelitian ini terdapat unsur pemanipulasian (perlakuan), maka metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Dalam penelitian ini pengukuran kemampuan komunikasi matematis siswa dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Tujuan diberikannya pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan adalah untuk melihat dan memastikan kesetaraan kemampuan komunikasi matematis siswa dari ketiga kelompok siswa.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah design posttets-only control group yaitu desain kelompok pembanding pretes/posttes. Dalam penelitian ini diambil tiga kelas yang homogen dengan pembelajaran berbeda. Kelompok I (X1) yaitu kelas KoopSTAD-CG II plus, kelompok II (X2) yaitu kelas koopSTAD, dan kelompok III (X3) yaitu kelas CG II plus. Adapun desain penelitiannya sebagai berikut :

(21)

O X1 O O X2 O O X3 O Dimana:

O: Observasi Pretes/Postest

X1: Perlakuan pada kelas koopSTAD-CG II plus.

X2: Perlakuan pada kelas koopSTAD.

X3: Perlakuan pada kelas CG II plus.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah koopSTAD-CG II plus, koopSTAD, dan CG II puls, sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi matematis siswa.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

(22)

sejak tahun 1978 dan merupakan sekolah tertua dari enam sekolah menengah tingkat pertama yang ada di Kota Serui. SMP Negeri 2 Serui saat ini didukung oleh sarana prasarana yang hampir memadai seperti perpustakaan, laboratorium bahasa dan laboratorium komputer. Misalkan komputer yang tersedia di laboratorium computer belum one man one computer masih common facilities.

Adapun alasan pemilihan SMP Negeri 2 Serui Papua sebagai tempat pelaksanaan penelitian ialah penulis berharap para guru di sekolah ini dapat menjadikan koopSTAD-CG II plus ini menjadi salah satu alternatif pembelajaran untuk memberikan variasi terhadap model pembelajaran matematika yang selama ini dilakukan yang umumnya masih bersifat konvensional. Sedangkan pemilihan siswa kelas VII sebagai subjek penelitian ialah bahwa siswa kelas VII dapat dikategorikan sudah cukup dewasa sehingga, dapat melaksanakan koopSTAD-CG II plus dengan baik.

3.3.2 Sampel

(23)

objektif atau apa adanya. Pemilihan dilakukan dengan cara mengundi, dan ternyata pilihan jatuh pada kelas VII B, VII D dan VII E. Dari ketiga kelas ini dipilih lagi secara acak untuk menjadi kelas eksperimen (X1, X2, dan X3). Dengan undian terpilih kelas VII B dengan jumlah siswa 35 orang sebagai kelompok X1, kelas VII D dengan jumlah siswa 35 orang sebagai kelompok X2 dan kelas VII E dengan jumlah siswa 32 orang sebagai kelompok X3.

3.4 Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Sebagai alat pengumpul data, instrumen dalam penelitian ini adalah Instrumen tes berupa tes berbentuk uraian untuk mengukur kemampuan siswa dalam komunikasi matematis.

Dalam menyusun dan mengembangkan instrumen, langkah awal yang dilakukan adalah membuat kisi-kisi lalu kemudian mengkonstruksi instrumen. Untuk memeriksa validitas isi dilakukan sebelum dilaksanakan uji coba instrumen. Dalam hal ini peneliti melibatkan pihak yang berkompeten untuk memeriksa validitasnya yakni pembimbing dan pakar pendidikan matematika.

(24)

3.4.1 Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Instrumen tes kemampuan komunikasi matematis dikembangkan dari materi atau bahan ajar pada pokok bahasan garis dan sudut. Instrumen tes terdiri dari 6 item soal bentuk uraian. Alokasi waktu untuk menyelesaikan tes ini ialah 120 menit. Perangkat soal dapat dilihat pada lampiran B halaman 257.

Tes kemampuan komunikasi matematis digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan ide matematis secara jelas dan benar dengan kata-kata sendiri, masuk akal, tidak meragukan, dan dikomunikasikan secara efektif dan jelas serta tersusun secara logis dalam bentuk tertulis, gambar dan model matematika serta penyelesaiannya.

Untuk menentukan skor jawaban siswa, peneliti menetapkan suatu pedoman pensekoran tes komunikasi matematis. Pedoman ini dibuat agar ada keseragaman dalam memberi skor terhadap setiap jawaban siswa.

3.4.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis

(25)

Tabel 3.1

Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis

LEVEL 0 LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3 LEVEL 4

Jawaban salah Jawaban tidak mengembangkan ide-ide matematika Beberapa jawaban tidak ada/hilang Jawaban benar tetapi kurang lengkap

Jawaban benar dan lengkap Tidak menggambarkan komunikasi matematis Kurang menggambarkan komunikasi matematis Menggambarkan komunikasi matematis Menggambarkan komunikasi matematis Menggambarkan komunikasi matematis Tidak menyatakan pemahaman matematika yang tinggi Beberapa perhitungan salah Tingkat pemikiran kurang tinggi Hampir semua langkah jawaban benar Semua langkah jawaban benar Tidak mengemukakan jawaban Sedikit menggambarkan pemahaman matematika Kesimpulan digambarkan tetapi kurang akurat Hasil digambarkan dengan lengkap Hasil digambarkan dengan lengkap Tidak mengemukakan jawaban

Sudah ada upaya untuk menjawab pertanyaan Kesalahan kecil mungkin terjadi, misalnya pembulatan pada bilangan Kesalahan kecil mungkin terjadi, misalnya pembulatan pada bilangan Kesalahan kecil mungkin terjadi, misalnya pembulatan pada bilangan

Untuk selanjutnya dilakukan penyederhanaan kriteria sebagai berikut :

LEVEL 0 LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3 LEVEL 4

Jawaban salah, tanpa alasan.

Tidak ada jawaban

Jawaban salah tetapi ada alasan

Jawaban hampir benar • Kesimpulan tidak

ada

• Rumus benar

tetapi kesimpulan salah

• Jawaban benar tetapi alasan salah

Jawaban benar, tetapi alas an tidak lengkap. Jawaban minimal. Jawaban benar disertai dengan alasan yang benar

3.4.3 Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda

(26)

SMP Negeri 1 Serui Papua. Daftar skor, statistik deskriptif, dan perhitungan lainnya dapat dilihat pada lampiran C halaman 261-263.

3.4.3.1 Validitas Instrumen

Kriteria yang mendasar dari suatu tes yang tangguh adalah tes mengukur hasil-hasil yang konsisten sesuai dengan tujuan dari tes itu sendiri. Menurut Arikunto (2007:65) sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu mengukur apa yang hendak diukur.

3.4.3.1.1 Validitas isi Tes

Sebelum penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan upaya memvalidasi perangkat isi tes. Kegiatan ini dibantu oleh rekan guru sebagai observer dan pembimbing. Melalui diskusi antara pembimbing, guru observer, dan guru peneliti tentang uji kesesuaian isi tes dengan kisi-kisi tes, maka akan dapat kesimpulan bahwa perangkat tes ini secara isi sudah memenuhi syarat untuk digunakan.

3.4.3.1.2 Validitas Empirik

Setelah diuji cobakan satu kali (single test), kemudian untuk menguji validitas alat ukur, terlebih dahulu dicari nilai korelasi antara bagian-bagian dari alat

ukur secara keseluruhan dengan cara mengkorelasikan skor setiap soal dengan skor total

yang merupakan jumlah tiap skor butir soal, dengan rumus Pearson Product Moment

(27)

= (∑ ) ∑ ∑

∑ (∑ ) ∑ (∑ ) (Arikunto, 2007:64-78)

Keterangan : = koefisien korelasi antara variabel X dan Y = jumlah peserta tes

= skor item tes = skor total

Penafsiran terhadap besarnya koefisien korelasi skor tiap item dengan skor total dilakukan dengan membandingkan nilai dengan nilai kritis

.

Jumlah siswa yang mengikuti ujicoba sebanyak 31 orang sehingga nilai kritis r product moment dengan taraf kepercayaan 99% ialah ( , ;" )= 0,403. Jika pada & = 0,01 ternyata nilai kefisien korelasi ≥ maka item tes tersebut dikatakan valid.

Nilai dan untuk tiap item instrumen uji kemampuan komunikasi matematis disajikan pada Tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2

Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis

No. ∑ ∑ ∑ ) ∑ ) ∑ ℎ r-tabel Validitas

1 71 366 5.041 5.462 1.053 0,914 0,403 Valid

2 51 366 2.601 5.462 729 0,517 0,403 Valid

3 60 366 3.600 5.462 931 0,777 0,403 Valid

4 58 366 3.364 5.462 836 0,664 0,403 Valid

5 42 366 1.764 5.462 637 0,775 0,403 Valid

(28)

Dengan membandingkan nilai dan ternyata pada taraf kepercayaan 99% semua item memiliki koefisien korelasi ≥ maka dapat disimpulkan bahwa tes komunikasi matematis seluruhnya valid.

3.1.1.1 Reliabilitas Instrumen

Pengertian reliabilitas Sugiono (2005), adalah serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur yang memiliki konsistensi bila pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur itu dilakukan secara berulang. Kondisi itu ditengarai dengan konsistensi hasil dari penggunaan alat ukur yang sama yang dilakukan secara berulang dan memberikan hasil yang relatif sama dan tidak melanggar kelaziman. Untuk pengukuran subjektif, penilaian yang dilakukan oleh minimal dua orang bisa memberikan hasil yang relatif sama (reliabilitas antar penilai). Pengertian reliabilitas tidak sama dengan pengertian validitas. Artinya pengukuran yang memiliki reliabilitas dapat mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur.

Karena instrumen dalam penelitian ini berupa tes berbentuk uraian, maka derajat reliabilitasnya ditentukan dengan menggunakan rumus Cronbach-Alpha:

++= ,- +- . ,1 −∑ 0021. (Suherman, 2003:154)

dengan varians item dan varians total hitung dengan rumus:

3) = ∑ 1

(∑ 41)

5 dan 3) = ∑ 1 (∑ 61) 5

(29)

7= banyaknya butir soal

∑ 3)= jumlah varians skor tiap butir soal

3)= varians skor total

Untuk menginterpretasikan kriteria reliabilitas instrumen digunakan kriteria yang ditetapkan J.P. Guilford (Suherman 2003:139) sebagai berikut:

Kriteria Derajat Keandalan J.P. Guilford

Nilai ++ Derajat Keandalan

++< 0,20 Sangat rendah

0,20 ≤ ++< 0,40 Rendah

0,40 ≤ ++< 0,70 Sedang

0,70 ≤ ++< 0,90 Tinggi

0,90 ≤ ++≤ 1,00 Sangat tinggi

Perhitungan varians item dan varians total skor siswa pada tes kemampuan komunikasi matematis disajikan pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3

Perhitungan Varians Instrumen Komunikasi Matematis

No. ∑ (∑ )) ∑ ) ∑ (∑ ) ∑ )−(∑ ) 3)

1 71 211 5.041 31 162,61 48,387 1,5609

2 51 121 2.601 31 83,90 37,097 1,1967

(30)

4 58 154 3.364 31 108,52 45,484 1,4672

5 42 86 1.764 31 56,90 29,097 0,9386

6 84 314 7.056 31 227,61 86,387 2,7867

∑ 3) 10,2685

Varians skor total tes untuk = 31; ∑ = 366 ; ∑ ) = 5.462 dan

(∑ )) = 133.956 adalah 3) = 36,801. Selanjutnya dengan rumus alpha

untuk k = 6 item didapat ++= 0,8652. Berpedoman pada kriteria J.P. Guilford maka instrumen komunikasi matematis memiliki kriteria reliabilitas tinggi.

3.1.1.2 Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran digunakan untuk mengklasifikasikan setiap item instrumen tes kedalam tiga kelompok tingkat kesukaran untuk mengetahui apakah sebuah instrumen tergolong mudah, sedang atau sukar.

Tingkat kesukaran tes dihitung dengan rumus:

AB =GHIJEℎ K7L IE7KMIHI MNDEJ MODICDEF

CDEF = P QP Q R-ST U T U T P T P T V W R Q - RS R (Depdiknas, 2006:45)

TK= Tingkat kesukaran dengan kategori: Kriteria kesukaran Kategori

AB > 0,70

0,30 ≤ AB ≤ 0,70 AB < 0,30

(31)
[image:31.595.112.519.225.621.2]

Berdasarkan skor tes ujicoba perhitungan tingkat kesukaran disajikan pada Tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.4

Analisis Tingkat Kesukaran Tes Komunikasi Matematis No.

Item ∑

Mean Skor

maksimum

Tingkat

Kesukaran Interpretasi

1 71 2,290 24 0,57 Sedang

2 51 1,645 24 0,41 Sedang

3 60 1,935 24 0,48 Sedang

4 58 1,871 24 0,47 Sedang

5 42 1,355 24 0,34 Sedang

6 84 2,710 24 0,68 Sedang

3.1.1.3 Daya Pembeda

Daya pembeda butir soal adalah kemampuan butir soal tersebut untuk membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang tidak pandai atau antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

Daya pembeda tes dihitung dengan rumus:

YZ = [ - SQVS- R-ST Q -R Q Q RSR Q - SQVS- U (Depdiknas, 2006:45)

(32)

Kriteria daya pembeda Klasifikasi daya pembeda

YZ ≥ 0,40 0,30 ≤ YZ < 0,40 0,20 ≤ YZ < 0,30

YZ < 0,20

Daya Pembeda soal sangat baik Daya Pembeda soal baik

Daya Pembeda soal kurang baik Daya Pembeda soal tidak baik

Untuk data dalam jumlah yang banyak (kelas besar) dengan n > 30, maka sebanyak 27% siswa yang memperoleh skor tertinggi dikategorikan kedalam kelompok atas (higher group) dan sebanyak 27% siswa yang memperoleh skor terendah dikategorikan kelompok bawah (lower group).

[image:32.595.115.514.240.752.2]

Karena jumlah siswa yang mengikuti tes ujicoba adalah 31 orang, maka 9 orang yang memperoleh skor tertinggi dinyatakan sebagai kelompok atas (higher group) dan 9 orang yang memperoleh skor terendah dinyatakan sebagai kelompok bawah (lower group). Hasil perhitungan koefisien daya pembeda tiap item instrumen tes disajikan pada Tabel 3.5 sebagai berikut:

Tabel 3.5

Hasil Perhitungan Daya Pembeda Tes Komunikasi Matematis No.

Item

\]^ \]_ \]^− \]^ Skor

maksimun DP Keterangan

1 3,56 0,89 2,67 24 0,67 Amat Baik

2 2,22 0,78 1,44 24 0,36 Baik

3 3,67 0,56 3,11 24 0,78 Amat Baik

4 2,78 0,89 1,89 24 0,47 Amat Baik

5 2,22 0,22 2,00 24 0,30 Amat Baik

(33)

3.5 Prosedur Penelitian

Rangkaian kegiatan penelitian ini secara berurutan dibagi menjadi empat tahapan yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pengolahan dan analisis data, dan tahap penulisan laporan.

3.5.1 Tahap Persiapan

Tahap persiapan penelitian dimulai dari sejak pembuatan proposal, kemudian melaksanakan seminar proposal untuk meperoleh koreksi dan masukan dari tim pembimbing tesis, menyusun instrumen dan rancangan pembelajaran. Setelah melalui tahapan-tahapan bimbingan dan perbaikan, selanjutnya instrumen diuji cobakan. Hasil uji coba dianalisis untuk diketahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran serta daya pembeda instrumen.

3.5.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

3.5.2.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian di Kelas

(34)
[image:34.595.115.515.160.690.2]

Tabel 3.6

Jadwal Pelaksanaan Penelitian pada Kelas KoopSTAD-CG II plus No HARI/TANGGAL WAKTU KEGIATAN/MATERI PELAJARAN

1 Senin,

27 Juli 2009 07.55 – 09.50 Pretes

2 Rabu,

29 Juli 2009 11.05 – 12.25

1. Pengertian garis, sinar garis dan

segmen garis.

2. Membagi ruas garis menjadi n sama

panjang.

3. Dua garis sejajar, berpotongan dan

berimpit.

4. Garis-garis horizontal dan vertikal

3 Sabtu,

01 Agustus 2009 07.55 – 10.10

1. Banyaknya garis sejajar yang dapat

dibuat melalui satu titik di luar suatu

garis.

2. Dua garis sejajar yang dipotong oleh

garis lain.

3.Sebuah garis yang sejajar dengan dua

garis lain.

4 Senin,

03 Agustus 2009 09.30 – 10.50 Perbandingan ruas garis.

5 Rabu,

05 Agustus 2009 11.05 – 12.25

1. Pengertian sudut.

2. Mengukur dan menggambar sudut

3. Jenis-jenis sudut.

6 Sabtu,

08 Agustus 2009 07.15 – 09.15

1. Mengenal satuan sudut

2. Penjumlahan dan pengurangan sudut.

7 Selasa,

(35)
[image:35.595.113.513.163.641.2]

Tabel 3.7

Jadwal Pelaksanaan Penelitian pada Kelas KoopSTAD

No HARI/TANGGAL WAKTU KEGIATAN/MATERI PELAJARAN

1 Senin,

27 Juli 2009 10.50 – 12.30 Pretes

2 Selasa,

28 Juli 2009 07.15 –09.15

1. Pengertian garis, sinar garis dan segmen

garis.

2. Membagi ruas garis menjadi n sama

panjang.

3. Dua garis sejajar, berpotongan dan

berimpit.

4. Garis-garis horizontal dan vertikal

3 Selasa,

28 Juli 2009 09.30 –10.50

1. Banyaknya garis sejajar yang dapat

dibuat melalui satu titik di luar suatu

garis.

2. Dua garis sejajar yang dipotong oleh

garis lain.

3. Sebuah garis yang sejajar dengan dua

garis lain.

4 Jumat,

31 Juli 2009 07.15 – 09.15 Perbandingan ruas garis.

5 Rabu

05 Agustus 2009 09.30 – 10.50

1. Pengertian sudut.

2. Mengukur dan menggambar sudut

3. Jenis-jenis sudut.

6 Kamis,

06 Agustus 2009 11.05 – 12.25

1. Mengenal satuan sudut

2. Penjumlahan dan pengurangan sudut.

7 Sabtu,

(36)
[image:36.595.115.515.156.635.2]

Tabel 3.8

Jadwal Pelaksanaan Penelitian pada Kelas CG II plus

No HARI/TANGGAL WAKTU KEGIATAN/MATERI PELAJARAN

1 Rabu,

29 Juli 2009 07.15 – 09.15 Pretes

2 Rabu,

29 Juli 2009 09.30 – 10.50

1. Pengertian garis, sinar garis dan segmen

garis.

2. Membagi ruas garis menjadi n sama

panjang.

3. Dua garis sejajar, berpotongan dan

berimpit.

4. Garis-garis horizontal dan vertikal

3 Jumat,

31 Juli 2009 09.30 -11.00

1. Banyaknya garis sejajar yang dapat

dibuat melalui satu titik di luar suatu

garis.

2. Dua garis sejajar yang dipotong oleh

garis lain.

3. Sebuah garis yang sejajar dengan dua

garis lain.

4 Senin,

03 Agustus 2009 07.15 – 09.15 Perbandingan ruas garis.

5 Jumat,

07 Agustus 2009 11.05 – 12.25

1. Pengertian sudut.

2. Mengukur dan menggambar sudut

3. Jenis-jenis sudut.

6 Sabtu,

08 Agustus 2009 09.30 – 10.50

1. Mengenal satuan sudut

2. Penjumlahan dan pengurangan sudut.

7 Senin,

(37)

3.5.2.2 Pembelajaran Geometri Model Kooperatif Tipe STAD berbasis

Program Cabri Geometry II Plus (koopSTAD- CG II plus) pada Kelas VII B

Pada pertemuan pertama dilaksanakan pretes kelas VII B, hasilnya diperiksa untuk mengetahui kemampuan awal mereka komunikasi matematis siswa. Selanjutnya kepada siswa kelas eksperimen diberitahukan, bahwa pada pertemuan berikutnya mereka akan mengikuti koopSTAD-CG II plus.

Sebanyak 35 siswa-siswi dalam kelas VII B dikelompokkan menjadi tujuh kelompok belajar. Delapan kelompok masing-masing terdiri dari lima siswa. Pengelompokan siswa dilakukan dengan mempedomani hasil ulangan harian sebelumnya. Pengelompokan diupayakan memenuhi syarat heterogen baik kemampuan maupun jenis kelamin. Sehari sebelum pelaksanaan pembelajaran nama-nama anggota kelompok disampaikan agar ada kesiapan mereka.

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai guru yang mengajar pada kelas VII B menggunakan koopSTAD-CG II plus. Selama pembelajaran di kelas pada tahap-tahap tertentu saat pembelajaran disuting menggunakan handycome.

Pada setiap pertemuan dilaksanakan koopSTAD-CG II plus dengan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:

i. Tahap Pendahuluan (Apersepsi)

(38)

fase-fase kegiatan dan langkah-langkahnya, termasuk menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa.

ii. Tahap mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar:

Pada tahap ini guru menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan diskusi secara efisien. Tahap ini berlangsung 5 menit.

iii. Tahap Eksplorasi (Kegiatan inti):

Pada tahap ini siswa melakukan eksplorasi materi melalui dikusi kelompok belajar dengan bimbingan guru dan bagi anggota kelompok yang sudah mengerti menjelaskan pada anggota lain sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti. Tahap eksplorasi berlangsung 30 menit.

iv. Tahap evaluasi atau kuis

Tahap evaluasi atau kuis dilaksanakan selama 25 menit. Pada tahap ini mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari. Pada saat menjawab kuis tidak boleh anggota setiap kelompok saling membantu (bekerja secara individu).

v. Tahap memberikan penghargaan

(39)

3.5.2.3 Pembelajaran Geometri Model Kooperatif Tipe STAD (koopSTAD) pada Kelas VII D

Pada pertemuan pertama dilaksanakan pretes kelas VII D, hasilnya diperiksa untuk mengetahui kemampuan awal mereka komunikasi matematis. Selanjutnya kepada siswa kelas eksperimen diberitahukan bahwa pada pertemuan berikutnya mereka akan mengikuti koopSTAD.

Sebanyak 35 siswa-siswi dalam kelas VII D dikelompokkan menjadi tujuh kelompok belajar. Delapan kelompok masing-masing terdiri dari lima siswa. Pengelompokan siswa dilakukan dengan mempedomani hasil ulangan harian sebelumnya. Pengelompokan diupayakan memenuhi syarat heterogen baik kemampuan maupun jenis kelamin. Sehari sebelum pelaksanaan pembelajaran nama-nama anggota kelompok disampaikan agar ada kesiapan mereka.

Dalam penilitian ini, peneliti bertindak sebagai guru yang mengajar pada kelas VII D menggunakan koopSTAD. Selama pembelajaran di kelas pada tahap-tahap tertentu pada saat pembelajaran disuting menggunakan handycome.

Pada setiap pertemuan dilaksanakan koopSTAD dengan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:

i. Tahap Pendahuluan (Apersepsi)

(40)

fase-fase kegiatan dan langkah-langkahnya, termasuk menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa.

ii. Tahap mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar:

Pada tahap ini guru menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan diskusi secara efisien. Tahap ini berlangsung 5 menit.

iii. Tahap Eksplorasi (Kegiatan inti):

Pada tahap ini siswa melakukan eksplorasi materi melalui dikusi kelompok belajar dengan bimbingan guru dan bagi anggota kelompok yang sudah mengerti menjelaskan pada anggota lain sampai semua anggota dalan kelompok itu mengerti. Tahap eksplorasi berlangsung 30 menit.

iv. Tahap evaluasi atau kuis:

Tahap evaluasi atau kuis dilaksanakan selama 25 menit. Pada tahap ini mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari. Pada saat menjawab kuis tidak boleh anggota setiap kelompok saling membantu (bekerja secara individu).

v. Tahap memberikan penghargaan

(41)

3.5.2.4 Pembelajaran Geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus (CG II plus) pada Kelas VII E

Pada pertemuan pertama dilaksanakan pretes kelas VII E, hasilnya diperiksa untuk mengetahui kemampuan awal komunikasi matematis mereka. Selanjutnya, kepada siswa kelas eksperimen diberitahukan bahwa pada pertemuan berikutnya mereka akan mengikuti CG II plus.

Dalam penilitian ini, peneliti bertindak sebagai guru yang mengajar pada kelas VII E yang menggunakan CG II plus. Selama pembelajaran di kelas pada tahap-tahap tertentu pada saat pembelajaran disuting menggunakan handycome.

Pada setiap pertemuan dilaksanakan CG II plus dengan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:

i. Tahap Pendahuluan (Apersepsi):

Tahap apersepsi dilakukan selama 10 menit. Pada tahap apersepsi, guru memberikan pengarahan dan penjelasan kegiatan yang akan dilakukan siswa berkaitan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan, menyangkut fase-fase kegiatan dan langkah-langkahnya, termasuk menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa.

ii. Tahap Eksplorasi (Kegiatan inti):

(42)

iii. Tahap mengerjakan soal latihan:

Pada tahap ini guru memberikan beberapa soal latihan kepada siswa untuk dikerjakan secara individu. Tahap ini berlangsung selama 15 menit.

iv. Tahap evaluasi atau kuis:

Tahap evaluasi atau kuis dilaksanakan selama 25 menit. Pada tahap ini mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu (bekerja secara individu).

(43)

Bagan 3.1 Alur Kegiatan Penelitian

Pelaksanaan CG II Plus Pembuatan Proposal Penelitian

Tes Awal Kemampuan Komunikasi Matematis

Pelaksanaan KoopSTAD

(44)

3.6 Teknik Analisis Data

Setelah penelitian dilaksanakan, maka diperoleh data sebagai berikut:

3.6.1 Data nilai pretes kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII B yang melaksanakan koopSTAD-CG II plus, kelas VII D yang melaksanakan koopSTAD dan kelas VII E yang melaksanakan CG II plus. 3.6.2 Data nilai postes kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII B

yang melaksanakan koopSTAD-CG II plus, kelas VII D yang melaksanakan koopSTAD dan kelas VII E yang melaksanakan CG II plus. 3.6.3 Data sutingan handycome pada kelas VII B yang melaksanakan

koopSTAD-CG II plus, kelas VII D yang melaksanakan koopSTAD dan kelas VII E yang melaksanakan CG II plus.

Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Uji statistik yang digunakan adalah uji F atau ANOVA satu jalur, jika persyaratan-persyaratan pengujian terpenuhi. Selanjutnya, perhitungan dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan Software SPSS 13,0 for Windows dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menghitung statistik deskriptif skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain meliputi skor terendah, skor tertinggi, rata-rata, simpangan baku dan varians.

(45)

3. Menguji homogenitas varians dengan uji Levene dalam One-Way Anova pada taraf kepercayaan 95%.

4. Untuk melihat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan menggunakan rumus skor gain ternormalisasi:

` = 0abc 0ade

0fghc 0ade (Meltzer. 2002)

Keterangan:

3VT = 37L i DODK ;

3VSR= 37L iLKODK ;

3Q -R = 37L IE7KMIHI MNDEJ Kategori: Tinggi : ` ≥ 0,7 ;

Sedang: 0,3 ≤ ` < 0,7 ; Rendah: g < 0,3

5. Menguji hipotesis penelitian dengan uji F atau ANOVA satu jalur.

6. Untuk mengetahui mana kelas eksperimen yang berbeda dan mana kelas eksperimen yang tidak berbeda digunakan Analisis Scheffe dalam Post Hoc Tests, lebih lanjut dapat dilihat pada hasil uji signifikansi bisa dilihat pada output dengan ada atau tidaknya tanda “*” pada kolom “Mean Difference”. Jika tanda bintang ada di angka Mean Difference, maka perbedaan tersebut nyata atau signifikan. Jika tidak ada tanda *, maka perbedaan tidak signifikan.

(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan serta analisis dan diskusi kemampuan komunikasi matematis siswa dapat ditingkatkan melalui model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus, kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD, dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus, kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

3. Kualitas peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dari kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus lebih unggul dari kelas yang memperoleh

(47)

pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD dan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

4. Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD.

5. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan siswa yang kelas memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif Tipe STAD.

6. Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan kelas yang memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

7. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif yipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dengan siswa yang kelas memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus. 8. Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang

(48)

9. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kelas yang memperoleh pembelajaran geometri model kooperatif tipe STAD dengan siswa yang kelas memperoleh pembelajaran geometri berbasis Program Cabri Geometry II Plus.

5.2 Saran-Saran

Berdasarkan temuan, pembahasan, analisis dan diskusi, serta kesimpulan penelitian, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut:

5.2.1 Kepada Guru

5.2.1.1 Untuk guru bidang studi matematika, melaksanakan pembelajaran geometri melalui model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus sebaiknya digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, maka disarankan kepada guru matematika untuk menggunakan model pembelajaran ini pada materi atau pokok bahasan/sub pokok bahasan yang memiliki karakteristik seperti materi sudut dan garis.

(49)

membantu menumbuhkan rasa percaya diri siswa, sehingga aktifitas pembelajaran menjadi lebih efektif.

5.2.1.3 Salah satu dasar yang harus dikuasai guru yang mencoba menerapkan pembelajaran geometri melalui model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus yaitu menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/komputer) dengan baik.

5.2.2 Kepada Lembaga Terkait

Karena melalui pembelajaran geometri melalui model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar, dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika, maka diperlukan dukungan dari lembaga/instansi terkait untuk mensosialisasi pembelajaran geometri melalui model kooperatif tipe STAD berbasis Program Cabri Geometry II Plus di sekolah melalui MGMP, seminar, lokakarya, atau melalui pelatihan guru-guru, bahkan bila memungkinkan para guru disekolahkan pada jenjang tertentu.

(50)

5.2.3 Kepada Peneliti Yang berminat

(51)

Arifin, Z. (1991). Evaluasi Instruksional Prinsip-Teknik-Prosedur. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Yogyakarta: Bumi Aksara.

Arnawa, M. (2006). Meningkatkan Kemampuan Pembuktian Mahasiswa dalam Aljabar Abstrak melalui Pembelajaran Berdasarkan teori APOS. Bandung: Desertasi UPI, Tidak dipublikasikan.

Astin, A. (1993) What Matters in College?; Four Critical Years Revisited, Josey-Bass: San Francisco, CA.

Azizah, N. (2007). Profil Guru dalam membelajarkan konsep Pecahan Siswa Kelas III SDN Bandungrejosari I Kota Malang Tahun Ajaran 2006/2007. Tugas Akhir, Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar dan Prasekolah Universitas Negeri Malang.

Cai, J., Lane, S., & Jakabcsin, M. S. (1996). The role of open-ended tasks and holistic scoring rubrics: Assessing students’ mathematical reasoning and communication. In P.C. Elliott & M.J. Kenney (Eds.) Communication in mathematics, K-12 and beyond). U.S.A: Academic Press, 137-145.

Collis, B., Andernach, T., & van Diepen, N. (1995). The web as process tool and product environment for group-based project work in higher education, [web document]. Paper presented at WebNet'95, San Francisco, October 15-19, 1995. Available: http://texasextension. tamu.edu/agcom/ho...griall/webnet96.gr/webnet96/html/378.htm [2000, 13 July].

(52)

online pada Juli 2007.

Depdiknas Dirjend Dikdasmen. (2001). Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Mata Pelajaran Pengetahuan Alam, Jakarta : Direktorat PLP

Depdiknas.( 2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 22, 23, 24 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Department of Education (1996). Educator Servis teaching & Learning Curriculum Resources, Mathematics Curriculum Framework Achieving Mathematical Power Januari 1996. [Online]. Tersedia: www.doe.mass.edu/frameworks/ math/1996-similar.

Dewey dan Arends, R. I. (1977). Classroom instruction and management. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Effendi, T. N. (1992). Sumber Daya Manusia di Indonesia. Yogjakarta : Pusat Kependudukan Universitas Gajah Mada.

Eggen, P.D & Kauchak, P. P. (1996). Strategies forTeacher: Teaching Content and Thinking Skill. Boston: Allyn & Bacon.

Hasan S.H. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta : Depdikbud.

Hasan S.H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta : P2LPTK Ditjen Dikti-Depdikbud.

Hudoyo, H. (1997). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Dirjen Dikti Depdiknas

Hudoyo, H. (1998). Pembelajaran Matematika Menurut Kontrutivisme. Malang : PPs. IKIP Malang

(53)

Lanjutan Pertama Depdiknas.

Johnson, David dan Johnson, Roger.T (2007). Cooperative Learning and Moral Education, The Newsletter of cooperative learning Insttitude, Volume 22, Issue 1, March 2007 [Online] Tersedia : (www.co-operation.org) [18 April 2008]

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1996). Cooperation and the use of technology. In D.H.Jonassen (Ed.), Handbook of research for educational communications and technology (pp.1017-1044). New York: Simon and Schuster Macmillan.

Jacobs. (2003). Instructional Materials for K-8 Mthematics Classroom. The California Adoption: Cambridge University Press.

Jacobs, G. M., Lee, G. S, & Ball, J. (2002). Learning Cooperative Learning via Cooperative Learning: A Sourcebook of Lesson Plans for Teacher Education on Cooperative Learning. Singapore: SEAMEO Regional Language Center.

Juwairiah. (2007). Kecakapan Komunikasi Siswa dalam Pembelajaran Matematika menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD di SMP Negeri 12 Palembang. Inderalaya : FKIP UNSRI.

Kramarski, B., & Mevarech, Z. R. (2003). Enhancing mathematical reasoning in the classroom: Effects of cooperative learning and metacognitive training. American Educational Research Journal, 40(1), 281-310. KTSP Matematika. (2006). SMP Negeri 2 Serui Papua.

Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaran

Matematika SMP (2001), Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional.

(54)

Matematika”. Disampaikan dalam Seminar RME di USD Yogyakarta , 14-15 Nopember 2003.

Masrun dan Martaniah, (1973). Psikologi Pendidikan, Seri Paedagogik dan Psikologi. Yogjakarta : Penerbit Fakultas Psikologi UGM Yogjakarta. Mariotti, M. A. (2002). The Influence of Technological Advances on Students

Mathematical Learning. (Dalam: Handbook of International Research in Mathematical Education. Ed. Lyn D. English). New Jersey: NCTM. Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematic Preparation and

Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” In Diagnostic Pretest Score [Online], Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gai n.[28 Nopember 2008]

Michael S. Meloth and Paul D. Deering (1977). Task Talk and Task Awareness Under Different Cooperative Learning Conditions [Online], Tersedia:

http://pmatandy.blogspot.com/2009/02/kumpulan-artikel-jurnal-cooperative.html

Negoro, ST. (2003). Ensiklopedia Matematika. Jakarta: Ghalia Indonesia. NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School

Mathematics. Reston, VA: Authur. [Online], Tersedia: http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/30/komunikasi-dalam-matematika/

(55)

Reston, VA: [Online], Tersedia:

http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/30/komunikasi-dalam-matematika/

NCTM. Pinellas County Schools,(2000). Division of Curriculum and Instruction Secondary Mathematics. Tersedia Online pada mathpowr/fullpower.

Nur, dkk (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Unesa University Press.

Nur, M., Wikandari, P. R . & Sugiarto, B. (1999). Teori Belajar. Surabaya: Unesa University Press.

Nur, M. & Wikandari, P.R. (2000). Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa.

Peressini dan Bassett (dalam NCTM, 1996:157). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: Authur. [Online], Tersedia: http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/30/komunikasi-dalam-matematika/

Riduwan. (2004). Metode dan teknik menyusun tesis. Bandung : Alfabeta. Ruseffendi. E. T. (1991). Penilaian Pendidikan Hasil Belajar Siswa Khusus

Dalam Pengajaran Matematika. Bandung.

Rustiyah, N.K. (1991). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press. Sawada (1997). Open-Ended Probelms dalam Matematika-Desember 2007

(56)

Hopkins University, Centre For Research On Elementary And Middle Schools.

Slavin, R.E. (1990) Cooperative Learning : Theory, Research ang Practice. Englewood Cliff, NJ: Prentice Hall.

Slavin, R.E. (1994). Cooperative Learning : Theory, Research ang Practice. Englewood Cliff, NJ: Prentice Hall.

Slavin, R.E. (2008). Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik [terjemah] Bandung: Nusa Media.

Slavin, Robert E. (1994). Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik [terjemahan] Bandung: Nusa Media.

Slavin, R.E. (1997). Education Psychology Theory and Practice, Boston: Allyn and Bacon.

Sudjana.(1992). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Bandung

Soedjadi, (1990). Kerawanan Pengajaran Matematika Di SD. Media

Pendidikan & Ilmu Pengetahuan September 1990 , hal 1-9.

Stahl, R.J. (1996). Cooperative Learning in Social Studies : Handbook for Teachers. USA : Kane Publishing Service, Inc.

Suherman, dkk. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA

FBMIPA UPI.

Sudrajat, A. 2001. Budaya Organisasi Sekolah. Jurnal. [Online], Tersedia: http://www.damandiri.or.id/file/samsudiunmuhsolodftpustaka.pdf

Sugiono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

(57)

Kanisus

Suparno, P. (1997), Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta : Kanisius.

Suherman dan Kusumah. (1990). Petunjuk Praktis untuk Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung : Wijaya Kusuma.

Sunardi. (2001). Hubungan Tingkat Penalaran Formal dan Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jakarta LPTK dan ISPI. Jilid 9 No 1 hal 43-53

Sumarmo, U. (2003). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sudarman. (2000). Pengaruh frekuensi evaluasi terhadap hasil belajar

matematika siswa dalam pembelajaran penemuan terbimbing (inkuiri). [Online], Tersedia:

http://pembelajaranfisika.blogspot.com/2008/06/pengaruh-frekuensi-evaluasi-terhadap.html

Tall, D.O. (1995). Cognitive Growth in Elementary and Advanced Mathematical Thinking. Conference of the International Group for the Psychology of Learning Mathematics,Recife, Brazil, July 1995, Vol I.

_______. (1991). The Psychology of Advanced Mathematical Thinking. Dalam D.O. Tall, (ed), Advanced Mathematical Thinking. The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

_____________. (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Matematika SMP/MTs. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.

(58)

Yogyakarta: ANDI.

Thursan H., (2005). Belajar Secara Efektif, Jakarta: Puspa Swara.

Van Hiele. (1999). Developing Geometric Thingking through Activities that Begin with Play: Children Mathematics [Online], Tersedia: http://abdussakir.wordpress.com/2009/01/25/pembelajaran-geometri-dan-teori-van-hiele/

Vygotsky. (2002). Characteristics of Constructivist Learning and Teaching.. http://www.stemnet.nf.ca. [Online], Tersedia: http://www.damandiri.or.id/file/iputuekaikipsingdftpustaka.pdf

Wahab, A.A. (1986). Metodologi Pengajaran IPS. Jakarta : P2LPTK Ditjen Dikti-Depdikbud.

_______,(2008). Laporan Hasil Ujian Nasional SMP Negeri 2 Serui. Serui: SMP Negeri 2.

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2 Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis
Tabel 3.3 Perhitungan Varians Instrumen Komunikasi Matematis
Tabel 3.4
+5

Referensi

Dokumen terkait

Model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams AchievementDivision (STAD)dapat dijadikan model alternatif dalam pembelajaran IPA.Model pembelajaran kooperatif tipe STAD

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih tinggi daripada yang

Pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah model pembelajaran untuk tempat siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 siswa dengan tingkatan kemampuan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student teams Achievement Division) dengan pendekatan kontekstual

Perbedaan Efektivitas Antara Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dan Ceramah Terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran Pdo (Alat

Dari data analisis disimpulkan: (1) prestasi belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD kontekstual power point menghasilkan

1) Siswa kurang memahami makna pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pada saat awal pertemuan siswa sudah dijelaskan bagaimana konsep pembelajaran kooperatif tipe STAD

Pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah model pembelajaran untuk tempat siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 siswa dengan tingkatan kemampuan siswa yang berbeda,