• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Baing pada Orangtua yang Memiliki Anak Autistik di Yayasan "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Baing pada Orangtua yang Memiliki Anak Autistik di Yayasan "X" Bandung."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

v Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran derajat psychological

well-being orangtua yang memiliki anak autistik di Yayasan “X” Bandung. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode desktiptif. Penarikan sample menggunakan teknik accidental sampling dengan jumlah responden sebanyak 36 orang. Alat ukur yang digunakan merupakan adaptasi dari Scale of Psychological Well-Being dari Carol Ryff (1989) yang dimodifikasi oleh peneliti dan terdiri atas 84 item. Peneliti juga melakukan validasi terhadap alat ukur yang digunakan menggunakan metode Correlation Coefficient Pearson dan diperoleh 35 item valid dengan validitas yang berkisar antara 0,337-0,815. Peneliti juga melakukan uji reliabilitas alat ukur menggunakan Alpha Cronbach dan diperoleh reliabilias sebesar 0,915 yang tergolong sangat tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian, 56% orangtua yang memiliki anak autistik di Yayasan

“X” Bandung memiliki derajat psychological well being yang rendah. Peneliti menyarankan

(2)

vi Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This study was conducted to obtain a picture of the psychological well-being degree of parents who have autistic children in the Foundation "X" Bandung. The method used in this research is descriptive method. Sampling using accidental sampling technique with 36 respondents. The measuring tool used is an adaptation of the Carol Well-Being Scale of Psychological Well-Being from Carol Ryff (1989) and composed of 84 items. The researcher also validated the measuring instrument used by Correlation Coefficient Pearson method and obtained 35 valid items with validity ranging from 0,337-0,815. Researchers also tested the reliability of measuring instruments using Alpha Cronbach and obtained reliabilias of 0.915 which is very high.

(3)

ix Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v 2.1. Teori Psychological Well-Being ... 16

2.1.1. Sejarah Psychological Well-Being ... 16

2.1.2 Pengertian Psychological Well-Being ... 18

2.1.3 Dimensi-dimensi Psychological Well-Being ... 19

2.1.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Psychological Well-Being ... 24

(4)

x

2.2.4 Bagaimana Diagnosis Autisme Memengaruhi Orangtua ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 31

3.2. Bagan Prosedur Penelitian ... 31

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 31

3.3.1. Variabel Penelitian ... 31

3.3.2. Definisi Operasional Psychological Well-Being ... 31

3.4. Alat Ukur ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Populasi Penelitian ... 41

4.1.1 Tahap Perkembangan ... 41

4.1.2. Pendidikan Terakhir ... 42

(5)

xi

Universitas Kristen Maranatha

4.1.4 Status Sosio-Ekonomi ... 43

4.2. Hasil Penelitian ... 43

4.2.1. Psychological well-being ... 43

4.3. Pembahasan ... 45

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 55

5.2. Saran ... 55

5.2.1 Saran Teoretis ... 56

5.2.2 Saran Praktis ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(6)

xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Sebelum Validasi ... 33

Tabel 3.2 Kisi-kisi Alat Ukur Setelah Validasi ... 35

Tabel 3.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 36

Tabel 3.4 Kriteria Validitas ... 38

Tabel 3.5 Kriteria Reliabilitas ... 39

Tabel 4.1 Gambaran Usia Responden ... 41

Tabel 4.2 Gambaran Tingkat pendidikan Responden ... 42

Tabel 4.3 Level Autisme Anak ... 42

Tabel 4.4 Gambaran Taraf Status Sosio-Ekonomi Responden ... 43

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Derajat PWB ... 43

(7)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR

(8)

xiv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

(9)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Memiliki anak yang terlahir sempurna merupakan dambaan setiap orangtua yang tentunya mengharapkan anaknya lahir dengan kondisi sehat, baik secara fisik maupun psikis. Idealnya, orangtua akan mengupayakan apa pun agar anaknya dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, namun ada kondisi ketika orangtua harus menerima saat mereka ditakdirkan untuk memiliki anak dengan kebutuhan khusus (ABK). ABK terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu tunanetra, tunarungu wicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, anak yang mengalami kesulitan dalam belajar, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), dan autisme (Yulia Suharlina, 2010).

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia pada setiap tahunnya mengalami peningkatan, termasuk anak penyandang autisme. Berdasarkan data dari Badan Penelitian Statistik (BPS) dari 2010 hingga 2016, diperkirakan terdapat sekitar 140.000 anak di bawah usia 17 tahun yang menyandang autisme. Mohamad Nelwansyah, Direktur Eksekutif Rumah Autis mengatakan bahwa diperkirakan anak penyandang autisme di Indonesia mencapai 35%, yaitu sekitar 139.000 dari 400.000 anak berkebutuhan khusus (Erika, 2015).

(10)

2

Universitas Kristen Maranatha gejalanya sudah ada sejak lahir namun seringkali luput dari perhatian orangtua (American

Psychological Association [APA], 2013).

ASD dicirikan dengan dua ciri utama, yaitu hambatan komunikasi sosial (deficits in

social communication) dan minat yang terfiksasi dan perilaku berulang (fixated interest and

repetitive behavior) (APA, 2013). Dalam hal ini seringkali aktivitas anak terlihat sederhana misalnya duduk di lantai dan berguling-guling maju mundur dalam waktu yang lama, memutar-mutar tali sepatunya atau berputar-putar di dalam ruangan. Contoh lainnya adalah anak harus memakan makanan yang sama dengan piring yang sama. Selain itu, anak autistik juga memiliki ketidakmampuan dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan membalikkan kata ganti diri, biasanya anak memanggil dirinya dengan kata ganti “kamu”

(Riyanti, 2002).

Mengingat jumlah anak dengan ASD di Indonesia semakin meningkat dari waktu-ke waktu, tidak sedikit orangtua yang berhasil membesarkan anak ASD hingga meraih kesuksesan. Oscar Yura Dompas merupakan salah satu penyandang autis yang tergolong berprestasi. Oscar sebagai penyandang ASD mampu menyelesaikan kuliah S-1 di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Keberhasilan Oscar tidak terlepas dari dukungan dan perjuangan orangtuanya dalam membesarkan Oscar. Banyak kesulitan dan tantangan bagi kedua orangtua Oscar saat menyadari bahwa anaknya menyandang ASD kemudian bangkit dan memperjuangkan perkembangan anaknya hingga mampu sukses seperti saat ini (Agustina, 2006)

(11)

3

Universitas Kristen Maranatha mereka. Beban finansial, pembagian waktu, dan tenaga jelas merupakan hal yang sangat besar bagi keluarga dengan ASD, bahkan meski dibandingkan dengan keluarga yang anak-anaknya memiliki kebutuhan kesehatan yang mendesak.

Sastry dan Aguirre (2012) dalam bukunya yang berjudul Parenting Your Child with

Autism memaparkan sebuah survey online yang dilakukan oleh Interactive Autism Network

(IAN). Hasilnya menyimpulkan bahwa 80% dari 429 keluarga menunjukkan pengaruh negatif terhadap situasi finansial orangtua dikarenakan mengasuh anak autistik. Orangtua melaporkan pengeluaran pertahun mereka yang begitu besar karena memiliki anak autistik. Mereka juga mengeluhkan efek negatif terhadap karier mereka terlalu banyak meminta cuti untuk mengasuh anak autistik, bahkan berhenti kerja atau studi. Disisi lain, anak autistik mudah tersinggung, melakukan agitasi, menangis, ujarannya tidak benar, tidak mampu mengikuti aturan, dan tidak pernah merasa membutuhkan bantuan untuk melakukan tugas sehari-hari, merupakan sumber stress terbesar orangtua (Annette et al, 2009 dalam Sastry & Aguirre, 2012). Kekhawatiran akan masa depan berada di puncak daftar sembilan dari sepuluh orangtua, menurut survey IAN tahun 2009. Kebanyakan orangtua merasakan dampak negatif dalam hal perilaku anak, kemunduran, dan kesulitan pemberian perawatan. Penanganan yang melelahkan dan mengecewakan menyerang hampir separuh orangtua sebagai stresor negative (Sastry & Aguirre, 2012).

(12)

4

Universitas Kristen Maranatha 2012). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orangtua dengan anak autistik memiliki tingkat perceraian lebih tinggi. Bagi orangtua di keluarga biasa, risiko perceraian mulai merosot setelah anak menginjak usia 8 tahun, namun bagi keluarga dengan ASD tidak terdapat penurunan dalam risiko perceraian (Hartley dkk, 2010 dalam Sastry & Aguirre, 2012). Namun demikian, pada pasangan yang berpisah setelah putra-putri mereka didiagnosa ASD, autisme seringkali diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi dan bukan faktor penyebab satu-satunya (Grosso, 2011 dalam Sastry & Aguirre, 2012).

Melihat begitu banyaknya tantangan yang dihadapi orangtua dengan anak autistik, terdapat banyak layanan bantuan pendidikan dan terapi perilaku khusus yang dapat meningkatkan kemampuan penyandang autisme, salah satunya adalah Yayasan “X” yang terdapat di Bandung. Yayasan “X” merupakan sebuah lembaga sosial yang didirikan dengan tujuan untuk menjembatani kebutuhan akan tempat terapi maupun sekolah bagi penyandang autisme maupun anak berkebutuhan khusus (ABK) dari keluarga tidak mampu dengan biaya yang terjangkau bahkan gratis. Gagasan pendiriannya dilatari oleh banyaknya informasi dari orang tua tentang beratnya menangani penyandang autisme, terutama biayanya yang tergolong mahal, bahkan bagi kalangan yang berada sekalipun.

Yayasan “X” menyediakan berbagai teknik terapi yang dapat diperoleh secara

cuma-cuma, di antaranya terapi wicara, terapi okupasi, terapi perilaku, dan terapi pendidikan. Tujuan pemberian terapi secara gratis ialah agar orang tua yang memiliki anak autistik dari segala golongan ekonomi mampu memperoleh bantuan profesional dengan kualitas yang baik sehingga dapat mengurangi beban orangtua khususnya dalam hal finansial. Selain itu

Yayasan “X” juga rutin mengadakan Parent Share Group (PSG) setiap bulannya. Tujuannya

(13)

5

Universitas Kristen Maranatha membantu orangtua lain yang memiliki pengalaman serupa dalam usahanya mengurus dan menangani anak autistik.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada 10 orangtua di Yayasan “X” Bandung, diperoleh informasi bahwa pada awalnya seluruh orangtua (100%) tidak menerima keadaan anaknya yang didiagnosa mengidap autisme. Seiring berjalannya waktu mereka menyadari bahwa perkembangan yang ditunjukkan anak mereka memang berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya. Kemudian mereka pasrah dan mulai berusaha menerima kenyataan. Mereka merasa bingung karena kurangnya pengetahuan yang mereka miliki tentang autisme. Mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka perbuat terhadap anak mereka sendiri.

Di sisi lain, hanya 4 (40%) dari 10 orangtua yang rajin mengikutsertakan anaknya dalam setiap rangkaian terapi dan konsisten mengikuti pelatihan-pelatihan yang disediakan bagi orangtua. Sisanya sebanyak 6 (60%) orangtua hanya mengikuti apa yang diinstruksikan tanpa bertanya lebih lanjut mengenai teknik dan metode terapi. Banyak juga orangtua yang tidak menjalankan terapi di rumah dan hanya mengandalkan terapi yang dilakukan saat di Yayasan “X”. Hal ini berdampak pada lambatnya kemajuan yang ditampilkan anak dalam hal keterampilan sehari-hari yang diajarkan di tempat terapi, padahal seharusnya orangtua menyadari bahwa rumah adalah tempat yang paling efektif dalam hal penanaman dan pembentukan keterampilan tersebut.

(14)

6

Universitas Kristen Maranatha proses bertahap, gradual, dan bergantung pada konsistensi yang harus dimiliki oleh pengasuh, atau dalam hal ini orangtua. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai hasil terapi yang optimal, diperlukan kerjasama yang baik antara terapis dan orangtua sehingga terapi yang diberikan dapat berjalan selaras dan menghasilkan kemajuan bagi perkembangan anak autistik.

Sebanyak 6 (60%) orangtua juga menyatakan bahwa mereka memiliki masalah dengan keluarga besar mereka. Ibu atau Ayah dituduh sebagai penyebab hadirnya keturunan dengan gangguan autsitime. Hal lainnya adalah rasa malu dan tertekan sehingga orangtua menyembunyikan anaknya dari lingkungan masyarakat sekitar. Perlakuan masyarakat (sekolah dan tetangga) yang tidak tepat membuat keluarga merasa terbebani. Perlakuan yang diskriminatif dan stigma negatif tentu menambah stress bagi keluarga. Tantangan dalam mengasuh dan penanganan anak autistik juga berdampak pada hubungan perkawinan. Orangtua merasa bahwa perkawinan mereka menghadapi krisis karena pasangan suami-istri tidak memiliki ketrampilan komunikasi dan pemecahan masalah yang baik. Empat (40%) lainnya mengaku tidak memiliki masalah dengan keluarga besar mereka. Keluarga mereka memahami dan memberikan dukungan semangat pada orangtua anak ASD.

Disisi lain, seluruh (100%) orangtua juga merasa khawatir akan masa depan anak mereka. Orangtua khawatir bagaimana kelak anak mereka mengurus diri saat mereka tua nanti. Orangtua juga khawatir mengenai pernikahan anak mereka kelak. Orangtua juga khawatir akan biaya yang dibutuhkan untuk merawat anak autistik. Mereka merasa kesulitan membagi waktu untuk bekerja karena anak mereka senantiasa membutuhkan bantuan dan pengawasan dalam kegiatannya sehari-hari.

(15)

7

Universitas Kristen Maranatha dilakukan oleh orangtua dengan anak autistik adalah dengan mengembangkan kesejahteraan psikologis (psychological well being) yang optimal.Psychological well-being menurut Ryff

(1995) adalah suatu kondisi psikologis individu, yang ditandai dengan berfungsinya aspek-aspek psikologis positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. Psychological well-being terdiri dari enam dimensi, yaitu self acceptance, positive relation with others, autonomy,

environmental mastery, purpose in life, dan personal growth (Ryff & Keyes, 1995). Dengan

memiliki psychological well-being yang optimal, diharapkan orangtua yang memiliki anak autistik akan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat keputusan sendiri, memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki tujuan yang membuat hidup mereka bermakna, dan dapat mengembangkan peranannya sebagai orangtua dengan anak autistik sehingga dapat memperbaiki dan memperjuangkan terapi dan perkembangan anak-anaknya. Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Being pada Orangtua yang Memiliki Anak Autistik di Yayasan “X” Bandung”.

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana gambaran derajat psychological well-being orangtua yang memiliki anak autistik di Yayasan “X” Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang derajat

psychological well-being pada orangtua yang memiliki anak autistik di Yayasan “X”

(16)

8

Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mendapatkan gambaran mengenai derajat self acceptance, positive relation

with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth orangtua

yang memiliki anak autistik di Yayasan “X” Bandung sebagai dimensi dari psychological well-being.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

a. Memberikan informasi bagi bidang psikologi positif tentang gambaran derajat

psychological well-being pada orangtua yang memiliki anak autistik di Yayasan

“X” Bandung.

b. Memberikan masukan kepada peneliti lain yang berminat meneliti lebih lanjut tentang derajat psychological well-being pada orangtua yang memiliki anak autistik.

c. Menambah informasi bagi psikolog yang berminat menangani kasus-kasus di bidang psikologi positif, khususnya kasus mengenai psychological well being. 1.4.2 Kegunaan Praktis

a. Memberi pemahaman bagi orangtua yang memiliki anak autistik mengenai

Psychological Well-Being agar senantiasa berusaha dan termotivasi untuk dapat

mencapai kesejahteraan psikologis yang optimal.

b. Memberikan informasi kepada Yayasan “X” tentang Psychological Well-Being

(17)

9

Universitas Kristen Maranatha 1.5 Kerangka Pikir

Tidak mudah bagi orangtua untuk membesarkan anak dengan autisme. Sewaktu-waktu bisa saja orangtua mengalami kegoyahan mental dalam menghadapi kondisi anaknya. Lelah, stress, bahkan depresi merupakan hal-hal yang bisa dialami. Perilaku anak autistik yang cenderung tidak bisa diprediksi terkadang bisa membuat orangtua stress. Selain itu, karena autisme merupakan gangguan pervasif yang berlangsung sepanjang hidup, seringkali membuat orangtua putus asa dan merasa apa yang dilakukannya sia-sia. Selain beban psikologis, orangtua yang mempunyai anak dengan autisme juga bisa merasakan beban substansial. misalnya masalah finansial seperti biaya terapi, konsultasi dokter, obat, serta suster (Laura Schieve, 2007 dalam Sastry & Aguirre, 2012). Banyaknya penderitaan tentang kelainan dan gangguan yang dialami anak dengan autisme tentunya membawa dampak tersendiri bagi orangtua. Dalam usahanya memperoleh perkembangan yang optimal dari anaknya, orangtua yang memiliki anak autistik harus memiliki kesejahteraan psikologis atau

psychological well-being.

Psychological well-being menurut Ryff (1995) adalah suatu kondisi psikologis

individu sehat, yang ditandai dengan berfungsinya aspek-aspek psikologis positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. Dalam penelitian ini derajat psychological well-being orangtua yang memiliki anak autistik di Yayasan “X” Bandung mengacu pada evaluasi/

penilaian orangtua yang memiliki anak autistik terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya yang dilihat dari keenam dimensinya. Keenam dimensi tersebut antara lain yaitu:

self-acceptance, positive relations with others, personal growth, purpose in life, environmental

mastery, autonomy (Ryff, 1995).

Self acceptance adalah kemampuan orangtua yang memiliki anak autistik untuk

(18)

10

Universitas Kristen Maranatha dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya, orangtua yang rendah dalam dimensi ini menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnya dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima diri (Ryff, 1995).

Positive relations with others berarti kemampuan orangtua yang memiliki anak

autistik dalam menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Orangtua yang tinggi dalam dimensi ini mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Disisi lain, mereka juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar-pribadi. Sebaliknya, orangtua yang rendah dalam dimensi ini merasa terisolasi dan frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995).

Personal growth menjelaskan berarti kemampuan orangtua yang memiliki anak

(19)

11

Universitas Kristen Maranatha merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik (Ryff, 1995).

Purpose in life berarti orangtua yang memiliki anak autistik memiliki pemahaman

yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa dirinya mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Orangtua yang tinggi dalam dimensi ini memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sebaliknya orangtua yang rendah dalam dimensi ini akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1995).

Environmental mastery digambarkan dengan kemampuan orangtua yang memiliki

anak autistik untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Orangtua yang tinggi dalam dimensi ini memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Orangtua mampu mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya orangtua yang rendah dalam dimensi ini mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya (Ryff, 1995).

Autonomy digambarkan sebagai kemampuan orangtua yang memiliki anak autistik

(20)

12

Universitas Kristen Maranatha dalam dimensi ini ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sebaliknya, orangtua yang rendah dalam dimensi ini akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu (Ryff, 1995).

Orangtua yang memiliki anak autistik dikatakan memiliki psychological well-being yang tinggi cenderung memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, mengembangkan diri mereka sebaik mungkin dan berusaha mengeksplorasinya, memiliki tujuan-tujuan yang membuat hidup mereka menjadi bermakna, mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan mampu membuat keputusan sendiri dan meregulasi perilaku mereka sendiri. Sedangkan untuk

psychological well-being rendah cenderung memiliki sikap yang negatif terhadap dirinya

sendiri dan orang lain, kurang mengembangkan diri mereka dan tidak berusaha mengeksplorasi dirinya, tidak memiliki tujuan hidup yang bermakna, tidak mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, dan tidak mampu membuat keputusan dan meregulasi perilaku mereka sendiri.

Psychological well-being dipengaruhi oleh beberapa faktor demografis antara lain

(21)

13

Universitas Kristen Maranatha PWB) diperoleh bahwa Positive Relation with Others akan menurun di tahap dewasa madya dan kembali meningkat pada tahap dewasa akhir khususnya pada wanita. Sedangkan pada dimensi lainnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan selama dewasa muda hingga dewasa akhir (Ryff, 1989b, 1991; Ryff and Keyes, 1995).

Faktor penting lain yang memengaruhi psychological well-being adalah status sosio-ekonomi. Individu yang berada pada tingkat status sosio-ekonomi rendah kurang memiliki kesempatan dalam memaksimalkan hidup mereka (Doherty et al., 1989), demikian pula halnya dengan orangtua yang memiliki anak autistik. Orangtua dengan status sosio-ekonomi yang tinggi dapat memenuhi kebutuhannya dan mendapatkan materi yang diinginkan sehingga derajat psychological well-being yang dimiliki lebih tinggi dibandingkan orangtua dengan status sosio-ekonomi yang rendah.

Penelitian Ryff pada tahun 2001, menunjukkan hubungan yang jelas antara tingkat pendidikan dan sejumlah dimensi psychological well-being, seperti self-acceptance, purpose

in life dan personal growth. Hasil dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang

dengan tingkat pendidikan yang rendah, memiliki tingkat psychological well-being yang lebih rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Tingkat pendidikan yang tinggi juga menunjukkan keinginan untuk belajar serta secara terbuka mampu menerima informasi-informasi baru.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study, terlihat adanya gradasi sosial dalam kondisi psychological well-being. Data tersebut menunjukkan bahwa pendidikan tinggi meningkatkan psychological well-being terutama mempengaruhi dimensi

Personal Growth, Purpose in Life dan Self-Acceptance. Berdasarkan penelitian Bumpass dan

Aquilino tahun 1995, ditemukan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah maka cenderung memiliki aspirasi tujuan hidup yang rendah pula.

(22)

14

(23)

15

Universitas Kristen Maranatha 1.6. Asumsi Penelitian

1. Orangtua yang memiliki anak autistik mengalami stres dan membutuhkan

psychological well-being yang tinggi agar dapat memperbaiki dan memperjuangkan

terapi dan perkembangan anak-anaknya.

2. Derajat psychological well-being orangtua yang memiliki anak autistik ditentukan berdasarkan dimensi self-acceptance, positive relations with others, personal growth,

purpose in life, environmental mastery dan autonomy.

(24)

55 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari analisis yang telah dilakukan di bab sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Derajat psychological well-being pada orangtua yang memiliki anak autistik di Yayasan

‘X’ Bandung relatif seimbang akan tetapi mayoritas rendah. Sebagian besar subjek

penelitian menunjukan derajat psychological well-being yang rendah dan sisanya menunjukan derajat psychological well-being yang tinggi.

2. Tahap perkembangan, status sosio-ekonomi, dan tingkat pendidikan menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan derajat psychological well-being orangtua yang memiliki anak autistik di Yayasan “X” Bandung

3. Level autisme anak tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan derajat psychological well-being orangtua yang memiliki anak autistik di Yayasan “X”

Bandung

5.2Saran

Berdasarkan penelitian mengenai derajat Psychological Well-Being pada orangtua

yang memiliki anak autistik di Yayasan “X” Bandung, peneliti mengajukan saran sebagai

(25)

56

Universitas Kristen Maranatha 5.2.1. Saran Teoretis

- Peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian di tempat lain dengan sampel yang lebih banyak sehingga mendapatkan generalisasi mengenai derajat

psychological well-being dari orangtua yang memiliki anak autistik.

- Peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai tahap perkembangan, status sosio-ekonomi, dan tingkat pendidikan dalam kaitannya dengan derajat psychological well-being orangtua yang memiliki anak autistik.

5.2.2. Saran Praktis

- Memberi informasi kepada Yayasan “X” mengenai derajat psychological

well-being orangtua. Informasi ini dapat diberitahukan kepada para orangtua dalam

kegiatan Parent Share Group (PSG) agar memperkaya pemahaman mengenai

psychological well-being orangtua dalam rangka meningkatkan derajat

psychological well-being orangtua dalam usahanya merawat anak autistik.

- Bagi Yayasan “X”, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun program-program yang mendukung kesejahteraan psikologis para orangtua, terutama bagi orangtua yang memiliki psychological

(26)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DERAJAT

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ORANGTUA YANG

MEMILIKI ANAK AUTISTIK DI YAYASAN “X” BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh :

Lulu Lusiana

NRP : 1230012

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(27)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena telah memperkenankan peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini untuk dapat menempuh sidang sarjana, Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Being pada Orangtua yang Memiliki Anak Autistik di Yayasan “X” Bandung”

Pada penyusunan skripsi ini peneliti merasakan masih banyak kekurangan yang dialami baik dalam pembuatan maupun pada penulisan kata-kata yang ada. Peneliti merasa masih harus banyak belajar dan berlatih agar nantinya dapat menghasilkan penelitian yang lebih baik lagi.

Selama pengerjaan penelitian ini peneliti mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Irene P Edwina, M.Si., Psikolog sebagai dekan yang telah memberikan kemudahan selama penulis menjalani studi.

2. Dra. Sianiwati S.H., M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing dengan kasih, menyemangati dan memberikan dukungan selama penyusunan skripsi ini dengan sepenuh hati.

3. Cindy Maria, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing pendamping yang telah membimbing dengan kasih, menyemangati dan memberikan dukungan selama penyusunan skripsi ini dengan sepenuh hati.

4. Responden dalam penelitian ini yang telah bersedia dengan sukarela memberikan kesediaan sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

(28)

viii 6. Kedua orangtua yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan doa,

semangat, dukungan dan fasilitas kepada peneliti untuk bisa menyelesaikan penelitian ini. 7. Teman-teman: Marlitha, Sharleen, Denny, Davin, Wawa, Sella, Novi, Alfon, Ray, Mayo,

dan Lerissa yang telah memberikan semangat, dukungan, dan hiburan selama menjalani perkuliahan serta dalam penyelesaian penelitian ini.

8. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam pembuatan penelitian ini.

Bandung, 19 Mei 2017

(29)

57 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental

Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric Publishing.

Washinton DC.

Anjali Sastry, Blaise Aguirre. 2012. Parenting Anak Dengan Autisme: Solusi, Strategi dan

Saran Praktis untuk Membantu Keluarga Anda. Pustaka Belajar. 2014

Doherty, William J, dkk. 1989. Marital Disruption and Psychological Well-Being. Journal of Family Issues, 72-84. (1998). Contributions of psychosocial factors to socioeconomic differences in health. Milbank Quarterly, 76, 403-448.

Kumar, Ranjit (1999). Reseacrh Methodology: A Step by Step Guide for Beginners. London :

Sage Publications

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia

Panduan Penulisan Skripsi Sarjana, Edisi Revisi. 2015. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of research

on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review Psychology, 52, 141-166.

Ryff & Singer, 2006. Know Thyself and Become What You Are : A Eudaimonic Approach Psychological Well-Being. “Journal of Happiness Studies”.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of

psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6),

1069-1081.

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited.

Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-727.

Steger, M. F., & Kashdan, T. B. (2007). Stability and specificity of meaning in life and life

(30)

58 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Engger. 2015. Adaptasi ryff psychological well-being scale dalam konteks indonesia.Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.Yogyakarta.

http://lifestyle.okezone.com/read/2015/04/02/481/1128312/autisme-di-indonesia-terus-meningkat (Diakses pada tanggal 14 Maret 2016)

Suharlina, Yuliana. 2010. Bahan dan Media Pemebelajaran Kelompok Bermain Bagi Calon

Pelatih PAUD Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta.(Diakses pada tanggal 18 Maret

Gambar

Gambar 3.1
Tabel Data Mentah  ...........................................................................

Referensi

Dokumen terkait

Hampir seluruh ahli ekonomi Islam, termasuk al-Māwardi, berpandangan bahwa mekanisme pasar yang benar diajarkan Rasulullah adalah mekanisme pasar bebas, tidak ada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampua siswa dalam; (1) berdiskusi sebelum diberi metode enam topi berpikir De Bono di kelas eksperimen dan sebelum diberi

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa melalui uji regresi berganda, terdapat nilai koefisien

[r]

PHPTriad adalah software installer PHP secara instant yang berjalan pada lingkungan Windows, setelah menginstal PHPTriad anda tidak saja telah menginstal PHP, akan tetapi

Persyaratan akustik sebuah ruang panggung yang ideal adalah:  Sumber bunyi diatas panggung harus dinaikkan sehingga dapat. didengan oleh penonton

Berikut ini adalah hasil dari eksperimen yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan CLSC pada data uji ketiga dengan menggunakan algoritma Simulated Annealing

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukan berbagai macam hasil yang berbeda mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan