• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif mengenai Explanatory Style pada Mahasiswa Usia 18-23 Tahun Fakultas Psikologi Universitas "X" yang Diasuh oleh Single Mother.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif mengenai Explanatory Style pada Mahasiswa Usia 18-23 Tahun Fakultas Psikologi Universitas "X" yang Diasuh oleh Single Mother."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Cara pandang yang dimiliki oleh mahasiswa yang diasuh oleh single-parent mother dapat membantu mahasiswa dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Kemampuan untuk menghadapi setiap kejadian dalam kehidupan dipengaruhi oleh explanatory style, yaitu cara pandang mahasiswa terhadap berbagai kejadian yang dialami. Teori Explanatory Style (Seligman, 1990) digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui cara pandang mahasiswa terhadap kehidupan.

Terdapat 40 responden dalam penelitian ini yang dipilih sesuai dengan karakteristik sampel, yaitu mahasiswa berusia 18-23 tahun Fakultas Psikologi Universitas “X” yang diasuh oleh single-parent mother dan bersedia menjadi responden. Seluruh data diperoleh menggunakan teknik snowball sampling (Sugiyono, 2014). Penelitian ini menggunakan alat ukur Atributional Style Questionaire (ASQ) yang dibuat oleh Martin E. P. Seligman dan dimodifikasi oleh peneliti. Alat ukur yang digunakan terdiri dari 48 item yang mencakup tiga dimensi explanatory style.

(2)

Abstract

The perspective that is owned by a college students who was taken care of by a single- parent mother can assist students in dealing with daily life. The ability to face every event in daily life is influenced by explanatory style, that is student’s habitual way of explaining every event in their daily life. Explanatory Style Theory (Seligman, 1990) is used in this research to explain student’s habitual way of explaining in their life.

There is 40 respondents in this research chosen based on sample’s characteristic, that is student who was 18-23 years old and studying in Faculty of Psychology “X” University and foster by single-parent mother. All data was obtained using snowball sampling technique (Sugiyono, 2014). This research using Atributional Style Questionnaire (ASQ) as a based measuring instrument made by Martin E. P. Seligman and modificationed by researcher. This measuring instrument consists of 48 item that includes three dimensions of explanatory style.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR BAGAN ... .xi

DAFTAR LAMPIRAN ... .xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 7

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 7

1.3.1 Maksud Penelitian ... 7

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 7

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 7

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 8

1.5 Kerangka Pikir ... 8

(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Explanatory Style ... 18

2.1.1 Dimensi Explanatory Style ... 19

2.1.2 Manfaat Optimistic Explanatory Style ... 20

2.1.3 Faktor yang Memengaruhi Explanatory Style ... 23

2.2 Sistem Keluarga Single-Parent ... 24

2.2.1 Pengertian Keluarga Single-Parent... 24

2.2.2 Tantangan Mengenai Tugas Dasar Keluarga dengan Single-Parent System ... 25

2.3 Emerging Adulthood ... 27

2.3.1 Pengertian ... 27

2.3.2 Transisi di Pendidikan Tinggi ... 28

2.3.2.1Gender, Status Sosial Ekonomi, dan Etnisitas ... 28

2.3.2.2Penyesuaian di Perguruan Tinggi ... 28

2.3.2.3Perkembangan Kognitif di Perguruan Tinggi ... 29

2.3.2.4Menyelesaikan Pendidikan Tinggi ... 29

2.3.3 Pola Emerging Adulthood ... 30

2.3.3.1Variasi Jalan Menuju Adulthood dan Hal-hal yang berpengaruh .. 30

2.3.4 Perkembangan Identitas... 30

2.3.4.1Recentering ... 30

(5)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ... 33

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 33

3.3 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, Definisi Operasional ... 34

3.3.1 Variabel Penelitian ... 34

3.3.2 Definisi Konseptual ... 34

3.3.3 Definisi Operasional ... 34

3.4 Alat ukur ... 35

3.4.1 Alat ukur Atributional Style Questionaire (ASQ ... 35

3.4.2 Sistem Penilaian Kuesioner ... 36

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 37

3.4.3.1 Data Pribadi ... 37

3.4.3.2 Data Penunjang ... 37

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat ... 37

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 37

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 38

3.5 Sampel dan Teknik Penarikan Sampel ... 39

3.5.1 Sasaran Populasi ... 39

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 39

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 39

(6)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Sampel Penelitian ... 41

4.2 Hasil Penelitian ... 42

4.3 Pembahasan ... 43

4.4 Diskusi ... 47

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 48

5.2 Saran ... 49

5.2.1 Saran Teoritis ... 49

5.2.2 Saran Guna Laksana ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(7)

DAFTAR TABEL

3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Atributional Style Questionaire (ASQ) ... 37

3.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 42

3.3 Gambaran Responden Berdasarkan Rentang Usia ... 42

3.4 Gambaran Explanatory Style ... 43

3.5 Gambaran Dimensi Permanence ... 43

3.6 Gambaran Dimensi Pervasiveness ... 43

(8)

DAFTAR BAGAN

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 2 Kuesioner Explanatory Style

Lampiran 3 Data Pribadi dan Data Penunjang

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu unit sosial terkecil dalam suatu masyarakat adalah keluarga. Keluarga adalah suatu unit emosional dan menggunakan sistem pemikiran untuk menjelaskan interaksi yang kompleks di dalam unitnya (Kerr, 2000). Keluarga memiliki peranan yang sangat penting, mulai dari bayi hingga dewasa, peran keluarga tidak pernah lepas dari kehidupan individu. Namun pada kenyataannya, tidak semua keluarga mampu bertahan untuk tetap utuh. Kehilangan salah satu anggota keluarga dapat terjadi karena perceraian, kematian, atau perpisahan. Salah satu fenomena yang terkait dengan hal ini adalah single-parent. Single-parent family adalah keluarga yang dipimpin oleh orangtua tunggal. Terdapat dua macam orang tua tunggal yaitu single mother (ibu tunggal) dan single father (ayah tunggal).

Sebanyak 15,06 % keluarga di Indonesia dipimpin oleh single-parent. Di mana 12,08 % adalah single mother dan 2,98% adalah single father. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah single mother hampir 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah single father. (Badan Pusat Statistik, 2011). Hal ini salah satunya terjadi karena keputusan pengadilan terkait dengan hak asuh anak umumnya jatuh ke tangan ibu yang dianggap lebih sesuai untuk merawat dan mengawasi tumbuh kembang seorang anak. (www.legalakses.com diakses pada 4 Mei 2015)

(11)

Perceraian yang terjadi antara suami dan istri umumnya berakhir menyakitkan bagi berbagai pihak yang ikut terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak. Peristiwa yang terjadi dapat menimbulkan kurangnya perlindungan dan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Selain itu, perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma bagi anak, terutama dalam hal menjalin hubungan yang baru dengan lawan jenis. Perceraian yang terjadi seringkali dihayati oleh anak sebagai suatu kegagalan di dalam keluarga (Holmes dan Rahe, 2005). Kegagalan yang terjadi di dalam keluarga, terlebih melihat budaya di Indonesia yang masih belum bisa sepenuhnya menerima perceraian, dapat membuat anak merasa berbeda dengan kebanyakan anak pada umumnya. Bagi anak sendiri, perceraian seringkali dihayati sebagai suatu kesalahan yang dilakukan oleh dirinya (Brooks, 2013). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa perceraian menjadi penyebab stres kedua tertinggi bagi anak setelah kematian orangtua (Papalia, 2012).

Kehidupan awal keluarga yang diasuh oleh single mother dapat mengalami ketidakstabilan, seperti dalam hal ekonomi dan hubungan antar keluarga. Terkait dengan masalah ekonomi, keluarga yang baru saja beralih ke dalam single-parent system harus mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi di dalam sistem keluarga yang baru. Bagi seorang ibu rumah tangga, sumber penghasilan yang awalnya berasal dari suami tidak lagi didapatkan, hal ini memaksa ibu untuk bekerja dan menafkahi keluarga. Sedangkan bagi wanita karir, mereka harus bekerja lebih keras dan membagi waktu untuk berperan sebagai ibu juga sebagai pencari nafkah keluarga. Hal ini secara tidak langsung dapat merenggangkan hubungan orangtua dengan anak karena kesibukan orangtua akan pekerjaannya. Sangat sulit bagi single mother untuk menyediakan waktu yang cukup, memberikan perhatian, dan menyeimbangkan dua peran sekaligus sebagai ayah dan ibu untuk anaknya.

(12)

3

anak. Selain itu, orangtua yang menjadi single-parent karena bercerai sering kali menunjukkan konflik yang terjadi di depan anak. Konflik yang ditampilkan di depan anak dapat menimbulkan perasaan tidak aman pada anak. Bahkan pada tingkatan yang lebih parah, konflik yang terjadi berulang-ulang dapat menimbulkan trauma bagi anak.

Namun di sisi lain, seorang single mother tidak lagi perlu berdebat dengan suami jika terdapat perbedaan pendapat mengenai keputusan-keputusan yang akan diambil di dalam keluarga. Selain itu, anak yang diasuh oleh single mother mendapat kesempatan untuk belajar lebih mandiri dan mengerti bahwa terkadang ada masalah di dalam kehidupan yang memang harus dihadapi, salah satunya adalah menerima kenyataan bahwa sosok ayah tidak lagi dapat mendampinginya.

Berbagai kejadian yang dialami dan dirasakan oleh keluarga dengan single-parent system akan memberikan dampak jangka panjang bahkan hingga anak beranjak menuju emerging adulthood. Pentingnya peran orangtua tidak hanya ketika anak masih berusia dini, bahkan hingga memasuki masa dewasa sekalipun, kedua orangtua tetap memiliki peranan yang penting. Maka dari itu, kehilangan figur ayah, yang salah satunya terjadi akibat perceraian di dalam suatu keluarga akan berpengaruh terhadap anak yang berusia dewasa sekalipun.

(13)

individu akan menentukan pandangan mengenai kejadian yang sedang dialami oleh individu dan tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan.

Individu dengan optimistic explanatory style cenderung memandang masalah yang dihadapinya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, spesifik, serta bukan ditimbulkan oleh dirinya dan memandang peristiwa baik sebagai sesuatu yang bersifat menetap, universal, dan terjadi karena dirinya sendiri (Seligman, 1990). Individu dengan cara pandang yang positif akan memandang suatu peristiwa baik yang terjadi begitu menguntungkan dan memberi manfaat yang relatif menetap di dalam kehidupannya. Secara umum, individu yang memiliki pandangan positif akan cenderung percaya diri, sehingga individu menjadi lebih yakin dalam mencapai tujuan hidupnya.

Berbeda dengan individu optimis, individu yang memiliki pessimistic explanatory style akan memandang masalahnya sebagai suatu hal yang menetap, universal, dan timbul sebagai akibat dari kesalahannya dan memandang suatu kejadian baik sebagai suatu hal yang hanya terjadi sementara, spesifik, dan bukan ditimbulkan oleh dirinya sendiri (Seligman, 1990). Individu dengan cara pandang yang negatif akan merasa bahwa masalah yang terjadi dalam kehidupan begitu besar, sehingga dapat menghambat kemajuan berbagai aspek dalam kehidupannya. Hasil akhir dari pandangan negatif tersebut dapat mengarah pada keputusasaan serta kurangnya usaha dalam menghadapi suatu tantangan.

(14)

5

adulthood masih bergantung kepada orangtua, seperti dalam hal finansial dan tempat tinggal. Selain itu, pada tahap ini, orangtua akan menjadi acuan nilai yang dianut anaknya yang akan memengaruhi explanatory style anak. Ketiadaan ayah di dalam keluarga akan mengurangi figure yang dapat menjadi teladan atau contoh bagi anak, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia nilai-nilai yang dimiliki oleh anak dapat berasal dari anggota keluarga besar lainnya.

Explanatory style bagi individu emerging adulthood menjadi hal yang penting mengingat cara pandang yang dimiliki akan sangat berpengaruh pada setiap keputusan yang diambil. Pada tahap ini, emerging adulthood harus mengambil berbagai keputusan yang penting, seperti pemilihan jurusan, tempat kuliah, dan juga penentuan karir atau pekerjaan di masa depan. Setiap keputusan penting yang diambil akan berpengaruh pada masa depan emerging adulthood, termasuk berpengaruh kepada kesuksesan di masa depan.

Mahasiswa yang memiliki optimistic explanatory style lebih mampu melihat kehidupannya secara positif, sehingga lebih berani untuk mengambil risiko dan mengatasi berbagai tantangan serta hambatan yang dihadapinya. Mahasiswa yang lebih optimis akan menetapkan target dalam kehidupan yang cenderung lebih tinggi. Hal ini terjadi karena mahasiswa yang optimis mampu melihat berbagai kemungkinan positif yang akan terjadi. Sedangkan mahasiswa yang memiliki pessimistic explanatory style cenderung lebih ragu dalam mengambil risiko dan menghadapi tantangan dalam kehidupan. Hal ini akan berdampak pada banyak hal, salah satunya akan berdampak pada target yang ditetapkan. Mahasiswa yang pesimis cenderung ragu dan takut untuk menetapkan target yang tinggi, mahasiswa yang pesimis lebih banyak melihat kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.

(15)

sehari-hari, penghayatan dan sikap mereka terhadap kehidupan berbeda-beda. Menurut kelima responden tersebut, permasalahan yang paling sering dialami adalah masalah dalam keluarga, relasi sosial, dan bidang ekonomi. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, 3 orang responden (60%) pesimis terhadap kehidupannya. Pandangan tersebut berdampak di dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika berhadapan dengan masalah. Mereka beranggapan bahwa masalah yang terjadi bersumber dari dalam dirinya dan akan berdampak luas dan menetap, sehingga mereka lebih memilih untuk tidak banyak bertindak karena mereka yakin bahwa usaha yang dilakukan akan sia-sia. Sedangkan 2 responden lainnya (40%) memiliki optimis terhadap kehidupannya. Pandangan ini membantu individu tersebut untuk melihat hal-hal positif di dalam setiap permasalahan yang dihadapi. Meskipun suatu masalah dapat saja terjadi karena kesalahannya, tapi hal tersebut dapat diperbaiki sehingga tidak akan berdampak luas dan dapat terselesaikan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Hal ini membuat mereka lebih berani untuk menghadapi setiap masalah dan mencoba berbagai hal baru.

(16)

7

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui gambaran Explanatory Style pada mahasiswa usia 18-23 tahun Fakultas Psikologi Universitas “X” yang diasuh oleh single mother.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tipe Explanatory Style pada mahasiswa usia 18-23 tahun di universitas “X” yang diasuh oleh single mother.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui tipe Explanatory Style mahasiswa usia 18-23 tahun Fakultas Psikologi universitas “X” yang diasuh oleh single mother serta faktor-faktor yang memengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Menjadi masukan bagi ilmu psikologi, khususnya dalam bidang ilmu Psikologi Positif dan Psikologi Perkembangan mengenai explanatory style mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” kota Bandung yang diasuh oleh single mother.

(17)

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberi informasi kepada pihak Fakultas Psikologi Universitas “X” mengenai explanatory style, terutama bagi mahasiswa yang diasuh oleh single mother yang memiliki pessimistic explanatory style, agar dapat diberikan bimbingan serta arahan yang tepat dalam bentuk konseling oleh dosen wali.

1.5 Kerangka Pikir

Menurut Arnett (dalam Papalia, 2012), emerging adulthood merupakan masa di mana individu tidak lagi dikatakan remaja, namun juga belum dapat dikategorikan memiliki peran orang dewasa. Meskipun dalam banyak hal seperti belajar dan mengatur waktu luang, individu yang berada pada tahap emerging adulthood telah mandiri, namun mereka tetap membutuhkan penerimaan dari orangtua, empati, dan dukungan. Dukungan finansial dari orang tua, terutama dalam hal edukasi, dapat meningkatkan kemungkinan emerging adult untuk berhasil dalam menjalankan peran dewasanya nanti (Aquilino, 2006, dalam Papalia 2012).

(18)

9

Menurut Arnett (dalam Papalia, 2012), terdapat tiga tahapan dalam emerging adulthood. Tahap pertama, individu masih lekat dengan keluarga, namun ekspektasi mengenai self-reliance dan self-directedness mulai meningkat. Tahap berikutnya, individu masih tetap terkoneksi dengan keluarganya (dan mungkin juga masih bergantung secara finansial), namun tidak lagi sepenuhnya lekat dengan keluarga. Komitmen dalam menentukan pekerjaan dan mulai menjalin hubungan yang intim menjadi salah satu tanda pada tahap ini. Tahap terakhir adalah masa di mana individu benar-benar memasuki masa dewasa, individu telah mandiri dan memiliki komitmen terhadap karir, pasangan hidup, dan mungkin juga anak.

Responden adalah mahasiswa Fakultas Psikologi usia 18-23 tahun yang sedang berada pada tahap kedua di mana individu mulai banyak mengambil keputusan secara mandiri, namun dalam beberapa hal masih bergantung pada keluarganya, seperti dalam hal finansial, sandang, pangan, dan tempat tinggal. Keluarga, khususnya orangtua memiliki peranan yang penting dalam membantu dan memersiapkan individu untuk memasuki masa dewasa. Dalam hal ini, relasi anak dengan orangtua menjadi hal yang penting bagi kelangsungan hidup anak.

Hill (1998) mendefinisikan keluarga sebagai rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan. Keluarga merupakan unit sosial pertama yang mengawasi perkembangan seorang anak. Dalam hal tersebut, peran kedua orang tua baik ayah maupun ibu memiliki pengaruh yang sangat besar. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diketahui bahwa keluarga dapat memengaruhi dan memerhatikan tumbuh kembang seorang anak dalam keluarga.

(19)

sosialisasi, menyediakan pengalaman bagi anak, dan berperan serta dalam perkembangan konsep diri anak (Hoffman, Paris, Hall, 1994, dalam Anderson & Sabatelli, 2003). Dalam hal ini, baik ayah dan ibu memiliki peran masing-masing yang berbeda. Secara umum, ayah berperan sebagai pemimpin keluarga dan sebagai sumber penghasilan, sedangkan ibu berperan sebagai pembimbing bagi anak dan pengatur rumah tangga.

Meskipun kedua orangtua baik ayah dan ibu memiliki peran masing-masing yang cukup penting, beberapa keluarga harus menghadapi kenyataan bahwa peran ayah dan ibu dalam suatu keluarga secara utuh tidak lagi dimungkinkan. Dalam kondisi seperti ini, orangtua terpaksa menjadi seorang single-parent. Menurut Hurlock (1999), orangtua tunggal (single-parent) adalah orangtua yang telah menduda atau menjanda entah bapak atau ibu, dan menerima tanggung jawab untuk mengasuh anak-anak setelah kematian pasangannya, perceraian atau kelahiran anak di luar nikah. Hal ini merupakan akibat dari beberapa hal, seperti perceraian, kematian pasangan, atau orang yang tidak menikah dan kemudian mengadopsi anak.

(20)

11

Ada beberapa hal yang harus dihadapi oleh keluarga dengan single-parent system, yang pertama merupakan hal yang terkait dengan tugas dasar. Hal ini juga meliputi pengaturan stres dalam keluarga. Tantangan yang paling signifikan bagi single-parent system adalah mengatur dan mengatasi kenaikan level stres dalam keluarga (Anderson, 1999). Stres tersebut dapat timbul karena keluarga dengan single-parent system harus mengatur kembali dan mengontrol tugas dalam perubahan rumah tangga. Salah satu hal yang paling berpotensi menjadi stressor dalam keluarga dengan single-parent system adalah masalah dalam keuangan. Keluarga dengan single-parent system harus mampu mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan keuangan. Penghasilan yang mulanya berasal dari suami tidak lagi bisa diharapkan. (Rowe, 1991, dalam Anderson & Sabatelli, 2003). Hal berikutnya terkait dengan perubahan dalam rumah tangga adalah sumber pendapatan. Ibu yang awalnya bertugas sebagai ibu rumah tangga, harus bekerja untuk memertahankan kehidupan keluarga. Sedangkan untuk ibu yang memang pada awalnya telah bekerja, mereka harus bekerja lebih keras lagi untuk menghidupi keluarga mengingat sumber pemasukkan hanya berasal dari satu pihak. (Anderson, Sabatelli, 2003, h. 294)

(21)

Cara pandang yang biasa digunakan seseorang dalam menjelaskan kepada diri sendiri mengapa suatu peristiwa baik atau buruk terjadi disebut dengan explanatory style. Terdapat dua jenis explanatory style, yakni optimistic explanatory style dan pessimistic explanatory style (Seligman, 1990). Explanatory style memiliki 3 dimensi, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Dimensi permanence membahas mengenai rentang waktu terjadinya suatu peristiwa baik atau buruk. Permanence bad adalah seberapa sering individu menghayati kejadian buruk sebagai suatu keadaan yang berlangsung menetap (permanent) atau hanya berlangsung sementara (temporer). Sedangkan permanence good adalah seberapa sering individu menghayati kejadian baik sebagai suatu keadaan yang berlangsung menetap (permanent) atau hanya berlangsung sementara (temporer). Individu dengan optimistic explanatory style memiliki pandangan bahwa suatu kejadian baik akan menetap, sedangkan kejadian buruk yang dialami hanya bersifat sementara. Sedangkan individu yang memiliki pessimistic explanatory style akan memandang kejadian baik bersifat sementara, sedangkan kejadian buruk akan menetap.

(22)

13

Dimensi yang terakhir adalah dimensi personalization. Dimensi ini membahas mengenai siapakah penyebab terjadinya suatu peristiwa baik atau buruk. Personalization bad adalah seberapa sering individu menghayati kejadian buruk sebagai suatu keadaan yang disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) atau oleh pihak lain (external). Sedangkan personalization good adalah seberapa sering individu menghayati kejadian baik sebagai suatu keadaan yang disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) atau oleh pihak lain (external). Individu yang optimis cenderung berpikir bahwa segala keberhasilan dan peristiwa yang menyenangkan terjadi karena kehadiran dirinya, sementara segala kegagalan dan peristiwa buruk terjadi karena pengaruh eksternal atau pengaruh orang lain.

Individu yang tergolong memiliki optimistic explanatory style akan lebih cepat dan mampu mengatasi segala perasaan helplessness dan memotivasi diri untuk mengatasi kegagalan yang dialaminya. Individu yang optimis memiliki konsep yang positif terhadap masa depan, diri sendiri, dan dunia karena melihat peristiwa baik sebagai sesuatu yang menetap (permanent), berdampak luas (universal), dan terjadi karena diri sendiri (internal), dan melihat peristiwa buruk dengan cara sebaliknya (Seligman, 1990). Dengan berbagai pandangan positif di dalam setiap peristiwa, pada akhirnya individu menjadi lebih kuat dalam mencapai tujuan hidup serta potensi yang dimiliki akan lebih menonjol. Hal tersebut terjadi karena pikirannya didominasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang positif, sehingga individu yang memiliki optimistic explanatory style lebih berani dalam mengambil keputusan dan risiko.

(23)

(internal), dan melihat peristiwa baik dengan cara sebaliknya. Dengan begitu banyaknya pandangan negatif terhadap keberhasilan maupun kegagalan, individu tersebut akhirnya cenderung memilih untuk tidak melakukan apapun karena pemikiran bahwa kegagalan bersifat menetap. Selain itu, individu yang pesimis juga cenderung takut untuk mengambil suatu risiko, segala kemungkinan yang dipikirkannya didominasi oleh kemungkinan-kemungkinan buruk. (Seligman, 1990)

Terkait dengan explanatory style, terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi explanatory style individu. Faktor yang pertama adalah explanatory style yang dimiliki oleh ibu (Seligman, 1990). Orang tua, terutama ibu yang mengasuh sejak kecil merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar mengenai explanatory style. Selain itu, umumnya anak hidup sehari-hari dalam pengasuhan dan didikan ibu, sehingga ibu memiliki peran yang penting dalam membentuk explanatory style anak. Explanatory Style akan dipelajari oleh anak melalui komunikasi dengan ibunya. Seorang anak akan memerhatikan dan meniru apa saja yang dilakukan oleh ibunya, mulai dari perkataan, pola pikir, dan tingkah laku. Karena begitu erat hubungan antara ibu dan anak, maka segala sesuatu yang dilakukan oleh ibu dalam kehidupan sehari-hari akan berpengaruh pada explanatory style anak. Jadi, explanatory style tidak diturunkan secara genetik, namun dipelajari dari lingkungan di sekitar individu tersebut hidup (Seligman, 1990). Demikian pula dengan mahasiswa yang diasuh oleh single mother. Ibu yang memiliki optimistic explanatory style akan memberi contoh dan mengarahkan anaknya untuk memiliki pandangan yang serupa, sehingga sejak dini anak terbiasa melihat pola tingkah laku dan pemikiran yang bersifat positif.

(24)

15

Individu yang lebih banyak mendapat kritik negatif ketika mengalami kegagalan akan membuat cara pandang tertentu pada anak dalam menghadapi kegagalan. Sebagai contoh, saat mahasiswa gagal di dalam ujian, respon orangtua yang memberi semangat dan menanamkan keyakinan bahwa dirinya mampu jika mau belajar, akan menumbuhkan kepercayaan diri mahasiswa yang pada akhirnya akan berpengaruh pada explanatory style yang dimilikinya. Hal ini membuat pandangannya terhadap suatu permasalahan menjadi lebih positif. Sebaliknya, bila orangtua menyalahkan mahasiswa dan mengatakan bahwa mahasiswa tersebut tidak mampu, maka kemungkinan besar adalah perasaan takut dan keraguan yang akan berkembang.

Ketiga, hal yang terjadi pada masa krisis anak akan memengaruhi cara pandang individu terhadap suatu peristiwa. Pengaruh lingkungan sangat kental terkait dengan hal ini. Seorang individu yang tidak segera menerima bantuan atau bahkan tidak menerima bantuan sama sekali ketika menghadapi suatu kejadian akan menumbuhkan suatu perasaan helplessness pada individu (Seligman, 1990). Individu yang mendapatkan pertolongan ketika menghadapi kesulitan akan merasa sangat terbantu, sehingga pandangannya terhadap kehidupan cenderung lebih positif ketimbang individu yang tidak pernah mendapatkan pertolongan dari orang lain. Salah satu masa krisis yang dapat terjadi pada anak adalah kondisi keluarga, perceraian merupakan salah satu kondisi krisis bagi anak. Ada begitu banyak perubahan yang terjadi secara mendadak dan anak dituntut untuk segera menyesuaikan diri.

Berdasarkan dimensi dan faktor-faktor yang memengaruhinya, dapat diketahui explanatory style yang dimiliki oleh mahasiswa individu akhir fakultas Psikologi Universitas “X” yang tinggal dengan single mother. Ada dua kemungkinan explanatory style yang

(25)

Faktor yang memengaruhi Explanatory Style : -. Explanatory style Ibu

-. Kritik orang dewasa -. Kejadian Traumatis

Mahasiswa

Fakultas Psikologi Universitas “X” yang tinggal dengan Single mother

Optimistic Explanatory Style

Explanatory Style

Pessimistic Explanatory Style Dimensi Explanatory Style :

1. Permanence 2. Pervasiveness 3. Personalization

(26)

17

1.6 Asumsi

Mahasiswa yang diasuh oleh single mother memiliki kemungkinan yang lebih besar

untuk memiliki pessimistic explanatory style.

Explanatory style pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” yang diasuh

oleh single mother dibentuk oleh tiga dimensi, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization.

Explanatory style mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” yang diasuh oleh

(27)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, maka peneliti dapat menarik simpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar responden mahasiswa yang diasuh oleh single mother memiliki pessimistic explanatory style.

2. Mahasiswa yang memiliki pessimistic explanatory style cenderung pesimis dalam dimensi permanence, pervasiveness, dan personalization.

3. Mahasiswa yang memiliki optimistic explanatory style cenderung optimis dalam dimensi permanence dan pervasiveness. Sedangkan untuk dimensi personalization,

mahasiswa yang memiliki optimistic explanatory style lebih cenderung pesimis dalam

dimensi tersebut.

4. Faktor-faktor yang memengaruhi explanatory style menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan explanatory style mahasiswa usia 18-23 tahun yang diasuh oleh single mother.

5.2. Saran

5.2.1. Saran teoretis

Untuk penelitian berikutnya, peneliti memberikan saran sebagai berikut :

(28)

50

2. Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan modifikasi alat ukur sesuai dengan konteks yang dialami oleh responden.

3. Penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian mengenai explanatory style anak yang mengalami perceraian pada tahap perkembangan tertentu (anak, remaja, dewasa).

5.2.2. Saran Guna Laksana

(29)

MAHASISWA USIA 18-23 TAHUN FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS “X”

YANG DIASUH OLEH SINGLE MOTHER

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sidang Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha

Oleh : Hans Adrian

1230087

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG

(30)
(31)
(32)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Explanatory Style pada Mahasiswa Usia 18-23 Tahun Fakultas Psikologi Universitas ‘X’ yang Diasuh oleh Single Mother” tepat waktu.

Peneliti juga berterimakasih untuk segala bantuan dari berbagai pihak, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi yang telah disusun ini masih jauh dari kata sempurna dan masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan kali ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu peneliti dalam proses penyusunan dan penyelesaian tugas ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada :

1. Dr. Yuspendi, M.Psi., M.Pd., Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha yang telah memberi kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian ini.

2. Dra. Sianiwati S. Hidayat, psikolog selaku dosen koordinator mata kuliah Usulan Penelitian dan Skripsi yang telah memberikan materi dan kesempatan untuk melakukan penelitian.

(33)

4. Linda O. P., S. Psi., selaku dosen pembimbing pendamping yang telah menyediakan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memberi banyak masukan yang bermanfaat bagi peneliti.

5. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog dan Vida Handayani, M.Psi., Psikolog sebagai dosen pembahas yang telah memberikan banyak masukan pada saat Seminar Usulan Penelitian.

6. Martin E. P. Seligman, Ph.D. yang telah bersedia membantu dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti hingga penelitian ini selesai dibuat.

7. Keluarga terkasih, untuk Papa, Mama, dan Stella, yang selalu mendoakan, membantu, memberi dukungan, dan semangat saat peneliti sedang bekerja keras dalam menyusun skripsi.

8. Iryanto, S.T. yang telah memberi banyak dukungan baik moral maupun materi kepada peneliti hingga skripsi ini selesai dibuat.

9. Mayo, Jevin, dan Martin selaku mahasiswa pembahas yang telah memberikan masukan pada saat Seminar Usulan Penelitian, beserta dengan seluruh teman-teman dan sahabat yang telah hadir dan mendukung peneliti pada saat Seminar Usulan Penelitian dilakukan. 10.Seluruh responden yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya untuk berpartisipasi

dalam penelitian ini.

11.Yohana Irma, Valencia, Jessica, dan Yuliana beserta seluruh teman-teman yang telah membantu peneliti selama pengambilan data.

(34)

Akhir kata peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mungkin namanya tidak disebutkan. Terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu peneliti dalam menyelesaikan Skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bandung, Oktober 2015

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Stephen A. & Sabatelli, Ronald M. 2003. Family Interaction : A Multigenerational Developmental Perspective. Boston : Pearson Education

Arnett, Jeffrey J. 2004. Emerging Adulthood : The Winding Road From The Late Teens Trough The Twenties. New York : Oxford University Press, Inc.

Papalia, Diane E. & Feldman, Ruth Duskin. 2012. Experience Human Development. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta, CV.

Seligman, Martin E. P. 1990. Learned Optimism. New York : Pocket Books

Walczak, Yvette & Burns, Sheila. 1984. Divorce : The Child’s Point of View. London : Harper & Row Publishers Ltd

(36)

51

DAFTAR RUJUKAN

Kerr, Michael E. (2000). One Family’s Story. (Online). (http:// www.thebowencenter.org/ wp-content/ uploads/ 2015/ 09/ pubform.pdf, diakses 25 September 2015)

Mawardi, D. (2015). 44.172 Perempuan di Kabupaten Bandung Barat jadi Single Parent. (Online). (http:// m.galamedianews.com/ bandung-raya/ 15184/ 44172-perempuan-di-kabupaten-bandung-barat-jadi-single-parent.html, diakses 30 September 2015)

Rejeki, Tan Maria. 2014. Studi Deskriptif Mengenai Explanatory Style dalam Konteks Pekerjaan pada Siswa Tunanetra yang Menempuh Program Rehabilitasi Sosial Tahap Lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung (Skripsi). Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha : Bandung

Prajipto, Veronika. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pengasuhan Single-Parent Mother (Skripsi). Fakultas Psikologi Universitas Soegijapranata : Semarang

Gambar

figure yang dapat menjadi teladan atau contoh bagi anak, meskipun tidak dapat dipungkiri

Referensi

Dokumen terkait

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah pendidikan karakter yang berdasarkan pada nilai-nilai keislaman yang berperan terhadap pembentukan karakter religius siswa

Alhamdulillah hirobil „alamin, p uji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Tulos- ten perusteella voidaan todeta, että toiminta on tarpeellista sekä omaisten kan- nalta, mutta myös hoitajien kannalta.. Toiminnalla on vaikutusta hoitajien päivit- täiseen

Dengan menerapkan konsep tema mimesis dalam arsitektur, bangunan Perpustakaan di Manado ini memiliki ciri mengambil bentukan dengan menirukan buku yang

1) Peserta didik aktif menyimpulkan materi pembelajaran melalui tanya jawab secara klasikal dibimbing guru. 2) Peserta didik aktif melakukan refleksi proses pembelajaran, seperti

“Masyarakat yang Berdaya Saing” menunjukkan visi Pemerintah Kabupaten Landak yang bercita-cita mewujudkan masyarakat Kabupaten Landak yang memiliki keunggulan

Puji Syukur dan kemuliaan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus karena atas kasih karunia dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan pembuatan tesis dengan judul

x Deskripsi Data Hasil Penghitungan Angket Hasil penghitungan jumlah keseluruhan skor pada angket memperlihatkan respon positif dari siswa kelas X Bahasa SMAN 1 Driyorejo terhadap