• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBINAAN ESTETIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN ETNOMATEMATIKA PADA BUDAYA LOKAL MASYARAKAT KALIMANTAN BARAT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PEMBINAAN ESTETIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN ETNOMATEMATIKA PADA BUDAYA LOKAL MASYARAKAT KALIMANTAN BARAT."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………... i

LEMBAR PENGESAHAN ………... ii

PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH……....………... vii

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR TABEL..………... x

DAFTAR GAMBAR ………... xi

DAFTAR LAMPIRAN ……….………... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Masalah Penelitian ………...………... 16

C. Pertanyaan Penelitian ……...………... 18

D. Tujuan Penelitian …………...……….... 19

E. Manfaat Hasil Penelitian ….…...………... 20

F. Struktur Organisasi Disertasi ……...………... 20

BAB II PEMBINAAN ESTETIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN BUDAYA MASYARAKAT ... 22

A. Estetik Sebagai Kebutuhan Manusia ... 22

B. Aspek Budaya pada Pembelajaran Matematika ... 24

C. Etnomatematika dan Perkembangannya ... 30

D. Etnomatematika dalam Budaya Masyarakat ... 34

1. Aktivitas membilang ... 38

2. Aktivitas mengukur . ... 38

3. Aktivitas menentukan lokasi atau letak Aktivitas membilang ... 39

4. Aktivitas mendesain ... 39

E. Budaya dan Implikasinya dalam Pendidikan Matematika ... 40

F. Etnomatematika: Matematika yang Berkembang dalam Masyarakat... 43

G. Pembinaan Estetik dalam Pembelajaran Matematika ... 46

1. Estetik dalam kurikulum sekolah ... 46

2. Sasaran dan manfaat pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika .... 49

a. Mengembangkan ekspresi ... 50

b. Mengembangkan sensitivitas ... 50

c. Mengembangkan kreativitas ... 51

(2)

3. Manfaat langsung hasil berkarya dalam pembelajaran matematika ... 61

H. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan ... 63

I. Kerangka Berpikir ... 66

J. Hipotesis Penelitian ... 71

BAB III PROSES PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN ESTETIK ... 72

A. Pendahuluan ... 72

B. Desain Penelitian ... 75

C. Objek Penelitian ... 78

D. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 81

E. Prosedur Pengembangan Model Pembinaan Estetik ... 83

F. Pengumpul Data: Teknik dan Alat yang digunakan ... 100

G. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 103

H. Analisis Data ... 104

I. Penjelasan Istilah ... 106

J. Asumsi ... 109

K. Keterbatasan Penelitian ... 109

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 111

A. Hasil Penelitian Pendahuluan ………... 111

1. Keberadaan Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pontianak ... 111

2. Visi Misi SMP Negeri 2 Pontianak ... 112

3. Keadaan Siswa ………... 115

4. Keadaan Guru ……….……... 116

5. Fungsi dan Tugas Pokok Pengelola Sekolah ... 118

6. Struktur Kurikulum SMP Negeri 2 Pontianak ... 122

7. Kegiatan Belajar Mengajar di SMP Negeri 2 Pontianak ………... 124

8. Model pembelajaran yang diterapkan guru matematika dan aktivitas Siswa ………... 125

9. Pembinaan Estetik di Sekolah ……… 132

10.Pandangan guru tentang pembelajaran matematika ……… 135

11.Diagnosis Pembinaan Estetik dalam Pembelajaran Matematika ... 140

B. Hasil Pengembangan Model dan Instrumen Penilaian ………. 146

1. Model Awal dari Model Pembinaan Estetik ……….……... 146

2. Model Hipotetik dari Model Pembinaan Estetik Produk Penelitian ……… 148

3. Karakteristik Model Pembinaan Estetik ... 152

4. Gambaran Implementasi MPE dalam Pembelajaran ... 153

5. Hasil Pembakuan Model Pembinaan Estetik ... 156

C. Hasil-hasil Implementasi Model Pembinaan Estetik Dalam Pembelajaran Matematika ……….. 171

1. Siklus Implementasi MPE pada Pembelajaran Matematika ... 171

(3)

3. Implementasi MPE pada Siklus Kedua ... . 206

4. Implementasi MPE pada Siklus Ketiga ... 231

D. Temuan-temuan hasil implementasi MPE ... 256

1. Implementasi model ... . 256

2. Menyiapkan siswa, memulai pelajaran ... 260

3. Aktivitas-aktivitas siswa dalam implementasi MPE ... 266

4. Pembinaan estetik pada implementasi MPE ... 269

5. Menumbuhkan toleransi, menenggang orang lain ... 272

6. Latihan keterampilan komunikasi, mengembangkan interaksi belajar... 275

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 278

A. Kesimpulan ... 278

B. Proposisi ... 283

C. Rekomendasi ... 283

DAFTAR PUSTAKA ………... 287

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1. Daftar Anggota Tim Partisipatif ... 83

3.2 Struktur Data Monitoring dan Evaluasi Program ……… 93

3.3. Prosedur Pengembangan Model ………... 95

4.1 Pejabat dan periode Jabatan Kepala SMP Negeri 2 Pontianak ... 112

4.2 Data Siswa SMP Negeri 2 Pontianak berdasarkan Kelompok Umur dan Agama ... 116

4.3 Latar Belakang Pendidikan, Status Kepegawaian, Jenis Kelamin, dan Jumlah Guru SMP Negeri 2 Pontianak ... 116

4.4 Analisis Kebutuhan Ideal Guru Mata Pelajaran SMP N 2 Pontianak ... 117

4.5 Struktur Kurikulum SMP Negeri 2 Pontianak ... 123

4.6 Rangkuman Pengembangan Model Pembinaan Estetik ... 150

4.7 Tabel Implementasi MPE pada Pembelajaran ... 153

4.8 Hasil Penilaian Instrumen Penilaian Kevalidan MPE ... 158

4.9 Hasil Penilaian Instrumen Kepraktisan Model Pembinaan Estetik ... 159

4.10 Revisi Instrumen Kepraktisan MPE ... 161

4.11 Hasil Penilaian Instrumen Keefektifan Model Pembinaan Estetik ... 161

4.12 Hasil validasi para penimbang terhadap MPE ... 162

4.13 Hasil penilaian kepraktisan MPE dalam pembelajaran matematika ... 165

4.14 Respon siswa pada implementasi MPE dalam pembelajaran matematika ... 170

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Berpikir Proses Penelitian ... 78

2.2 Proses Pembinaan Estetik ... 71

3.1 Siklus Implementasi Model Pembinaan Estetik ... 78

3.2 Tahap-tahap pengembangan Model Pembinaan Estetik ………... 96

3.3 Komponen Analisis Data Model Miles & Huberman (1994) ……... 105

4.1 Model Awal Pembelajaran ... 147

(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Glosarium ... 304

2. Gambar Produk Anyaman Masyarakat Kalimantan Barat ... 308

3. Foto Implementasi Program Green & Clean School ... 311

4. Foto Tim Partisipatif Merencanakan Material Pembelajaran ... 312

5. Foto Implementasi Siklus-1 MPE dalam Pembelajaran Matematika ... 313

6. Foto Implementasi Siklus-1 MPE dalam Pembelajaran Matematika ... 314

7. Foto Implementasi Siklus-1 MPE dalam Pembelajaran Matematika ... 315

8. Daftar Penimbang Pembakuan Instrumen ... 316

9. Lembar Monitoring Kegiatan Perencanaan Implementasi MPE ... 317

10. Lembar Monitoring Kegiatan Pelaksanaan Implementasi MPE ... 319

11. Lembar Monitoring Kegiatan Refleksi Implementasi MPE ... 321

12. Format Wawancara Semi-Terstruktur dengan Guru ... 323

13. Format Wawancara dengan Kepala (Wakep) ... ... ... 326

14. Format Wawancara Semi-Terstruktur dengan Kepala (Wakep) ... 328

15. Format Wawancara kepada Siswa ... 329

16. Kuesioner Kegiatan Pembelajaran bagi Siswa dalam Implementasi MPE .... 331

17. Lembar Observasi Open Lesson dalam Implementasi MPE ... 333

18. Lembar Observasi Aktivitas Siswa dalam Implementasi MPE ... 334

19. Isian Wawancara dengan Kepala Sekolah ... ... .... 335

20. Isian Wawancara dengan Guru ... 337

21. Isian Wawancara dengan Guru ... 340

(7)

23. Contoh lembar jawaban LKS dalam Implementasi MPE ... 346

24. Isian Wawancara Semi Terstruktur dengan Siswa ... 347

25. Contoh Respon Siswa terhadap Implementasi MPE ... 348

26. Rekapitulasi Respon Siswa terhadap Implementasi MPE ... 350

27. Contoh Catatan Lapangan pada Siklus Implementasi MPE ... 351

28. Contoh-2 Lembaran Jawaban LKS Hasil Kerja Siswa ... 354

29. Contoh-2 Lembaran Jawaban LKS Hasil Kerja Siswa ... 356

30. Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP-1) ... 358

31. Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP-2) ... 373

32. Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP-3) ... 390

33.Struktur Organisasi SMP Negeri 2 Pontianak ... ... .... 406

34.Denah SMP Negeri 2 Pontianak ... 407

35.Surat Ijin Penenlitian ... 408

(8)

1

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab 1 ini diuraikan latar belakang yang mendasari penelitian pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Pertama, diikuti masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian dan rumusan pertanyaan penelitian. Pada subbab berikutnya diuraikan tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian. Di bagian akhir bab ini dikemukakan struktur organisasi penulisan disertasi.

A. Latar Belakang

Selama ini matematika dipandang sebagai mata pelajaran penting sehingga perlu dibelajarkan kepada peserta didik sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pentingnya matematika bagi manusia dikemukakan dalam laporan penelitian National Research Council (NRC, 1989: 1) bahwa, “Mathematics is the key to opportunity”. Sampai tahap-tahap tertentu, orang perlu membekali diri dengan pengetahuan matematika agar ia dapat memperoleh berbagai kesempatan tersedia bagi pengembangan karirnya. Siswa yang berhasil mempelajarinya mendapatkan alat bantu untuk membuka pintu karir yang cemerlang, menunjang dalam pengambilan keputusan yang tepat, dan menjadi pengetahuan pendukung untuk mempersiapkan

dirinya dalam bersaing di bidang teknologi maupun ekonomi. Namun sayang, prestasi belajar matematika para siswa Indonesia hingga saat ini

(9)

2

(b) mengembangkan aktualisasi konsep, kurang mengimbangi dengan memberi pengalaman kongkrit dan hands on activity, (c) belum banyak mengembangkan kemampuan untuk melakukan pembuktian atau pengujian, seperti eksplorasi dan investigasi.

Salah satu fakta yang dijadikan indikator kurang berhasilnya pembelajaran matematika, termasuk geometri adalah hasil ujian nasional sekolah menengah pertama pada tahun 2010. Rata-rata perolehan skor siswa di tingkat kabupaten/ kota Pontianak sebesar 47,84 dan tingkat propinsi sebesar 56,56; sementara di tingkat nasional sebesar 67,81 (LPMP, 2010). Adapun standar kelulusan ujian nasional yang ditetapkan untuk tahun ajaran 2010 masih di bawah angka 6. Bahkan siswa yang mendapat nilai 4,00 pada mata pelajaran matematika yang diujikan masih dapat dinyatakan berhasil lulus asal nilai rata-rata seluruh mata ujian mencapai 5,50. Hasil-hasil penelitian (Inoyadi, 2010; Herlina, 2010) dan Hasil-hasil wawancara kepada beberapa orang guru Matematika SMP diketahui ada banyak siswa yang mengalami kesulitan untuk mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan guru dalam belajar matematika, khususnya bidang geometri.

(10)

3

dengan menyatakan bahwa keberadaan suatu bentuk menurut ketertiban geometrinya. Itu berarti, keindahan suatu hasil karya tergantung pada proporsi elemen-elemen geometrinya. Peranan geometri dapat disetarakan dengan matematika atau bahasa sebagai alat berkomunikasi. Alat komunikasi geometri adalah simbol, bangun berdimensi-2 dan bangun berdimensi-3. Geometri beserta olahannya merupakan sumber kreativitas yang tiada batas pada kegiatan pendesainan untuk menghasilkan karya yang sarat bermuatan estetik.

Kesulitan siswa dalam belajar geometri juga terungkap dari hasil analisis terhadap tugas-tugas yang diberikan kepada para guru peserta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) 2010. Dari tugas tersebut diketahui bahwa para siswa kesulitan dalam mencapai KKM pada berbagai topik dalam pelajaran matematika. Menurut para guru, ada beberapa faktor yang diduga menyebabkan para siswa gagal mencapai standar ketuntasan, antara lain keterbatasan kemampuan guru dalam menciptakan situasi belajar yang menyenangkan, para siswa terpaksa mengikuti pembelajaran matematika yang wajib diikutinya, kurang motivasi, interaksi belajar masih banyak berlangsung searah dari guru – ke siswa. Para siswa dinilai masih kurang terlibat aktif dalam pembelajaran, sebaliknya guru lebih aktif dan menyukai menggunakan pola transfer pengetahuan dengan metode ceramah yang divariasi dengan penugasan untuk mempercepat penyelesaian target kurikulum.

(11)

4

penyelesaian materi pelajaran. Asumsinya, bila materi pelajaran segera dapat diselesaikan, mereka mempunyai waktu yang panjang untuk memberikan latihan-latihan penyelesian soal dan melakukan berbagai uji coba ujian agar para siswa lebih siap ketika menempuh ujian.

Berdasarkan uraian di atas serta kajian oleh Depdiknas (2010) dapat dikemukakan bahwa para guru masih sering membelajarkan matematika secara tradisionil yang berorientasi pada tujuan sebagaimana pernah dilakukan dengan berpedoman pada kurikulum lama. Pengetahuan matematika dibelajarkan kepada siswa melalui transfer informasi, dan menekankan pada hapalan rumus-rumus dan prosedur. Pada kondisi tersebut, belum banyak guru yang menciptakan suasana pembelajaran matematika yang menyenangkan, mengembangkan kreativitas, dan meaningful learning, belum memberi porsi secara proporsional untuk mengasah

potensi siswa pada domain afektif, psikomotor, atau sosial. Seolah-olah matematika merupakan materi pelajaran yang bebas nilai dan tidak terkait dengan persoalan-persoalan masyarakat.

Kurikulum yang kini diberlakukan di sekolah mengamanahkan kepada guru agar dalam pembelajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk membangun makna dari objek yang dipelajari. Para siswa dibelajarkan secara aktif melalui

kegiatan penyelidikan, merumuskan, membuktikan, mencari pengetahuannya, dan mengaplikasikan hasil belajarnya pada situasi lain. Kurikulum juga mengamanatkan

agar guru memberdayakan kekayaan lokal, termasuk nilai-nilai dan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Johnson (2002: 25) menganjurkan agar pembelajaran di kelas menekankan pada proses yang bertujuan membimbing siswa menemukan makna dalam materi pelajaran dan menghubungkan dengan latar kehidupan sehari-hari, baik dalam latar yang bersifat personal, sosial, maupun budaya.

(12)

5

kecakapan-kecakapan yang didapat dari kegiatan belajar. Bila hal itu dapat terwujud, siswa akan lebih mudah menghubungkan pengetahuannya dengan aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan yang dibangun pada aktivitas belajar berkaitan erat dengan masalah kehidupan di lingkungannya. Pengaitan antara pengetahuan yang diperoleh dari pembelajaran dengan aktivitas masyarakat tersebut merupakan salah satu proses pembudayaan.

Soedjadi (1999: 189) berpendapat bahwa matematika yang menjadi pelajaran dasar bagi semua jenjang pendidikan dapat dilihat dampaknya di kemudian hari pada pembentukan keterampilan serta pembentukan tata-nalar. Kemampuan memecahkan masalah dan menggunakan matematika merupakan kemampuan yang mengacu kepada nilai material pengajaran matematika. Adapun kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan sistematis merupakan kemampuan yang mengacu pada nilai forma pengajaran matematika. Nilai forma matematika lebih menitikberatkan pada penataan atau pembentukan tata-nalar serta sikap seseorang.

(13)

6

terapan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun budaya lokal yang terdapat dalam lingkungan siswa diberdayakan sebagai sumber dan media pembelajaran sehingga pembelajaran berlangsung secara kontekstual. Pemanfaatan budaya lokal juga dapat menjadi media untuk mewariskan budaya, dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Ketiga sumber belajar tersebut diorganisir secara integratif sinergis sehingga muatannya dalam pembelajaran tidak berpengaruh pada penambahan beban belajar siswa.

Perbedaan pada berbagai aspek yang berkaitan dengan multibudaya masyarakat dipandang semakin penting bagi pendidikan pada umumnya dan pendidikan matematika pada khususnya. Sejak dekade 1990-an, para pendidik matematika Indonesia secara berkelanjutan melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran. Konsep matematika dibelajarkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek lokal yang berkembang dalam masyarakat di sekitar lingkungan siswa. Pembelajaran yang memberdayakan aspek-aspek lokal dalam pendidikan matematika sebagai salah satu upaya perbaikan dikenalkan dengan nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pandangan multikultural pendidikan matematika yang dipromosikan oleh Ambrosio sejak tahun 1985 kepada organisasi guru-guru matematika di Amerika Serikat (NCTM) sebagai bidang kajian baru, mendorong kesadaran para pemerhati dan para ahli pendidikan matematika untuk mendiskusikan dan memahami peranan matematika dalam masyarakat yang multibudaya.

(14)

7

kurikulum mereka. Situasi ini dapat menginduksi calon guru dengan menganggap matematika sebagai universal dan tidak terkait budaya (Ambrosio, 2001).

Untuk menunjang penerapan KTSP, para peneliti dan pendidik di LPTK berkewajiban untuk melakukan berbagai kajian dan terobosan mengubah situasi dan membantu guru mengembangkan cara-cara membelajarkan matematika kepada peserta didik di kelas dengan menggunakan objek-objek yang telah dikenali di lingkungannya. Bila hal ini dapat dilakukan, akan membuka potensi pedagogis yang mempertimbangkan pengetahuan para siswa yang diperoleh dari belajar di luar kelas. Para pendidik di LPTK juga perlu memperluas pemahaman calon guru matematika berkaitan dengan pengaruh nilai-nilai sosial budaya pada konsep-konsep matematika di satu sisi, dan di sisi lain penerapan matematika oleh kelompok-kelompok yang berbeda budaya dalam pengalaman hidup komunal.

Sejumlah hasil penelitian yang dilakukan oleh Masingila (1995); Bishop (1991); Pinxten (1994) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara matematika yang dipraktekkan pada situasi sehari-hari dalam lingkup budaya dan matematika yang dipelajari para siswa di sekolah. Masingila (1995: 18) secara khusus menekankan, bahwa pengetahuan matematika yang diperoleh di luar sekolah sering berkembang dari kegiatan-kegiatan yang: (a) muncul pada aktivitas dalam keluarga, (b) didorong adanya dilema, (c) tujuan, (d) penggunaan bahasa alamiah oleh siswa, dan (e) sering terjadi dalam situasi magang ketika siswa yang sedang praktek lapangan mengamati keterampilan instrukturnya atau ketika terlibat dalam diskusi dan bertukar pikiran dengan pendampingnya. Pengetahuan yang diperolehnya itu berbeda dengan cara belajar matematika dalam proses pembelajaran di sekolah.

(15)

8

memungkinkannya untuk memperoleh pengetahuan matematika melalui kegiatan nyata. Dengan cara itu, mereka dapat mengkonstruksi pengetahuan matematika sekaligus dapat menghubungkan antara pengalaman konkret dengan konsep abstrak dalam struktur kognitif siswa dalam bentuk imaginasi. Alwasilah (2009: 12) berpendapat bahwa:

Pendidikan yang berkhidmat kepada budaya, dan mendorong penguatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan amat dibutuhkan karena beragam persoalan sosial yang muncul menuntut pemihakan dan pertimbangan moral. Proses pendidikan yang bersandar secara kukuh kepada budaya amat penting guna melahirkan pandangan dunia, nilai-nilai, dan komitmen terhadap nilai-nilai dan keluhuran martabat manusia yang bertumpu pada kejujuran dan pertanggungjawaban.

Namun, pembelajaran matematika masa lalu yang menekankan perlunya menghapal rumus-rumus matematika dan banyak melakukan latihan prosedural masih sering berlangsung. Sejarah pelajaran berhitung dengan metode tubian (drill) pada masa lalu dinilai cukup berhasil memberi pengetahuan prosedural dan keterampilan aritmetika kepada siswa, sehingga ketika mereka dihadapkan pada soal tentang pembagian dua bilangan pecah, mereka dapat menyelesaikan dengan cekatan menggunakan kebalikan operasi pembagian (Price, 1996).

(16)

9

bahwa ada siswa yang menggunakan konsepsi, gagasan atau caranya masing-masing, yang berbeda dengan prosedur yang diajarkan guru.

Dalam tradisi konstruktivisme, perbedaan-perbedaan pemikiran yang dimiliki para siswa dijadikan dasar untuk membangun pengetahuan yang benar, disepakati dan diterima secara umum. Dalam melaksanakan KTSP, para guru diamanahkan agar memberdayakan masalah-masalah yang erat kaitannya dengan konteks kehidupan dengan memberi dorongan, kesempatan dan bimbingan agar siswa dapat menemukan ulang (reinvent) membangun sendiri (reconstruct) pengetahuan matematikanya. Pemikiran-pemikiran berbeda yang dituangkan siswa dalam lembar jawaban masalah kontekstual menunjukkan bahwa pengetahuan matematika yang dimiliki siswa sebelumnya atau pengetahuan matematika informal yang diperoleh siswa dari interaksi dengan lingkungan sosial memberi warna pada tugas-tugas penyelesaian masalah (Ijudin & Hartoyo, 2008). Hiebert & Carpenter (1992: 65-97) menemukan fakta bahwa orang-orang yang tidak pernah sekolah dapat menyelesaikan masalah matematika sehari-hari dengan menggunakan strateginya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang bersekolah banyak menggunakan strategi berbeda dari pelajaran di sekolah dalam menyelesaikan masalah matematika sehari-hari. Hal itu dapat menjadi referensi yang tersimpan dalam masyarakat bahwa ada perbedaan-perbedaan antara matematika yang diajarkan di sekolah dengan matematika yang ditemukan anak dalam kehidupannya sehari-hari. Padahal, matematika itu hakekatnya tumbuh dari keterampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya (Bishop, 1994), sehingga matematika seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budayanya (Pinxten, 1994).

(17)

10

Secara luas etnomatematika berkaitan berbagai aktivitas-aktivitas di lingkungan, seperti: membilang, mengukur, menentukan lokasi, membuat rancang bangun, permainan-permainan dan menjelaskan. Menurut Staats (2006: 41) penerapan matematika di sekolah bukan hanya sebagai proses transformasi pengetahuan kepada siswa, tetapi mereka juga harus memahami kaitannya dalam kehidupan.

Dalam proses mengajar belajar matematika, salah satu prosesnya adalah membentuk skemata baru dalam struktur kognitif para peserta didik. Skemata baru itu lebih cepat terbentuk jika mempertimbangkan skemata yang telah ada dalam diri siswa, sehingga terjadi asimilasi dalam struktur kognitifnya. Asimilasi terjadi apabila pengetahuan yang dimiliki siswa dapat dimanfaatkan untuk menerima pengetahuan baru yang didapat dari kegiatan belajar. Asimilasi merupakan proses yang dilakukan siswa dalam struktur kognitifnya untuk mengadaptasi atau mengorganisasi terhadap kehadiran pengetahuan baru. Oleh karena itu, barang kali tepat jika pembelajaran matematika formal dimulai dengan matematika informal yang telah diterapkan anak dalam kehidupan bermasyarakat atau sesuatu yang familiar di lingkungannya. Sebaliknya, jika materi matematika di sekolah diajarkan secara formal universal, berarti para siswa harus membentuk skemata yang baru dan besar kemungkinan berbeda dengan pengetahuan yang telah mereka miliki. Hal itu dapat menyebabkan terjadinya disequilibrium dalam struktur kognitif siswa. Keadaan itu disinyalir menjadi penyebab para peserta didik mengalami kesulitan dalam belajar matematika.

(18)

11

benak siswa dan pembelajarannya kontekstual. Hal ini selaras dengan prinsip-prinsip pelaksanaan kurikulum yang dikemukakan oleh Badan Standar Nasinal Pendidikan (BSNP, 2006: 5-6) bahwa pelaksanaan kurikulum hendaknya mendayagunakan kondisi alam, menggunakan sosial budaya, persoalan yang terdapat dalam kehidupan, serta kekayaan daerah sebagai latar pembelajaran.

Untuk mengembangkan potensi siswa di bidang kognitif pembelajarannya berfokus pada proses pemerolehan pengetahuan berupa ide, sifat-sifat, konsep, dan prosedur; sedang di bidang afektif pembelajaran difokuskan pada pembinaan estetik. Pembelajaran untuk mengasah bidang psikomotor bertujuan untuk memberikan pengalaman keterampilan kria yang bermuatan pengalaman estetik dan di bidang sosial proses pembelajarannya menekankan pada pengembangan kompetensi sosial siswa. Pembelajaran dengan fokus-fokus tersebut dipandang kondusif untuk mempromosi pemanfaatan kekayaan lokal dan meningkatkan aktivitas siswa sebagai pusat pembelajaran.

Pada laporan penelitian pendahuluan Hartoyo (2010: 97-103) teridentifikasi etnomatematika yang terdapat anyaman topi produk budaya masyarakat. Anyaman topi tersebut sarat muatan materi pembelajaran untuk mengasah potensi siswa di bidang kognitif, afektif (nilai estetik), maupun psikomotor (menganyam dan pendesainan motif). Pada kria anyaman yang ditemukan pada penelitian pendahuluan ini dapat diinventarisir ada dua belas motif yang dikembangkan oleh masyarakat untuk membuat indah dan menambah daya tarik produknya. Bermacam motif yang termuat pada produk anyaman baik berupa topi, tikar, juah, jongkuak, atau bakul, antara lain: siluk langit, ati lang, sulau, siku remaung, berangan lang, bunga tekembai, angkong, bulan, pangkak, tambat manuk, kiarak nyulur, lekuk sawak.

(19)

12

aktivitas siswa sebagai pusat pembelajaran dan pembinaan estetik. Pemilihan alternatif tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan diselenggarakan tidak hanya untuk membentuk sumber daya manusia cerdas dan siap berkompetisi secara global, melainkan juga melahirkan generasi yang berkepribadian kuat, tangguh dan bertanggung jawab untuk merawat, mengembangkan dan mengawal identitas budaya nasional.

Indonesia sebagai negara yang dibangun oleh masyarakat majemuk dengan berbagai suku bangsa telah melahirkan banyak kebudayaan yang dikagumi, baik di dalam maupun luar negeri. Beraneka produk budaya begitu melekat pada setiap daerah dengan menonjolkan keaslian daerah masing-masing untuk mewakili ciri khas kehidupan masyarakat serta bernilai estetik tinggi. Aneka produk budaya Indonesia tersebut perlu dilestarikan dan dipertahankan demi menjaga identitas negara. Pembinaan estetika dalam pembelajaran yang menggunakan budaya lokal dapat menjadi salah satu strategi budaya untuk menangkal dan memfilter produk budaya asing yang tidak sesuai. Strategi tersebut berupa penanaman nilai-nilai estetik dan budaya melalui proses belajar mengajar di sekolah serta pelibatan masyarakat secara luas dan menyeluruh.

Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah mengeluarkan berbagai produk hukum untuk memayungi dan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan, baik berbentuk undang-undang, peraturan-peraturan yang dikeluarkan kementerian, hingga penyediaan kurikulum sebagai pedoman untuk penyelenggaraan di sekolah. Dalam dokumen BSNP (2006) dikemukakan ada lima kelompok mata pelajaran dalam kurikulum yang kini berlaku, salah satunya adalah kelompok mata pelajaran Estetika. Pemuatan mata pelajaran tersebut dalam kurikulum untuk mengasah rasa sensitif, meningkatkan keterampilan ekspresi diri, dan kemampuan mengapresiasi karya seni dan keselarasan hidup. Kemampuan yang diberikan melalui kelompok mata pelajaran Estetika di antaranya adalah pengalaman estetik bagi siswa.

(20)

13

berkeindahan. Pengalaman estetik ini umumnya diberikan kepada siswa melalui pendidikan seni. Banyak orang menyatakan bahwa pada dasarnya pendidikan seni ditekankan untuk memberikan pengalaman estetik kepada siswa. Namun, keindahan bukan hanya monopoli milik pendidikan seni, matematika juga memuat keindahan.

Keteraturan, keserasian, operasi-operasi fungsi dalam geometri secara implisit juga memuat tentang keindahan seni dari materi matematika. Menurut Russel (1919: 60), bila dicermati secara mendalam, matematika tidak hanya memiliki kebenaran saja, tetapi ia juga mengandung keindahan yang luar biasa, seperti patung, tanpa dukungan keindahan alam, tanpa hiasan-hiasan indah lukisan atau musik, namun luhur murni, ia mampu memancarkan keindahan bagai karya seni terbesar. Dengan demikian, pendidikan matematika mestinya juga bertanggung jawab untuk memberikan pengalaman estetik kepada siswa.

Pada penelusuran ke sekolah tempat melaksanakan penelitian diperoleh keterangan bahwa pembelajaran matematika yang berlangsung saat ini belum memberikan pengalaman estetik seperti yang diuraikan di atas. Pada laporan Kajian Kebijakan Kurikulum Seni Budaya (Puskur, 2007) dikemukakan bahwa pengetahuan estetika belum menjadi basis utama pembelajaran dalam kelompok mata pelajaran Estetika, apalagi pemuatannya dalam standar kompetensi lulusan pendidikan dasar. Padahal pemuatan kelompok mata pelajaran Estetika dalam dokumen Standar Isi (BSNP, 2006) cakupannya seperti tersebut pada alinea di atas.

(21)

14

estetika belum tercakup dalam standar kompetensi lulusan. Kelemahan pada kurikulum tersebut, khususnya dalam memberikan pengalaman estetik dapat dimanfaatkan oleh mata pelajaran matematika untuk mengurangi kelemahannya dengan mengintegrasikan nilai estetik pada standar kompetensi atau dinyatakan secara eksplisit pada rumusan indikator pencapaian kompetensi dasar.

Selama ini, pembinaan estetik masih didominasi oleh mata pelajaran Seni Budaya yang dibelajarkan dengan memberikan latihan-latihan praktis yang disertai penyampaian materi dalam bentuk ceramah. Dengan cara belajar tersebut, para siswa dapat menguasi pengetahuan kognitifnya, tetapi belum menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, inovatif kepada siswa sebagai bekal yang diperlukan untuk bersaing dalam kehidupannya. Selain itu, mata pelajaran seni bagian dari kelompok mata pelajaran Estetika dikategorikan oleh siswa sebagai mata pelajaran yang tidak penting karena tidak diujikan secara nasional. Para guru juga banyak yang berpandangan bahwa keberhasilan pendidikan seni diukur dari pencapaian skor tentang hal ihwal tentang seni budaya, keterampilan membuat lukisan, bernyanyi, atau membawakan tarian yang diajarkan oleh guru.

(22)

15

estetik di sekolah, maka dipandang perlu mengembangkan suatu model pembinaan estetik sebagai salah satu model pembelajaran pada mata pelajaran matematika.

Model pembinaan estetik yang dikembangkan pada penelitian ini menawarkan pendekatan kontekstual atau realistik untuk memperbaiki kondisi pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika sekaligus untuk menopang struktur kurikulum dalam pembinaan estetik dengan skenario pembelajaran yang memberdayakan konteks kehidupan nyata siswa (daily life). Dalam pembelajaran matematika, guru memfasilitasi siswa menghubungkan objek dalam kehidupan nyata yang bersumber pada budaya lokal dengan konsep matematika, melalui eksplorasi-diskusi-inkuiri-eksperimen, agar mereka tumbuh berkembang menjadi kreator muda mengkontruksi (re-construct) atau menemukan sendiri (re-invent) konsep-konsep matematika. Proses

belajar seperti itu memungkinkan bagi siswa untuk belajar melalui “doing math, hands on activity” yang merangsang aktivitas dan kreativitas mereka.

(23)

16

B. Masalah Penelitian

Pada bagian latar belakang telah dikemukakan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika yang berlangsung secara kontekstual dipandang dapat mengembangkan potensi para peserta didik dan sebagai wahana untuk melakukan pembinaan estetik dengan memanfaatkan produk budaya lokal masyarakat setempat sebagai sumber belajar. Subjek penelitian ini adalah siswa-siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pontianak. Pada usia ini, anak-anak masih berada pada tahap berpikir operasi (semi) konkret. Pengembangan model pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika menggunakan etnomatematika yang terdapat pada budaya masyarakat merupakan masalah substansial yang perlu mendapat perhatian.

Kelompok mata pelajaran Estetika disebut secara eksplisit dalam standar nasional pendidikan, namun topik-topik esensial seperti perasaan estetik, momen estetik, nilai estetik, respon estetik atau pengalaman estetik belum terakomodasi sebagai standar kompetensi lulusan pada kurikulum yang kini diterapkan di sekolah. Sementara itu, menurut Russel (1919) matematika memuat unsur estetik, baik pola-pola pada materinya, tampilan grafis fungsi matematika, maupun terapannya dalam kehidupan sehari. Penelitian ini mencari alternatif untuk memperluas peran pembelajaran matematika dengan memberikan pengalaman estetik dan mengurangi kelemahan Kurikulum 2006 terutama pada kelompok mata pelajaran Estetika.

(24)

17

Pembinaan Estetik, sebagai masalah yang substansial. Proses pengembangan model, diawali dengan penelitian pendahuluan untuk mengungkap fakta empirik dan karakteristik input, serta pola pembinaan estetik yang telah dilakukan di sekolah tempat penelitian berlangsung. Diagnosis hasil penelitian pendahuluan dikemukakan pada Bab IV bagian A.

Masyarakat Kalimantan Barat sebagaimana suku-suku bangsa lain di Indonesia memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dengan filosofinya masing-masing. Berbagai produk budaya dan aktivitas-aktivitas masyarakat dapat dijumpai dengan mudah di berbagai tempat, antara lain: produk-produk kerajinan anyaman, penggunaan berbagai jenis dan alat permainan masyarakat; pemanfaatan benda-benda (hidup atau mati, peninggalan warisan, modern) oleh masyarakat dan berbagai aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Produk budaya atau aktivitas masyarakat tersebut banyak berkaitan dengan konsep-konsep matematika yang dipelajari siswa di sekolah. Dengan kata lain, masyarakat sering menggunakan konsep matematika dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari maupun dalam memproduksi karya budaya.

Aneka produk anyaman berbahan baku rotan, bambu, enceng gondok, kulit pohon, atau bemban pernah dikerjakan secara turun-temurun oleh masyarakat. Saat ini berbagai jenis produk kerajinan masyarakat dengan keunikan dan kekhasannya masih diproduksi oleh beberapa kelompok masyarakat. Produk kerajinan anyaman masyarakat dengan pewarna alami yang dihiasi dengan beragam motif memiliki makna tersendiri dan mengandung pesan-pesan moral tertentu. Keanekaragaman produk kerajinan masyarakat yang mempunyai nilai budaya dan seni yang sangat tinggi serta merupakan aset bangsa tersebut harus dipertahankan, diwariskan dan perlu dikembangkan.

(25)

18

mewariskan keterampilan-keterampilan masyarakat yang mulai langka tersebut kepada para generasi muda. Pewarisan budaya dan pengembangan produk budaya masyarakat diharapkan dapat merangsang pertumbuhan industri kreatif di kalangan generasi muda dan memberikan nilai tambah yang berarti.

Keunikan fenomena budaya masyarakat Kalimantan Barat, yang berada di wilayah yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia, menjadi pendorong untuk turut mengambil bagian mempersiapkan beranda depan bangsa Indonesia di bidang pendidikan, khususnya pendidikan matematika yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dalam penelitian ini, produk-produk budaya masyarakat (topi, tikar, keranjang, kotak) yang mengandung konsep-konsep matematika dikembangkan menjadi alat peraga atau sumber belajar pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika di sekolah menengah pertama. Diharapkan penelitian ini dapat menghasilkan suatu produk model pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika yang sarat dengan nilai didik dan pesan moral.

C. Pertanyaan Penelitian

Sehubungan dengan uraian pada masalah penelitian di atas, maka dapat diajukan pertanyaan penelitian dengan dirumuskan seperti berikut.

1. Apa saja program pembinaan estetik yang telah dilakukan oleh Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pontianak?

a. Apakah rumusan visi misi SMP Negeri 2 Pontianak telah mencakup program pembinaan estetik?

b. Bagaimana proses pembinaan estetik yang dilakukan oleh SMP Negeri 2 Kota Pontianak?

2. Bagaimana model pembelajaran yang digunakan oleh guru SMP Negeri 2 Pontianak dalam membelajarkan matematika dalam rangka pencapaian kompetensi dasar?

(26)

19

masyarakat bagi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pontianak ditinjau dari aspek kesahihan, kepraktisan dan keefektifan?

4. Bagaimana aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan etnomatematika pada budaya masyarakat dengan Model Pembinaan Estetik di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pontianak?

5. Bagaimana hasil implementasi Model Pembinaan Estetik dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan etnomatematika yang terdapat pada budaya masyarakat pada pembinaan estetik siswa SMP Negeri 2 Pontianak?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika menggunakan etnomatematika di SMP agar pembelajaran berjalan dengan kondusif, siswa menikmati sajian pembelajaran dengan perasaan senang, mengasah potensi kognitif, afektif, psikomotor, dan sosial secara proporsional. Proses pengembangan model pembinaan estetik didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan yang berkaitan dengan program dan pola pelaksanaan pembinaan estetik yang dijalankan oleh sekolah tempat penelitian dilakukan. Produk-produk yang dihasilkan pada penelitian ini meliputi: 1) model hipotetik dari Model Pembinaan Estetik dalam pembelajaran matematika, 2) perangkat pembelajaran yang meliputi: (a) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran; (b) Lembar kegiatan siswa; dan (c) alat peraga atau media pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan etnomatematika pada budaya lokal masyarakat.

(27)

20

E. Manfaat Hasil Penelitian

Penelitian yang mengembangkan model pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika menggunakan etnomatematika yang terdapat dalam budaya masyarakat ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada institusi, sekolah, guru maupun siswa dalam tataran teoritis dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini dapat memperkaya khasanah teoretik tentang pendidikan nilai (karakter) dan etnomatematika di wilayah Kalimantan Barat. Dari penelusuran kepustakaan, wilayah ini dinilai masih sangat miskin sumber-sumber informasi yang memuat informasi kekayaan daerah, khususnya berkaitan dengan pendidikan nilai dan etnomatematika. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung visi institusi yang merumuskan visinya sebagai lembaga preservasi di wilayah Kalimantan Barat.

Memperhatikan kecenderungan penggunaan paradigma pembelajaran yang mempertimbangkan pendekatan konstruktivisme dan cara-cara siswa memperoleh pengetahuan, adaptasi paradigma pembelajaran matematika yang cocok dengan kebutuhan siswa dan kondisi setempat perlu segera dilakukan. Oleh karena itu, pada tataran praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk pengembangan pembelajaran matematika sekolah di tingkat menengah pertama menggunakan budaya lokal masyarakat setempat.

F. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini ditulis dalam 5 bab terdiri dari Bab 1 pendahuluan, Bab 2 kajian teoretik yang berkaitan dengan pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika menggunakan budaya masyarakat, Bab 3 proses penelitian dan pengembangan model pembinaan estetik, Bab 4 laporan hasil-hasil penelitian dan pembahasan hasil-hasil penelitian, dan Bab 5 mengemukakan kesimpulan dan rekomendasi kelanjutan membelajarkan pengalaman estetik kepada siswa.

(28)

21

Bab 2 menguraikan teori-teori yang relevan dengan pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika menggunakan etnomatematika pada budaya lokal masyarakat dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Teori-teori dimaksud dikemas dalam subbab: estetik sebagai kebutuhan manusia, aspek budaya pada pembelajaran matematika, etnomatematika dalam budaya masyarakat, etnomatematika dan perkembangannya, budaya dan implikasinya dalam pendidikan matematika etnomatematika, matematika yang berkembang dalam masyarakat, dan pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika.

Pada Bab 3 dikemukakan proses penelitian dan pengembangan model pembinaan estetik ini. Bab ini juga mengemukakan pendahuluan yang mengantar kepada kegiatan awal penelitian sebelum memasuki proses pengembangan model, desain penelitian, objek penelitian, subjek dan lokasi penelitian. Subbab berikutnya menguraikan prosedur pengembangan model pembinaan estetik, diikuti dengan uraian teknik dan alat pengumpul data, kemudian pemeriksaan keabsahan data dan analisis data. Di bagian akhir bab ini dikemukakan penjelasan istilah, asumsi, dan keterbatasan yang dihadapi selama berlangsungnya penelitian.

(29)

72

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

DALAM PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN ESTETIK

Pada Bab 3, proses penelitian dan penembangan model pembinaan estetik ini diuraikan pendahuluan yang mengantar kepada kegiatan awal penelitian sebelum memasuki proses pengembangan model, desain penelitian, objek penelitian, subjek dan lokasi penelitian. Subbab berikutnya menguraikan prosedur pengembangan model pembinaan estetik, diikuti dengan uraian teknik dan alat pengumpul data, kemudian pemeriksaan kebsahan data dan analisis data. Di bagian akhir bab ini dijelaskan istilah-istilah penting yang digunakan dalam penelitian, asumsi, dan keterbatasan yang dihadapi selama berlangsungnya penelitian.

A. Pendahuluan

Pemberlakuan kurikulum KTSP di sekolah, khususnya pada pendidikan matematika telah dilakukan secara berangsur-angsur sejak 2006 yang lalu. Perubahan-perubahan dalam pelaksanaan pembelajaran matematikapun secara bertahap mulai dilakukan. Perubahan mendasar pada Kurikulum 2006 adalah peralihan dari kurikulum yang berorientasi pada paham perubahan tingkah laku (behaviourism) kepada paham contructivism contextual – realistic. Pada paham konstruktivisme – kontekstual – realistik ini, para siswa diakomodasi, diberi keleluasaan, dirangsang, dibimbing dan diarahkan untuk menemukan dan membangun sendiri pengetahuan matematika dan melakukan keterampilan-keterampilan.

(30)

latihan-73

latihan keterampilan sarat dengan muatan untuk memberikan pengalaman estetik dan kemampuan mengidentifikasi maupun menemukan terapan matematika pada berbagai aspek kehidupan. Siswa yang berhasil menemukan pengetahuan matematika dalam kehidupan masyarakat, berarti ia mampu mencapai proses matematisasi horizontal (Treffers and Goffre, 1985).

Proses memperoleh pengalaman estetik dan membangun pengetahuan matematika menggunakan etnomatematika pada budaya lokal masyarakat, misalnya produk kerajinan anyaman, diasumsikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja dengan penuh kesadaran. Proses itu tentu bukan saja merupakan tindakan mekanistik tanpa interpretasi terhadap wacana, atau memberikan pemaknaan atas suatu gejala atau simbol-simbol yang termuat pada objek amatannya. Tindakan itu dipilih dan diputuskan berdasarkan pertimbangan tertentu oleh siswa dan guru, misalnya memanfaatkan model-model manipulasi untuk membantu melengkapi ide-idenya, mengamati gambar atau benda, atau membangun simbol-simbol baru, dsb. Pembinaan estetik dan pengembangan ide-ide matematika yang bertitik tolak dari budaya lokal masyarakat merupakan studi kasus dari penelitian tindakan untuk menginvestigasi proses pemerolehan pengalaman estetik dan konsep atau prosedur matematika oleh para siswa.

(31)

74

alat peraga, dan lembar kerja siswa yang sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman siswa.

Pengembangan model dan material pembelajaran sebagai sarana untuk dilakukan dalam dua kegiatan: penelytian pendahuluan dan pengembangan model serta implementasinya di dalam kelas matematika. Studi pendahuluan dilakukan sebelum pelaksanaan studi utama untuk lebih mengenal fenomena pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika yang berlangsung di sekolah tempat lokasi penelitian. Dari studi pendahuluan ini dapat diantisipasi kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi dalam penelitian, dan diperoleh gambaran yang lebih mendetail tentang kesiapan dan ekspektasi siswa dan teman sejawat yang berkolaborasi dalam tim partisipatif. Pada studi pendahuluan ini juga dilakukan pembakuan instrumen yang diperlukan untuk pengumpulan data.

Hasil studi pendahuluan dijadikan dasar pertimbangan pengembangan model dan material pembelajaran untuk pembinaan estetik. Oleh karena itu, penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Mengungkap kebutuhan awal lapangan program pembinaan estetik yang sedang berjalan dalam pembelajaran matematika, budaya sekolah dalam pembinaan estetik.

2. Menghimpun informasi yang diperlukan sebagai bahan masukan untuk pengembangan model pembinaan estetik dan material pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan budaya lokal masyarakat.

(32)

75

B. Desain Penelitian

Pada penelitian ini, studi kasus digunakan secara intensif, terperinci dan mendalam untuk mendeskripsikan pembinaan estetik dengan MPE dalam pembelajaran matematika Sekolah Menengah Pertama menggunakan etnomatematika yang terkandung dalam budaya masyarakat. Dalam proses pengumpulan data dan informasi pada penelitian kasus Creswell (1998: 12) mengemukakan,

researcher explores a single entity or phenomenon (the case) bounded by time and activity (a program event process institution or social group) and collect detailed information by using a variety of data collection procedures during a sustained period or time”

Studi kasus pada penelitian ini merupakan penjelasan komprehensif tentang berbagai aspek dari siswa atau kelompok siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Penelitian ini secara khusus dilakukan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP N) 2 Pontianak, oleh karena itu pemilihan studi kasus sebagai desain penelitian dinilai tepat. Fokus penelitian kasus ini adalah pembinaan estetik yang dilakukan oleh guru matematika kepada siswa SMP N 2 dalam pembelajaran matematika menggunakan etnomatematika yang termuat dalam budaya lokal masyarakat.

(33)

76

teknik observasi, wawancara, atau catatan lapangan digunakan untuk menetapkan indikator-indikator yang diperlukan dalam pengembangan model pembinaan estetik dan material pembelajaran pendukungnya.

Pada tahap awal penelitian utama dilakukan pengembangan model pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika dan instrumen evaluasi dan monitoring. Dalam pengembangan model didasarkan pada hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian pendahuluan. Prosedur pengembangan model diuraikan selengkapnya pada bagian E tentang Prosedur Pengembangan Model Pembinaan Estetik. Akhir tahap penelitian utama adalah mengimplementasikan model yang dihasilkan pada penelitian dalam pembelajaran matematika di kelas.

Pengkajian pembelajaran matematika menggunakan etnomatematika dalam budaya lokal masyarakat dengan fokus pembinaan estetik dilaksanakan secara siklis dalam tiga tahap yang terdiri dari plan, do, dan see, sebagai suatu proses sistematik untuk menguji keefektifan pembelajaran. Proses sistematik tersebut merupakan kinerja guru-guru yang berkolaborasi dalam tim partisipatif untuk menyiapkan material pembelajaran yang terdiri dari rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan media pembelajaran, mengobservasi, merefleksi, merevisi material pembelajaran, yang dilakukan secara berkelanjutan dan bersifat siklis.

Implementasi model secara siklis melalui tahap plan, do, see diadaptasi sebagai model pembinaan profesi pendidik melalui kajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Pengalaman kegiatan

yang dilakukan oleh Tim Perluasan Lesson Study untuk penguatan LPTK adalah terjadinya keterbukaan guru untuk menerima saran perbaikan pembelajaran (Diknaga, 2008a). Kegiatan pada penelitian ini pada muaranya dapat membantu meningkatkan kualitas pembelajaran.

(34)

77

belum berhasil meningkatkan kualitas pembelajaran. Fakta tersebut terungkap dari penelitian yang dilakukan oleh Solikhin (2010), El Hariri (2010), maupun dari hasil survei Bank Dunia tentang kegiatan belajar mengajar oleh guru-guru yang telah bersertifikat pendidik. Penelitian Solikhin (2010) menunjukkan bahwa hubungan antara sertifikasi guru dan kinerja guru sangat rendah dengan koefisien korelasi sebesar 0,164. Hubungan antara kinerja guru dan prestasi belajar siswa rendah dengan koefisien korelasi sebesar 0,279. Demikian juga penelitian El Hariri, (2010) menunjukkan bahwa sertifikasi memiliki pengaruh yang rendah terhadap kinerja guru. Kinerja guru mengalami penurunan dibandingkan sebelum mengikuti sertifikasi pendidik.

Penggunaan proses pembelajaran sebagaimana dilakukan pada kegiatan Lesson Study dengan pendekatan bottom-up dalam mengkaji implementasi

Model Pembinaan Estetik merupakan alternatif pembinaan profesionalisme guru. Secara kolaboratif dan berkelanjutan para guru mengembangkan pembelajaran inovatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pada implementasi model dilakukan observasi terfokus, merekam-mencatat fenomena-fenomena didaktik dalam pembelajaran di kelas, dan mendeskripsikannya secara padat peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beberapa pengalaman lesson study yang dilakukan oleh tim Ledipsi (Diknaga, 2008a) antara lain:

1. mendorong keterbukaan guru untuk menerima saran perbaikan mutu pembelajaran

2. peningkatan kemampuan melakukan inovasi pemmbelaajaran melalui hands-on activity, mind-on activity, daily life dan local materials.

3. peningkatan keberanian berkomunikasi dalam forum ilmiah nasional maupun penulisan artikel berbasis penelitian kelas dalam jurnal ilmiah. 4. peran kepala sekolah dan pengawas dalam melakukan supervisi

pembelajaran teraktualisasikan, dan

(35)

78

Tahapan-tahapan siklus implementasi Model Pembinaan Estetik dalam pembelajaran matematika terlihat seperti pada Gambar 3.1 di bawah diadaptasi dari tim pengembang Ledipsti (Diknaga, 2008a).

Gambar 3.1 Siklus Implementasi Model Pembinaan Estetik

C. Objek Penelitian

Objek penelitian ini pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan etnomatematika yang terkandung pada budaya lokal masyarakat. Pembelajaran dengan pendekatan ini merupakan konsep belajar yang memanfaatkan kondisi atau budaya lokal masyarakat yang dikenali para siswa dalam kehidupan agar pembelajarannya bersifat kontekstual. Pembelajaran matematika yang memberdayakan kondisi lokal sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini mengharapkan agar siswa mempunyai motivasi

PLAN Secara kolaboratif, tim partisipatif merencanakan pembinaan estetik dalam pembelajaran

matematika menggunakan budaya

lokal masyarakat

SEE Dengan prinsip kolegalitas, secara kolaboratif tim merefleksi kesahihan,

keefektivan dan kepraktisan MPE dalam pembelajaran

matematika

DO Guru model melaksanakan pembinaan estetik dalam pembelajaran

matematika menggunakan budaya lokal, dan anggota tim

(36)

79

dan tertarik untuk aktif dalam proses pembelajaran. Dengan aktivitasnya itu, memudahkan guru untuk membimbing dan membantu siswa menggali makna yang terkandung dalam objek yang dipelajari dan belajar menghubungkan materi matematika dengan konteks kehidupan sehari-hari, lingkungan budaya dan konteks sosialnya.

Menurut Gravemaijer (1994), untuk mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran maka materi matematika harus terkait dengan realitas, dan sebagai aktivitas kehidupan manusia. Model pembelajaran matematika yang berupaya mengoptimalkan aktivitas siswa dalam pembelajaran, dicirikan seperti berikut : (a) realistik, terkait dengan budaya yang tersedia di lingkungan sekitar siswa atau pengetahuan yang dimiliki siswa, terjadi proses matematisasi berdasarkan masalah-masalah yang bersifat kontekstual (b) pembelajaran menekankan pada proses penemuan kembali (reinvention), dengan mendorong siswa untuk menemukan makna, membangun konsep dan struktur matematika; (c) memberi kesempatan secara luas untuk menyampaikan ide dan mengakomodasi perbedaan pendapat di antara mereka untuk mengkonstruksi gagasan selama proses matematisasi. (d) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengomunikasikan hasil pemikirannya kepada teman-teman sekelasnya. Selain itu, siswa-siswa juga dibiasakan untuk mengapresiasi karya yang dihasilkan orang lain (teman-teman sekelasnya) dengan memberikan penilaian secara objektif.

Aspek-aspek yang dicermati dalam penelitian ini meliputi:

1. Kesahihan, kepraktisan dan keefektifan produk pengembangan model pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika bagi siswa dan guru matematika SMP di sekolah.

(37)

80

(38)

81

D. Subjek dan Lokasi Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Pontianak beralamat di Jalan Selayar, Kota Baru, Kecamatan Pontianak Selatan, Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Dalam pandangan masyarakat, sekolah ini dikategorikan sebagai sekolah berpredikat baik. Keterbukaan sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah melalui berbagai upaya peningkatan mutu pembelajaran, dan pembinaan kepada para guru dan siswa merupakan kesempatan berharga untuk melakukan penelitian yang ada unsur pengembangan di dalam pelaksanaannya. Pertimbangan untuk memilih SMP Negeri 2 Pontianak sebagai lokasi penelitian adalah:

a. Komunikasi yang terjalin secara harmonis antara pihak lembaga tempat peneliti mengabdikan diri, dan pihak SMP Negeri 2 Pontianak menjadi media yang mendukung kedekatan antara warga sekolah dengan peneliti. Secara kelembagaan, FKIP UNTAN mempunyai tanggung jawab untuk membina sekolah-sekolah, dan sebaliknya SMP Negeri 2 memerlukan kehadiran FKIP sebagai mitra untuk meningkatkan profesionalisme gurunya.

b. Kesempatan menjadi nara sumber dalam kegiatan inhouse training di sekolah, kegiatan MGMP mata pelajaran Matematika, berbagai kegiatan pengabdian kepada masyarakat, penelitian dan pendampingan dalam kegiatan lesson study, serta pembimbingan praktek pengalaman lapangan bagi mahasiswa prodi Pendidikan Matematika menjadi perekat silaturahmi antara peneliti dengan warga sekolah. Kesempatan tersebut dipandang sebagai motivasi kuat untuk mendapatkan informasi secara kekeluargaan dan mendetail baik insidentil maupun berlama-lama dalam lingkungan sekolah.

(39)

82

Sekolah Berstandar Internasional. Anak-anak sekolah yang duduk di jenjang SMP, oleh Ericson (Lawlor, 2007: 16) dikategorikan ke dalam kelompok usia remaja atau akhir remaja (adolescence) dengan tahap berpikir semi konkrit menurut tahapan berpikir Piaget. Pada tahap berpikir ini para siswa dipandang telah mampu mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan menggunakaan daya nalarnya. Dengan demikian, anak-anak yang berada pada usia ini diasumsikan mampu mengembangkan pengalaman estetiknya dalam belajar matematika dengan memanfaatkan benda-benda real di lingkungannya atau masalah-masalah kontekstual.

2. Subjek Penelitian

Pada penelitian ini yang menjadi subjeknya adalah siswa, guru, wakil kepala sekolah dan kepala yang dapat menyediakan data dan diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposive dengan memperhatikan tujuan penelitian yang dicapai. Pada

penelitian kualitatif tidak ada sampel acak tetapi dalam penetapannya didasarkan pada tujuan (Moleong, 2000: 165).

Sumber data penelitian ini dan diamati secara intensif adalah manusia, peristiwa, dan situasi (Nasution, 1996). Yang dimaksud manusia sebagai sumber data adalah semua orang yang terlibat penelitian, terdiri dari guru matematika, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bidang pendidikan dan kurikulum, para siswa, peneliti dan para observer yang berperan sebagai tim partisipatif. Peristiwa pada penelitian ini adalah semua kejadian yang berlangsung selama pelaksanaan pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika yang meliputi tahap perencanaan pembelajaran, tahap implementasi dan obervasi, dan tahap refleksi. Adapun yang dimaksud dengan situasi adalah latar atau gambaran yang menyangkut keadaan ketika berlangsung pengamatan pada implementasi model pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika.

(40)

83

[image:40.576.110.516.197.556.2]

pembinaan estetik dan implementasinya di kelas matematika menggunakan etnomatematika. Satu di antara 18 orang anggota tim partisipatif tersebut menyatakan kesediaannya menjadi guru model selama implementasi PME dalam pembelajaran matematika. Penunjukan sebagai guru model pada kegiatan ini mendapat persetujuan dari seluruh anggota tim partisipatif dalam forum perencanaan (plan) material pembelajaran. Untuk menjaga perasaan dan kebaikan guru model, maka nama guru model yang berpartisipasi dalam kegiatan penelitian ini disamarkan dengan sebutan ibu GMat.

Tabel 3.1: Daftar Anggota Tim Partisipatif

No. Nama

Anggota Tim

Asal

Sekolah No.

Nama Anggota Tim

Asal Sekolah 1. Rohana, S.Pd SMPN 2 10. Parniati, S.Pd SMPN 2 2. Luna Misriani, S.Pd SMPN 2 11. Rosna Yunita SMPN 3 3. Heri Setiani SMPN 2 12. Dra.Yasmin Patikawa SMPN 3 4. Lisa Ervina, S.Pd SMPN 11 13. Rizky Zulkarnaen JPMIPA 5. Dra. Elly Utari Y SMPN 2 14. Rini Susanti JPMIPA 6. Yan Sando, S.Pd Praktisi 15. Asih Asundari JPMIPA

7. Susanto JPMIPA 16. Ses Muharman JPMIPA

8. Devia Rosanti JPMIPA 17. Wilsara Anindita JPMIPA 9. Siti Latifa Nurul H JPMIPA 18. Dra. Hairida, M.Pd JPMIPA

E. Prosedur Pengembangan Model Pembinaan Estetik (MPE)

(41)

84

1. Pengembangan model pembinaan estetik (MPE)

Pengembangan dalam dunia pendidikan merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk mengembangkan dan me1akukan validasi atas produk-produk yang digunakan dalam pendidikan, termasuk peningkatan proses pembelajaran atau prosedur dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran, atau penemuan yang digeneralisasi. Misalnya, rancangan pembelajaran, pengembangan strategi penyampaian materi, evaluasi pembelajaran, dan sebagainya.

Pada penelitian ini, pengembangan MPE beserta material pendukung pembelajaran dilakukan dengan mengadaptasi desain penelitian pengembangan Model Willlis yang memiliki empat komponen yaitu Recursive, Reflective, Design and Development (R2D2) (Colón, et.al, 2000: 3). Terdapat empat

prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Model Pembinaan Estetik dengan menggunakan model R2D2, yaitu: (1) recursion, (2) reflection, (3) non-linear, dan (4) pendesainan partisipatoris.

Model R2D2 tersebut dipandang sesuai untuk mengembangkan MPE dalam pembelajaran matematika menggunakan etnomatematika yang termuat pada budaya lokal masyarakat. Pertimbangan penggunaan model R2D2 sebagai dasar pengembangan MPE adalah karena model ini cenderung berpijak pada teori belajar konstruktivisme (Willis, 1995) dan dapat digunakan untuk memandu peneliti dalam melakukan penelitian kualitatif.

(42)

85

(Alwasilah, 2011: 73) ; (5) Memberi penekanan pada pembelajaran dalam konteks bermakna; (6) Hasil evaluasi formatif merupakan kritik terhadap pembelajaran; (7) Data subjektif merupakan data yang berharga. Data subjektif merupakan data yang dikumpulkan oleh anggota tim partisipatif dari pengamatan pembelajaran atau portofofio.

Karakteristik yang dinilai penting dalam desain pengembangan ini adalah reflektif, rekursif, dan partisipatif atau kolaboratif. Pada penelitian ini tidak menekankan uji ahli desain pembelajaran dalam menentukan kesahihan model, tetapi tetap berkonsultasi kepada pakar/ahli pembelajaran bidang matematika dan ahli pendidikan nilai (keahlian khusus ). Selama proses pengembangan material pembelajaran memerlukan diskusi, revisi, editing dan refleksi yang dilakukan berulang-ulang, yang menerapkan prinsip recursion dan reflection, oleh para anggota tim partisipatif.

Pada prinsip recursion, memungkinkan tim pengembang untuk membuat keputusan sementara, meninjau ulang hasil keputusan atas produk atau proses yang telah dicapai, dan melakukan perbaikan-perbaikan jika diperlukan selama berlangsungnya perencanaan dan pengembangan. Prinsip reflection, menuntut tim pengembang untuk merefleksi fakta-fakta yang telah berhasil dihimpun, memikirkan ulang apa yang telah dilakukan, memprediksi dampak-dampaknya, dan melakukan umpan balik serta menemukan ide-ide dari banyak sumber selama proses perancangan dan pengembangan.

Prinsip non-linear pada desain ini memungkinkan pengembang model pembinaan estetik dan perangkat pembelajaran untuk memulai pengembangan secara tidak berurutan, tidak harus mengikuti format baku yang telah disepakati mulai dari awal sampai dengan akhir proses. Pada prinsip keempat yaitu pendesainan secara partisipatif, menuntut pengembang untuk melibatkan tim

partisipan secara ekstensif pada semua fase dari proses perencanaan dan pengembangan, bahkan implementasinya pada pembelajaran matematika.

(43)

86

pelaksanaan pembelajaran, alat peraga, lembar kerja siswa, dan instrumen penilaian. Ada tiga siklus pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini untuk mengimplementasikan MPE di dalam kelas. Setiap siklus memuat tahap perencanaan, pelaksanaan rencana, dan tahap refleksi. Alat peraga yang digunakan sebagai alat bantu untuk pembinaan estetik diantaranya adalah produk kerajinan yang mengandung etnomatematika atau alat-alat bantu belajar lain yang dibuat oleh guru atau siswa berdasarkan pada konteks kehidupan masyarakat. Untuk menentukan, memilih, dan mengembangkan alat bantu belajar yang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan dan pengalaman siswa memerlukan tim yang berpengalaman di bidangnya, karena itu prinsip partisipatif dinilai sangat tepat digunakan dalam pengembangan material pembelajaran.

2. Prosedur pengembangan model pembinaan estetik (MPE)

Prosedur pengembangan dalam desain R2D2 memiliki tiga aktivitas yang terfokus dan dilakukan secara non-linier, yakni: a) penentuan, b) desain dan pengembangan, dan c) implementasi. Berikut penjelasan dan masing-masing fokus aktivitas tersebut.

a. Fase penentuan

(44)

87

partisipasi/ pengembang tersebut kelak menjadi pengguna produk penelitian. Oleh karenanya, usul, saran, dan pemikiran para anggota tim menjadi masukan berharga untuk pengembangan model.

Fokus ke-2 dari fase penentuan problem dan solusinya secara adalah mengidentifikasi dan mencari alternatif pemecahan masalah. Pada fase ini tim partisipatif yang sudah dibentuk berdiskusi untuk menentukan problem dan menetapkan alternatif solusinya. Kegiatannya adalah: menentukan tema pembelajaran, menetapkan materi yang dibelajarkan, dan merumuskan tujuan.

Penetapan cakupan materi dan unit pembelajaran didapat dari hasil pengkajian terhadap dokumen Kurikulum 2006, survei awal atau diskusi dengan guru matematika yang menjadi anggota tim partisiptif, dan wawancara dengan siswa. Berdasarkan survai awal, masalah penelitian yang dicari pemecahannya adalah membelajarkan estetik dalam pembelajaran matematika menggunakan etnomatematika yang terdapat pada budaya lokal masyarakat. Alternatif pemecahan masalahnya dilakukan secara kolaboratif oleh tim partisipatif (guru, mahasiswa, peneliti) melalui forum diskusi, menganalisis kebutuhan-kebutuhan untuk memberikan pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika.

Fokus kegiatan yang ketiga adalah melakukan pemahaman konteks. Kegiatan ini dilakukan untuk memahami ruang lingkup pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika. Untuk memenuhi maksud tersebut perlu mengkaji tentang kurikulum matematika untuk SMP, silabus, materi pelajaran matematika, alat bantu belajar dan budaya beserta unsur-unsurnya. Pemahaman konteks tersebut sebagai dasar pertimbangan penyusunan cetak biru model pembinaan estetik dan material pembelajaran yang sesuai untuk siswa atau guru (tim partisipatif) yang kelak menjadi pengguna hasil pengembangan.

b. Fase pendesainan dan pengembangan

(45)

88

pengembangan, memilih format dan media pembinaan estetik, (2) menentukan strategi evaluasi & monitoring, dan (3) mewujudkan cetak biru MPE.

1) Penentuan lokasi, pemilihan format dan media pembinaan estetik Pemilihan lokasi atau lingkungan pengembangan berkenaan dengan penentuan lokasi atau tempat pengembangan model dalam penelitian. Penentuan lokasi dan alasan pemilihannya telah dikemukakan pada subbab subjek dan lokasi penelitian. Kegiatan berikutnya berkenaan dengan pemilihan format dan media. Kegiatan ini mencakup empat fase, yakni: (a) pengembangan konteks, (b) workshop penyusunan material pembelajaran dan pembakuannya, (c) simulasi penggunaan material pembelajaran, dan (d) mewujudkan cetak biru MPE beserta material pendukung pembelajaran. Pemahaman konteks yang telah dilakukan pada fokus kegiatan sebelumnya melalui pengkajian dokumen kurikulum dan teori-teori yang relevan memungkinkan segera mewujudkan pengembangannya. Workshop penyusunan material pembelajaran dilakukan oleh tim pengembang sambil memperkirakan kemungkinan munculnya fenomena-fenomena didaktik dalam pembelajaran. Adapun pada fokus simulasi mencakup peer teaching untuk memprediksi gambaran tentang pelaksanaan implementasi produk pengembangan di kelas yang sebenarnya. Fase keempat adalah upaya mewujudkan ide dengan membuat cetak biru model yang dikembangkan sebagai cetak biru awal. Penyusunan cetak biru mula-mula dilakukan peneliti agar sesuai dengan tujuan penelitian yang menguasai bidangnya. Tim partisipatif berperan memberi masukan untuk menyesuaikan kebutuhan di kelas dan bersama-sama mendiskusikan serta merevisi sehingga diperoleh cetak biru yang sempurna.

2) Menentukan strategi evaluasi dan monitoring a) Evaluasi

(46)

89

penerapan dan hasil pelaksanaan (Isaac & Michael, 1981). Menurut Nieveen (2000), indikator untuk menilai model pembelajaran didasarkan pada hasil penilaian tiga komponen, yaitu kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan. Indikator kevalidan yang terkait dengan rasional teoretik pendukung pengembangan cetak biru, dan konsistensi internal pada cetak biru perangkat. Kepraktisan model berkaitan dengan derajat penerimaan model tersebut oleh para penggunanya. Dalam penelitian ini penilaian kepraktisan perangkat dilakukan oleh anggota tim partisipatif sebagai calon pengguna model. Penilaian dilakukan pada saat melakukan observasi implementasi model di kelas matematika. Keefektifan perangkat ditentukan oleh pertimbangan guru-guru matematika yang berkolaborasi serta dilihat dari kesesuaian hasil yang dicapai, dengan harapan bahwa model dapat dikembangkan lebih sempurna. Dalam memberikan penilaian, para anggota tim yang akan memberikan penilaian dibekali dengan seperangkat instrumen yang telah dibakukan. Proses pembakuan instrumen dilakukan dengan konsultasi dan meminta pertimbangan kepada ahli Pendidikan Nilai dan Pendidikan Matematika.

Evaluasi dimaksudkan untuk menetapkan kesahihan, keprakatisan, dan keefektifan pengimplematasian model pembinaan estetik dalam pembelajaran matematika. Untuk itu diperlukan kriteria untuk menetapkan keputusan hasil implemantasi model. Kriteria penilaian meliputi:

(1) Konsistensi, yaitu konsistensi antara:

(a) tujuan dengan pengalaman kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan;

(b) tujuan dengan bahan ajar;

(c) pengalaman pembinaan estetik dalam pembelajaran; (d) tujuan dengan media atau alat peraga pembelajaran; (e) tujuan dengan penilaian;

(47)

90

tim pengembangan terdiri dari guru-guru matematika dari beberapa SMP di kota Pontianak dan telah berpengalaman mengajar lebih dari lima tahun, serta para mahasiswa dari program pendidikan matematika yang sedang menyusun tugas akhir.

(3) Reaksi dari penimbang atau tim monitoring pada implementasi program pada pembelajaran di kelas, yang ditinjau dari sudut kepraktisan MPE; (4) Reaksi dari pengguna program dalam hal ini adalah respon yang dijaring

dari siswa untuk mengetahui kepuasannya sebagai indikator efektivitas implementasi MPE.

Berdasarkan rambu-rambu yang dikemukakan Nieveen (2000) tersebut maka validitas, kepraktisan, dan keefektifan model pembinaan estetik yang dihasilkan pada penelitian ini didasarkan pada kriteria berikut.

(1) Validitas

Pada penelitian ini validitas MPE ditentukan oleh pertimbangan dan pendapat yang dikemukakan oleh para penimbang. Dalam hal ini para penimbang adalah para pengajar pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Univ

Gambar

Tabel                                                                                                                   Halaman
Tabel 3.1:  Daftar Anggota Tim Partisipatif
Tabel 3.2: Struktur Data Monitoring dan Evaluasi Program
Gambar  3.2:  Tahap-tahap Pengembangan Model Pembinaan Estetik

Referensi

Dokumen terkait

Model regresi yang baik adalah model regresi yang tidak mengalami. heteroskedastisitas (Ghozali,

kompetensi sesuai dengan hasil Analisis Kebutuhan Pengembangan Keprofesian (AKPK), BAB IV, Bagian Akhir dan Pendukung. Penilaian portofolio dilakukan oleh master trainer

153 Oleh sebab itu, sebagai kawasan Pusat Terapi dan Pengembangan Kreativitas Anak Berkebutuhan Khusus penerapan fasad pada tipologi bangunan ini tidak terlepas

TABEL 4.10 Hasil Total Perhitungan Biaya Persediaan Bahan Baku Harflex Berdasarkan Kebijakan Perusahaan

Flipbook memiliki beberapa kelebihan, diantaranya proses pembelajaran lebih menarik karena kemudahan yang diberikan, menambah motivasi belajar, dan yang paling utama adalah

I bid , hlm.. Undang-Undang, adat kebiasaan yang mengikat, keputusan hakim dan lain sebagainya. Agar pelanggaran hukum ini dapat dikatakan telah melakukan perbuatan

Berdasarkan pada uraian sebelumnya, nampaknya diperlukan kajian lebih mendalam mengenai bagaimana Jaringan Komunikasi dan Informasi yang berkembang dalam masyarakat

Setelah dilaksanakan penelitian yang diawali dari pengambilan data hingga pada pengolahan data yang akhirnya dijadikan patokkan sebagai pembahasan hasil penelitian sebagai berikut: