• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SMP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SMP."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

1. Model Pembelajaran Kontekstual ... 10

2. Deep Dialogue/Critical Thinking ... 14

3. Kemampuan Komunikasi Matematika ... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 28

1. Desain Eksperimen ... 28

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... . 46

(2)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... . 67

1. Kesimpulan ... 67

2. Implikasi ... 67

3. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, karena matematika merupakan dasar dari mata pelajaran lain yang saling berkesinambungan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas hasil belajar siswa SMP dalam mata pelajaran matematika masih rendah termasuk dalam kemampuan komunikasi, sehingga masih perlu ditingkatkan.(Solihin:2011).

Rendahnya kualitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah ketepatan pembelajaran yang digunakan. Pembelajaran dalam penyampaian materi yang digunakan oleh para guru di lapangan pada umumnya adalah pembelajaran konvensional yang menekankan penguasaaan dan manipulasi isi dengan latihan pengerjaan soal-soal atau drill and practice, prosedural, serta penggunaan rumus. Pada pembelajaran ini guru berfungsi sebagai pusat atau sumber materi, guru yang aktif dalam pembelajaran, sedangkan siswa hanya menerima materi. Para siswa menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal, tempat dan kejadian; mempelajari mata pelajaran secara individu; dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung.

(4)

(Johnson, 2009:37) mengatakan “ Si anak harus menjadikan (ide-ide tersebut) milik mereka, dan harus mengerti penerapannya dalam situasi kehidupan nyata mereka pada saat yang sama”. Dengan alasan tersebut, pembelajaran

kontekstual dalam pembelajaran matematika berusaha untuk mengajak para siswa melakukan hal tersebut, yaitu dengan membuat skenario pembelajaran yang saling berhubungan, dimulai dari konteks kehidupan nyata siswa (daily life) agar pembelajaran tersebut menjadi lebih bermakna. Model pembelajaran

kontekstual juga memiliki potensi untuk membuat siswa mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan.

(5)

Disadari bahwa matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, namun apakah matematika itu sebenarnya? Matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol yang padat, lebih berupa symbol mengenai ide dari pada bunyi. Johnson dan Rising (Solihin: 2011), dan Kline (Solihin: 2011) mengatakan bahwa matematika bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Oleh karena itu matematika tidak pernah terlepas dari pemikiran secara kritis, logis dan sistematis dan matematika juga tidak terlepas dari ilmu pengetahuan lainnya seperti fisika, social, ekonomi dan ilmu alam.

(6)

dengan dialog mendalam/berpikir kritis, orang akan belajar mengenal dunia lain di luar dirinya dan selanjutnya mampu menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Hal ini membuka kemungkinan-kemungkinan untuk memahami makna yang fundamental dari kehidupan secara individual dan kelompok dengan berbagai dimensinya.

Komunikasi secara implisit menurut Effendy (Rohayati:10) merupakan proses yang menyampaikan suatu pesan seseorang kepada orang lain untuk memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat, perilaku baik langsung secara lisan maupun tulisan (melalui media).

(7)

Dengan komunikasi dapat bertukar ide dan memperbaiki hal yang belum sempurna menjadi lebih sempurna. Dengan komunikasi juga guru bisa mengetahui psikologi siswa agar dalam pencapaian model dan metode yang diterapkan dapat dilaksanakan dengan efektif.

Baroody (Suzana, 2009:6) mengungkapkan bahwa paling tidak ada dua alasan penting yang menjadikan komunikasi dalam matematika perlu menjadi focus perhatian. Pertama, Mathematics as language; matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk mengemukakan pola-pola atau menyelesaikan masalah, namun matematika juga merupakan alat yang tidak terhingga nilainya untuk dikomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan cermat dan kedua, mathematics learning as social activity; matematika sebagai aktivitas social dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa seperti juga komunikasi antar guru dan siswa yang merupakan bagian penting untuk memelihara dan mengembangkan potensi matematika siswa.

(8)

Indonesia saat ini dirasakan masih kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan gagasan matematika yang dimiliki siswa.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi

Matematika Siswa SMP” melalui pembelajaran matematika.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :

a. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan

kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

b. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT)?

3. Pentingnya Masalah

(9)

4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

b. Mengetahui bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT).

5. Manfaat Penelitian

Jika hasilnya signifikan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi:

a. Siswa

Deep dialogue/critical thinking dapat digunakan untuk melatih siswa

dalam mengkomunikasikan pemikiran dan idenya baik secara lisan maupun tulisan kepada siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru, dan siswa dapat menerapkan pembelajaran matematika dalam kehidupan sehari-hari.

b. Guru

(10)

c. Sekolah

Meningkatkan kualitas dan hasil belajar pembelajaran matematika.

6. Definisi Istilah

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda dari pembaca, maka peneliti memberikan penjelasan dari beberapa istilah yang digunakan :

a. Pembelajaran kontekstual

Pembelajaran kontekstual adalah model pembelajaran yang mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari atau situasi nyata sebagai media pembelajaran. Guru memberikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari secara individu ataupun berkelompok dapat menyimpulkan konsep materi pembelajaran matematika tersebut, kemudian guru memberikan soal yang berbentuk aplikasi.

(11)

c. Komunikasi matematika

Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling hubungan/dialog yang terjadi dalam suatu lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan-pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari di kelas. Pihak yang terlibat komunikasi dikelas adalah guru dan siswa. Jadi, kemampuan komunikasi matematika dalam penelitian ini adalah a) Mengungkap ide secara lisan dan tulisan, b) Mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematika dan hubungannya, c) Menggunakan situasi nyata dan menyatakan solusi masalah menggunakan gambar dan aljabar, d) Membuat situasi matematika dan menyediakan ide serta keterangan dalam bentuk tertulis, dan e) Menginterpretasikan ide matematika dalam bentuk gambar dan aljabar.

7. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, hipotesis penelitian ini sebagai berikut “Peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan

(12)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metodekuasi eksperimen. Penelitian ini melibatkan dua kelas yaitu satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Masing-masing mendapat perlakuan berbeda dalam proses pembelajaran, tetapi materi yang sama. Pada kelas eksperimen diberikan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking. Sedangkan pada kelas kontrol diberikan pembelajaran konvensional.

Dengan demikian desain eksperimen dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

O X O

O O (Ruseffendi, 1994)

Keterangan:

O: Pretest/postest berupa tes komunikasi matematika siswa

X:Perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialog/critical thinking.

2. Populasi dan Sampel

(13)

betul-betul representative yaitu dengan mengambil sampel dua kelas dari beberapa kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol.

3. Variabel Penelitian

Variabel bebas pada penelitian ini yaitu penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking dan satu variabel terikat yaitu kemampuan komunikasi matematika siswa SMP.

4. Instrumen

a. Instrumen Pembelajaran

i. Silabus

Silabus adalah perangkat pembelajaran pendukung kurikulum. Silabus pada hakikatnya menjelaskan secara singkat mengenai materi yang akan dibahas dari setiap mata ajar dan tujuan yang hendak dicapai dari suatu pembelajaran, atau tahap belajar-mengajar atau dengan kata lain silabusmerupakan penjabaran standar kompetensi/kompetensidasar, indikator ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan pencapaian kompetensi untuk penilaian. Silabus biasanya disusun oleh guru mata pelajaran yang telah disesuaikan dengan kurikulum sekolah.

ii. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

(14)

biasanya disusun secara sistematis dan dalam jangka pendek yaitu 1 – 4 pertemuan. Perkiraan tindakan yaitu:

1. Rencana yang mengambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus

2. Pembelajaran adalah proses yang ditata dan diatur menurut langkah-langkah tertentu agar dalam pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang diharapkan

3. RPP disusun untuk satu Kompetensi Dasar.

Adapun tujuan dan manfaat RPP adalah sebagai berikut:

1. Memberikan landasan pokok bagi guru dan siswa dalam mencapai kompetensi dasar dan indikator

2. Memberi gambaran mengenai acuan kerja jangka pendek

3. Karena disusun dengan menggunakan pendekatan sistem, memberi pengaruh terhadap pengembangan individu siswa

4. Karena dirancang secara matang sebelum pembelajaran, berakibat natural effect.

iii. LKS

(15)

b. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini maka digunakan instrumen penelitian yang terdiri atas instrumen tes dan instrumen non tes yang dimaksud untuk mengukur kemampuan komunikasi matematika siswa.Instrumen penelitian tersebut diukur dengan menggunakan lembar observasi,angket, danjurnalharian siswa.

i. Instrumen Tes

Instrumen tes ini terdiri atas pretest dan postest berupa soal uraian yang terdiri dari lima butir soal. Pemilihan bentuk tes berupa soal uraian bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan komunikasi matematika siswa secara tertulis. Pretest dan postest diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pretest diberikan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika awal siswa sebelum diberi pembelajaran. Sedangkan postest digunakan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika setelah pembelajaran dilakukan pada kedua kelas tersebut. Setelah uji coba pretest dilaksanakan, kemudian dilakukan analisis mengenai validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda, dan indeks kesukaran butir soal tersebut. Selengkapnya hasil analisis uji coba soal dipaparkan sebagai berikut:

1. Validitas butir soal

(16)

menguji validitas tiap butir soal digunakan rumus Koefisien Korelasi Product Moment dari Karl Pearson sebagai berikut :

Keterangan :

rxy = Koefisien korelasi antara X dan Y

N = Jumlah peserta tes X = Skor tiap butir soal

Y = Skor total setiap peserta tes

Interpretasi yang lebih rinci mengenai nilai rxy tersebut dibagi ke

dalam kategori berikut ini menurut Guilford (dalam Suherman, 2003:113).

Tabel 3.1

Nilai Koefisien Korelasi Product Moment

Koefisien Korelasi (rxy) Kriteria

0,00 rxy 0,20 Validitas sangat rendah

0,20 rxy 0,40 Validitas rendah

0,40 rxy 0,70 Validitas sedang

0,70 rxy 0,90 Validitas tinggi

0,90 rxy 1,00 Validitas sangat tinggi

Dari hasil perhitungan validitas pembanding dengan menggunakan Anates, diperoleh nilai koefisien validitas (rxy)sebesar

(17)

seluruh butir soal dari instrumen tes yang telah dibuat termasuk kategori sedang.

Hasil validitas butir soal dengan software Anates, disajikan pada Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Validitas Butir Soal

No. Soal Koefisien Validitas Signifikan Korelasi

1 0, 688 Signifikan

2 0,848 Sangat signifikan

3 0,738 Sangat signifikan

4 0,743 Sangat signifikan

5 0,741 Sangat signifikan

2. Reliabilitas butir soal

Reliabilitas sebuah instrument tes berkaitan dengan masalah konsistensi (keajegan) tes tersebut sebagai alat ukur. Rumus yang digunakan untuk menguji reliabilitas instrument dalam penelitian ini adalah koefisien Alfa dari Cronbach, yaitu:

(Soemantri, 2006:48) Keterangan :

r11 = koefisien reliabilitas

n = banyaknya butir soal

jumlah varians skor setiap butir soal varians skor total

dengan

(18)

X = skor tiap butir

Y = skor total tiap peserta tes N = jumlah peserta tes

Realibilitas untuk tiap butir soal disajikan dalam tabel berikut: Tabel 3.3

Derajat Realibilitas

Derajat Reliabilitas Interpretasi

0,90≤ r11 ≤ 1,00 Sangat tinggi

0,70≤ r11< 0,90 Tinggi

0,40≤ r11< 0,70 Sedang

0,20≤ r11 < 0,40 Rendah

r11 < 0,20 Sangat rendah

Dari hasil perhitungan menggunakan Anates, diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,85. Berdasarkan Tabel 3.3 dapat disimpulkan bahwa reliabilitas instrumen yang digunakan termasuk kategori tinggi. Data perhitungan reliabilitas selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.

3. Indeks kesukaran

(19)

Keterangan :

IK = indeks kesukaran tiap butir soal X = rata-rata skor tiap butir soal

SMI = skor maksimal ideal tiap butir soal

Interpretasi yang lebih rinci untuk indeks kesukaran tersebut dibagi ke dalam beberapa kategori berikut ini menurut Guilford (dalam Suherman, 2003: 170).

Tabel 3.4 Indeks Kesukaran

Nilai IK Indeks Kesukaran

0,00 Terlalu Sukar

0,00 IK 0,30 Soal sukar 0,30 IK 0,70 Soal sedang 0,70 IK 1,00 Soal mudah

1,00 Terlalu mudah

Hasil perhitungan indeks kesukaran soal dengan menggunakan Anates beserta kategorinya disajikan dalam Tabel 3.5 berikut.

Tabel 3.5

Hasil Perhitungan Indeks Kesukaran Soal Tes

No. Soal Koefisien Validitas Signifikan Korelasi

1 0,77 Mudah

2 0,63 Sedang

3 0,66 Sedang

4 0,66 Sedang

(20)

Data perhitungan indeks kesukaran selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.

4. Daya Pembeda Soal

Daya pembeda butir soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang tidak pandai. Daya pembeda butir soal dihitung

X = Rata-rata skor siswa kelompok atas

b

X = Rata-rata skor siswa kelompok bawah

SMI = Skor Maksimum Ideal

Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang digunakan sebagai berikut:

Tabel 3.6 Kriteria Daya Pembeda

Nilai Daya Pembeda Interpretasi

0,70<DP ≤ 1,00 Sangat Baik 0,40<DP ≤ 0,70 Baik 0,20<DP ≤ 0,40 Cukup 0,00<DP ≤ 0,20 Jelek

(21)

ii. Instrumen Non Tes

1. Lembar Observasi

Penelitian ini menggunakan dua jenis pedoman observasi yaitu pedoman observasi pelaksanaan pembelajaran yang berfungsi melihat keefektifan kegiatan guru dalam menerapkan model pembelajaran di kelas, dan pedoman observasi kegiatan siswa berfungsi untuk melihat keaktifan siswa dalam pembelajaran di kelas.Data ini bersifat relatif, karena dapat dipengaruhi oleh keadaan dan subyektivitas pengamat. Karena itu dibutuhkan instrumen tes lainnnya untuk melengkapi data yang diperoleh.

2. Angket

(22)

Tabel 3.7

Teknik Pengumpulan Data

5. Prosedur Penelitian

Secara umum prosedur penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pengolahan serta analisis data hasil penelitian.

a. Tahap Persiapan

Pada tahap ini, dilaksanakan beberapa kegiatan yaitu: pengembangan perangkat pembelajaran (lembar kerja siswa), penyusunan instrumen dan uji coba instrumen, mengurus perizinan penelitian, dan memilih siswa kelas VIII di SMPN 29 Bandung sebanyak dua kelas untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan penelitian dimulai dengan memberikan pretest pada masing-masing kelas kontrol dan eksperimen untuk

Instrumen Sasaran Waktu Tujuan

Tes

Mendapatkan data mengenai kemampuan awal komunikasi siswa Mendapatkan data mengenai

kemampuan komunikasi

siswasetelah diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking. Lembar

Observasi

Siswa Saat

pembelajaran

Mengetahui aktivitas siswa setiap tahapan pembelajaran

Angket Siswa Setelah postest

(23)

mengetahui kemampuan komunikasi matematika awal siswa. Selanjutnya diberikan perlakuan sesuai perencanaan desain eksperimen, untuk kelas kontrol diberikan pembelajaran dengan menggunakan model konvensional dan kelas eksperimen diberikan pembelajaran dengan menggunakan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking. Observer melakukan observasi di kelas eksperimen selama pembelajaran berlangsung.

Pada tatap muka terakhir dalam rangkaian pelaksanaan penelitian diberikan postest pada masing-masing kelas kontrol dan eksperimendengan tujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika siswa setelah diberi perlakuan. Khusus untuk kelas eksperimen selain dilakukan postest juga diberikan angket untuk mengetahui respons siswa terhadap pembelajaran.

c. Tahap Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan

Setelah penelitian di lapangan selesai dilaksanakan, data yang telah diperoleh diolah untuk kemudian dianalisis dan dijadikan dasar dalam penarikan kesimpulan.

6. Analisis Data

(24)

a. Analisis Data Kuantitatif

Data kuantitatif adalah data yang berbentuk bilangan (Sugiyanto, 2009: 30). Data ini diperoleh dari hasil tes kemampuan komunikasi siswa. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji statistik terhadap data pretest dan data peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa (postest, gain atau skor indeks gain) kedua kelas. Data dianalisis untuk menguji hipotesis penelitian yang telah dibuat. Hipotesis diuji dengan melakukan uji perbedaan dua rata-rata. Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan terhadap data postest, gain atau indeks gain jika rata-rata skor pretest siswa kedua kelas adalah tidak berbeda

secara signifikan, tetapi uji perbedaan dua rata-rata dilakukan terhadap data indeks gain jika rata-rata skor pretest siswa kedua kelas adalah berbeda secara signifikan.

Untuk mengetahui apakah rata-rata skor pretest siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan atau berbeda secara signifikan, maka dilakukan uji kesamaan dua rata-rata terhadap data skor pretest siswa kedua kelas.

Sebelum melakukan uji hipotesis dilakukan pengecekan semua syarat yang harus dipenuhi untuk pengujian tersebut. Syarat-syarat tersebut yaitu:

(25)

Shapiro-Wilk. Karena Metode Shapiro-Wilk menggunakan sampel

lebih dari 30 sampel. Jika data yang dianalisis tidak berdistribusi normal, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan uji statistik nonparametris. Uji statistik nonparametris untuk penelitian ini yaitu uji Mann-Whitney.

ii. Setelah dilakukan uji normalitas dan diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel yang diteliti memiliki varians yang tidak berbeda secara signifikan atau berbeda secara signifikan. Jika data yang dianalisis memiliki varians yang berbeda secara signifikan, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan statistik nonparametris. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Levene.

iii. Jika diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji kesamaan rata-rata yang bertujuan untuk mengetahui kelas mana yang memiliki kemampuan komunikasi matematika yang lebih baik. Uji kesamaan rata-rata dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Independent-Sampel T Test.

(26)

peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa akan dilakukan pengujian postest, gain atau indeks gain. Adapun rumus indeks gain menurut Meltzer (Solihin, 2010) sebagai berikut:

Indeks gain = postest pretest

maks pretest

Skor

Skor

Skor

Skor

 

Selanjutnya indeks gain yang diperoleh diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria indeks gain sebagai berikut.

Tabel 3.8

Untuk melihat apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa kelas eksperimendengan siswa kelas kontrol dilakukan analisis indeks gain sebagai berikut.

1. Menguji normalitas data indeks gain dengan tujuan untuk mengetahui apakah kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas yang sesuai untuk penelitian ini yaitu uji Shapiro-Wilk. Karena Metode Shapiro-Wilk menggunakan sampel lebih dari 30 sampel. Jika

(27)

nonparametris. Uji statistik nonparametris untuk penelitian ini yaitu uji Mann-Whitney.

2. Setelah dilakukan uji normalitas dilakukan dan diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel yang diteliti memiliki varians yang tidak berbeda secara signifikan atau berbeda secara signifikan. Jika data yang dianalisis memiliki varians yang berbeda secara signifikan, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan statistik nonparametris. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Levene.

3. Jika diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji kesamaan rata-rata yang bertujuan untuk mengetahui kelas mana yang memiliki peningkatan kemampuan komunikasi matematika yang lebih baik. Uji kesamaan rata-rata dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Independent-Sampel T Test.

b. Analisis Data Kualitatif

(28)

pembelajaran matematika menggunakan penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking, interaksi antara siswa dengan guru, serta interaksi antara siswa dengan siswa.

i. Analisis Data Observasi

Data hasil observasi merupakan data pendukung penelitian ini.Agar memudahkan dalam menginterpretasikannya, data disajikandalam bentuk tabel. Dari data tabel akan dianalisis apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai atau belum.

ii. Analisis Data Angket

Data dalam angket berupa pernyataan berbentuk pernyataan tertutup, sebagian pernyataan positif dan sebagian lagi negatif, sehingga responden hanya memilih jawaban yang sesuai yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skor untuk setiap pemilihan jawaban dari setiap pernyataan berturut-turut 5,4,2,1 untuk pernyataan positif, dan sebaliknya 1,2,4,5 untuk pernyataan negatif. (Suherman, 2003 : 191).

(29)

masing-masing pernyataan untuk tiap pilihan jawaban, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P = f 100%

n

Keterangan:

P = persentase jawaban

f = frekuensi jawaban

n = banyaknya responden

Data yang telah dipersentasekan kemudian ditentukan persentase angket keseluruhan untuk menganalisis komunikasi matematika siswa terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking dengan cara mengelompokkan data

berdasarkan pernyataan yang diberikan, selanjutnya hasilnya diinterpretasikan dengan menggunakan persentase (Suherman, 2003) yaitu:

Tabel 3.9

Interpretasi Jawaban Angket Sikap Siswa

Persentase jawaban Interpretasi

P = 0 Tak Seorangpun 0 <P < 25 Sebagian Kecil

25 ≤ P < 50 Hampir Setengahnya

P = 50 Setengahnya

50 <P < 75 Sebagian Besar

75 ≤ P < 100 Hampir Seluruhnya

(30)
(31)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan-temuan dari penelitian, disimpulkan bahwa :

a. Peningkatan komunikasi matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 29 Bandung yang mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) lebih baik dibandingkan peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.

b. Hampir seluruh siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT).

2. Implikasi

Model Pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) pada pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel

dapat melatih siswa untuk mampu berpikir kritis dan imajinatif, menggunakan logika, menganalisis fakta-fakta, membagi rasa, dan saling mengasihi sehingga perbedaan pendapat dan pandangan yang ada dapat dipecahkan dan dicerahkan dengan dialog terbuka.

(32)

3. Saran-Saran

Dari hasil penelitian ini beberapa saran yang dapat menjadi masukan yaitu :

a. Model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) dapat menjadi alternatif model pembelajaran untuk

meningkatkan komunikasi matematika siswa SMP.

b. Bagi para guru matematika hendaknya selalu mengadakan perubahan dalam metode mengajarnya agar siswa tidak merasa jenuh dan bosan di dalam kelas.

c. Bagi calon guru (Mahasiswa) agar lebih giat lagi dalam belajar sehingga bisa meningkatkan ilmu pengetahuannya bahkan menumbuhkan ilmu-ilmu pengetahuan baru seiring dengan perkembangan zaman.

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Arthana, Ketut. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia :

http://fip.unesa.ac.id/bank/jurnal/tp-101-3-Pembelajaran_Inovatif_Berbasis_Deep_DialogueCritical_Thinking.pdf

Joko. (2010). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia:

http://joko1234.wordpress.com/2010/08/12/pembelajaran-inovatif-berbasis-deep-dialoguecritical-thinking/

Puspita, Redda. (2007). Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Hasil Belajar. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Rohayati, Ade. (2010). CTL dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Berpikir Kritis. [Online]. Tersedia:

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1960050

11985032_ADE_ROHAYATI/CTL_dalam__Pembelajaran_Mat_untuk_Menin

gkatkan_Berpikir_Krit.pdf

Rudiansyah, Sandi. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMA melalui Model Pembelajaran Connected Mathematics Project (CMP). Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

(34)

Sadono, Kana Hidayah. (2006). implementasi kurikulum berbasis kompetensi dengan pendekatan contextual teaching and learning (ctl) pada mata pelajaran matematika pokok bahasan statistik dan statistika di sma muhammadiyah i yogyakarta. Yogyakarta: Bappeda Kota Yogyakarta.

Solihin, Ahmad. (2010). Pengaruh Pendekatan Problem Solving terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Sugiyanto. (2009). Pengaruh Model Pembelajaran Deep Dialogue/Critical Thinking dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika pada Materi Himpunan Siswa Kelas I MMI Pondok Pesantren Mathlabul Ulum Jambu Lenteng Sumenep. Skripsi Universitas Nusantara PGRI Kediri. Kediri: Tidak diterbitkan.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, Erman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA - Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, Erman. (2007). Pendekatan kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. [Online]. Tersedia:

http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38

Untari, Sri. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia :

Gambar

tabel. Selain itu, Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah
Tabel 3.1 Nilai Koefisien Korelasi Product Moment
Tabel 3.2 Validitas Butir Soal
Tabel 3.3 Derajat Realibilitas
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengujiannya untuk menghasilkan temperatur alumunium cair sebesar 800 ° C membutuhkan waktu paling cepat yakni 28 menit dengan variasi putaran kecepatan burner 2000

Sebagai obyek pokok pembahasan tungku peleburan pada peleburan logam maka digunakan sebuah ruang pembakaran dengan alat pembakaran yang berbahan bakar gas yakni burner dan dinding

Masalah dalam penelitian ini adalah apakah penggunaan metode PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) pada mata pelajaran sejarah dapat

Dengan metode analisis regresi berganda, hasil penelitian ini menyebutkan bahwa secara empiris terbukti bahwa profitabilitas, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai

Alhamdulillah, puji dan syukur pcnulis haturkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat, kasih sayang dan karunia-Nya jualah rnaka akhirnya penulis dapat

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) terdapat perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran kooperatif Team Assisted Indvidualization dan TGT

Bisa juga diartikan sebagai sistem ajaran (doktrin) dan praktek yang didasarkan pada sistem ke- percayaan seperti itu, atau sebagai kepercayaan akan keberadaan dan pengaruh

Penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu prototipe kursi roda berupa robot beroda sebagai sarana mempelajari mobilasi secara otomatis orang yang menderita