DAFTAR ISI
1. Model Pembelajaran Kontekstual ... 10
2. Deep Dialogue/Critical Thinking ... 14
3. Kemampuan Komunikasi Matematika ... 24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 28
1. Desain Eksperimen ... 28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... . 46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... . 67
1. Kesimpulan ... 67
2. Implikasi ... 67
3. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, karena matematika merupakan dasar dari mata pelajaran lain yang saling berkesinambungan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas hasil belajar siswa SMP dalam mata pelajaran matematika masih rendah termasuk dalam kemampuan komunikasi, sehingga masih perlu ditingkatkan.(Solihin:2011).
Rendahnya kualitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah ketepatan pembelajaran yang digunakan. Pembelajaran dalam penyampaian materi yang digunakan oleh para guru di lapangan pada umumnya adalah pembelajaran konvensional yang menekankan penguasaaan dan manipulasi isi dengan latihan pengerjaan soal-soal atau drill and practice, prosedural, serta penggunaan rumus. Pada pembelajaran ini guru berfungsi sebagai pusat atau sumber materi, guru yang aktif dalam pembelajaran, sedangkan siswa hanya menerima materi. Para siswa menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal, tempat dan kejadian; mempelajari mata pelajaran secara individu; dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung.
(Johnson, 2009:37) mengatakan “ Si anak harus menjadikan (ide-ide tersebut) milik mereka, dan harus mengerti penerapannya dalam situasi kehidupan nyata mereka pada saat yang sama”. Dengan alasan tersebut, pembelajaran
kontekstual dalam pembelajaran matematika berusaha untuk mengajak para siswa melakukan hal tersebut, yaitu dengan membuat skenario pembelajaran yang saling berhubungan, dimulai dari konteks kehidupan nyata siswa (daily life) agar pembelajaran tersebut menjadi lebih bermakna. Model pembelajaran
kontekstual juga memiliki potensi untuk membuat siswa mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan.
Disadari bahwa matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, namun apakah matematika itu sebenarnya? Matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol yang padat, lebih berupa symbol mengenai ide dari pada bunyi. Johnson dan Rising (Solihin: 2011), dan Kline (Solihin: 2011) mengatakan bahwa matematika bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Oleh karena itu matematika tidak pernah terlepas dari pemikiran secara kritis, logis dan sistematis dan matematika juga tidak terlepas dari ilmu pengetahuan lainnya seperti fisika, social, ekonomi dan ilmu alam.
dengan dialog mendalam/berpikir kritis, orang akan belajar mengenal dunia lain di luar dirinya dan selanjutnya mampu menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Hal ini membuka kemungkinan-kemungkinan untuk memahami makna yang fundamental dari kehidupan secara individual dan kelompok dengan berbagai dimensinya.
Komunikasi secara implisit menurut Effendy (Rohayati:10) merupakan proses yang menyampaikan suatu pesan seseorang kepada orang lain untuk memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat, perilaku baik langsung secara lisan maupun tulisan (melalui media).
Dengan komunikasi dapat bertukar ide dan memperbaiki hal yang belum sempurna menjadi lebih sempurna. Dengan komunikasi juga guru bisa mengetahui psikologi siswa agar dalam pencapaian model dan metode yang diterapkan dapat dilaksanakan dengan efektif.
Baroody (Suzana, 2009:6) mengungkapkan bahwa paling tidak ada dua alasan penting yang menjadikan komunikasi dalam matematika perlu menjadi focus perhatian. Pertama, Mathematics as language; matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk mengemukakan pola-pola atau menyelesaikan masalah, namun matematika juga merupakan alat yang tidak terhingga nilainya untuk dikomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan cermat dan kedua, mathematics learning as social activity; matematika sebagai aktivitas social dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa seperti juga komunikasi antar guru dan siswa yang merupakan bagian penting untuk memelihara dan mengembangkan potensi matematika siswa.
Indonesia saat ini dirasakan masih kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan gagasan matematika yang dimiliki siswa.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
Matematika Siswa SMP” melalui pembelajaran matematika.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :
a. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan
kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?
b. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT)?
3. Pentingnya Masalah
4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
b. Mengetahui bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT).
5. Manfaat Penelitian
Jika hasilnya signifikan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi:
a. Siswa
Deep dialogue/critical thinking dapat digunakan untuk melatih siswa
dalam mengkomunikasikan pemikiran dan idenya baik secara lisan maupun tulisan kepada siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru, dan siswa dapat menerapkan pembelajaran matematika dalam kehidupan sehari-hari.
b. Guru
c. Sekolah
Meningkatkan kualitas dan hasil belajar pembelajaran matematika.
6. Definisi Istilah
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda dari pembaca, maka peneliti memberikan penjelasan dari beberapa istilah yang digunakan :
a. Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual adalah model pembelajaran yang mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari atau situasi nyata sebagai media pembelajaran. Guru memberikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari secara individu ataupun berkelompok dapat menyimpulkan konsep materi pembelajaran matematika tersebut, kemudian guru memberikan soal yang berbentuk aplikasi.
c. Komunikasi matematika
Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling hubungan/dialog yang terjadi dalam suatu lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan-pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari di kelas. Pihak yang terlibat komunikasi dikelas adalah guru dan siswa. Jadi, kemampuan komunikasi matematika dalam penelitian ini adalah a) Mengungkap ide secara lisan dan tulisan, b) Mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematika dan hubungannya, c) Menggunakan situasi nyata dan menyatakan solusi masalah menggunakan gambar dan aljabar, d) Membuat situasi matematika dan menyediakan ide serta keterangan dalam bentuk tertulis, dan e) Menginterpretasikan ide matematika dalam bentuk gambar dan aljabar.
7. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, hipotesis penelitian ini sebagai berikut “Peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metodekuasi eksperimen. Penelitian ini melibatkan dua kelas yaitu satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Masing-masing mendapat perlakuan berbeda dalam proses pembelajaran, tetapi materi yang sama. Pada kelas eksperimen diberikan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking. Sedangkan pada kelas kontrol diberikan pembelajaran konvensional.
Dengan demikian desain eksperimen dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
O X O
O O (Ruseffendi, 1994)
Keterangan:
O: Pretest/postest berupa tes komunikasi matematika siswa
X:Perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialog/critical thinking.
2. Populasi dan Sampel
betul-betul representative yaitu dengan mengambil sampel dua kelas dari beberapa kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3. Variabel Penelitian
Variabel bebas pada penelitian ini yaitu penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking dan satu variabel terikat yaitu kemampuan komunikasi matematika siswa SMP.
4. Instrumen
a. Instrumen Pembelajaran
i. Silabus
Silabus adalah perangkat pembelajaran pendukung kurikulum. Silabus pada hakikatnya menjelaskan secara singkat mengenai materi yang akan dibahas dari setiap mata ajar dan tujuan yang hendak dicapai dari suatu pembelajaran, atau tahap belajar-mengajar atau dengan kata lain silabusmerupakan penjabaran standar kompetensi/kompetensidasar, indikator ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan pencapaian kompetensi untuk penilaian. Silabus biasanya disusun oleh guru mata pelajaran yang telah disesuaikan dengan kurikulum sekolah.
ii. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
biasanya disusun secara sistematis dan dalam jangka pendek yaitu 1 – 4 pertemuan. Perkiraan tindakan yaitu:
1. Rencana yang mengambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus
2. Pembelajaran adalah proses yang ditata dan diatur menurut langkah-langkah tertentu agar dalam pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang diharapkan
3. RPP disusun untuk satu Kompetensi Dasar.
Adapun tujuan dan manfaat RPP adalah sebagai berikut:
1. Memberikan landasan pokok bagi guru dan siswa dalam mencapai kompetensi dasar dan indikator
2. Memberi gambaran mengenai acuan kerja jangka pendek
3. Karena disusun dengan menggunakan pendekatan sistem, memberi pengaruh terhadap pengembangan individu siswa
4. Karena dirancang secara matang sebelum pembelajaran, berakibat natural effect.
iii. LKS
b. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini maka digunakan instrumen penelitian yang terdiri atas instrumen tes dan instrumen non tes yang dimaksud untuk mengukur kemampuan komunikasi matematika siswa.Instrumen penelitian tersebut diukur dengan menggunakan lembar observasi,angket, danjurnalharian siswa.
i. Instrumen Tes
Instrumen tes ini terdiri atas pretest dan postest berupa soal uraian yang terdiri dari lima butir soal. Pemilihan bentuk tes berupa soal uraian bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan komunikasi matematika siswa secara tertulis. Pretest dan postest diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pretest diberikan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika awal siswa sebelum diberi pembelajaran. Sedangkan postest digunakan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika setelah pembelajaran dilakukan pada kedua kelas tersebut. Setelah uji coba pretest dilaksanakan, kemudian dilakukan analisis mengenai validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda, dan indeks kesukaran butir soal tersebut. Selengkapnya hasil analisis uji coba soal dipaparkan sebagai berikut:
1. Validitas butir soal
menguji validitas tiap butir soal digunakan rumus Koefisien Korelasi Product Moment dari Karl Pearson sebagai berikut :
Keterangan :
rxy = Koefisien korelasi antara X dan Y
N = Jumlah peserta tes X = Skor tiap butir soal
Y = Skor total setiap peserta tes
Interpretasi yang lebih rinci mengenai nilai rxy tersebut dibagi ke
dalam kategori berikut ini menurut Guilford (dalam Suherman, 2003:113).
Tabel 3.1
Nilai Koefisien Korelasi Product Moment
Koefisien Korelasi (rxy) Kriteria
0,00 rxy 0,20 Validitas sangat rendah
0,20 rxy 0,40 Validitas rendah
0,40 rxy 0,70 Validitas sedang
0,70 rxy 0,90 Validitas tinggi
0,90 rxy 1,00 Validitas sangat tinggi
Dari hasil perhitungan validitas pembanding dengan menggunakan Anates, diperoleh nilai koefisien validitas (rxy)sebesar
seluruh butir soal dari instrumen tes yang telah dibuat termasuk kategori sedang.
Hasil validitas butir soal dengan software Anates, disajikan pada Tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2 Validitas Butir Soal
No. Soal Koefisien Validitas Signifikan Korelasi
1 0, 688 Signifikan
2 0,848 Sangat signifikan
3 0,738 Sangat signifikan
4 0,743 Sangat signifikan
5 0,741 Sangat signifikan
2. Reliabilitas butir soal
Reliabilitas sebuah instrument tes berkaitan dengan masalah konsistensi (keajegan) tes tersebut sebagai alat ukur. Rumus yang digunakan untuk menguji reliabilitas instrument dalam penelitian ini adalah koefisien Alfa dari Cronbach, yaitu:
(Soemantri, 2006:48) Keterangan :
r11 = koefisien reliabilitas
n = banyaknya butir soal
jumlah varians skor setiap butir soal varians skor total
dengan
X = skor tiap butir
Y = skor total tiap peserta tes N = jumlah peserta tes
Realibilitas untuk tiap butir soal disajikan dalam tabel berikut: Tabel 3.3
Derajat Realibilitas
Derajat Reliabilitas Interpretasi
0,90≤ r11 ≤ 1,00 Sangat tinggi
0,70≤ r11< 0,90 Tinggi
0,40≤ r11< 0,70 Sedang
0,20≤ r11 < 0,40 Rendah
r11 < 0,20 Sangat rendah
Dari hasil perhitungan menggunakan Anates, diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,85. Berdasarkan Tabel 3.3 dapat disimpulkan bahwa reliabilitas instrumen yang digunakan termasuk kategori tinggi. Data perhitungan reliabilitas selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.
3. Indeks kesukaran
Keterangan :
IK = indeks kesukaran tiap butir soal X = rata-rata skor tiap butir soal
SMI = skor maksimal ideal tiap butir soal
Interpretasi yang lebih rinci untuk indeks kesukaran tersebut dibagi ke dalam beberapa kategori berikut ini menurut Guilford (dalam Suherman, 2003: 170).
Tabel 3.4 Indeks Kesukaran
Nilai IK Indeks Kesukaran
0,00 Terlalu Sukar
0,00 IK 0,30 Soal sukar 0,30 IK 0,70 Soal sedang 0,70 IK 1,00 Soal mudah
1,00 Terlalu mudah
Hasil perhitungan indeks kesukaran soal dengan menggunakan Anates beserta kategorinya disajikan dalam Tabel 3.5 berikut.
Tabel 3.5
Hasil Perhitungan Indeks Kesukaran Soal Tes
No. Soal Koefisien Validitas Signifikan Korelasi
1 0,77 Mudah
2 0,63 Sedang
3 0,66 Sedang
4 0,66 Sedang
Data perhitungan indeks kesukaran selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.
4. Daya Pembeda Soal
Daya pembeda butir soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang tidak pandai. Daya pembeda butir soal dihitung
X = Rata-rata skor siswa kelompok atas
b
X = Rata-rata skor siswa kelompok bawah
SMI = Skor Maksimum Ideal
Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang digunakan sebagai berikut:
Tabel 3.6 Kriteria Daya Pembeda
Nilai Daya Pembeda Interpretasi
0,70<DP ≤ 1,00 Sangat Baik 0,40<DP ≤ 0,70 Baik 0,20<DP ≤ 0,40 Cukup 0,00<DP ≤ 0,20 Jelek
ii. Instrumen Non Tes
1. Lembar Observasi
Penelitian ini menggunakan dua jenis pedoman observasi yaitu pedoman observasi pelaksanaan pembelajaran yang berfungsi melihat keefektifan kegiatan guru dalam menerapkan model pembelajaran di kelas, dan pedoman observasi kegiatan siswa berfungsi untuk melihat keaktifan siswa dalam pembelajaran di kelas.Data ini bersifat relatif, karena dapat dipengaruhi oleh keadaan dan subyektivitas pengamat. Karena itu dibutuhkan instrumen tes lainnnya untuk melengkapi data yang diperoleh.
2. Angket
Tabel 3.7
Teknik Pengumpulan Data
5. Prosedur Penelitian
Secara umum prosedur penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pengolahan serta analisis data hasil penelitian.
a. Tahap Persiapan
Pada tahap ini, dilaksanakan beberapa kegiatan yaitu: pengembangan perangkat pembelajaran (lembar kerja siswa), penyusunan instrumen dan uji coba instrumen, mengurus perizinan penelitian, dan memilih siswa kelas VIII di SMPN 29 Bandung sebanyak dua kelas untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol.
b. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan penelitian dimulai dengan memberikan pretest pada masing-masing kelas kontrol dan eksperimen untuk
Instrumen Sasaran Waktu Tujuan
Tes
Mendapatkan data mengenai kemampuan awal komunikasi siswa Mendapatkan data mengenai
kemampuan komunikasi
siswasetelah diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking. Lembar
Observasi
Siswa Saat
pembelajaran
Mengetahui aktivitas siswa setiap tahapan pembelajaran
Angket Siswa Setelah postest
mengetahui kemampuan komunikasi matematika awal siswa. Selanjutnya diberikan perlakuan sesuai perencanaan desain eksperimen, untuk kelas kontrol diberikan pembelajaran dengan menggunakan model konvensional dan kelas eksperimen diberikan pembelajaran dengan menggunakan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking. Observer melakukan observasi di kelas eksperimen selama pembelajaran berlangsung.
Pada tatap muka terakhir dalam rangkaian pelaksanaan penelitian diberikan postest pada masing-masing kelas kontrol dan eksperimendengan tujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika siswa setelah diberi perlakuan. Khusus untuk kelas eksperimen selain dilakukan postest juga diberikan angket untuk mengetahui respons siswa terhadap pembelajaran.
c. Tahap Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan
Setelah penelitian di lapangan selesai dilaksanakan, data yang telah diperoleh diolah untuk kemudian dianalisis dan dijadikan dasar dalam penarikan kesimpulan.
6. Analisis Data
a. Analisis Data Kuantitatif
Data kuantitatif adalah data yang berbentuk bilangan (Sugiyanto, 2009: 30). Data ini diperoleh dari hasil tes kemampuan komunikasi siswa. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji statistik terhadap data pretest dan data peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa (postest, gain atau skor indeks gain) kedua kelas. Data dianalisis untuk menguji hipotesis penelitian yang telah dibuat. Hipotesis diuji dengan melakukan uji perbedaan dua rata-rata. Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan terhadap data postest, gain atau indeks gain jika rata-rata skor pretest siswa kedua kelas adalah tidak berbeda
secara signifikan, tetapi uji perbedaan dua rata-rata dilakukan terhadap data indeks gain jika rata-rata skor pretest siswa kedua kelas adalah berbeda secara signifikan.
Untuk mengetahui apakah rata-rata skor pretest siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan atau berbeda secara signifikan, maka dilakukan uji kesamaan dua rata-rata terhadap data skor pretest siswa kedua kelas.
Sebelum melakukan uji hipotesis dilakukan pengecekan semua syarat yang harus dipenuhi untuk pengujian tersebut. Syarat-syarat tersebut yaitu:
Shapiro-Wilk. Karena Metode Shapiro-Wilk menggunakan sampel
lebih dari 30 sampel. Jika data yang dianalisis tidak berdistribusi normal, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan uji statistik nonparametris. Uji statistik nonparametris untuk penelitian ini yaitu uji Mann-Whitney.
ii. Setelah dilakukan uji normalitas dan diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel yang diteliti memiliki varians yang tidak berbeda secara signifikan atau berbeda secara signifikan. Jika data yang dianalisis memiliki varians yang berbeda secara signifikan, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan statistik nonparametris. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Levene.
iii. Jika diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji kesamaan rata-rata yang bertujuan untuk mengetahui kelas mana yang memiliki kemampuan komunikasi matematika yang lebih baik. Uji kesamaan rata-rata dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Independent-Sampel T Test.
peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa akan dilakukan pengujian postest, gain atau indeks gain. Adapun rumus indeks gain menurut Meltzer (Solihin, 2010) sebagai berikut:
Indeks gain = postest pretest
maks pretest
Skor
Skor
Skor
Skor
Selanjutnya indeks gain yang diperoleh diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria indeks gain sebagai berikut.
Tabel 3.8
Untuk melihat apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa kelas eksperimendengan siswa kelas kontrol dilakukan analisis indeks gain sebagai berikut.
1. Menguji normalitas data indeks gain dengan tujuan untuk mengetahui apakah kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas yang sesuai untuk penelitian ini yaitu uji Shapiro-Wilk. Karena Metode Shapiro-Wilk menggunakan sampel lebih dari 30 sampel. Jika
nonparametris. Uji statistik nonparametris untuk penelitian ini yaitu uji Mann-Whitney.
2. Setelah dilakukan uji normalitas dilakukan dan diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel yang diteliti memiliki varians yang tidak berbeda secara signifikan atau berbeda secara signifikan. Jika data yang dianalisis memiliki varians yang berbeda secara signifikan, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan statistik nonparametris. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Levene.
3. Jika diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji kesamaan rata-rata yang bertujuan untuk mengetahui kelas mana yang memiliki peningkatan kemampuan komunikasi matematika yang lebih baik. Uji kesamaan rata-rata dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Independent-Sampel T Test.
b. Analisis Data Kualitatif
pembelajaran matematika menggunakan penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking, interaksi antara siswa dengan guru, serta interaksi antara siswa dengan siswa.
i. Analisis Data Observasi
Data hasil observasi merupakan data pendukung penelitian ini.Agar memudahkan dalam menginterpretasikannya, data disajikandalam bentuk tabel. Dari data tabel akan dianalisis apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai atau belum.
ii. Analisis Data Angket
Data dalam angket berupa pernyataan berbentuk pernyataan tertutup, sebagian pernyataan positif dan sebagian lagi negatif, sehingga responden hanya memilih jawaban yang sesuai yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skor untuk setiap pemilihan jawaban dari setiap pernyataan berturut-turut 5,4,2,1 untuk pernyataan positif, dan sebaliknya 1,2,4,5 untuk pernyataan negatif. (Suherman, 2003 : 191).
masing-masing pernyataan untuk tiap pilihan jawaban, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
P = f 100%
n
Keterangan:
P = persentase jawaban
f = frekuensi jawaban
n = banyaknya responden
Data yang telah dipersentasekan kemudian ditentukan persentase angket keseluruhan untuk menganalisis komunikasi matematika siswa terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking dengan cara mengelompokkan data
berdasarkan pernyataan yang diberikan, selanjutnya hasilnya diinterpretasikan dengan menggunakan persentase (Suherman, 2003) yaitu:
Tabel 3.9
Interpretasi Jawaban Angket Sikap Siswa
Persentase jawaban Interpretasi
P = 0 Tak Seorangpun 0 <P < 25 Sebagian Kecil
25 ≤ P < 50 Hampir Setengahnya
P = 50 Setengahnya
50 <P < 75 Sebagian Besar
75 ≤ P < 100 Hampir Seluruhnya
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan-temuan dari penelitian, disimpulkan bahwa :
a. Peningkatan komunikasi matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 29 Bandung yang mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) lebih baik dibandingkan peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.
b. Hampir seluruh siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT).
2. Implikasi
Model Pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) pada pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
dapat melatih siswa untuk mampu berpikir kritis dan imajinatif, menggunakan logika, menganalisis fakta-fakta, membagi rasa, dan saling mengasihi sehingga perbedaan pendapat dan pandangan yang ada dapat dipecahkan dan dicerahkan dengan dialog terbuka.
3. Saran-Saran
Dari hasil penelitian ini beberapa saran yang dapat menjadi masukan yaitu :
a. Model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) dapat menjadi alternatif model pembelajaran untuk
meningkatkan komunikasi matematika siswa SMP.
b. Bagi para guru matematika hendaknya selalu mengadakan perubahan dalam metode mengajarnya agar siswa tidak merasa jenuh dan bosan di dalam kelas.
c. Bagi calon guru (Mahasiswa) agar lebih giat lagi dalam belajar sehingga bisa meningkatkan ilmu pengetahuannya bahkan menumbuhkan ilmu-ilmu pengetahuan baru seiring dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Arthana, Ketut. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia :
http://fip.unesa.ac.id/bank/jurnal/tp-101-3-Pembelajaran_Inovatif_Berbasis_Deep_DialogueCritical_Thinking.pdf
Joko. (2010). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia:
http://joko1234.wordpress.com/2010/08/12/pembelajaran-inovatif-berbasis-deep-dialoguecritical-thinking/
Puspita, Redda. (2007). Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Hasil Belajar. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Rohayati, Ade. (2010). CTL dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Berpikir Kritis. [Online]. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1960050
11985032_ADE_ROHAYATI/CTL_dalam__Pembelajaran_Mat_untuk_Menin
gkatkan_Berpikir_Krit.pdf
Rudiansyah, Sandi. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMA melalui Model Pembelajaran Connected Mathematics Project (CMP). Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Sadono, Kana Hidayah. (2006). implementasi kurikulum berbasis kompetensi dengan pendekatan contextual teaching and learning (ctl) pada mata pelajaran matematika pokok bahasan statistik dan statistika di sma muhammadiyah i yogyakarta. Yogyakarta: Bappeda Kota Yogyakarta.
Solihin, Ahmad. (2010). Pengaruh Pendekatan Problem Solving terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Sugiyanto. (2009). Pengaruh Model Pembelajaran Deep Dialogue/Critical Thinking dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika pada Materi Himpunan Siswa Kelas I MMI Pondok Pesantren Mathlabul Ulum Jambu Lenteng Sumenep. Skripsi Universitas Nusantara PGRI Kediri. Kediri: Tidak diterbitkan.
Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, Erman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA - Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, Erman. (2007). Pendekatan kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. [Online]. Tersedia:
http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38
Untari, Sri. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia :