• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENGGUNAAN LILIN SEBAGAI PENYEGAR DALAM JUAL BELI BUAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENGGUNAAN LILIN SEBAGAI PENYEGAR DALAM JUAL BELI BUAH"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENGGUNAAN LILIN SEBAGAI PENYEGAR DALAM JUAL BELI BUAH

(Studi pada Penjual Buah Pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung) Oleh :

INDAH AMALIA

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana proses jual beli buah yang mengandung lilin sebagai penyegar di Pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang penggunaan lilin sebagai penyegar dalam jual beli buah (studi pada Penjual buah Pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung).

Sebagaimana diketahui bahwa buah-buahan tidak memiliki daya tahan kesegaran yang cukup lama, khususnya buah apel. Hal ini berbeda dengan buah impor, karena buah impor sudah terdapat lilin pada dasar kulit buah apel tersebut. Lilin tersebut melindungi buah dari bakteri, sehingga bakteri tadi tidak dapat menembus ke dalam kulit buahnya, sehingga buah-buahan yang sudah dilapisi oleh lilin bisa bertahan lama. Praktek pelilinan ini sudah dilakukan di Negara asal buah-buahan tersebut dipetik. Tujuan pelilinan agar buah bisa bertahan lama saat dikirim di negara-negara di seluruh dunia, dalam keadaan buah yang masih segar. Jika buah berlilin ini sering dikonsumsi dalam jangka panjang, maka akan menimbulkan gangguan kesehatan dalam tubuh. Dalam hal ini konsumen tidak mengetahui bahwa buah yang dibeli nya tersebut terdapat lilin, sehingga jual beli ini bisa dikatakan jual beli yang mengandung unsur penipuan, penjual tidak memberikan keterangan yang sebenarnya oleh pihak konsumen.

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui proses jual beli buah yang mengandung lilin sebagai penyegar di pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung. Untuk mengetahuai tinjauan hukum Islam tentang penggunaan lilin sebagai penyegar dalam jual beli buah pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung.

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), Guna mendapatkan data yang mendukung penelitian ini menggunakan beberapa metode data, yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Setelah data terkumpul maka dianalisis menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan metode berfikir deduktif.

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO































































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan

yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah

kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang

kepadamu” (Q.S. An-Nisa : 29)1

1

(6)

PERSEMBAHAN

Tiada yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selain Engkau. Engkau curahkan kasih-mu pada setiap mahluk-Mu.

Telah banyak karunia yang Engkau berikan kepadaku ya Allah, termasuk terselesainya karya kecil yang membanggakan ini.

Dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan skripsi ini kepada : 1. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Indawan yang sudah tenang disana,

serta Ayahanda Damiri S.Pd dan Ibunda Malikhatun terimakasih untuk cinta,

kasih sayang, pengorbanan, dukungan, serta nasihat dan do‟a yang tiada henti

untuk menanti keberhasilanku.

2. Kakak-kakak dan adik-adikku semoga kita semua bisa membuat orang tua kita selalu tersenyum bahagia. Dan nenekku tersayang Zaenah, pamanku Vikri Akmaludin, yang selalu memberikan dukungan, semangat dan motivasi.

3. Almamater tercinta Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung yang telah mendidik, mengajarkan, serta mendewasakan dalam berfikir dan bertindak secara baik.

(7)

Nama lengkap Indah Amalia, dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1995 di Purwodadi, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus. Putri pertama dari satu bersaudara, buah perkawinan pasangan Bapak Indawan dan Ibu Malikhatun.

Pendidikan dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 04 Gisting Bawah dan selesai pada tahun 2007. Setelah itu melanjutkan pendidikan menengah pertama pada SMP Muhammadiyah 01 Gisting, tamat pada tahun 2010. Selanjutnya menempuh pendidikan pada jenjang menengah atas pada SMA Muhammadiyah 01 Gisting, selesai pada tahun 2013. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan kejenjang pendidikan tinggi, pada Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, mengambil Program Studi Muamalah pada Fakultas

Syari‟ah.

(8)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya berupa ilmu pengetahuan, kesehatan dan petunjuk, sehingga skripsi dengan judul

“Tinjauan Hukum Islam Tentang Penggunaan Lilin Sebagai Penyegar dalam Jual

Beli Buah” dapat diselesaikan. Salawat serta salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan pengikut-pengikutnya yang setia.

Skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada program Srata Satu (S1) Jurusan Muamalah Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam bidang ilmu

Syari‟ah.

Atas bantuan semua pihak dalam proses penyelesaian skripsi ini, tidak lupa dihaturkan terimakasih sedalam-dalamnya. Secara rinci ungkapan terimakasih disampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Alamsyah, S.Ag, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung yang senantiasa tanggap terhadap kesulitan-kesulitan mahasiswa.

2. Bapak H.A Khumaidi Ja‟far, S.Ag., M.H. selaku ketua jurusan Muamalah

Fakultas Syari‟ah.

3. Ibu Yufi Wiyos Rini Masykuroh, S.Ag., M.Si., dan Bapak Khoiruddin M.S.I masing-masing selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing, mengarahkan, dan memotivasi hingga skripsi ini selesai.

4. Bapak dan Ibu Dosen, para Staf Karyawan Fakultas Syari‟ah.

5. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Pusat, Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Institut yang telah memberikan informasi, data, referensi, dan lain-lain. 6. Bapak Nofiandri selaku penjual buah di pasar Gintung Tanjung Bandar

(9)

7. Sahabat-sahabatku Lusiana, Nurul Mukromah, Selly Nuridah Choirunnisa, Arnis Alfiana, mbak Fitri Hasanah, Nurul Fauziah, Ulfa Fauziah, Ana Efriyani yang telah meluangkan waktunya untuk membantu proses penyelesaian skripsi ini.

8. Teman-teman KKN kelompok 41 angkatan 2016, serta teman-teman Fakultas

Syari‟ah jurusan Muamalah angakatan 2013 kelas A,B,C yang telah memberikan motivasi dan memberikan warna dalam sejarah hidupku selama perjalanan menjadi mahasiswa UIN Raden Intan Lampung.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, namun telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT, tentunya dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal itu tidak lain disebabkan karena batasan kemampuan, waktu, dan dana yang dimiliki. Untuk itu kiranya para Pembaca dapat memberikan masukan dan saran-saran, guna melengkapi tulisan ini.

Akhirnya, diharapkan betapapun kecilnya karya tulis (skripsi) ini dapat menjadi sumbangan yang cukup berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu ke-Islaman.

Bandar Lampung, 11 Febuari 2017

Indah Amalia

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

(10)

PENGESAHAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul ... 1

B. Alasan Memilih Judul ... 3

C. Latar Belakang Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

F. Metode Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Jual Beli ... 14

B. Dasar Hukum Jual Beli ... 17

C. Rukun dan Syarat Jual Beli ... 20

D. Macam-Macam Jual Beli ... 28

E. Jual Beli yang Dilarang Dalam Islam ... 33

F. Asas-asas Jual Beli ... 40

G. Batal dan Berakhirnya Jual Beli... 42

H. Tinjauan Umum Tentang Lilin ... 46

1. Pengertian Lilin ... 46

2. Kandungan Bahan Kimia dalam Buah ... 46

BAB III LAPORAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Pasar Gintung ... 51

1. Sejarah Singkat Pasar Gintung ... 51

2. Struktur Organisasi Pasar Gintung ... 52

B. Mekanisme Penggunaan Lilin Sebagai Penyegar Buah di Pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung ... 55

1. Proses Jual Beli Buah yang Mengandung Lilin sebagai Penyegar di pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung ... 55

(11)

BAB IV ANALISA DATA

A. Proses Jual Beli Buah yang Mengandung Lilin sebagai Penyegar di pasar Gintung Tanjung Karang Bandar

Lampung ... 66 B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Penggunaan Lilin Sebagai

Penyegar dalam Jual Beli Buah ... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Sebagaiamana kerangka awal guna mendapatkan gambaran yang jelas dan memudahkan dalam memahami skripsi ini. Maka perlu adanya uraian terhadap penegasan arti dan makna dari beberapa istilah yang berkaitan dengan tujuan skripsi ini. Dengan penegasan tersebut diharapkan tidak akan terjadi kesalah pahaman terhadap pemaknaan judul dari beberapa istilah yang digunakan, disamping itu langkah ini merupakan proses penekanan terhadap pokok permasalahan yang akan dibahas.

Adapun judul proposal ini adalah TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENGGUNAAN LILIN SEBAGAI PENYEGAR DALAM JUAL BELI BUAH (Studi pada Penjual Buah Tanjung Karang Bandar Lampung). 1. Tinjauan : adalah pendapat meninjau, pandangan, pendapat sesudah

menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya.2 Tinjauan yang dimaksud adalah melihat kejadian yang terjadi di lapangan dan disesuaikan dengan hukum islam yang sebenarnya.

2. Hukum Islam : Ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT berupa aturan dan larangan bagi umat Islam.3 Sedangkan menurut Prof. Dr.T.M Hasbi Ash Shiddieqy di dalam kitabnya Fiqh Muamalah, mengartikan

2

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Amani),h. 552

3

(13)

hukum Islam sebagai segala yang dikeluarkan (ditetapkan) Allah untuk manusia. Baik yang berupa perintah maupun tata aturan alamiah yang mengatur kehidupan masyarakat dan hubungan mereka satu sama lainnya dan membatasi tindakan mereka.4

3. Penggunaan : proses, cara, perbuatan menggunakan sesuatu.5

4. Lilin : adalah bahan terbuat dari parafin, mudah mencair jika dipanaskan, dapat dipakai sebagai pelita dan/atau untuk membatik.6 Lilin yang dimaksud ini adalah lilin untuk melapisi pada kulit buah apel.

5. Penyegar : adalah sesuatu yang menyegarkan.

6. Jual beli menurut bahasa adalah tukar menukar secara mutlak.7 Adapun menurut kalangan Hanafiyah, pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).8 Secara singkat pengertian jual beli adalah suatau transaksi yaitu menyerahkan hak milik atau suatu barang kepada pihak kedua, dengan menerima harga yang telah disetujui, berupa uang atau suatu perjanjian timbal balik, dimana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak pembeli membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

4

Hasbi Ash Shidieqy, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h.57 5

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011) h.466

6

Ibid., h.592 7

Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Cet Ke-1, h. 173

8

(14)

7. Buah: adalah bagian tumbuhan yang berasal dari bunga atau putik (biasanya berbiji).9 Buah yang dimaksud dalam masalah ini adalah buah apel.

Jadi dari istilah-istilah di atas tersebut menjelaskan bahwa menggunakan lilin sebagai penyegar buah yaitu memakai lilin yang dilakukan dengan cara mencairkkan lilin yang berguna untuk melapisi kulit buah agar tetap terlihat bagus dan segar. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat penulis maksudkan judul proposal ini adalah TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENGGUNAAN LILIN SEBAGAI PENYEGAR DALAM JUAL BELI BUAH.

B. Alasan Memilih Judul

Adapun alasan penulis dalam memilih judul ini adalah sebagai berikut:

1. Alasan Obyektif

Adanya kegiatan yang melakukan jual beli yang dengan cara penggunaan lilin sebagai penyegar buah, karena dengan menggunakan penyegar tersebut akan memberikan jangka yang panjang bagi buah untuk membusuk, dan juga bagi seorang penjual buah bertujuan agar buah yang dijual tidak cepat membusuk.

2. Alasan Subyektif

a. Obyek kajian sesuai dengan bidang Mu‟amalah Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.

b. Tersedianya banyak referensi serta data-data lapangan yang menunjang penulis untuk mengadakan penelitian.

9

(15)

C. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir. Islam diatur oleh syariat yang didasarkan pada ketuhanan Allah SWT. Yang sumber utamanya adalah Al-Qur‟an. Islam pun mengatur secara jelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan terhadap kehidupan atau didalam bisnis.

Bisnis merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efisien.10 Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjadjakusuma mendefinisikan serangkaian aktifitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlahnya (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang atau jasa) termasuk profit, namun dibatasi dalam cara memperoleh dan pendayagunaan hartanya.11

Setiap manusia diwajibkan mencari rizeki yang ada didunia ini. Salah satu usaha yang dianjurkan agama adalah dengan harta jual beli.12 Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan

sesuai dengan ketentuan yang dibenarkan syara‟ (hukum islam).13

10

Muslich, Etika Bisnis Islam, (Yogyakarta : Adipura, 2004), h.46 11

Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjadjakusuma, Menggagas Bisnis Islam (Jakarta : Gema Isnani Press, 2002), h.18

12

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Bandung : alm Arif Bandung, 1997) 13 Khumedi Ja‟far,

Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandar Lampung : IAIN

(16)

Tidak hanya agama, pemerintah pun telah memberikan peraturan dan penegasan mengenai kualitas makanan yang dikonsumsi agar tidak membahayakan jiwa manusia. Perkembangan zaman saat ini, ilmu pengetahuan dan perkembangan di bidang perekonomian, perindustrian dan perdagangan telah menghasilkan beberapa varian dalam hal barang dan jasa yang dapat diperoleh secara cepat dan mudah. Dampak dari perkembangan tersebut terutama sekali terlihat pada hal buah-buahan dengan berbagai cara pengolahan dan pembuatannya. Agar hasil nya akan terlihat baik, tahan lama, dan unggul dikompetitifnya dunia perdagangan, seperti buah-buahan yang menggunakan pengawet berupa lilin agar buah-buahannya tetap segar, tanpa berpikir dampak dari campuran bahan kimia bagi kesehatan.

(17)

dikonsumsi dalam jangka panjang, akan menimbulkan gangguan kesehatan dalam tubuh.

Dalam hal ini konsumen tidak mengetahui bahwa buah yang dibelinya tersebut terdapat lilin, sehingga jual beli ini bisa dikatakan jual beli yang mengandung unsur penipuan, penjual tidak memberikan keterangan yang sebenarnya oleh pihak konsumen.

Hal inilah yang terjadi pada distributor buah yang ada di pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung yang sudah lama dijalani. Untuk itu distributor tidak mau banyak mengeluh karena buah-buahannya beresiko cepat BS (busuk) saat diterima. Buah-buahan tersebut diberikan pengawet seperti lilin agar tetap terihat segar dan tidak cepat busuk saat diperjual belikan.

Karena itulah diperlukan penelitian yang mendalam agar dapat membahas masalah ini untuk mengetahui penyebab semakin banyaknya penjual buah yang menjual buahnya menggunakan lilin, terkait mengenai adanya isu Buah yang menggunakan lilin sebagai penyegar buah.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Tentang Penggunaan Lilin Sebagai Penyegar dalam Jual Beli Buah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang timbul, diantaranya:

(18)

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang penggunaan lilin sebagai penyegar dalam jual beli buah?

E. Tujuan dan Kegunaan penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Untuk mengetahui proses jual beli buah yang mengandung lilin sebagai penyegar di pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung.

2. Untuk mengetahui tinjauan hokum Islam tentang penggunaan lilin sebagai penyegar dalam jual beli buah.

Kegunaan dari Penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis, sebagai wahana untuk menambah kehasan keilmuan. b. Secara praktis, penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat

memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar S.H. pada Fakultas

Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field

research), yaitu suatu penelitian yang dilakukan dalam kancah kehidupan yang

sebenarnya.14 Mengingat penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan maka dalam pengumpulan data dilakukan pengolahan data-data yang bersumber dari lapangan (lokasi penelitian). Dalam hal ini akan langsung mengamati dan meneliti tentang jual beli menggunakan lilin sebagai penyegar buah.

14

(19)

Selain lapangan penelitian ini juga menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) sebagai pendukung dalam melakukan penelitian dengan menggunakan berbagai literatur yang sesuai dengan masalah yang diangkat dalam penelitian.

2. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif ini digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara aktual dan cermat. Metode deskriptif pada hakikatnya adalah mencari teori bukan untuk menguji teori metode ini menitik beratkan pada observasi dan suasana alamiah. Penelitian bertindak sebagai pengamat.

3. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data disini adalah subjek dari mana data diperoleh. Dalam penelitian ini sumber data ada dua, yaitu :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.15 Biasanya melalui angket, wawancara, jajak pendapat dan lain-lain. Dalam penelitian ini data primer diperoleh langsung dari pedagang buah dan pembeli di pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung.

15

(20)

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulanya, jadi data sekunder berasal dari tangan kedua. Diperoleh melalui badan atau instansi yang bergerak dalam proses pengumpulan data, baik oleh instansi pemerintah maupun swasta.16

4. Metode Pengumpulan Data

a. Observasi

Observasi adalah suatu cara untuk mengumpulkan data penelitian dengan pengamatan. Peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau, yang digunakan sebagai sumber data penelitian.17 Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi secara lansung, dalam artian peneliti ikut langsung terjun ke lapanga untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, dimana peneliti mengamati dan mencatat fenomena-fenomena yang ada pada pedagang buah yang memakai lilin sebagai penyegar buah di pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung.

b. Interview ( wawancara )

Metode interview adalah suatu pengumpulan data dengan cara Tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih saling berhadap-hadapan secara fisik yang diarahkan pada pokok

16

Sedamayanti, Metodologi Penelitian, (Bandung: Mandar Maju,2001), h.73 17

(21)

permasalahan tertentu. Penelitian ini menggunakan wawancara secara bebas dan terpimpin, yaitu dengan menyiapkan beberapa pertanyaan yang telah ditentukan, tentunya yang berkaitan dengan permasalahan.

Interview yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui fakta-fakta atau keterangan dari para distributor buah dan para pembeli buah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana para pedagang buah yang ada di pasar Ginung Tanjung Karang Bandar Lampung yang menjadi objek penelitian. Metode interview yang digunkan dalam penelitian ini adalah interview bebas (tidak berstruktur), sehingga responden secara spontan dapat mengeluarkan segala sesuatu yang ingin dikemukakannya. Dengan demikian bisa diperoleh gambaran yang lebih luas mengenai masalah yang sedang diteliti kepada penjual buah pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau sesuatu yang berkaitan dengan masalah variabel yang berbentuk catatan, gambar, majalah, surat kabar, atau karya-karya monumental dari seseorang.18 Dokumentasi ini dilakukan di Pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung.

18

(22)

5. Populasi dan Sampel

Populasi adalah objek penelitian19 atau keseluruhan unit manusi, dapat juga berbentuk gejala atau peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama, adapun yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah pedagang buah dan pembeli buah yang berjumlah <100 orang.

Sampel adalah contoh yang mewakili dari populasi dan cermin dari keseluruhan objek yang diteliti. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari beberapa populasi dan digunakan sebagai objek penelitian. Adapun teknik yang digunakan memilih sampel, menggunakan Random Sampling yaitu pemilihan sekelompok subjek yang akan dijadikan sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu.20

Menurut Sugiono dalam bukunya “apabila subyek penelitiannya < 100

lebih baik diambil semua. Mengingat jumlah populasi yang penulis temukan dalam penelitian ini < 100 orang, yaitu 10 orang.

a. Para penjual buah di Pasar Gintung Tanjung Karang Bandar Lampung sebanyak 2 orang.

b. Pembeli buah sebanyak 8 orang.

6. Metode Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, kemudian diolah dengan cara, antara lain: a. Pemeriksaan Data (Editing)

19

Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991), h.102

20

(23)

Adalah pengoreksian data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data yang masuk atau data yang terkumpul itu tidak logis dan meragukan.21 Data yang diedit merupakan data hasil penelitian tinjauan hukum Islam tentang penggunaan lilin sebagai penyegar buah.

b. Systematizing

Yaitu melakukan penyusunan pokok bahasaan secara sistematis atau berurutan sehingga memudahkan pembahasan. c. Tabulasi data

Setelah dilakukan pemeriksaan data dan sistematika data yang diperoleh baik dari lapangan maupun dari studi literature, selanjutnya data dimasukan dalam bentuk table data kependudukan, data pemerintah, dan lain-lain.22

7. Metode Analisis Data

setelah data dikumpulkan, diedit, sistematika data dan tabulasi data, maka langkah selanjutnya data dianalisis secara kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, tulisan atau lisan dari orang-orang yang berprilaku yang dapat dimengerti.23

Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis.

21

Sugiono, Op.Cit, h.107 22

Kartini Kartono, Pengertian Metodologi Research Sosial, (Bandung: Alumni, 1990), h.33

23

(24)

Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dengan menggunakan cara berfikir deduktif. Cara berfikir deduktif adalah metode analisa data dengan cara bermula dari data yang bersifat umum tersebut, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.24

24

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Jual Beli

Jual beli disebut bai‟ dalam bahasa Arab. Bai‟ adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang dengan harga yang disepakatinya.25 Sedangkan perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai‟, al-Tijarah dan al-Mubadalah, sebagaimana Allah Swt berfirman:













Artinya: … mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi

(Faathir: 29).26

Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut.

1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.27

2. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan

aturan Syara‟.

3. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola dengan ijab dan qabul,

dengan cara yang sesuai dengan syara‟.

25

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 143

26

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Terjemahan, (Bandung: Diponegoro, 2006), h. 349

27

(26)

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan

Syara‟ dan disepakati.

Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi tidak sesuai dengan

kehendak Syara‟.28

Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat

dibenarkan penggunaannya menurut Syara‟. Benda itu adakalanya bergerak

(dipindahkan) dan ada kalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, ada kalanya tidak dapat dibagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tidak ada yang menyerupai (qimi) dan yang

lain-lainnya. Penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang syara‟.

Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya haram diperjualbelikan sehingga jual beli tersebut dipandang batal dan jika dijadikan harga penukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid.

R. Subekti, mengatakan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang,

28

(27)

sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harga.29

Jual beli menurut ulama Malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual yang bersifat khusus.

1. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat dua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas suatu yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.30

2. Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan mas bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.31

B. Dasar Hukum

29

R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Praditya Paramita, 1983), h. 327

30

Ibid., h. 327 31

(28)

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah Saw. Landasan jual beli, yaitu:

1. Al-Qur‟an

Q.S. Al-Baqarah ayat 275





















Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…

Q.S. An-Nisa‟ ayat 29





























































33

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.

Q.S. Al-Baqarah : 282











Artinya: Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli. 2. Hadis Nabi Saw

Hadist adalah sumber kedua setelah al-Qur‟an. Dan hal ini merupakan rahmat dari Allah SWT kepada umatnya sehingga hukum

32

Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 36 33

Ibid., h.65 34

(29)

Islam tetap elastis dan dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Adapun hadist yang menerangkan jual beli adalah:

a. Hadis Jabir bin Abdullah:

Artinya: dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, Rasulullah Saw

bersabda: “Allah mengasihi orang yang murah hati ketika menjual,

ketika membeli dan ketika menagih”. (H.R. Bukhari).

b. Hadis dari „Adbullah bin „Umar:

Artinya: hadis „Abdullah bin „Umar ra., bahwasannya Rasulullah

Saw bersabda: “dua pihak yang saling berjual beli, salah satunya menggunakan hak memilih (khiyar) terhadap pihak lain, selama keduanya belum berpisah kecuali mengenai jual beli dengan khiyar. (H.R Bukhari)

c. Hadis dari Bukhari bin Musa

35

Zainuddin, Dkk, Terjemahan Hadits Shahih Bukhari, Jilid I-IV, (Jakarta: Widjaya, 1992), h. 255, Hadits No: 1020

36 Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi,

Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan, Koleksi Hadis yang

Disepakati Oleh Al-Bukhari dan Muslim, Penerjemah Muslich Shabir (Semarang: 1993). H.

(30)

Artinya: mewartakan Ibrahim bin Musa, bercerita „Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Khalid bin Ma‟dan r.a. Rasulullah Saw, bersabda:

tidak ada maknan yang dimakan seseorang, sekali-kali tidak, yang lebih baik daripada makanan-makanan hasil usaha tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud a.s., maka dari hasil usaha tangannya beliau sendiri (H.R Bukhari Muslim).

3. Ijma‟

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.38

Ummat sepakat bahwa jual beli dan penekunannya sudah berlaku (dibenarkan) sejak zaman Rasulullah hingga hari ini.39

Terakhir, dalil dari ijma‟ bahwa umat Islam sepakat bila jual beli itu

hukumnya boleh dan terdapat hikmah di dalamnya. Pasalnya, manusia bergantung pada barang yang ada di orang lain dan tentu orang tersebut tidak akan memberinya tanpa ada imbalan balik. Oleh karena itu, dengan diperbolehkannya jual beli maka dapat membantu terpenuhinya kebutuhan setiap orang dan

37 Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Bin Al-Mughirah Al-Ja‟fai, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), h. 373. Hadist No. 2072

38 Rachmat Syafe‟I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 75 39

(31)

membayar atas kebutuhannya itu. Manusia itu sendiri adalah mahluk sosial, sehingga tidak bisa hidup tanpa adanya kerja sama dengan yang lain.

Pada prinsipnya, dasar hukum jual beli adalah boleh. Imam Syafi‟i

mengatakan, “semua jenis jual beli hukumnya boleh kalau di lakukan oleh dua

pihak yang masing-masing mempunyai kelayakan untuk melakukan transaksi, kecuali jual beli yang dilarang atau diharamkan dengan izin-Nya maka termasuk dalam kategori yang dilarang. Adapun selain itu maka jual beli boleh hukumnya selama berada pada bentuk yang ditetapkan oleh Allah.40

C. Rukun Dam Syarat Jual Beli

1. Rukun Jual Beli

Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma‟kud alaih (objek akad).

Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan Kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab kabul dengan surat menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul.

Adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan kabul.41

40

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 27

41

(32)

Menurut Hanafi, rukun jual beli adalah ijab-qabul yang menunjukkan adanya maksud untuk saling menukar atau sejenisnya (mu‟athaa). Dengan kata lain, rukunnya adalah tindakan berupa kata atau gerakan yang menunjukan kerelaan dengan berpindahnya harga dan barang. Inilah hal pernyataan ulama Hanafi dalam hal transaksi. Adapun mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa jual beli memiliki empat rukun yaitu penjual, pembeli, pernyataan kata (ijab-qabul), dan barang. Pendapat mereka ini berlaku pada semua transaksi.

Ijab menurut Hanafi, adalah menetapkan perbuatan khusus yang menunjukkan kerelaan yang terucap pertama kali dari perkataan salah satu pihak, baik dari penjual seperti kata bi‟tu (saya menjual) maupun dari pembeli seperti pembeli mendahului menyatakan kalimat, “saya ingin membelinya dengan harga sekian.” Sedangkan qabul adalah apa yang dikatakan kali kedua dari salah satu pihak. Dengan demikian, ucapan yang dijadikan sandaran hukum adalah siapa yang memulai pernyataan dan menyusulinya saja, baik itu dari penjual maupun dari pembeli.

Namun, ijab menurut mayoritas ulama adalah pernyataan yang keluar dari orang yang memiliki barang meskipun dinyatakannya di akhir. Sementara qabul adalah pernyataan dari orang yang akan memiliki barang meskipun dinyatakan lebih awal.

Adapun rukun jual beli menurut mayoritas ulama selain Hanafi ada tiga atau empat: pelaku transaksi (penjual/pembeli), objek transaksi (barang/harga), pernyataan (ijab/qabul).42

42

(33)

2. Syarat jual beli

a. Penjual dan pembeli Syaratnya adalah:

1) Berakal, agar tidak terkecoh

Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. Sebagaimana

firman Allah Swt, dalam surat An-Nisa ayat 5: 43





























Artinya: dan janganlah kamu serakah kepada orang-orang yang bodoh, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah untukmu sebagai pokok kehidupan.

2) Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)

Pada dasarnya jual beli itu hendaknya dilakukan atas kemauan sendiri (adanya kerelaan) atau tidak ada paksaan dari masing-masing pihak. Karena kerelaan itu adalah perkara yang tersembunyi dan tergantung pada qarinah diantara ijab dan qabul, seperti suka sama suka dalam ucapan, penyerahan dan penerimaan.

3) Tidak mubazir (pemboros)

orang yang pemboros apabila melakukan jual beli, maka jual belinya tidak sah. Sebab orang yang pemboros itu suka

43

(34)

menghambur-hamburkan hartanya. Hal tersebut dinyatakan oleh Allah SWT dalam firmannya surat al-isra ayat 27 yang berbunyi:

































Artinya: sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.44

4) Baligh (berumur 15 tahun keatas/dewasa).

Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagaian ulama, mereka dapat diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.45

b. Mauqud alaih (objek akad), harga dan barang yang diperjual belikan.

Syarat-syarat jual beli ditinjau dari ma‟qud „alaih yaitu:

1) Suci barangnya

Ulama malikiyah berpendapat bahwa tidak sah jual beli barang najis, seperti tulang bangkai dan kulitnya walaupun telah dimasak, karena barang tersebut tidak dapat suci dengan

44

Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 227 45

(35)

dimasak, termasuk khamr, babi dan anjing. Tetapi sebagian ulama Malikiyah membolehkan jual beli anjing yang digunakan untuk berburu, menjaga rumah dan perkebunan.

Menurut madzhab Hanafi dan Zahiri, semua barang yang mempunyai nilai manfaat dikategorikan halal untuk dijual. Untuk itu mereka berpendapat bahwa boleh menjual kotoran-kotoran dan sampah-sampah yang mengandung najis karena sangat dibutuhkan penggunaannya untuk keperluan perkebunan dan dapat digunakan sebagai pupuk tanaman. Demikian pula diperbolehkan menjual setiap barang najis yang dapat dimanfaatkan selain untuk dimakan dan diminum seperti minyak najis untuk keperluan penerangan dan untuk cat pelapis serta diguanakan mencelup wanter. Semua barang tersebut dan sejenisnya boleh diperjual belikan meskipun najis selama penggunaannya tidak untuk dimakan.

2) Dapat diambil manfaatnya

Menjual belikan binatang serangga, ular, semut, tikus atau binatang-binatang lainnya yang buas adalah tidak sah kecuali untuk dimanfaatkan. Adapun jual beli harimau, buaya, kucing, ular dan binatang lainnya yang berguna untuk berburu, atau dapat dimanfaatkan maka diperbolehkan.

(36)

Menjual belikan sesuatu barang yang bukan menjadi miliknya sendiri atau tidak mendapatkan ijin dari pemiliknya adalah tidak sah.46 Karena jual beli baru bisa dilaksanakan apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.

4) Dapat diserah terimakan

Barang yang diakadkan harus dapat diserah terimakan secara cepat atau lambat, tidak sah menjual binatang-binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, atau barang yang sulit dihasilkannya.47

5) Dapat diketahui

Barang yang sedang dijual belikan harus diketahui banyak, berat, atau jenisnya. Demikian pula harganya harus diketahui sifat, jumlah maupun masanya. Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah satu dari keduanya tidak diketahui, maka jual beli tidak sah karena mengandung unsur penipuan. Mengenai syarat mengetahui barang yang dijual cukup dengan penyaksian barang sekalipun tidak diketahui jumlahnya. Untuk barang

46

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 39

47 Ibnu Mas‟ud,

Fiqh Madzhab Syafi‟i Edisi Lengkap, (Bandung: Pustaka Setia), h.

(37)

zimmah (dapat dihitung, ditakar), maka kadar kualitas dan kuantitas harus diketahui oleh pihak berakad.

Barang yang tidak dapat dihadirkan dalam majlis, transaksinya disyaratkan agar penjual menerangkan segala sesuatu yang menyangkut barang itu sampai jelas bentuk dan ukurannya serta sifat dan kualitasnya. Jika ternyata pada saat penyerahan barang itu cocok dengan apa yang telah diterangkan penjual, maka khiyar berlaku bagi pembeli untuk meneruskan atau membatalkan transaksi.

Demikian juga boleh memperjual belikan barang yang tidak ada di tempat seperti jual beli yang tidak diketahui secara terperinci. Caranya kedua belah pihak melakukan akad perihal barang yang ada tetapi tidak diketahui kecuali dengan perkiraan oleh para ahli yang biasanya jarang meleset. Sekiranya nanti terjadi ketidak pastian biasanya pula bukanlah hal yang berat. Karena bisa saling memaafkan dan kecilnya kekeliruan. Diperoleh pula jual beli yang diketahui kriterianya saja, seperti barang yang tertutup dalam kaleng, tabung oksigen, minyak tanah melalui kran pompa yang tidak terbuka, kecuali waktu penggunaannya.

c. Ijab dan qabul (sighat/aqad)

Sighat atau ijab-qabul artinya ikatan berupa kata-kata penjual

(38)

kamu miliki”. Kemudian si pembeli mengucapkan, “saya terima”

atau “ya, saya beli.”48

Dalam fiqih al-Sunnah dijelaskan ijab adalah ungkapan yang keluar terlebih dahulu dari salah satu pihak sedangkan qabul yang kedua. Dan tidak ada perbedaan antara orang yang mengijab dan menjual serta mengqabul si pembeli atau sebaliknya, dimana yang mengijabkan adalah si pembeli dan yang mengqabul adalah si penjual. Adapun syarat-syarat umum suatu aqad adalah sebagai berikut:

1. Pihak-pihak yang melakukan aqad telah cukup bertindak hukum.

2. Objek akad diakui oleh syara‟. 3. Aqad itu tidak dilarang syara‟. 4. Aqad itu bermanfaat.

5. Pernyataan ijab tetap utuh dan shahih sampai terjadinya qabul.

6. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. 7. Tujuan aqad jelas diakui syara‟ dalam jual beli tujuannya

memindahkan hak milik penjual kepada pembeli. 8. Tujuan aqad tidak bertentangan dengan syara‟.

48

(39)

Berdasarkan syarat umum di atas, jual beli dianggap sah jika terpenuhi syarat-syarat khusus yang disebut dengan syarat Ijab dan Qabul sebagai berikut.

1) Orang yang mengucapkan telah balikh dan berakal 2) Qabul sesuai dengan ijab

3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.49

D. Macam-Macam Jual Beli

Dalam macam atau bentuk jual beli, terdapat beberapa klasifikasi yang dikemukakan oleh para Ulama, antara lain :

a. Ulama Hanafiyah, membagi jual beli dari segi atau tidaknya menjadi tiga bentuk, yaitu:50

1) Jual beli yang shahih

Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang shahih apabila jual beli itu disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, dan tidak bergantung pada Khiyar lagi.

2) Jual beli yang bathil

Jual beli dikatakan jual beli yang bathil apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli tersebut pada dasar dan

sifatnya tidak disyari‟atkan atau barang yang dijual adalah barang-barang

yang diharamkan syara‟. Jenis-jenis jual beli yang bathil antara lain :

49

Mardani, Fiqih Ekonomi Syari‟ah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 74 50

(40)

a) Jual beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fiqih sepakat menyatakan jual beli seperti ini tidak sah atau bathil. Misalnya, memperjual belikan buah yang putiknya pun belum muncul dipohon.

b) Menjual barang yang tidak boleh diserahkan oleh pembeli, seperti menjual barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara. Hukum ini disepakati oleh ulama Fiqh dan termasuk ke dalam kategori bai al-gharar (jual beli tipuan).

c) Jual beli yang mengandung unsur penipuan, yang ada lahirnya baik, tetapi ternyata di balik itu semua terdapat unsur tipuan. d) Jual beli benda-benda najis, seperti khamr, babi, bangkai, dan

darah karena dalam pandangan Islam adalah najis dan tidak mengandung harta.

(41)

bahwa jual beli termasuk bab kesamaran dan pertaruhan, juga memakan harta orang lain tanpa imbalan.51

f) Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang, karena air yang tidak dimiliki seseorang merupakan hak bersama ummat manusia, tidak boleh diperjualbelikan. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw :

Artinya : Diceritakan Tahya bin Bakri, menceritakan Al-Laits

dari „Ukil bin Ibnu Syihab dari Ibnu Musayyib dan Abu

Salamah dari Abu Hurairah r.a., berkata bahwa Rasulullah

Saw. Bersabda: “Tidak boleh ditahan (ditolak) orang yang

meminta kelebihan air, yang akan mengakibatkan tertolaknya

kelebihan rumput.” (H.R. Bukhari Muslim).

3) Jual beli fasid adalah jual beli yang rusak dan apabila kerusakan itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki. Jenis-jenis jual beli fasid, antara lain :

51

Ibnu Rusyd, Bidayatu‟l Mujatahid,, Terjemah oleh M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Jus III, Asy-Syifa‟, Semarang 1990 h. 80

52

(42)

a) Jual beli al-majhul, yaitu jual beli yang barangnya secara global tidak dapat diketahui, dengan syarat kemajhulannya bersifat menyeluruh. Akan tetapi, apabila kemajhulannya bersifat sedikit, maka jual belinya sah.

b) Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat. Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dianggap sah pada saat persyaratannya terpenuhi atau tenggang waktu yang disebutkan dalam akad jatuh tempo.

c) Menjual barang yang ghaib yang tidak dapat dihadirkan pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat langsung oleh pembeli.

d) Jual beli yang dilakukan oleh orang buta.

e) Barter dengan barang yang diharamkan, umpamanya menjadikan barang-barang yang diharamkan sebagai harga, seperti babi, khamr, bangkai, dan darah.

(43)

g) Jual beli anggur dan buah-buahan lainnya untuk tujuan membuat khamr.

h) Jual beli dengan dua syarat. Misalnya seperti ungkapan

pedagang yang mengatakan, “jika tunai harganya Rp 50.000,

dan jika berutang harganya Rp 75.000”.

i) Jual beli barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari satuannya. Misalnya membeli tanduk kerbau pada kerbau yang masih hidup.

j) Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya untuk dipanen.

b. Ulama Malikiyah, membagi jual beli dari segi terlihat atau tidaknya barang dan kepastian akad, anatara lain :

1) Jual beli dilihat dari segi terlihat atau tidaknya barang, yaitu :

a) Jual beli yang hadir, artinya barang yang dijadikan objek jual beli Nampak pada saat transaksi berlangsung.

b) Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian yaitu jual beli salam (pesanan). Karena orang yang memesan itu sanggup menyerahkan modal uang di majlis akad.

2) Jual beli dilihat dari segi kepastian akad, yaitu: a) Jual beli tanpa khiyar,

b) Jual beli khiyar.

(44)

Dalam pembagian atau macam-macam jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Az-Zuhaili membagi atau beberapa bagian sebagai berikut :53

a. Jual beli yang dilarang karena pihak-pihak yang berakad. Adapun orang-orang yang tidak sah jual belinya adalah sebagai berikut:

1. Orang gila

Maksudnya bahwa jual beli yang dilakukan oleh orang yang gila tidak sah, berdasarkan kesepakatan ulama, karena tidak memiliki sifat

ahliyah (kemampuan). Disamakan dengannya orang yang pingsan,

mabuk, dan dibius. 2. Anak kecil

Maksudnya bahwa jual beli yang dilakukan anak kecil (belum

mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang

ringan. Adapun jual beli anak yang telah mumayyiz maka tidak sah

menurut Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah, karena tidak memilki sifat

ahliyah. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli

sah jika ada izin walinya dan persetujuannya. 3. Orang buta

Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli yang dilakukan orang buta sah jika diterangkan sifat barang yang mau dibeli, karena adanya rasa rela.

Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah tanpa diterangkan sifatnya

dipandang batil dan tidak sah, karena ia dianggap tidak bisa membedakan

53

(45)

barang yang jelek dan baik walaupun diterangkan sifatnya tetap dipandang tidak sah.

4. Orang yang dipaksa

Menurut ulama Hanafiyah, berdasarkan pengkajian, jual beli yang dipaksa bersifat menggantung dan tidak berlaku. Jika orang yang dipaksa membolehkannya setelah terlepas dari paksaan, maka jual belinya berlaku.

5. Fudhuli

Jual beli fudhuli yaitu jual beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, oleh karena itu, menurut para ulama jual beli yang demikian dipandang tidak sah, sebab dianggap mengambil hak orang lain (mencuri).

Ulama malikiyah berpendapat bahwa jual beli semacam ini diperbolehkan, karena mereka menafsirkan jual beli tersebut kepada pembelian untuk dirinya dan bukan orang lain. Sedangkan Ulama yang lain mengategorikan ini kedalam jual beli untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, para Ulama sepakat bahwa jual beli fudhul tidak sah.

6. Jual beli terhadap orang yang terhalang (sakit, bodoh, atau pemboros)

(46)

7. Jual beli Mulja‟

Jual beli Mulja‟ yaitu jual beli yang dilakukan oleh orang yang sedang dalam bahaya. Jual beli yang demikian menurut kebanyakan Ulama tidak sah, karena dipandang tidak normal sebagaimana yang terjadi pada umumnya.

b. Jual beli yang dilarang karena objek jual beli (barang yang diperjual belikan) antara lain:

1. Jual beli gharar

Jual beli gharar yaitu jual beli barang yang mengandung kesamaran. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan jual beli

gharar ialah semua jenis jual beli yang mengandung jahalah

(kemiskinan) atau mukhatarah (spekulasi) atau qumaar (permainan taruhan).54

2. Jual beli yang barangnya tidak dapat diserahkan

Jual beli yang barangnya tidak dapat diserahkan maksudnya adalah jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang masih terbang di udara dan ikan yang masih berenang di air, dipandang tidak sah karena jual beli seperti ini dianggap tidak ada kejelasan yang pasti. 3. Jual beli majhul

54

(47)

Jual beli majhul adalah jual beli barang yang tidak jelas, misalnya jual beli singkong yang masih di tanah, jual beli buah-buahan yang masih berbentuk bunga, dan lain-lain.

4. Jual beli sperma binatang

Dalam jual beli sperma (mani) binatang, maksudnya adalah seperti mengawinkan seekor pejantan dengan betina agar mendapatkan keturunan yang baik adalah haram.

5. Jual beli yang dihukumi najis dalam agama Islam (Al-Qur‟an)

maksudnya ialah bahwa jual beli barang-barang yang sudah jelas hukumnya oleh agama, seperti arak/khamr, babi, bangkai, dan berhala adalah haram.

Dilarangnya memperdagangkan barang-barang tersebut adalah karena dapat menimbulkan perbuatan maksiat, dapat membuat orang berbuat maksiat atau mempermudah dan mendekatkan manusia melakukan kemaksiatan. Tujuan diharamkannya dapat melambangkan perbuatan maksiat dan dapat mematikan orang untuk ingat kepada kemaksiatan serta menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat. 55

6. Jual beli anak binatang yang masih di dalam kandungan

Jual beli yang demikian itu adalah haram, sebab belum ada dan belum tampak jelas. Penjualan ini dilarang, karena penjualan yang gelap masanya, spekulasi, juga belum diketahui jantan atau betina. 56

55 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Alih Bahasa oleh H. Mu‟amalah Hamidy, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), h. 352

56 Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Al Lu‟lu‟ Wal Marjan,

(48)

7. Jual beli muzabanah

Jual beli muzabanah yaitu jual beli buah yang basah dengan buah yang kering. Misalnya jual beli padi kering dengan bayaran padi yang basah, sedang ukurannya yang sama sehingga akan merugikan pemilik kering.57

8. Jual beli Muhaqallah

Jual beli muhaqallah yaitu jual beli tanam-tanaman yang masih diladang atau kebun atau di sawah. Jual beli seperti ini dilarang oleh agama, karena mengandung unsur-unsur riba di dalamnya (untung-untungan).

9. Jual beli Mukhadharah

Jual beli mukhadharah adalah jual beli buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, misalnya rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil, dan lain sebagainya. Jual beli seperti ini dilarang oleh agama karena barang tersebut masih samar (belum jelas) dalam artian bisa saja buah tersebut jatuh (rontok) tertiup angin sebelum dipanen oleh pembeli, sehingga menimbulkan kekecewaan salah satu pihak.

10. Jual beli Mulammasah

Jual beli mulammasah adalah jual beli secara menyentuh sehelai kain dengan tangan atau kaki (memakai), maka diangga telah membeli kain itu. Jual beli seperti ini dilarang oleh agama, karena mengandung

57 Khumedi Ja‟far,

Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Bandar Lampung: IAIN

(49)

tipuan (akal-akalan) dan kemungkinan dapat menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.

11. Jual beli munabadzah

Jual beli munabadzah adalah jual beli secara lempar-melempar,

misalnya: seorang berkata: “lemparkanlah padaku apa yang ada padamu,

nanti kulemparkan pula padamu apa yang ada padaku, setelah terjadi lempar-melempar, maka terjadilah jual beli. Jual beli seperti ini dilarang oleh agama, karena mengandung tipuan dan dapat merugikan salah satu pihak58.

c. Jual beli yang dilarang karena lafadz (ijab kabul), antara lain: 1. Jual beli mu‟athah

Jual beli mu‟athah yaitu jual beli yang telah disepakati oleh para pihak (penjual dan pembeli) berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab kabul. Jual beli seperti ini dipandang tidak sah, karena tidak memenuhi syarat dan rukun jual beli.

2. Jual beli dengan tulisan (surat menyurat) atau perantara utusan Jual beli seperti ini sah menurut kesepakatan para ulama. Yang menjadi tempat transaksi adalah tempat sampainya surat dari pelaku akad pertama kepada pelaku akad kedua. Jika kabulnya terjadi di luar tempat tersebut, maka akadnya tidak sah.

3. Jual beli tidak bersesuaian dengan ijab kabul

58

(50)

Adalah jual beli yang terjadi tidak sesuai antara ijab dari pihak penjual dengan kabul dari pihak pembeli, maka dipandang tidak sah karena ada kemungkinan untuk meninggikan harga atau menurunkan kualitas barang.

4. Jual beli munjiz

Yaitu jual beli yang digantungkan dengan suatu syarat tertentu atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli seperti ini dipandang tidak sah, karena dianggap bertentangan dengan syarat dan rukun jual beli.59

5. Jual beli najasyi

Yaitu jual beli yang dilakukan dengan menambah atau melebihi harga temannya, dengan maksud mempengaruhi orang agar orang itu mau membeli barang kawannya.

6. Menjual atas penjualan orang lain

Maksudnya bahwa menjual barang kepada orang lain dengan cara

menurunkan harganya. Contohnya seseorang berkata: “kembalikan saja

barang itu kepada penjualnya, nanti barangku saja kau beli dengan harga

yang lebih murah dari barang itu”

Jual beli seperti ini dilarang oleh agama karena dapat menimbulkan perselisihan (persaingan) tidak sehat di antara penjual (pedagang). 7. Jual beli dibawah harga pasar

59

(51)

Jual beli dibawah harga pasar maksudnya adalah jual beli yang dilaksanakan dengan cara menemui orang-orang (petani) desa sebelum mereka masuk pasar dengan harga semurah-murahnya sebelum tahu harga pasar, kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya. Jual beli seperti ini dipandang kurang baik (dilarang), karena dapat merugikan pihak pemilik barang (petani) atau orang desa.

8. Menawar barang yang sedang ditawar orang lain

Contohnya seseorang berkata: “jangan terima tawaran orang itu,

nanti aku akan membeli dengan harga yang lebih tinggi.” Jual beli seperti ini dilarang oleh agama sebab dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat mendatangkan perselisihan diantara pedagang (penjual).

F. Asas-asas Jual Beli

Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah ataupun kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan.

Dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang diterapkan oleh Syara‟ (hukum Islam), yaitu:

1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi. Kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari

hukum syara‟ misalnya adalah memperdagangkan barang haram.

(52)

2. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh dengan tanggung jawab, dan tidak menyimpang dari hukum

syara‟ dan adab sopan santun.

3. Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

4. Islam mewajibkan agar setiap transaksi dilandasi dengan niat yang baik dan iklas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan dan kecurangan. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa: “Aku (Rasulullah) melarang jual beli yang

mengandung unsur penipuan.” (H.R Muslim).

5. „Urf (adat kebiasaan) yang tidak menyimpang dari hukum syara‟ boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya dalam akad sewa-menyewa rumah. Menurut kebiasaan setempat, kerusakan rumah sewaan merupakan tanggung jawab penyewa. Maka dari itu. Pihak yang menyewakan boleh menuntut penyewa untuk memperbaiki rumah sewaannya. Tapi, pada saat transaksi atau terjadinya akad, kedua belah pihak telah sama-sama mengetahui kebiasaan tersebut dan menyepakatinya.

G. Berakhirnya Akad Jual Beli dan Hikmah Jual Beli

berakhirnya akad berbeda fasakh dan batalnya, berakhirnya akad karena

fasakh adalah rusak atau putus akad yang mengikat antara muta‟aqidain (kedua

(53)

menurut dasar dan sifatnya tidak diperbolehkan seperti akad yang tidak terpenuhi salah satu rukun dan syarat. Sedangkan berakhirnya akad adalah berakhirnya ikatan antara kedua belah pihak yang melakukan akad (mujib dan qabil) setelah terjadinya atau berlangsungnya akad secara sah.

Para fuqaha berpendapat bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:60

1. Telah jatuh tempo atau berakhirnya masa berlaku akad yang telah disepakati, apabila akad tersebut memiliki waktu.

2. Terealisasinya tujuan dari pada akad secara sempurna. Misalnya pada akad tamlikiyyah yang bertujuan perpindahan hak kepemilikan dengan pola akad jual beli, maka akadnya berakhir ketika masing-masing pihak yang telah melakukan kewajiban yang menerima haknya. Penjual telah menyarahkan barangnya dan pembeli memberikan staman/harga yang telah disepakati.

3. Berakhirnya akad karena fasakh atau digugurkan oleh pihak-pihak yang berakad. Prinsip umum dalam fasakh adalah masing-masing pihak kembali kepada keadaan seperti sebelum terjadi akad atau seperti tidak pernah berlangsung akad.

4. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini para ulama fiqh menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad. Akad yang bisa berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad, diantaranya adalah akad sewa, ar-rahn, al-kafalah,

60

(54)

asy-syirkah, al-wakalah, dan al-muzara‟ah. Akad juga akan berakhir dalam suatu bentuk jual beli yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain apabila tidak mendapat persetujuan dari pemilik modal.61

5. Berakhirnya akad dengan sebab tidak ada kewenangan dalam akad yang mauquf. Akad mauquf akan berakhir jika yang berwenang al-akad tidak mengizinkan.

Allah SWT mensyari‟atkan jual beli bukan hanya sekedar mencari

keuntungan, namun keuntungan yang diperoleh tersebut dapat dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan

demikian hikmah yang disyari‟atkan jual beli (berdagang) adalah

sebagai berikut:

1. Untuk membina ketentraman dan kebahagiaan.

2. Usaha niaga yang dilakukan maka dapat dicapai keuntungan dan sejumlah laba yang dipergunakan memenuhi hajat sehari-hari. Apabila kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi maka diharapkan ketenangan dan ketentraman jiwa dapat pula dicapai.

3. Memenuhi nafkah keluarga

Salah satu kewajiban muslim diantaranya adalah memberikan nafkah keluarganya sebagai firman Allah surat al-Baqarah (2) ayat 233:

61

(55)













Artinya: …dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian

kepada para ibu dengan cara ma‟ruf.62

Seorang muslim mendapatkan keuntungan/laba dari usaha yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang iklas, karena hal itu termasuk kedalam perbuatan shadaqah. Dan Allah memberikan ganjaran pahala bagi yang melakukannya dengan ikhlas.

4. Memenuhi hajat masyarakat

Melakukan usaha perdagangan (jual beli tidak hanya melaksanakan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya, namun juga membantu hajat masyarakat, hal ini disebabkan tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhannya tanpa ada pertolongan dari orang lain.

5. Sarana ibadah

Keuntungan yang diperoleh dari usahanya (perdagangan) dapat dipergunakan sebagai sarana ibadah, haji, membayar zakat, shadaqah, dan lain sebagainya. Membersihkan zakat dan shadaqah adalah kewajiban seseorang muslim yang memiliki kelebihan

62

(56)

harta, karena di dalam kekayaan terdapat bagian untuk orang yang membutuhkan (fakir miskin).

6. Menolak kemungkaran

Adapun hikmah yang terakhir adalah menolak kemungkaran, karena dengan adanya jual beli yang sah, maka dapat memperoleh rezeki secara halal dan dapat memenuhi kebutuhan bersama sesuai dengan apa yang diperlukan, sehingga pe

Gambar

Gambar 1
Table 1 Data UPT Pasar Gintung

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana pengamatan yang peneliti lakukan di desa Terbanggi Ilir kecamatan Bandar Mataram kabupaten Lampung Tengah berkaitan dengan praktek jual beli singkong

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan praktik jual beli pakaian bekas di Pasar Perumnas Way Halim Bandar Lampung dilihat dari sisi pandangan hukum Islam dari

Ada pun judul skripsi ini adalah Tinjauan Hukum Islam Tentang Jual Beli Kosmetik Waterproof (studi di siger beauty bandar lampung) Untuk mengetahui secara lebih luas

Didalam praktik jual beli sayuran rusak, cacat dan busuk di Pasar Soponyono Surabaya bahwasanya pedagang berbuat curang terhadap para pembeli dengan menawarkan dengan harga

Terkait dengan etika bisnis pedagang beras, buah, dan daging di Pasar Tradisional Roworejo seharusnya pedagang berlandaskan pada etika bisnis dalam Islam sehingga para

Dalam hukum Islam dianjurkan bahwa, apabila pembeli (pedagang) membatalkan akad jual beli, maka penjual (petani) berkewajiban untuk mengembalikan uang muka

Gambaran Praktik Jual Beli Burung Pelanduk Semak di Pasar Hewan Sungai gardu Penjual merupakan pedagang di pasar Hewan Sungai gardu yang mendapatkan burung Pelanduk Semak dari Agen

Dalam jual beli ini tidak ada yang dirugikan atau di untungkan penjual atau pembeli selain menggunakan sistem timbangan dalam jual beli merupakan salah satu cara yang sah dalam Islam