iv Universitas Kristen Maranatha
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perbedaan subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome. Rancangan penelitian yang digunakan adalah differential Penelitian dilakukan pada 40 ibu dan 40 bapak atau sebanyak 80 subjek penelitian di yayasan POTADS Bandung yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik analisis data menggunakan teknik statistik nonparametrik mann-whitney u test. Alat ukurnya menggunakan alat ukur SWLS (Statisfaction with Life Scale) dan SPANE (Scale of Positive and Negative Experience) (Diener, 2006) yang telah dimodifikasi oleh peneliti dan telah diuji tingkat validitas dan reliabilitasnya.
Berdasarkan hasil uji validitas dengan menggunakan Spearman dan uji reliabilitas dengan menggunakan alpha cronbach, pada alat ukur SWLS 21 dari 25 item diterima dengan validitas keseluruhan item berkisar antara 0,398-0,657 dan reliabilitas sebesar 0,847 sedangkan pada alat ukur SPANE 18 item diterima dengan validitas keseluruhan item berkisar antara 0,329-0,738 dan reliabilitas sebesar 0,544.
v Universitas Kristen Maranatha
ABSTRACT
This research was conducted to determine the differences in subjective well-being of the mother and father who have a child with down syndrome. The research design used is a differential study was conducted on 40 mothers and 40 fathers or as many as 80 research subjects in the foundation POTADS Bandung taken using purposive sampling technique. Data were analyzed using statistical techniques nonparametric Mann-Whitney U test. Measuring tool using a measuring instrument SWLS (statisfaction with Life Scale) and SPANE (Scale of Positive and Negative Experience) (Diener, 2006) which has been modified by researchers and have been test for validity and reliability levels.
Based on the test results using Spearman's validity and reliability test using Cronbach alpha, the measuring instrument SWLS received 21 of the 25 items with the overall validity of the items ranged from 0.398 to 0.657 and the reliability of 0.847, while the measuring tool SPANE 18 items received with the overall validity of the items range between 0.329 to 0.738 and the reliability of 0.544.
ix Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...i
PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... ii
PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ...v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR BAGAN ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Identifikasi Masalah ... 8
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9
1.3.1. Maksud Penelitian... 9
x Universitas Kristen Maranatha
1.4. Kegunaan Penelitian ... 9
1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 9
1.4.2. Kegunaan Praktis ...10
1.5. Kerangka Pikir ...10
1.6. Asumsi Penelitian ...16
1.7. Hipotesis ... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Well-Being ... 17
2.1.1 Definisi Subjective Well-Being... 18
2.1.2 Komponen-komponen Subjective Well-Being... 19
2.1.3 Faktor-faktor Subjective Well-Being ... 22
2.2 Down Syndrome ... 24
2.2.1 Definsi Down Syndrome ...... 24
2.2.2 Penyebab Down Syndrome ... 25
2.2.3 Ciri-ciri Down Syndrome ... 26
2.2.4 Terapi Down Syndrome ... 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 29
xi Universitas Kristen Maranatha
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 30
3.3.1 Variabel Penelitian ... 30
3.3.2 Definisi Konseptual ... 30
3.3.3 Definisi Operasional ... 30
3.4 Alat Ukur ... 31
3.4.1 Alat Ukur Utama ... 31
3.4.2 Data pribadi dan data penunjang ... 34
3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 34
3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 34
3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 35
3.5 Populasi, Karakteristik Sample, Teknik Penarikan Sample ... 36
3.5.1 Populasi ... 36
3.5.2 Karakteristik Sample ...36
3.5.3 Teknik Penarikan Sample ... 36
3.6 Teknik Analisis Data ... 36
xii Universitas Kristen Maranatha
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Responden Penelitian ... 38
4.1.1 Usia Responden ... 38
4.1.2 Pendidikan Terakhir Responden ... 38
4.1.3 Pekerjaan Responden ... 39
4.1.4 Urutan Down Syndrome Dalam Keluarga ...39
4.1.5 Usia Anak Down Syndrome ... 40
4.1.6 Terapi Anak ... 40
4.2 Hasil Penelitian ... 41
4.2.1 Hasil Pengukuran Derajat Subjective Well-Being ..... 41
4.2.2 Hasil Pengukuran Komponen Subjective Well-Being ... 41
4.2.3 Uji Hipotesis Penelitian ... 42
4.2.4 Nilai Rata-Rata Subjective Well-Being ... 43
xiii Universitas Kristen Maranatha
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ... 47
5.2 Saran ... 48
5.2.1 Saran Teoretis ... 48
5.2.2 Saran Praktis ... 48
DAFTAR PUSTAKA ... 49
DAFTAR RUJUKAN ... 51
xiv Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Gambaran Alat Ukur SWLS ...... 32
Tabel 3.2 Gambaran Alat Ukur SPANE ....... 33
Tabel 4.1 Gambaran Usia Responden ... 38
Tabel 4.2 Gambaran Pendidikan Terakhir ... 38
Tabel 4.3 Jenis Pekerjaan Responden ... 39
Tabel 4.4 Urutan Down Syndrome ... 39
Tabel 4.5 Usia Anak ... 40
Tabel 4.6 Terapi Anak ... 40
Tabel 4.7 Hasil Pengukuran Derajat SWB ... 41
Tabel 4.8 Hasil Pengukuran Komponen SWB ... 41
Tabel 4.9 Hasil Uji Beda Mann-Whitney U Test ... 42
Tabel 4.10 Hasil Uji Beda Komponen SWB ... 43
Tabel 4.11 Perbandingan Nilai Rata-Rata SWB ... 43
xv Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 15
xvi Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kisi-kisi Alat Ukur SWLS Lampiran 2 Kisi-kisi Alat Ukur SPANE
Lampiran 3 Kata Pengantar
Lampiran 4 Data Pribadi
Lampiran 5 Kuesioner SWLS Lampiran 6 Kuesione SPANE
Lampiran 7 Hasil Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur SWLS dan SPANE
Lampiran 8 Hasil Tabulasi Silang
1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa
menjadi ibu dengan memiliki seorang anak di dalam kehidupannya. Anak
merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan dan juga merupakan generasi
penerus bagi keluarga itu sendiri. Oleh karena itu semua keluarga berusaha untuk
dapat memiliki seorang anak. Mereka berharap dapat memiliki anak yang normal
yaitu anak yang sehat, cerdas, ceria dan memiliki perkembangan yang sesuai
dengan usianya, tetapi tidak selalu anak yang dilahirkan ke dunia ini merupakan
anak yang normal, ada beberapa anak yang dilahirkan memiliki kekurangan baik
secara fisik maupun psikis.
Menurut BALITBANG (badan pelatihan dan pengembangan) akhir-akhir
ini banyak kelahiran yang mengalami gangguan fisik dan psikis. Kelahiran anak
dengan gangguan fisik, seperti tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap.
Sedangkan anak dengan kelahiran gangguan psikis hampir mencapai 10% dari
jumlah angka kelahiran. Anak yang memiliki gangguan psikis disebut anak
berkebutuhan khusus yang memiliki ketidakmampuan dalam hal-hal tertentu,
misalnya dalam fungsi intelegensi, dan sosial. Di Indonesia sendiri pada tahun
2
Universitas Kristen Maranatha Latar belakang anak berkebutuhan khusus dapat disebabkan oleh
terjadinya suatu kelainan pada saat sebelum anak lahir (prenatal), pada saat anak
dilahirkan (natal) , dan saat anak setelah dilahirkan (posnatal). Pada saat prenatal anak bisa saja mengalami keracunan dan infeksi bila ibu terjangkit penyakit
rubela, syphilis dan sebagainya. Saat masa natal bisa saja anak mengalami proses melahirkan yang sulit sehingga dapat menyebabkan kelainan. Faktor lingkungan
(sosial-ekonomi), gangguan metabolisme dan asupan gizi pada anakpun dapat
mempengaruhi psikis dan fisik anak setelah dilahirkan. Faktor genetik atau
keturunan dan usia ibu pada saat mengandung juga merupakan faktor utama
penyebab lahirnya anak berkebutuhan khusus, salah satunya adalah anak down syndrome.
Down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental anak yang diakibatkan oleh adanya abnormalitas perkembangan
kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk
saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan, sehingga terjadi kelebihan
kromosom 21, dalam hal ini 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kromosom
menjadi 47. Sedangkan pada jumlah yang normal, hanya terdapat 2 kromosom 21
sehingga kromosom berjumlah 46 (Davidson dkk, 2006). Di Indonesia pada tahun
2015 sendiri terdapat sekitar 300 ribu kasus down syndrome yang meningkat
dibandingkan 15 tahun yang lalu.
Anak down syndrome biasanya memiliki ciri fisik khas dan mudah
3
Universitas Kristen Maranatha tergolong idiot dan imbesil (White, 1981). Anak down syndrome juga ada yang mengalami gangguan atau bahkan kerusakan pada sistem organ tubuh yang dapat
menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, pernafasan serta gangguan pada
jantung yang dapat berakibat fatal.
Dampak dari faktor kecerdasan yang dimiliki anak down syndrome akan memengaruhi perkembangan lainnya dan salah satunya adalah perkembangan
bahasa, anak down syndrome akan mengalami kesulitan untuk mengikuti instruksi dan mengekspresikan kebutuhannya secara verbal. Anak biasanya berkomunikasi
dengan kalimat yang sederhana. Anak juga mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan kalimat secara jelas, sehingga seringkali orang lain kurang
mengerti dengan apa yang diungkapkan oleh anak.
Perkembangan motorik anak down syndrome baik kasar maupun halus mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan anak seusianya, sehingga anak
mengalami keterlambatan dalam melakukan keterampilan dasar yang dapat
dilakukan oleh anak normal dengan waktu yang lebih singkat. Keterampilan dasar
tersebut antara lain makan, berpakaian, mandi, dan sebagainya, sehingga ibu yang
harus melakukan itu semua untuk anak. Anak down syndrome juga tidak dapat mengenali tanda bahaya, sehingga ibu harus terus mendampingi anak.
Ibu yang memiliki anak down syndrom akan menghadapi beberapa
kendala dengan tingkat kesulitan yang beragam. Antara lain masalah dalam
memperlakukan anak down syndrome dan mengajarkan kemandirian padanya
4
Universitas Kristen Maranatha banyak, serta bantuan dalam berbagai hal yaitu mengurus keperluan
sehari-harinya seperti mandi, buang air besar (BAB), buang air kecil (BAK), makan, dan
berpakaian. Oleh karena itu perhatian ibu akan lebih terfokus untuk mengurus
anaknya dan hal ini akan menyebabkan beban ibu sehari-hari lebih berat sehingga
ibu akan mengurangi aktivitasnya di luar rumah dan mungkin juga dapat
mengurangi perhatian kepada anggota keluarga lain karena harus berkonsentrasi
pada anak down syndrome. Ibu yang memiliki anak down syndrom juga menghadapi kendala dari lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar cenderung
kurang menghargai, menyepelekan bahkan terkadang merasa takut terhadap anak
down syndrom. Ibu jadi terkadang merasa risih dan malu karena perlakuan atau cara pandang yang diberikan oleh masyarakat kepada anaknya.
Kendala juga datang dari keluarga besar dan saudara kandung anak down syndrome yang mungkin merasa malu memiliki anggota keluarga yang memiliki kelainan. Mereka mungkin akan mengabaikan anak down syndrome karena
merasa tidak ada yang dapat dibanggakan dari anak tersebut, sehingga anak down syndrome mendapat perlakuan yang berbeda dari anggota keluarga. Selain itu
keluarga besar juga mungkin akan menyalahkan ibu yang kurang berhati-hati pada
saat hamil sehingga lahirlah anak down syndrome. Dengan adanya perlakuan seperti itu dari keluarga besar dan saudara kandung dengan sendirinya akan
menambah beban ibu. Perlakuan seperti itu yang datang dari keluarga sendiri
tentu membuat hati ibu merasa sakit dan sedih melihat anaknya.
Fenomena sebagaimana diuraikan di atas merupakan hal yang kurang
5
Universitas Kristen Maranatha anaknya setiap saat. Diperlukan kesabaran yang ekstra untuk ibu dalam merawat,
menerima kenyataan dan bangkit dari rasa keterpurukan karena memiliki anak
yang tidak sesuai dengan harapannya. Beban yang dirasakan oleh ibu akan
mempengaruhi evaluasi ibu terhadap kehidupannya. Adanya kesenjangan antara
harapan dan kenyataan membuat ibu mengubah evaluasi mengenai kehidupannya
dulu dan sekarang. Bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupannya merupakan
inti dari well-being (kesejahteraan). Subjective well-being merupakan penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan
hidup dan penilaian afektif mengenai mood dan emosi (Diener dan Lucas, 1999).
Sedangkan penilaian afektif di dalamnya termasuk mood dan emosi yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan. Orang bereaksi dengan emosi yang
menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, dan
bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang
buruk terjadi pada mereka karenanya mood dan emosi bukan hanya menyenangkan
dan tidak menyenangkan tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan
atau tidak (Diener, 2003).
Tinggi - rendahnya subjective well-being berbeda-beda tergantung dari
evaluasi ibu mengenai kehidupannya. Subjective well-being akan tinggi bila ibu
merasa dengan adanya anak down syndrome dikehidupannya ibu puas dengan kehidupan keluarganya atau puas dengan perannya sebagai ibu. Ibu juga lebih
sering merasakan emosi yang menyenangkan dibandingkan emosi yang tidak
menyenangkan. Ibu yang memiliki subjective well-being yang rendah akan merasa tidak puas dengan kehidupannya karena memiliki anak down syndrome dan akan
6
Universitas Kristen Maranatha Dalam berbagai literatur perbedaan subjective well-being antara pria dan wanita secara konsisten telah diteliti. Secara umum terdapat dua perbedaan
perspectif untuk menjelaskan perbedaan tersebut, yang pertama berdasarkan
perbedaan biologi. Hal tersebut terkait dengan hormon esterogen dan progesteron
yang diproduksi wanita sehingga membuat wanita rawan dalam mengalami
depresi dan kecemasan, tetapi bagaimapun juga penjelasan secara biologis yang
mengakibatkan subjective well-being wanita lebih rendah dari pria tidak ilmiah (Nolen-Hoeksema, Rusting, 1999; Nydegger, 20014). Sedangkan yang kedua
terkait dengan perbedaan kondisi kehidupan wanita dan pria yang diperhitungkan
sebagai faktor perbedaan subjective well-being, adanya budaya sikap yang berbeda terhadap pria dan wanita atau yang lebih dikenal dengan ketidaksetaraan
gender dapat memengaruhi subjective well-being mereka menjadi berbeda (Tesch-Romer, Motel-Klingbiel, Tomasik, 2007).
Belakangan ini banyak penelitian mengenai gender pada subjective
well-being. Dalam beberapa penelitian menunjukan bahwa wanita memiliki subjective well-being yang lebih rendah dari pria (Baltes et al, 1999; Wurm and
Tesch-Romer, 2006). Hasil untuk komponen afek positif dan kepuasan hidup secara
umum beragam, tetapi beberapa penelitian menunjukan komponen positif afek
dan kepuasan hidup pada wanita lebih besar (Fujita et al, 1991). Dalam penelitian
yang lainnya menunjukan tidak ada perbedaan subjective well-being sama sekali antara pria dan wanita (Okun dan George, 1984) dan penelitian lainnya juga
7
Universitas Kristen Maranatha Banyaknya penelitian mengenai perbedaan subjective well-being antara pria dan wanita inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengambil reset
metode penelitian differential untuk memeroleh gambaran menyeluruh tentang
subjective well-being yaitu mengambil kelompok pembanding berdasarkan dari
gender, dalam penelitian ini yaitu bapak yang memiliki anak down syndrome. Tantangan dalam memiliki anak down syndrome ternyata tidak hanya
dirasakan oleh ibu saja tetapi bapak pun merasakan hal yang sama pada saat bapak
mengetahui bahwa anaknya down syndrome, bapak akan merasa bingung dan kecewa. Bahkan tidak sedikit bapak yang menolak bahkan menyalahkan ibu atas
kelahiran anak down syndrome di dalam keluarga mereka. Namun setelah bapak mulai bisa menerima keberadaan anak down syndrom, bapak akan mulai mencari
berbagai informasi yang mungkin dapat membantunya dalam memahami,
merawat dan membesarkan anaknya.
Dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome bapak akan
mengalami berbagai tantangan. Tantangan-tantangan yang dirasakan oleh bapak
kurang lebih sama dengan yang dirasakan oleh ibu, yaitu adanya tantangan dalam
segi waktu untuk merawat dan melatih kemandirian serta keterampilan anak,
adanya paradigma yang terbentuk dari lingkungan sekitar dan keluarga, dan dalam
segi biaya. Tantangan tersebut menjadi beban yang berat bagi bapak terutama
kendala dalam segi biaya.
Besarnya biaya terapi yang harus dikeluarkan oleh bapak membuat beban
bapak menjadi bertambah sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarga. Bapak
8
Universitas Kristen Maranatha dapat membuat perkembangan anaknya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Bapakpun merasa bertanggung jawab untuk memikirkan masa depan anaknya
dalam segi financial, oleh karena itu bapak bekerja ekstra bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan anaknya pada saat ini saja, tetapi untuk masa depannya juga
dengan membuatkan suatu usaha mandiri yang sekiranya dapat dikelola oleh
anaknya nanti pada saat anaknya sudah beranjak dewasa. Kendala dalam segi
waktu pun menjadi bertambah, karena bapak lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk bekerja maka hal tersebut mengurangi waktu bapak untuk lebih
ikut serta dalam merawat anak down syndromenya di rumah.
Berdasarkan survey awal yang dilakukan di Yayasan POTADS (Persatuan
Orangtua Anak Down Syndrome) Bandung terhadap tujuh ibu dan tujuh bapak
dengan anak down syndrome, 57% orang ibu mengemukakan bahwa pada saat melahirkan anak down syndrome ibu menyalahkan dirinya sendiri, merasa marah dan jika bisa ingin mengulang kehidupannya lagi. Bahkan satu orang ibu pada
saat mengetahui anaknya down syndrome merasa shock dan sempat tidak ingin merawat anaknya selama satu tahun. Begitupula 28% orang bapak pada saat
mengetahui anaknya down syndrome merasa kecewa, gagal menjadi seorang bapak dan mulai menyalahkan istrinya karena melahirkan anak down syndrome. Bahkan satu orang bapak tersebut memutuskan untuk bercerai dengan istrinya dan
tidak mengakui anak down syndrome sebagai anaknya.
Sedangkan 43% orang ibu mengemukakan meskipun pada awalnya merasa
9
Universitas Kristen Maranatha Tuhan kepadanya sehingga ibu merawat anaknya dengan penuh kasih sayang,
meskipun anak down syndrome terlahir dengan memiliki banyak kekurangan
tetapi ibu melihat banyak sekali kelebihan pada anaknya sehingga ibu terkadangn
merasa lebih menyayangi anak down syndromenya daripada anaknya yang
normal. 72% bapakpun merasakan hal yang sama dengan yang ibu rasakan, bapak
merasa bangga kepada anaknya dan bapak merasa dengan adanya kehadiran anak
down syndrome dikeluarganya bapak menjadi lebih banyak belajar untuk bersabar
dan bijaksana dari anaknya tersebut. Bapakpun menjadi lebih termotivasi untuk
mencari nafkah agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan anaknya tersebut dan
membuatkan anaknya sebuah usaha agar kelak anaknya dapat mandiri secara
financial.
Hasil survei awal yang telah dilakukan menggambarkan adanya perbedaan
respon yang dikeluarkan dari setiap individu dalam menghadapi keadaan yang
sama. Hal itu juga menggambarkan adanya perbedaan subjective well-being pada
ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome, karena itulah peneliti tertarik untuk mengetahui subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome dengan menggunakan metode riset differential di Yasasan
POTADS Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin diketahui mengenai gambaran perbedaan
subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome di
10
Universitas Kristen Maranatha
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran tentang
perbedaan mengenai subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome di Yayasan POTADS Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran tentang
perbedaan mengenai subjective well-being ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome di Yayasan POTADS Bandung, dilihat dari komponen-komponen subjective well-being yaitu kepuasan hidup serta afek positif dan afek negatif.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoretis
1) Memberikan kontribusi dan menambah referensi terhadap pengembangan
literatur psikologi positif mengenai ibu dan bapak yang memiliki anak
down syndrome di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan subjective well-being.
2) Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai dasar untuk penelitian
berikutnya mengenai subjective well-being pada ibu dan bapak yang
11
Universitas Kristen Maranatha
1.4.2 Kegunaan Praktis
1) Memberikan informasi mengenai subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrom di kota Bandung khususnya di
Yayasan POTADS agar dapat meningkatkan subjective well-being.
2) Memberikan informasi mengenai subjective well-being kepada Yayasan
POTADS Bandung agar dapat memberikan penyuluhan kepada ibu dan
bapak yang memiliki anak down syndrome sehingga dapat meningkatkan subjective well-being ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome
di Yayasan POTADS Bandung.
1.5 Kerangka Pikir
Subjective well-being dapat diartikan sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan
penilaian afektif mengenai mood dan emosi (Diener dan Lucas, 1999). Penilaian kognitif dan afektif tersebut merupakan dua komponen dari subjective well-being.
Penilaian kognitif dikategorikan menjadi penilaian umum (life statisfaction). Sedangkan penilaian afektif dikategorikan menjadi penilaian mengenai afek positif dan afek negatif. Well-being ibu dan bapak ditentukan oleh
sejauh mana kepuasan ibu dan bapak terhadap kehidupannya serta sejauh mana
keseimbangan antara afek positif dan afek negatif. (Bradburn dalam Ryff dan
12
Universitas Kristen Maranatha Penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup menggambarkan persepsi
seseorang mengenai perbandingan antara kondisi kehidupan aktual dengan standar
kehidupan yang bersifat unik yang mereka miliki. Indikator dari kepuasan hidup
ini adalah penilaian tentang standar kehidupan secara global, kepercayaan diri
tentang kehidupan yang baik, kepuasan terhadap kehidupan, kepuasan terhadap
pencapaian hal-hal penting yang diinginkan dalam hidup, dan tidak memiliki
hasrat untuk mengubah hidup.
Ibu dan bapak dengan anak down syndrom yang memiliki kepuasan hidup yang tinggi ditandai dengan persepsi positif terhadapt kondisi aktual individu
karena kehidupan aktual sesuai dengan standar kehidupan yang mereka tentukan
sendiri. Mereka memiliki kepuasan terhadap masa depan yang ditampilkan
dengan perilaku optimis, merasa puas dengan masa lalu, merasa puas dengan
kehidupan saat ini yang ditampilkan dengan perilaku extrovert terhadap lingkunga
positif dan tidak memiliki hasrat untuk merubah kehidupannnya.
Ibu dan bapak dengan anak down syndrom yang memiliki kepuasan hidup yang rendah ditandai dengan persepsi negatif terhadap kondisi kehidupan aktual
individu karena tidak sesuai dengan standar kehidupan yang mereka tentukan
sendiri. Mereka memiliki pandangan hidup yang kurang berarti dalam
kehidupannya, tidak memiiki kepuasan terhadap masa depan yang ditampilkan
dengan perilaku pesimis, tidak memiliki kepuasan dengan masa lalu, tidak
memiliki kepuasan hidup di saat sekarang ini yang ditampilkan dengan perilaku
13
Universitas Kristen Maranatha mengubah masa lalu dan tidak memiliki hasrat untuk mengubah kehidupannya
menjadi lebih baik.
Penilaian afektif yakni mengenai mood dan afek positif dan negatif. Aspek afek positif, merepresentasikan mood dan emosi yang bersifat membahagiakan
serta merupakan kombinasi dari hal-hal yang bersifat membangkitkan dan hal-hal
yang bersifat menyenangkan. Afek-afek positif yang tinggi pada ibu dan bapak
yang memiliki anak down syndrom terjadi ketika individu merasakan energi yang tinggi, konsentrasi yang penuh, dan keterlibatan yang menyenangkan. Sementara
itu, afek-afek positif yang rendah terjadi ketika individu mengalami kesedihan dan
kelelahan.
Komponen afek negatif, merepresentasikan mood dan emosi yang bersifat
tidak menyenangkan. Afek-afek negatif yang tinggi pada ibu dan bapak yang
memiliki anak down syndrom terjadi ketika individu merasakan kemarahan, kebencian, jijik, rasa bersalah, ketakutan, dan kegelisahan. Sementara itu,
afek-afek negatif yang rendah pada individu terjadi ketika individu merasakan
ketengan dan kedamaian.
Penilaian subjective well-being pada ibu dan bapak dengan anak down syndrom akan dibentuk oleh tinggi dan rendahnya kepuasan hidup individu secara global serta positif dan negatifnya afek yang dirasakan. Seseorang dideskripsikan
mempunyai subjective well-being yang tinggi apabila ia menilai kepuasan hidupnya tinggi dan merasakan afek positif lebih sering dibandingkan afek
14
Universitas Kristen Maranatha afek negatif dibandingkan afek positif. (Diener & Lucas dalam Ryan & Deci,
2001).
Ibu dan bapak dengan anak down syndrom yang memiliki kepuasan hidup yang tinggi ditandai dengan mereka tetap mempersepsi kehidupannya secara
positif meskipun merawat anak anak down syndrome dapat dikatakan sulit dan terdapat banyak tantangan tetapi mereka tetap menampilkan perilaku optimis
terhadap masa depannya yaitu dengan mencari infomasi dan memberikan
perawatan yang sekiranya dapat membantu anak down syndrome agar dapat menjadi mandiri. Ibu dan bapakpun memperlihatkan perilaku exstrovert kepada
lingkungan yang positif misalnya seperti sharing atau meminta pendapat kepada orang lain mengenai anak down syndrome. Meskipun memang memiliki anak
down syndrome tidak sesuai dengan harapan atau standar kehidupannya tetapi ibu dan bapak lama-kelamaan dapat menerima keadaan anaknya sehingga tidak
memiliki hasrat untuk merubah hidup.
Ibu dan bapak dengan anak down syndrome yang memiliki kepuasan hidup yang rendah ditandai dengan mempersepsi negatif kehidupannya. Mereka merasa
dengan memiliki anak down syndrome kehidupan yang dijalani sekarang menjadi kurang berarti, sehingga mereka menunjukan perilaku pesimis terhadap masa
depannya dan kurang merawat anak down syndrome. Perilaku pesimis tersebut
mengakibatkan ibu dan bapak tidak mencari tahu mengenai informasi dan
perawatan yang tepat untuk anak down syndrome. Ibu dan bapakpun menarik diri
15
Universitas Kristen Maranatha down syndrom di dalam keluarga membuat ibu dan bapak memiliki hasrat untuk mengubah hidup.
Afek positif yang tinggi pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome terjadi ketika pada saat merawat anak down syndrome ibu dan bapak
merasakan energi yang tinggi, konsentrasi yang penuh, dan keterlibatan yang
menyenangkan. Sehingga ibu dan bapak dapat melihat segala bentuk kelebihan
yang dimiliki anak daripada kekurangannya, mereka juga memberikan perawatan
yang maksimal untuk membantu anak mandiri. Sementara itu, afek-afek positif
yang rendah terjadi ketika ibu dan bapak pada saat memiliki anak down syndrome
merasa sedih dan lelah, sehingga pada saat merawat anak down syndrom mereka cenderung menunjukan sikap negatif dan acuh.
Afek negatif yang tinggi pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome terjadi ketika pada saat mereka pada saat merawat anak down syndrom merasakan kemarahan, kebencian, jijik, rasa bersalah, ketakutan, dan kegelisahan.
Sementara itu, afek-afek negatif yang rendah pada individu terjadi meskipun
merawat anak down syndrome membutuhkan perawatan ekstra tetapi ibu dan
16
Universitas Kristen Maranatha Data Sosiodemografi :
- Jenis kelamin - Usia
- Pendidikan Terakhir - Pekerjaan
- Urutan Anak DS di Keluarga - Usia Anak
- Terapi Anak
Bapak dengan anak Signifikan
Down syndrome
Subjective Well-Being
Ibu dengan anak Tidak Signifikan
Down syndrome
Komponen subjective well-being : - Komponen kognitif
Life statisfaction - Komponen afektif Afek positif & afek negatif
17
Universitas Kristen Maranatha
1.6 Asumsi
1) Sebagai figur yang paling berperan dalam merawat, mengasuh, dan
membesarkan anak, keberadaan anak down syndrome bagi seorang ibu dan bapak akan memberikan dampak tertentu bagi subjective
well-beingnya.
2) Subjective well-being ibu dan bapak dengan anak down syndrome
akan ditentukan oleh pemaknaan ibu dan bapak atas afek positif, afek
negatif dan kepuasan hidup dalam membesarkan anak down syndrome.
1.7 Hipotesis
Terdapat perbedaan subjective well-being pada ibu yang memiliki anak down syndrome dan bapak yang memiliki anak down syndrome di yayasan
47 Universitas Kristen Maranatha
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik gambaran
umum mengenai subjective well-being antara ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome, yaitu sebagai berikut :
1) Tidak terdapat perbedaan antara subjective well-being pada kelompok ibu dan kelompok bapak. Dengan kata lain, kehadiran anak down syndrome di
dalam keluarga tidak mempengaruhi subjective well-being ibu dan bapak. 2) Pada aspek-aspek subjective well-being pada kelompok ibu dan bapak juga
tidak terdapat perbedaan.
3) Hasil tabulasi silang antara aspek-aspek subjective well-being dan faktor sosiodemografi (usia, pendidikan, dan pekerjaan) menunjukan penyebaran
presentase yang tidak berfokus, artinya subjective well-being yang tinggi dapat dijumpai pada ibu dan bapak dewasa madya begitupula ibu dan
bapak dewasa awal, seperti itu pula pada faktor sosiodemografi yang
48
Universitas Kristen Maranatha
5.2. Saran
5.2.1. Saran Teoretis
Dengan adanya keterbatasan penelitian ini maka peneliti memberi saran
bagi peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian serupa, yaitu sebaiknya
menggali data sosiodemografi yang lebih kaya dan bersumber dari kehidupan
responden. Selain itu memerbanyak ukuran sample sehingga dapat memeroleh
gambarab yang lebih universal tentang masalah ini.
5.2.2. Saran Praktis
Bagi Yayasan POTADS Bandung, hasil penelitian ini dapat digunakan
untuk memberikan gambaran sebagai bahan pertimbangan intervensi atau
bentuk-bentuk kegiatan (seperti penyuluhan, workshop, dan sebagainya) bagi para
49 Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR PUSTAKA
Davison, Gerald C., dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Diener, E., Lucas, R.E., dan Oishi, S. 2005. Subjective Well-Being: The Science of Happiness and Life Stastifaction. Handbook of Positive Psycholog. NC: Oxford University Press.
Diener, E., Wirtz, D., Tov, W., Kim-Prieto, C., Choi. D., Oishi, S., & Biswas-Diener, R. 2009. New measures of well-being: Flourishing and positive and negative feelings. Social Indicators Research, 39, 247-266.
Diener, E. dan Lucas, R.E. 1999. Personality and Subjective Being. Well-Being: The foundation of Hedonic Psychology, 213-229). NY: Russel Sage Foundation.
Graziano, Anthony M., dan Raulin, Michael L. 2000. 4th Edition: Research Methods A Process of Inquary. USA: Allyn and Bacon
Grossbaum, M. F., dan Bates, G.W. 2002. Correlates of Psychological Well-Being at Midlife: The Role of Generativity, Agency and Communion, and Narrative Themes. International Journal of Behaviour Development, 26 120-127. Tersedia di : http://jbd.sagepub.com/cqi/reprint/26/2/120.
Keyes, Corey L. M. 2006. Subjective Well-Being in Mental Health and Human Development Research WorldWide: An Intoduction. Social Indicators Research, 77, 1-10.
King, L. A., Scollon, C, K., Ramsey, C., dan Williams, T. 2000. Stories of Life Transition: Subjective Well-Being and Ego Development in Parents of Children with Down Syndrome. Journal of Research in Personality 34, 509-536.
Mangunsong, Frieda. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. LPSP3 UI.
Pavot, W. Dan Diener, E. 1993. Review of The Statisfaction with Life Scale. Psychological Assesement Vol. 5, No, 2, 164—172.
50
Universitas Kristen Maranatha Ryff, C. D., Keyes, C. L. M., dan Shmotkin, D. 2002. Optimizing Well-Being: The
Emperical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Phsycology, 82, 1002-1007.
Santosa, Singgih. 2003. Statistika Deskriptif. Konsep dan Aplikasi Praktis. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Tennant, R., Hiller, L., Fishwick, R., Platt, S., Joseph, S., Weich, S., Parkinson, J., Secker, J., dan Stewart-Brown, S. 2007. The Warwick-Edinburgh Mental Well-Being Scale (WEMMBS): Development and UK Validation. Health and Quality of Life Biomed Central. Tersedia di : http://www.hqlo.com/conent/pdf/1477-7525-5-63
Thompson, P. 2006. Researcher Explores Psychological Well-Being and Physical
Health Wins Seligman Award. Tersedia di :
http://www.medicalnewstoday/articels/55196.php
51 Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR RUJUKAN
Amaliah, Wilma. 2013. Studi Deskriptif Mengenai Profil Subjective Well-Being Pada Residen Tahap Re-Entry di UPT Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido. Tidak dipublikasikan. Universitas Kristen Marantha.
Diener, Ed. 2006. Statisfaction with Life Scale. Tersedia di : http://www.positivepsycchology.com (diakses pada tanggal 17 Februari 2014)
Diener, Ed. 2009. Scale of Positive and Negative Experience. Tersedia di : http://www.positivepsycchology.com (diakses pada tanggal 17 Februari 2014)
Hapsari, S. R. 2008. Penerimaan Ibu Terhadap Anaknya yang Mengalami Down Syndrome. Tidak dipublikasikan. Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang.
http://klinikonline.com/2010/10/24/down-syndrome-deteksi-dini-pencegahan-dan-penatalaksanaan-sindrom- down/ (diakses pada tanggal 4 Maret 2014)
Joshi, Upasna. 2010. Subjective Well-Being by Gender. Journal of Economics and Behaviour Studies.
Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Februari 2009. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.