• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Differential Tentang Subjective Well-Being pada Ibu dan Bapak dengan Anak Down Syndrome di Yayasan Potads Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Differential Tentang Subjective Well-Being pada Ibu dan Bapak dengan Anak Down Syndrome di Yayasan Potads Bandung."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

iv Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perbedaan subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome. Rancangan penelitian yang digunakan adalah differential Penelitian dilakukan pada 40 ibu dan 40 bapak atau sebanyak 80 subjek penelitian di yayasan POTADS Bandung yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik analisis data menggunakan teknik statistik nonparametrik mann-whitney u test. Alat ukurnya menggunakan alat ukur SWLS (Statisfaction with Life Scale) dan SPANE (Scale of Positive and Negative Experience) (Diener, 2006) yang telah dimodifikasi oleh peneliti dan telah diuji tingkat validitas dan reliabilitasnya.

Berdasarkan hasil uji validitas dengan menggunakan Spearman dan uji reliabilitas dengan menggunakan alpha cronbach, pada alat ukur SWLS 21 dari 25 item diterima dengan validitas keseluruhan item berkisar antara 0,398-0,657 dan reliabilitas sebesar 0,847 sedangkan pada alat ukur SPANE 18 item diterima dengan validitas keseluruhan item berkisar antara 0,329-0,738 dan reliabilitas sebesar 0,544.

(2)

v Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT

This research was conducted to determine the differences in subjective well-being of the mother and father who have a child with down syndrome. The research design used is a differential study was conducted on 40 mothers and 40 fathers or as many as 80 research subjects in the foundation POTADS Bandung taken using purposive sampling technique. Data were analyzed using statistical techniques nonparametric Mann-Whitney U test. Measuring tool using a measuring instrument SWLS (statisfaction with Life Scale) and SPANE (Scale of Positive and Negative Experience) (Diener, 2006) which has been modified by researchers and have been test for validity and reliability levels.

Based on the test results using Spearman's validity and reliability test using Cronbach alpha, the measuring instrument SWLS received 21 of the 25 items with the overall validity of the items ranged from 0.398 to 0.657 and the reliability of 0.847, while the measuring tool SPANE 18 items received with the overall validity of the items range between 0.329 to 0.738 and the reliability of 0.544.

(3)

ix Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...i

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... ii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ...v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 8

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1. Maksud Penelitian... 9

(4)

x Universitas Kristen Maranatha

1.4. Kegunaan Penelitian ... 9

1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 9

1.4.2. Kegunaan Praktis ...10

1.5. Kerangka Pikir ...10

1.6. Asumsi Penelitian ...16

1.7. Hipotesis ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Well-Being ... 17

2.1.1 Definisi Subjective Well-Being... 18

2.1.2 Komponen-komponen Subjective Well-Being... 19

2.1.3 Faktor-faktor Subjective Well-Being ... 22

2.2 Down Syndrome ... 24

2.2.1 Definsi Down Syndrome ...... 24

2.2.2 Penyebab Down Syndrome ... 25

2.2.3 Ciri-ciri Down Syndrome ... 26

2.2.4 Terapi Down Syndrome ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 29

(5)

xi Universitas Kristen Maranatha

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 30

3.3.1 Variabel Penelitian ... 30

3.3.2 Definisi Konseptual ... 30

3.3.3 Definisi Operasional ... 30

3.4 Alat Ukur ... 31

3.4.1 Alat Ukur Utama ... 31

3.4.2 Data pribadi dan data penunjang ... 34

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 34

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 34

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 35

3.5 Populasi, Karakteristik Sample, Teknik Penarikan Sample ... 36

3.5.1 Populasi ... 36

3.5.2 Karakteristik Sample ...36

3.5.3 Teknik Penarikan Sample ... 36

3.6 Teknik Analisis Data ... 36

(6)

xii Universitas Kristen Maranatha

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Responden Penelitian ... 38

4.1.1 Usia Responden ... 38

4.1.2 Pendidikan Terakhir Responden ... 38

4.1.3 Pekerjaan Responden ... 39

4.1.4 Urutan Down Syndrome Dalam Keluarga ...39

4.1.5 Usia Anak Down Syndrome ... 40

4.1.6 Terapi Anak ... 40

4.2 Hasil Penelitian ... 41

4.2.1 Hasil Pengukuran Derajat Subjective Well-Being ..... 41

4.2.2 Hasil Pengukuran Komponen Subjective Well-Being ... 41

4.2.3 Uji Hipotesis Penelitian ... 42

4.2.4 Nilai Rata-Rata Subjective Well-Being ... 43

(7)

xiii Universitas Kristen Maranatha

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 47

5.2 Saran ... 48

5.2.1 Saran Teoretis ... 48

5.2.2 Saran Praktis ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

DAFTAR RUJUKAN ... 51

(8)

xiv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Gambaran Alat Ukur SWLS ...... 32

Tabel 3.2 Gambaran Alat Ukur SPANE ....... 33

Tabel 4.1 Gambaran Usia Responden ... 38

Tabel 4.2 Gambaran Pendidikan Terakhir ... 38

Tabel 4.3 Jenis Pekerjaan Responden ... 39

Tabel 4.4 Urutan Down Syndrome ... 39

Tabel 4.5 Usia Anak ... 40

Tabel 4.6 Terapi Anak ... 40

Tabel 4.7 Hasil Pengukuran Derajat SWB ... 41

Tabel 4.8 Hasil Pengukuran Komponen SWB ... 41

Tabel 4.9 Hasil Uji Beda Mann-Whitney U Test ... 42

Tabel 4.10 Hasil Uji Beda Komponen SWB ... 43

Tabel 4.11 Perbandingan Nilai Rata-Rata SWB ... 43

(9)

xv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 15

(10)

xvi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-kisi Alat Ukur SWLS Lampiran 2 Kisi-kisi Alat Ukur SPANE

Lampiran 3 Kata Pengantar

Lampiran 4 Data Pribadi

Lampiran 5 Kuesioner SWLS Lampiran 6 Kuesione SPANE

Lampiran 7 Hasil Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur SWLS dan SPANE

Lampiran 8 Hasil Tabulasi Silang

(11)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

menjadi ibu dengan memiliki seorang anak di dalam kehidupannya. Anak

merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan dan juga merupakan generasi

penerus bagi keluarga itu sendiri. Oleh karena itu semua keluarga berusaha untuk

dapat memiliki seorang anak. Mereka berharap dapat memiliki anak yang normal

yaitu anak yang sehat, cerdas, ceria dan memiliki perkembangan yang sesuai

dengan usianya, tetapi tidak selalu anak yang dilahirkan ke dunia ini merupakan

anak yang normal, ada beberapa anak yang dilahirkan memiliki kekurangan baik

secara fisik maupun psikis.

Menurut BALITBANG (badan pelatihan dan pengembangan) akhir-akhir

ini banyak kelahiran yang mengalami gangguan fisik dan psikis. Kelahiran anak

dengan gangguan fisik, seperti tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap.

Sedangkan anak dengan kelahiran gangguan psikis hampir mencapai 10% dari

jumlah angka kelahiran. Anak yang memiliki gangguan psikis disebut anak

berkebutuhan khusus yang memiliki ketidakmampuan dalam hal-hal tertentu,

misalnya dalam fungsi intelegensi, dan sosial. Di Indonesia sendiri pada tahun

(12)

2

Universitas Kristen Maranatha Latar belakang anak berkebutuhan khusus dapat disebabkan oleh

terjadinya suatu kelainan pada saat sebelum anak lahir (prenatal), pada saat anak

dilahirkan (natal) , dan saat anak setelah dilahirkan (posnatal). Pada saat prenatal anak bisa saja mengalami keracunan dan infeksi bila ibu terjangkit penyakit

rubela, syphilis dan sebagainya. Saat masa natal bisa saja anak mengalami proses melahirkan yang sulit sehingga dapat menyebabkan kelainan. Faktor lingkungan

(sosial-ekonomi), gangguan metabolisme dan asupan gizi pada anakpun dapat

mempengaruhi psikis dan fisik anak setelah dilahirkan. Faktor genetik atau

keturunan dan usia ibu pada saat mengandung juga merupakan faktor utama

penyebab lahirnya anak berkebutuhan khusus, salah satunya adalah anak down syndrome.

Down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan

fisik dan mental anak yang diakibatkan oleh adanya abnormalitas perkembangan

kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk

saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan, sehingga terjadi kelebihan

kromosom 21, dalam hal ini 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kromosom

menjadi 47. Sedangkan pada jumlah yang normal, hanya terdapat 2 kromosom 21

sehingga kromosom berjumlah 46 (Davidson dkk, 2006). Di Indonesia pada tahun

2015 sendiri terdapat sekitar 300 ribu kasus down syndrome yang meningkat

dibandingkan 15 tahun yang lalu.

Anak down syndrome biasanya memiliki ciri fisik khas dan mudah

(13)

3

Universitas Kristen Maranatha tergolong idiot dan imbesil (White, 1981). Anak down syndrome juga ada yang mengalami gangguan atau bahkan kerusakan pada sistem organ tubuh yang dapat

menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, pernafasan serta gangguan pada

jantung yang dapat berakibat fatal.

Dampak dari faktor kecerdasan yang dimiliki anak down syndrome akan memengaruhi perkembangan lainnya dan salah satunya adalah perkembangan

bahasa, anak down syndrome akan mengalami kesulitan untuk mengikuti instruksi dan mengekspresikan kebutuhannya secara verbal. Anak biasanya berkomunikasi

dengan kalimat yang sederhana. Anak juga mengalami kesulitan dalam

mengungkapkan kalimat secara jelas, sehingga seringkali orang lain kurang

mengerti dengan apa yang diungkapkan oleh anak.

Perkembangan motorik anak down syndrome baik kasar maupun halus mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan anak seusianya, sehingga anak

mengalami keterlambatan dalam melakukan keterampilan dasar yang dapat

dilakukan oleh anak normal dengan waktu yang lebih singkat. Keterampilan dasar

tersebut antara lain makan, berpakaian, mandi, dan sebagainya, sehingga ibu yang

harus melakukan itu semua untuk anak. Anak down syndrome juga tidak dapat mengenali tanda bahaya, sehingga ibu harus terus mendampingi anak.

Ibu yang memiliki anak down syndrom akan menghadapi beberapa

kendala dengan tingkat kesulitan yang beragam. Antara lain masalah dalam

memperlakukan anak down syndrome dan mengajarkan kemandirian padanya

(14)

4

Universitas Kristen Maranatha banyak, serta bantuan dalam berbagai hal yaitu mengurus keperluan

sehari-harinya seperti mandi, buang air besar (BAB), buang air kecil (BAK), makan, dan

berpakaian. Oleh karena itu perhatian ibu akan lebih terfokus untuk mengurus

anaknya dan hal ini akan menyebabkan beban ibu sehari-hari lebih berat sehingga

ibu akan mengurangi aktivitasnya di luar rumah dan mungkin juga dapat

mengurangi perhatian kepada anggota keluarga lain karena harus berkonsentrasi

pada anak down syndrome. Ibu yang memiliki anak down syndrom juga menghadapi kendala dari lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar cenderung

kurang menghargai, menyepelekan bahkan terkadang merasa takut terhadap anak

down syndrom. Ibu jadi terkadang merasa risih dan malu karena perlakuan atau cara pandang yang diberikan oleh masyarakat kepada anaknya.

Kendala juga datang dari keluarga besar dan saudara kandung anak down syndrome yang mungkin merasa malu memiliki anggota keluarga yang memiliki kelainan. Mereka mungkin akan mengabaikan anak down syndrome karena

merasa tidak ada yang dapat dibanggakan dari anak tersebut, sehingga anak down syndrome mendapat perlakuan yang berbeda dari anggota keluarga. Selain itu

keluarga besar juga mungkin akan menyalahkan ibu yang kurang berhati-hati pada

saat hamil sehingga lahirlah anak down syndrome. Dengan adanya perlakuan seperti itu dari keluarga besar dan saudara kandung dengan sendirinya akan

menambah beban ibu. Perlakuan seperti itu yang datang dari keluarga sendiri

tentu membuat hati ibu merasa sakit dan sedih melihat anaknya.

Fenomena sebagaimana diuraikan di atas merupakan hal yang kurang

(15)

5

Universitas Kristen Maranatha anaknya setiap saat. Diperlukan kesabaran yang ekstra untuk ibu dalam merawat,

menerima kenyataan dan bangkit dari rasa keterpurukan karena memiliki anak

yang tidak sesuai dengan harapannya. Beban yang dirasakan oleh ibu akan

mempengaruhi evaluasi ibu terhadap kehidupannya. Adanya kesenjangan antara

harapan dan kenyataan membuat ibu mengubah evaluasi mengenai kehidupannya

dulu dan sekarang. Bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupannya merupakan

inti dari well-being (kesejahteraan). Subjective well-being merupakan penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan

hidup dan penilaian afektif mengenai mood dan emosi (Diener dan Lucas, 1999).

Sedangkan penilaian afektif di dalamnya termasuk mood dan emosi yang

menyenangkan dan tidak menyenangkan. Orang bereaksi dengan emosi yang

menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, dan

bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang

buruk terjadi pada mereka karenanya mood dan emosi bukan hanya menyenangkan

dan tidak menyenangkan tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan

atau tidak (Diener, 2003).

Tinggi - rendahnya subjective well-being berbeda-beda tergantung dari

evaluasi ibu mengenai kehidupannya. Subjective well-being akan tinggi bila ibu

merasa dengan adanya anak down syndrome dikehidupannya ibu puas dengan kehidupan keluarganya atau puas dengan perannya sebagai ibu. Ibu juga lebih

sering merasakan emosi yang menyenangkan dibandingkan emosi yang tidak

menyenangkan. Ibu yang memiliki subjective well-being yang rendah akan merasa tidak puas dengan kehidupannya karena memiliki anak down syndrome dan akan

(16)

6

Universitas Kristen Maranatha Dalam berbagai literatur perbedaan subjective well-being antara pria dan wanita secara konsisten telah diteliti. Secara umum terdapat dua perbedaan

perspectif untuk menjelaskan perbedaan tersebut, yang pertama berdasarkan

perbedaan biologi. Hal tersebut terkait dengan hormon esterogen dan progesteron

yang diproduksi wanita sehingga membuat wanita rawan dalam mengalami

depresi dan kecemasan, tetapi bagaimapun juga penjelasan secara biologis yang

mengakibatkan subjective well-being wanita lebih rendah dari pria tidak ilmiah (Nolen-Hoeksema, Rusting, 1999; Nydegger, 20014). Sedangkan yang kedua

terkait dengan perbedaan kondisi kehidupan wanita dan pria yang diperhitungkan

sebagai faktor perbedaan subjective well-being, adanya budaya sikap yang berbeda terhadap pria dan wanita atau yang lebih dikenal dengan ketidaksetaraan

gender dapat memengaruhi subjective well-being mereka menjadi berbeda (Tesch-Romer, Motel-Klingbiel, Tomasik, 2007).

Belakangan ini banyak penelitian mengenai gender pada subjective

well-being. Dalam beberapa penelitian menunjukan bahwa wanita memiliki subjective well-being yang lebih rendah dari pria (Baltes et al, 1999; Wurm and

Tesch-Romer, 2006). Hasil untuk komponen afek positif dan kepuasan hidup secara

umum beragam, tetapi beberapa penelitian menunjukan komponen positif afek

dan kepuasan hidup pada wanita lebih besar (Fujita et al, 1991). Dalam penelitian

yang lainnya menunjukan tidak ada perbedaan subjective well-being sama sekali antara pria dan wanita (Okun dan George, 1984) dan penelitian lainnya juga

(17)

7

Universitas Kristen Maranatha Banyaknya penelitian mengenai perbedaan subjective well-being antara pria dan wanita inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengambil reset

metode penelitian differential untuk memeroleh gambaran menyeluruh tentang

subjective well-being yaitu mengambil kelompok pembanding berdasarkan dari

gender, dalam penelitian ini yaitu bapak yang memiliki anak down syndrome. Tantangan dalam memiliki anak down syndrome ternyata tidak hanya

dirasakan oleh ibu saja tetapi bapak pun merasakan hal yang sama pada saat bapak

mengetahui bahwa anaknya down syndrome, bapak akan merasa bingung dan kecewa. Bahkan tidak sedikit bapak yang menolak bahkan menyalahkan ibu atas

kelahiran anak down syndrome di dalam keluarga mereka. Namun setelah bapak mulai bisa menerima keberadaan anak down syndrom, bapak akan mulai mencari

berbagai informasi yang mungkin dapat membantunya dalam memahami,

merawat dan membesarkan anaknya.

Dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome bapak akan

mengalami berbagai tantangan. Tantangan-tantangan yang dirasakan oleh bapak

kurang lebih sama dengan yang dirasakan oleh ibu, yaitu adanya tantangan dalam

segi waktu untuk merawat dan melatih kemandirian serta keterampilan anak,

adanya paradigma yang terbentuk dari lingkungan sekitar dan keluarga, dan dalam

segi biaya. Tantangan tersebut menjadi beban yang berat bagi bapak terutama

kendala dalam segi biaya.

Besarnya biaya terapi yang harus dikeluarkan oleh bapak membuat beban

bapak menjadi bertambah sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarga. Bapak

(18)

8

Universitas Kristen Maranatha dapat membuat perkembangan anaknya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Bapakpun merasa bertanggung jawab untuk memikirkan masa depan anaknya

dalam segi financial, oleh karena itu bapak bekerja ekstra bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan anaknya pada saat ini saja, tetapi untuk masa depannya juga

dengan membuatkan suatu usaha mandiri yang sekiranya dapat dikelola oleh

anaknya nanti pada saat anaknya sudah beranjak dewasa. Kendala dalam segi

waktu pun menjadi bertambah, karena bapak lebih banyak menghabiskan

waktunya untuk bekerja maka hal tersebut mengurangi waktu bapak untuk lebih

ikut serta dalam merawat anak down syndromenya di rumah.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan di Yayasan POTADS (Persatuan

Orangtua Anak Down Syndrome) Bandung terhadap tujuh ibu dan tujuh bapak

dengan anak down syndrome, 57% orang ibu mengemukakan bahwa pada saat melahirkan anak down syndrome ibu menyalahkan dirinya sendiri, merasa marah dan jika bisa ingin mengulang kehidupannya lagi. Bahkan satu orang ibu pada

saat mengetahui anaknya down syndrome merasa shock dan sempat tidak ingin merawat anaknya selama satu tahun. Begitupula 28% orang bapak pada saat

mengetahui anaknya down syndrome merasa kecewa, gagal menjadi seorang bapak dan mulai menyalahkan istrinya karena melahirkan anak down syndrome. Bahkan satu orang bapak tersebut memutuskan untuk bercerai dengan istrinya dan

tidak mengakui anak down syndrome sebagai anaknya.

Sedangkan 43% orang ibu mengemukakan meskipun pada awalnya merasa

(19)

9

Universitas Kristen Maranatha Tuhan kepadanya sehingga ibu merawat anaknya dengan penuh kasih sayang,

meskipun anak down syndrome terlahir dengan memiliki banyak kekurangan

tetapi ibu melihat banyak sekali kelebihan pada anaknya sehingga ibu terkadangn

merasa lebih menyayangi anak down syndromenya daripada anaknya yang

normal. 72% bapakpun merasakan hal yang sama dengan yang ibu rasakan, bapak

merasa bangga kepada anaknya dan bapak merasa dengan adanya kehadiran anak

down syndrome dikeluarganya bapak menjadi lebih banyak belajar untuk bersabar

dan bijaksana dari anaknya tersebut. Bapakpun menjadi lebih termotivasi untuk

mencari nafkah agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan anaknya tersebut dan

membuatkan anaknya sebuah usaha agar kelak anaknya dapat mandiri secara

financial.

Hasil survei awal yang telah dilakukan menggambarkan adanya perbedaan

respon yang dikeluarkan dari setiap individu dalam menghadapi keadaan yang

sama. Hal itu juga menggambarkan adanya perbedaan subjective well-being pada

ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome, karena itulah peneliti tertarik untuk mengetahui subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome dengan menggunakan metode riset differential di Yasasan

POTADS Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui mengenai gambaran perbedaan

subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome di

(20)

10

Universitas Kristen Maranatha

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran tentang

perbedaan mengenai subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome di Yayasan POTADS Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran tentang

perbedaan mengenai subjective well-being ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome di Yayasan POTADS Bandung, dilihat dari komponen-komponen subjective well-being yaitu kepuasan hidup serta afek positif dan afek negatif.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

1) Memberikan kontribusi dan menambah referensi terhadap pengembangan

literatur psikologi positif mengenai ibu dan bapak yang memiliki anak

down syndrome di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan subjective well-being.

2) Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai dasar untuk penelitian

berikutnya mengenai subjective well-being pada ibu dan bapak yang

(21)

11

Universitas Kristen Maranatha

1.4.2 Kegunaan Praktis

1) Memberikan informasi mengenai subjective well-being pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrom di kota Bandung khususnya di

Yayasan POTADS agar dapat meningkatkan subjective well-being.

2) Memberikan informasi mengenai subjective well-being kepada Yayasan

POTADS Bandung agar dapat memberikan penyuluhan kepada ibu dan

bapak yang memiliki anak down syndrome sehingga dapat meningkatkan subjective well-being ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome

di Yayasan POTADS Bandung.

1.5 Kerangka Pikir

Subjective well-being dapat diartikan sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan

penilaian afektif mengenai mood dan emosi (Diener dan Lucas, 1999). Penilaian kognitif dan afektif tersebut merupakan dua komponen dari subjective well-being.

Penilaian kognitif dikategorikan menjadi penilaian umum (life statisfaction). Sedangkan penilaian afektif dikategorikan menjadi penilaian mengenai afek positif dan afek negatif. Well-being ibu dan bapak ditentukan oleh

sejauh mana kepuasan ibu dan bapak terhadap kehidupannya serta sejauh mana

keseimbangan antara afek positif dan afek negatif. (Bradburn dalam Ryff dan

(22)

12

Universitas Kristen Maranatha Penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup menggambarkan persepsi

seseorang mengenai perbandingan antara kondisi kehidupan aktual dengan standar

kehidupan yang bersifat unik yang mereka miliki. Indikator dari kepuasan hidup

ini adalah penilaian tentang standar kehidupan secara global, kepercayaan diri

tentang kehidupan yang baik, kepuasan terhadap kehidupan, kepuasan terhadap

pencapaian hal-hal penting yang diinginkan dalam hidup, dan tidak memiliki

hasrat untuk mengubah hidup.

Ibu dan bapak dengan anak down syndrom yang memiliki kepuasan hidup yang tinggi ditandai dengan persepsi positif terhadapt kondisi aktual individu

karena kehidupan aktual sesuai dengan standar kehidupan yang mereka tentukan

sendiri. Mereka memiliki kepuasan terhadap masa depan yang ditampilkan

dengan perilaku optimis, merasa puas dengan masa lalu, merasa puas dengan

kehidupan saat ini yang ditampilkan dengan perilaku extrovert terhadap lingkunga

positif dan tidak memiliki hasrat untuk merubah kehidupannnya.

Ibu dan bapak dengan anak down syndrom yang memiliki kepuasan hidup yang rendah ditandai dengan persepsi negatif terhadap kondisi kehidupan aktual

individu karena tidak sesuai dengan standar kehidupan yang mereka tentukan

sendiri. Mereka memiliki pandangan hidup yang kurang berarti dalam

kehidupannya, tidak memiiki kepuasan terhadap masa depan yang ditampilkan

dengan perilaku pesimis, tidak memiliki kepuasan dengan masa lalu, tidak

memiliki kepuasan hidup di saat sekarang ini yang ditampilkan dengan perilaku

(23)

13

Universitas Kristen Maranatha mengubah masa lalu dan tidak memiliki hasrat untuk mengubah kehidupannya

menjadi lebih baik.

Penilaian afektif yakni mengenai mood dan afek positif dan negatif. Aspek afek positif, merepresentasikan mood dan emosi yang bersifat membahagiakan

serta merupakan kombinasi dari hal-hal yang bersifat membangkitkan dan hal-hal

yang bersifat menyenangkan. Afek-afek positif yang tinggi pada ibu dan bapak

yang memiliki anak down syndrom terjadi ketika individu merasakan energi yang tinggi, konsentrasi yang penuh, dan keterlibatan yang menyenangkan. Sementara

itu, afek-afek positif yang rendah terjadi ketika individu mengalami kesedihan dan

kelelahan.

Komponen afek negatif, merepresentasikan mood dan emosi yang bersifat

tidak menyenangkan. Afek-afek negatif yang tinggi pada ibu dan bapak yang

memiliki anak down syndrom terjadi ketika individu merasakan kemarahan, kebencian, jijik, rasa bersalah, ketakutan, dan kegelisahan. Sementara itu,

afek-afek negatif yang rendah pada individu terjadi ketika individu merasakan

ketengan dan kedamaian.

Penilaian subjective well-being pada ibu dan bapak dengan anak down syndrom akan dibentuk oleh tinggi dan rendahnya kepuasan hidup individu secara global serta positif dan negatifnya afek yang dirasakan. Seseorang dideskripsikan

mempunyai subjective well-being yang tinggi apabila ia menilai kepuasan hidupnya tinggi dan merasakan afek positif lebih sering dibandingkan afek

(24)

14

Universitas Kristen Maranatha afek negatif dibandingkan afek positif. (Diener & Lucas dalam Ryan & Deci,

2001).

Ibu dan bapak dengan anak down syndrom yang memiliki kepuasan hidup yang tinggi ditandai dengan mereka tetap mempersepsi kehidupannya secara

positif meskipun merawat anak anak down syndrome dapat dikatakan sulit dan terdapat banyak tantangan tetapi mereka tetap menampilkan perilaku optimis

terhadap masa depannya yaitu dengan mencari infomasi dan memberikan

perawatan yang sekiranya dapat membantu anak down syndrome agar dapat menjadi mandiri. Ibu dan bapakpun memperlihatkan perilaku exstrovert kepada

lingkungan yang positif misalnya seperti sharing atau meminta pendapat kepada orang lain mengenai anak down syndrome. Meskipun memang memiliki anak

down syndrome tidak sesuai dengan harapan atau standar kehidupannya tetapi ibu dan bapak lama-kelamaan dapat menerima keadaan anaknya sehingga tidak

memiliki hasrat untuk merubah hidup.

Ibu dan bapak dengan anak down syndrome yang memiliki kepuasan hidup yang rendah ditandai dengan mempersepsi negatif kehidupannya. Mereka merasa

dengan memiliki anak down syndrome kehidupan yang dijalani sekarang menjadi kurang berarti, sehingga mereka menunjukan perilaku pesimis terhadap masa

depannya dan kurang merawat anak down syndrome. Perilaku pesimis tersebut

mengakibatkan ibu dan bapak tidak mencari tahu mengenai informasi dan

perawatan yang tepat untuk anak down syndrome. Ibu dan bapakpun menarik diri

(25)

15

Universitas Kristen Maranatha down syndrom di dalam keluarga membuat ibu dan bapak memiliki hasrat untuk mengubah hidup.

Afek positif yang tinggi pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome terjadi ketika pada saat merawat anak down syndrome ibu dan bapak

merasakan energi yang tinggi, konsentrasi yang penuh, dan keterlibatan yang

menyenangkan. Sehingga ibu dan bapak dapat melihat segala bentuk kelebihan

yang dimiliki anak daripada kekurangannya, mereka juga memberikan perawatan

yang maksimal untuk membantu anak mandiri. Sementara itu, afek-afek positif

yang rendah terjadi ketika ibu dan bapak pada saat memiliki anak down syndrome

merasa sedih dan lelah, sehingga pada saat merawat anak down syndrom mereka cenderung menunjukan sikap negatif dan acuh.

Afek negatif yang tinggi pada ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome terjadi ketika pada saat mereka pada saat merawat anak down syndrom merasakan kemarahan, kebencian, jijik, rasa bersalah, ketakutan, dan kegelisahan.

Sementara itu, afek-afek negatif yang rendah pada individu terjadi meskipun

merawat anak down syndrome membutuhkan perawatan ekstra tetapi ibu dan

(26)

16

Universitas Kristen Maranatha Data Sosiodemografi :

- Jenis kelamin - Usia

- Pendidikan Terakhir - Pekerjaan

- Urutan Anak DS di Keluarga - Usia Anak

- Terapi Anak

Bapak dengan anak Signifikan

Down syndrome

Subjective Well-Being

Ibu dengan anak Tidak Signifikan

Down syndrome

Komponen subjective well-being : - Komponen kognitif

Life statisfaction - Komponen afektif Afek positif & afek negatif

(27)

17

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

1) Sebagai figur yang paling berperan dalam merawat, mengasuh, dan

membesarkan anak, keberadaan anak down syndrome bagi seorang ibu dan bapak akan memberikan dampak tertentu bagi subjective

well-beingnya.

2) Subjective well-being ibu dan bapak dengan anak down syndrome

akan ditentukan oleh pemaknaan ibu dan bapak atas afek positif, afek

negatif dan kepuasan hidup dalam membesarkan anak down syndrome.

1.7 Hipotesis

Terdapat perbedaan subjective well-being pada ibu yang memiliki anak down syndrome dan bapak yang memiliki anak down syndrome di yayasan

(28)

47 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik gambaran

umum mengenai subjective well-being antara ibu dan bapak yang memiliki anak down syndrome, yaitu sebagai berikut :

1) Tidak terdapat perbedaan antara subjective well-being pada kelompok ibu dan kelompok bapak. Dengan kata lain, kehadiran anak down syndrome di

dalam keluarga tidak mempengaruhi subjective well-being ibu dan bapak. 2) Pada aspek-aspek subjective well-being pada kelompok ibu dan bapak juga

tidak terdapat perbedaan.

3) Hasil tabulasi silang antara aspek-aspek subjective well-being dan faktor sosiodemografi (usia, pendidikan, dan pekerjaan) menunjukan penyebaran

presentase yang tidak berfokus, artinya subjective well-being yang tinggi dapat dijumpai pada ibu dan bapak dewasa madya begitupula ibu dan

bapak dewasa awal, seperti itu pula pada faktor sosiodemografi yang

(29)

48

Universitas Kristen Maranatha

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoretis

Dengan adanya keterbatasan penelitian ini maka peneliti memberi saran

bagi peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian serupa, yaitu sebaiknya

menggali data sosiodemografi yang lebih kaya dan bersumber dari kehidupan

responden. Selain itu memerbanyak ukuran sample sehingga dapat memeroleh

gambarab yang lebih universal tentang masalah ini.

5.2.2. Saran Praktis

Bagi Yayasan POTADS Bandung, hasil penelitian ini dapat digunakan

untuk memberikan gambaran sebagai bahan pertimbangan intervensi atau

bentuk-bentuk kegiatan (seperti penyuluhan, workshop, dan sebagainya) bagi para

(30)

49 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Davison, Gerald C., dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Diener, E., Lucas, R.E., dan Oishi, S. 2005. Subjective Well-Being: The Science of Happiness and Life Stastifaction. Handbook of Positive Psycholog. NC: Oxford University Press.

Diener, E., Wirtz, D., Tov, W., Kim-Prieto, C., Choi. D., Oishi, S., & Biswas-Diener, R. 2009. New measures of well-being: Flourishing and positive and negative feelings. Social Indicators Research, 39, 247-266.

Diener, E. dan Lucas, R.E. 1999. Personality and Subjective Being. Well-Being: The foundation of Hedonic Psychology, 213-229). NY: Russel Sage Foundation.

Graziano, Anthony M., dan Raulin, Michael L. 2000. 4th Edition: Research Methods A Process of Inquary. USA: Allyn and Bacon

Grossbaum, M. F., dan Bates, G.W. 2002. Correlates of Psychological Well-Being at Midlife: The Role of Generativity, Agency and Communion, and Narrative Themes. International Journal of Behaviour Development, 26 120-127. Tersedia di : http://jbd.sagepub.com/cqi/reprint/26/2/120.

Keyes, Corey L. M. 2006. Subjective Well-Being in Mental Health and Human Development Research WorldWide: An Intoduction. Social Indicators Research, 77, 1-10.

King, L. A., Scollon, C, K., Ramsey, C., dan Williams, T. 2000. Stories of Life Transition: Subjective Well-Being and Ego Development in Parents of Children with Down Syndrome. Journal of Research in Personality 34, 509-536.

Mangunsong, Frieda. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. LPSP3 UI.

Pavot, W. Dan Diener, E. 1993. Review of The Statisfaction with Life Scale. Psychological Assesement Vol. 5, No, 2, 164—172.

(31)

50

Universitas Kristen Maranatha Ryff, C. D., Keyes, C. L. M., dan Shmotkin, D. 2002. Optimizing Well-Being: The

Emperical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Phsycology, 82, 1002-1007.

Santosa, Singgih. 2003. Statistika Deskriptif. Konsep dan Aplikasi Praktis. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Tennant, R., Hiller, L., Fishwick, R., Platt, S., Joseph, S., Weich, S., Parkinson, J., Secker, J., dan Stewart-Brown, S. 2007. The Warwick-Edinburgh Mental Well-Being Scale (WEMMBS): Development and UK Validation. Health and Quality of Life Biomed Central. Tersedia di : http://www.hqlo.com/conent/pdf/1477-7525-5-63

Thompson, P. 2006. Researcher Explores Psychological Well-Being and Physical

Health Wins Seligman Award. Tersedia di :

http://www.medicalnewstoday/articels/55196.php

(32)

51 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Amaliah, Wilma. 2013. Studi Deskriptif Mengenai Profil Subjective Well-Being Pada Residen Tahap Re-Entry di UPT Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido. Tidak dipublikasikan. Universitas Kristen Marantha.

Diener, Ed. 2006. Statisfaction with Life Scale. Tersedia di : http://www.positivepsycchology.com (diakses pada tanggal 17 Februari 2014)

Diener, Ed. 2009. Scale of Positive and Negative Experience. Tersedia di : http://www.positivepsycchology.com (diakses pada tanggal 17 Februari 2014)

Hapsari, S. R. 2008. Penerimaan Ibu Terhadap Anaknya yang Mengalami Down Syndrome. Tidak dipublikasikan. Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang.

http://klinikonline.com/2010/10/24/down-syndrome-deteksi-dini-pencegahan-dan-penatalaksanaan-sindrom- down/ (diakses pada tanggal 4 Maret 2014)

Joshi, Upasna. 2010. Subjective Well-Being by Gender. Journal of Economics and Behaviour Studies.

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Februari 2009. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Referensi

Dokumen terkait

Sebaliknya, ibu yang menghayati bahwa dirinya dan keluarga inti tidak mampu menunjukkan ketertarikan dan penghargaan terhadap aktivitas serta minat yang ditunjukkan

Faktor lain yang menyebabkan Down Syndrome pada anak yang bersekolah di YPAC Palembang yaitu faktor usia ayah saat ibu hamil menunjukan usia ayah yang berusia

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi kontrol perilaku dan Subjective Well-Being (SWB) pada ibu yang memiliki