• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Optimisme Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome Terkait Dengan Kemandirian Anak di SLB-C di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Optimisme Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome Terkait Dengan Kemandirian Anak di SLB-C di Kota Bandung."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

vi Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui optimisme pada ibu yang memiliki anak down syndrome terkait dengan kemandirian anak di SLB-C di Kota Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dan subjek dari penelitian ini adalah 29 orang ibu yang memiliki anak down syndrome yang bersekolah di 7 sekolah SLB-C di Kota Bandung. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan teknik survey. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner ASQ berdasarkan teori optimisme dari Seligman (1990) yang diterjemahkan oleh Paulus H. Prasetya dan dimodifikasi oleh peneliti. Alat ukur ini terdiri dari 40 item, yang mengandung 3 dimensi optimisme, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Perhitungan validitas dengan korelasi point biserial dengan menggunakan kriteria Friedenberg, sehingga 8 item harus dibuang sebelum alat ukur dapat digunakan. Dengan demikian, validitas item dari alat ukur yang digunakan berkisar 0,329 sampai 0,644. Perhitungan reliabilitas item menggunakan KR-20 dengan kriteria Guilford sehingga reliabilitas alat ukur sebesar 0,858, yang berarti item-item dalam alat tes ASQ ini memiliki reliabilitas yang tinggi.

(2)

Abstract

This research has been done to measure optimism of a mother that had a son or a daughter that suffer from a down syndrome that connected with the independency of the son or daughter in SLB-C in Bandung. The selection of the sample was using purposive sampling and the subject consisted of 29 mothers that had a down syndrome child which educated in 7 different SLB-C in Bandung. The design that has been used in this research is descriptive method with a survey technique.

The tool used in this research is a ASQ questionnaire that been translated by Paulus H. Prasetya and been modified by the researcher based on the optimism theory from Seligman (1990). The test is composed of 40 items which consisted to 3 dimensional optimism which is permanence, pervasiveness, and personalization. The validity calculation is using Friedenberg criteria which is why 8 item must be deleted before the tool could be used. Therefore the validity of the tool was 0,329 until 0,644. The reliability calculation of the tool is using KR-20 with Guilford criteria so the tool reliability is 0,858, which means that the items in the ASQ test has a high reliability.

(3)
(4)

1.6. Asumsi ……….………..…...………...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Optimisme

2.1.1. Pengertian Optimisme ………. 2.1.2. Keuntungan Optimisme ……….………….. 2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme ……… 2.2. Down Syndrome

2.2.1. Pengertian Down syndrome ………. 2.2.2. Gejala atau tanda-tanda Down syndrome ………. 2.2.3. Penyebab Down syndrome ………... 2.2.4. Terapi Down syndrome ………... 2.3. Teori Perkembangan

2.3.1. Masa dewasa awal

2.3.1.1. Perkembangan Kognitif …………..……… 2.3.1.2. Perkembangan Sosio-emosional ………. 2.3.2. Masa dewasa madya

2.3.2.1. Perkembangan Sosio-emosional ……….

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Dan Prosedur Penelitian ……….………... 3.2. Bagan Rancangan Penelitian ………... 3.3. Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional

(5)

x Universitas Kristen Maranatha 3.3.1. Variabel Penelitian ………... 3.3.2. Definisi Operasional ………... 3.4. Alat Ukur

3.4.1. Attributional Style Questionaire (ASQ) ………... 3.4.2. Sistem Penilaian Alat Ukur Attributional Style Questionaire

(ASQ) ………..……….

3.4.3. Data Pribadi Dan Data Penunjang ……….…….. 3.4.4. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur

3.4.4.1. Validitas ………..

3.4.4.2. Reliabilitas ……….. 3.5. Populasi Dan Teknik Penarikan Sampel

3.5.1. Populasi Sasaran ……….. 3.5.2. Karakteristik Populasi ..………... 3.5.3. Teknik Penarikan Sampel ……….... 3.6. Teknik Analisis Data ………...

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian

4.1.1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ………

(6)

4.2.2.2. Pervasiveness ………... 4.2.2.3. Personalization ……… 4.3. Pembahasan ………

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 126 5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoretis ... 127 5.2.2. Saran Praktis ……… DAFTAR PUSTAKA ………...

DAFTAR RUJUKAN ………...

LAMPIRAN

48 49 50

58

59 59 60

(7)

xii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Tabel Aspek dan Indikator Alat Ukur ……….. 43

Tabel 3.2. Tabel Norma ………. 48

Tabel 4.1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ……… 52

Tabel 4.2. Tabel Persentase Optimisme Responden.……….… 53

Tabel 4.3. Tabel tabulasi silang permanence good dengan optimisme ….… 54 Tabel 4.4. Tabel tabulasi silang permanence bad dengan optimisme ……... 54

Tabel 4.5. Tabel tabulasi silang pervasiveness good dengan optimisme ….. 55

Tabel 4.6. Tabel tabulasi silang pervasiveness bad dengan optimisme …… 55

(8)

DAFTAR BAGAN

(9)

xiv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Semua ibu pasti berharap dapat melahirkan dengan selamat dan mendapatkan anak yang sehat secara fisik dan mental. Pada kenyataannya tidak semua orang tua mendapatkan anak yang sempurna, sehat secara fisik dan mental. Harapan orang tua yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, salah satunya adalah memiliki anak yang lahir denga

n gangguan fisik maupun psikis. Bagi orang tua, memiliki anak yang tidak sempurna dapat menyebabkan beban pikiran tersendiri.

Menurut BALITBANG (Badan Pelatihan dan Pengembangan), akhir-akhir ini banyak kelahiran anak yang mengalami gangguan fisik dan psikis. Kelahiran anak dengan gangguan fisik, misalnya saja anak lahir tidak dengan sempurna dan kehilangan bagian-bagian tubuh tertentu. Sedangkan kelahiran anak dengan gangguan psikis memiliki angka kelahiran sekitar 10% dari jumlah kelahiran. Anak dengan gangguan psikis merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki ketidakmampuan dalam hal-hal tertentu, misalnya saja kesulitan berbicara atau anak dengan tingkat intelegensi rendah. Di Indonesia, dalam 9 tahun belakangan ini tercatat ada sekitar 1,6 juta anak berkebutuhan khusus (www.jawapos.co.id).

Menurut Santrock (2002), anak yang berkebutuhan khusus disebut sebagai

(11)

2

Universitas Kristen Maranatha ketidakmampuan dan anak-anak yang tergolong berbakat. Menurut Santrock, yang tergolong anak berbakat, yaitu anak yang mempunyai skor IQ diatas 130 bahkan di atas 140. Selain itu, karakterikstik anak-anak berbakat mempunyai motivasi internal dan kreativitas yang tinggi. Sedangkan anak-anak yang memiliki gangguan atau ketidakmampuan, yaitu anak-anak dengan spektrum autis (Autistic

Disorder), keterlambatan bicara, gangguan belajar, gangguan perilaku (hiperaktif

dan hipoaktif), retardasi mental, Celebral Palsy, dan sebagainya.

Salah satu anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai kurangnya fungsi intelektual dengan IQ di bawah 70, kesulitan beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Anak yang mengalami down syndrome juga termasuk dalam golongan retardasi mental. Down syndrome merupakan suatu bentuk kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Menurut penelitian, down

syndrome menimpa satu di antara 650 kelahiran hidup (Kirman & Bicknell, 1975,

dalam Santrock, 2002). Di Indonesia, terdapat 300 ribu kasus down syndrome. Seorang anak dikatakan down syndrome apabila anak tersebut memiliki 3 buah kromosom 21, yang hanya dimiliki 2 buah oleh anak pada umumnya. Salah satu penyebabnya, yaitu ibu yang usianya terlalu tua (>40 tahun) atau terlalu muda (<20 tahun) pada saat mengandung. Kemungkinan seorang ibu yang telah berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan down syndrome adalah 1:750 dan jika usia ibu 35 tahun kemungkinannya adalah 1:280 (Robinson & Robinson, 1976 dalam Santrock, 2002). Faktor genetik juga mempengaruhi terjadinya down

syndrome, seperti yang dialami oleh seorang anak bernama H. H memiliki seorang

(12)

3

Anak down syndrome mungkin mengalami beberapa atau semua ciri-ciri fisik, sebagai berikut: kepala agak kecil dan brakisefalik (berkepala pendek) dengan daerah oksipital yang mendatar, muka lebar, tulang pipi tinggi, hidung pesek, letak mata berjauhan serta sipit miring ke atas dan samping (seperti mongol), terdapat bercak pada iris mata, lipatan epikantus (lipatan vertical pada pangkal mata) jelas sekali, bibir dan lidah tebal serta kasar dan bercelah. Selain itu ada juga ciri fisik lainnya, misalnya kulit halus dan longgar, terdapat lipatan leher yang berlebihan, jarak antara jari kaki dan tangan agak besar, biasanya terdapat satu garis besar melintang pada telapak tangannya, serta memiliki alat kelamin yang kecil. Selain ciri fisik, karakter khas yang dimiliki oleh anak down syndrome, yaitu mengalami retardasi mental dan memiliki taraf kecerdasan rendah yang biasanya tergolong idiot dan imbesil (White, 1981).

Taraf kecerdasan rendah yang dimiliki anak down syndrome, salah satunya terlihat dari kesulitannya dalam berbahasa dan komunikasi. Anak biasanya berkomunikasi dengan menggunakan kalimat sederhana, terkadang perkataan yang diungkapkan anak down syndrome sulit dimengerti oleh orang lain dan anak sulit untuk mengungkapkan kalimat secara jelas, melainkan hanya berupa gumaman saja. Sebagai contohnya, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terhadap S, salah seorang siswa di SLB-C “X”, ketika sedang bermain, S mengatakan sesuatu yang tidak jelas, terdengar seperti “U, ni aen.” Setelah tidak

(13)

4

Universitas Kristen Maranatha Keterampilan motorik anak-anak down syndrome seringkali lebih buruk jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya, terutama keterampilan motorik halusnya yang jauh tertinggal dibandingkan keterampilan motorik kasarnya. Hambatan-hambatan tersebut dapat mempengaruhi pencapaian anak terhadap keterampilan dasar yang seharusnya dapat dicapai dalam waktu singkat oleh anak-anak pada umumnya. Keterampilan dasar yang dimaksud, misalnya seperti makan, memilih pakaian, berpakaian, mengancingkan bajunya, mandi, memberi salam, mengeja dan menuliskan namanya, menjaga barangnya, serta membereskan mainannya sendiri. Orang di sekitarnya, terutama ibunya, diharapkan mendukung dengan cara melatih anaknya yang down syndrome untuk melakukan keterampilan dasar itu. Sebagai salah satu contohnya, anak pada umumnya dapat makan sendiri pada usia 3 tahun, tetapi pada anak down syndrome hal itu dapat dicapai pada usia yang lebih besar dengan bantuan dan dorongan dari orang di sekitarnya.

(14)

5

sendiri, ibu melatih anaknya dengan mengajarkan terlebih dahulu apa yang harus dilakukan anaknya. Setelah itu, ibu membiarkan anaknya yang down syndrome melakukan sendiri apa yang telah diajarkan, misalnya membiarkan anak mandi sendiri. Setelah itu, ibu baru membantu anak agar lebih bersih dan rapi. Dengan bantuan serta latihan yang diberikan ibu pada anaknya yang down syndrome, anak

down syndrome tersebut lama kelamaan akan dapat lebih bisa makan, berpakaian,

dan mandi sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Jika anak down syndrome telah dapat melakukan keterampilan dasar sendiri, maka anak down syndrome tersebut dapat dikatakan telah menunjukkan salah satu bentuk kemandirian.

Kemandirian anak down syndrome dapat dikembangkan melalui terapi-terapi khusus, seperti terapi-terapi fisik dan tingkah laku, terapi-terapi bicara, terapi-terapi okupasi, dan terapi-terapi alternatif lainnya. Akan tetapi, kemandirian anak tidak akan tercapai apabila ibu tidak melatih anaknya kembali setelah terapi selesai. Terapi fisik dan tingkah laku diberikan pada anak down syndrome untuk membantu anak

down syndrome agar dapat berjalan dengan benar karena pada dasarnya anak

down syndrome memiliki otot-otot yang lemah. Melatih fisik anak ini juga tidak

hanya dilakukan di tempat terapi saja, tetapi ibu juga diminta untuk terus dapat aktif mengajarkan anaknya belajar berjalan di rumahnya (http://ceritamamaayu.blogspot.com/2008/09/down-syndrome-special-angel-anak-adalah.html).

(15)

6

Universitas Kristen Maranatha lain dapat mengerti apa yang dikatakan oleh anak down syndrome. Setelah pulang dari tempat terapi, ibu diharapkan mengajak anaknya berbicara sehingga anak lebih terlatih untuk berbicara.

Terapi okupasi diberikan pada anak down syndrome supaya anak dapat terlatih kemandiriannya, pemahaman kognitifnya, serta kemampuan sensorik dan motoriknya. (http://www.angelswing.or.id/pelayanan-okupasi.html). Untuk dapat melatih anak down syndrome, ibu perlu membiarkan anak untuk mengulang apa yang telah diajarkan di tempat terapi dalam kehidupannya sehari-hari.

Di samping itu, masih ada terapi-terapi alternatif lain yang dapat diberikan pada anak down syndrome, yaitu terapi akupuntur dan terapi musik. Terapi akupuntur berfungsi untuk melancarkan peredaran darah anak. Terapi musik adalah terapi yang diberikan dengan cara memperdengarkan berbagai macam bunyi untuk melatih kepekaan anak (http://sukaesih21.wordpress.com).

Saat ini sudah banyak fasilitas yang dapat membantu anak-anak down

syndrome, misalnya banyak tempat-tempat terapi, serta sekolah-sekolah untuk

(16)

7

Di SLB-C “X” ini, setiap siswa diperlakukan dengan berbeda sesuai dengan keterbatasan yang dialami siswa, meskipun setiap siswa mendapatkan fasilitas dan materi yang sama. Usaha yang dilakukan pihak sekolah untuk mengembangkan kemandirian anak, yaitu setiap siswa diperbolehkan untuk memainkan mainan yang tersedia di sekolah, siswa juga diikutsertakan pada kegiatan yang diadakan di sekolahnya. Misalnya, ketika sekolah mengadakan perlombaan untuk merayakan HUT RI, semua siswa diharapkan untuk ikut serta dalam perlombaann yang diadakan. Ketika mengikuti perlombaan, setiap siswa akan dibiarkan untuk berusaha sendiri mengikuti perlombaan tersebut tanpa dibantu oleh gurunya, orangtua, ataupun pengasuhnya. Selain itu, setiap harinya siswa diberi waktu khusus untuk makan bekal yang telah dibawanya sendiri tanpa dibantu, walaupun akhirnya kelas menjadi berantakan dan agak kotor. Dengan demikian, anak diharapkan dapat menjadi lebih mandiri dan mengubah cara berpikir ibu yang berbeda terkait dengan kemandirian anaknya.

Seligman (1990) mengungkapkan bahwa optimisme adalah cara berpikir dalam menghadapi suatu keadaan, baik keadaan yang baik maupun keadaan yang buruk. Dikatakan juga seseorang yang optimis adalah seseorang yang ketika menghadapi keadaan yang buruk, percaya bahwa keadaan buruk itu hanya sementara (PmB-temporary), dan hanya terjadi pada peristiwa tertentu

(PvB-specific), dan lingkungan yang menyebabkan keadaan buruk itu (PsB-eksternal).

Faktor yang dapat menentukan optimisme ibu, yaitu explanatory style dari individu yang berada di dekat ibu yang memiliki anak down syndrome, terutama

(17)

8

Universitas Kristen Maranatha Ketika anak down syndrome yang berusia antara 15-20 tahun sudah dapat makan sendiri, ibu yang optimis akan berpikir bahwa perilaku mandiri yang ditampilkan anaknya itu akan terus berulang (PmG-permanence) dan jika anaknya telah dapat makan sendiri maka ibu akan berpikir bahwa perkembangan itu juga terjadi pada perilaku anak lainnya, misalnya anak mampu memakai pakaian sendiri (PvG-universal). Pada ibu yang pesimis, ketika anaknya sudah dapat makan sendiri, ibu akan berpikir bahwa perilaku yang ditampilkan anaknya itu bersifat sementara dan merupakan suatu kebetulan saja (PmG-temporary), dan ibu akan berpikir bahwa perkembangan tersebut tidak akan terjadi perilaku anak lainnya (PvG-specific). Ibu yang pesimis akan berpikir bahwa perilaku yang ditampilkan anaknya adalah sebagai hasil dari pengajaran yang telah diberikan di sekolahnya (PsG-eksternal).

Ibu yang optimis memiliki harapan terhadap kemandirian anaknya yang

down syndrome, sehingga ibu akan lebih giat melatih anaknya dan mencari

informasi yang berkaitan dengan anaknya. Sebaliknya, ibu yang pesimis, memiliki harapan yang sedikit bahkan tidak memiliki harapan terkait dengan kemandirian anaknya, sehingga ibu bersikap pasrah dan apa adanya tanpa melatih anaknya atau bahkan mencari informasi mengenai anaknya yang down syndrome. Oleh karena itu, ibu yang memiliki anak down syndrome membutuhkan cara berpikir yang optimis terkait dengan kemandirian anaknya supaya anak dapat lebih mandiri.

Berdasarkan survey yang peneliti lakukan terhadap 4 orang ibu di SLB-C “X” di Kota Bandung yang memiliki anak Down Syndrome berusia sekitar 15

(18)

9

anaknya dapat makan sendiri, berpakaian sendiri, mandi sendiri, dan melakukan kegiatan lainnya sendiri. Ibu tersebut akan mencari informasi mengenai anaknya lebih banyak lagi dan melakukan berbagai terapi pada anaknya yang dapat membuat anaknya lebih mandiri dalam berbagai hal, serta melatih anaknya untuk makan sendiri, berpakaian sendiri, mandi sendiri, dan melakukan kegiatan lainnya sendiri. Sebanyak 25% ibu merasa kurang bahkan tidak yakin anaknya dapat makan sendiri, berpakaian sendiri, dan mandi sendiri. Ibu yang merasa tidak yakin itu tidak berusaha mencari informasi mengenai anaknya dan tidak melakukan terapi, serta akan membatasi kegiatan anak. Para ibu tersebut lebih menyalahkan dirinya sendiri terhadap ketidakmampuan anaknya untuk lebih mandiri. Berdasarkan data survey, dapat dinyatakan bahwa cara berpikir ibu yang berbeda membuat ibu memperlakukan anaknya dengan cara berbeda yang dapat membuat anak mereka semakin mandiri.

Berdasarkan fakta dan uraian yang telah diungkapkan, dapat dilihat bahwa ibu yang memiliki anak down syndrome memiliki optimisme yang berbeda terhadap kemandirian anaknya. Anak down syndrome perlu dilatih kemandiriannya, mereka tidak bisa seterusnya bergantung kepada orangtuanya karena suatu saat orangtua akan meninggal. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Optimisme

(19)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Dari penelitian ini, ingin diketahui optimisme ibu yang memiliki anak

down syndrome terkait dengan kemandirian anak di SLB-C di Kota

Bandung.

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dilakukannya penelitian ini adalah ingin memperoleh gambaran mengenai optimisme ibu yang memiliki anak down syndrome terkait dengan kemandirian anak di SLB-C di Kota Bandung.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah ingin memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai cara berpikir optimis atau pesimis pada ibu yang memiliki anak down syndrome terkait dengan kemandirian anak di SLB-C di Kota Bandung beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4. KEGUNAAN PENELITIAN

1.4.1. Kegunaan Teoretis

 Memberi sumbangan informasi bagi ilmu Psikologi Perkembangan

mengenai optimisme ibu yang memiliki anak down syndrome terkait dengan kemandirian anak di SLB-C di Kota Bandung.

 Sebagai sumbangan dan referensi untuk penelitian selanjutnya

(20)

11

1.4.2. Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada ibu yang memiliki anak down

syndrome mengenai optimisme terkait dengan kemandirian anak

sebagai bahan untuk pengembangan diri anak.

 Memberikan tambahan informasi kepada para pengajar di SLB-C di

Kota Bandung tentang optimisme ibu terkait dengan kemandirian anaknya yang down syndrome agar para pengajar dapat memberikan perlakuan yang sesuai dengan kemandirian dari siswanya.

1.5. KERANGKA PEMIKIRAN

Seorang ibu biasanya berada pada masa perkembangan dewasa. Menurut Santrock, masa dewasa dibagi ke dalam tiga periode, yaitu masa dewasa awal (usia sekitar 19/20 – 39 tahun), masa dewasa madya (40 – 60 tahun), dan masa dewasa akhir (60 – 70 tahun). Dalam masa dewasa ini terjadi perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan sosio-emosional.

Pada masa dewasa awal terdapat responsibility stage yang terjadi ketika keluarga terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluan-keperluan pasangan dan keturunan (K.Warner Schaie, 1977 dalam Santrock, 2002). Ibu yang memiliki anak down syndrome akan memberikan perhatian pada anaknya dengan mencari cara untuk mengembangkan kemandirian anaknya dengan melakukan berbagai cara, misalnya melakukan terapi-terapi dan sebagainya.

(21)

12

Universitas Kristen Maranatha

stagnation. Generativity meliputi hasrat untuk meninggalkan warisan bagi

generasi berikutnya. Sebaliknya, stagnation akan berkembang ketika individu merasa dirinya tidak memiliki apa-apa. Generativity salah satunya dapat dikembangkan melalui parental generativity (Kotre, 1984 dalam Santrock, 2002), yaitu dimana individu menyediakan pengasuhan dan bimbingan bagi anak. Hal tersebut mengakibatkan ibu yang memiliki anak down syndrome akan melatih dan mendampingi serta memenuhi kebutuhan anaknya untuk dapat mengembangkan kemandirian anaknya yang down syndrome.

Proses perkembangan tersebut dapat berpengaruh terhadap bagaimana cara pandang ibu yang memiliki anak down syndrome dalam menyikapi keadaan dan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Cara berpikir ibu dalam menghadapi keadaan, baik keadaan yang baik (good situation) maupun keadaan yang buruk

(bad situation) disebut dengan optimisme. Keadaan yang dimaksud adalah

peristiwa-peristiwa baik maupun buruk yang terjadi dalam kehidupannya (Seligman, 1990). Good situation yang mungkin dialami ibu yang memiliki anak

down syndrome, misalnya saja ketika anaknya sudah mulai menunjukkan

kemandiriannya dan sudah mulai dapat mengurus dirinya sendiri. Sebaliknya, bad

situation yang mungkin dialami oleh ibu yang memiliki anak down syndrome

adalah ketika anaknya belum juga menunjukkan kemandiriannya atau bahkan ketika anaknya menunjukkan kemunduran dalam hal kemandiriannya.

Dalam hal ini Seligman menyatakan bahwa terdapat 3 dimensi yang digunakan dalam cara berpikir tentang suatu kejadian, yaitu Permanence,

(22)

13

mengenai waktu berlangsungnya suatu keadaan. Ibu yang optimis akan berpikir bahwa keadaan baik berlangsung menetap (PmG-permanence) dan keadaan buruk hanya berlangsung sementara (PmB-temporary), dan sebaliknya ibu yang pesimis cenderung berpikir bahwa keadaan buruk berlangsung menetap

(PmB-permanence) dan keadaan baik berlangsung sementara (PmG-temporary). Apabila

anak down syndrome telah menunjukkan kemandirian, maka ibu yang optimis akan berpikir bahwa kemandirian anaknya itu memiliki suatu harapan untuk dapat berlangsung menetap (PmG-permanence), tetapi sebaliknya apabila anak down

syndrome mereka tidak menunjukkan kemandirian atau bahkan menunjukkan

penurunan, maka ibu akan berpikir bahwa hal tersebut hanya sementara

(PmB-temporary). Ibu yang pesimis akan berpikir bahwa kemunduran kemandirian yang

ditampilkan anaknya akan berlangsung menetap (PmB-permanence), sebaliknya ibu akan berpikir bahwa kemandirian yang ditampilkan anaknya adalah sebagai hal yang berlangsung sementara (PmG-temporary).

Dimensi kedua membicarakan mengenai ruang lingkupnya, dibedakan antara universal dan spesific. Ibu yang optimis akan berpikir bahwa keadaan baik terjadi secara universal (PvG-universal), sedangkan keadaan buruk terjadi secara spesifik (PvB-spesific). Ibu yang pesimis akan berpikir bahwa keadaan baik terjadi secara spesifik (PvG-spesific), sedangkan keadaan buruk akan terjadi secara universal (PvB-universal). Ibu yang optimis akan berpikir bahwa kemandirian dari anak down syndrome-nya memiliki peluang untuk terjadi pada hal lainnya dalam diri anaknya (PVG-universal). Sebaliknya, apabila anak down

(23)

14

Universitas Kristen Maranatha berpikir bahwa penurunan tersebut tidak berpeluang untuk terjadi pada hal lain dalam diri anak, melainkan hanya terjadi dalam hal itu saja (PvB-spesific). Pada ibu yang pesimis, ibu akan berpikir bahwa kemunduran yang ditunjukkan anak

down syndrome-nya berpeluang terjadi terhadap semua aspek dalam diri anaknya

(PvB-universal), sebaliknya apabila anak down syndrome mereka menunjukkan kemandiriannya, maka ibu akan menganggap kemajuan tersebut hanya terjadi pada aspek itu saja (PvG-spesific).

(24)

15

Ada 3 faktor yang mempengaruhi optimisme, yaitu explanatory style ibu, kritik dan dukungan dari orang lain, dan masa krisis anak. Explanatory style ibu adalah kebiasaan berpikir ibu dalam menghadapi suatu keadaan, baik keadaan yang baik (good situation) maupun yang buruk (bad situation).Explanatory style ibu yang dimaksud adalah explanatory style yang dimiliki oleh ibu dari ibu yang memiliki anak down syndrome dengan kata lain disebut sebagai nenek dari anak

down syndrome. Optimisme tidak diturunkan, melainkan dipelajari dari

lingkungan. Orangtua ibu terutama nenek yang mengasuh merupakan tempat pertama bagi ibu untuk mempelajari optimisme. Optimisme dipelajari ketika berkomunikasi dengan orang tua. Ibu akan memperhatikan perkataan nenek dengan teliti, bukan hanya kata-katanya melainkan sifat-sifat tertentu dari isi perkataan nenek. Segala hal yang ditunjukkan nenek akan didengar setiap hari dan terus berulang sehingga mempengaruhi explanatory style ibu.

(25)

16

Universitas Kristen Maranatha juga akan memiliki kecenderungan untuk berpikir secara pesimis terkait dengan kemandirian anaknya tersebut.

Faktor kedua adalah kritik dari orang lain. Orang lain akan memberikan kritik (misalnya berupa celaan) pada ibu ketika anak mengalami kegagalan. Kritik orang lain tersebut akan mempengaruhi cara berpikir ibu. Jika ibu menganggap celaan tersebut sebagai suatu yang menetap dan terjadi pada berbagai hal, maka ibu akan menganggap bahwa anaknya akan gagal dalam segala hal. Jika ibu menganggap celaan tersebut sebagai suatu hal yang bersifat sementara dan spesifik, maka ibu akan berpikir bahwa kegagalan anaknya yang down syndrome dapat diselesaikan dan hanya terjadi pada satu hal saja.

(26)

17

Uraian diatas dapat dilihat pada bagan berikut ini:

1.5. Bagan Kerangka Pemikiran

1.6. ASUMSI

 Ibu yang memiliki anak down syndrome memiliki cara berpikir yang

berbeda, baik optimis atau pesimis terkait dengan kemandirian anaknya.

 Ibu yang memiliki anak down syndrome dapat memiliki cara berpikir

yang berbeda mengenai waktu berlangsung dari kemandirian ataupun kemunduran kemandirian yang ditampilkan anaknya.

 Ibu yang memiliki anak down syndrome dapat memiliki cara berpikir

yang berbeda mengenai ruang lingkup dari kemandirian ataupun

- Explanatory Style ibu dari ibu yang

(27)

18

Universitas Kristen Maranatha  Ibu yang memiliki anak down syndrome dapat memiliki cara berpikir

yang berbeda mengenai siapa penyebab dari kemandirian ataupun kemunduran kemandirian yang ditampilkan anaknya.

Explanatory style ibu dari ibu yang memiliki anak down syndrome,

dukungan dan kritik, serta masa krisis ibu yang memiliki anak down

syndrome semasa kanak-kanak mempengaruhi optimisme ibu yang

(28)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil yang diperoleh dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut, yaitu:

 Sebanyak 57,1% ibu yang memiliki anak down syndrome di SLB-C di Kota

Bandung memiliki cara berpikir yang optimis dan 42,9% ibu memiliki cara

berpikir yang pesimis terkait dengan kemandirian anaknya.

 Pada dimensi permanence, baik ibu yang optimis maupun pesimis sebagian ibu

memiliki PmG yang optimis dan sebagian besar ibu memiliki PmB yang

optimis pula.

 Pada dimensi pervasiveness, ibu yang optimis sebagian besar ibu memiliki

PvG yang optimis dan sebagian ibu memiliki PvB yang optimis pula.

Sedangkan pada ibu yang pesimis, sebagian ibu memiliki PvG yang optimis

dan PvB yang pesimis.

 Pada dimensi personalization, sebagian ibu yang optimis maupun yang pesimis

memiliki PsG dan PsB yang optimis.

 Faktor-faktor dari optimisme tidak memiliki kecenderungan keterkaitan dengan

optimisme ibu yang memiliki anak down syndrome di SLB-C di Kota

(29)

59

Universitas Kristen Maranatha 5.2.Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka peneliti

menyarankan:

5.2.1. Saran Teoretis

 Untuk penelitian selanjutnya dapat meneliti kotribusi dari dimensi optimisme

terhadap optimisme ibu yang memiliki anak down syndrome di SLB-C di Kota

Bandung.

5.2.2. Saran Praktis

 Ibu membuat target yang realistis yang dapat dicapai anak dalam jangka waktu

tertentu terkait dengan kemandirian anak dan tetap terus mendampingi anak

untuk dapat mencapai target yang diharapkan, sehingga ibu mengetahui

kemampuan anaknya dan tidak mudah putus asa.

 Berkomunikasi dengan pihak sekolah dan sesama orang tua mengenai anaknya

yang down syndrome, sehingga ibu mengetahui pengalaman dari ibu lain yang

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Bakwin, Harry, M.D. & Ruth Morris Bakwin, M.D. 1972. Behavior Disorders In

Children 4th edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing : Design, Analysis and Use.

Boston: Copyright Allyn & Bacon.

Kaplan, Robert M. & Dennis D. Saccuzzo. 2005. Psychological Testing

Principles, Applications, and Issues 6th edition. USA: Thomson Wadsworth.

Prasetya, Paulus H, S.Psi, M.Si. 1996. Terjemahan Kuesioner Optimisme :

Attributional Style Quesionnaire. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

Santrock, John W. Tanpa Tahun. Life-Span Development: Perkembangan Masa

Hidup, Edisi 5, Jilid II. Diterjemahkan oleh Juda Damanik dan Achmad Chusairi. 2002. Jakarta: Erlangga.

Seligman, Martin E.P, Ph.D. 1990. Learned Optimism. New York: Alfred A.

Knopf, Inc.

White, Robert W. & Norman F. Watt. 1981. The Abnormal Personality 5th

(31)

61 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Hoonra29. 9 April 2010. Karakteristik Anak Down Syndrome. (Online).

(www.wordpress.com, diakses 11 Mei 2010)

Mama Ayu. 2 September 2008. My New Me. (Online).

(http://ceritamamaayu.blogspot.com/2008/09/down-syndrome-special-angel-anak-adalah.html, diakses 17 Maret 2010)

Muljadi, Tiur S. 2008. Studi Deskriptif mengenai Derajat Optimisme Ibu terhadap

Kemandirian Anaknya yang Autisme di Lembaga “X” di Kota

Bandung. Metodologi Penelitian Lanjutan. Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha. Bandung.

Nana, Kim. 26 Agustus 2010. Anak Berkebutuhan Khusus. (Online).

(http://catatannana.blogspot.com/2010/08/anak-berkebutuhan-khusus-special-need.html, diakses 4 Juli 2011)

R, Elfa Melissa. 25 Agustus 2010. Down Syndrome. (Online).

(http://kirsman113.wordpress.com/2010/08/25/down-syndrome/, diakses 8 Maret 2011)

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

1985. Ilmu Kesehatan Anak 1. Jakarta: Infomedika.

Sukaesih. 10 Mei 2010. Jenis-jenis Terapi yang Dibutuhkan Anak Down

Syndrome. (Online). (

http://sukaesih21.wordpress.com/2010/05/10/jenis-jenis-terapi-yang-dibutuhkan-anak-down-syndrome/, diakses 8 Maret

2011)

www.angelswing.or.id/pelayanan-okupasi.html diakses 8 Maret 2011

www.ictjogja.net diakses 17 Maret 2010

www.jawapos.co.id diakses 17 Maret 2010

Referensi

Dokumen terkait

1. Tenaga ahli adalah dosen / orang dari luar perguruan tinggi yang diundang dengan tujuan untuk pengayaan pengetahuan dan bukan untuk mengisi kekurangan tenaga

Tatag Yuli Eko Siswono, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan Masalah dan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif (Surabaya:

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui jenis makanan ringan yang dibagikan pada anak-anak di TK ABA ADE I RMA, (2) mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein

[r]

Sindroma Hyper-IgE (HIEs) adalah suatu immunodefisiensi primer kompleks yang jarang dengan karakteristik eksim , abses kulit , infeksi paru , kadar eosinofil dan kadar

[r]

PHPTriad adalah software installer PHP secara instant yang berjalan pada lingkungan Windows, setelah menginstal PHPTriad anda tidak saja telah menginstal PHP, akan tetapi

Router dapat digunakan untuk menghubungkan banyak jaringan kecil ke sebuah jaringan yang lebih besar, yang disebut dengan internetwork , atau untuk membagi sebuah jaringan