• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi kandungan karbon tegakan akasia (acacia crassicarpa a. Cunn ex. Benth) dalam Hutan tanaman industri di lahan gambut bekas terbakar. Studi kasus di areal iuphhk-ht pt. Sba wood industries

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi kandungan karbon tegakan akasia (acacia crassicarpa a. Cunn ex. Benth) dalam Hutan tanaman industri di lahan gambut bekas terbakar. Studi kasus di areal iuphhk-ht pt. Sba wood industries"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

By:

Puteri Ramadhan dan Bambang Hero Saharjo

INTRODUCTION.

Forest ecosystem helps to reduce C concentration within the

atmosphere through photosynthesis. The CO

2

within the air was assimilated by

plants and then converted into carbohydrates. It was then sequestrated inside the

plant organs such as stems, branches, twigs, leaves, flowers, and fruits. Therefore,

by measuring the amounts of carbon stored inside the plant biomass within a

certain area, the amounts of CO

2

which can be assimilated by plants can also be

assessed. The correct estimation of carbon content in forest areas, particularly the

peat forests, is required in many forestry applications and in its relation to the

global carbon cycle.

MATERIALS AND METHOD.

This research was conducted in the peat land

area of IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries, from May to June 2011. The

selected area is a forest of

Acacia crassicarpa

on the low stocking and high

stocking plots. The materials used are 3-year-old

Acacia crassicarpa

forest in

each of the research plots. The tools used in this research consists of compass,

meter band, height measurement tools, label stickers, plastic ropes, plastic bags,

chopping knife, scale, digital camera, writing tools, and tally sheets

.

On each

plots, five areas of 20 m x 20 m are created for the stand measurements, with four

2 m x 2 m subplots created in every corner of each plots for the taking of below

plants and litters. The data obtained was then processed through the biomass

approach and then converted into units of carbon deposits in tons/ ha. ANOVA

analysis and

Least Significant Difference

(LSD) tests was used to study the

vegetation factors (stands, below plants, and litters) which affects the carbon

deposits in each research plots.

RESULTS AND DISCUSSION.

The estimated carbon stock on the low stocking

plot was 28,99 tons/ ha, while on the high stocking plot, the value was 131,84

tons/ ha. The stock differences was mainly caused by the different quality of the

environments of each plots. The ANOVA showed the R-sq value of 84,37% on

the low stocking plot and was 99,87% on the high stocking plot, at the

significance level of 5%. It means that there was a different carbon potency on

one of the vegetation variables, i.e. stands, which significantly effects the total

carbon storage potency of a certain plot.

CONCLUSION.

The potency of the stands carbon sink on each plots contributes

the largest carbon content capacity on a certain plot. Therefore a good planting

management and the appropriate selection of planting locations is necessary, so

that the quality of the planting environment doesn’t effect the biomass growth of a

stand which corresponds the carbon content value that can be assimilated.

(3)

Oleh:

Puteri Ramadhan dan Bambang Hero Saharjo

PENDAHULUAN.

Ekosistem hutan dapat membantu mengurangi konsentrasi C

di atmosfir melalui proses fotosintesis. CO

2

di udara diserap oleh tanaman dan

diubah menjadi karbohidrat, kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan

seperti batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah. Sehingga dengan

mengukur jumlah C yang disimpan dalam biomassa pada suatu lahan dapat

menggambarkan banyaknya CO

2

di atmosfer yang mampu diserap tumbuhan.

Estimasi kandungan karbon yang tepat pada areal hutan, khususnya hutan gambut,

sangat dibutuhkan dalam berbagai aplikasi kehutanan dan hubungannya dengan

siklus global karbon.

BAHAN DAN METODE.

Penelitian ini dilaksanakan di areal lahan gambut

IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries, selama bulan April hingga Mei 2011.

Areal yang dipilih adalah hutan tanaman

Acacia crassicarpa

pada petak

low

stocking

dan

high stocking.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah

hutan tanaman

Acacia crassicarpa

berumur 3 tahun pada masing-masing petak

penelitian. Alat-alat yang digunakan adalah kompas, pita meter, alat pengukur

tinggi, kertas label, tali rafia, kantong plastik, golok, timbangan, oven, alat

dokumentasi, alat tulis, dan

tally sheet

. Pada masing-masing lokasi penelitian

dibuat 5 petak seluas 20 m x 20 m untuk pengukuran tegakan, dengan 4 subpetak

berukuran 2 m x 2 m di dalam setiap sudut petak untuk analisis dan pengambilan

vegetasi tumbuhan bawah dan serasah. Data-data yang diperoleh diolah melalui

pendekatan biomassa kemudian dikonversi menjadi simpanan karbon dalam

ton/ha. Untuk mengetahui faktor vegetasi (tegakan, tumbuhan bawah, dan

serasah) yang berpengaruh terhadap simpanan karbon pada masing-masing petak

penelitian, digunakan analisis dengan menggunakan ANOVA dan uji lanjut

Least

Significant Difference

(LSD).

HASIL DAN PEMBAHASAN.

Estimasi kandungan karbon pada petak

low

stocking

adalah 28,99 ton/ha, sedangkan pada petak

high stocking

adalah sebesar

131,84 ton/ha. Perbedaan stok tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan

kualitas tempat tumbuh pada masing-masing petak yang berlainan. Analisis

statistik menggunakan ANOVA menunjukkan nilai R-sq = 84,37% pada petak

low stocking

dan R-sq = 99,87% pada petak

high stocking

dengan masing-masing

taraf nyata 5% berarti terdapat perbedaan potensi karbon pada salah satu variabel

vegetasi, yaitu tegakan, yang berpengaruh nyata terhadap potensi simpanan

karbon total suatu petak tertentu.

KESIMPULAN.

Potensi kandungan karbon tegakan pada masing-masing petak

menyumbangkan potensi kandungan karbon terbesar dalam suatu petak. Oleh

karena itu manajemen penanaman yang baik serta pemilihan tempat tumbuh yang

tepat diperlukan agar perbedaan kualitas tempat tumbuh tidak mempengaruhi

pertumbuhan biomassa suatu tegakan yang berbanding lurus dengan kandungan

karbon yang mampu diserapnya.

(4)

di Lahan Gambut Bekas Terbakar

(Studi Kasus di Areal IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

PUTERI RAMADHAN

E44070067

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut

Bekas

Terbakar.

Studi

Kasus

di

Areal

IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries

Nama Mahasiswa :

Puteri Ramadhan

NRP :

E44070067

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr

NIP. 19641110 199002 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr

NIP. 19641110 199002 1 001

(6)

Kandungan Karbon Tegakan Akasia (

Acacia crassicarpa

Cunn Ex. Benth) dalam

Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut Bekas Terbakar, Studi Kasus di Areal

IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries adalah benar hasil karya saya sendiri

dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya

ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, 24 Agustus 2011

Puteri Ramadhan

(7)

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala

rahmat dan kasih sayangNya sehingga skripsi yang berjudul

Estimasi

Kandungan Karbon Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa

Cunn Ex. Benth)

dalam Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut Bekas Terbakar, Studi

Kasus di Areal IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries

dapat diselesaikan.

Mengingat pada keistimewaan hutan gambut dibandingkan tipe hutan lainnya

yang mampu menyimpan lebih banyak bahan organik dan sebagai salah satu

kawasan cadangan gambut terluas di pantai timur sumatera, maka diharapkan

potensinya yang besar dalam menyerap dan mengurangi penyebaran Gas Rumah

Kaca (GRK) di udara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk

itu kritik dan saran yang membangun penulis harapkan demi perbaikan dan

pengembangan lebih lanjut. Penulis berharap karya kecil ini tidak mengurangi

hakikat kebenaran ilmiahnya dan bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkannya.

Bogor, 24 Agustus 2011

(8)

Penulis lahir pada tanggal 2 Mei 1989 di Bukittinggi, Sumatera Barat,

sebagai anak keempat dari enam bersaudara pasangan dr. Yusrizal, SpOG dan

Darna Zubir. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 1 Rangkasbitung, Banten,

dan melanjutkan ke IPB melalui jalur SPMB dengan memilih mayor Departemen

Silvikultur Fakultas Kehutanan sebagai pilihan pertama. Penulis memantapkan

minat pada studi di bidang Kebakaran Hutan dan Lahan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis tergabung dalam himpunan profesi

mahasiswa Silvikultur yaitu Tree Grower Community (TGC). Di antara aktivitas

studi, penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah dendrologi dan

silvikultur.

Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) jalur

Sancang-Kamojang, melakukan kegiatan PPH di Hutan Pendidikan Gunung

Walad serta melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT. SBA Wood

Industries.

Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, Penulis menyelesaikan

skripsi dengan judul Estimasi Kandungan Karbon Tegakan Akasia (

Acacia

crassicarpa

Cunn Ex. Benth) dalam Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut

Bekas Terbakar, studi kasus di areal IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries di

bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.

Bogor, 24 Agustus 2011

(9)

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa

terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran

terselesaikannya penyusunan skripsi, terutama kepada:

1. Papi, Mami, yang telah menjadi sumber semangat bagi penulis, serta

keluarga besar atas doanya.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr yang telah menjadi

dosen pembimbing skripsi dan memberikan banyak masukan hingga

tersusunnya skripsi ini dengan baik.

3. Bapak Prof. Dr. Ir Nurheni Wijayanto, MS yang telah menjadi dosen

pembimbing akademik.

4. Bapak Pror. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc selaku dosen penguji dari

Departemen Hasil Hutan.

5. Komisi Pendidikan Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian

Bogor yang telah membantu dalam pengurusan administrasi.

6. Bapak Sambusir, Bapak Iwan, Bapak Endang, Bapak Doddy Doris, Bapak

Mara Ispama, beserta seluruh jajaran PT. SBA Wood Industries yang telah

membantu kelancaran pelaksanaan penelitian.

7. Teman-teman Departemen Silvikultur 44 terutama sahabat terbaikku Eka,

Satriavi, Laswi, Azizah, Wiwit, Lilik, Rhomi, Ardiansyah, Alex, Arifin,

Gita dan Rahman FKH 44, Ramadhani dan Layah AGH 44, Rinda Bik 44,

Dewi dan Ipul Stat 44.

8. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah

membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Bogor, 24 Agustus 2011

(10)

Halaman

KATA PENGANTAR

... i

RIWAYAT HIDUP

... ii

UCAPAN TERIMA KASIH

... iii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL

... ... v

DAFTAR GAMBAR

... vi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2.

Tujuan Penelitian... 2

1.3.

Manfaat Penelitian ... 2

1.4.

Kerangka Pemikiran ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan ... 4

2.2. Kebakaran pada Hutan Gambut ... 7

2.3.

Karbon ... 8

2.4.

Biomassa ... 9

2.5.

Pendugaan dan Pengukuran Biomassa ... 10

2.6.

Model Pendugaan Biomassa dan Karbon

... 11

2.7. Hutan Tanaman Industri ... 11

2.8. Tinjauan Umum Akasia ... 13

2.9. TegakanLow StockingdanHigh Stocking ... 16

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

3.2.

Bahan dan Alat ... 17

3.3.

Metode Pengambilan Data ... 17

3.4. Prosedur Penelitian ... 17

3.5. Analisis Data ... 19

(11)

4.2. Letak, Luas dan Batas Areal Kerja ... 23

4.3. Iklim dan Hidrologi ... 24

4.4. Topografi, Geologi dan Tanah ... 25

4.5. Keadaaan Hutan ... 27

4.6. Aksesibilitas ... 29

4.7. Sosial Ekonomi ... 30

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil ... 31

5.2. Pembahasan ... 41

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 49

6.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA

... 50

(12)

No.

Teks

Halaman

1. Jenis tanah pada areal kerja PT. SBA Wood Industries ...

25

2. Jalan negara, sungai, angkutan udara dan komunikasi ...

29

3. Kondisi sosial ekonomi di sekitar areal IUPHHK ...

30

4. Potensi volume tegakan Akasia (

Acacia crassicarpa

) di areal petak

low stocking

dan

high stocking,

DTP PT. SBA WI

………..

31

5. Hasil analisis vegetasi tingkat tumbuhan bawah pada petak

high

Stocking

………

33

6. Kandungan biomassa di atas permukaan lahan (tegakan, tumbuhan

bawah, dan serasah)

……….

34

7. Potensi simpanan karbon di atas permukaan lahan (tegakan,

(13)

No.

Teks

Halaman

10. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Estimasi Kandungan Karbon pada

Tegakan Akasia (

Acacia crassicarpa

)...

3

11. Prinsip segitiga api ...

4

12. Desain petak penelitian ...

18

13. Kondisi tegakan Akasia pata petak

low stocking

(A) dan petak

high

stocking

(B) ...

31

14. Potensi volume tegakan Akasia pada tegakan

high stocking

dan

low

stock ig

stocking

………

32

15. Potensi biomasa tegakan Akasia

low stocking

dan

high stocking

34

16. Potensi biomassa tumbuhan bawah petak

low stocking

dan

high

stockin

stocking

………....

35

17. Potensi biomassa serasah petak

low stocking

dan

high stocking

35

18. Potensi biomassa total petak

low stocking

dan

high stocking

……..

36

19. Potensi serapan karbon tegakan Akasia

low stocking

dan

high

stttocking

stocking

………

37

20. Potensi

karbon tumbuhan bawah petak

low stocking

dan

high

sticking

stocking

………...

38

21. Potensi simpanan karbon serasah petak

low stocking

dan

high

stiiking

stocking

………

38

22. Potensi simpanan karbon total pada petak

low stocking

dan

high

stoiking

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar belakang

Pemanasan global memiliki dampak besar pada hutan-hutan di dunia.

Ekosistem hutan bisa menjadi sumber dan penyerap karbon (IPCC, 2000).

Ekosistem hutan dapat membantu mengurangi konsentrasi C di atmosfir melalui

proses fotosintesis. CO

2

di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi

karbohidrat, kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan seperti batang,

cabang, ranting, daun, bunga, dan buah. Sehingga dengan mengukur jumlah C

yang disimpan dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan

banyaknya CO

2

di atmosfer yang mampu diserap tumbuhan.

Menurut Kyrklund (1990), secara umum hutan dengan

net growth

(terutama dari pohon-pohon yang sedang berada pada fase pertumbuhan) mampu

menyerap lebih banyak CO

2

, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang

kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak menyerap CO

2

berlebih.

Selanjutnya Hairiah (2007) menjelaskan bahwa hutan alam yang telah tua dan

mencapai klimaks dalam pertumbuhannya sangat sedikit menyerap CO

2

karena

telah mencapai keseimbangan dimana tingkat pembentukan dan pelapukan

berimbang.

Hutan gambut merupakan produk dari hutan masa lalu yang tersusun dari

bahan organik hasil dekomposisi vegetasi secara anaerobik dan termasuk ke

dalam ekosistem lahan basah. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman

yang telah mati, baik yang sudah lapuk mupun belum. Merujuk pada proses

pembentukan yang didominasi oleh bahan organik, hutan gambut memiliki

keistimewaan dibandingkan tipe hutan lainnya karena menyimpan lebih banyak

bahan organik. Sumatera selatan merupakan salah satu kawasan cadangan gambut

terluas di pantai timur sumatera.

Pada ekosistem yang masih seimbang terdapat beberapa faktor penunjang

pertumbuhan biomassa tanaman, di antaranya adalah adanya saluran (kanal)

tersier yang mempermudah akar pohon menyerap unsur hara dari larutan tanah,

jumlah mikroorganisme lebih banyak pada areal yang tidak pernah terbakar

(15)

yang tumbuh baik jika tersedia hara secara kontinyu. Banyaknya unsur hara akibat

kebakaran hutan di areal hutan gambut tidak mempengaruhi pertumbuhan pohon

menjadi lebih baik. Ketersediaan unsur hara tidak lagi menjadi faktor penentu

pertumbuhan pohon pada ekosistem yang telah rusak, karena meskipun

kandungan haranya tinggi tetapi bersifat sementara (Eka, 2008)

Estimasi kandungan karbon yang tepat pada areal hutan, khususnya hutan

gambut, sangat dibutuhkan dalam berbagai aplikasi kehutanan dan hubungannya

dengan siklus global karbon. Brown dan Gaton

dalam

Salim (2005) menyatakan

bahwa stok karbon dapat diduga dari 45-50% biomassa tumbuhan.

1.2.

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menduga kandungan karbon tegakan

Akasia (

Acacia crassicarpa

Cunn Ex. Benth) dalam hutan tanaman pada petak

low stocking

dan

high stocking.

1.3.

Manfaat penelitian

Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan

informasi secara kuantitatif mengenai estimasi kandungan karbon tegakan Akasia

(16)

1.4.

Kerangka Pemikiran

Kerangka Pemikiran dari estimasi kandungan karbon tegakan Akasia

(

Acacia crassicarpa

Cunn Ex. Benth) dalam hutan tanaman dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran potensi kandungan karbon pada

tegaikan

tegakan Akasia (

Acacia crassicarpa

).

Pengelolaan tegakan Akasia

Potensi tegakan, serasah dan

tumbuhan bawah

Potensi tegakan, serasah dan

tumbuhan bawah

Pengikat karbon

Biomassa di atas permukaan tanah

Tegakan

high stocking

Tegakan

low stocking

Analisis jumlah karbon terikat

Perbandingan biomassa total

Lahan gambut

Kebakaran

hutan dan lahan

Perubahan iklim global

Aktivitas

manusia

Peningkatan

gas rumah kaca

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kebakaran Hutan dan Lahan

Brown dan Davis (1973) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu

proses pembakaran yang menyebar secara bebas dengan mengkonsumsi bahan

bakar alam yang terdapat dalam hutan misalnya serasah, rumput, ranting-ranting

kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan dan pohon-pohon segar lainnya.

Selanjutnya Clar dan Chatten (1945) mengatakan bahwa kebakaran dapat terjadi

bila terdapat tiga unsur sekaligus dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya

yang sering disebut dengan segitiga api atau

fire triangle

yaitu bahan bakar,

panas, dan oksigen yang digambarkan sebagai berikut:

Bahan bakar Panas

Oksigen

Gambar 2. Prinsip segitiga api (Brown dan Davis 1973)

Kebakaran hutan dapat menjalar baik secara vertikal maupun horizontal ke

semua arah (

free burning

) karena sifatnya yang tidak tertekan. Proses pembakaran

merupakan kebalikan dari proses fotosintesis (Brown dan Davis, 1973) yang dapat

dijelaskan secara reaksi kimia, sebagai berikut:

Proses fotosintesis:

6CO

2

+ 6H

2

O + energi matahari C

6

H

12

O

6

+ 6O

2

Proses pembakaran:

C

6

H

12

O

6

+ 6O

2

+ energi (api) 6CO

2

+ 6H

2

O + panas (energi)

Selama proses kebakaran dapat diperlihatkan lima fase pembakaran

(Debano

et al.

, 1998), yaitu:

a.

Fase pra pemanasan (

pre-ignition

)

Pada tahap ini bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai

mengalami pyrolisasi, yaitu terjadi pelepasan uap air, CO

2

, dan gas-gas mudah

terbakar termasuk metana, methanol dan hydrogen. Selulosa menunjukkan suhu

(18)

yang berkenaan dengan panas dicapai pada suhu 250

0

C (620

0

F). Pada suhu

tersebut partikel-partikel dengan cepat mengembangkan jumlahnya menjadi lebih

besar dan mudah terbakar. Dalam proses

pirolisis

ini reaksi berubah dari

exotermic

(memerlukan panas) menjadi

endothermic

(melepaskan panas).

b.

Fase penyalaan (

flaming combustion

)

Pirolisi

melaju dan mempercepat oksidasi dari gas-gas yang dapat

terbakar. Sebagaimana temperature dari bahan bakar terus meningkat, gas-gas

mudah menyala lebih cepat dihasilkan dan reaksi kimia benar-benar menjadi

proses eksotermik dan mencapai puncak pada suhu 320

0

C. Meskipun gas-gas

lebih mudah terbakar yang dihasilkan pada temperatur di atas 200

0

C, namun

gas-gas tersebut tidak akan menyala bahkan ketika bercampur dengan udara pada suhu

425-480

0

C. Suhu maksimum yang dapat dihasilkan dengan terbakarnya gas-gas

pada bahan bakar berkisar 1900

0

C dan 2200

0

C dengan status campuran udara dan

gas-gas ideal.

c.

Fase pembakaran (

smoldering

)

Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini, yaitu 1)

zona

pirolisis

dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan 2) zona arang

dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju pembakaran api

mulai menurun sekitar 3 cm/jam karena bahan bakar tidak dapat mensuplai

gas-gas yang dapat terbakar dalam konsentrasinya dan pada laju yang dibutuhkan

untuk pembakaran yang dasyat. Kemudian panas yang dilepaskan menurun dan

suhunya pun menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke

dalam asap. Proses ini bisa menaikkan temperatur tanah mineral di atas 300

0

C dan

pada suhu sekitar 600

0

C menyebabkan dekomposisi bahan organik dan kematian

organisme tanah.

d.

Fase penjalaran (

glowing

)

Fase ini merupakan fase terakhir dari proses

smoldering.

Pada fase ini

temperatur puncak dari pembakaran berkisar antara 300

0

C

600

0

C dan sedikit

atau tidak sama sekali menghasilkan asap. Bila suatu kebakaran mencapai fase

glowing,

sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan

oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang

(19)

e.

Fase pemadaman (

extinction

)

Status kebakaran akhirnya berhenti bila semua bahan bakar yang tersedia

telah dikonsumsi atau bila panas yang dihasilkan melalui oksidasi baik melalui

fase

smoldering

maupun

glowing

tidak cukup untuk menguapkan air yang

dibutuhkan berasal dari bahan bakar yang basah (kadar air tinggi).

Lebih lanjut Brown dan Davis (1973) mengelompokkan tipe-tipe

kebakaran hutan dan lahan menjadi tiga tipe kebakaran menurut sebaran vertikal,

yaitu:

1.

Kebakaran bawah (

ground fire

)

Kebakaran bawah membakar bahan bakar yang ada di bawah permukaan

dimana api membakar bahan-bahan organik yang menjadi lapisan tanah dan

menjalar dengan perlahan-lahan. Kebakaran ini tidak dipengaruhi oleh angin

karena lapisan bahan-bahan organik ini bersifat padat, tekstur halus dan tidak

dipengaruhi oleh oksigen. Penjalaran api dalam kebakaran bawah ini berjalan

lambat tetapi kontimu dan dapat bertahan dengan panas yang kuat dan tidak

menimbulkan api, sehingga sulit untuk dideteksi. Arah dari kebakaran ke segala

arah, sehingga kebakaran bawah mempunyai bentuk penjalaran yang melingkar

dan menimbulkan kerusakan beragam karena penjalaran tersebut. Tanda awal dari

terjadinya kebakaran bawah di dalam suatu kawasan adalah adanya asap (

smoke

)

putih yang keluar dari permukaan tanah, mengakibatkan akar-akar pohon hangus

terbakar dan mati. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran

permukaan.

2.

Kebakaran permukaan (

surface fire

)

Kebakaran yang terjadi di permukaan atau lantai hutan ini hanya

membakar bahan bakar seperti bahan bakar seperti serasah, rumput, log, dan

anakan (

seedling

) beserta komponen jaringan tanaman yang terdapat di lantai

hutan. Kebakaran ini paling sering terjadi karena kebakaran hutan terjadi dimulai

dari kebakaran permukaan. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih

tinggi dan penjalarannya dimulai dari permukaan lantai hutan. Kebakaran ini

dihasilkan oleh adanya pengaruh angin dimana permukaan mendapat suplai

oksigen yang banyak untuk proses pembakaran. Bentuk dari penjalaran api

(20)

angin maka akan menjalar dengan cepat sedangkan bila berlawanan dengan arah

angin penjalaran cenderung lambat. Kebakaran permukaan yang menjalar ke

tanaman pemanjat dapat menghubungkan sampai ke tajuk pohon dan

mengakibatkan kebakaran tajuk.

3.

Kebakaran tajuk (

crown fire

)

Kebakaran ini diawali dengan adanya kebakaran permukaan yang terus

menjalar menjadi kebakaran tajuk dimana api mengkonsumsi/membakar

tajuk-tajuk pohon, cadangan biji, ranting, dedaunan atau dari semak-semak dan

umumnya terjadi pada tegakan conifer. Kebakaran tajuk sangat dipengaruhi oleh

arah angin sehingga kebakaran ini sangat sulit ditanggulangi karena menjalarnya

api sangat cepat. Kebakaran tajuk biasanya terjadi dikarenakan adanya api loncat

(

spot fire

) menjalar dari pohon yang bertajuk lebih rendah, tajuk tumbuhan bawah,

tumbuhan epifit/liana atau semak belukar yang ditunjang dengan faktor angin.

2.2.

Kebakaran pada Hutan Gambut

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut mempunyai sumbangan

yang sangat besar terhadap terjadinya perubahan iklim global. Gas-gas yang

dihasilkan menimbulkan efek rumah kaca. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang

memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan

kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Gas yang mampu menyerap radiasi

tersebut antara lain CO

2

, CH

4

, N

2

O, CFC dan gas lainnya di atmosfer. Panas

yang ditimbulkan oleh radiasi tersebut menyebabkan pemanasan atmosfer (

global

warming

).

Kebakaran gambut berdampak buruk bagi lingkungan baik lokal, regional

maupun global seperti lingkungan fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi serta

kesehatan masyarakat. Kebakaran dalam skala besar mempunyai konsekuensi

yang besar bagi lingkungan baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena

asap bisa bergerak bebas melampaui batas-batas negara.

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut nomor 4

terbesar di dunia setelah Rusia, Kanada dan Amerika Serikat dengan luasan

(21)

Dalam membuka hutan gambut harus hati-hati karena sifat hutan gambut

yang sangat

fragile

(rapuh) dimana sekali dibuka akan merubah ekosistem dan

untuk mengembalikan ke ekosistem semula memakan waktu yang sangat lama,

karena ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang telah stabil sebagai

hasil dari interaksi ribuan tahun antara komponen biotik dan lingkungannya.

Kestabilan ini menghasilkan tata air yang seimbang dan mempertahankan

keberadaan flora dan faunanya. Dengan demikian pembukaan hutan gambut tidak

boleh sewenang-wenang. Pembukaan vegetasi penutup lahan gambut akan

mengakibatkan dipercepatnya proses dekomposisi, terjadinya subsidensi

(amblesan) dan akan mengubah ciri dari ekosistem hutan gambut.

Beberapa sifat fisik tanah dapat dan memang mengalami perubahan

karena gangguan seperti penggarapan tanah dan kebakaran lahan. Sifat fisik

tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu batuan induk, iklim, vegetasi,

topografi dan waktu (Hardjowigeno, 2003). Kondisi fisik tanah menentukan

penetrasi akar di dalam tanah, retensi air, drainase, aerasi dan nutrisi tanaman.

Sifat fisik tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman.

Setelah beberapa tahun tanah gambut bisa mengalami perubahan kelas karena

pematangan tanah lebih lanjut dan penurunan muka tanah atau

subsidence

.

2.3.

Karbon

Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik.

Pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi

melalui zat kimia lain. Karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis dan CO

2

dibebaskan bersama energi selama respirasi. Dalam siklus karbon, proses timbal

balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara

lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon

dalam bentuk CO

2

dari atmosfer melalui stomata daun dan menggabungkannya ke

dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis.

Umumnya karbon menyusun 45-50% dari biomassa tumbuhan sehingga

karbon dapat diduga dari setengah jumlah biomassa (Brown dan Gaton

dalam

Salim, 2005). Sejak kandungan karbon di atmosfer meningkat pesat, berbagai

(22)

Hutan mengandung biomassa dalam jumlah yang sangat besar, sehingga hutan

merupakan tempat cadangan karbon yang cukup penting. Selain itu karbon juga

tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang

jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah

(Whitmore, 1985

dalam

Hadi, 2007).

2.4.

Biomassa

Biomassa didefinisikan sebagai jumlah bahan total bahan organik hidup di

atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang, batang utama dan kulit

yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown, 1997).

Menurut Kusmana (1993), biomassa dapat dibedakan ke dalam dua

kategori yaitu, biomassa tumbuhan di atas permukaan tanah (

above ground

biomass

) dan biomassa di bawah permukaan tanah (

below ground biomass

).

Lebih jauh dikatakan biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur

organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi

sistem produksi, umur tegakan hutan dan distribusi organik.

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO

2

dari

udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses

fotosintesis. Laju pengikatan biomassa disebut produktivitas primer bruto. Hal ini

tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran,

suhu, dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa dari hasil respirasi yang

dilakukan tumbuhan disebut produktivitas primer bersih.

Biomassa hutan menyediakan penaksiran gudang karbon dalam tumbuhan

hutan karena sekitar 50 % nya adalah karbon. Karena itu, biomassa menunjukkan

jumlah potensial karbon yang dapat dilepas ke atmosfer sebagai karbon dioksida

ketika hutan ditebang dan atau dibakar. Sebaliknya, melalui penaksiran biomassa

dapat dilakukan perhitungan jumlah karbondioksida yang dapat dipindahkan dari

atmosfer dengan cara melakukan reboisasi atau dengan penanaman (Brown,

(23)

2.5.

Pendugaan dan Pengukuran Biomassa

Menurut Brown (1997) secara umum terdapat dua metode yang dapat

digunakan dalam pendugaan biomassa pohon, yaitu:

1. Penggunaan faktor konversi biomassa, atau yang dikenal sebagai

biomass

expansion factor

(BEF). Dalam metode ini biomassa pohon diperoleh dari hasil

konversi volume pohon ke dalam beratnya dengan menggunakan nilai

kerapatan kayu dan mengalikannya dengan nilai BEF.

2. Penerapan persamaan allometrik yang memungkinkan biomassa pohon diduga

secara langsung dari dimensi pohon yang mudah diukur, seperti diameter

batang dan tinggi pohon.

Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama dengan menggunakan

persamaan :

Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB x WD x BEF (Brown, 1989)

Volume Over Bark

(VOB) menyatakan volume batang bebas cabang

dengan kulit (m

3

/ha).

Wood Density

(WD) adalah kerapatan kayu (biomassa

kering oven (ton) dibagi volume biomassa inventarisasi (m

3

) dan

Biomass

Expansion Factor

(BEF) adalah perbandingan total biomassa pohon kering oven

di atas tanah dengan biomasssa kering oven hasil inventarisasi hutan.

Nilai dari BEF dirumuskan sebagai berikut (Brown, 1997):

dimana:

BEF

=

Biomass Expansion Factor

(mg/m

3

)

Wt

= total biomassa tegakan (mg/ha)

V

= volume tegakan (m

3

/ha)

Secara sederhana BEF didefinisikan sebagai rasio antara Biomassa

keseluruhan pohon dengan biomassa batang. BEF merupakan suatu nilai yang

tergantung pada ukuran dan umur pohon/tegakan. Untuk itu penggunaan BEF

untuk estimasi biomassa sebaiknya menggunakan BEF memperhatikan umur

tegakan dalam penyusunnya. Penggunaan BEF yang berupa nilai konstan pada

(24)

Pendugaan biomassa dengan pendekatan kedua menggunakan persamaan

regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon dengan persamaan :

Biomassa diatas tanah (Y) = aD

b

(Brown, 1989)

Dimana :

Y = biomassa pohon (kg)

D = diameter setinggi dada (130 cm), a dan b merupakan konstanta

Dasar dari persamaan regresi biomassa adalah hanya mendekati biomassa

rata-rata per pohon menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah

pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan (total) seluruh pohon untuk

kelas diameter.

2.6.

Model Pendugaan Biomassa dan Karbon

Model biomassa menyimulasikan penyerapan karbon melalui proses

fotosintesis dan kehilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih

akan disimpan dalam organ tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi dan model

biomassa dipresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter pohon.

Beberapa persamaan umum model penduga biomassa pohon yang telah

dipakai oleh beberapa peneliti antara lain:

W = aD

b

...(Brown, 1997)

W = a + bD + cD

2

...(Brown, 1997)

W = a(D

2

H)

b

...(Ogawa, 1965)

W = a + bD

2

H...(Brown, 1997)

2.7.

Hutan Tanaman Industri

Di dalam menentukan sistem silvikultur pembangunan hutan tanaman

industri harus mempertimbangkan berbagai hal, yaitu:

-

Peraturan ditetapkan oleh pemerintah.

-

Tujuan pembangunan hutan tanaman yaitu untuk menghasilkan kayu

sebagai bahan baku yang memenuhi persyaratan industri pulp

-

Jenis tanaman yang dipilih, pada saat ini, yang ditetapkan perusahaan

(25)

-

Kondisi lahan hutan tanaman, terutama yang menyangkut poteni/daya

dukung lahan serta tingkat kesesuaiannya terhadap penerapan uatu sistem

silvikultur hutan tanaman. Dalam hal ini yang diperhatikan anatara lain

tipe kelas lahan, tinkat kesuburan, kondisi fisiogeografi, hidrologi dan

jenis tanah.

-

Ketersediaan sumber daya manusia, sarana, dan teknologi pendukung.

Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 88/Kpts-II/1996, sistem

silvikultur yang dilaksanakan adalah tebang habis dengan permudaan buatan

(THPB), disesuaikan dengan tujuan perusahaan, jenis tanaman pokok dan, rotasi

tebangan, potensi (

standing stock

) dan pertumbuhan volume riap (

volume growth

increment

).

Adapun kondisi lahan dan ketersediaan sarana/teknologi merupakan

faktor-faktor yang berpengaruh yang dapat menghambat/memperlancar

pelaksanaan sistem silvikulturnya. Kondisi edafis areal kerja sebagian besar

adalah hutan rawa gambut (

peat

). Sehingga sistem silvikultur THPB juga harus

disesuaikan dengan kondisi tersebut.

Pada daerah

peat

tantangan utama yang dihadapi adalah menciptakan

suatu sistem untuk mengatur keseimbangan tinggi muka air tanah (

water level

)

agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan memiliki sistem perakaran yang

maksimal. Teknik tersebut dikenal dengan

Water Management System

melalui

pembuatan zona-zona air melalui kanalisasi. Tantangan lain adalah kondisi tanah

yang cenderung masam dan memiliki tingkat kesuburan rendah.

Tujuan utama pembangunan hutan tanaman adalah untuk menghasilkan

kayu sebagai bahan baku industri pulp. Kayu yang sesuai sebagai bahan baku pulp

mempunyai persyaratan sebagai berikut:

a.

Pertumbuhan cepat, kulminasi riap pada umur muda, batang relatif lurus,

dapat ditanam dengan mudah dan murah.

b.

Mempunyai kadar selulosa tinggi, berserat panjang, mempunyai kadar

lignin rendah, warna cerah dan zat ekstraktif rendah.

Berdasarkan hal tersebut maka jenis tanaman disesuaikan dengan daya

(26)

maka ditetapkan kebijakan pemilihan jenis tanaman sebagai berikut:

a.

Tanaman pokok adalah

Acacia crassicarpa

dan

Acacia mangium

.

Pemilihan ini berdasarkan hasil percobaan dan pengalaman, penanaman

kedua jenis tersebut memperlihatkan pertumbuhan yang memuaskan dan

cukup resisten terhadap lahan yang tingkat keasamannya tinggi. Jarak

tanam yang ditentukan adalah 3m x 2m.

b.

Tanaman unggulan adalah Meranti (

Shorea

sp.) dan Bintangur

(

Calophyllum

sp.) dengan jarak tanaman 4m x 4m. Meranti merupakan

pohon yang kayunya dapat digunakan sebagai baahan baku industri pulp,

sedangkan bintangur merupakan tumbuhan bergetah yang bijinya dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku biofuel. Menurut Dr.Soebagus (Fakultas

Farmasi UGM) terdapat tiga jenis bintangur yang mempunyai khasiat,

yaitu

Calophyllum lanigerum

(berkhasiat sebagai anti virus HIV) serta

Calophyllum cannum

dan

Calophyllum dioscorii

(keduanya berkhasiat

untuk anti kanker).

c.

Tanaman kehidupan adalah

Acacia crassicarpa

dan

Acacia mangium

ditanam dengan jarak tanam 4m x 4m. Jenis ini ditanam untuk tujuan

peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan ketentuan Peraturan

Menteri No.41 tanaman kehidupan dapat berupa tanaman pokok yang

menghasilkan hasil hutan kayu.

2.8.

Tinjauan Umum Akasia (Acacia crassicarpa

Cunn Ex. Benth)

Akasia adalah genus dari semak-semak dan pohon yang termasuk dalam

subfamili Mimosoideae dari famili Fabaceae, pertama kali diidentifikasi di Afrika

oleh ahli botani Swedia Carl Linnaeus tahun 1773. Banyak spesies Akasia

non-Australia yang cenderung berduri sedangkan mayoritas Akasia non-Australia tidak.

Akasia adalah tumbuhan polong dengan getah dan daun yang biasanya

mempunyai bantalan tanin dalam jumlah besar. Nama akasia berasal dari

akakia

,

nama yang diberikan oleh dokter ahli botani Yunani awal Pedanius Dioscorides

(27)

Akasia yang berduri (

akis

berarti duri). Nama spesies

nilotica

diberikan oleh

Linnaeus dari jajaran pohon Akasia yang paling terkenal di sepanjang sungai Nil

(Clement, 1998).

Akasia juga dikenal sebagai pohon duri, dalam bahasa Inggris disebut

whistling thorns

(duri bersiul) atau

wattles

atau

yellow-fever acacia

(akasia

demam kuning) dan

umbrella acacias

(akasia payung). Sampai dengan tahun

2005, diperkirakan ada sekitar 1.300 spesies akasia di seluruh dunia. Sekitar 960

di antaranya adalah flora asli Australia, sedangkan sisanya tersebar di daerah

tropis ke daerah hangat hingga beriklim sedang dari kedua belahan bumi,

termasuk Eropa, Afrika, Asia selatan, dan Amerika . Genus ini kemudian dibagi

menjadi lima dengan nama

Acacia

hanya digunakan untuk spesies Australia dan

sebagian besar spesies di luar Australia dibagi menjadi

Vachellia

dan

Senegalia

(Clement, 1998).

Klasifikasi ilmiah Akasia

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Subfamili : Mimosoideae

Bangsa : Acacieae

Genus

: Acacia

Spesies

: Sekitar 1.300 spesies

Jenis-jenis spesies akasia yang khas sebarannya di dunia di antaranya

(28)

Acacia schinoides

di Kebun Raya Nasional Australia

, Acacia tetragonophylla

di

Geelong Botanic Gardens, Victoria, Australia

, Acacia pennata, Acacia pennata

di

hutan Talakona, India,

Acacia pycnantha, Acacia rigidula, Acacia tortuosa

(Clement, 1998).

Acacia crassicarpa

Cunn Ex. Benth merupakan salah satu tanaman dari

famili Leguminaceae, subfamili Mimosoideae. Jenis ini umumnya dikenal dengan

nama

Northern Wattle

(Australia) atau

Red Wattle

Papua New Guinea).

Acacia

crassicarpa

tumbuh di sepanjang pesisir utara dan daerah pedalaman Queensland.

Menyebar luas di bagian baret Papua New Guinea dan di perbatasan Irian Jaya

(Turnbull, 1986)

Acacia crassicarpa

dapat tumbuh pada jenis tanah yang bervariasi,

mengandung kadar garam tidak subur, mempunyai drainase tidak sempurna yang

tergenang pada saat musim hujan dan kering pada musim kemarau serta

merupakan tanaman yang cukup mudah beradaptasi dengan lingkungan. Banyak

dijumpai di daerah beriklim humid dan subhumid yang mempunyai suhu

maksimum rata-rata pada musim panas sebesar 32-34°C, suhu minimum rata-rata

pada musim dingin sebesar 12-21°C dan suhu harian maksimum mencapai 32°C

(Turnbull, 1986).

Acacia crassicarpa

termasuk jenis dengan daya adaptasi dan toleransi tinggi

tehadap kondisi lingkungan yang buruk. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah dengan

drainase buruk atau tergenang, tanah berlumpur, tanah terdegradasi, tanah

berpasir, toleran terhadap kandungan garam yang agak tinggi dalam tanah

(Turnbull, 1986). Kemampuan tumbuh yang baik pada berbagai termpat tumbuh,

tipe dan kondisi tanah yang buruk menyebabkan jenis ini banyak dipilih untuk

rehabilitasi lahan kritis dan konservasi tanah.

Acacia crassicarpa

termasuk jenis

yang tahan terhadap kekeringan, oleh karena itu jenis ini memiliki nilai penting di

daerah semi arid dan arid.

Acacia crassicarpa

mempunyai tinggi berkisar 10-20 m, dan kadang-kadang

dapat mencapai 30 m pada kondisi yang cocok. Batang tanaman ini mempunyai

kulit berwarna coklat gelap keabuan keras dan mempunyai alur-alur vertikal yang

tajam. Bagian dalam kulit berserat dan berwarna merah dengan diameter batang

(29)

dan mempunyai 3-7 tulang daun yang menonjol berwarna kekuning-kuningan.

Berbunga majemuk yang terdiri dari sumbu sentral dengan bunga-bunga duduk.

Berwarna kuning terang, panjang 4-7 cm, tangkai yang menopang anak daun

yang tebal, berkelamin ganda, panjang benang sari 2-3 mm, dengan ovari pendek

(Turnbull, 1986).

Acacia crassicarpa

dapat digunakan sebagai pelindung tanah dalam

mencegah erosi. Kayunya dapat digunakan untuk kayu energi, baik kayu bakar

maupun pembuatan arang dan untuk konstruksi berat , meubel, bahan baku

pembuatan kapal, lantai, veneer, dan pulp. Selain itu dapat digunakan untuk

mengontrol pertumbuhan gulma dan sebagai spesies yang efektif untuk

rehabilitasi lahan yang banyak ditumbuh oleh

Imperata cylindrica

(Turnbull,

1986).

2.9.

Tegakan

Low stocking

dan

high stocking

Berdasarkan

personal

communication

dengan

pihak

Planning

Management Departement

(PMD) PT. SBA Wood Industries, belum dilakukan

penetapan nilai pasti dari suatu petak yang termasuk klasifikasi

low stocking

maupun

high stocking.

Namun demikian berdasarkan dokumentasi laporan hasil

panen diketahui rata-rata volume setiap tegakan adalah sebesar 130m

3

/ha. Oleh

karena itu diasumsikan bahwa tegakan yang termasuk

low stocking

adalah tegakan

dengan volume per hektar kurang dari setengah volume rata-rata hasil panen

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di areal lahan gambut IUPHHK-HT PT. SBA

Wood Industries. Areal yang dipilih adalah hutan tanaman

Acacia crassicarpa

pada petak

low stocking

dan

high stocking

. Penelitian ini dilakukan pada bulan

April hingga Mei 2011.

3.2.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hutan tanaman

Acacia crassicarpa

berumur 3 tahun masing-masing pada petak

low stocking

dan

high stocking

.

Alat-alat yang digunakan adalah kompas, pita meter, patok, alat pengukur

tinggi (haga), pita meter, kertas label, tali rafia, kantong plastik, golok, timbangan,

oven, kamera, alat tulis, koran dan

tally sheet

.

3.3.

Metode Pengambilan Data

Jenis-jenis data yang digunakan untuk kegiatan penelitian dibagi 2, yaitu:

1. Data Primer

: Tinggi total pohon, diameter pohon 1,3 m dari atas tanah,

berat basah dan berat kering tumbuhan bawah serta

serasah pada setiap areal penelitian, serta kedalaman

lapisan gambut.

2. Data Sekunder: Kondisi umum wilayah, data iklim (curah hujan, suhu,

kelembaban), jenis tanah, vegetasi, peta lahan atau

penyebaran petak, peta luasan tanaman PT. SBA Wood

Industries.

3.4.

Prosedur Penelitian

a.

Penentuan petak penelitian

Petak pengamatan yang digunakan dalam penelitian adalah areal hutan

(31)

stocking

dan

high stocking

. Penempatan petak contoh di lapangan dilakukan

secara

Random Sampling

. Pada masing-masing umur tegakan dibuat 5 petak

contoh berukuran 20 m x 20 m. Di dalam petak contoh tersebut dibangun 4

subplot berukuran 2 m x 2 m pada setiap sudut untuk analisis vegetasi tumbuhan

bawah dan serasah.

Desain petak penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

20m

20 m

20 m

2

2 m

2 m

keterangan:

n = petak contoh pengukuran d & t pohon

a = subplot pengambilan tumbuhan bawah & serasah

Gambar 3. Desain petak penelitian untuk analisis vegetasi berupa pohon

(20m x 20 m) dan serasah/tumbuhan bawah (2mx 2m)

b.

Pengukuran tinggi total dan diameter pohon

Setiap pohon pada masing-masing tegakan

Acacia crassicarpa

di petak

low stocking

dan

high stocking

diukur tinggi total dan diameternya pada 1,3 m di

atas permukaan tanah.

c.

Pengambilan contoh serasah dan tumbuhan bawah

Semua serasah dan tumbuhan bawah di atas permukaan tanah yang

terletak di dalam petak contoh ukuran 2 m x 2 m diambil secara destruktif dan

ditimbang berat basahnya. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang

berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma.

n

a a

(32)

Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian

tanaman (Hairiah dan Rahayu, 2007). Sebelum penimbangan berat basah di

lapangan, terlebih dahulu dilakukan pemisahan bagian tumbuhan bawah.

3.5.

Analisis Data

Setelah pengambilan data di lapangan kemudian dilakukan analisis data

hasil pengukuran untuk mengetahui :

1. Karbon dan Biomassa

a. Pendugaan Kadar Air

Data primer tumbuhan bawah dan serasah yang diperoleh dihitung berat

basahnya kemudian dikeringtanurkan untuk mengetahui berat keringnya. Untuk

itu dilakukan pengovenan pada suhu 105° C selama 48 jam.

Menurut Haygreen dan Bower (1989) kadar air dihitung dengan

menggunakan rumus :

% KA =

BBc

BKc x 100%

BKc

Keterangan

:

% KA = persen kadar air

BKc

= berat kering contoh

BBc

= berat basah contoh

b. Menghitung Berat Kering

Penentuan berat kering tumbuhan bawah dan serasah diketahui setelah

pengovenan. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) apabila berat basah diketahui

dan kandungan air telah diperoleh dari contoh uji kecil maka berat kering dari

masing-masing sampel dapat dihitung dengan rumus :

BKT

=

BB

x 100%

1+ % KA

100

Keterangan

:

BKT

= berat kering tanur

BB

= berat basah

(33)

Berat kering yang dihasilkan setelah pengovenan dinyatakan dalam satuan

gram yang kemudian dikonversi ke kilogram per hektar untuk mengetahui

biomassa tumbuhan bawah dan serasah yang terdapat pada masing-masing areal.

c. Pendugaan Biomassa Tegakan Akasia

Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari

pohon yaitu pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas

cabang yang kemudian diubah menjadi jumlah biomassa (ton/ha), sedangkan yang

kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa.

Dalam prakteknya metode kedua lebih sering digunakan dibanding metode

pertama karena dapat memberikan nilai dugaan biomassa dari

komponen-komponen pohon (misalnya batang, cabang, ranting, tajuk dan daun) secara

langsung berdasarkan data diameter dan/atau tinggi pohon. Selain itu pendugaan

biomassa dengan cara ini dapat memberikan hasil dugaan yang akurasinya dapat

diuji dan dipertanggungjawabkan.

Bersarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Departemen

Kehutanan Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang,

pendugaan volume pohon berdiri pada tegakan

Acacia crassicarpa

dengan kulit

dapat diperoleh dengan dua pendekatan antara lain:

1.

Persamaan regresi model penduga volume pohon dengan kulit

Persamaan regresi yang terbentuk dalam menyusun model penduga

volume pohon dengan kulit sebagai berikut:

Vdk = 0.0000741D

1,96

H

0,780

Keterangan:

Vdk

: volume pohon dengan kulit (m

3

)

D

: diameter setinggi dada/Dbh (cm)

(34)

2.

Angka bentuk batang pada pohon dengan kulit

Analisis data pohon sampel/pohon model dengan kulit sebanyak 83 pohon

menghasilkan angka bentuk sebesar 0,45. Angka bentuk batang ini sebagai faktor

pengali volume pohon silinder dengan kulit pohon berdiri.

Model hubungan antara biomassa pohon dengan variabel bebasnya

(D & H) dilakukan dengan menggunakan Minitab

for Windows Release

14, SAS

9.1.3 dan

Microsoft Office Excel

. Dasar dari persamaan regresi biomassa adalah

biomassa dan kandungan karbon beberapa bagian pohon (batang, cabang, ranting

dan daun), diameter dan tinggi pohon.

Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa untuk menduga

kandungan biomassa dan karbon bisa digunakan persamaan linier dan nonlinear.

Model persamaan yang digunakan adalah model yang terdiri dari satu peubah

bebas W = aD

b

atau W = a + bD + cD

2

dan model yang terdiri dari dua peubah

bebas W = a(D

2

H)

b

atau W = a + bD

2

H. Dimana W adalah biomassa, D adalah

diameter, H adalah tinggi total pohon, dan a, b adalah konstanta. Keempat model

tersebut digunakan untuk menduga hubungan antara biomassa dan karbon dengan

diameter dan tinggi total pohon pada masing-masing tegakan.

Biomassa tegakan per hektar didapat dari modifikasi mengenai pendugaan

dan pengukuran biomassa, yaitu dicari dari volume rata-rata per hektar dan

kerapatan kayunya (Irawan, 2009).

Yn = volume rata-rata per ha x berat jenis

Besarnya taraf nyata yang ditetapkan dalam pengujian adalah 5 %.

d. Pendugaan Potensi Simpanan Karbon Tegakan Akasia

Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon pada vegetasi

hutan, oleh karena 50% dari biomassa adalah karbon (Brown & Gaston, 1996).

Potensi karbon yang tersimpan (Brown, 1997) dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut :

C

=

Yn x 0,5

Keterangan

:

C

= potensi karbon (ton/ha)

Yn

= biomassa tegakan per hektar (ton/ha)

(35)

3.6.

...

Hipotesis

Terdapat hubungan signifikan yang berbanding lurus antara biomassa

tegakan

Acacia crassicarpa

dengan potensi karbon yang terkandung di

dalamnya, sehingga perlu dilakukan estimasi kandungan karbon yang tepat pada

petak

low stocking

dan

high stocking

dengan kemampuan tumbuhnya yang

berbeda. Hipotesis yang diuji adalah pengaruh faktor vegetasi pada hutan, yaitu:

(36)

BAB VI

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1.

Identitas Perusahaan

PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (PT SBA WI) merupakan

perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan, bagian dari

group

perusahaan

Sinar Mas Forestry yang berada di

region

Palembang.

Region

perusahaan sejenis

Sinar Mas Forestry Group lainnya berada di Jambi, Riau, Kalimantan Barat dan

Kalimantan Timur. Produk atau komoditas yang dikembangkan adalah Hutan

Tanaman Industri untuk kebutuhan industri

pulp and paper

. Jenis tanaman yang

banyak dikembangkan adalah

Acacia crassicarpa

,

Acacia mangium

dan

Eucalyptus pellita.

Beberapa tanaman unggulan maupun tanaman kehidupan juga

tersedia dan diperuntukkan bagi masyarakat sekitar hutan.

Head quarter

yang merupakan pusat semua distrik terletak di Sungai

Baung dan masuk kawasan

west

area. Sedangkan semua distrik di PT. SBAWI

(Distrik Teluk Pulai, Distrik Teluk Daun, Distrik Lebong Hitam, Distrik Sungai

Riding, Distrik Sungai Lumpur) terletak di wilayah

east

area.

4.2.

Letak, Luas dan Batas Areal Kerja

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor: 125/Kpts-II/1998 (izin

definitif) PT. SBA Wood Industries memperoleh IUPHHK-HT untuk areal seluas

40.000 Ha di dalam kawasan HPH PT SBA WI. Selanjutnya PT SBA WI

mendapatkan izin perluasan areal sebesar 102.335 ha. Sehingga menurut Revisi

Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri

untuk Jangka Waktu 10 (sepuluh) Tahun Periode Tahun 2009 s/d 2018 keputusan

IUPHHK HTI Nomor: SK.347/Menhut-II/2004 tanggal 10 September 2004, luas

PT SBA WI adalah 142.355 Ha. Terbagi dalam 5 distrik dengan luas

masing-masing yaitu, Distrik Teluk Pulai 25.248,88 Ha, Distrik Teluk Daun 17.512,26 ha,

Distrik Lebong Hitam 38.283,34 ha, Distrik Sungai Riding 32.442,16 ha dan

(37)

Batas astronomis 105

0

34’

-105

0

56 BT dan 2

0

48’

-3

0

21’ LS. Secara

administrasi pemerintahan perusahaan terletak pada Kec. Tulung Selapan,

Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Propinsi Sumatera Selatan, sedangkan

secara admnistrasi pemangkuan termasuk pada Dinas Kehutanan Propinsi

Sumatera Selatan, CDK/KPH Ogan Komering illir BKPH Tulung Selapan, RPH

Sungai Lumpur. Adapun batas areal kerja perusahaan PT. SBA Wood Industries:

Sebelah Utara

: PT. Bumi Andalas Permai (BAP) dan ± 2 km dari arah

laut (Selat Bangka)

Sebelah Selatan

: Sungai Lebong Hitam

Sebelah Timur

: PT. Bumi Andalas Permai

Sebelah Barat

: Sungai Lebong Hitam dan Desa Lubuk Tapa,

berbatasan dengan PT. Bumi Mekar Hijau dan PT.

Bumi Andalas Permai.

4.3.

Iklim dan Hidrologi

Menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kondisi iklim yang

dimiliki kawasan ini bertipe B dengan Q=14,3-33,3, sedangkan menurut sistem

klasifikasi iklim Koppen termasuk tipe Af/Cf.

Rataan curah hujan bulanan

mencapai 2380 mm dengan jumlah hari hujan 144 hari dengan pola curah hujan

monsoonal. Curah hujan tertinggi pada bulan desember sekitar 343 mm,

sedangkan terendah pada bulan Juli sekitar 116 mm dan memiliki ciri bulan

kering yang jelas. Suhu rata-rata harian 26

0

-27

0

C dengan suhu udara rata-rata

maksimum berkisar 32

0

C- 33

0

C dan suhu udara minimum berkisar 22

0

C - 23

0

C.

Kelembaban nisbi udara rata-rata tergolong besar, yaitu mencapai 86 - 91%. Suhu

udara yang cukup tinggi ini disebabkan oleh intensifnya radiasi matahari dan

kondisi lahan yang tidak berhutan lagi dengan penutupan lahan sebagian besar

berupa semak belukar akibat terjadinya kebakaran tahun 1997

1998.

Areal konsesi yang dikelola mempunyai dua tipologi hidrologis, yaitu tipe

rawa lebak yang air genangannya berasal dari air hujan dan limpasan air dari

beberapa anak sungai serta tidak dipengaruhi pasang surut air laut serta tipe rawa

pasang-surut yang airnya bersumber dari air hujan dan limpasan air sungai yang

(38)

laut ini mencapai kawasan sejauh 2 sampai 10 km dari laut, seperti daerah aliran

Sungai Sugihan, Sungai Batang, Sungai Pedada dan Sungai Riding atau Kuala

Dua Belas, yang terletak di bagian utara sampai selatan areal konsesi. Namun

areal kerja PT. SBA WI sebenarnya terletak dalam 7 DAS, yaitu DAS Batang,

DAS Koyan, DAS Lumpur, DAS Pulau Dalem, DAS Riding, DAS Teluk Daun,

DAS Teluk Pulai.

4.4.

Topografi, Geologi dan Tanah

Kondisi alami areal pengelolaan PT SBA WI merupakan kawasan pasang

surut yang memiliki topografi datar (kelerengan 0-8 %), sebagian areal yang

berhubungan dengan bibir pantai berupa lahan basah dan sebagian lagi berupa

tanah kering. Terletak pada ketinggian antara 0

18 m dpl yang secara keseluruhan

merupakan areal rawa gambut dengan kemiringan lereng 0-3 %. Tanah mineral di

areal PT.SBA WI mempunyai bahan induk pasir halus dan lempung setempat

yang membentuk tiga group formasi geologi yaitu marin, endapan rawa (

swamp

deposit

), dan aluvial. Di atas formasi ini terbentuk tanah gambut dengan berbagai

ketebalan.

Berdasarkan revisi RK UPHHK HTI Jangka Waktu 10 Tahun (periode

2009-2018) PT. SBA WI, jenis tanah hasil pengamatan di lapangan terdiri dari

jenis organosol, gleysol, alluvial, podsolik, dengan pH tanah (4-6). Terdiri dari

grup kubah gambut 47,02%, grup aluvial 27,26%, grup marin 24,15%, grup

[image:38.612.110.511.532.703.2]

dataran 1,57%.

Tabel 1. Jenis tanah pada areal kerja PT. SBA Wood Industries

No.

Jenis Tanah

Luas (ha)

%

1.

Gleisol Hidrik (Hydraquents)

Gleisol Distrik (Tropaquepts)

41,637.4

25,618.3

29.67

18.26

2.

Aluvial Distrik (Fluvaquents)

5,022.3

3.58

3.

Organosol Saprik (Tropasaprist)

Organosol Hemik (Tropohemist)

Organosol Hemik (Sulfihemist)

48,627.3

10,813.2

6,539.3

34.66

7.71

4.66

4.

Podsolik Merah Kuning (Kanhapludults)

2,058.9

1.47

(39)

Berdasarkan revisi RK UPHHK HTI Jangka Waktu 10 Tahun (periode

2009-2018) PT. SBA WI, pengukuran yang dilakukan oleh tim analisis kesuburan

tanah UNSRI, menunjukkan bahwa kedalaman air tanah bervariasi antara 15-150

cm. Bahan gambut mempunyai warna antara cokelat kekuningan gelap

(10YR3/6), kelabu sangat gelap (10YR3/1) yang berarti bahwa bahan ini sebagian

besar mempunyai taraf dekomposisi hemik, sedikit saprik, dan sedikit fibrik.

Tanah mineral umumnya mempunyai warna gley yaitu antara kelabu

(N/G)-kelabu kehijauan (5G5/1) tanpa warna karatan yang berarti bahwa tanah ini selalu

jenuh air dan berdrainase/aerasi buruk.

Berdasarkan revisi RK UPHHK HTI Jangka Waktu 10 Tahun (periode

2009-2018) PT. SBA WI, pengamatan yang dilakukan oleh tim analisis kesuburan

tanah UNSRI, tanah di areal ini selalu jenuh air tergenang sepanjang tahun,

penurunan kedalaman air tanah hanya terjadi dimusin kemarau, yaitu antara awal

bulan juni-akhir bulan Juli (2 bulan). Pada musim hujan kenaikan air tanah

bervariasi antara 0,5-1,0 m tergantung tinggi muka permukaan laut. Kondisi ini

umumnya kembali seperti semula setelah kurang dari 10 jam. Ini berarti areal ini

mempunyai sistem drainase yang buruk

agak buruk dengan permeabilitas

lambat dan agak lambat. Dilihat dari sifat fisik air, suhu air di sungai berkisar

23,0-31,5

0

C. Nilai padatan tersuspensi berkisar 2-77 mg/l dan warna air pada

semua sungai berwarna cokelat dan tidak berbau. Sedangkan sifat kimia air nilai

pH berkisar 4,3

7,0 (tergolong tanah masam sampai normal), kandungan O

2

terlarut di dalam air berada dalam kisaran 3,28

3,84 mg/l dan kandungan CO

2

bebas di air di wilayah studi berkisar 10,99

32,92 mg/l.

Faktor lingkungan tanaman adalah seluruh faktor di luar tanaman yang

diusahakan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Di antaranya faktor

lingkungan tanaman adalah faktor tanah dan air. Tanah memiliki sifat fisika

seperti struktur, permeabilitas, poroisitas dan ketebalan gambut. Sifat kimia tanah

bersifat dinamis yang mudah dipengaruhi oleh faktor pengelolaan tanah sehingga

dapat dijadikan indikator pemantauan lingkungan (Hillel, 1982; Evangelou,

(40)

4.5.

Keadaaan Hutan

Areal Hutan Tanaman PT. SBA Wood Industries pada awalnya merupakan

areal HPH PT. INWIHCO yang masa pengelolaannya berakhir pada tahun 1991

dan tidak diperpanjang lagi oleh pemerintah. Sehubungan SK HPH PT.

INWIHCO dicabut pada tahun 1991, selanjutnya sejak 1992 pengelolaan areal

dipercayakan kepada PT. SBA Wood Industries berdasarkan Keputusan Menteri

Kehutanan No. 253/Kpts-II/1998 tanggal 15 Juli 1992 dengan luas 134.200 Ha.

Areal tersebut mengalami dua kali bencana kebakaran yaitu pada tahun 1992/1992

dan pada tahun 1997/1998 sehingga menyebabkan kondisi hutan rusak dan tidak

produktif. Mempertimbangkan kondisi areal yang demikian maka pemerintah

mengambil kebijakan untuk mengelola hutan dengan sistem hutan tanaman.

Berdasarkan revisi RK UPHHK HTI Jangka Waktu 10 Tahun (periode

2009-2018) PT. SBA WI, keadaan hutan di wilayah ini terbagi menjadi sebagai berikut:

a. Tumbuhan yang dipertahankan sebagai hutan alam

Struktur/tegakan hutan terdiri dari jenis-jenis tumbuhan seperti ramin,

terentang, katio, simpur, milas, dan lain-lain. Jenis dominan juga terdiri dari jenis

ramin, terentang, katio simpur dan milas. Tumbuhan jenis malam-malam memiliki

INP terbesar dari jenis lainnya untuk setiap tingkat pertumbuhan. Nilai indeks

keragaman jenis (H’) untu

k berbagai jenis tingkat semai (2,04), pancang (1,44),

tiang (1,5) dan pohon (2,55). Jenis yang dilindungi di areal ini adalah jelutung

(

Dyera lowii

). Adapun jenis-jenis pohon y

Gambar

Gambar 1.Lahan gambut
Gambar 2. Prinsip segitiga api (Brown dan Davis 1973)
Tabel 1. Jenis tanah pada areal kerja PT. SBA Wood Industries
Tabel 2. Jalan negara, sungai, angkutan udara dan komunikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan bantuan sofware SPSS, maka diperoleh nilai signifikansi uji multikolinearitas untuk semua variabel penelitian yang dapat dilihat pada tabel

Mekanisme yang digunakan adalah forward chaining , sehingga proses deteksi dimulai dari input user tentang gejala penyakit yang dialami, untuk kemudian dihitung

LAMMPS Piranti ini merupakan komponen utama dalam menjalankan simulasi adsorpsi hidrogen terhadap CNT, karena piranti ini dapat membuat sebuah sistem pemodelan dari bermacam –

Sistem yang dirancang adalah sistem layanan pemesanan dan antrian pada dapur restoran, dimana customer yang datang dapat melakukan pemesanan melalui PC yang

UPT dan Perangkat Daerah yang berbentuk Rumah Sakit yang sudah dibentuk tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan ditetapkannya Peraturan Walikota tentang

Sehingga dapat disimpulkan bahwa umbi gembili layak dijadikan beras analog karena memiliki kandungan karbohidrat yang hampir sama dengan karbohidrat pada beras yang berasal

TF menceritakan bahwa proses penentuan kepala madrasah di Kemenag Kabupaten Jombang menggu- nakan kriteria PDLT yaitu Prestasi Dedikasi (punya kemampuan dan keinginan

berupa video pembelajaran terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kelas VIII di MTs Negeri 2 Kota Blitar. Tidak ada pengaruh yang