• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGEBOMAN IKAN DI PULAU KODINGARENG (Studi Kasus Putusan NO. 1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGEBOMAN IKAN DI PULAU KODINGARENG (Studi Kasus Putusan NO. 1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS)"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGEBOMAN IKAN DI PULAU KODINGARENG (Studi Kasus

Putusan NO. 1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS)

Oleh :

MUH. DINHUL FAQHI S 4516060120

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bosowa

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA

MAKASSAR 2020

(2)
(3)
(4)
(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN PROPOSAL ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian. ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian. ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Tindak Pidana ... 6

2.2 Unsur-unsur Tindak Pidana ... 7

2.3 Tindak Pidana Perikanan ... 9

2.3 Pengertian Tindak Pidana Perikanan ... 9

2.5 Jenis dan sifat Hukum Pidana Perikanan. ... 27

2.2 Penyidikan dan Pembuktian Tindak Pidana Perikanan ... 28

2.3 Penyidikan. ... 28

2.4 Pembuktian ... 35

2.5 Perlindungan Sumber Daya Ikan ... 41

(6)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian ... 49

3.2 Tipe Penelitian ... 49

3.3 Jenis Data dan Sumber ... 49

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.5 Analisis Data ... 50

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Penerapan Pasal 84 Ayat (1) UU Perikanan Tahun 2009 Dalam Putusan Pengadilan NO.1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS ... 51

4.2 Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan NO.1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS ... 58

BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(7)

PERSETUJUAN PEMBIMBING Usulan Ujian Skripsi Mahasiswa

Nama : MUH. DINHUL FAQHI S

NIM 4516060120

Program Studi : Ilmu Hukum

Minat : Hukum Pidana

No. Pend. Judul :

Tanggal Pend. Judul :

Judul Skripsi :”TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK

PIDANA PENGEBOMAN IKAN DI PULAU KODINGARENG (STUDI KASUS PUTUSAN NO.

1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS) “

Telah mendapat persetujuan dan kesediaan dari dosen pembimbing untuk dimajukan dalam ujian Skripsi mahasiswa program studi strata I (SI) Fakultas Hukum, Universitas Bosowa

Makassar, Desember2020 Disetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Yulia A. Hasan, S.H., M.H. Dr. Basri Oner, S.H., M.H.

Mengetahui :

Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa

Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H.

(8)

ABSTRAK

Muh Dinhul Faqhi S,2020 “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pengeboman Ikan Di Pulau Kodingareng ( Studi Kasus Pada Putusan NO.1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS)” dibimbing oleh Yulia A.Hasan sebagai pembimbing I dan Basri Oner selaku pembimbing II

Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui penerapan UU Pasal 84 ayat 1 UU Perikanan tahun 2009 pada putusan no 1640 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengeboman ikan di pulau Kodingareng

Penelitian ini dilaksanakan dalam Wilayah Kota Makassar Sulawesi Selatan yaitu pada Pengadilan Negeri Makassar dan di Pulau Kodingareng . Penulis memperoleh data dengan menganalisis kasus putusan dan mengambil data dari kepustakaan relevan yaitu literatur, buku-buku serta peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah tersebut, serta mengambil data secara langsung dari sebuah putusan pengadilan

Dari penelitian yang dilakukan penulis diperoleh kesimpulan bahwa

1. Penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana perikanan dalam putusan NO.1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS telah sesuai memenuhi unsur pidana tentang perikanan yang diatur dalam Pasal 84 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ; UU nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Berdasarkan pada posisi kasus dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum 2. Pertimbangan dalam menjatuhkan putusan NO.1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS adalah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana perikanan yang diatur dalam Pasal 84 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ; UU nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh pada persidangan terkait pada penggunaan alat pemboman ikan oleh ara Terdakwa. Berdasarkan dakwaan alternatif oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa, Majelis Hakim memilih Pasal yang paling tepat dan dianggap dapat dibuktikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan.

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Laut begitu besar artinya bagi negara karena dapat dijadikan sebagai wilayah negara khususnya wilayah perairan nasional, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, sebagai objek wisata dan sumber kekayaan alamnya dapat dijadikan sebagai pendapatan negara.

Kebutuhan pangan merupakan salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat saat ini, bagi sebagian orang memiliki selera yang tinggi dalam berbagai jenis makanan salah satunya yaitu makanan berbahan ikan hal tersebut bedasarkan kadungan nutrisi penting seperti protein, vitamin D, dan sumber omega-3 terbaik.

Kandungan-kandungan tersebut sangat penting untuk tubuh dan perkembangan otak manusia, oleh sebab itu kebutuhan konsumsi ikan pada masyarakat sangat tinggi, selain dapat dijadikan sebagai sumber makanan, ikan juga dapat mempunyai nilai ekonomis.

Potensi sumber daya alam Sulawesi Selatan, khususnya sumber daya alam laut merupakan potensi alami yang dapat membangun masyarakat dan daerah ini.

Ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam laut merupakan alasan yang kuat untuk menjamin sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam laut secara efisien dan berkelanjutan.

Sumber daya ikan tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimaanfatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Mengingat sumber

(10)

daya ini memiliki peranan yang penting bagi masyarakat, maka upaya pelestarian melalui konservasi sumber daya ikan dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. Tindakan pelestarian sumber daya alam tersebut melalui pengelolaan lingkungan hidup khususnya lingkungan laut, upaya konservasi tidak dapat dipisahakan dengan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan secara keseluruhan, mengingat karakteristik sumber daya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitivitas yang tinggi, baik terhadap pengaruh iklim global maupun iklim musiman serta aspek-aspek keterkaitan, maka dalam upaya pengelolaan dan pengembangan konservasi sumber daya ikan harus bedasarkan prinsip kehati- hatian dan dukungan bukti-bukti ilmiah.

Wilayah Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia, oleh sebab itu pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan dalam hal ini khususnya di pulau Kodingareng yang juga dikenal dengan “ Kampung Nelayan “ dikarenakan profesi masyarakat tersebut ialah nelayan, pulau Kodingareng juga dikenal sebagai pulau dengan biota laut yang melimpah, karena hal tersebut banyak masyarakat yang dapat menikmati keindahan alam dengan cara menyelam.

Masyarakat nelayan tergolong masyarakat yang relatif misikin, dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga mereka sulit mencari pekerjaan alternatif.

Penggunaan teknologi modern dalam penangkapan ikan hanya dapat diakses oleh nelayan yang memiliki modal yang besar, karena kondisi tersebut mendorong terjadinya cara-cara penangkapan ikan yang menggunakan peralatan

(11)

yang destruktif, seperti bom dan bius. Hal tersebut sangat merugikan nelayan- nelayan yang lainnya karena perusakan yang terjadi membuat sebagian terumbu karang tempat ikan berlindung menjadi rusak, sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan populasi dan kualitas ikan di daerah tersebut yang berimbas langsung kepada nelayan lainnya. Seperti yang diketahui perbaikan ekosistem laut merupakan hal yang membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi, hal ini membuat para pemerhati lingkungan mengecam atas kegiatan yang merugikan tersebut.

Pengadilan Negeri adalah lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung RI dan sebuah lembaga peradilan di lingkungan peradilan umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai pengadilan tingkat pertama, pengadilan negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi masyarakat pencari keadilan pada umumnya.

Pengadilan Negeri Makassar merupakan tempat yang mencakup ruang lingkup peradilan di pulau Kodingareng oleh sebab itu segala bentuk tindak pidana akan diadili ditempat tersebut.

Dalam UU Perikanan Pasal 84 ayat (1) UU No.45 tahun 2009 tentang perubahan No. 31 tahun 2004 menerapkan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan

(12)

dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah)”

1.2. Rumusan Masalah

Bedasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka, rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Penerapan Pasal 84 Ayat (1) UU Perikaanan Tahun 2009 Dalam Putusan Pengadilan NO.1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan NO.1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS ?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mencapai sasaran maka tujuan dari penilitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Penerapan Pasal 84 Ayat (1) UU Perikanan Tahun 2009 Dalam Putusan Pengadilan NO.1640/PID.B/LH/2019/PN.MKS

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan NO 16.40/PID.B/LH/2019/PN.MKS

1.4. Kegunaan Penulisan 1. Manfaat Terioritis

a. Dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Hukum Pidana.

(13)

b. Memberikan sumbangan terioritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum lingkungan.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktis, penulisan ini juga dapat memperluas dan meningkatkan pengetahuan penulis maupun masyarakat tentang hukum lingkungan.

b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat umum terutama pihak-pihak yang membutuhkan.

(14)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu strafbaar feit.

Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai istilah misalnya tidak pidana, delik, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana.

Menurut Adam Chazawi “ Strafbaarfeit itu dikenal dalam hukum pidana, diartikan sebagai delik, peristiwa pidana, dan tindak pidana.

Strafbaarfeit terdiri dari 3 (tiga) kata yaitu Straf, baar, dan feit. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, sedangkan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.1

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit atau delict, dalam bahasa Indonesia disamping istilah tindak Pidana untuk terjemahan strafbaar feit atau delict sebagaimana yang dipakai oleh R. Tresna dan Utrecht dalam buku C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil dikenal juga beberapa terjemahan yang lain seperti Perbuatan Pidana, Pelanggaran Pidana, Perbuatan yang boleh di hukum atau Perbuatan yang dapat dihukum.2

Adam Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Grafindo Persada, Jakarta. hal. 7

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil. 2007. Pokok-pokok Hukum Pidana. PT. Pradnya Paramitha, Jakarta. hal 37

(15)

Menurut Amir Ilyas, tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar ilmu hukum sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.3

2.2 . Unsur-unsur Tindak Pidana

Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak pidana. Menurut Lamintang, tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi 2 (dua) macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan pada diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan dari si pembuat itu harus dilakukan.

a. Unsur subjektif

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa dan dolus).

Amir Ilyas. 2012. Asas-asas Hukum Pidana. Rangkang Education, Yogyakarta. Hal 18

(16)

2. Maksud dan voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti misalnya dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana pembuangan bayi menurut Pasal 308 KUHP.

b. Unsur objektif

1. Sifat melanggar hukum.

2. Kualitas si pelaku.

3. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat

.

(17)

2.3 Tindak Pidana Perikanan

Pegertian Tindak Pidana Perikanan

Perikanan adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan.4 Tindak pidana di bidang perikanan merupakan tindak pidana diluar KUHP pidana yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan perikanan Indonesia yang berakibat merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan hukuman pidananya tinggi dan berat sebagai salah satu cara untuk dapat menanggulangi tindak pidana di bidang perikanan. Banyak masyarakat menyalahgukan kegiatan perikanan menjadi suatu keuntungan bagi diri mereka sendiri tanpa memikirkan ekosistem laut, misalnya dengan menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang yang mengakibatkan ekosistem laut.

Kini tindak pidana perikanan menjadi sorotan masyarakat akibat maraknya tindak pidana mengenai perikanan, contoh tindak pidana penangkapan ikan dengan alat yang dilarang, pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal tanpa mempunyai surat perizinan serta masih banyak lagi kasus yang

lainnya.

Tindak pidana di bidang perikanan menurut UU RI No. 45 tahun 2009 perubahan UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan (selanjutnya disingkat UU RI tentang perikanan) yang termasuk delik kejahatan diatur dalam

Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 1

(18)

a). Penggolongan Tindak Pidana Perikanan

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 UU RI tentang perikanan tersebut, maka tindak pidana perikanan dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Pasal 84

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus

juta rupiah).

(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

(19)

(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penangnggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).5

Kejahatan dalam pasal 84 tersebut selalu berhubungan dengan ketentuan Pasal 8 Ayat (1) sampai dengan Ayat (4) UU RI tentang perikanan sejalan dengan ayatnya masing-masing yang merupakan peraturan larangan penggunaan bahan kimia, bahan

Ibid, hlm. 154.

(20)

biologis, bahan peledak atau cara lain untuk penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan yang dapat merugikan atau membahayakan sumber daya ikan dan lingkungannya.

Kejahatan ini termasuk delik dolus, karena pelakunya baru dapat dipidana apabila dilakukan dengan sengaja. Pelaku mengetahui bahwa bahan kimia, biologis, dan bahan peledak dilarang untuk dilakukan tetapi tetap dilakukan perbuatannya.Kejahatan tersebut juga termasuk delik formil dimana pelakunya sudah dapat dipidana tanpa menunggu akibat perbuatannya muncul.Dikatakan demikian karena terdapat unsur

“yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya”.6

a). Tindak Pidana tersebut hanya dapat dilakukan di perairan wilayah perikanan, dapat terjadi di laut, sungai, maupun danau di kapal penangkap ikan.Jika kapalnya hanya sebagai pengangkut hasil tangkapan ikan , bukan kapal penangkap ikan maka tidak dapat dikenai pidana.

Kejahatan ini juga tergolong ke dalam delik dolus, karena perbuatannya harus dilakukan dengan sengaja, setiap orang dianggap tahu tentang larangan tersebut, karena sejak Undang-Undang perikanan diumumkan dalam lembaran negara Republik Indonesia dipandang sudah mengetahui peraturannya.7

Ibid, hlm. 156.

(21)

b). Tindak Pidana yang berkaitan dengan pencemaran/kerusakan sumber daya ikan/lingkungannya.Dalam pengelolaan perikanan, karena selalu berhubungan dengan air maka dapat dikatakan rawan terhadap pencemaran atau kerusakan lingkungan, dan tindak pidana ini diatur untuk menanggulagi adanya pencemaran tersebut agar para pengelola perikanan selalu berhati-hati dalam melaksanakan aktivitas pengelolaannya. Kejahatan tersebut di atur dalam Pasal 86 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan. Di dalam kejahatan ini, perbuatan yang dilarang dilakukan ditetapkan dalam Pasal 12 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan, yaitu: setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

Dengan perbuatan yang tidak ditentukan spesifiknya, maka perbuatan yang dilarang dalam Pasal 12 Ayat (1) tersebut sangat luas sekali, ibarat pasal keranjang sampah semua perbuatan apa saja dapat dimasukkan ke dalam pasal tersebut, kejahatannya tergolong ke dalam delik dolus kemudian delik materil, karena perbuatan pelaku harus diikuti dengan akibat yang timbul yaitu pencemaran/kerusakan sumber daya ikan/lingkungannya.Jika akibatnya tidak muncul, maka pelaku tidak dapat dihukum

Meskipun kejahatan tersebut tergolong sebagai tindak pidana di bidang perikanan,namun karena berkaitan dengan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, tidak tertutup kemungkinan pelakunya dituntut berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan

(22)

lingkungan hidup (selanjutnya disingkat UU PPLH). Untuk dapat dituntut dengan UU RI PPLH tersebut, maka perbuatan pelaku harus memenuhi unsur pencemaran lingkungan hidup.

c). Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan. Pada kejahatan perikanan ini, perbuatan yang dilakukan sangat luas, berbeda dengan kejahatan yang dapat membahayakan sumber daya ikan perbuatannya sudah ditetapkan bentuknya.

Untuk kejahatan perikanan ini telah diatur dalam Pasal 86 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), pada tindak pidana yang disebutkan dalam Ayat (2) perbuatannya sangat luas, macam apa saja perbuatan asal dalam bentuk pembudidayaan ikan sudah tercakup di dalamnya. Lain halnya dengan ketentuan Ayat (3) dan Ayat (4) sudah ditentukan bentuknya yaitu budidaya ikan dengan rekayasa genetika, dan budidaya ikan dengan menggunakan obat-obatan.Mengenai larangan perbuatannya, masingmasing ayat tersebut menunjuk ketentuan Pasal 12 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4).

d). Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah. Plasma nutfah adalah suatu substansi sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat dalam setiap kelompok organism. Plasma nutfah merupakan substansi yang mengatur perilaku kehidupan secara turuntemurun, sehingga populasinya mempunyai sifat yang membedakan dari populasi yang lainnya.Perbedaan itu dapat dinyatakan dalam ketahanan terhadap penyakit, bentuk fisik, daya adaptasi terhadap lingkungannya, dan sebagainya. Oleh karena itu di bidang pengelolaan perikanan plasma nutfah sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan dan perkembangbiakan ikan agar

(23)

Ibid, hlm. 161- 162.

memperoleh hasil yang lebih baik. Sebagai bagian yang tergolong penting di bidang pengelolaan perikanan, maka apabila plasma nutfah dirusak dapat mengakibatkan kegagalan dalam pengelolaan perikanan dan penangkapan ikan hasilnya kurang memuaskan. Untuk itu perusakan terhadap plasma nutfah merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 87 UU RI tentang Perikanan. Tindak pidana perusakan plasma nutfah dalam Pasal 87 Ayat (1) merupakan delik dolus karena pelakunya melakukan perbuatan secara sengaja, sedang ketentuan Ayat (2) nya sebagai delik culpa karena rusaknya plasma nutfah disebabkan oleh kelalaian pelakunya.8

e). Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang merugikan masyarakat. Dalam melaksanakan pengelolaan perikanan pada dasarnya wajib dilakukan dengan baik, agar hasilnya baik pula. Pengelolaan perikanan dengan cara yang menyimpang, berakibat akan merugikan masyarakat karena hasil penangkapan ikan kualitasnya kurang/tidak dapat dikonsumsi. Sehubungan dengan hal itu terdapat larangan yang diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Terhadap larangan tersebut apabila dilanggar maka perbuatannya merupakan Tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana berdasarkan Pasal 88 UU RI

(24)

Ibid, hlm. 161-

tentang Perikanan. Ketentuan pidana tersebut, selain sebagai delik dolus, juga sebagai delik materiil.

f). Tindak pidana yang berkaitan dengan pengolahan ikan yang kurang/tidak memenuhi syarat. Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan wajib memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan. Ketentuan mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 20 Ayat (3) UU RI tentang perikanan dan sifatnya imperatif. Apabila persyaratannya tidak dipenuhi, maka perbuatannya sebagai tindak pidana dan pelakunya dapat dihukum berdasarkan Pasal 89 UU RI tentang perikanan.

Tindak pidana ini termasuk ke dalam delik dolus, karena setiap orang yang berkecimpung dalam pengolahan ikan dianggap mengetahui pengolahan ikan yang sehat dan produknya layak dikonsumsi oleh maysrakat, Tindak Pidana ini merupakan delik pelanggaran9.

g). Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan/pengeluaran hasil perikanan dari/ke wilayah negara Republik Indonesia tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan. Setiap orang atau pengusaha yang akan mengekspor atau mengimpor produk hasil perikanan wajib memiliki sertifikat kesehatan agar barang makan tersebut layak dikonsumsi. Hal ini diatur dalam Pasal 21 UU RI tentang perikanan.

Ketidaklengkapan dalam melakukan kegiatan ekspor atau impor dengan sertifikat kesehatan tersebut merupakan tindak pidana yang diancam dengan Pasal 90 UU RI

(25)

tentang Perikanan. Tindak pidana ini termasuk delik dolus walaupun dalam rumusan delik di atas tidak menyebutkan kata-kata dengan sengaja.

h). Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang membahayakan manusia dalam melaksanakan pengolahan ikan. Mayoritas pengusaha di bidang perikanan memasarkan hasil olahannya agar awet dan penampilannya menarik pembeli seringkali dibarengi dengan kecurangan dalam melakukan pengolahannya dengan menggunakan bahan-bahan yang seharusnya tidak digunakan untuk pengolahan ikan, seperti formalin dan pewarna pakaian, bahan- bahan tersebut tergolong dapat membahayakan kesehatan manusia. Larangan penggunaan bahan-bahan tersebut kemudian di atur dalam Pasal 23 Ayat (1) UU RI tentang perikanan. Larangan tersebut kemudian diikuti dengan ketentuan pemidanaan dalam Pasal 91 UU RI tentang perikanan. Tindak pidana ini termasuk ke dalam delik dolus dan formil. Penuntutan perkaranya tidak usah menunggu adanya korban berjatuhan, pada umumnya hakim atau penuntut umum memerlukan keterangan saksi ahli untuk membuktikan bahan-bahan tersebut membahayakan kesehatan atau tidak.

i). Tindak Pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan tanpa Surat Izin Usaha Perikanan (selanjutnya disingkat SIUP). Pada dasarnya perusahaan apapun bentuknya wajib memiliki izin usaha sesuai dengan bidang usahanya. Untuk usaha perikanan, maka perusahaan bersangkutan wajib memiliki izin usaha perikanan dan dikenal dengan istilah SIUP. Adapun pejabat yang berwenang menerbitkan SIUP adalah Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian KP, Gubernur,

(26)

Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masingmasing.Kewajiban memiliki SIUP tersebut di atur dalam Pasal 26 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan. Agar perusahaan mentaati peraturan tersebut, maka diatur sanksi pidananya, dan bagi yang melanggar dikenai Pasal 92 UU RI tentang Perikanan. Ketentuan pidana tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam melaksanakan usaha perikanan. Tidak terjadi rebutan dalam melakukan penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengelolaan dan pemasaran ikan. Juga untuk mencegah pengelolaan perikanan liar oleh orang yang tidak bertanggungjawab dan merugikan masyarakat dan negara.10

j). Tindak Pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (selanjutnya disingkat SIPI). Di samping memiliki SIUP, sebuah perusahaan yang usahanya di bidang perikanan untuk dapat melakukan penangkapan ikan diwajibkan memiliki SIPI. Memiliki SIUP tapi tidak memiliki SIPI mengakibatkan perusahaan perikanan tidak dapat menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan.SIPI merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SIUP.

Sejalan dengan hal tersebut maka telah diatur tentang kewajiban untuk memiliki SIPI untuk menangkap ikan di tempat-tempat yang telah ditentukan sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 UU RI tentang Perikanan. SIPI pada prinsipnya dapat dimiliki oleh WNI atau WNA, dan SIPI diberikan kepada orang, bukan kepada kapalnya.Jika WNI yang memiliki SIPI maka operasi penangkap ikannya di dalam negeri maupun di laut lepas, sedangkan untuk WNA wilayah operasinya di ZEEI.

Ibid, hlm. 165-166.

(27)

Pelanggaran terhadap ketentuan SIPI tersebut merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 93 UU RI tentang Perikanan. Tindak pidana ini tergolong ke dalam delik dolus karena dilakukan secara sengaja, walaupun hal itu tidak dicantumkan dengan tegas dalam rumusan deliknya.

k). Tindak pidana melakukan pengangkutan ikan tanpa memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (selanjutnya disingkat SIKPI). Telah diketahui bahwa SIPI merupakan izin yang diberikan kepada orang yang melakukan penangkapan ikan.

Sedangkan SIKPI sebagai izin yang wajib dimiliki oleh kapal perikanan yang berupa kapal pengangkut ikan. Ketentuan Pasal 28 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan mengatur, setiap orang yang memiliki, dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. Ketentuan tersebut berlaku bagi kapal berbendera Indonesia maupun berbendera asing yang mengangkut hasil penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan indonesia. Berhubung kepemilikan SIKPI merupakan suatu kewajiban, maka terhadap pelanggarannya diatur pula sanksi pidananya yaitu pada Pasal 94 UU RI tentang Perikanan. Untukmmengecek apakah pelakunya memiliki SIKPI atau tidak.Undang-Undang memerintahkan yang bersangkutan wajib membawa SIKPI aslinya ketika sedang melakukan pelayaran mengangkut hasil tangkapan. Meskipun telah mempunyai SIKPI tetapi sewaktu dalam pelayaran lupa membawa SIKPI dan hanya membawa fotokopinya, atau membawa SIKPI yang sudah berakhir masa berlakunya, tindak

(28)

pidana tersebut tetap dapat dikenakan kepada pelakunya dan dikategorikan sebagai delik kejahatan.

l). Tindak Pidana memalsukan SIUP,SIPI,dan SIKPI. Izin-izin yang digunakan dalam bidang perikanan yaitu berupa SIUP, SIPI, dan SIKPI merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan usaha di bidang perikanan.Pengurusan ketiga izin tersebut wajib mengikuti prosedur dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, sehingga untuk mengurus izin tersebut seorang pengusaha selain membutuhkan waktu yang relatif lama, juga mengeluarkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Hal inilah yang menjadi hambatan bagi para pengusaha dibidang perikanan yang memunculkan ruang untuk berbuat curang dengan melakukan pemalsuan terhadap surat-surat izin tersebut.

Olehnya itu ketentuan mengenai pemalsuan surat-surat ini telah diatur dalam Pasal 94A UU RI tentang Perikanan, Tindak Pidana tersebut ditujukan terhaap orang yang memalsukan maupun yang menggunakan SIUP,SIPI, Dan SIKPI palsu karena perbuatan- perbuatan itu dilarang oleh ketentuan Pasal 28A UU RI tentang Perikanan. Untuk dapat mengatakan SIUP, SIPI, Dan SIKPI sebagai surat palsu, maka dapat mengacu pada Pasal 263 KUHPidana karena maksud dan tujuannya sama. Hanya bedanya Pasal 94A UU RI tentang Perikanan tanpa mensyaratkan adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatannya, karena merupakan delik formil.11

m). Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal perikanan tanpa izin. Pengusaha perikanan tidak bebas untuk mendapatkan kapal perikanan, karena pada prinsipnya, bentuk kapalnya secara teknis sudah ditentukan oleh

Ibid, hlm. 168-170.

(29)

pemerintah.Tujuannya adalah untuk keselamatan dalam pelayaran khususnya untuk mengangkut ikan. Agar dapat diawasi pemerintah, prosedurnya telah ditetapkan pada Pasal 35 Undang-Undang Perikanan, dan persyaratan yang tercantum dalam Pasal tersebut merupakan kewajiban bagi seorang pengusaha perikanan, dan apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 95 UU RI tentang Perikanan. Tindak pidana ini merupakan delik pelanggaran dan sekaligus sebagai delik dolus dan delik formil.

Tindak Pidana tidak melakukan pendaftaran kapal perikanan. Setiap kapal perikanan milik orang Indonesia wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia Pasal 36 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan. Sebelum pendaftaran kapal yang bersangkutan dilakukan, sudah harus berstatus sebagai kapal yang berkebangsaan Indonesia. Kapal perikanan yang tidak didaftarkan tidak menjadi masalah apabila tidak dioperasikan.Masalah baru muncul setelah kapal perikanan digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan ikan.Perbuatan itu merupakan Tindak Pidana berdasarkan Pasal 96 UU RI tentang Perikanan. Tindak Pidana tersebut selain sebagai delik dolus, juga merupakan delik formil dan pelanggaran.

n). Tindak Pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan asing.

Kapal perikanan asing yang melakukan pengoperasian di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia mempunyai perlakuan tersendiri mengenai ketentuan pidananya.

Pada prinsipnya setiap kapal perikanan berbendera asing tetap wajib memiliki SIPI dan menggunakan alat penangkap ikan tertentu.Hal tersebut

(30)

berdasarkan yang tercantum dalam Pasal 38 UU RI tentang Perikanan, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 38 tersebut diancam dengan hukuman pidana berdasarkan Pasal 97 UU RI tentang Perikanan. Diaturnya ketentuan pidana ini guna menanggulangi pencurian ikan di laut yang dilakukan oleh pihak asing, dan mengenai pelakunya hanyalah ditujukan kepada nakhoda kapal perikanan. Sedangkan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya hanya berupa pidana denda saja. Kelemahan dari peraturan ini ialah orang yang berada di atas kapal selain nakhoda tidak dapat dipidana. Kemudian selain itu kejaksaan dalam hal ini sebagai eksekutor tidak memiliki perangkat hukum untuk mengeksekusi denda tersebut, karena di dalam hukum acara pidana hanya dikenal penyitaan terhadap barangbarang yang ada hubungannya dengan tindak pidana dan hanya dapat dilakukan dalam tingkat penyidikan.

o). Tindak pidana tanpa memiliki surat persetujuan berlayar. Setiap pelabuhan perikanan terdapat syahbandar, yaitu pejabat yang memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan kapal perikanan.

Salah satu tugasnya ialah memberikan surat persetujuan berlayar bagi kapal-kapal perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan ikan. Setiap kapal perikanan yang akan berlayar sesuai dengan Pasal 42 Ayat (3) UU RI tentang Perikanan wajib memiliki surat persetujuan berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan.Kapal perikanan yang ke luar dari pelabuhan dan kedapatan tidak memiliki surat persetujuan berlayar, maka perbuatannya dianggap sebagai tindak

(31)

pidana dan nakhoda kapal yang bersangkutan dapat dipidana berdasar Pasal 98 UU RI tentang Perikanan. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 98 tersebut dapat dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaiannya.

p). Tindak Pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah. Penelitian tergolong salah satu hal yang penting dalam bidang perikanan. Dalam melakukan penelitian di bidang pengelolaan perikanan dengan tujuan pada umumnya untuk memperoleh terutama data-data dari lapangan yang hasilnya untuk mengetahui keadaan-keadaan yang nyata dalam pengelolaan perikanan. Penelitian ini dapat dilakukan oleh berbagai elemen yang ada di masyarakat, seperti mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain.Tetapi, bagi orang asing, penelitian di bidang perikanan ini tidak boleh dilakukan secara serta merta, berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan terlebih dahulu memiliki izin dari pemerintah. Setiap orang asing yang melakukan penelitiam perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia apabila tidak memiliki izin dari pemerintah maka dapat dipidana sesuai dengan Pasal 99 UU RI tentang Perikanan, Tindak Pidana ini tergolong delik pelanggaran, dan perbuatannya dilakukan dengan sengaja.12

q). Tindak Pidana melakukan usaha pengelolaan perikanan yang tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan Undang-Undang Perikanan. Seorang pengusaha di bidang perikanan, selain harus merampungkan izin-izinnya, juga wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perikanan. Ketentuan yang dimaksud telah diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) UU RI tentang Perikanan.

Ibid, hlm. 172-175.

(32)

Pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur dapat dipidana berdasarkan Pasal 100 UU RI tentang Perikanan. Meskipun tindak pidana ini termasuk delik pelanggaran, akan tetapi untuk dapat membuktikan perbuatan pelanggaran tampaknya tidak sederhana, karena hakim tidak paham tentang teknis perikanan antara lain seperti ukuran penangkap ikan, penempatan alat bantu penangkap ikan, ukuran ikan yang boleh ditangkap, dan lain-lain.Olehnya itu seringkali dibutuhkan keterangan ahli untuk membuat terang perkaranya.

r). Tindak Pidana yang dilakukan oleh nelayan/pembudidaya ikan kecil. Sejalan dengan asas equality before the law di bidang perikanan juga diberlakukan hal tersebut.Pengusaha kecil dan pengusaha besar mendapat perlakuan yang sama.Adapun yang disebut dengan nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT). Sedangkan pembudidaya ikan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

s). Tindak Pidana melanggar kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang dilakukan oleh nelayan/pembudidaya ikan kecil. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur, apabila dilanggar, maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 100C dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (Seratus juta rupiah). Sanksi pidana dalam pelanggaran ini tidak dikenal pidana penjara.

(33)

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perikanan Unsur-unsur tindak pidana perikanan yang ditentukan di dalam UU RI No. 45 Tahun 2004 tentang Perikanan antara lain :13

Kategori Kejahatan 1. Pasal 84

(1). Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan Yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

(2). Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan Dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

Undang-Undang No.31 Tahun 2004

(34)

(3). Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan Dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).

(4). Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).

(35)

2.5. Jenis dan Sifat Hukuman Pidana Perikanan

a. Jenis Hukuman Pidana

Dalam Pasal 10 KUHPidana dikenal ada dua jenis hukuman pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok merupakan hukuman yang wajib di jatuhkan hakim yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda.

Sedangkan pidana tambahan sifatnya tidak wajib dijatuhkan hakim, yaitu berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Untuk jenis hukuman pidana di bidang perikanan hanya mengenal pidana pokok, sedangkan pidana tambahan tidak diatur di dalam UU RI tentang Perikanan.

Mengenai pidana pokok yang dapat dijatuhkan hakim dalam perkara perikanan berupa pidana pernjara dan pidana denda. Meskipun UU RI tentang Perikanan tidak mengatur secara khusus pidana tambahan, namun hakim perikanan tetap dapat menjatuhkan pidana tambahan berdasarkan Pasal 10 KUHPidana

tersebut.

b. Sifat Hukuman Pidana

Hukuman pidana di bidang perikanan sebagian besar bersifat kumulatif, baik ditujukan terhadap delik kejahatan maupun delik pelanggaran. Dalam hukuman

(36)

kumulatif pidana baddan (penjara) dengan pidana denda diterapkan sekaligus. Disini tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan kedua pidana tersebut, juga hakim tidak dapat memilih salah satu hukuman untuk dijatuhkan, melainkan wajib menjatuhkan pidana pokok kedua-duanya.

Hukuman yang berupa pidana penjara yang tinggi dan pidana denda yang berat terhadap pelaku pidana perikanan dengan tujuan agar menimbulkan efek jera. Pelaku yang terbukti bersalah selain wajib menjalani pidana penjara bertahun- tahun, juga wajib membayar denda kepada negara yang nilainya tidak sedikit.

2.2. Penyidikan dan Pembuktian Tindak Pidana Perikanan 2.3. Penyidikan

1). Pengertian Penyidikan

Dalam Pasal 1 butir (2) Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa :“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Dengan demikian penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila telah terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam KUHAP. Untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang terjadi adalah termasuk suatu tindak pidana, menurut kemampuan penyidik untuk mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan

(37)

berdasarkan pada pengetahuan hukum pidana. Dalam bidang reserse kriminil, penyidikan itu biasa dibedakan sebagai berikut:

a). Penyidikan dalam arti kata luas, yaitu meliputi penyidikan, pengusutan dan pemeriksaan, yang sekaligus rangkaian dari tindakan-tindakan dari terus- menerus, tidak ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya,

b). Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu semua tindakan-tindakan yang merupakan suatu bentuk represif dari reserse kriminil Polri yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana.

Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah:

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.

3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.

5. Penggeledahan.

6. Pemeriksaan atau interogasi.

7. Berita Acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat) 8. Penyitaan.

9. Penyampingan Perkara

10. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.

(38)

Secara formal prosedural, suatu proses penyidikan dikatakan telah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik, Setelah pihak Kepolisian menerima laporan atau informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana.42 Hal ini selain untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dari pihak Kepolisian, dengan adanya Surat Perintah Penyidikan tersebut adalah sebagai jaminan terhadap perlindungan hak-hak yang dimiliki oleh pihak tersangka

Berdasarkan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP, maka seorang penyidik yang telah memulai melaksanakan penyidikan terhadap peristiwa tindak pidana, penyidik harus sesegera mungkin untuk memberitahukan telah mulai penyidikan kepada Penuntut Umum. Untuk mencegah penyidikan yang berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian, seorang penyidik kepada Penuntut Umum, sementara di pihak Penuntut Umum berwenang minta penjelasan kepada penyidik mengenai perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.

Dalam hal penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik wajib mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) yang mana tembusan surat tersebut dismpaikan kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya (Pasal 109 ayat (2) KUHAP). Sedangkan telah selesai melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, yang mana jika Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut

(39)

masih kurang lengkap maka berkas perkara akan dikembalikan disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi oleh penyidik, dan setelah berkas perkara diterima kembali oleh penyidik, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum (Pasal 110 KUHAP).

Dalam proses penyidikan, yang berhak melakukan penyidikan adalah Pejabat Penyidik. Seorang penyidik melakukan penyidikan adalah dalam usaha menemukan alat bukti dan barang bukti, guna kepentingan penyidikan dalam rangka membuat suatu perkara menjadi jelas/terang dan untuk mengungkap atau menemukan tersangka kejahatan. Dalam Pasal 1 Butir ke-1 KUHAP dijelaskan pengertian penyidik. ”Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat.

Hamid,H. Hamrat, dan Harun M. Husein,1992. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan. Sinar

(40)

Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan”. Dari pengertian tersebut di atas, dapat ditarik dua unsur penyidik, seperti tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, yaitu:

(1). Penyidik adalah :

- Pejabat Polisi Negara Indonesia;

- Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang.

(2). Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Dalam Pasal 6 KUHAP tersebut di atas telah ditentukan mengenai instansi atau kepangkatan seorang pejabat penyidik adalah :

a). Pejabat Peyidik Polisi

Untuk melakukan penyidikan, pejabat penyidik polisi harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Mengenai kedudukan dan kepangkatan pejabat penyidik kepolisian diatur dalam peraturan pemerintah yaitu PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Memperhatikan kepangkatan yang diatur dalam Bab II PP No. 27 Tahun 1983 tersebut, syarat kepangkatan dari penyidik adalah sebagai berikut:

b). Pejabat Penyidik Penuh

(41)

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik penuh harus memenuhi kepangkatan dan pengangkatan sebagai berikut:

- Sekurang-kurangnya berpangkat Ipda;

- Berpangkat Bintara di bawah Bripda apabila dalam sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;

- Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.

- Pejabat Penyidik Pembantu

- Sekurang-kurangnya berpangkat Bripda;

- Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan kepolisian negara dengan syarat sekurang- kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan Tk I/B);

- Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI, atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

Khusus mengenai pengangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian untuk menjadi pejabat penyidik pembantu harus mempunyai keahlian dan kekhususan di bidang tertentu. Syarat kepangkatan pejabat penyidik pembantu harus lebih rendah dari pangkat pejabat penyidik penuh.

Dalam hal ini perlulah kiranya diutarakan di sini, bahwa Surat keputusan Menteri Hankam/Pangab tanggal 13 Juli 1979 telah menentukan antara lain, bahwa penyidik pembantu yang dijabat oleh pejabat kepolisian Negara harus berpangkat Sersan Dua s/d Sersan Mayor dan kepolisian khusus yang atas usul komandan atau

(42)

kepala Jawatan / Instansi Sipil Pemerintah diangkat oleh Kapolri. Penyidik pembantu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

- Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau sekurang-kurangnya berpendidikan Sekolah Bintara Polisi;

- Mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan penyidikan;

- Mempunyai kecakapan dan kemampuan baik psikis maupun fisik untuk melakukan tugas penyidikan;

- Berkelakuan baik atau tidak tercela c). Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Pegawai Negeri Sipil mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasalnya. Jadi hanya terbatas hanya sepanjang menyangkut tindak pidana yang diatur dalam undang- undang khusus tersebut.

Bagi penyidik dan Pegawai Negeri Sipil kewenangannya sesuai dengan Undang- Undang yang menjadi dasar hukum masing-masing dan dalam tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik dari Pejabat Kepolisian Negara R.I. Menurut penjelasan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, pemberian wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil, sama sekali

(43)

tidak mengurangi wewenang Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk menyidik tindak pidana keimigrasian.

Penyidik Polri diminta atau tidak diminta memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. Pemberian petunjuk dan bantuan tersebut, antara lain meliputi hal-hal yang berkaitan dengan teknik dan taktik penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaaan laboratorium. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sejak awal harus memberitahukan tentang penyidikan yang sedang dilakukan kepada Penyidik Polri. Setelah itu hasil penyidikan berupa berkas perkara tersangka dan barang bukti disampaikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri, Untuk kepentingan pelaksanaan penuntutan. Pelaksanaan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil tersebut harus dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terutama ketentuan- ketentuan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang .

2.4. Pembuktian

Dalam sistem peradilan pidana, pihak yang harus membuktikan kesalahan terdakwa di persidangan pengadilan adalah penuntut umum. Menurut Pasal 13 KUHAP, penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penuntutan hakim.

Dalam Pasal 14 KUHAP ditentukan kewenangan penuntut hukum sebagai berikut:

(44)

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu.

b. Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dan penyidik

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan, dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya di limpahkan oleh penyidik

d. Membuat surat dakwaan.

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan atau mengubah status tahanan disidangkan yang disertai dengan surat baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada saat sidang g. Melakukan penuntutan.

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum.

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini

(45)

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Bedasarkan ketentuan dalam Pasal 14 KUHAP, penuntut umum merupakan pihak yang berwenang membuktikan kesalahan terdakwa di persidangan pengadilan sesuai dengan isi surat dakwaan yang telah diajukan. Dalam upaya pembuktian tersebut, penuntut umum terikat kepada ketentuan dan tata cara pembuktian yang telah ditentukan dalam hukum acara pidana. Untuk memahami hal-hal seputar tersebut pembuktian ini, perlu pula mengetahui teori-teori tentang pembuktian, sebagai pendukung dalam penerapan aturan hukum pembuktian.

a. Teori Pembuktian

Tahapan penting dalam proses peradilan pidana adalah pembuktian. Tidak akan mungkin hakim langsung menjatuhkan putusan apabila tidak melalui tahapan ini, hakim dituntut untuk menilai apakah peristiwa yang didakwakan oleh penuntut umum terbukti sesuai dengan alat bukti yang ditetapkan oleh UU. Untuk itu, sebelum menguraikan lebih lanjut tentang alat bukti sah dalam UUPPLH, terlebih dahulu diuraikan tentang sistem atau teori pembuktian yang dikenal dengan literatur hukum acara pidana, baik yang sudah tidak diikuti lagi saat ini maupun yang masih dianut oleh banyak negara termasuk Indonesia. Dalam ilmu hukum acara pidana, dikenal sistem atau teori pembuktian yang digunakan untuk menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang ada. Sistem atau teori pembuktian tersebut adalah :

1. Sistem atau Teori Pembuktian Bedasarkan Undang-undang Secara Positif

(46)

Menurut D. Simons, sistem atau teori pembuktian bedasarkan undang-undang secara positif (fositief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara tetap menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.14

2. Sistem atau Teori Pembuktian Bedasarkan Keyakinan Hakim Melulu

Teori ini berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri, ditetapkan terdakwa yang telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.

3. Sistem atau Teori Pembuktian Bedasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar- dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan peraturan peraturan pembuktian tertentu.

4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Negatif Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan

D. Simons. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. hal 17

(47)

pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.

b. Alat Bukti

Didalam Pasal 184 KUHAP ditegaskan bahwa alat bukti sah yang akan menjadi dasar hukum untuk menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak, adalah :

1. Keterangan saksi

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri.

2. Keterangan ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

3. Surat

Surat dibuat atas sumpah jabatan ata dikuatkan dengan sumpah.

4. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(48)

5. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui atau yang ia alami sendiri.15

Dalam hubungan dengan pembuktian dalam tindak pidana lingkungan, yang perlu diperhatikan adalah perumusan tindak pidana lingkungan dalam dua jenis yakni, tindak pidana lingkungan yang dirumuskan secara materiil dan dirumuskan secara formil. Dengan perumusan tindak pidana yang berbeda tersebut, memiliki konsekuensi dalam pembuktiaannya. Dalam hal tindak pidana dirumuskan secara materiil, maka penuntut wajib membuktikan adanya akibat dari perbuatan terdakwa sehingga terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan. Dalam kondisi seperti ini sehingga dalam banyak perkara tindak pidana lingkungan, terdakwa baik orang perseorangan maupun korporasi dibebaskan dari segala dakwaan oleh hakim, karena penuntut umum dinilai tidak mampu membuktikan adanya akibat dari perbuatan terdakwa. Sebaliknya pembuktian perkara tindak pidana lingkungan yang dirumuskan secara formil lebih mudah. Dalam hal ini, penuntut umum cukup membuktikan bahwa perbuatan terdakwa telah melanggar ketentuan perundang-undangan lingkungan hidup. Penuntut umum tidak perlu

Undang-undang No. 8 Pasal 184 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

(49)

membuktikan apakah perbuatan terdakwa telah mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

2.5. Perlindungan Sumber Daya Ikan

Peraturan perundang-undangan tentang konservasi sumber daya ikan pada dasarnya dibuat untuk mengelola perikanan dari dampak negatif kegiatan penangkapan dan bagi pihak yang tidak peduli terhadap konservasi sumber daya ikan. Menurut Lawrence M.

Friedman, ada tiga hal yang merupakan ujung tombak terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.

Ketiganya harus saling mendukung dalam rangka efektivitas penegakan hukum konservasi sumber daya ikan16.

Untuk menjamin konservasi sumber daya ikan dapat tercapai dengan baik, maka pada Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perikanan, menetapkan kewajiban yang harus dipatuhi dalam melakukan usaha atau kegiatan pengelolaan perikanan yaitu:

1. Jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan, termasuk ukuran mata jaring

2. Jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan yang dimaksud adalah sarana, perlengkapan, atau benda lain yang digunakan untuk membantu dalam rangka efesiensi dan efektivitas penangkapan ikan

Lawrance M. Friedman dalam Yulia A. Hasan. 2020. Hukum Laut: Konservasi Sumber Daya Ikan di Indonesia.

Pranadamedia Group, Makassar. Hal 157

(50)

3. Daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan

4. Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan 5. Sistem pemantauan kapal perikanan

6. Jenis ikan baru yang akan dibudidayakan

7. Jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan berbasis budi daya

8. Pembudidayaan ikan dan perlindungan

9. Pencegahan, pencemaran, dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya

10. Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap 11. Suaka perikanan

12. Wabah dan wilayah wabah penyakit ikan

13. Jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan dari wilayah Republik Indonesia (Nomor 41/Permen- KP/2014), tidak ada alasan mengapa dilarang, dan perlu dipublikasikan dan sosialisasikan

14. Jenis ikan yang dilindungi (Nomor 35/Permen-KP/2013 Tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan).17

Kewajiban tersebut sebagian besar telah dituangkan dalam peraturan menteri kelautan dan perikanan dan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, dan

Undang-undang Nomor 31 Pasal 7 ayat (2) Tahun 2004 Tentang Perikanan.

(51)

peraturan dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam melakukan penangkapan dan pengelolaan perikanan. Secara umum timbulnya pelanggaran konservasi sumber daya ikan adalah disebabkan beberapa faktor sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan manusia yang menimbulkan dampak negatif yang dapat merusak lingkungan perikanan

2. Adanya kebijakan pemerintah yang berubah terkait dengan pengelolaan wilayan konservasi, yang semula merupakan kewenangan pemerintah daerah dengan undang-undang pemerintah daerah yang baru, kewenangan tersebut diberikan kepada pemerintah provinsi.

3. Adanya penegakan hukum yang lemah, hal ini berkaitan dengan aspek pengawasan, pelaporan dan peradilan.

Persoalan penegakan hukum pada konservasi sumber daya ikan merupakan persoalan multi-actors, karena melibatkan banyak pihak yaitu masyarakat, pemerintah, nelayan dan lain-lain. Bedasarkan Pasal 47 ayat (4) PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan diatur, bahwa masyarakat dapat diikutsertakan dalam pengawasan konservasi sumber daya ikan, karena masyarakat lebih dulu mengetahui dan mengalami peristiwa yang terjadi dilaut, oleh sebab itu masyarakat merupakan ujung tombak dari pengelolaan perikanan. Pengelolaan sumber daya ikan perlu melibatkan masyarakat khususnya nelayan yang bermukim disekitar pantai. Masyarakat dapat dilibatkan dalam perlindungan konservasi sumber daya ikan, sebab

(52)

semakin banyak yang melakukan pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran konservasi sumber daya ikan semakin kecil pelanggaran tersebut terjadi.

Adapun peranan dan partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum dibidang konservasi sumber daya ikan dapat berupa :

1. Pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya ikan

2. Informasi awal kepada pihak yang berkepentingan tentang adanya pelanggaran

3. Melibatkan masyarakat untuk membantu proses pemeriksaan misalnya mendokumentasikan hasil pemeriksaan.

Menurut Melda Kamil Ariadno18, dalam pembangunan perikanan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan :

1. Sumber daya itu sendiri, pemetaan data yang akurat, perizinan yang bertanggung jawab, pengawasan dan penegakan hukum yang konsisten dan penentuan kebijakan bersumber pada data.

2. Lingkungan dimana sumber daya itu ada, kebersihan lingkungan untuk mendapatkan sumber daya yang baik, pemetaan kebersihan dan kesehatan lingkungan, tidak membuang limbah/sampah ke laut,tindakan pencegahan dan penanganan darurat.

Melda Kamil Ariadno dalam Yulia A. Hasan. 2020. Hukum Laut: Konservasi Sumber Daya Ikan di Indonesia.

Pranadamedia Group, Makassar. Hal 157

(53)

3. Manusia yang memanfaatkan sumber daya, pemberdayaan nelayan dan pengusaha perikanan, pendamping penataan aturan, kebijakan berlandaskan kepentingan dan analisi dampak.

Untuk menunjang pelaksanaan konservasi sumber daya ikan oleh aparat pelaksana, khusunya aparat yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum dilapangan, harus ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai. Sarana sangat penting untuk mengefektifkan suatu aturan, biasanya yang dibutuhkan adalah yang mendukung kegiatan pengawasan seperti sumber daya manusia (SDM), peralatan yang memadai, pembiayaan dan terorganisasi, agar aparatur pelaksana dapat menjalankan tugas dengan baik. Agar perlindungan terhadap konservasi sumber daya ikan dapat ditegakkan dan berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan, dan sejalan dengan tujuan undang-undang, maka diperlukan pengawasan sehingga apa yang merupakan tujuan konservasi sumber daya ikan dapat tercapai. Pengawasan dan penegakkan dapat efektif salah satunya jika didukung oleh sarana dan prasarana.

Menurut Soejono Soekanto, agar upaya penegakan hukum berjalan dengan baik dan sempurna, maka paling sedikit harus ada empat faktor yang harus dipenuhi, yaitu :

1. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri 2. Petugas yang menerapkan atau menegakkan

(54)

3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum

4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkung peraturan tersebut.19 Bedasarkan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mengatur bahwa kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan penegakan hukum dibidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Bedasarkan pasal tersebut, bahwa dalam melakukan pengawasan perikanan, sarana yang dibutuhkan adalah kapal pengawas yang dapat menjadi sarana transportasi yang menghubungkan antara satu wilayah pengelolaan perikanan yang satu dengan yang lain. Namun kurangnya fasilitas pengawasan yang memadai merupakan salah satu penyebab pengawasan tidak maksimal. Oleh sebab itu sudah seharusnya ada penambahan kapal patroli yang kualitas dan jumlahnya sejalan dengan kepentingan pengawasan perikanan serta disesuaikan dengan luas wilayah perairan Indonesia. Penambahan kapal patroli harus diikuti dengan penambahan personel guna pengoperasian kapal, dan perlu diperlukan tambahan biaya operasional kapal patrol.20

Penerapan sanksi dalam konservasi sumber daya ikan dapat berupa sanksi pidana, maupun administratif. Dalam Undang-Undang 31 Tahun 2004, hanya ada dua macam delik, yaitu :

Soerjono Soekanto dalam Yulia A. Hasan. 2020. Hukum Laut: Konservasi Sumber Daya Ikan di Indonesia.

Pranadamedia Group, Makassar. Hal 157

Gatot Supramono dalam Yulia A. Hasan. 2020. Hukum Laut: Konservasi Sumber Daya Ikan di Indonesia.

Pranadamedia Group, Makassar. Hal 157

Referensi

Dokumen terkait

memahami, mengaplikasikan menganalisa, mengsintesis, dan mengevaluasi terhadap suatu materi yang berkaitan dengan kejadian penyakit tersebut. Berdasarkan dengan penjelasan

Dengan demikian, komitmen politik akan mengalami konkretisasi di dalam praktik demokratisasi politik, di mana sosok perempuan tidak lagi hanya sebagai “objek” pemenuhan suara

Nautilus, seperti gambar diatas ini berenang di salah satu perairan di Palau, Mikronesia, nautiluses pertama kali muncul selama periode Permian dan

Dalam penelitian ini akan dianalisa kestabilan dari model matematika pada permasalahan pengendalian hama terpadu yang secara kimia dilakukan dengan penyemprotan

Karena dengan membahas kasus negara yang menganut paham marxisme yang kemudian beralih menjadi negara kapitalis tidak lain dan tidak bukan adalah karena gagalnya sistem

Jurnal internasional yang berjudul “Strategic Magagement and The Philosophy of Science : The case for a constructivist methodology” yang ditulis oleh Raza Mir

Compared to the genre of modern Arab historiography discussed earlier, it appears that the Tārīkh al-Tashrī‘ genre in the early colonial period also carried out the same

Selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk menentukan pendugaan sebaranfosfat.Interpretasi ini didasarkan pada karakteristik atau kecenderungan harga resistivitas yang