• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEBERADAAN PASAR SENGGOL MAKASSAR TERHADAP PERMUKIMAN MASYARAKAT DI SEKITARNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENGARUH KEBERADAAN PASAR SENGGOL MAKASSAR TERHADAP PERMUKIMAN MASYARAKAT DI SEKITARNYA"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

UJIAN SEMINAR HASIL

PENGARUH KEBERADAAN PASAR SENGGOL MAKASSAR TERHADAP PERMUKIMAN

MASYARAKAT DI SEKITARNYA

FAJAR SUGANDI NIM. 45 042 09 061

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BOSOWA

MAKASSAR

2017

(2)

UJIAN TUTUP

PENGARUH KEBERADAAN PASAR SENGGOL MAKASSAR TERHADAP PERMUKIMAN MASYARAKAT

DI SEKITARNYA

FAJAR SUGANDI NIM. 45 042 09 061

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BOSOWA

MAKASSAR

2017

(3)

PENGARUH KEBERADAAN PASAR SENGGOL MAKASSAR TERHADAP PERMUKIMAN

MASYARAKAT DI SEKITARNYA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana (S1)

Program Studi

Perencanaan Wilayah dan Kota

Disusun dan diajukan oleh

FAJAR SUGANDI

Kepada

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BOSOWA

MAKASSAR

2017

(4)
(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan nikmat kesehatan dan hikmat kepada penulis sehingga penelitian ini dapat terselaesaikan.

Tugas akhir ini berjudul “Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Makassar Terhadap Permukiman Masyarakat Di Sekitarnya”, diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) pada jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar.

Dalam proses penyelesaian tugas akhir ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan namun berkat bantuan berbagai pihak sehingga segala kekurangan penulis dapat teratasi, pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam rangka menyelesaikan tugas akhir ini, kepada :

Kedua orang tua tercinta, ayahanda ... dan ibunda ... yang telah memberikan dukungan, motivasi dan kasih sayang

serta rangkaian doa yang tak henti-hentinya kepada penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.

bapak Jufriadi ST.,MSP selaku pembimbing I dan bapak Ilham Yahya ST.,MSP selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran serta kesabaran dalam membimbing penulis mulai dari persiapan penelitian hingga akhir penulisan.

Bapak Dr. Hamsina, ST,.M.Si selaku dekan Fakultas Teknik serta para

(8)

pembantu Dekan beserta seluruh staf Fakultas Teknik maupun di jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota.

Serta ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada bapak Jufriadi, ST,. MSP, selaku ketua jurusan dan Pembimbing Akademik yang selalu membantu dan membimbing penulis selama proses perkuliahan.

Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis di terima sebagai amal ibadah dan mendapat limpahan rahmat yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari tugas akhir ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain serta bagi peneliti selanjutnya.

Makassar, Nopember 2017

Fajar Sugandi

(9)

DAFTAR ISI Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Teori Perkotaan ... 12

B. Teori Lokasi Land Rent Lokasi dan Pasar Lahan ... 18

C. Keberadaan Perdagangan Terhadap Kawasan Permukiman ... 24

D. Perkembangan Permukiman ... 26

E. Ekonomi Perkotaan ... 30

F. Pedagang Kaki Lima ... 37

(10)

G. Pengguna Pasar ... 40

H. Fungsi Dan Peranan Pasar ... 42

I. Lakasi Pasar ... 46

J. Kerangka Pikir ... 51

K. Definisi Operasional ... 52

BAB III. METODE PENELITIAN ... 54

A. Jenis Penelitian ... 54

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 55

C. Pendekatan-Pendekatan Dalam Penelitian ... 53

D. Sumber Data ... 55

E. Teknik Pengumpulan Data ... 56

F. Populasi Dan Sampel ... 57

G. Teknik Penarikan Sampel ... 57

H. Teknik Analisis Data ... 58

I. Variabel Penelitian ... 60

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 63

A. Gambaran Umum Kecamatan Mariso... 63

B. Gambaran Umum Kelurahan Tamarunang ... 69

1. Kondisi Fisik dasar ... 69

2. Potensi Sumber Daya Manusia ... 73

C. Gambaran Lokasi Penelitian Pasar Senggol... 79

1. Kondisi Pasar Senggol Pada Malam Hari ... 79

2. Kondisi Pasar Senggol Pada Siang Hari ... 80

(11)

BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 86

A. Faktor Penting yang Berpengaruh Keberadaan Pasar Senggol Makassar Terhadap Lalu Lintas ... 86

B. Faktor Penting yang Berpengaruh Keberadaan Pasar Senggol Makassar Terhadap Lingkungan Masyarakat .... 89

C. Faktor Penting yang Berpengaruh Keberadaan Pasar Senggol Makassar Terhadap Kawasan Permukiman ... 92

D. Analisis Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Lalu Lintas di sekitarnya ... 95

E. Analisis Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Lingkungan ... 97

F. Analisis Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Kawasan Permukiman di sekitarnya ... 97

G. Analisis Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Makassar Terhadap Intensitas Ruang ... 101

H. Analisis Pemanfaatan Lahan di Sekitar Pasar Senggol Makassar ... 105

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ……… 107 DAFTAR PUSTAKA

(12)

LAMPIRAN – LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

TABEL TEKS Halaman

3.1.

4.1.

4.2.

4.3.

4.4.

4.5.

4.6.

4.7.

4.8.

4.9.

4.10.

4.11.

4.12.

4.13.

4.14.

5.1.

5.2.

5.3.

5.4.

5.5.

5.6.

5.7.

Koefisien Tingkat Korelasi Variabel Yang Berpengaruh

Luas Kelurahan Di Kecamatan Mariso

Jumlah dan PerkembanganPenduduk 5 tahun Terakhir di Kec. Mariso

Tingkat Kepadatan Penduduk di Kec. Mariso Banyaknya Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Kec. Mariso Tahun 2013

Banyaknya Penggunaan Lahan Dirinci Berdasarkan Jenisnya di Kel. Tamarunang Jarak Kelurahan Tamarunang ke ibukota Dirinci berdasrakan orbitasi tahun 2013

Perkembangan Jumlah penduduk dirinci Berdasarkan Jenis Di Kel.Tamarunang

Banyaknya Jumlah Keluarga dirinci berdasarkan jenisnya di kel.Tamarunang

Banyaknya Angkatam Kerja Dirinci Berdasarkan Jenisnya Di Kel. Tamarunang

Banyaknya Mata Pencarian Pokok Dirinci Berdasarkan Jenis Pekerjaan Di Kelurahan Tamarunang

Banyaknya Lembaga Ekonomi Dirinci Berdasarkan Jenisnya Di Kel. Tamarunang Banyaknya Usaha Perdagangan Dan Jasa Dirinci Menurut Jenisnya Di Kel. Tamarunang Banyaknya Pedagang Di Pasar Senggol Tahun 2013

Perkembangan Kondisi Perubahan lahan Di Sekitar Pasar Senggol Tahun 2008-2012 Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Tingkat Kemacetan

Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Sarana Parkir

Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Rambu Lalu Lintas

Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Sampah

Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Estetika

Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Keresahan Masyarakat

Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap

60 64 66 67 68 72 72 73 74 76

77 78 79 85 85

87 87 88 89 90 91

(13)

5.8.

5.9.

5.10

5.11.

5.12.

Kepadatan

Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Kekumuhan

Pengaruh Keberadaan Pasar Senggol Terhadap Semrawut

Pengaruh Pasar Senggol Makassar Terhadap Lalu Lintas Di Sekitar Permukiman Masyarakat Tahun 2013

Pengaruh Pasar Senggol Makassar Terhadap Lingkungan Tahun 2013

Pengaruh Pasar Senggol Makassar Terhadap Kawasan Permukiman Tahun 2013

92 93 93

95 97 99

(14)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR TEKS Halaman

2.1.

4.1.

4.2.

4.3.

4.4.

4.5.

4.5.

Kerangka Pikir

Peta Administrasi Kota Makassar Peta Administrasi Kec. Mariso

Peta Administrasi Kelurahan Tamarunang

Peta Kondisi Malam hari Eksisting Pasar Senggol

Peta Kondisi Malam hari Eksisting Pasar Senggol

Peta Delianiasi Kawasan Pasar Senggol

51 65 66 71 82 83 84

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah. Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, termasuk kerjasama swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/ dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar-menawar (Pepres RI No. 112, 2007).

Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung. Dalam pasar tradisional terjadi proses tawar menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar.

Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-sehari seperti bahan – bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian, barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu ada juga yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak di temukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar (Wikipedia, 2007)

Suatu koridor di bagian pusat kota berkembang menjadi kawasan perdagangan disebabkan faktor penunjang keberadaan lokasi

(16)

tersebut, antara lain kedekatan (proximity), kemudahan (accessibility), ketersediaan (availability) dan faktor kenyamanan (amenity), selain itu ditentukan pula oleh meningkatnya jumlah penduduk disekitar kawasan serta peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dan adanya fasilitas-fasilitas yang menunjang kawasan tersebut.

Perkembangan suatu kota bersamaan dengan berkembangnya tuntutan masyarakat sebagai pelaku kegiatan. Hal ini berarti secara fisik dan fungsional, intensitas dan kualitas kegiatan kota selalu berubah.

Fungsi kawasan sebagai pusat pelayanan skala kota, mengharuskan kawasan mempunyai intensitas kegiatan yang tinggi. Kegiatan ekonomi yang semakin kuat pada suatu bagian kota cenderung akan merubah bentukan kota yang ada. Hal ini disebabkan karena sebagai pelaku kegiatan ekonomi, orang cenderung memilih area yang strategis.

Keberadaan Pasar Senggol berawal dari pasar induk Pasar Sambung Jawa dimana pelayanan terhadap konsumen hanya berlansung sampai jam 12.00 siang, dengan melihat waktu pelayanan Pasar Sambung Jawa yang terbatas maka sebagian masyarakat yang bermukim disekitar pasar mulai membuka kios diluar area pasar Sambungjawa dengan memanfaatkan jalan hati murni untuk berjualan, animo masyarakat untuk berbelanja ternyata besar akhirnya bermunculan kios-kios yang menempati jalan hati murni mulai jam 17.00 sampai 22.00 wita

Pasar Senggol terletak di Kecamatan Mariso Kota Makassar, merupakan salah satu fasilitas perdagangan yang melayani kebutuhan

(17)

penduduk di kawasan tersebut. Keberadaan Pasar Senggol berasal dari pasar sambung jawa yang merupakan pasar induk yang ada di wilayah Kecamatan Mariso. Hal ini mengakibatkan semakin luas kawasan disekitar Pasar Senggol yang digunakan para pedagang untuk menjajakan dagangannya. Bahkan beberapa ruas jalan di sekitar jalan tersebut dipergunakan untuk perluasan areal perdagangan, antara lain jalan Cendrawasih, dan jalan Hati Murni, adapun jalan Cendrawasih adalah koridor yang terletak di sebelah timur Pasar Senggol, membujur dari arah utara ke selatan,

Pasar Senggol adalah pasar sesaat yang terjadi ketika terdapat sebuah keramaian atau perayaan. Namun bagi masyarakat Makassar, sebutan pasar Senggol adalah salah satu jenis pasar tradisional dengan kegiatan pasar yang sifatnya sementara dengan wadah berjualan yang tersedia tidak permanen atau semi permanen dan aktivitasnya hanya untuk waktu - waktu tertentu dimana setiap harinya berlangsung hanya beberapa jam saja, pada malam hari ataupun sore hari. Seiring waktu dengan bertambahnya tuntutan (demand) terhadap pemenuhan kebutuhan hidup, maka pasar Senggol juga mengalami perkembangan secara perlahan. Jumlah pedagang dan pembeli semakin banyak, tempat berdagang semakin luas serta waktu transaksi semakin lama. Sementara jika ditarik kembali ke teori penentuan lokasi sebuah pasar, dibutuhkan beberapa faktor yang harus dipenuhi agar dapat tercipta lingkungan yang baik dan tertata rapih. Menurut Miles (1999 : 43 ), terdapat 9 faktor yang perlu diperhatikan, yaitu peruntukan lahan (zoning), penampakan fisik

(18)

(physical features), utilitas, transportasi, parkir, dampak lingkungan (sosial dan alam), pelayanan publik, penerimaan/respon masyarakat (termasuk perubahan perilaku) serta permintaan dan penawaran (pertumbuhan penduduk, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan). Sebagai gambaran, pasar Senggol berada dipinggiran permukiman informal dengan menggunakan ruang seluas 750 meter persegi yang mengikuti jaringan jalan dimana sebagian pasar menggunakan sebuah gang untuk membangun petak-petak kecil berukuran 2 meter persegi dan sebagian lagi berada di bahu jalan utama lingkungan untuk berdagang dengan menggunakan gerobak dorong, terpal sebagai alas atau perumahan yang telah beralih fungsi menjadi toko.

Di tempati oleh kurang lebih 137 pedagang (sumber: PD. Pasar Makassar, 2012) yang menjual beraneka komoditas meliputi sayur mayur, daging, peralatan rumah tangga, makanan, pakaian dan lain sebagainya membuat pasar tersebut selalu ramai oleh pengunjung, mengingat bahwa pasar Senggol merupakan satu-satunya pasar tradisional terdekat dan menawarkan komoditas perdagangan yang relatif lengkap dalam radius 1 km dari permukiman. Dengan jarak tempuh yang relatif dekat dan daya tarik yang mampu diberikan oleh pasar Senggol, hal tersebut mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan pola Single Purpose Trip.

Selain itu pasar Senggol letaknya berada di mulut jalan lingkungan utama sehingga sering dijadikan salah satu titik

(19)

pemberhentian untuk berbelanja sebelum melanjutkan berbelanja di tempat lain yang menyediakan produk atau jasa yang tidak disediakan oleh pasar Senggol. Terkait dengan waktu aktivitasnya, pasar Senggol kerap ramai dengan pekerja yang umumnya mencari makan sebelum berangkat beraktivitas pada pagi hari atau ketika pulang dari beraktivitas pada sore atau malam harinya.

Jika dikaitkan antara keberadaan pasar Senggol dengan teori lokasi yang telah dijabarkan sebelumnya, terlihat bahwa beberapa faktor penentu kelayakan lokasi pasar tidak terpenuhi dengan baik. Dampak dari hal tersebut yaitu terjadinya penurunan kualitas permukiman di sekitar pasar Senggol dikarenakan meningkatnya penggunaan sarana dan prasarana umum.

Dengan menggunakan ruang publik yang ada di dalam permukiman sebagai ruang aktivitas pasar, mengakibatkan meningkatnya beban yang harus dilayani oleh prasarana yang ada. Permasalahan yang secara visual dapat terlihat secara luas adalah permasalahan sampah dan drainase, serta karena sebagian besar pasar Senggol memanfaatkan bahu jalan yang berada di ujung jalan utama permukiman yang memiliki lebar jalan hanya 8 meter, mengakibatkan sering terjadinya kemacetan terutama pada jalan cendrawasi.

Namun pengaruh yang diberikan oleh perkembangan pasar Senggol tentu tidak hanya itu. Sedangkan disisi lain, unsur permintaan (demand) dan penyediaan (supply) yang terjadi di pasar Senggol telah mengalami perkembangan untuk saling menyeimbangkan dan saling

(20)

memenuhi. Dan meningkatnya jumlah penduduk, lokasi pasar yang strategi hingga tidak adanya pengawasan dan pengelolaan dari pemerintah, semua faktor tersebut akan memicu perkembangan pasar Senggol menjadi semakin luas lagi dan dikhawatirkan akan semakin tidak terkendali. Untuk itu dirasakan perlu dikaji lebih dalam terkait keberadaan dan pengelolaan sebuah pasar Senggol serta pengaruhnya, baik aspek fisik, aspek ekonomi maupun aspek sosial-budaya terhadap permukiman yang ada di sekitarnya.

Pasar Senggol sebagai salah satu bentuk pasar tradisional yang tumbuh secara alami dan tidak dikelola oleh sebuah badan usaha ataupun pemerintah, tidak dapat diatur oleh peraturan perundangan yang telah ada, karena disebutkan di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tadisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern pada pasal 1 ayat 2; " Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar ". Dengan demikian, tanpa adanya campur tangan pemerintah atau sebuah badan usaha, maka pengelolaan dan pengendalian pasar tersebut tidak akan optimal.

Pasar Senggol di dalam sebuah permukiman, telah memberikan

(21)

dampak positif diantaranya mampu memberikan pelayanan bagi kebutuhan warga; menyediakan kebutuhan sehari-hari, memberikan peluang usaha, kesempatan kerja serta mendorong pengembangan suatu wilayah yang pada akhimya jika kesejahteraan dan pendapatan ekonomi meningkat, sedikit banyak juga berpengaruh pada perbaikan kualitas perumahan dan permukimannya. Namun disisi lain karena tidak atau belum dikelola dengan baik maka pasar Senggol juga menimbulkan banyak masalah seperti jalan menjadi macet, sampah menumpuk, got mampet, kotor, bau tak sedap serta munculnya bedeng bedeng tempat penjualan yang dibangun seadanya di tempat-tempat umum. Bahkan muncul masalah sosial dengan adanya pungutan liar dan premanisme.

Hal tersebut diatas akan sangat mempengaruhi kualitas permukiman yang berada di sekitar Pasar Senggol, diantaranya menimbulkan kecenderungan munculnya lingkungan yang secara visual berkesan buruk, kotor dan kumuh.

Sejak awal, lokasi pasar Senggol memang tidak layak untuk digunakan sebagai pasar berdasarkan faktor-faktor yang telah dikemukakan sebelumnya pada latar belakang. Namun walau hal tersebut diatas terjadi, pedagang lama tetap bertahan dan pedagang baru tetap bermunculan. Nampaknya terdapat faktor penarik, baik bagi pedagang maupun konsumen yang menjadikan lokasi pasar Senggol menjadi tempat favorit untuk melakukan aktivitas ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap keberadaan dan perkembangan pasar Senggol diantaranya, jalan menjadi macet, sampah yang berserakan, kebisingan

(22)

yang tinggi, lingkungan tidak aman, bau yang tidak sedap sulit mencari parkir. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut sekaligus sebagai pendukung kegiatan perbaikan dan peningkatan kualitas permukiman maka perlu untuk mengkaji terlebih dahulu gaya tarik menarik antara supply dengan demand yang muncul akibat dari keberadaan dan perkembangan pasar Senggol yang tidak terkendali tersebut. Kemudian dengan mengidentifikasi dan mengelompokan permasalahan yang ada secara sistematis, diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga bagi khasanah penelitian dan pihak pemerintah ataupun stakeholder lainnya yang terkait.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah bagaimana pengaruh keberadaan dan perkembangan pasar Senggol Makassar terhadap permukiman masyarakat disekitarnya.

C. Tujuan & Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh keberadaan dan perkembangan pasar Senggol terhadap permukiman disekitarnya.

2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Sebagai bahan informasi untuk mengetahui pengaruh keberadaan

(23)

dan perkembangan pasar Senggol terhadap permukiman disekitarnya.

b. Bahan masukan kepada pemerintah sebagai pengambil keputusan untuk mengetahui keberadaan dan perkembangan pasar Senggol berpengaruh terhadap permukiman disekitarnya.

c. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang lain dengan tujuan daan tinjauan yang berbeda.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Guna memperjelas arah dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas adapun lingkup batasan dalam penelitian ini hanya difokuskan pada pengaruh keberadaan dan perkembangan pasar Senggol terhadap permukiman masyarakat disekitarnya dengan variable penelitian yang akan diteliti sebagai berikut :

a. Lalu lintas : tingkat kemacetan, area parker dan rambu jalan b. Lingkungan : Sampah, estetika dan keresahan masyarakat c. Kawasan Permukiman : kepadatan, kumuh dan semrawut

d. Intensitas ruang : panjang jalan, jumlah rumah, sanitasi dan harga lahan.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudakhan pembahasan dan penyusunan hasil penelitian yang dilakukan, maka sistematika yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

(24)

1. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, Lingkup batasan penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bagian kedua merupakan tinjauan pustaka yang menguraikan teori- teori tentang perkotaan, teori lokasi land rent dan pasar lahan keberadaan perdagangan terhadap kawasan permukiman, perkembangan permukiman, pengertian pasar, pengguna pasar, fungsi dan peran pasar, lokasi pasar serta kerangka.

3. Bagian ketiga merupakan metode penelitian yang membahas waktu dan lokasi penelitian, pendekatan-pendekatan dalam penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, teknik penarikan sampel, teknik analisis serta variabel penelitian.

4. Bagian keempat adalah gambaran umum lokasi penelitian meliputi : Kondisi aspek fisik dasar, gambaran umum kelurahan Tamarunang, serta gambaran lokasi penelitian pasar Senggol Makassar

5. Bagian kelima merupakan pembahasan yang menjelaskan mengenai faktor penting yang berpengaruh keberadaan pasar Senggol Makassar terhadap lalu lintas, faktor penting yang berpengaruh keberadaan pasar senggol Makassar terhadap lingkungan masyarakat, faktor penting yang berpengaruh keberadaan pasar Senggol Makassar terhadap kawasan permukiman, analisis pengaruh pasar Senggol terhadap lalu lintas di sekitarnya, analisis pengaruh pasar Senggol terhadap lingkungan di sekitarnya serta analisis

(25)

pengaruh pasar Senggol terhadap kawasan permukiman di sekitarnya,

6. Bagian keenam merupakan penutup yang menjelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian serta saran.

.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Perkotaan

Kota secara fisik merupakan hasil bentukan antara bangunan dengan ruang terbuka yang mendukung identifikasi tekstur dan pola bentukan ruang kota. Teori-teori figure/ground dipahami dari tata kota sebagai hubungan tekstural antara bentuk yang dibangun (building massa) dan ruang terbuka (open space). Analisis figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola- pola sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric), serta mengidentifikasikan masalah ketidakteratu ran massa/ruang perkotaan.

Homogen, adalah susunan kawasan yang bersifat dimana hanya ada satu pola penataan. Sebagai contoh adalah Kota Algier, Maroko dan Amsterdam, Belanda. Kedua kota ini memiliki pola kawasan yang bersifat homogeny

Heterogen, susunan kawasan yang bersifat dimana ada dua atau lebih pola berbenturan, sebagai contoh adalah dua buah kawasan di Kota Aachen, Jerman. Kedua kawasan tersebut memiliki pola yang bersifat heterogen.

Menyebar, susunan kawasan yang bersifat menyebar dan kecenderungan kacau. Sebagai contoh adalah Kota Bonn dan Hamburg, Jerman. Kedua kawasan ini memiliki pola yang bersifat agak kacau.

(27)

Sistem hubungan di dalam tekstur figure/ground mengenal dua kelompok elemen, yaitu solid (bangunan) dan void (ruang terbuka). Ada tiga elemen dasar yang bersifat solid dan empat elemen dasar yang bersifat void. tiga elemen solid tersebut adalah:

a. Blok tunggal, bersifat individu, namun juga dapat dilihat sebagai bagian dari satu unit yang lebih besar.

b. Blok yang mendefinisi sisi, yang berfungsi sebagai pembatas secara linier.

c. Blok medan yang memiliki bermacam-macam massa dan bentuk, namun masing-masing tidak dilihat sebagai individu-individu. Berikut di bawah ini merupakan gambar mengenai tiga buah elemen solid - Teori Linkage

Kota adalah sesuatu yang kompleks dan rumit, maka perkembangan kota sering mempunyai kecenderungan membuat orang merasa tersesat dalam gerakan di daerah kota yang belum dikenal. Hal ini sering terjadi di daerah yang tidak mempunyai linkage (penghubung), yang memperhatikan dan menegaskan hubungan-hubungan dan gerakan-gerakan sebuah tata ruang perkotaan. Linkage theory merupakan teori yang menjelaskan bahwa jaring-jaring sirkulasi yang menghubungkan antar bagian kawasan atau bangunan turut membangun struktur kota dan jaring-jaring sirkulasi menjadi acuan dalam mengorganisasikan sistem pergerakan.

Dalam penelitian ini lebih dikhususkan pada pembahasan mengenai teori linkage visual dan linkage struktural. Hal ini disebabkan

(28)

pada lokasi penelitian permasalahan yang terjadi lebih cenderung mengarah pada permasalahan terbentuknya massa dan ruang baru karena keberadaan Pasar Senggol yang mempengaruhi massa dan ruang yang sudah terbentuk. Disamping itu juga permasalahan struktur jaringan interaksi antar kegiatan pada nodes, dimana ditemukan pola- pola penggunaan ruang publik oleh pedagang pasar Senggol yang menyebabkan terbentuknya sirkulasi (baik pejalan kaki dan kendaraan bermotor dan parkir) baru yang menyambung pola massa dan ruang yang lama, sehingga sangat menarik untuk diteliti lebih mendalam mengenai terbentuknya linkage visual dan linkage struktural pada lolasi penelitian ini.

- Linkage Visual

Dalam linkage yang visual dua atau lebih banyak fragmen kota yang dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual. Karena sebuah linkage yang visual mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala. Pada dasarnya ada dua pokok perbedaan linkage visual yaitu:

a. Yang menghubungkan dua daerah secara netral

b. Yang menghubungkan dua daerah dengan menggunakan satu daerah.

Terdapat lima elemen yang dapat menjelaskan linkage visual, yaitu:

- Elemen garis, menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu deretan massa. Untuk massa tersebut bisa dipakai sebuah deretan bangunan ataupun sebuah deretan pohon yang

(29)

memiliki rupa masif.

- Elemen koridor, yang dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) membentuk sebuah ruang.

- Elemen sisi, sama dengan elemen garis yang menghubungkan dua kawasan dengan satu massa. Perbedaannya dibuat secara tidak langsung, sehingga tidak perlu dirupakan dengan sebuah garis yang massanya agak tipis, bahkan hanya merupakan sebuah wajah yang massanya kurang penting.

- Elemen sumbu, mirip dengan elemen koridor yang bersifat spasial, namun perbedaannya ada pada dua daerah yang dihubungkan oleh elemen tersebut yang sering mengutamakan salah satu daerah tersebut.

- Elemen irama, menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.

- Linkage Struktural

Dalam linkage struktural yang baik, pola ruang perkotaan dan bangunannya sering berfungsi sebagai sebuah stabilisator dan koordinator di dalam lingkungannya, karena setiap kolase (penghubung fragmen-fragmen) perlu diberikan stabilitas tertentu dan koordinasi tertentu dalam strukturnya. Tanpa ada daerah-daerah yang polanya tidak dikoordinasikan serta distabilisasikan tata lingkungannya, maka cenderung akan muncul pola tata kota yang kesannya agak kacau.

Terdapat tiga elemen linkage struktural yang mencapai hubungan secara arsitektural, yaitu:

(30)

a. Elemen tambahan, melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya. Bentuk-bentuk massa dan ruang yang ditambah dapat berbeda, namun pola kawasannya tetap dimengerti sebagai bagian atau tambahan pola yang sudah ada di sekitarnya.

b. Elemen sambungan, elemen ini memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasannya. Diusahakan menyambung dua atau lebih banyak pola di sekitarnya, supaya keseluruhannya dapat dimengerti sebagai satu kelompok yang baru memiliki kebersamaan melalui sambungan itu.

c. Elemen tembusan, elemen ini tidak memperkenalkan pola baru yang belum ada, sedikit mirip dengan elemen tambahan, namun lebih rumit polanya karena di dalam elemen tembusan terdapat dua atau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan akan disatukan sebagai pola-pola yang sekaligus menembus di dalam satu kawasan.

- Teori Place

Proses rancang kota harus dapat merespon dan mewadahi nilai- nilai konstekstual yang ada dengan memperhatikan nilai budaya, sejarah, dan hal-hal yang lain secara arsitektural. Dalam teori ini membahas mengenai makna sebuah kawasan di perkotaan secara arsitektural.

Manusia memerlukan suatu tempat untuk mengembangkan kehidupan dan budayanya, tidak hanya sekedar space tetapi lebih dirasakan sebagai place. Kebutuhan itu timbul karena adanya kesadaran orang terhadap suatu tempat yang lebih luas daripada hanya sekedar masalah

(31)

fisik saja.

Menurut peneliti Adminstration (2005 : 28), terdapat 7 penyebab kemacetan, yaitu kecelakaan lalu lintas ( physical bottleneeds ), area pekerjaan (work zone), cuaca buruk ( bad weather ), alat pengatur lalu lintas yang kurang memadai ( poor signal timing ) kecelakaan lalulintas (traffic incident), acara khusus ( special event ) dan fluktuasi pada arus normal ( fluctuations in norma traffic ).

Menurut Neolaka .A (2008 112) menyatakan bahwa atas dasar interaksi antara lingkungan social dan lingkungan buatan dengan kegiatan manusia yang menghasilkan sampah, maka bila sampah tidak dikelola secara tepat akan mengancam kualitas lingkungan nilai estetika menurun dan berpengaruh terhadap keresahan masyarakat.

Menurut Sugiono Soetomo (2013:75). tumbuh suburnya permukiman informal dengan ciri padat, kumuh, jorok, kualitas lingkungan permukiman mereka relative buruk, tidak layak huni, tidak memenuhi persyaratan sebagai hunian baik secara teknis maupun non teknis, dan mayoritas penghuninya miskin. Lokasi permukiman kumuh yang mudah kita temui, seperti di tempat-tempat strategis di perkotaan seperti di sekitar Pasar, belakang kompleks perkantoran, belakang pergudangan, bantaran kali/sungai, menempati lahan kuburan, di koridor kanan-kiri Rel KA, atau dekat tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, dan disekitar terminal. Lokasi-lokasi yang diserbu para migran untuk dijadikan lingkungan permukiman tersebut bukan lokasi yang ditetapkan sebagai daerah permukiman

(32)

Menurut Yunus H.S (1999 : 22) Perubahan maupun peningkatan intensitas bangunan berupa pemanfaatan yang mendukung keberadaan pusat aktivitas masyarakat, meskipun demikian tidak semua perubahan tersebut melalui mekanisme perijinan yang ditentukan. Perubahan tersebut adatah dari lahan kosong menjadi kawasan terbangun maupun rumah tinggal menjadi tempat usaha baik untuk perdagangan maupun jasa dan berpengaruh terhadap harga lahan.

B. Teori Lokasi Land Rent Lokasi dan Pasar Lahan

Barlow (1978:75) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi, sehingga sektor tersebut berada pada kawasan strategis mempunyai land rent yang tinggi, sehingga sektor tersebut berada pada kawasan strategis, sebaliknya sektor yang kurang mempunyai nilai komersial maka nilai rentnya semakin kecil. Land rent diartikan sebagai locational rent.

Lahan termasuk didalamnya lahan sawah, dalam kegiatan produksi merupakan salah satu faktor produksi tetap. Barlow mengemukakan bahwa nilai rent sumber daya lahan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu

- Sewa kontrak (contract rent) - Sewa lahan (land rent)

- Nilai rent ekonomi dari lahan (Economic rent)

- Economic rent sama dengan surplus ekonomi merupakan

(33)

kelebihan nilai produksi total diatas biaya total. Menurut Anwar (1990:28) suatu lahan sekurang-kurangnya memiliki empat jenis rent, yaitu:

- Ricardian rent, menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan;

- Locational rent, menyangkut fungsi eksesibilitas lahan;

- Ecological rent, menyangkut fungsi ekologi lahan;

- Sosiological rent, menyangkut fungsi sosial dari lahan.

Umumnya land rent yang merupakan cermin dari mekanisme pasar hanya mencakup ricardian rent dan locational rent, sedangkan ecological rent and sosiological rent tidak sepenuhnya terjangkau mekanisme pasar.

Secara fisik, lahan merupakan aset ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh kemungkinan penurunan nilai dan harga serta tidak dipengaruhi oleh faktor waktu, secara fisik pula lahan merupakan aset yang mempunyai keterbatasan dan tidak dapat bertambah besar, misalnya dengan melalui usaha reklamasi. Lahan secara fisik tidak dapat dipindahkan, walaupun fungsi dan penggunaan lahan (land function and use) dapat berubah tetapi lahannya sendiri bersifat stationer (tetap). Atas dasar sifat ini, ketentuan penetapan harga lahan akan sangat bersifat spesifik yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran/persediaan (demand and supply) lahan pada suatu wilayah tertentu. Pertimbangan faktor lokasi didalam penentuan harga lahan untuk berbagai penggunaan tidak sama. Hal ini sangat ditentukan oleh pertimbangan tata ruang Sujarto, ( 1986:55).

(34)

Christaller dalam bukunya Central Place In Southern Germany (terjemahan C.W. Baskin) mendefinisikan Teori Tempat Pusat atau Teori Pusat Pelayanan (central place theory) sebagai suatu kesatuan unit dasar permukiman yang dilengkapi pusat-pusat pelayanan di dalamnya.

Unit permukiman yang dimaksud dapat berupa satu kota besar, kota-kota kecil, wilayah kota atau satuan lingkungan hunian tertentu. Dan menurut Daldjoeni (1997), ciri dari pusat pelayanan adalah bahwa pusat tersebut menyediakan pelayanan (barang dan jasa) untuk wilayah pemukiman itu sendiri dan daerah sekitarnya yang lebih besar.

Lokasi kegiatan yang melayani kebutuhan penduduk harus berada pada tempat yang sentral. Tempat yang lokasinya sentral adalah tempat yang memungkinkan partisipasi manusia yang jumlahnya maksimum, baik bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan maupun yang menjadi konsumen dan barang-barang dan pelayanan yang dihasilkannya. Tempat semacam itu oleh Christaller dan Losch, diasumsikan sebagai titik simpul-simpul dari suatu bentuk geometrik yang heksagonal, Sumaatmadja, (1988).

Christaller juga menyatakan bahwa setiap pusat memiliki jangkauan pasar (market range). Jangkauan pasar adalah jarak di mana seseorang bersedia untuk mengadakan perjalanan dalam mencapai fasilitas/sarana yang diperlukannya. Jarak jangkauan untuk suatu sarana akan berbeda dengan jarak jangkauan dari sarana yang lain tergantung pada jenis barang/jasa yang dipasarkannya.

(35)

Blair (1995 : 56) mengungkapkan bahwa Market area adalah suatu wilayah yang diperkirakan di mana suatu produk bisa dijual. Outer limit menurut Blair terbagi dalam dua jenis, yaitu ideal outer range dan real outer range. Ideal outer range adalah jarak maksimum yang akan ditempuh oleh konsumen untuk memperoleh barang kebutuhannya selama biaya transportasi ditambah harga barang yang dibelinya masih dipandang lebih murah daripada harga rata-rata. Real outer range adalah jarak maksimum yang akan ditempuh oleh konsumen dalam persaingan pasar yang ada, dan inilah yang disebut sebagai market area yang sesungguhnya dari suatu kegiatan usaha.

Kegiatan pasar dalam menggerakkan perekonomian kota akan memiliki hirarki pelayanan yang didasarkan pada spesifikasi, fasilitas, populasi pelayanan, skala radius pelayanan, perkiraan kepadatan dan status pasar. Hirarki pasar menurut Nining J. Soesilo (2000 : 29), terbagi menjadi:

a. Hirarki yang pertama adalah pasar-pasar komersil yang berdiri sendiri, misalnya warung-warung kecil, restoran terpencil atau pompa bensin terpecil yang daerah operasinya kecil, threshold maupun range-nya kecil.

b. Hirarki kedua adalah pasar desa, di mana barang-barang yang dijajakan harganya relatif murah, tetapi dibutuhkan dalam jumlah banyak oleh rumah tangga sehingga threshold-nya relatif kecil.

c. Hirarki ketiga adalah pasar kecamatan, terdiri dari pasar dengan pertokoan di sekitarnya yang memberikan pelayanan terhadap

(36)

kebutuhan sehari-hari masyarakat.

d. Hirarki keempat adalah regional shopping centre atau pasar kabupaten, di mana pada pasar tersebut ditemui 40 sampai dengan 200 unit usaha atau lebih dan terdapat fungsi yang tidak dapat ditemui pada tempat sentral hirarki ketiga dan terjadi lebih banyak duplikasi dari unit-unit fungsi antara barang-barang sehari- hari (primer), barang sekunder dan terrier.

e. Hirarki kelima adalah metropolitan central business district, ternpat komersil ini merupakan jenis yang paling dominan sebab mempunyai lebih banyak macam fungsi komersil yang unit-unit fungsinya lebih banyak dan memakan tempat perdagangan dan pelayanan yang lebih besar.

Menurut Gallion & Eisner (1994 : 87), pusat perbelanjaan dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan lingkup pelayanannya, yaitu:

1. Pasar Pusat Lingkungan yang merupakan sumber bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan bahan makanan serta sebagai tempat pelayanan sehari¬hari dengan penduduk sebesar 7.500-20.000 orang. Ukuran rata-rata pusat perbelanjaan ini adalah sekitar 3500 m2.

2. Pasar Pusat Daerah/Kota melayani penduduk antara 20.000 – 100.000 orang dan dapat memperluas pelayanan pusat lingkungan dengan menyediakan berbagai toko atau toserba kecil sebagai unsur utama. Ukuran rata-rata pusat perbelanjaan ini adalah

(37)

antara 9.300-30.000 m2.

3. Pasar Pusat Regional/Wilayah biasanya dibangun di sekitar satu atau lebih toserba dan mencakup berbagai fasilitas perdagangan eceran yang biasanya ditemukan di suatu kota kecil yang seimbang. Pusat perbelanjaan ini dapat melayani penduduk antara 100.000-250.000 orang dengan luas rata-rata 60.000 m2.

Sementara Jayadinata (1999) berpendapat bahwa jarak tempuh antara pusat kota dengan pasar dan sebagainya harus bisa ditempuh dari lingkungan yang dilayaninya (market area) sampai jarak 3/4 km atau 10 menit perjalanan, sedangkan untuk standar luasnya ditetapkan 500 m2/1.000 penduduk.

Dari berbagai penjabaran diatas mengenai wilayah pelayanan pasar jika dikaitkan dengan lokasi studi penelitian dapat diambil sebuah kesimpulan, yaitu bahwa pasar Senggol merupakan pusat pelayanan dengan lingkup lingkungan bagi permukiman yang ada di sekitarnya dan jangkauan pelayanan yang cukup luas, baik dari segi ketersediaan barang maupun jarak tempuhnya, sehingga pembeli ingin datang ke lokasi tersebut.

C. Keberadaan Perdagangan Terhadap Kawasan Permukiman

Menurut John F.C. Turner (1972 : 114), menyatakan bahwa housing as a verb, yang pada dasarnya adalah housing as a process dan sangat terkait dengan mobilitas sosial ekonomi penghuninya serta tergantung dan tempat dan waktu. Dan hal yang cukup penting dan

(38)

sebuah rumah adalah dampak yang ditimbulkan terhadap kehidupan penghuni, bukan hanya wujud atau standar fisiknya saja. Oleh karenanya ada tiga hal yang menjadi prioritas terhadap rumah, yaitu adanya:

opportunity (kesempatan untuk berkembang), security (keamanan) dan identity (ciri khas).

Konsep Rumah Total, dalam buku "Housing Beyond Home"

(pidato pengukuhan Guru Besar) Johan Silas (1993 : 7) mengatakan bahwa konsep rumah total seharusnya selalu satu, utuh dan imbang antara manusia, rumah dan alam sekitarnya. Dan hubungan

rumah dan lingkungan berlangsung secara dinamis dan berlanjut yang saling menguntungkan dan memperkaya. Lebih jauh beliau mengatakan:

• Gagasan: Perumahan, bukan rumah karena tidak dapat berdiri sendiri, sating membutuhkan dan ada prasarana dan sarana.

• Fungsi: produktif, bukan hanya hunian, rumah yang hanya dipakai sebagai hunian sulit dipertahankan sampai lama eksistensinya.

• Pendekatan: beragam dimensi dinamis, rumah tidak hanya dipengaruhi oleh satu dimensi (teknik), tetapi ada dimensi lain yang sama pentingnya.

• Wadah: menyatu dengan lingkungan, saling tergantung dengan disekitarnya.

• Kajian: dialog dengan gagasan dan keadaan perumahan dipahami dengan baik bila ada masukan timbal-balik dan lapangan.

Pada kawasan amatan perumahan non formal telah berkembang

(39)

rumah produktif, hal ini akibat dari perkembangan ekonomi lokal berupa industri, perdagangan dan jasa, sehingga masyarakat memanfaatkan kondisi yang ada dengan membuka usaha di rumahnya terutama yang berada pada tepi jalan utama.

Empat (4) tahap dari proses pengembangan lokal menurut Coffey dan Polese (1984 : 97) adalah sebagai berikut:

• Tumbuh kembangnya kewiraswastaan lokal, yaitu masyarakat lokal mulai membuka bisnis kecil-kecilan, mulai mengambil resiko keuangan dengan menginvestasikan modalnya dalam kegiatan bisnis baru.

• Pertumbuhan dan perluasan perusahaan-perusahaan lokal, yaitu lebih banyak perusahaan yang mulai beroperasi dan perusahaan- perusahaan yang sudah ada semakin bertambah besar dalam hal penjualan, tenaga kerja dan keuntungannya (lepas landasnya perusahaan lokal).

• Berkembangnya perusahaan perusahaan lokal ke luar lokalitas.

• Terbentuknya suatu perekonomian wilayah yang bertumpu pada kegiatan dan inisiatif lokal serta keunggulan komparatif aktifitas ekonomi lokal tersebut.

Selanjutnya menurut Blakely (1989 : 66), pengembangan perekonomian lokal adalah suatu proses dimana Pemda dan atau keluarga masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan mengambil bagian dalam susunan persekutuan (partnership) dengan sektor swasta atau yang lainnya, menciptakan lapangan kerja dan merangsang

(40)

kegiatan ekonomi dalam zona perekonomian yang telah ditetapkan dengan baik. Ciri utama dan pengembangan lokal ini bahwa hal ini didasarkan pada kebijakan pengembangan endogen (endogenous development) yang menggunakan kekuatan lokal sumberdaya manusia, kelembagaan dan fisik. Selanjutnya Blakely (1989 : 54) menambahkan bahwa Pemda, lembaga kemasyarakatan dan sektor swastamerupakan partner penting dalam proses pengembangan perekonomian lokal.

D. Perkembangan Permukiman

Pertumbuhan suatu kota ditandai dengan berkembangnya jumlah penduduk pada suatu kawasan. Dimana kecenderungan pembangunan perkotaan di Indonesia dapat dikatakan mempunyai ciri- ciri sebagai berikut : urbanisasi yang meningkat; kepadatan penduduk yang semakin tinggi, khususnya dikota metropolitan dan kota besar;

bertambahnya daerah perkotaan (kota barn dan daerah pedesaan yang berkembang menjadi perkotaan). Pertumbuhan suatu kota yanyang ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang semakin berkembang membutuhkan wadah untuk menampung segala kegiatannya. dan bertambahnya permintaan rumah dan pelayanan perkotaan, Pemukiman yang terbentuk pun menjadi tidak teratur dan tidak cukup akses jalan serta fasilitas sosial lainnya.

Dengan semakin bertambahnya penduduk, maka akan berkembang pula aktivitas yang ditimbulkan dan memerlukan wadah untuk menampung kegiatan tersebut. Dengan semakin berkembangnya pemanfaatan lahan yang dipergunakan maka akan membuat fisik kota

(41)

berkembang pula. Perkembangan fisik kota yang terjadi pada umumnya dapat dibedakan menjadi perkembangan memusat, biasanya pada daerah pusat kegiatan perekonomian, kemudian perkembangannya memanjang mengikuti pola jaringan jalan, terutama pada jalan-jalan poros yang menuju kearah luar kota atau perbatasan kota serta perkembangan meloncat membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.

Dengan demikian perkembangan fisik kota terjadi dengan memanfaatkan lahan-lahan baru tidak terbangun menjadi lahan terbangun. Dan ini mendorong terjadinya perubahan pemanfaatan lahan yang difungsikan untuk menampung kegiatan penduduk yang semakin berkembang setiap tahunnya.

Pola penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh pola aktivitas ekonomi dan kondisi geografis kotanya, arah pola penggunaan lahan akan mengikuti pola aktivitas yang terjadi. Menurut Catanesse (1988), tidak pernah ada rencana tataguna lahan yang dilaksanakan dengan satu gebrakan. Memerlukan waktu yang panjang oleh pembuat keputusan dan dijabarkan dalam bagian-bagian kecil dengan perencanaan yang baik.

Sedangkan menurut Gallion, Athur,B and Simon Eisner, (1986:27) mengemukakan bahwa pemanfaatan lahan perkotaan terbagi menjadi 5 kategori, yaitu: (a) lahan pertanian, (b) perdagangan, (c) industri, (d) perumahan,dan (e) ruang terbuka. Winarso (1995:11) mengklasifikasikan pemanfaatan lahan menjadi; (a) lahan permukiman; (b) lahan perdagangan; (c) lahan pertanian; (d) lahan industri; (e) lahan jasa; (f) lahan rekreasi; (g) lahan ibadah dan (i) lahan lainnya. Penggunaan lahan

(42)

yang terus berkembang sebagai proses awal dari pertumbuhan fisik kota.

Demikian pula pola pergerakan akan mengikuti kebutuhan dalam pencapaian ke kawasan-kawasan kegiatan utama penduduknya, seperti perdagangan, lokasi kerja, permukiman dan sebagainya.

Dengan demikian penempatan pusat-pusat kegiatan penduduk akan sangat menentukan arah perluasan penggunaan lahan. Demikian pula dengan kondisi geografis kota akan sangat mempengaruhi pola pemanfaatan tanahnya, baik yang menyangkut bentuk struktur kotanya, maupun pola pemanfaatan sumber daya alamnya.

Suatu lokasi dalam kota bisa berkembang dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu lokalitas, aksesibiltas dan pelayanan. Lokalitas, maksudnya adalah posisi daerah tersebut dalam tata ruang kota, makin memungkinkan daerah tersebut untuk berkembang. Aksesibilitas, maksudnya adalah pencapaian terhadap daerah tersebut. Makin aksesibel, makin mungkin untuk berkembang. Pelayanan, maksudnya adalah kebutuhan hidup bagi penghuninya. Untuk permukiman, pelayanan itu meliputi sarana dan prasarana, sedangkan untuk tempat usaha, pelayanan itu meliputi bahan baku, tenaga kerja dan pemasaran atau konsumen dari basil produksi, baik jasa maupun barang. Khusus untuk permukiman akan lebih banyak dibahas dalam "proses bermukim", sedangkan dalam faktor pertama ini hanya akan dibahas tentang faktor pendukung tumbuhnya kawasan permukiman sebagai tempat usaha.

Secara singkat, faktor yang menyebabkan permukiman tumbuh dan berkembang sebagai hunian dan tempat usaha adalah posisi daerah

(43)

studi dalam lingkup tata ruang kota, aksesibilitas daerah studi serta pelayanan tempat usaha, yang meliputi : jenis usaha, asal bahan baku, asal tenaga kerja, dan lingkup pelayanan/pemasaran produk yang berupa barang maupun jasa. Menurut Sujarto (1989 : 56) faktor-faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerja pada suatu wilayah dapat mengembangkan dan menumbuhkan wilayah pada suatu arah tertentu.

Adapun faktor-faktor tersebut adalah faktor manusia, faktor kegiatan manusia dan faktor pola pergerakan.

Pertumbuhan penduduk dalam suatu daerah memberi andil yang cukup besar terhadap perkembangan suatu kota. Pertumbuhan jumlah penduduk dalam suatu kota disebabkan banyak faktor antara lain pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dan pola kehidupan sosial di kota.

Di samping itu, fasilitas sosial, fasilitas umum serta infrastuktur di kota cenderung lebih baik. Faktor-faktor pemikat tersebut bersifat dinamis dan akan selalu memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota (Kodoatie, 2002 :43).

Pertumbuhan tersebut kerap menimbulkan perubahan pemanfaatan lahan dikarenakan kebutuhan akan ruang yang bertambah.

Perubahan pemanfaatan lahan secara umum memiliki pengertian sebagai suatu pemanfaatan lahan baru atas lahan yang berbeda dengan permanfaatan lahan sebelumnya Mardiansyah,(1999:24). Menurut Kustiwan (1996 : 25), perubahan pemanfaatan lahan menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya alam dari satu pemanfaatan ke pemanfaatan yang lain.

(44)

E. Ekonomi Perkotaan

Uraian berikut ini akan menjelaskan pengertian dan klasifikasi kegiatan perdagangan. Uraian ini sifatnya merupakan pengantar sebelum memasuki pengertian pasar tradisional.

1. Pengertian Kegiatan Perdagangan

Kegiatan penduduk dalam perekonomian suatu kota secara umum dijalin oleh tiga faktor yang mempunyai arti penting di dalam kehidupan suatu kota, yaitu kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi.

Ketiga kegiatan utama tersebut merupakan mata rantai yang saling berkaitan satu sama lain Ratcliff dalam Karyani, (1992:61).

Kegiatan produksi merupakan kegiatan menghasilkan barang atau jasa dari bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Pihak yang melakukan kegiatan produksi ini disebut produsen. Kegiatan konsumsi merupakan kegiatan permintaan dari pihak yang memakai/menghabiskan barang/jasa. Pihak ini biasa disebut konsumen. Sedangkan kegiatan distribusi ialah kegiatan yang menghubungkan atau mempertemukan kegiatan produksi dengan kegiatan konsumen. Kegiatan inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai kegiatan pedagang.

2. Klasifikasi Kegiatan Perdagangan

Kegiatan perdagangan dapat diklasifikasikan berdasarkan volume barang yang ijual, bentuk tempat, jenis komoditas yang dijual, cara transaksi barang, dan lainlain. Berikut ini dijelaskan uraian mengenai klasifikasi di atas.

(45)

a. Berdasarkan volume barang yang dijual

Berdasarkan volume barang yang dijual, kegiatan perdagangan dibagi atas perdagangan grosir dan perdagangan eceran. Perdagangan gosir atau wholesaler adalah pedagang yang memperjualbelikan komoditas dalam partai atau skala yang besar dan konsumennya merupakan konsumen pertama yang akan mendistribusikan lagi kepada konsumen berikutnya. Sedangkan pedagang eceran atau retail adalah perdagangan yang memperjualbelikan komoditas dalam partai kecil dan konsumennya merupakan konsumen akhir yang langsung memakai komoditas tersebut untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Menurut Kotler, perdagangan eceran adalah semua perdagangan yang berkenaan dengan penjualan barang-barang dan jasa-jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi, bukan penggunaan bisnis Kotler, (1986:116)

Perdagangan eceran juga sering diutarakan sebagai the sale of goods in small quantities. Hal ini sesuai dengan jumlah yang diperlukan untuk konsumen akhir seperti kebutuhan rumah tangga untuk langsung dikonsumsi, J.A. Sinungan dalam Prisma, (1987 : 77). Meskipun definisi perdagangan eceran menccakupi barang dan jasa, namun pada umumnya ia lebih mengutamakan barang yang kongkrit (tangible goods).

Di dalamnya tidak tercakup jasa-jasa seperti listrik, jasa komunikasi ataupun hiburan.

(46)

b. Berdasarkan cara distribusi barang

Berdasarkan cara distribusi barang kegiatan perdagangan dibagi atas dua cara. Cara pertama adalah penjual mendatangi lokasi konsumen, sedangkan cara kedua adalah konsumen mendatangi lokasi penjual. Khusus untuk cara kedua, para pedagang akan menempati lokasi-lokasi dalam ruang yang menguntungkan dan strategisdijelaskan pada uraian prinsip penentuan lokasi. Proses terjadinya interaksi antara produsen dengan konsumen disebut pasar (pendapat Smith yang dikutip oleh Karyani, 1992:28). Pasar dalam konteks Smith ini secara umum tanpa memperhatikan unsur ruang. Bila pasar ditinjau dari segi ruang maka pasar hanyalah merupakan salah satu tempat kegiatan perdagangan

c. Berdasarkan bentuk tempat perdagangan

Bentuk tempat perdagangan eceran di Indonesia, dapat dibeda- bedakan sebagai berikut: pasar tradisional, warung toko, pusat perbelanjaan, pusat pertokoan, departement store, supermarket, super bazaar, spesciality store, boutique, dan pasar khusus, J.A. Sunungan dalam Prisma , (1987 : 44). Sedangkan menurut Direktorat Bina Sarana Pasar Dalam Negeri, pasar dibagi menjadi dua jenis, yaitu Pasar Moder (meliputi: departement store dan pasar swalayan) serta pasar tradisional (meliputi: pasar tradisional dan pasar desa).

d. Berdasarkan jenis komoditas yang dijual

Berdasarkan jenis komoditi yang dijual menurut kegiatan perdagangan dapat digolongkan menjadi tiga (pendapat Gallion yang

(47)

dikutip dari Ermiwati, 1989:29), yaitu:

1) Kegiatan perdagangan komoditas primer Merupakan jenis perdagangan komoditas yang dibutuhkan sehari-hari, seperti beras, sayur-sayuran, bumbu masak, daging, telur, buah-buahan dan sebagainya. Frekuensi pembelian harian tinggi dan volume pembelian omoditas ini biasanya dalam limit yang relatif kecil.

2) Kegiatan perdagangan komoditas sekunder Merupakan komoditas yang mempunyai sifat pelayanan kebutuhan tidak teratur, dalam arti frekuensi pembelian tidak tetap, dimana rasa kebutuhan timbul dalam selang waktu tertentu.komoditas ini dapat dikatakan agak jarang dibeli, akan tetapi pembeli akan sanggup mendapatkannya ke lokasi kegiatan walaupun jaraknya relatif jauh. Kelompok komoditi sekunder terdiri atas komoditas sandang dan kelontongan mahal seperti pakaian, sepatu, tekstil, alat-alat rumah tangga, pecah belah, buku dan alat-alat tulis, dan sebagainya.

3) Kegiatan perdagangan komoditas tersier Kegiatan perdagangan komoditas tersier memiliki karakteristik pelayanan kebutuhan penduduk yang jarang sekali dibeli dan biasanya dibeli oleh penduduknya yang benar-benar perlu dan cukup mampu, seperti perhiasan, televisi, dan komoditi mewah/lux lainnya.

3. Pasar Tradisional

Menurut pengertiannya, pasar merupakan suatu tempat bagi manusia dalam mencari keperluan sehari-harinya Trisnawati,(1988 : 83).

Sedangkan menurut Belshaw dalam Suprapto, (1988 : 61) Pasar adalah

(48)

tempat yang mempunyai unsur-unsur social, ekonomis, kebudayaan, politis dan lain-lain, tempat pembeli dan penjual (atau penukar tipe lain) saling bertemu untuk mengadakan tukar-menukar. Jika dilihat dari mutu pelayanannya, kegiatan perdagangan dapat dibedakan tempat perbelanjaan tradisional terdiri dari pasar tradisional, toko-toko, warung, dan lain-lainnya. Pada studi ini yang dibahas adalah pasar tradisional saja. Pasar tradisional dapat diklasifikasikan berdasarkan :

a. Jenis Pasar

Pembagian jenis pasar adalah berdasarkan jenis barang yang diperjual belikan sehingga dengan pertimbangan itu ditentukan jenis pasar umum, pasar mambo dan pasar khusus.

1. Pasar umum adalah pasar yang menjual barang-barang kebutuhan penduduk baik primer, sekunder, tersier serta barang- barang khusus, dan jasa-jasa lainnya. Biasanya ruang lingkup pelayanannya selain untuk konsumen kota juga dapat melayani penduduk di sekitar kota bersangkutan (regional).

2. Pasar mambo adalah pasar sore atau pasar malam yang biasanya menjual makanan dan minuman.

3. Pasar khusus ditentukan dari spesialisasi jenis barang yang diperdagangkanseperti pasar khusus yang menjual bunga, onderdil dan lain-lain.

b. Status Pasar

Status pasar ini memberikan pengertian adanya pasar resmi dan pasar tidak resmi/liar. Pasar resmi adalah pasar dan tempat berjualan

(49)

umum yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang terdapat pertemuan antara penjual dan pembeli untuk mengadakan penawaran dan permintaan terhadap barang dan jasa. Dikarenakan lokasinya ditetapkan oleh pemerintah daerah maka lokasi bangunan pasar telah memenuhi persyaratan perencanaan kota maupun teknis bangunan. Namun untuk pasar tidak resmi/liar adalah yang mempunyai pengertian fungsi yang sama hanya statusnya yang berbeda atau ilegal.

c. Tingkatan Pasar

Pengertian tingkatan pasar dapat dibedakan atas pasar induk dan pasar bawahan. Pengertian pasar induk adalah suatu tempat sebagai pemusatan pedagangpedagang besar atau grosir yang mempunyai peranan aktif dalam pemasaran barangbarang yang sesuai dengan jenis komoditi, dengan jalan mengatur suplai, pembentukan harga sesuai dengan permmintaan. Satu pasar induk akan membawahi/terdiri atas beberapa pasar bawahan.

d. Kelas Pasar

Pasar-pasar tradisional di Kotamadya Bandung melalui Peraturan Daerah Pemerintah Kotamadya Bandung No.18 tahun 1996 Tentang Retribusi Pasar, dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas pasar, yaitu:

 Kelas I adalah pasar-pasar yang berada di jalan protokol, dibangun secara permanen;

 Kelas II adalah pasar-pasar yang berada pada lokasi bukan jalan protokol dan dibangun semi permanen;

(50)

 Kelas III adalah pasar-pasar yang berada pada lokasi di luar yang

disebut pada kelas I dan II.

Dalam Perda yang sama, letak ruang dagang pada sebuah pasar juga diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu:

 Paling Baik (PB) adalah toko, kios yang menghadap keluar pasar,

pinggir jalan yang dilewati pada jalan utama masuk dan keluar pasar;

 Baik (B) adalah toko, kios antara yang dilewati pada jalan utama masuk dan keluar pasar;

 Cukup (C) adalah toko, kios yang dilewati jalan samping untuk masuk dan keluar pasar;

 Sedang (S) adalah kios, meja dan gelaran yang tidak termasuk

pada kategori PB,B, dan C.

Dalam studi ini pasar tradisional yang dibahas adalah pasar umum yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Tegasnya, pasar tradisional yang dimaksudkan dalam studi ini berarti pasar tradisional yang menjual barang kebutuhan sehari-hari, dan secara resmi diakui oleh pemerintah.

F. Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima adalah suatu pekerjaan yang khas dalam sektor informal, malah istilah sektor informal sering identik dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima. Pengertian pedagang kaki lima sendiri terletak pada tapal batas penelitian yang belum bisa didefinisikan secara tepat, mengingat yang mempelajari pedagang kaki

(51)

lima relatif masih sedikit, sehingga masih banyak pengertian-pengertian mengenai pedagang kaki lima,

Pengertian pedagang kaki lima manurut Yayat Ruhiyat (1999) selaku ketua Seksi C Dinas Tata Kotamadya Bandung adalah

“Pengelompokkan sektor informal yang tidak terjangkau oleh peraturan”.

(maksudnya sektor informal tersebut belum diatur dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota)

Beberapa pengertian pedagang kaki lima di atas dapat memberikan masukkan mengenai batasan pengertian pedagang kaki lima. Adapun yang dimaksud dengan pedagang kaki lima dalam studi ini adalah orang atau sekumpulan orang yang bergerak dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa yang menempati areal umum yang bukan peruntukkannya seperti trotoar, pinggir jalan, taman, tempat parkir, dan sebagainya baik secara menetap atau tidak dengan menggunakan sarana dan atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang.

a. Konsep Rencana Penataan Ruang PKL

Pada dasarnya penataan ruang pedagang kaki lima, Sobarlia dan Hakim, (1998:31) dititik beratkan kepada kesesuaian penampilan pedagang kaki lima terhadap tuntutan fungsi ruang kegiatan yang jadi ikutannya. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan, seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, didasarkan kepada tiga hal yang menjadi kriteria utama, yaitu :

1. Secara fungsional pedagang kaki lima tidak mengganggu fungsi kota yang ada

(52)

2. Secara visual kegiatan pedagang kaki lima berkesan harmonis 3. Secara hukum, kegiatan pedagang kaki lima dapat terjamin

kelangsungan usahanya

Permasalahan yang ada adalah banyak hal yang berkaitan dengan pedagang kaki lima walaupun terlihat kurang berarti, akan tetapi, guna mengoptimalkan penataan ruang serta menambah daya tarik bagi calon konsumen, ada beberapa hal yang berkaitan dengan pedagang kaki lima yang mesti diperhatikan, khususnya mengenai :

a) Jenis, dalam hal ini termasuk jenis dagangannya b) Luas lahan yang digunakan

c) Bentuk sarana yang digunakan seperti jongko atau meja, gerobak, pikulan, tenda dan kios.

Pada tahap konsep rencana ini secara garis besar, sebagaimana yang dikemukakan oleh Joseph de Chiara dan Lee E. Koppelman, (1964:349) selain harus memperhatikan struktur fisik tapak juga harus menunjukkan massa umum bangunan, sirkulasi, daerah parkir, ruang terbuka atau taman dan fasilitas khusus. Adapun secara umum mengenai konsep rencana penataan ruang yang dimaksud mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Struktur, mencakup lokasi, susunan, dan pengelompokkan massa menurut kriteria tertentu.

2. Sirkulasi:

a. Kendaraan, mencakup sistem perparkiran dan pelayanan

(53)

b. Pejalan kaki, dalam hal ini menyatakan sistem sirkulasi pejalan kaki diantara pedagang kaki lima dan toko-toko disekitarnya.

3. Utilitas, dalam hal ini pengolahan sampah pada pedagang kaki lima atau PKL

4. Penanaman, dalam hal ini menyangkut konsep pertamanan (Landscape) di sekitar lokasi.

G. Pengguna Pasar

Pengguna pasar secara garis besar dibedakan menjadi 2 (dua) yakni pembeli dan pedagang. Damsar (1997 : 89) membedakan pembeli menjadi 3, yakni:

a. Pengunjung, yaitu mereka yang datang ke pasar tanpa mempunyai tujuan untuk membeli suatu barang atau jasa. Mereka adalah orang-orang yang menghabiskan waktu luangnya di pasar.

b. Pembeli, yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar dengan maksud untuk membeli sesuatu barang atau jasa tetapi tidak mempunyai tujuan ke (di) mana akan membeli.

c. Pelanggan, yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar dengan maksud untuk membeli sesuatu barang atau jasa dan mempunyai tujuan yang pasti ke (di) mana akan membeli. Seseorang menjadi pembeli tetap dari seorang penjual tidak terjadi secara kebetulan saja tetapi melalui proses interaksi sosial.

Menurut Damsar (1997:125) juga memaparkan mengenai pedagang dilihat dari sudut pandang sosiologi ekonomi dapat dibedakan berdasarkan cara penggunaan dan pengolahan pendapatan yang

(54)

didapatkannya dari basil perdagangan dan hubungannya dengan ekonomi keluarga, diantaranya yaitu:

a. Pedagang profesional, yaitu pedagang yang menggunakan aktivitas perdagangan sebagai sumber utama pendapatan dan satu-satunya bagi ekonomi keluarga.

b. Pedagang semi profesional, yaitu pedagang yang mengakui aktivitas perdagangan untuk memperoleh uang tetapi pendapatan dari basil perdagangan merupakan sumber tambahan bagi ekonomi keluarga.

c. Pedagang subsistensi, yaitu pedagang yang menjual produk atau barang dari hasil aktivitas atas subsistensi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Pedagang ini pada daerah pertanian adalah seorang petani yang menjual produk pertanian ke pasar desa atau kecamatan.

d. Pedagang semu, yaitu orang yang melakukan aktivitas peidagangan karena hobi atau untuk mendapatkan suasana baru atau untuk mengisi waktu luang. Pedagang jenis ini tidak mengharapkan kegiatan perdagangan sebagai sarana untuk memperoleh pendapatan, melainkan mungkin saja sebaliknya is akan memperoleh kerugian dalam berdagang.

Berdasarkan pola perjalanan berbelanja yang dikemukakan oleh Hartston (1987: 119) tedapat tiga pengklasifikasian, yaitu:

a. Single Purpose Trip, yaitu perjalanan berbelanja yang diawali di satu titik dan kembali pada titik yang sama. Biasanya rumah

(55)

dijadikan titik awal dan pusat perbelanjaan sebagai titik yang dituju. Pola ini merupakan pola yang paling sering dilakukan.

Pertimbangan utama dalam pola ini adalah jarak, artinya pusat perbelanjaan dengan jarak terdekatlah yang menjadi titik tujuan.

b. Multi Purpose Trip, yaitu perjalanan berbelanja dengan titik awal rumah tetapi titik yang dituju lebih dari satu (pusat perbelanjaannya lebih dari satu) dan keragaman barang yang dibeli akan lebih banyak dibandingkan Single Purpose Trip.

c. Combined Purpose Trip, yaitu perjalanan berbelanja sekaligus melakukan kegiatan bepergian lain seperti perjalanan kerja, baik sebelum atau setelah bekerja.

H. Fungsi dan Peranan Pasar

Pasar merupakan akibat/hasil dari pola kegiatan manusia yang terjadi karena adanya sating membutuhkan, sehingga terjadi pola pertukaran antara barang dan jasa. Kompleksitas kebutuhan akan mengakibatkan kompleksitas jumlah orang, jenis barang, cara pertukaran dan membutuhkan tempat yang semakin luas, Kotler & Amstrong, (2001 : 129).

Fungsi pasar yang ada scat ini berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 tentang Pengesahan 33 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia, diuraikan sebagai berikut:

1. Pasar sebagai tempat pengumpul hasil pertanian.

Penjualan hasil-hasil pertanian seperti ketela, kool, kentang, beras dan lain-lain banyak terjadi di pasar, di mana proses pengumpulan

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan omzet penjualan dan perubahan penjualan fisik berpengaruh positif signifikan terhadap perubahan keuntungan usaha pedagang pasar tradisional Pasar Ramai dan

Pasar Modern Thamrin Plaza memberikan dampak negatif (perubahan penurunan) terhadap omzet penjualan, keuntungan, jumlah pegawai dan penjualan fisik pedagang pasar tradisional Pasar

Keberadaan desa wisata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di Desa Karangbanjar.Tingkat penambahan lahan terbangun di Desa Karangbanjar menurut responden tergolong

Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa pengaruh perubahan permintaan dan penawaran terhadap harga pasar, dia tampaknya tidak mengidentifikasi efek yang lebih tinggi

Perkembangan kawasan permukiman pesisir Danau Matano sejak beroperasinya aktivitas pertambangan mengakibatkan perubahan pemanfaatan lahan yang cukup massif terjadi dengan

Karakteristik sosial pedagang cenderung tidak mengalami perubahan sejak awal dibangunnya pasar sampai saat ini karena sudah dalam kondisi baik.Karakteristik ekonomi

Perubahan omzet penjualan dan perubahan penjualan fisik berpengaruh positif signifikan terhadap perubahan keuntungan usaha pedagang pasar tradisional Pasar Ramai dan

Karakteristik sosial pedagang cenderung tidak mengalami perubahan sejak awal dibangunnya pasar sampai saat ini karena sudah dalam kondisi baik.Karakteristik ekonomi