BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Natawijaya (2001) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
menganalisis keterpaduan pasar beras di Indonesia sebagai akibat terjadinya
arus perdagangan beras dari daerah surplus ke daerah defisit. Penelitian ini
dilakukan dengan menghitung Total Sum Square Correlation (TSSC) dari harga beras di 25 ibukota propinsi dari tahun 1995-1999. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa 18 pasar beras ibukota propinsi terintegrasi dengan
baik, 7 kota tidak terintegrasi dan 1 kota terisolasi. Hasil ini kemudian
dibandingkan dengan kondisi surplus dan defisit pada pasar- pasar tersebut dan
ditarik kesimpulan bahwa pasar yang mengalami keadaan surplus dan defisit
akan terintegrasi dengan pasar-pasar lainnya.
Hadi dan Mardianto (2004), melakukan penelitian tentang Analisis
Komparasi Daya Saing Produks Ekspor Pertanian Antar Negara Asia Tenggara
Dalam Era Perdagangan Bebas AFTA. Penelitian meliputi pertumbuhan ekspor
produk pertanian serta efek komposisi produk, distribusi pasar dan daya saing
terhadap ekspor produk pertanian ke kawasan Asia Tenggara dengan
menggunakan data sekunder deret waktu dan metode analisis Constant Market Share. Kesimpulan utama hasil analisis ini adalah sebagai berikut: (1) Pertumbuhan ekspor Indonesia ke kawasan Asia Tenggara selama periode
1997-1999 adalah yang tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara, bahkan lebih
pada periode 1999-2001 menurun dan lebih rendah dibanding Thailand, Filipina
dan dunia; (2) Komposisi produk ekspor Indonesia adalah yang terbaik di antara
negara-negara Asia Tenggara, walaupun melemah pada periode 1999-2001
dibanding 1999; (3) Distribusi pasar ekspor Indonesia pada periode
1997-1999 hanya kalah dari Singapura, tetapi pada periode 1997-1999-2001 melemah dan
kalah dari Singapura dan Vietnam; dan (4) Daya saing ekspor Indonesia pada
periode 1997-1999 paling kuat di antara negara-negara Asia Tenggara, tetapi pada
periode 1999-2001 melemah dan kalah dari Filipina dan Thailand.
Simbolon (2005) melakukan penelitian untuk menganalisis integrasi
pasar beras domestik dengan pasar beras dunia dan pengaruh adanya tarif
impor. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Vector Autoregression (VAR). Kesimpulan hasil analisis yaitu secara umum terjadi integrasi antara pasar beras domestik dengan pasar beras dunia, namun dengan derajat integrasi yang
berbeda menurut varietas atau jenis beras. Harga satu varietas domestik
(yaitu Setra) terintegrasi kuat dengan harga ketiga jenis beras dunia, yaitu
Broken 5 persen, Broken 25 persen dan Broken 35 persen, dan harga lima varietas beras domestik (yaitu muncul, IR 64, IR I, IR II, dan IR III) terintegrasi lemah
dengan harga ketiga jenis beras dunia tersebut. Tarif impor yang diterapkan oleh
pemerintah dalam perdagangan beras ternyata meningkatkan harga beras di pasar
domestik. Tetapi peningkatan harga tersebut tidak mampu menekan volume impor
beras. Kenaikan impor yang terjadi pada tahun 1998 ternyata hanya berpengaruh
terhadap harga beras domestik varietas IR II yang merupakan varietas
Reddy (2006) melakukan penelitian tentang Commodity Market Integration: Case of Asian Rice Markets. Penelitian ini menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM) dan beberapa uji, yaitu: Johansen test untuk menguji kointegrasi pasar, granger causality test untuk menguji causalitas pasar. Hasil penelitian menunjukkan harga beras internasional (Thailand dan
USA), harga di tingkat produsen, dan dukungan kebijakan harga pemerintah
mengalami kointegrasi jangka panjang, tetapi hukum satu harga (Law of One Price) tidak berlaku. Thailand II (100) granger cause Thai-A1-super dan US long grain No. 2 (broken 4 persen). Jepang, Thailand, Bangladesh dan Philipina mempengaruhi harga negara lainnya dan menjadi pembentuk harga di pasar beras
Asia. Dalam jangka pendek elastisitas signifikan untuk beberapa negara (antara
India dan Thailand, Bangladesh dan Pakistan). Dalam hal dukungan kebijakan
harga pemerintah hanya empat dari sembilan harga yang terintegrasi. Elastisitas
jangka pendek dan dukungan kebijakan harga pemerintah signifikan, yaitu India
dan Korea sebesar 0,21, sedangkan Thailand dan India sebesar 0,84.
Kesimpulannya adalah Thailand, Bangladesh, Philipina dan Jepang merupakan
pembentuk harga di pasar beras Asia.
Nga dan Lantican (2006) melakukan penelitian berjudul Spatial Integration of Rice Markets in Vietnam yang menganalisis pola dan tingkat integrasi spasial pasar beras di Vietnam, serta hubungan dinamis harga ekspor
beras Vietnam dan Thailand. Tingkat integrasi pasar ditentukan dengan
mengidentifikasi lokasi terhubung oleh perdagangan dan share harga yang
terhubung dalam jangka panjang. Metode estimasi komponen permanen
jangka panjang. Pola dan tingkat integrasi diuji dengan Law of One Price (LOP) dan memastikan kecepatan penyesuaian terhadap ekuilibrium jangka panjang, menggunakan berbagai test dalam sistem terkointegrasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hanya 9 dari 34 pasar beras yang terintegrasi ke dalam pasar
umum. Namun, harga ditransmisikan dengan baik antara pasar beras yang
terintegrasi. Pasokan beras menjadi faktor yang paling penting dalam membentuk
perilaku harga jangka panjang. Tidak ada pasar tunggal yang menjadi pasar acuan.
Harga beras ekspor Vietnam dan Thailand berkointegrasi dan sesuai dengan Law of One Price (LOP). Penghapusan kuota ekspor tidak signifikan dalam menentukan hubungan harga beras di kedua negara.
Irawan dan Rosmayanti (2007), Analisis Integrasi Pasar Beras Di
Bengkulu, penelitian bertujuan untuk menganalisis integrasi spasial dan integrasi
vertikal antarpasar beras di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Metode
penelitian yang digunakan adalah adalah analisis Vector Error Correction Model (VECM) dan Granger Causality. Hasil penelitian yaitu: 1) pasar beras Bengkulu terintegrasi spasial secara tidak sempurna, apabila terjadi guncangan di pasar kota
Bengkulu akan ditransmisikan ke pasar Bengkulu Selatan dan Bengkulu Utara
tetapi tidak untuk pasar Rejang Lebong. Implikasi kebijakan penelitian ini adalah
stabilisasi pasar beras Kota Bengkulu, stabilnya pasar beras di Kota Bengkulu
akan ditransmisikan ke pasar-pasar kabupaten lainnya kecuali pasar di Kabupaten
Rejang Lebong. 2) integrasi pasar vertikal di Kota Bengkulu dan Kabupaten
Bengkulu Selatan tidak sempurna dan integrasi vertikal secara statistik signifikan
Rapsomanikis dan Mugera (2011) melakukan penelitian tentang Price Transmission and Volatility Spillovers in Food Markets menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM) bertujuan untuk meneliti sinyal transmisi harga pangan di pasar internasional di beberapa negara berkembang. Model yang
digunakan Autoregressive Conditional Heterokedasticity (ARCH)/ Generalized Autoregressive Conditional Heterokedasticity(GARCH) untuk melihat volatilitas antara harga pangan di pasar internasional dan pasar domestik di Ethiopia, India
dan Malawi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka pendek
penyesuaian terhadap perubahan harga dunia di Etiopia dan Malawi, sementara
volatilitas harga signifikan hanya terjadi ketika harga pasar dunia ekstrim.
Permasalahan dibeberapa negara ini salah satunya volatilitas yang ekstrim di pasar
domestik akibat guncangan pasar dunia. Di India, penyesuaian harga relatif cepat
dan volatilitas harga pangan lebih ditentukan oleh kebijakan-kebijakan domestik.
Kekuatan pasar India di pasar dunia menghasilkan efek sebab akibat dua arah
(Causal Bi-Directional). Perubahan harga beras di satu pasar akan mempengaruhi pasar lainnya. Namun demikian, kebijakan stabilisasi harga beras di India, dan
kebijakan pembatasan ekspor baru-baru ini, mengakibatkan lonjakan harga
pangan.
Ghosh (2011) melakukan penelitian dengan metode integrasi pasar, yaitu
meneliti dampak reformasi kebijakan pertanian terhadap integrasi spasial beras
dan gandum di India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat integrasi pasar
spasial antar negara meningkat selama periode setelah reformasi dibandingkan
dengan sebelum reformasi. Pasar regional, tersegmentasi dan terintegrasi selama
memberikan kontribusi terhadap peningkatan tingkat integrasi spasial pasar
pangan dan mendukung argumen bahwa telah terjadi liberalisasi pasar dan
meminimalkan intervensi pemerintah terhadap perdagangan bahan pangan.
Liberalisasi pangan akan memperkuat integrasi pasar spasial. Tingkat integrasi
pasar tidak hanya tergantung pada reformasi kebijakan pertanian, tetapi juga pada
tingkat biaya transaksi terutama biaya transportasi dan komunikasi, infrastruktur,
fasilitas penyimpanan, dan mekanisme kontrak. Pemerintah bisa mendorong
pertumbuhan pertanian dan menjamin stabilitas harga pangan dengan membatasi
intervensi langsung, melalui peningkatan infrastruktur fisik dan kelembagaan.
Ketergantungan pada kebijakan intervensi pemerintah secara langsung dapat
berkurang secara signifikan.
Kaltalioglu dan Soytas (2011) melakukan penelitian tentang Volatility Spillover from Oil to Food and Agricultural Raw Material Markets bertujuan untuk mengkaji dampak volatilitas antara minyak dunia, pangan, dan indeks harga
produsen pertanian. Penelitian ini menemukan bahwa tidak terjadi rambatan
volatilitas harga antara minyak dunia terhadap pangan. Secara keseluruhan
menunjukkan hanya terjadi hubungan kontemporer antara indeks harga produsen
pertanian dan minyak dunia, tidak ada hubungan antara ketiga variabel.
Selanjutnya, pembuat kebijakan tidak dapat menggunakan perkembangan harga
minyak dunia dalam memperkiraan fluktuasi harga pangan dan indeks harga
produsen pertanian. Hasil penelitian ini tidak mendukung klaim bahwa kenaikan
harga minyak dunia menyebabkan inflasi dan kenaikan harga pangan disebabkan
Riaz dan Jansen (2012), melakukan penelitian tentang Spatial Patterns Of Revealed Comparative Advantage Of Pakistan’s Agricultural Exports. Potensi ekspor pertanian Pakistan secara umum tertinggal jauh. Namun, analisis yang
mendukung pernyataan ini sangat sedikit, hal ini karena kurangnya data yang
mudah diakses. Menggunakan data rinci arus perdagangan internasional dan
mengadaptasi konsep Balassa (1965) tentang keunggulan komparatif dalam
konteks regional. Penelitian ini mengungkapkan indeks keunggulan komparatif
mempunyai jarak yang cukup lebar antara ekspor pertanian Pakistan terhadap
beberapa pasar regional. Beberapa kombinasi produk pertanian Pakistan memiliki
keunggulan komparatif meskipun pada tingkat pasar global tidak mempunyai
keunggulan komparatf. Selain itu, juga menyoroti peluang perdagangan bilateral,
khususnya perdagangan dengan negara-negara tetangga. Identifikasi pasar ekspor
utama Pakistan menyoroti jenis produk pertanian yang memiliki potensi untuk
menembus pasar di negara-negara maju.
Varela, Aldaz-Carroll dan Iacovone (2012), melakukan penelitian
investigatif dengan judul Determinants of Market Integration and Price Transmission in Indonesia. Penelitian ini mengukur derajat integrasi dengan menggunakan metoda teknik ko-integrasi dan menghitung perberaan rata-rata
harga. Mereka menggunakan analisis regresi untuk memahami perbedaan dan
integrasi pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras dan gula mempunya
derajat integrasi pasar yang tinggi dan perbedaan harga berkisar antara 5-12
persen. Jagung, kedelai dan minyak goreng mempunyai derajat integrasi pasar
rendah dan perbedaan harganya tinggi berkisar antara 16-22 persen. Integrasi
provinsi direspon oleh karakteristi provinsi seperti jarak, infrastruktur transportasi,
hasil komoditi, produktivitas lahan dan income per kapita.
Debaniyu (2013), melakukan penelitan berjudul Price Integration of Cowpea Retail Markets in Niger State, Nigeria. Metode penelitian yang digunakan adalah Multistage Stratified Random Sampling dengan membandingkan enam pasar, yaitu pasar Kontagora dan Salka (tingkat produsen),
pasar Minna dan Bida (tingkat konsumen) dan pasar Sabonwuse dan Mokwa
(tingkat perantara/transit). Analisis yang digunakan adalah akar unit (uji unit root) metode Augmented Dicky Fuller (ADF), Johansen co-integration test, error correction model (ECM) test dan granger causality test. Hasil penelitian integrasi pasar menggambarkan harga pasar kacang tunggak (cowpea) terintegrasi dalam jangka panjang. Terjadi keterkaitan harga yang kuat secara spasial antara pasar
Kontagora terhadap Sabonwuse dan pasar Bida terhadap Sabonwuse. Sedangkan
hasil granger causality menunjukkan terjadi hubungan timbal balik, yaitu Kontagora granger cause Sabonwuse dan sebaliknya dan hubungan searah pasar Bida granger cause Sabonwuse (tidak berlaku sebaliknya).
2.2. Supplay – Demand Beras
Penyediaan pangan memerlukan perencanaan yang matang dimulai dari
perencanaan produksi, pengolahan sampai dengan distribusinya. Upaya tersebut
memerlukan waktu dan proses yang panjang serta melibatkan banyak pihak.
Berdasarkan hasil perhitungan prognosa kebutuhan dan ketersediaan beras,
kebutuhan beras tahun 2012 diperkirakan mencapai 33.6 juta ton, sedangkan
ketersediaan beras 38.8 juta ton. Dengan memperhitungkan stok awal beras Bulog
7.17 juta ton. Walaupun terdapat surplus beras pada akhir tahun 2012, namun
demikian pada bulan Oktober – Januari terjadi defisit (BKP-Kementan, 2012).
Tabel 2.1. Neraca Beras Indonesia Tahun 2003 - 2012
Tahun Ketersediaan Kebutuhan Impor Ekspor Surplus/Defisit
2003 29.789.443 29.739.416 1.428.506 676 1.477.857
2004 30.410.296 30.109.555 236.867 904 536.704
2005 30.445.508 30.592.406 189.617 42.286 433
2006 30.616.337 30.995.245 438.109 959 58.242
2007 32.135.769 31.398.084 1.396.448 1.604 2.132.529 2008 33.917.197 31.799.017 289.260 865 2.406.575 2009 36.207.151 32.616.760 250.225 2.601 3.838.015 2010 37.371.255 33.601.942 687.582 345 4.456.550 2011 36.970.670 33.590.391 2.744.002 377 6.123.904 2012 38.825.600 33.580.902 1.927.330 897 7.171.131
Sumber : BKP-Kementan (2013)
Tipisnya ketersediaan pasar beras dunia, maka posisi Indonesia sebagai
salah satu negara pengimpor utama merupakan stabilisator dan destabilisator
harga beras dunia. Tingkat konsumsi beras Indonesia sekitar 29 juta ton, termasuk
negara konsumen terbesar ketiga setelah China dan India. Oleh karena itu, apabila
Indonesia, China dan India mengalami penurunan produksi beras dan harus
mengimpor untuk menutupi defisit produksinya, maka harga beras dunia akan
segera naik dengan drastis. Hal ini sangat riskan bagi Indonesia untuk
menggantungkan diri pada impor beras dari pasar dunia dengan ketersediaan dan
harga yang sangat fluktuatif. Kenaikan harga keseimbangan beras dunia akibat
peningkatan impor beras Indonesia tentu akan berefek balik pada peningkatan
pengeluaran devisa. Selain itu, sangat mungkin akan muncul pemaksaan politik
(political extortion) dari negara pemasok beras apabila pemenuhan permintaan beras domestik sebagai bahan pangan pokok tergantung pada pasar beras dunia,
Amerika Serikat dan Jepang. Ketika terjadi kekurangan pasokan di pasar dunia,
maka konsekuensinya bukan hanya tidak terpenuhinya kebutuhan beras domestik,
melainkan juga akan menimbulkan gejolak sosial politik yang membahayakan
kedudukan pemerintah dan kestabilan negara. Ketergantungan Indonesia secara
terus-menerus kepada negara-negara pengekspor utama beras akan merugikan
posisi perekonomian (Mulyana, 1998).
2.3. Daya Saing
Daya saing komoditas ekspor suatu negara atau industri dapat dianalisis
dengan berbagai macam metode atau diukur dengan sejumlah indikator. Salah
satu diantaranya adalah Revealed Comparative Advantage (RCA). Demikian juga dapat dilakukan dengan metode Constant Market Share dan Real Effective Exchange Rate. Guna melihat lebih rinci komoditas Indonesia yang dapat bersaing dengan negara-negara lain di pasar dunia yang diukur dengan Revealed Comparative Advantage (RCA) masing-masing produk ekspor (Balassa, 1965). Perhitungan RCA ini menggunakan data yang dikelompokan dalam Standard Industrial Trade Classification (SITC) 2 digit. Nilai RCA yang lebih besar dari 1 menunjukkan daya saing (competitiveness) yang merupakan kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk menghasilkan faktor
pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk
menghadapi persaingan internasional. Pada dasarnya tingkat daya saing suatu
negara di kancah perdagangan internasional ditentukan oleh dua faktor, yaitu
kompetitif dianggap sebagai faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan. Selain dua factor tersebut, tingkat daya saing suatu
negara sesungguhnya juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Sustainable Competitive Advantage (SCA) atau keunggulan daya saing berkelanjutan. Hal ini terutama dalam kerangka menghadapi tingkat persaingan global yang semakin
lama semakin ketat/keras atau Hyper Competitive (Tambunan, 2003).
Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk menganalisis
posisi atau tahapan perkembangan suatu produk. ISP ini dapat menggambarkan
apakah untuk suatu jenis produk terspesialisasi, misalnya apakah Indonesia
cenderung menjadi negara eksportir atau importir. Secara implisit, indeks ini
mempertimbangkan sisi permintaan dan penawaran, dimana ekspor identik
dengan suplai domestik dan impor adalah permintaan domestik, atau sesuai
dengan teori perdagangan internasional, yaitu teori net of surplus, dimana ekspor dari suatu barang terjadi apabila ada kelebihan atas barang tersebut di pasar
domestik (Regimun, 2012).
Nilai indeks ini mempunyai kisaran antara -1 sampai dengan +1. Jika
nilanya positif diatas 0 sampai 1, maka komoditi bersangkutan dikatakan
mempunyai daya saing yang kuat atau negara yang bersangkutan cenderung
sebagai pengekspor dari komoditi tersebut (suplai domestik lebih besar daripada
permintaan domestik). Sebaliknya, daya saingnya rendah atau cenderung sebagai
pengimpor (suplai domestik lebih kecil dari permintaan domestik), jika nilainya
negatif dibawah 0 hingga -1. Kalau indeksnya naik berarti daya beli kecil daripada
ini negara tersebut lebih banyak mengimpor daripada mengekspor (Regimun,
2012).
Menurut “The Global Competitiveness Report 2013/2014”, pilar ke-6 adalah “Goods Market Efficiency” persaingan pasar yang sehat, baik domestik maupun internasional penting dalam mendorong efisiensi pasar, produktivitas
bisnis, efisiensi perusahaan, barang yang dihasilkan sesuai permintaan pasar.
Langkah dan upaya dalam mengurangi intervensi pemerintah yang dapat
menghambat kegiatan dunia usaha, misalnya daya saing terhambat karena adanya
distorsi pajak, peraturan yang diskriminatif terhadap investasi asing dan
pembatasan kepemilikan asing. Krisis ekonomi baru-baru ini menyoroti saling
ketergantungan ekonomi di seluruh dunia dan pertumbuhan tergantung pada pasar
terbuka. Langkah-langkah proteksionis yang kontraproduktif mengurangi aktivitas
ekonomi secara agregat. Efisiensi pasar tergantung pada kondisi permintaan,
dengan alasan budaya atau sejarah akan menuntut lebih banyak persyaratan di
beberapa negara dibandingkan dengan negara lainnya. Hal ini dapat menciptakan
keunggulan kompetitif (competitive advantage) karena dapat memaksa perusahaan untuk lebih inovatif dan berorientasi konsumen, dengan demikian
memaksakan disiplin yang ketat untuk mencapai efisiensi pasar (Schwab dan
i-Martin, 2013).
2.4. Integrasi Pasar
Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan salah satu indikator dari
efisiensi pemasaran, khususnya efisiensi harga. Asmarantaka (2009) menyatakan
bahwa integrasi pasar merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh
seperti pedagang eceran) akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pasar
pengikutnya (misalnya pasar di tingkat petani). Dengan demikian analisis
integrasi pasar sangat erat kaitannya dengan analisis struktur pasar.
Dua tingkatan pasar dikatakan terpadu atau terintegrasi jika perubahan
harga pada salah satu tingkat pasar disalurkan atau ditransfer ke pasar lain. Dalam
struktur pasar persaingan sempurna, perubahan harga pada pasar acuan akan
ditransfer secara sempurna (100 persen) ke pasar pengikut, yakni di tingkat petani.
Integrasi pasar akan tercapai jika terdapat informasi pasar yang memadai dan
disalurkan dengan cepat ke pasar lain sehingga partisipan yang terlibat di kedua
tingkat pasar (pasar acuan dan pasar pengikut) memiliki informasi yang sama.
Analisis terhadap keterpaduan (integrasi) pasar sangat penting karena a).
pengetahuan tentang integrasi pasar akan mempermudah pengawasan terhadap
perubahan harga, b) digunakan untuk memperbaiki rencana kebijakan pemerintah
sehingga tidak ada duplikasi intervensi, c) digunakan untuk memprediksi
harga-harga di semua negara (tidak hanya pasar lokal tapi juga pasar dunia) dan d)
digunakan sebagai dasar untuk merumuskan jenis infrastruktur pemasaran yang
lebih relevan untuk pengembangan pasar pertanian (Fadhla, Nugroho dan
Mustajab, 2008).
Goletti, Ahmed dan Farid (1995) dalam Anindita (2004) menyatakan
bahwa pasar-pasar dapat terintegrasi atau tidak akan dipengaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut: a) infrastruktur pasar, meliputi: transportasi, komunikasi,
kredit dan fasilitas penyimpanan yang ada di pasar, b) kebijakan pemerintah yang
mempengaruhi sistem pemasaran, misalnya: pengetatan perdagangan,
daerah sehingga terdapat pasar surplus (hanya mengekspor ke pasar lain) dan
pasar defisit (hanya mengimpor dari pasar lain) dan d) supply shock seperti banjir, kekeringan dan penyakit akan mempengaruhi kelangkaan produksi yang
terlokalisasi sedangkan hal-hal tak terduga lain seperti aksi mogok akan
mempersulit transfer komoditi.
Menurut Barrett dan Li (2002), integrasi pasar didefinisikan sebagai daya
jual atau adanya persaingan antara pasar. Definisi ini mencakup proses
keseimbangan pasar (spasial equilibrium) dimana permintaan, penawaran, dan biaya transaksi di pasar yang berbeda secara bersama-sama menentukan harga dan
alur perdagangan, serta transmisi guncangan harga dari satu pasar ke pasar lain,
atau kedua-duanya. Barret (2005) mendefinisikan pengertian daya jual
(tradability) sebagai fakta bahwa baik yang diperdagangkan antara dua negara maupun pasar perantara tidak peduli apakah mengekspor dari satu pasar ke pasar
lain. Daya jual mengisyaratkan pemindahan kelebihan permintaan dari satu pasar
ke pasar lain, seperti yang terjadi dalam arus fisik aktual atau potensial. Arus
perdagangan positif cukup untuk menunjukkan integrasi pasar spasial di bawah
standar daya jual, meskipun harga mungkin tidak seimbang di seluruh pasar.
Integrasi pasar spasial secara konseptual sebagai daya jual yang hanya konsisten
dengan efisiensi pasar ketika harga seimbang di seluruh pasar saat terjadi
perdagangan (Sanogo, 2008).
Pendekatan pengujian integrasi pasar spasial dapat dibagi menjadi dua
kategori besar. Kategori pertama teknik menggunakan hukum satu harga untuk
menguji pergerakan harga bersama dengan sempurna. Teknik ini berasumsi
satu persatu ke pasar basis lainnya saat itu juga, misalnya, pengujian Ravallion
(1986) untuk integrasi jangka pendek atau terhadap beberapa lag (integrasi jangka
panjang). Teknik ini diijinkan untuk harga yang melaju secara bersama akan tetapi
kurang sempurna dan memungkinkan untuk harga yang ditentukan secara
bersamaan. Beberapa literatur menunjukkan beberapa indikator seperti koefisien
korelasi sederhana antara kota atau wilayah, koefisien integrasi (menangkap
adanya hubungan linier antara harga jangka panjang), dan parameter yang
mewakili kecepatan penyesuaian harga dari berbagai pasar regional untuk
keseimbangan harga. Dalam prakteknya, teknik untuk menguji pergerakan harga
bersama dilakukan dengan uji Granger Causality dan Integrasi (Sanogo, 2008).
Koefisien korelasi bivariate sederhana diinterpretasikan sebagai ukuran
bagaimana pergerakan harga tertutup dari komoditas pada pasar yang berbeda dan
saling terhubung. Namun, metode ini tidak dapat mengukur arah integrasi harga
antara dua pasar, juga tidak dapat menjelaskan pembalikan perdagangan umum
dengan infrastruktur buruk (Barrett 1996a). Dalam rangka untuk
memperhitungkan kritik, prosedur integrasi tersebut diatas dikembangkan untuk
memungkinkan identifikasi dari kedua proses integrasi (termasuk kecepatan
penyesuaian harga) dan arah antara dua pasar (uji Granger-kausalitas). Jika dalam
jangka panjang menunjukkan hubungan linear yang konstan, maka kemungkinan
terintegrasi (saling bergantung), atau dengan kata lain, tidak adanya segmentasi
antara kedua pasar (Sanogo, 2008).
Selanjutnya Sanogo (2008) mengatakan, teknik integrasi menekankan
identifikasi faktor penentu struktural integrasi pasar spasial diperlukan untuk
komoditas. Langkah pertama dalam analisis adalah mengidentifikasi indikator
integrasi pasar, misalnya harga. Langkah kedua dalam analisis ini diorientasikan
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjelaskan derajat integrasi pasar.
Goletti et al. (1995) berpendapat bahwa tingkat integrasi pasar merupakan hasil
tindakan perdagangan itu sendiri serta lingkungan operasional yang ditentukan
oleh ketersediaan transportasi dan infrastruktur telekomunikasi dan kebijakan
yang mempengaruhi mekanisme transmisi harga dengan menggunakan metode
regresi yang menghubungkan indikator integrasi pasar dengan variabel
infrastruktur, kondisi ini ditemukan pada pasar beras di Bangladesh, dimana
faktor utama yang menentukan integrasi pasar adalah transportasi (terutama jalan
beraspal) dan infrastruktur telekomunikasi, jarak antara daerah, variabilitas harga,
keberadaan pusat grosir di daerah yang diteliti dan adanya perbedaan geografis
antara daerah.
Mempertimbangkan kemungkinan terjadinya ketidaksinambungan dan
ketidaksimetrisan respon harga pasar komoditi, kategori kedua teknik analisis
integrasi harga pasar spasial dengan memperkenalkan biaya transaksi dinamis
sebagai unsur yang mempengaruhi hubungan perdagangan komoditi antara daerah
yang berbeda. Teknik-teknik yang berbeda mempelajari hubungan perdagangan
antara dua daerah, terutama menggunakan harga produk tertentu. Kerangka
analisis berdasarkan pada hukum satu harga yang disesuaikan dengan biaya
transaksi dan diasumsikan bahwa perdagangan spasial yang efisien dan
mensyaratkan bahwa tidak ada keuntungan yang diluar batas kewajaran dalam
perdagangan antara dua pasar. Dengan kata lain, bahwa hukum satu harga,
bahwa biaya transaksi menentukan batas paritas (kesenjagan harga) dimana harga
komoditi homogen di dua pasar secara geografis yang berbeda dapat bervariasi
secara independen (Baulch 1997; Barrett dan Li 2002). Selanjutnya, menurut
Baulch (1997), ketika biaya transaksi sama dengan selisih harga antar pasar dan
tidak ada hambatan dalam perdagangan antara pasar akan menyebabkan harga
pada dua pasar tersebut bergerak sendiri-sendiri dan perdagangan spasial yang
mengikat. Pada saat biaya transaksi melebihi selisih harga antar pasar,
perdagangan tidak akan terjadi dan perdagangan spasial tidak mengikat dan saat
biaya transaksi melebihi selisih harga antar pasar, menunjukkan perdagangan
spasial dilanggar sehingga tidak terjadi perdagangan. Dalam hal ini, mungkin ada
hambatan perdagangan yang dapat melemahkan integrasi pasar (Sanogo, 2008).
2.4.1. Beberapa Keterbatasan Teknik Integrasi Pasar
Teknik Integrasi dianggap tidak dapat diandalkan jika biaya transaksi
non-stasioner (Barrett 2001; Barrett dan Li 2002; Fackler dan Goodwin 2002).
Kegagalan dalam menemukan integrasi antara dua harga pasar yang konsisten
dengan integrasi pasar (Barrett 1996a). Dengan kata lain, penolakan hipotesis
integrasi tidak berarti kurangnya integrasi pasar, melainkan hanya mencerminkan
biaya transfer nonstasioner. Kesimpulan dari beberapa studi berbasis integrasi tampaknya sebagian besar tidak setuju terhadap anggapan ini (Rasyid 2004).
Tanpa ada upaya untuk mengatasi kekurangan integrasi pasar, sebagian besar
peneliti menyimpulkan untuk mendukung teori integrasi pasar. Kritik kedua
terhadap metode integrasi adalah tidak dapat membedakan berbagai kondisi
perdagangan, seperti autarki, perdagangan yang efisien, dan kegagalan
Menurut Sanogo (2008), keterbatasan utama analisis paritas terikat adalah
kurangnya rangkaian biaya transaksi. Secara umum, biaya transaksi ini dihasilkan
dengan teknik ekstrapolasi yang mungkin tidak mencerminkan kecepatan
penyesuaian harga bila terdapat peluang perdagangan yang menguntungkan.
Selanjutnya, kerangka ini tidak memperhitungkan perdagangan timbal balik.
Menurut Barrett (2005), juga tergantung pada asumsi distribusi sembarang dalam
mengestimasi dan biasanya mengabaikan sifat time-series dari data, sehingga tidak memungkinkan dilakukan analisis dinamika penyesuaian antar waktu
terhadap penyimpangan jangka pendek dari ekuilibrium jangka panjang, dan perbedaan potensial yang penting antara integrasi jangka pendek dan jangka
panjang, seperti pendekatan harga keseimbangan. Tidak ada pendekatan tunggal
terbaik yang dapat membahas semua kekurangan teknik integrasi pasar spasial.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi pasar dan
menghasilkan diskontinuitas dalam respon harga terhadap guncangan eksogen
(Baulch, 1997; D'Angelo dan Cordano, 2005), pertama adalah adanya biaya
transaksi yang relatif tinggi terhadap perbedaan harga antara dua daerah yang
menentukan keberadaan pasar autarkic. Faktor kedua adalah adanya hambatan untuk menghindari risiko dan kegagalan informasi. Beberapa karakteristik
pertanian, komersialisasi, dan konsumsi, seperti infrastruktur transportasi yang
kurang bagus, hambatan masuk (entry barrier), dan kegagalan informasi, dapat mengatur proses perdagangan menjadi proses yang kurang bagus dari yang
diasumsikan oleh model tradisional integrasi pasar.
Integrasi pasar didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai berikut: Goletti
dihasilkan akibat tindakan pelaku pemasaran serta lingkungan pemasaran yang
mendukung terjadinya perdagangan yang meliputi infrasruktur pemasaran dan
kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga di suatu pasar ditransformasikan
ke pasar lainnya. Simatupang dan Situmorang (1988) mengatakan bahwa dua
pasar terpadu apabila perubahan harga di salah satu pasar dirambatkan ke pasar
lain, semakin cepat perambatan maka pasar semakin terpadu. Keterpaduan pasar
terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai, dan informasi ini
disalurkan dengan cepat dari suatu pasar ke pasar lain. Dengan demikian, fluktuasi
harga yang terjadi pada suatu pasar dapat segera ditangkap oleh pasar lain. Hal ini
pada gilirannya merupakan faktor yang dapat digunakan sebagai sinyal dalam
pengambilan keputusan produsen. Disamping itu, keterpaduan pasar dapat
terjadi karena kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi industri dapat
menghasilkan komoditi yang menjadi subtitusi bagi komoditi lain sehingga harga
komoditi tersebut tidak independen lagi (Burhan, 2006).
Menurut Goletti dan Christina-Tsigas, (1988) di dalam Burhan (2006), ada
beberapa alasan untuk melakukan studi integrasi pasar, diantaranya adalah
untuk mengidentifikasi kelompok pasar yang terintegrasi sehingga duplikasi
intervensi kebijakan dapat dihindari. Kemudian integrasi pasar akan menjamin
terjadinya keseimbangan regional antara wilayah defisit dengan wilayah surplus
pangan. Terakhir adalah mengidentifikasi hubungan faktor-faktor struktural
dengan integrasi pasar yang dapat memperbaiki orientasi kebijakan kearah
pengembangan pasar.
Terkait dengan masalah di atas, sifat komoditas beras adalah inelastis.
terhadap beras relatif konstan sepanjang waktu. Implikasi sifat beras yang
inelastis terhadap peningkatan harga pada pasar-pasar yang terintegrasi adalah:
c. Konsumsi masyarakat relatif konstan sepanjang waktu, maka
peningkatan harga akan menyebabkan komposisi pengeluaran masyarakat
terhadap beras akan meningkat pula. Hal ini berdampak kepada pengurangan
alokasi pendapatan masyarakat untuk kebutuhan lain seperti pendidikan dan
kesehatan (Ikhsan dalam Natawijaya, 2001). Jika pasar terintegrasi maka
peningkatan harga di suatu daerah atau negara akan ditransmisikan ke pasar-
pasar lainnya sehingga fenomena di atas akan terjadi pula di daerah-daerah
atau negara-negara lainnya.
d. Sifat beras yang inelastis berarti kenaikan harga tidak berpengaruh atau
sedikit berpengaruh terhadap permintaan beras. Kenaikan ini dapat bersifat
permanen dan bertahan sehingga semakin memberatkan beban masyarakat
jika pemerintah tidak melakukan aksi untuk meredakannya.
Integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu integrasi spasial
dan integrasi vertikal. Integrasi pasar spasial didefinisikan sebagai suatu
perubahan harga dalam satu pasar yang direfleksikan ke dalam perubahan
harga di pasar yang berbeda secara geografis untuk produk yang sama, sedangkan
integrasi pasar vertikal merupakan suatu perubahan harga di satu pasar produk
yang direfleksikan ke dalam perubahan harga di pasar yang berbeda secara
2.4.2. Integrasi Pasar Spasial
Integrasi pasar spasial mengacu pada situasi dimana harga komoditas
secara spasial dipisahkan oleh pasar yang bergerak bersama-sama dan sinyal
harga serta informasi ditransmisikan perlahan, integrasi pasar spasial dapat
dievaluasi dalam hal hubungan antara harga pasar spasial secara terpisah. Sejak
perdagangan regional, arus data komoditas pertanian biasanya tidak tersedia,
tetapi harga komoditas pertanian yang diperdagangkan sudah tersedia dan
umumnya dianggap sebagai informasi yang paling dapat diandalkan pada sistem
pemasaran di negara berkembang. Studi integrasi pasar telah dibatasi untuk saling
ketergantungan antara harga spasial pasar yang terpisah (Ghosh, 2011).
Integrasi pasar spasial menunjukkan pergerakan harga, dan secara umum
merupakan signal dari transmisi harga dan informasi diantara pasar yang terpisah
secara spasial. Perilaku harga spasial dalam pasar beras regional merupakan
indikator penting dalam melihat kinerja pasar (market performance). Pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat yang dapat
mendistorsi keputusan pasar produsen dan konstribusi pergerakan produk menjadi
tidak efisien. Analisis ini digunakan dalam integrasi pasar spasial karena pasar
domestik terpisah secara geografis dengan pasar dunia. Keterkaitan harga secara
geografis dapat dianalisis secara formal dengan menggunakan model
keseimbangan harga spasial. Model ini memungkinkan untuk mengestimasi net price yang akan berlaku di masing-masing daerah serta jumlah komoditas yang diperdagangkan diantara daerah yang bersangkutan (Ghosh, 2011).
Menurut Ghosh (2011), pengaruh insentif kebijakan yang berbeda akan
dengan baik, pemerintah bisa mendorong pertumbuhan produksi dan memastikan
stabilitas harga dengan biaya yang lebih rendah sesuai kebijakan harga yang
dirancang dan rasionalisasi kegiatan dalam ekonomi pangan serta memungkinkan
pihak swasta untuk berkontribusi sebanyak mungkin di pasar. Sebagai sinyal
harga yang benar ditransmisikan lancar ke semua pasar, produsen dapat
mengambil keputusan yang tepat terhadap pembelian input, produksi, penjualan,
penyimpanan. Konsumen juga akan diuntungkan karena pasar yang terintegrasi
memastikan ketersediaan pangan dan stabilitas harga di tingkat regional.
Tingkat integrasi pasar tidak hanya tergantung pada reformasi kebijakan
pertanian, tetapi juga pada tingkat biaya transaksi terutama ditentukan oleh
transportasi, informasi, infrastruktur, fasilitas penyimpanan, dan mekanisme
pelaksanaan kontrak. Pemerintah bisa mendorong pertumbuhan pertanian dan
menjamin stabilitas harga pangan dengan membatasi intervensi langsung di pasar
pertanian, tetapi meningkatkan perhatian untuk meningkatkan infrastruktur fisik
dan kelembagaan. Ketergantungan pada intervensi langsung pemerintah di pasar
dapat dikurangi secara signifikan, jika pemerintah mempromosikan perdagangan
komoditas pertanian yang efisien dengan liberalisasi pasar, meningkatkan jaringan
transportasi dan komunikasi, dan menyediakan fasilitas penyimpanan dan
keuangan jangka pendek dan panjang untuk pedagang swasta (Ghosh, 2011).
Menurut Tomek dan Robinson (1972) konsep integrasi pasar spasial,
ditunjukkan dari hubungan harga antar pasar terpisah secara geografis, dapat
yang terbentuk pada masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang
diperdagangkan dapat diduga melalui model ini. Fungsi supply dan demand
digambarkan melalui daerah yang berpotensi surplus (potential surplus market) dan pasar yang berpotensi defisit (potential deficit market). Prinsip yang digunakan untuk mengembangkan model perdagangan antar daerah digambarkan
dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi supply dan demand dari
masing-masing pasar.
2.4.3. Integrasi Pasar Vertikal
Integrasi pasar vertikal penting diketahui untuk melihat tingkat keeratan
hubungan antar pasar produsen dan ritel (pedagang). Pasar produsen adalah pasar
yang di dalamnya bekerja kekuatan permintaan dari pedagang dan kekuatan
penawaran dari produsen, sedangkan pasar ritel adalah pasar yang di dalamnya
bekerja kekuatan permintaan dari konsumen akhir dan penawaran dari pedagang.
Suatu pasar dikatakan terintegrasi vertikal dengan baik apabila harga pada suatu
lembaga pemasaran ditransformasikan kepada lembaga pemasaran lainnya dalam
satu rantai pemasaran. Kajian tentang integrasi pasar penting dilakukan untuk
melihat sejauh mana kelancaran informasi dan efisiensi pemasaran pada pasar.
Tingkat keterpaduan pasar yang tinggi menunjukkan telah lancarnya arus
informasi diantara lembaga pemasaran sehingga harga yang terjadi pada pasar
yang dihadapi oleh lembaga pemasaran yang lebih rendah dipengaruhi oleh
lembaga pemasaran yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan apabila arus informasi
berjalan dengan lancar dan seimbang, tingkat lembaga pemasaran yang lebih
sehingga dapat menentukan posisi tawarnya dalam pembentukan harga (Burhan,
2006).
2.5. Kebijakan Perberasan di Empat Negara Asia Tenggara
Salah satu masalah klasik yang sering dialami petani padi adalah anjloknya
harga jual gabah/beras pada saat panen raya, dan meningkatnya harga pada saat
diluar panen. Kondisi tersebut menyebabkan petani menjadi rugi dan usahatani
padi tidak menguntungkan. Selain itu, kenaikan harga beras dapat menimbulkan
gejolak sosial mengingat beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya membuat regulasi/kebijakan perberasan
agar gabah/beras petani dibeli dengan harga tertentu yang bisa memberikan
keuntungan yang layak bagi petani. Selain itu, beras dijual ke masyarakat/
konsumen diatur dengan harga tertentu sehingga masyarakat mampu mengakses
dalam batas wajar. Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah Harga Pembelian
Pemerintah-HPP (procurement price policy) (BKP-Kementan, 2013).
2.5.1. Indonesia
Pada tahun 1969, pemerintah memutuskan untuk menerapkan kebijakan
harga dasar bersamaan dengan kebijakan nonharga. Kebijakan harga ini
digunakan pemerintah untuk mengoptimalkan kebijakan nonharga, seperti varietas
unggul padi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pengairan,
serta teknik pertanian. Dampaknya adalah Indonesia mampu meningkatkan
produktivitas, luas areal tanam, serta pendapatan petani padi. Kedua kebijakan
tersebut masih dipertahankan sampai sekarang. Pada 2002, harga dasar diubah
diganti menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Sejak 2007, pemerintah
kembali mengucurkan subsidi pupuk dan benih, dimana pada 2009 mencapai Rp
19,7 triliun, sekitar 0,3 persen PDB. Swasembada beras kembali dapat diraih sejak
2008 (Anonymous, 2010).
Sawit (2001), ketidakstabilan harga beras dalam negeri tahun 1998 lebih
dominan dipengaruhi oleh ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika, hal ini telah berakibat kepada meningkatnya harga pangan pada
umumnya serta inflasi. Kebijakan pemerintah untuk menekan harga beras dalam
negeri dengan subsidi harga secara umum (general food subsidy) telah memperburuk kinerja kebijakan stabilisasi harga beras dalam negeri, berpengaruh
negatif terhadap petani produsen serta memperburuk distribusi pendapatan dan
penyeludupan beras. Kebijakan pelarangan perdagangan beras antar pulau juga
terlah menghambat aliran beras dari daerah produksi beras ke wilayah-wilayah
bukan produksi yang biasanya dilakukan oleh swasta, sehingga disparitas harga
beras antar daerah menjadi tinggi. Kebijakan terakhir ini telah
menumbuh-kembangkan pencari rente, sehingga menambah buruknya stabilitas harga beras
dalam negeri.
Penetapan HPP dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani,
pengembangan ekonomi pedesaan, stabilitas ekonomi nasional, peningkatan
ketahanan pangan, dan dalam rangka pengadaan cadangan pangan. Selain itu juga
untuk mendukung peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras
nasional. HPP gabah yang ditetapkan pemerintah diharapkan menjadi “semacam
reference) bagi petani dan pedagang yang melakukan transaksi jual-beli gabah/beras (BKP-Kementan, 2013).
Tabel 2.2. Kebijakan Perberasan Indonesia Tahun 2002 - 2013
Kebijakan
Salah satu bentuk perlindungan terhadap petani dan industri beras adalah
dengan adanya insentif harga gabah/beras (floor price) untuk kepentingan produsen, serta harga langit-langit (ceiling price) untuk melindungi konsumen. Mulai tahun 2004 pemerintah telah memberlakukan kebijakan harga pembelian
pemerintah (HPP) menggantikan kebijakan harga dasar gabah (HDG). Hampir
semua negara di Asia masih mempertahankan kebijakan insentif harga terhadap
produsen padi, stabilisasi harga beras, serta mengatur impor dan ekspor,
sementara pemerintah Indonesia justru terkesan melepaskan harga gabah kepada
mekanisme pasar (Anonymous, 2010).
Penetapan HPP gabah/beras pertama kali dilakukan pada tahun 2002 yang
dituangkan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2002. Sampai tahun 2012,
sudah 8 (delapan) kali ditetapkan kebijakan HPP gabah/beras untuk menyesuaikan
situasi perberasan dalam negeri, terutama akibat perkembangan harga yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, kenaikan HPP Gabah
kenaikan HPP Gabah Kering Giling (GKG) berkisar 4-27 persen atau rata-rata
13,82 persen per tahun, dan HPP beras berkisar 0-30 persen atau rata-rata 15,90
persen per tahun, seperti terlihat pada Tabel 2.2.
Beberapa hal yang mendasari perubahan kebijakan HPP antara lain
penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), seperti kejadian pada tanggal 1
Oktober 2005 terjadi kenaikan bahan bakar solar sebesar 124 persen yang
berdampak sangat besar terhadap kinerja sektor pertanian. Untuk
mempertahankan profitabilitas usahatani padi agar usaha tani padi
menguntungkan (minimal 30 persen), pemerintah mengeluarkan kebijakan
perberasan baru melalui Inpres No. 13/2005 yang menaikan HPP gabah/beras.
Faktor lain yang menyebabkan perubahan HPP adalah harga gabah/beras di
pasaran yang jauh lebih tinggi dibanding HPP, seperti pada akhir tahun 2006-awal
2007, harga gabah/beras sekitar 40-60 persen di atas HPP. Hal ini menyebabkan
Bulog tidak dapat memenuhi target pengadaan gabah/beras pemerintah, sehingga
pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan perberasan melalui Inpres No. 3
Tahun 2007. Selain itu, tingginya harga beras dunia yang terjadi karena berbagai
masalah di negara-negara produsen, seperti bencana alam dan tingginya harga
minyak juga menjadi salah satu pertimbangan perubahan kebijakan HPP.
Kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk subsidi pada April 2010 yang
berdampak pada tingginya usahatani padi, juga menjadi salah satu alasan
pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10 persen dengan mengeluarkan
Inpres No. 7 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan pada Januari 2010. Diharapkan
dengan penyesuaian HPP tersebut, pendapatan petani tidak menurun dan
2.5.2. Philipina
Hampir semua negara melakukan intervensi harga pasar pangan untuk
mengendalikan stabilitas harga. Metode intervensi yang paling umum adalah
penggunaan buffer stock yang biasanya bersama-sama dengan kebijakan perdagangan (tarif dan non tarif). Tidak terkecuali Filipina dan negara
berkembang, pengelolaan buffer stock ditangani oleh suatu badan pemerintah, yaitu Otoritas Pangan Nasional yang memiliki mandat untuk mengelola buffer stock beras yang merupakan makanan pokok di negara ini. Pemerintah melakukan intervensi pada tahap pemasaran melalui badan usaha pemerintah yang dikenal
dengan National Food Authority (NFA). Tantangannya adalah meminimalkan biaya subsidi dari intervensi pemerintah sehingga konsisten dengan stabilisasi
harga dan ketahanan pangan. Subsidi penuh oleh pemerintah pada tahap
pemasaran dapat menyebabkan efek distorsi (distortion effect) pada sistem pemasaran beras. Efek paling terasa adalah ketidakjelasan dan ketidakpastian
usaha yang menyebabkan swasta enggan untuk berinvestasi pada sektor ini.
Semakin baik, terintegrasi dan fasilitas yang lebih memadai, maka semakin
rendah biaya per unit beras yang dipasarkan dan berpotensi mendapatkan
keuntungan bagi konsumen (harga eceran yang lebih rendah ) atau petani (harga
di tingkat petani lebih tinggi) atau kedua-duanyanya. Stabilisasi harga adalah
harga beras dalam negeri lebih stabil daripada harga beras dunia, yaitu intervensi
pemerintah sedemikian rupa sehingga harga beras dalam negeri di tingkat
konsumen lebih stabil daripada harga beras dunia. Dalam ekonomi beras yang
benar-benar terbuka, harga beras dalam negeri sebagian besar akan mengikuti
perubahan tingkat tarif impor beras yang cenderung konstan dari waktu ke waktu
(Intal, Cu dan Illescas, 2012).
Ketidakseimbangan penawaran dan permintaan domestik ditangani dan
dikelola melalui ekspor dan impor beras. Pemerintah memiliki dua pendekatan
alternatif dalam rangka stabilisasi harga beras dalam negeri Filipina. Pendekatan
pertama adalah pemerintah tetap mengandalkan swasta untuk melakukan impor
dan ekspor beras, tetapi tarif impor beras yang disesuaikan untuk melawan
pergerakan harga beras dunia. Dalam hal ini, stabilisasi harga dalam negeri
dilakukan melalui sistem tarif sehingga tarif impor beras diturunkan ketika harga
beras dunia tinggi dan dinaikkan ketika harga beras dunia rendah. Dengan strategi
intervensi seperti ini, pemerintah dapat mengandalkan sepenuhnya pada sektor
swasta dalam perdagangan (impor dan ekspor) beras. Pemerintah tidak harus
mengeluarkan sumberdaya untuk melakukan stabilisasi harga beras domestik.
Pemerintah berpotensi memperoleh pendapatan dari tarif retribusi pada beras
impor (Intal, Cu dan Illescas , 2012).
Kebijakan pemasaran beras pemerintah bertujuan untuk menyediakan
beras dengan harga yang tinggi bagi petani dan rendah bagi konsumen. Dalam hal
ini, pemerintah telah melakukan berbagai tindakan dan intervensi yang tidak
hanya sulit tetapi juga sangat mahal. Sebagai contoh, National Food Authority (NFA) yang diberi mandat untuk menstabilkan pasokan dan harga beras dan biji-bijian lain, hal ini benar-benar meningkatkan volatilitas harga dalam negeri,
mengurangi kesejahteraan konsumen dan produsen, mengurangi minat swasta
berinvestasi untuk meningkatkan fasilitas distribusi dan penyimpanan. Selain itu,
tersebut mencapai 6,3 miliar Peso Filipina pada tahun 1998 dan lebih dari 7,0
miliar Peso Filipina pada tahun 2004. Sedangkan tahun 1998 jauh lebih besar
yaitu sekitar 1 miliar Peso Filipina yang disediakan untuk Research & Development pertanian khususnya perberasan selama periode yang sama (Balisacan dan Leocadio, 2006).
2.5.3. Thailand
Thailand merupakan salah satu negara eksportir beras di Asia Tenggara.
Dari 65,1 juta penduduknya, sejumlah 16,2 juta orang atau sekitar 3,7 juta rumah
tangga adalah petani padi. Dengan demikian, sekitar 26,5 persen dari total
penduduk terlibat dalam pertanian beras dan mayoritas penduduk tinggal di
wilayah perdesaan. Pada tahun 1998, budidaya padi dan industri perberasan
menjadi andalan untuk mengurangi jumlah pengangguran di negara tersebut. Dari
total lahan garapan 20.900 hektare, setengahnya dimanfaatkan untuk budidaya
padi. Sepanjang 1960-1980, lahan pertanian beras mengalami peningkatan luas
yang luar biasa dalam rangka Green Revolution dan meningkatkan produksi beras. Produksi meningkat dari 12,4 juta ton menjadi 21,2 juta ton padi dalam dua
dekade tersebut. Selama 1998-2003, setiap tahun diproduksi 22-26 juta ton beras.
Sebanyak 6,8-7,3 juta ton diekspor dalam kurun waktu tersebut. Pada tahun 2006,
total produksi padi sebesar 29,5 juta ton dan pada 2007 Thailand mampu
memproduksi 18,4 juta ton beras. Tahun 2007-2011, pemerintah Thailand
menerapkan enam strategi untuk pembangunan berkelanjutan. Strategi itu meliputi
aspek-aspek sektor beras domestik yang berbeda dan memasukkan produksi serta
pengembangan petani padi sekaligus pengembangan produk dan pemasaran. Salah
meminjamkan 160.000 hektare lahan tidur yang dimiliki pemerintah kepada
petani untuk memproduksi beras (Anonymous, 2010).
Saat ini, dua kebijakan penting yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah
Thailand dalam mengembangkan industri perberasan, yaitu: program penjaminan
pendapatan usahatani padi dan sistem kontrol standarisasi beras. Jaminan
pendapatan usahatani atau program asuransi harga dimulai pada akhir tahun 2009
untuk menggantikan program penjaminan padi yang diadopsi pada tahun 1985
untuk meningkatkan pendapatan petani padi. Biasanya, harga jaminan lebih
rendah dari harga pasar tetapi harga dinaikkan untuk membantu petani agar cepat
menjual produk mereka untuk membayar biaya atau utang. Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC), organisasi pergudangan, dan Organisasi pemasaran petani melaksanakan program penjaminan. Namun, skema penjaminan
berdampak pada harga beras dalam negeri yang mengarah kepada distorsi pasar.
Skema ini menguntungkan terutama bagi petani dan penggilingan padi yang
berpartisipasi dalam program dan pedagang beras bisa mendapatkan harga yang
rendah dari lelang pemerintah. Tetapi penggilingan padi yang tidak terikat
menjadi lemah karena petani memilih untuk bergabung dengan sistem penjaminan
dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Eksportir beras Thailand juga
terpengaruh oleh harga beras yang tinggi pada musim penjaminan dan kehilangan
daya saing mereka di pasar beras (Anonymous, 2010).
Semenjak awal 1980-an, pemerintah Thailand mengubah kebijakan
perberasannya ke arah perdagangan bebas. Pada tahun 1982, Thailand
menandatangani GATT yang berperan besar dalam liberalisasi kebijakan beras.
membiarkan harga pasar menentukan harga dalam negeri. Beberapa intervensi dan
dukungan tetap disediakan meskipun tidak langsung, dan petani dapat memilih
untuk mengambil peluang itu atau tidak. Pemasaran luar negeri juga dimasukkan
bersamaan dengan strategi untuk menciptakan nilai dan pengembangan logistik.
Strategi yang dinilai kontroversial adalah strategi yang menyangkut stabilisasi
harga beras. Pemerintah kini kembali terlibat dalam pasar beras, meskipun
sebelumnya pernah menarik diri dari pasar domestik beras pada 1980-an. Pada
2001, Pemerintah (National Rice Policy Commitee) memperkenalkan kebijakan jaminan harga beras (rice price guarantee policy). Kebijakan harga minimum ini berfungsi sebagai program gadai (mortgage program) dimana petani dapat memperoleh pinjaman berbunga rendah dari pemerintah (Anonymous, 2010).
Program gadai (mortgage programme) menjamin harga lebih tinggi dari harga pasar, kebijakan tersebut menghasilkan pengadaan beras oleh pemerintah.
Misalnya, selama masa panen periode 2005 akhir hingga awal 2006, pemerintah
telah memiliki stok lebih dari 5 juta ton beras, kemudian mengekspor beras
tersebut ke bebeberapa negara dengan skema pemerintah ke pemerintah (G to G). Program gadai mendapat kritik dari berbagai kalangan karena menghabiskan
anggaran pemerintah yang sangat besar. Namun, program gadai yang sempat
dihentikan dan kemudian diberlakukan kembali dengan harga intervensi 10.000
Baht per ton untuk masa panen pertama 2008. Pada panen kedua 2008 pemerintah
menjamin harga 14.000 Baht per ton. Biaya keseluruhan program mencapai 35
juta Baht dan berhasil mengumpulkan 2,5 juta ton beras pada akhir September
Namun, keuntungan utama program asuransi harga terletak pada besarnya
efektivitas dalam mendukung kelompok sasaran di sektor pertanian. Cakupan total
3,2 juta petani padi yang mendapat manfaat dari program ini melampaui jumlah
penerima manfaat dari program penjaminan padi sebelumnya kurang dari satu juta
petani. Faktor-faktor lain dalam mendukung program asuransi harga adalah a)
regulasi tidak rumit yang memungkinkan pemerintah untuk tidak terlibat dengan
pengelolaan atau pengolahan produk, b) mekanisme pemasaran tidak terdistorsi
seperti dalam kasus proyek penjaminan tersebut, c) petani menerima manfaat
penuh, dan d) mekanisme perlindungan harga tidak bertentangan dengan aturan
World Trade Organization (WTO) karena tidak mensubsidi ekspor tetapi hanya mendukung dan mempertahankan harga produk pertanian dalam negeri
(Titapiwatanakun, 2012).
Harga beras dibedakan berdasarkan kualitas (grade) dan musim dimana harga pada setiap grade berbeda, demikian juga terlihat ada perbedaan harga
antarmusim. Musim kedua (musim kemarau) biasanya hasil panen lebih rendah,
meskipun rendemennya lebih tinggi. Dengan pertimbangan itu, harga musim
kedua menjadi lebih tinggi. Tahun 2006, pemerintah menganggarkan pembelian 9
juta ton beras, tetapi hanya 1,8 juta ton beras yang dijual oleh petani karena
pedagang swasta memberi tawaran harga yang lebih tinggi. Harga yang
ditawarkan pemerintah setiap musim juga berbeda, begitu pula dengan jumlah
beras yang dapat dibeli pemerintah (Anonymous, 2010). Menurut Oryza (2013),
Pemerintah Thailand telah membeli sekitar 5.64 juta ton beras senilai 84.5 milyar
baht (sekitar $ 2.78 milyar). Pada periode musim tanam kedua, petani yang
Agricultural Cooperatives (BAAC) berencana untuk meningkatkan modal sekitar 10 miliar baht (sekitar $ 33juta) untuk meningkatkan rasio modal sampai 10
persen.
Menurut Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC) sebagaimana dilaporkan Oryza (2013), pemerintah telah menghabiskan sekitar
667 miliar baht (sekitar $21.3 miliar) sejak awal program gadai beras pada
Oktober 2011. Awal tahun 2013, pemerintah Thailand akan membayar sekitar 220
miliar baht (sekitar $7 miliar ) untuk BAAC pada akhir tahun dari hasil penjualan
beras. Namun, sampai September 2013, pemerintah telah membayar hanya 139
miliar baht (sekitar $4,4 milyar). Rendahnya penjualan beras tahun 2013
menyulitkan pemerintah untuk mendapatkan dana dari sumber dalam negeri.
Pemerintah harus meminjam lebih banyak uang dari bank untuk melanjutkan
program gadai beras. Pemerintah Thailand menyetujui 270 miliar baht (sekitar
$8.35 Miliar) untuk menjalankan program gadai beras 2013-2014
(Oktober-September) untuk membeli sekitar 16,5 juta ton padi dari petani diatas harga
pasar. Sebagai perbandingan, pemerintah menghabiskan sekitar 376 miliar baht
(sekitar $12.5 Milyar) untuk membeli sekitar 21,7 juta ton padi dari petani pada
tahun pertama dari program gadai beras ( Oktober 2011-September 2012 ), dan
sekitar 410 miliar baht (sekitar $13.6 Miliar) untuk membeli sekitar 18 juta ton
padi dari petani di 2012-2013.
2.5.4. Vietnam
Perdagangan beras telah dibebaskan sejak tahun 1997 secara umum
perusahaan swasta mendominasi pasar beras lokal, khususnya Vietnam Selatan.
kompleks dari ribuan pedagang yang menangani jutaan ton beras setiap hari yang
bergerak dari provinsi surplus ke daerah yang defisit, dari petani ke konsumen
perkotaan dan eksportir. Saluran pemasaran banyak dan berbeda dari satu daerah
ke daerah lain. Sejak tahun 1989 ketika Vietnam mulai mengekspor beras, negara
telah mengontrol volume ekspor beras dengan menetapkan kuota ekspor tahunan,
hal yang paling penting dan mendasar dibalik kebijakan ini adalah ketahanan
pangan. Pembatasan volume ekspor beras, pemerintah menjamin pasokan
domestik yang memadai dengan harga yang stabil. Sejumlah State Owned Enterprises-SOE (15-40 perusahaan) mendapat kuota ekspor beras. Penentuan kuota ini awalnya sampai pertengahan 1990-an, tetapi sedikit lebih fleksibel yang
tergantung pada produksi dalam negeri. Namun, pada bulan November 2001,
pemerintah membekukan ekspor beras dimana pemerintah menginstruksikan
kepada pedagang di daerah penghasil utama beras menghentikan penawaran
kontrak ekspor beras baru setelah melihat cadangan dalam negeri turun.
Langkah-langkah awal liberalisasi ekspor beras mulai tahun 1997 dan ketika itu,
pemerintah mengizinkan perusahaan swasta untuk mengekspor beras
(Reyes-Cantos, 2002).
Pemerintah membelanjakan subsidi biaya bunga bagi eksportir,
diperkirakan mencapai 200 miliar dong ($ 14 juta) tahun 1999-2001. Eksportir
mendapatkan kredit untuk kontrak ekspor sebesar 0,75 persen per bulan, atau 9
persen setahun. Rata-rata harga ekspor atau subsidi sekitar 150 dong per kg ($
1,58). Subsidi ini tentu tidak semua diterima di tingkat petani, karena ada biaya
tambahan untuk penyimpanan. Karena masih terbatasnya subsidi ini, maka tidak
Co-operation and Development (OECD) jauh lebih tinggi. Namun demikian kebijakan subsidi menunjukkan bahwa pemerintah serius untuk terus
mempertahankan ekspor beras sebagai sumber devisa. Vietnam menggunakan
tarif impor untuk mengurangi masuknya beras impor dari negara tetangga dan
mendorong petani untuk memperluas pertanaman varietas padi unggul dan
kualitas tinggi dan mengimpor beras jenis ini dalam jumlah yang sangat terbatas,
terutama berasal dari Thailand. Sama halnya dengan manajemen yang fleksibel
dalam pembatasan ekspor, tarif impor sering berubah. Pada bulan April 2000,
Vietnam menaikkan pungutan impor dari 10 persen menjadi 20 persen untuk
semua jenis beras kecuali padi. Selanjutnya terjadi kenaikan 30 persen
dilaksanakan pada bulan Juli 2000 serta 40 persen pada 1 November 2001
(Reyes-Cantos, 2002).
Di tingkat lokal, proses tawar-menawar bersifat kompetitif antara State Owned Enterprises-SOE dan pedagang swasta. Perbedaan harga dan kualitas beras mendorong petani untuk menghasilkan beras dengan kualitas baik. Sebagai
contoh, sebagian besar petani di Delta Sungai Mekong, terutama Provinsi
Angiang dan Cantho dengan iklim yang sangat mendukung untuk pertanaman
padi kualitas tinggi, dimana sekitar 60 persen padi berbulir panjang dan 40 persen
padi berbulir pendek yang dijual dengan harga dasar (Anonymous, 2010).
Kualitas beras yang dijual dibedakan berdasarkan tiga kriteria, yaitu
panjang bulir beras, tingkat patahan dan jenis varietas (aroma dan warna).
Persentase patahan menjadi indikator utama, setelah itu kualitas ditentukan
berdasaran panjang bulir. Para produsen beras beranggapan bahwa beras
standar yang sederhana, yaitu: ordinary rice (C2), beras berkualitas rendah dan sedang, yaitu beras patahan 20 persen hingga 25 persen dan luxury rice (C1), beras berkualitas tinggi, yaitu beras patahan 5 persen hingga 10 persen. Kualitas
beras tecermin pada harga beras tersebut dan perbedaan harga dasar juga
didasarkan pada perbedaan musim (Anonymous, 2010).
Tindakan pemerintah menaikkan harga dasar terjadi pada saat panen
melimpah, seperti yang terjadi pada 2008. Petani menanam lebih banyak beras
akibat harga bagus pada musim semi dan gugur. Akibat panen yang melimpah,
semenjak bulan Agustus dilaporkan harga sudah di bawah tingkat biaya produksi
petani, yang berarti petani mengalami kerugian. Dalam rangka mengatasi proses
penurunan tersebut, pemerintah meminta State Owned Enterprises-SOE membeli satu juta ton beras pada Februari 2009. Hal ini berakibat pada naiknya harga
beras di Delta Sungai Mekong sebesar 14 persen. Meskipun pemerintah
mengupayakan selisih keuntungan 3 persen setiap tahun, kenaikan harga
produk-produk konsumsi lain masih lebih tinggi ketimbang harga beras. Selama periode
1989-2000, harga beras naik 14,85 persen, hanya saja pada periode itu pula
tercatat kenaikan harga produk lain sebesar 18,25 persen. Angka ini menunjukkan
bahwa harga yang diterima petani sesungguhnya menurun 2,97 persen per tahun
dan penurunan harga ditingkat eceran 1,91 persen. Penurunan harga beras yang
diterima petani sedikit terkompensasi oleh peningkatan hasil panen per hektar
(Anonymous, 2010).
2.6. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran teoritis
supply-Demand, volume ekspor-impor beras, harga beras Indonesia dan internasional,
volatilitas harga beras Indonesia & internasional dan integrasi pasar, sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Keparangka Pemikiran
Supply-demand merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
menciptakan daya saing perberasan, khususnya di negara-negara penghasil beras
dunia. Faktor produksi dan konsumsi menggambarkan apakah suatu negara
mengalami surplus (net eksportir) atau defisit (net importir).
Volume impor beras mengidentifikasikan terjadinya perdagangan
Internasional yang mengakibatkan terjadinya integrasi pasar spatial, sehingga
terjadi perambatan harga dari beras dunia kepada gabah dan beras
Indonesia. Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia terutama
pada tahun 1998-1999 kemudian swasembada terjadi lagi tahun 2004. Hal ini Adalah garis yang mempengaruhi
Adalah garis keterkaitan harga Supply-Demand
Harga Beras Indonesia
Beras
Volatilitas Harga Beras Indonesia
Integrasi Pasar Spasial
Daya Saing Impor
terjadi karena meningkatnya permintaan dan konsumsi beras, lambannya proses
diversifikasi pangan, konversi lahan pertanian dan bencana alam. Sehingga impor
beras dilakukan untuk dapat menutupi kekurangan produksi beras dalam negeri.
Besarnya jumlah beras yang diimpor berfluktuasi setiap tahunnya.
Integrasi pasar spatial menunjukkan hubungan searah maupun dua arah
perdagangan beras antar dua atau lebih negara dimana sebagian diantaranya
merupakan net importir (defisit) dan sebagian lagi net eksportir (surplus). Pasar
yang terintegrasi dalam sistem perdagangan lebih efisien, saling mempengaruhi
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Derajat integrasi pasar
dipengaruhi oleh kebijakan tariff maupun non tariff di suatu negara.
Ketika terjadi kenaikan harga pangan di pasar dunia dapat memberikan
dampak positif terhadap ekspor dan GDP, disamping itu juga dapat menyebabkan
permasalahan bagi konsumen, khususnya peningkatan nilai komoditas lainnya
yang menyebabkan kenaikan harga beras di pasar Indonesia dan meningkatnya
inflasi. Dampak kenaikan harga beras bagi rumah tangga miskin menyebabkan
sekitar 2/3 pendapatannya digunakan untuk pangan dimana sekitar 20 persen
diantaranya dibelanjakan untuk beras (Worldbank, 2010). Menurut Clarete, dkk
(2013), harga pangan meningkat secara substansial di berbagai negara selama
krisis pangan dunia, kecuali beberapa negara yang menutup dirinya dari pasar
dunia. Tetapi perdagangan yang tertutup dapat memicu peningkatan harga dan
volatilitas di pasar internasional, membuat harga domestik meningkat di
negara-negara kecil yang tergantung kepada impor dari negara-negara lain.
petani rendah, tetapi disebabkan karena kebijakan intervensi pemerintah,
suplay-demand yang tidak seimbang (konsumsi beras tinggi), kualitas beras yang masih
rendah, sebagian besar lahan petani yang relatif kecil (petani gurem) yang
mempunyai luas lahan sekitar 0.3 ha.
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah :
a. Beras Indonesia mempunyai daya saing terhadap beras Asia Tenggara.
b. Terjadi integrasi pasar spatial antara pasar beras Indonesia dengan pasar beras
Asia Tenggara.