• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Perberasan di Empat Negara Asia Tenggara

TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Kebijakan Perberasan di Empat Negara Asia Tenggara

Salah satu masalah klasik yang sering dialami petani padi adalah anjloknya harga jual gabah/beras pada saat panen raya, dan meningkatnya harga pada saat diluar panen. Kondisi tersebut menyebabkan petani menjadi rugi dan usahatani padi tidak menguntungkan. Selain itu, kenaikan harga beras dapat menimbulkan gejolak sosial mengingat beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berupaya membuat regulasi/kebijakan perberasan agar gabah/beras petani dibeli dengan harga tertentu yang bisa memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Selain itu, beras dijual ke masyarakat/ konsumen diatur dengan harga tertentu sehingga masyarakat mampu mengakses dalam batas wajar. Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah Harga Pembelian Pemerintah-HPP (procurement price policy) (BKP-Kementan, 2013).

2.5.1. Indonesia

Pada tahun 1969, pemerintah memutuskan untuk menerapkan kebijakan harga dasar bersamaan dengan kebijakan nonharga. Kebijakan harga ini digunakan pemerintah untuk mengoptimalkan kebijakan nonharga, seperti varietas unggul padi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pengairan, serta teknik pertanian. Dampaknya adalah Indonesia mampu meningkatkan produktivitas, luas areal tanam, serta pendapatan petani padi. Kedua kebijakan tersebut masih dipertahankan sampai sekarang. Pada 2002, harga dasar diubah menjadi harga dasar pembelian pemerintah (HDPP). Pada 2005, istilah HDPP

diganti menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Sejak 2007, pemerintah kembali mengucurkan subsidi pupuk dan benih, dimana pada 2009 mencapai Rp 19,7 triliun, sekitar 0,3 persen PDB. Swasembada beras kembali dapat diraih sejak 2008 (Anonymous, 2010).

Sawit (2001), ketidakstabilan harga beras dalam negeri tahun 1998 lebih dominan dipengaruhi oleh ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, hal ini telah berakibat kepada meningkatnya harga pangan pada umumnya serta inflasi. Kebijakan pemerintah untuk menekan harga beras dalam negeri dengan subsidi harga secara umum (general food subsidy) telah memperburuk kinerja kebijakan stabilisasi harga beras dalam negeri, berpengaruh negatif terhadap petani produsen serta memperburuk distribusi pendapatan dan penyeludupan beras. Kebijakan pelarangan perdagangan beras antar pulau juga terlah menghambat aliran beras dari daerah produksi beras ke wilayah-wilayah bukan produksi yang biasanya dilakukan oleh swasta, sehingga disparitas harga beras antar daerah menjadi tinggi. Kebijakan terakhir ini telah menumbuh-kembangkan pencari rente, sehingga menambah buruknya stabilitas harga beras dalam negeri.

Penetapan HPP dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, pengembangan ekonomi pedesaan, stabilitas ekonomi nasional, peningkatan ketahanan pangan, dan dalam rangka pengadaan cadangan pangan. Selain itu juga untuk mendukung peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional. HPP gabah yang ditetapkan pemerintah diharapkan menjadi “semacam harga minimum” (floor price) yang berfungsi sebagai referensi harga (price

reference) bagi petani dan pedagang yang melakukan transaksi jual-beli gabah/beras (BKP-Kementan, 2013).

Tabel 2.2. Kebijakan Perberasan Indonesia Tahun 2002 - 2013

Kebijakan Perberasan Harga GKP Tingkat Petani (Rp/Kg) Harga GKG Tingkat Penggilingan (Rp/Kg) Harga Beras di Gudang Bulog/ Penggilingan (Rp/Kg) Masa Berlaku (Bln/Thn)

Inpres 09/2002 1.230 1.725 2.790 Jan. 2003 - Feb. 2005

Inpres 02/2005 1.330 1.765 3.050 Maret - Des. 2005

Inpres 13/2005 1.730 2.250 3.550 Jan. 2006 - Maret 2007

Inpres 03/2007 2.000 2.575 4.000 April 2007 - Maret 2008

Inpres 01/2008 2.240 2.800 4.300 April 2008 – Des. 2008

Inpres 08/2008 2.400 2.440 4.600 Jan. – Des. 2009

Inpres 07/2009 2.640 3.300 5.060 Jan. 2010 – Feb. 2012

Inpres 03/2012 3.300 4.150 6.600 April 2012 – Sekarang

Sumber: BKP-Kementerian Pertanian (2013)

Salah satu bentuk perlindungan terhadap petani dan industri beras adalah dengan adanya insentif harga gabah/beras (floor price) untuk kepentingan produsen, serta harga langit-langit (ceiling price) untuk melindungi konsumen. Mulai tahun 2004 pemerintah telah memberlakukan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) menggantikan kebijakan harga dasar gabah (HDG). Hampir semua negara di Asia masih mempertahankan kebijakan insentif harga terhadap produsen padi, stabilisasi harga beras, serta mengatur impor dan ekspor, sementara pemerintah Indonesia justru terkesan melepaskan harga gabah kepada mekanisme pasar (Anonymous, 2010).

Penetapan HPP gabah/beras pertama kali dilakukan pada tahun 2002 yang dituangkan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2002. Sampai tahun 2012, sudah 8 (delapan) kali ditetapkan kebijakan HPP gabah/beras untuk menyesuaikan situasi perberasan dalam negeri, terutama akibat perkembangan harga yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, kenaikan HPP Gabah Kering Panen (GKP) berkisar 8-30 persen atau rata-rata 15,43 persen per tahun,

kenaikan HPP Gabah Kering Giling (GKG) berkisar 4-27 persen atau rata-rata 13,82 persen per tahun, dan HPP beras berkisar 0-30 persen atau rata-rata 15,90 persen per tahun, seperti terlihat pada Tabel 2.2.

Beberapa hal yang mendasari perubahan kebijakan HPP antara lain penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), seperti kejadian pada tanggal 1 Oktober 2005 terjadi kenaikan bahan bakar solar sebesar 124 persen yang berdampak sangat besar terhadap kinerja sektor pertanian. Untuk mempertahankan profitabilitas usahatani padi agar usaha tani padi menguntungkan (minimal 30 persen), pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan baru melalui Inpres No. 13/2005 yang menaikan HPP gabah/beras. Faktor lain yang menyebabkan perubahan HPP adalah harga gabah/beras di pasaran yang jauh lebih tinggi dibanding HPP, seperti pada akhir tahun 2006-awal 2007, harga gabah/beras sekitar 40-60 persen di atas HPP. Hal ini menyebabkan Bulog tidak dapat memenuhi target pengadaan gabah/beras pemerintah, sehingga pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan perberasan melalui Inpres No. 3 Tahun 2007. Selain itu, tingginya harga beras dunia yang terjadi karena berbagai masalah di negara-negara produsen, seperti bencana alam dan tingginya harga minyak juga menjadi salah satu pertimbangan perubahan kebijakan HPP. Kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk subsidi pada April 2010 yang berdampak pada tingginya usahatani padi, juga menjadi salah satu alasan pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10 persen dengan mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan pada Januari 2010. Diharapkan dengan penyesuaian HPP tersebut, pendapatan petani tidak menurun dan peningkatan produksi beras nasional tidak terganggu (BKP-Kementan, 2013).

2.5.2. Philipina

Hampir semua negara melakukan intervensi harga pasar pangan untuk mengendalikan stabilitas harga. Metode intervensi yang paling umum adalah penggunaan buffer stock yang biasanya bersama-sama dengan kebijakan perdagangan (tarif dan non tarif). Tidak terkecuali Filipina dan negara berkembang, pengelolaan buffer stock ditangani oleh suatu badan pemerintah, yaitu Otoritas Pangan Nasional yang memiliki mandat untuk mengelola buffer stock beras yang merupakan makanan pokok di negara ini. Pemerintah melakukan intervensi pada tahap pemasaran melalui badan usaha pemerintah yang dikenal dengan National Food Authority (NFA). Tantangannya adalah meminimalkan biaya subsidi dari intervensi pemerintah sehingga konsisten dengan stabilisasi harga dan ketahanan pangan. Subsidi penuh oleh pemerintah pada tahap pemasaran dapat menyebabkan efek distorsi (distortion effect) pada sistem pemasaran beras. Efek paling terasa adalah ketidakjelasan dan ketidakpastian usaha yang menyebabkan swasta enggan untuk berinvestasi pada sektor ini. Semakin baik, terintegrasi dan fasilitas yang lebih memadai, maka semakin rendah biaya per unit beras yang dipasarkan dan berpotensi mendapatkan keuntungan bagi konsumen (harga eceran yang lebih rendah ) atau petani (harga di tingkat petani lebih tinggi) atau kedua-duanyanya. Stabilisasi harga adalah harga beras dalam negeri lebih stabil daripada harga beras dunia, yaitu intervensi pemerintah sedemikian rupa sehingga harga beras dalam negeri di tingkat konsumen lebih stabil daripada harga beras dunia. Dalam ekonomi beras yang benar-benar terbuka, harga beras dalam negeri sebagian besar akan mengikuti perputaran harga beras dunia disesuaikan dengan perubahan nilai tukar dan

perubahan tingkat tarif impor beras yang cenderung konstan dari waktu ke waktu (Intal, Cu dan Illescas, 2012).

Ketidakseimbangan penawaran dan permintaan domestik ditangani dan dikelola melalui ekspor dan impor beras. Pemerintah memiliki dua pendekatan alternatif dalam rangka stabilisasi harga beras dalam negeri Filipina. Pendekatan pertama adalah pemerintah tetap mengandalkan swasta untuk melakukan impor dan ekspor beras, tetapi tarif impor beras yang disesuaikan untuk melawan pergerakan harga beras dunia. Dalam hal ini, stabilisasi harga dalam negeri dilakukan melalui sistem tarif sehingga tarif impor beras diturunkan ketika harga beras dunia tinggi dan dinaikkan ketika harga beras dunia rendah. Dengan strategi intervensi seperti ini, pemerintah dapat mengandalkan sepenuhnya pada sektor swasta dalam perdagangan (impor dan ekspor) beras. Pemerintah tidak harus mengeluarkan sumberdaya untuk melakukan stabilisasi harga beras domestik. Pemerintah berpotensi memperoleh pendapatan dari tarif retribusi pada beras impor (Intal, Cu dan Illescas , 2012).

Kebijakan pemasaran beras pemerintah bertujuan untuk menyediakan beras dengan harga yang tinggi bagi petani dan rendah bagi konsumen. Dalam hal ini, pemerintah telah melakukan berbagai tindakan dan intervensi yang tidak hanya sulit tetapi juga sangat mahal. Sebagai contoh, National Food Authority (NFA) yang diberi mandat untuk menstabilkan pasokan dan harga beras dan biji-bijian lain, hal ini benar-benar meningkatkan volatilitas harga dalam negeri, mengurangi kesejahteraan konsumen dan produsen, mengurangi minat swasta berinvestasi untuk meningkatkan fasilitas distribusi dan penyimpanan. Selain itu, pengeluaran pemerintah untuk subsidi dalam mempertahankan operasi pasar

tersebut mencapai 6,3 miliar Peso Filipina pada tahun 1998 dan lebih dari 7,0 miliar Peso Filipina pada tahun 2004. Sedangkan tahun 1998 jauh lebih besar yaitu sekitar 1 miliar Peso Filipina yang disediakan untuk Research & Development pertanian khususnya perberasan selama periode yang sama (Balisacan dan Leocadio, 2006).

2.5.3. Thailand

Thailand merupakan salah satu negara eksportir beras di Asia Tenggara. Dari 65,1 juta penduduknya, sejumlah 16,2 juta orang atau sekitar 3,7 juta rumah tangga adalah petani padi. Dengan demikian, sekitar 26,5 persen dari total penduduk terlibat dalam pertanian beras dan mayoritas penduduk tinggal di wilayah perdesaan. Pada tahun 1998, budidaya padi dan industri perberasan menjadi andalan untuk mengurangi jumlah pengangguran di negara tersebut. Dari total lahan garapan 20.900 hektare, setengahnya dimanfaatkan untuk budidaya padi. Sepanjang 1960-1980, lahan pertanian beras mengalami peningkatan luas yang luar biasa dalam rangka Green Revolution dan meningkatkan produksi beras. Produksi meningkat dari 12,4 juta ton menjadi 21,2 juta ton padi dalam dua dekade tersebut. Selama 1998-2003, setiap tahun diproduksi 22-26 juta ton beras. Sebanyak 6,8-7,3 juta ton diekspor dalam kurun waktu tersebut. Pada tahun 2006, total produksi padi sebesar 29,5 juta ton dan pada 2007 Thailand mampu memproduksi 18,4 juta ton beras. Tahun 2007-2011, pemerintah Thailand menerapkan enam strategi untuk pembangunan berkelanjutan. Strategi itu meliputi aspek-aspek sektor beras domestik yang berbeda dan memasukkan produksi serta pengembangan petani padi sekaligus pengembangan produk dan pemasaran. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi adalah dengan

meminjamkan 160.000 hektare lahan tidur yang dimiliki pemerintah kepada petani untuk memproduksi beras (Anonymous, 2010).

Saat ini, dua kebijakan penting yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah Thailand dalam mengembangkan industri perberasan, yaitu: program penjaminan pendapatan usahatani padi dan sistem kontrol standarisasi beras. Jaminan pendapatan usahatani atau program asuransi harga dimulai pada akhir tahun 2009 untuk menggantikan program penjaminan padi yang diadopsi pada tahun 1985 untuk meningkatkan pendapatan petani padi. Biasanya, harga jaminan lebih rendah dari harga pasar tetapi harga dinaikkan untuk membantu petani agar cepat menjual produk mereka untuk membayar biaya atau utang. Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC), organisasi pergudangan, dan Organisasi pemasaran petani melaksanakan program penjaminan. Namun, skema penjaminan berdampak pada harga beras dalam negeri yang mengarah kepada distorsi pasar. Skema ini menguntungkan terutama bagi petani dan penggilingan padi yang berpartisipasi dalam program dan pedagang beras bisa mendapatkan harga yang rendah dari lelang pemerintah. Tetapi penggilingan padi yang tidak terikat menjadi lemah karena petani memilih untuk bergabung dengan sistem penjaminan dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Eksportir beras Thailand juga terpengaruh oleh harga beras yang tinggi pada musim penjaminan dan kehilangan daya saing mereka di pasar beras (Anonymous, 2010).

Semenjak awal 1980-an, pemerintah Thailand mengubah kebijakan perberasannya ke arah perdagangan bebas. Pada tahun 1982, Thailand menandatangani GATT yang berperan besar dalam liberalisasi kebijakan beras. Pemerintah Thailand mulai menarik diri dari pasar beras domestik dan

membiarkan harga pasar menentukan harga dalam negeri. Beberapa intervensi dan dukungan tetap disediakan meskipun tidak langsung, dan petani dapat memilih untuk mengambil peluang itu atau tidak. Pemasaran luar negeri juga dimasukkan bersamaan dengan strategi untuk menciptakan nilai dan pengembangan logistik. Strategi yang dinilai kontroversial adalah strategi yang menyangkut stabilisasi harga beras. Pemerintah kini kembali terlibat dalam pasar beras, meskipun sebelumnya pernah menarik diri dari pasar domestik beras pada 1980-an. Pada 2001, Pemerintah (National Rice Policy Commitee) memperkenalkan kebijakan jaminan harga beras (rice price guarantee policy). Kebijakan harga minimum ini berfungsi sebagai program gadai (mortgage program) dimana petani dapat memperoleh pinjaman berbunga rendah dari pemerintah (Anonymous, 2010).

Program gadai (mortgage programme) menjamin harga lebih tinggi dari harga pasar, kebijakan tersebut menghasilkan pengadaan beras oleh pemerintah. Misalnya, selama masa panen periode 2005 akhir hingga awal 2006, pemerintah telah memiliki stok lebih dari 5 juta ton beras, kemudian mengekspor beras tersebut ke bebeberapa negara dengan skema pemerintah ke pemerintah (G to G). Program gadai mendapat kritik dari berbagai kalangan karena menghabiskan anggaran pemerintah yang sangat besar. Namun, program gadai yang sempat dihentikan dan kemudian diberlakukan kembali dengan harga intervensi 10.000 Baht per ton untuk masa panen pertama 2008. Pada panen kedua 2008 pemerintah menjamin harga 14.000 Baht per ton. Biaya keseluruhan program mencapai 35 juta Baht dan berhasil mengumpulkan 2,5 juta ton beras pada akhir September 2008 (Anonymous, 2010).

Namun, keuntungan utama program asuransi harga terletak pada besarnya efektivitas dalam mendukung kelompok sasaran di sektor pertanian. Cakupan total 3,2 juta petani padi yang mendapat manfaat dari program ini melampaui jumlah penerima manfaat dari program penjaminan padi sebelumnya kurang dari satu juta petani. Faktor-faktor lain dalam mendukung program asuransi harga adalah a) regulasi tidak rumit yang memungkinkan pemerintah untuk tidak terlibat dengan pengelolaan atau pengolahan produk, b) mekanisme pemasaran tidak terdistorsi seperti dalam kasus proyek penjaminan tersebut, c) petani menerima manfaat penuh, dan d) mekanisme perlindungan harga tidak bertentangan dengan aturan World Trade Organization (WTO) karena tidak mensubsidi ekspor tetapi hanya mendukung dan mempertahankan harga produk pertanian dalam negeri (Titapiwatanakun, 2012).

Harga beras dibedakan berdasarkan kualitas (grade) dan musim dimana harga pada setiap grade berbeda, demikian juga terlihat ada perbedaan harga antarmusim. Musim kedua (musim kemarau) biasanya hasil panen lebih rendah, meskipun rendemennya lebih tinggi. Dengan pertimbangan itu, harga musim kedua menjadi lebih tinggi. Tahun 2006, pemerintah menganggarkan pembelian 9 juta ton beras, tetapi hanya 1,8 juta ton beras yang dijual oleh petani karena pedagang swasta memberi tawaran harga yang lebih tinggi. Harga yang ditawarkan pemerintah setiap musim juga berbeda, begitu pula dengan jumlah beras yang dapat dibeli pemerintah (Anonymous, 2010). Menurut Oryza (2013), Pemerintah Thailand telah membeli sekitar 5.64 juta ton beras senilai 84.5 milyar baht (sekitar $ 2.78 milyar). Pada periode musim tanam kedua, petani yang berpartisipasi dalam program ini sekitar 778.000 petani. Bank for Agriculture and

Agricultural Cooperatives (BAAC) berencana untuk meningkatkan modal sekitar 10 miliar baht (sekitar $ 33juta) untuk meningkatkan rasio modal sampai 10 persen.

Menurut Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC) sebagaimana dilaporkan Oryza (2013), pemerintah telah menghabiskan sekitar 667 miliar baht (sekitar $21.3 miliar) sejak awal program gadai beras pada Oktober 2011. Awal tahun 2013, pemerintah Thailand akan membayar sekitar 220 miliar baht (sekitar $7 miliar ) untuk BAAC pada akhir tahun dari hasil penjualan beras. Namun, sampai September 2013, pemerintah telah membayar hanya 139 miliar baht (sekitar $4,4 milyar). Rendahnya penjualan beras tahun 2013 menyulitkan pemerintah untuk mendapatkan dana dari sumber dalam negeri. Pemerintah harus meminjam lebih banyak uang dari bank untuk melanjutkan program gadai beras. Pemerintah Thailand menyetujui 270 miliar baht (sekitar $8.35 Miliar) untuk menjalankan program gadai beras 2013-2014 (Oktober-September) untuk membeli sekitar 16,5 juta ton padi dari petani diatas harga pasar. Sebagai perbandingan, pemerintah menghabiskan sekitar 376 miliar baht (sekitar $12.5 Milyar) untuk membeli sekitar 21,7 juta ton padi dari petani pada tahun pertama dari program gadai beras ( Oktober 2011-September 2012 ), dan sekitar 410 miliar baht (sekitar $13.6 Miliar) untuk membeli sekitar 18 juta ton padi dari petani di 2012-2013.

2.5.4. Vietnam

Perdagangan beras telah dibebaskan sejak tahun 1997 secara umum perusahaan swasta mendominasi pasar beras lokal, khususnya Vietnam Selatan. Sistem pemasaran beras Vietnam telah berkembang menjadi sebuah sistem yang

kompleks dari ribuan pedagang yang menangani jutaan ton beras setiap hari yang bergerak dari provinsi surplus ke daerah yang defisit, dari petani ke konsumen perkotaan dan eksportir. Saluran pemasaran banyak dan berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Sejak tahun 1989 ketika Vietnam mulai mengekspor beras, negara telah mengontrol volume ekspor beras dengan menetapkan kuota ekspor tahunan, hal yang paling penting dan mendasar dibalik kebijakan ini adalah ketahanan pangan. Pembatasan volume ekspor beras, pemerintah menjamin pasokan domestik yang memadai dengan harga yang stabil. Sejumlah State Owned Enterprises-SOE (15-40 perusahaan) mendapat kuota ekspor beras. Penentuan kuota ini awalnya sampai pertengahan 1990-an, tetapi sedikit lebih fleksibel yang tergantung pada produksi dalam negeri. Namun, pada bulan November 2001, pemerintah membekukan ekspor beras dimana pemerintah menginstruksikan kepada pedagang di daerah penghasil utama beras menghentikan penawaran kontrak ekspor beras baru setelah melihat cadangan dalam negeri turun. Langkah-langkah awal liberalisasi ekspor beras mulai tahun 1997 dan ketika itu, pemerintah mengizinkan perusahaan swasta untuk mengekspor beras (Reyes-Cantos, 2002).

Pemerintah membelanjakan subsidi biaya bunga bagi eksportir, diperkirakan mencapai 200 miliar dong ($ 14 juta) tahun 1999-2001. Eksportir mendapatkan kredit untuk kontrak ekspor sebesar 0,75 persen per bulan, atau 9 persen setahun. Rata-rata harga ekspor atau subsidi sekitar 150 dong per kg ($ 1,58). Subsidi ini tentu tidak semua diterima di tingkat petani, karena ada biaya tambahan untuk penyimpanan. Karena masih terbatasnya subsidi ini, maka tidak bisa disebut "dumping" karena subsidi negara-negara Organization for Economic

Co-operation and Development (OECD) jauh lebih tinggi. Namun demikian kebijakan subsidi menunjukkan bahwa pemerintah serius untuk terus mempertahankan ekspor beras sebagai sumber devisa. Vietnam menggunakan tarif impor untuk mengurangi masuknya beras impor dari negara tetangga dan mendorong petani untuk memperluas pertanaman varietas padi unggul dan kualitas tinggi dan mengimpor beras jenis ini dalam jumlah yang sangat terbatas, terutama berasal dari Thailand. Sama halnya dengan manajemen yang fleksibel dalam pembatasan ekspor, tarif impor sering berubah. Pada bulan April 2000, Vietnam menaikkan pungutan impor dari 10 persen menjadi 20 persen untuk semua jenis beras kecuali padi. Selanjutnya terjadi kenaikan 30 persen dilaksanakan pada bulan Juli 2000 serta 40 persen pada 1 November 2001 (Reyes-Cantos, 2002).

Di tingkat lokal, proses tawar-menawar bersifat kompetitif antara State Owned Enterprises-SOE dan pedagang swasta. Perbedaan harga dan kualitas beras mendorong petani untuk menghasilkan beras dengan kualitas baik. Sebagai contoh, sebagian besar petani di Delta Sungai Mekong, terutama Provinsi Angiang dan Cantho dengan iklim yang sangat mendukung untuk pertanaman padi kualitas tinggi, dimana sekitar 60 persen padi berbulir panjang dan 40 persen padi berbulir pendek yang dijual dengan harga dasar (Anonymous, 2010).

Kualitas beras yang dijual dibedakan berdasarkan tiga kriteria, yaitu panjang bulir beras, tingkat patahan dan jenis varietas (aroma dan warna). Persentase patahan menjadi indikator utama, setelah itu kualitas ditentukan berdasaran panjang bulir. Para produsen beras beranggapan bahwa beras long-grained lebih disukai di banyak negara. Pedagang di Vietnam menggunakan

standar yang sederhana, yaitu: ordinary rice (C2), beras berkualitas rendah dan sedang, yaitu beras patahan 20 persen hingga 25 persen dan luxury rice (C1), beras berkualitas tinggi, yaitu beras patahan 5 persen hingga 10 persen. Kualitas beras tecermin pada harga beras tersebut dan perbedaan harga dasar juga didasarkan pada perbedaan musim (Anonymous, 2010).

Tindakan pemerintah menaikkan harga dasar terjadi pada saat panen melimpah, seperti yang terjadi pada 2008. Petani menanam lebih banyak beras akibat harga bagus pada musim semi dan gugur. Akibat panen yang melimpah, semenjak bulan Agustus dilaporkan harga sudah di bawah tingkat biaya produksi petani, yang berarti petani mengalami kerugian. Dalam rangka mengatasi proses penurunan tersebut, pemerintah meminta State Owned Enterprises-SOE membeli satu juta ton beras pada Februari 2009. Hal ini berakibat pada naiknya harga beras di Delta Sungai Mekong sebesar 14 persen. Meskipun pemerintah mengupayakan selisih keuntungan 3 persen setiap tahun, kenaikan harga produk-produk konsumsi lain masih lebih tinggi ketimbang harga beras. Selama periode 1989-2000, harga beras naik 14,85 persen, hanya saja pada periode itu pula tercatat kenaikan harga produk lain sebesar 18,25 persen. Angka ini menunjukkan bahwa harga yang diterima petani sesungguhnya menurun 2,97 persen per tahun dan penurunan harga ditingkat eceran 1,91 persen. Penurunan harga beras yang diterima petani sedikit terkompensasi oleh peningkatan hasil panen per hektar (Anonymous, 2010).

Dokumen terkait