• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Natawijaya (2001) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis keterpaduan pasar beras di Indonesia sebagai akibat terjadinya arus perdagangan beras dari daerah surplus ke daerah defisit. Penelitian ini dilakukan dengan menghitung Total Sum Square Correlation (TSSC) dari harga beras di 25 ibukota propinsi dari tahun 1995-1999. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa 18 pasar beras ibukota propinsi terintegrasi dengan baik, 7 kota tidak terintegrasi dan 1 kota terisolasi. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan kondisi surplus dan defisit pada pasar- pasar tersebut dan ditarik kesimpulan bahwa pasar yang mengalami keadaan surplus dan defisit akan terintegrasi dengan pasar-pasar lainnya.

Hadi dan Mardianto (2004), melakukan penelitian tentang Analisis Komparasi Daya Saing Produks Ekspor Pertanian Antar Negara Asia Tenggara Dalam Era Perdagangan Bebas AFTA. Penelitian meliputi pertumbuhan ekspor produk pertanian serta efek komposisi produk, distribusi pasar dan daya saing terhadap ekspor produk pertanian ke kawasan Asia Tenggara dengan menggunakan data sekunder deret waktu dan metode analisis Constant Market Share. Kesimpulan utama hasil analisis ini adalah sebagai berikut: (1) Pertumbuhan ekspor Indonesia ke kawasan Asia Tenggara selama periode 1997-1999 adalah yang tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara, bahkan lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor dunia ke kawasan yang sama, sedangkan

pada periode 1999-2001 menurun dan lebih rendah dibanding Thailand, Filipina dan dunia; (2) Komposisi produk ekspor Indonesia adalah yang terbaik di antara negara-negara Asia Tenggara, walaupun melemah pada periode 1999-2001 dibanding 1999; (3) Distribusi pasar ekspor Indonesia pada periode 1997-1999 hanya kalah dari Singapura, tetapi pada periode 1997-1999-2001 melemah dan kalah dari Singapura dan Vietnam; dan (4) Daya saing ekspor Indonesia pada periode 1997-1999 paling kuat di antara negara-negara Asia Tenggara, tetapi pada periode 1999-2001 melemah dan kalah dari Filipina dan Thailand.

Simbolon (2005) melakukan penelitian untuk menganalisis integrasi pasar beras domestik dengan pasar beras dunia dan pengaruh adanya tarif impor. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Vector Autoregression (VAR). Kesimpulan hasil analisis yaitu secara umum terjadi integrasi antara pasar beras domestik dengan pasar beras dunia, namun dengan derajat integrasi yang berbeda menurut varietas atau jenis beras. Harga satu varietas domestik (yaitu Setra) terintegrasi kuat dengan harga ketiga jenis beras dunia, yaitu Broken 5 persen, Broken 25 persen dan Broken 35 persen, dan harga lima varietas beras domestik (yaitu muncul, IR 64, IR I, IR II, dan IR III) terintegrasi lemah dengan harga ketiga jenis beras dunia tersebut. Tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah dalam perdagangan beras ternyata meningkatkan harga beras di pasar domestik. Tetapi peningkatan harga tersebut tidak mampu menekan volume impor beras. Kenaikan impor yang terjadi pada tahun 1998 ternyata hanya berpengaruh terhadap harga beras domestik varietas IR II yang merupakan varietas dengan volume perdagangan terbanyak kedua setelah varietas IR 64.

Reddy (2006) melakukan penelitian tentang Commodity Market Integration: Case of Asian Rice Markets. Penelitian ini menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM) dan beberapa uji, yaitu: Johansen test untuk menguji kointegrasi pasar, granger causality test untuk menguji causalitas pasar. Hasil penelitian menunjukkan harga beras internasional (Thailand dan USA), harga di tingkat produsen, dan dukungan kebijakan harga pemerintah mengalami kointegrasi jangka panjang, tetapi hukum satu harga (Law of One Price) tidak berlaku. Thailand II (100) granger cause Thai-A1-super dan US long grain No. 2 (broken 4 persen). Jepang, Thailand, Bangladesh dan Philipina mempengaruhi harga negara lainnya dan menjadi pembentuk harga di pasar beras Asia. Dalam jangka pendek elastisitas signifikan untuk beberapa negara (antara India dan Thailand, Bangladesh dan Pakistan). Dalam hal dukungan kebijakan harga pemerintah hanya empat dari sembilan harga yang terintegrasi. Elastisitas jangka pendek dan dukungan kebijakan harga pemerintah signifikan, yaitu India dan Korea sebesar 0,21, sedangkan Thailand dan India sebesar 0,84. Kesimpulannya adalah Thailand, Bangladesh, Philipina dan Jepang merupakan pembentuk harga di pasar beras Asia.

Nga dan Lantican (2006) melakukan penelitian berjudul Spatial Integration of Rice Markets in Vietnam yang menganalisis pola dan tingkat integrasi spasial pasar beras di Vietnam, serta hubungan dinamis harga ekspor beras Vietnam dan Thailand. Tingkat integrasi pasar ditentukan dengan mengidentifikasi lokasi terhubung oleh perdagangan dan share harga yang terhubung dalam jangka panjang. Metode estimasi komponen permanen diterapkan untuk menentukan pentingnya pasar dalam membentuk harga beras

jangka panjang. Pola dan tingkat integrasi diuji dengan Law of One Price (LOP) dan memastikan kecepatan penyesuaian terhadap ekuilibrium jangka panjang, menggunakan berbagai test dalam sistem terkointegrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 9 dari 34 pasar beras yang terintegrasi ke dalam pasar umum. Namun, harga ditransmisikan dengan baik antara pasar beras yang terintegrasi. Pasokan beras menjadi faktor yang paling penting dalam membentuk perilaku harga jangka panjang. Tidak ada pasar tunggal yang menjadi pasar acuan. Harga beras ekspor Vietnam dan Thailand berkointegrasi dan sesuai dengan Law of One Price (LOP). Penghapusan kuota ekspor tidak signifikan dalam menentukan hubungan harga beras di kedua negara.

Irawan dan Rosmayanti (2007), Analisis Integrasi Pasar Beras Di Bengkulu, penelitian bertujuan untuk menganalisis integrasi spasial dan integrasi vertikal antarpasar beras di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Metode penelitian yang digunakan adalah adalah analisis Vector Error Correction Model (VECM) dan Granger Causality. Hasil penelitian yaitu: 1) pasar beras Bengkulu terintegrasi spasial secara tidak sempurna, apabila terjadi guncangan di pasar kota Bengkulu akan ditransmisikan ke pasar Bengkulu Selatan dan Bengkulu Utara tetapi tidak untuk pasar Rejang Lebong. Implikasi kebijakan penelitian ini adalah stabilisasi pasar beras Kota Bengkulu, stabilnya pasar beras di Kota Bengkulu akan ditransmisikan ke pasar-pasar kabupaten lainnya kecuali pasar di Kabupaten Rejang Lebong. 2) integrasi pasar vertikal di Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Selatan tidak sempurna dan integrasi vertikal secara statistik signifikan terjadi di Kabupaten Rejang Lebong dan Bengkulu Utara.

Rapsomanikis dan Mugera (2011) melakukan penelitian tentang Price Transmission and Volatility Spillovers in Food Markets menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM) bertujuan untuk meneliti sinyal transmisi harga pangan di pasar internasional di beberapa negara berkembang. Model yang digunakan Autoregressive Conditional Heterokedasticity (ARCH)/ Generalized Autoregressive Conditional Heterokedasticity(GARCH) untuk melihat volatilitas antara harga pangan di pasar internasional dan pasar domestik di Ethiopia, India dan Malawi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka pendek penyesuaian terhadap perubahan harga dunia di Etiopia dan Malawi, sementara volatilitas harga signifikan hanya terjadi ketika harga pasar dunia ekstrim. Permasalahan dibeberapa negara ini salah satunya volatilitas yang ekstrim di pasar domestik akibat guncangan pasar dunia. Di India, penyesuaian harga relatif cepat dan volatilitas harga pangan lebih ditentukan oleh kebijakan-kebijakan domestik. Kekuatan pasar India di pasar dunia menghasilkan efek sebab akibat dua arah (Causal Bi-Directional). Perubahan harga beras di satu pasar akan mempengaruhi pasar lainnya. Namun demikian, kebijakan stabilisasi harga beras di India, dan kebijakan pembatasan ekspor baru-baru ini, mengakibatkan lonjakan harga pangan.

Ghosh (2011) melakukan penelitian dengan metode integrasi pasar, yaitu meneliti dampak reformasi kebijakan pertanian terhadap integrasi spasial beras dan gandum di India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat integrasi pasar spasial antar negara meningkat selama periode setelah reformasi dibandingkan dengan sebelum reformasi. Pasar regional, tersegmentasi dan terintegrasi selama periode sebelum reformasi. Reformasi kebijakan pertanian sejak awal 1990-an

memberikan kontribusi terhadap peningkatan tingkat integrasi spasial pasar pangan dan mendukung argumen bahwa telah terjadi liberalisasi pasar dan meminimalkan intervensi pemerintah terhadap perdagangan bahan pangan. Liberalisasi pangan akan memperkuat integrasi pasar spasial. Tingkat integrasi pasar tidak hanya tergantung pada reformasi kebijakan pertanian, tetapi juga pada tingkat biaya transaksi terutama biaya transportasi dan komunikasi, infrastruktur, fasilitas penyimpanan, dan mekanisme kontrak. Pemerintah bisa mendorong pertumbuhan pertanian dan menjamin stabilitas harga pangan dengan membatasi intervensi langsung, melalui peningkatan infrastruktur fisik dan kelembagaan. Ketergantungan pada kebijakan intervensi pemerintah secara langsung dapat berkurang secara signifikan.

Kaltalioglu dan Soytas (2011) melakukan penelitian tentang Volatility Spillover from Oil to Food and Agricultural Raw Material Markets bertujuan untuk mengkaji dampak volatilitas antara minyak dunia, pangan, dan indeks harga produsen pertanian. Penelitian ini menemukan bahwa tidak terjadi rambatan volatilitas harga antara minyak dunia terhadap pangan. Secara keseluruhan menunjukkan hanya terjadi hubungan kontemporer antara indeks harga produsen pertanian dan minyak dunia, tidak ada hubungan antara ketiga variabel. Selanjutnya, pembuat kebijakan tidak dapat menggunakan perkembangan harga minyak dunia dalam memperkiraan fluktuasi harga pangan dan indeks harga produsen pertanian. Hasil penelitian ini tidak mendukung klaim bahwa kenaikan harga minyak dunia menyebabkan inflasi dan kenaikan harga pangan disebabkan oleh faktor lain.

Riaz dan Jansen (2012), melakukan penelitian tentang Spatial Patterns Of Revealed Comparative Advantage Of Pakistan’s Agricultural Exports. Potensi ekspor pertanian Pakistan secara umum tertinggal jauh. Namun, analisis yang mendukung pernyataan ini sangat sedikit, hal ini karena kurangnya data yang mudah diakses. Menggunakan data rinci arus perdagangan internasional dan mengadaptasi konsep Balassa (1965) tentang keunggulan komparatif dalam konteks regional. Penelitian ini mengungkapkan indeks keunggulan komparatif mempunyai jarak yang cukup lebar antara ekspor pertanian Pakistan terhadap beberapa pasar regional. Beberapa kombinasi produk pertanian Pakistan memiliki keunggulan komparatif meskipun pada tingkat pasar global tidak mempunyai keunggulan komparatf. Selain itu, juga menyoroti peluang perdagangan bilateral, khususnya perdagangan dengan negara-negara tetangga. Identifikasi pasar ekspor utama Pakistan menyoroti jenis produk pertanian yang memiliki potensi untuk menembus pasar di negara-negara maju.

Varela, Aldaz-Carroll dan Iacovone (2012), melakukan penelitian investigatif dengan judul Determinants of Market Integration and Price Transmission in Indonesia. Penelitian ini mengukur derajat integrasi dengan menggunakan metoda teknik ko-integrasi dan menghitung perberaan rata-rata harga. Mereka menggunakan analisis regresi untuk memahami perbedaan dan integrasi pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras dan gula mempunya derajat integrasi pasar yang tinggi dan perbedaan harga berkisar antara 5-12 persen. Jagung, kedelai dan minyak goreng mempunyai derajat integrasi pasar rendah dan perbedaan harganya tinggi berkisar antara 16-22 persen. Integrasi pasar antar provinsi ditentukan oleh jarak dan infrastruktur. Perbedaan harga antar

provinsi direspon oleh karakteristi provinsi seperti jarak, infrastruktur transportasi, hasil komoditi, produktivitas lahan dan income per kapita.

Debaniyu (2013), melakukan penelitan berjudul Price Integration of Cowpea Retail Markets in Niger State, Nigeria. Metode penelitian yang digunakan adalah Multistage Stratified Random Sampling dengan membandingkan enam pasar, yaitu pasar Kontagora dan Salka (tingkat produsen), pasar Minna dan Bida (tingkat konsumen) dan pasar Sabonwuse dan Mokwa (tingkat perantara/transit). Analisis yang digunakan adalah akar unit (uji unit root) metode Augmented Dicky Fuller (ADF), Johansen co-integration test, error correction model (ECM) test dan granger causality test. Hasil penelitian integrasi pasar menggambarkan harga pasar kacang tunggak (cowpea) terintegrasi dalam jangka panjang. Terjadi keterkaitan harga yang kuat secara spasial antara pasar Kontagora terhadap Sabonwuse dan pasar Bida terhadap Sabonwuse. Sedangkan hasil granger causality menunjukkan terjadi hubungan timbal balik, yaitu Kontagora granger cause Sabonwuse dan sebaliknya dan hubungan searah pasar Bida granger cause Sabonwuse (tidak berlaku sebaliknya).

Dokumen terkait