• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Gejala dan Penyebab Penyakit Lodoh. Lodoh (ndamping-offw) merupakan terminologi bagi se- tiap penyakit yang berakibat busuknya semai atau tajuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2.1. Gejala dan Penyebab Penyakit Lodoh. Lodoh (ndamping-offw) merupakan terminologi bagi se- tiap penyakit yang berakibat busuknya semai atau tajuk"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gejala dan Penyebab Penyakit Lodoh pada P. merkusii

J

Lodoh (ndamping-offw) merupakan terminologi bagi se- tiap penyakit yang berakibat busuknya semai atau tajuk muda yang masih sukulen secara cepat. Penyakit ini dise- babkan oleh sejumlah fungi penghuni tanah yang merupakan parasit fakultatif tanpa disertai kekhususan dengan inang- nya (Hartley, 1921). Hifa patogen menyebar melalui tanah, dan infeksi terjadi melalui penetrasi secara langsung pada epidermis yang masih lemah yang melindungi jaringan suku- len inang (Boyce, 1961).

Serangan patogen umumnya sudah mulai tampak pada minggu pertama setelah benih berkecambah hingga semai ber- umur empat atau lima minggu. Gejala umum serangan patogen ini adalah membusuknya hipokotil tepat di atas permukaan tanah atau bagian akar, yang berakibat semai layu dan mu- dah rebah, kemudian diikuti kematian semai (Hodge dan ' Luchle, 1959).

Kisaran inang fungi penyebab penyakit lodoh sangat luas. ~ a m p i r semua jenis konifer yang telah dibudidayakan bersifat rentan terhadap penyakit ini. Meskipun demikian tingkat kerentanannya sangat bervariasi dengan lokasi yang berbeda, tergantung pada kondisi tanah dan iklim serta

(2)

Serangan patogen lodoh dapat terjadi pada tiga fase pertumbuhan inang, yaitu :

lelSerangan terjadi pada benih yang baru ditanam dan belum berkecambah sehingga benih menjadi busuk, disebut lodoh benih (ngermination-lossn) (Hartley, 1921).

2. Serangan terjadi pada benih yang sudah berkecambah te- tapi belum sempat muncul ke permukaan tanah, sehingga kecambah mati di dalam tanah, disebut lodoh dalam tanah

("pre-emergence damping-offm) (Wright, 1944).

3. Serangan yang terjadi pada benih yang telah berkecambah dan telah muncul di permukaan tanah disebut lodoh ba- tang (npost-emergence damping-offw), umumnya terjadi pada semai berumur antara satu hingga empat minggu (Wright, 1944). Serangan pada fase ini sangat banyak menimbulkan kematian semai. Boyce (1961) membedakan serangan pada fase ini ke dalam lodoh pangkal batang ("soil-infection typen) jika invasi patogen terjadi pada akar atau pada hipokotil dekat permukaan tanah, dan lodoh tajuk ("top-infection typew atau "top damp- ing-offw) jika patogen menyerang kotiledon atau hipoko- ti1 bagian atas.

Pada lodoh pangkal batang, patogen dengan cepat me- nyebar dalam jaringan inang, terutama dalam akar, sehingga semai menjadi layu atau rebah sebelum layu. Kerebahan semai sebelum layu bukan disebabkan oleh terhentinya

(3)

suplai air melainkan akibat membusuknya hipokotil tepat di atas permukaan tanah ketika jaringan di atasnya masih segar. Lodoh tajuk tidak lazim ditemui, tetapi dapat sangat merusak terutama pada pesemaian yang padat setelah suatu periode cuaca berawan dan hujan (Boyce, 1961).

Fungi patogen lodoh pada P. merkusii antara lain Fusarium sp., Rhizoctonia sp., dan Pythium sp. Fusarium termasuk suku Tuberculariaceae dan merupakan fungi penghu- ni tanah yang memiliki lebih dari 40 jenis (Booth, 1971). Beberapa jenis Fusarium yang telah diketahui menyebabkan penyakit lodoh pada P. merkusii adalah F. solani, F. moni- liforme, F. ventricosum, dan F. acuminatum. Jenis-jenis tersebut dilaporkan mempunyai daya patogenisitas yang ber- beda-beda terhadap P. merkusii (Roth, Riker dan Brener,

1947).

Fusarium lazimnya memiliki miselia lembut, bersepta dan bercabang. Bila dibiakkan pada media agar, mula-mula miselium yang tumbuh berwarna putih, halus seperti kapas dan bercabang-cabang membentuk jala kasar. Lama-kelamaan warnanya berubah menjadi putih kekuningan, merah jambu, ungu, atau warna lain sesuai dengan jenisnya. Fungi ini secara khas ditunjukkan oleh konidianya yang terdiri atas mikro- dan makrokonidia (Booth, 1971).

Suhu tanah optimum bagi perkembangan Fusarium adalah 2 8 O ~ . Dalam biakan murni, suhu optimum bagi perkembangan

(4)

fungi ini berkisar 25-30 OC, dengan suhu maksimum 37Oc. Kelembaban tanah optimum untuk pertumbuhan vegetatif inang merupakan keadaan yang paling sesuai bagi perkembangan fu- ngi ini (Walker, 1975). Kisaran pH yang memungkinkan per- tumbuhannya adalah 2.7-7.2 (Booth, 1971).

Samson, Hoekstra, dan van Oorschot (1984) mengemuka- kan karakteristik F. oxysporum, yaitu koloninya berwarna keunguan, warna makin tajam di dekat permukaan; miselium udara awalnya berwarna putih kemudian menjadi keunguan, seperti kapas; mikrokonidia terdiri atas 0-2 septa, beru- kuran 5-12 x 2.2-3.5 pm, makrokonidia terdiri atas 3-5 septa, berukuran (20)27-46(60) x 3-4.5(5) pm; mikrokonidia disangga oleh mikrofialid yang tidak memanjang, dan karak- ter ini membedakannya dari F. solani yang mikrofialidnya memanjang.

Rhizoctonia termasuk dalam fform-ordo' Agonomycetales 'form-klasf Deuteromycetes (Alexopoulus dan Mims, 1979). Satu di antara jepis-jenis yang sering menimbulkan penya- kit lodoh pada P. merkusii adalah R. solani. Virulensi strain R. solani terhadap P. merkusii beragam (Roth dan Riker, 1943). Rhizoctonia memiliki mekanisme variabilitas yang khas, yaitu anastomosis (Ogoshi, 1987).

Bila Rhizoctonia ditumbuhkan pada PDA, maka mula-mula miselianya berwarna putih, dan lama-kelamaan berubah men- jadi coklat muda sampai tua. Miselia tersebut halus,

(5)

bercabang-cabang membentuk jala halus dan bersepta. Jarak antar septanya relatif pendek. Perkembangan miselianya memberikan tanda khas, yaitu percabangan tegak lurus (von A r x , 1981).

Untuk pertumbuhannya, Rhizoctonia memerlukan kisaran suhu 12-36 OC. Bagi kebanyakan strainnya, suhu optimum

untuk infeksi berkisar 15-18 OC, tetapi beberapa strain lebih aktif pada suhu tinggi hingga batas 35Oc. Penyakit yang ditimbulkannya lebih parah pada tanah lembab diban- ding pada tanah yang tergenang atau kering. Fungi ini ma- sih dapat hidup pada tanah dengan pH antara 2.4 dan 9, tetapi tumbuh lebih baik pada pH tanah antara 3'.5 dan 7.5

(Roth dan Riker, 1943; Agrios, 1988).

Beberapa karakteristik R. solani dirinci oleh Ogoshi (1975) serta Sneh, Burpee, dan Ogoshi (1991). Karakteris- tik tersebut mencakup: hifa vegetatif muda berinti banyak (multinukleat), berwarna coklat, diameter hifa > 6 pm, percabangan terdapat di dekat septum distal sel-sel pada hifa vegetatif muda, terdapat konstriksi (lekukan) pada hifa, dan septa terbentuk dekat awal percabangan hifa, terdapat septa dolipor, membentuk sklerotia yang tidak beraturan bentuknya, tidak membentuk konidia tetapi mem- bentuk sel-sel monilioid, tidak terdapat sambungan apit, dan tidak membentuk rhizomorf.

(6)

Pythium sp. merupakan anggota suku Pythiaceae kelas Oomycetes, yang terutama menyebabkan penyakit lodoh dalam tanah dan lodoh batang. Jenis-jenis Pythium penyebab pe- nyakit lodoh antara lain P. debaryanum, P. aphenidermatum, dan P. ultimum (Agrios, 1988).

Pythium menghasilkan miselium halus, berwarna putih dengan percabangan banyak, dan pertumbuhannya cepat. Miselium menghasilkan sporangia terminal atau interkalar, yang dapat berbentuk bundar, filamen, atau bentuk-bentuk lainnya. Sporangia langsung berkecambah dengan mengha- silkan satu atau beberapa tabung kecambah, atau dengan menghasilkan hifa pendek yang pada ujungnya terbentuk ve-

sikel. Dalam vesikel ini dibentuk zoospora (Alexopoulus dan Mims, 1979; Agrios, 1988).

Perkecambahan sporangia terutama dipengaruhi oleh su- hu media. Pada suhu di atas 1 8 O ~ , sporangia langsung membentuk tabung kecambah, sedang pada suhu antara 10 sam- pai 1 8 O ~ perkecambahan terjadi melalui pembentukan zoos- pora

.

Kerugian akibat serangan Pythium spp. makin besar bila media tanam dalam keadaan basah dalam waktu yang la- ma, bila suhu lingkungan tidak cocok bagi pertumbuhan ta- naman inang, bila kadar Nitrogen dalam tanah berlebihan, atau bila dilakukan penanaman jenis yang sama terus-menerus

(7)

2.2. Hekanisme Serangan Patogen

Patogen menyerang inang dengan melibatkan beberapa mekanisme. Williams (1979), dengan merangkum hasil pene-

litian beberapa peneliti, mengemukakan beberapa mekanisme serangan patogen biotrof atau nekrotrof, mencakup kekuatan mekanik atau senjata struktural, enzim, toksin, zat penga- tur tumbuh, keseimbangan metabolik, materi genetik, serta lingkungan ionik dan pH.

Kekuatan mekanik atau senjata struktural terutama di- gunakan oleh patogen yang dalam proses infeksinya perlu menembus permukaan utuh inang (Brown, 1980).

Enzim-enzim hidrolitik yang menghidrolisis pektin, selulosa, lemak, dan protein menjadi monomernya, berperan dalam patogenesis. Fungi patogen nekrotrof sering mense- kresikan enzim ekstraseluler yang mencukupi untuk memase- rasi jaringan pada stadia infeksi lanjut. Di antara enzim hidrolitik, pektinase merupakan enzim yang dihasil- kan oleh hampir seluruh fungi nekrotrof. Enzim ini meme- gang peranan penting dalals maserasi jaringan pada penyakit yang disertai gejala busuk lunak (Williams, 1979).

Aktivitas suatu enzim hidrolitik sering didukung oleh beberapa enzim. Sebagai contoh, glukanase, glukan-selo- biohidrolase (CBH), dan 0-glukosidase ( 0 - G ) merupakan enzim-enzim yang berperan dalam degradasi selulosa.

(8)

Glukanase sendiri terdiri atas eksoglukanase dan endoglu- kanase (EG). Enzim-enzim pektin metil esterase (PME), poligalakturonase (PG), pektin metil galaktorunase (PMG), pektin transeliminase (PTE) dan 'pectic acid8 transelimi- nase (PATE) merupakan pendukung aktivitas pektolitik (Goodman, Kiraly dan Wood, 1986; Dahm dan Strzelczyk, 1987).

Toksin merupakan metabolit yang dihasilkan patogen yang berpengaruh merusak terhadap satu atau lebih fungsi penting dalam sel-sel inang. Kebanyakan toksin merupakan senyawa sekunder berbobot molekul rendah yang dikeluarkan secara ekstraseluler oleh fungi patogen. Toksin ada yang bekerja mengubah fungsi plasma membran sehingga mengaki- batkan peningkatan kebocoran elektrolit dari dalam self ada pula yang mempengaruhi fungsi kloroplas atau aktivitas mitokondria. Jenis-jenis Fusarium dilaporkan menghasilkan toksin yang berbeda-beda, antara lain asam fusarat yang dihasilkan oleh bqnyak jenis Fusarium, fitonivein dihasil- kan oleh F , oxysporum f. sp. niveum, fitolikopersin diha- silkan oleh F. oxysporum f. sp. lycopersici, dan likoma- rasmin yang dihasilkan oleh F. oxysporum f. sp. lycopersi- ci, f. sp, vasinfectum, dan f. sp. melonis (Williams, 1979; Goodman dkk., 1986).

Penelitian peran zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam patogenesis dipicu oleh penemuan peran giberelin yang dihasilkan oleh Gibberella fujikuroi (teleomorf Fusarium

(9)

moniliforme) dalam timbulnya penyakit bakanae pada padi (Pegg, 1976~). Pada banyak kasus ditemukan terdapatnya ZPT dalam konsentrasi tinggi, yang merupakan kondisi abnormal, pada jaringan inang sakit, berhubungan dengan pertumbuhan abnormal. Hal tersebut merupakan bukti kuat peran ZPT dalam patogenesis (Williams, 1979). Beberapa fungi patogen dilaporkan menghasilkan ZPT selain giberelin dalam kondisi in vitro. Auksin alami, yaitu asam indol asetat (IAA), dilaporkan dihasilkan oleh F. fasinfectum, F. oxysporum f , cubense, Me1 ampsora 1 ini

,

dan Taphrina deformans (Goodman d k k . , 1986; Pegg, 1976a). Exobasidium, Nectria galligena, dan Taphrina cerasi dilaporkan mengha- silkan sitokinin (Dekhuijzen, 1976). Etilen dilaporkan dihasilkan oleh F-oxysporum f, tulipae dan Ceratocystis fimbriata (Pegg, 1976b).

Pada kasus yang melibatkan patogen biotrof, jaringan terinfeksi sering menjadi 'sink' metabolit yang mengubah arah pergerakan fotosintat dari bagian lain ke jaringan terinfeksi tersebut. Kondisi ini memperlihatkan terjadi- nya gangguan terhadap keseimbangan metabolit akibat infek- si patogen (Williams, 1979).

Penyisipan materi genetik ekstra kromosomal patogen ke dalam genom inang merupakan salah satu mekanisme pato- genesis. Proses infeksi Agrobacterium tumefaciens diketa- hui melibatkan materi genetik ekstra kromosomal bakteri

(10)

tersebut. Proses infeksi fungi patogen tertentu dila- porkan juga melibatkan materi genetik ekstra kromosomal. Sebagai contoh adalah keberadaan DNA sitoplasmik yang dapat dipindahkan ke inang yang menentukan virulensi isolat-isolat ~elminthosporium oryzae (Lindberg, 1971).

Pada jaringan tempat terjadinya patogenesis, aspek lingkungan yang penting pada tempat terjadinya interaksi patogen

-

inang tersebut adalah kondisi ionik medium untuk berlangsungnya proses molekuler dalam patogenesis. Dera- jad kemasaman (pH) medium beserta karakteristik ioniknya merupakan ha1 penting yang menentukan efektivitas aktivi- tas enzim, toksin, atau ZPT, yang selanjutnya mempengaruhi keberlangsungan proses infeksi (Williams, 1979).

Untuk kasus penyakit lodoh, Agrios (1988) mengemuka- kan tahap-tahap infeksi untuk tipe lodoh benih. Fungi masuk ke dalam benih dengan mempenetrasi langsung melalui bagian kulit benih yang lembab atau melalui rekahan pada permukaan kulit, ,serta selanjutnya mempenetrasi embrio atau jaringan kecambah benih melalui tekanan mekanik dan penghancuran oleh enzim. Pektinase dilepaskan fungi untuk menghancurkan lamela tengah yang menjadi pengikat antar sel inang, sehingga jaringan termaserasi. Invasi dan penghancuran jaringan lebih lanjut terjadi akibat pertum- buhan miselia fungi di antara dan melalui sel-sel. Hifa yang tumbuh menembus dinding sel diameternya mengecil

(11)

hingga menjadi separoh ukuran normal. Protease mendegra- dasi protoplas jaringan yang diinvasi, sedang kekuatan fisik, dan kadang selulase merusak dinding sel. Oleh karena itu benih terinfeksi akan mati dan berubah menjadi bahan busuk yang terutama tersusun atas fungi dan zat yang tidak dapat dihancurkan oleh patogen seperti suberin dan lignin.

2.3. Hekanisme Pertahanan Inang

Terhadap Penyakit

Pertahanan inang terhadap penyakit dapat bersifat pa- sif, yaitu pertahanan sudah ada sebelum patogen menyerang sehingga sering pula disebut pertahanan prainseksi, dan pertahanan aktif, yaitu pertahanan yang dipicu oleh se- rangan patogen sehingga dinamakan pula pertahanan pascain- feksi (Agrios, 1988; Goodman dkk., 1986).

Periode serangan lodoh pada semai P. merkusii terba- tas, dan menurut Hodge dan Luchle (1959) serangan mulai tampak pada minggu pertama setelah benih berkecambah hingga semai berumur empat atau lima minggu. Sesudah umur tersebut, semai P. merkusii dengan sendirinya men- jadi tahan terhadap serangan patogen lodoh, Terdapat beberapa fenomena yang mungkin terjadi berkenaan dengan peningkatan ketahanan semai dengan bertambahnya umur ter- sebut, yang dapat bersifat biokimia atau struktural.

Senyawa fenolik merupakan salah satu kelompok metabo- lit yang sering dihubungkan dengan ketahanan inang terha- dap patogen, Lazimnya, kandungannya pada tanaman tahan

(12)

lebih tinggi dibanding pada yang rentan. Pengaruhnya ter- hadap patogen dapat langsung mematikan karena sifatnya yang meracuni, atau tidak langsung dengan menghambat enzim hidrolitik yang dihasilkan patogen sehingga aktivitas patogen terhambat. Sifatnya larut dalam air sehingga dapat terdifusi ke dalaa lapisan air di permukaan organ inang dan dapat menghambat perkecambahan serta infeksi patogen. Senyawa fenolik ada yang telah terkandung dalam tanaman sebelum terjadi infeksi patogen, sehingga merupa- kan mekanisme pertahanan prainfeksi. Senyawa yang sama juga ada yang pembentukannya dipicu oleh infeksi patogen. Kelompok terakhir tersebut dinamakan fitoaleksin dan merupakan mekanisme pertahanan pascainfeksi (Goodman dkk.,

1986; Harborne, 1988).

Peran enzim oksidatif dalam pertahanan inang terhadap penyakit banyak mendapat perhatian. Perubahan aktivitas enzim oksidatif pada tanaman terinfeksi sering bukan meru- pakan reaksi s p e ~ i f i k akibat infeksi patogen, melainkan lebih merupakan karakteristik yang mengikuti perubahan aktivitas metabolisme sel-sel tanaman akibat pengaruh berbagai faktor eksogen maupun endogen (Fric, 1976).

Telah banyak dilaporkan bahwa aktivitas enzim oksida- tif, antara lain peroksidase (PO) dan polifenoloksidase (PPO), tanaman tahan adalah lebih tinggi dibanding pada

(13)

tanaman rentan. Peran peroksidase dalam pertahanan tanam- an dihubungkan dengan kemampuannya mengoksidasi metabolit penting baik pada patogen maupun pada inang, seperti senyawa fenolik, enzim, IAA, toksin dan sebagainya (Fric, 1976). Polifenoloksidase dan peroksidase keduanya teruta- ma berperan mengoksidasi substansi fenolik melalui sistem PPO-PO-H20, yang produk reaksinya sangat reaktif dan toksik terhadap patogen, dan diduga berperan dalam perta- hanan inang (Srivastava, 1987). Kemungkinan terjadi pe- ningkatan kandungan senyawa fenolik semai dan peningkatan aktivitas enzim oksidatif dengan makin bertambahnya umur, sehingga ketahanan semai terhadap patogen lodoh peningkat.

Perubahan struktural perakaran maupun batang semai mungkin juga berperan dalam peningkatan ketahanan terse-

but. Sifat sukulen akar dan batang semai hilang dengan makin bertambahnya umur semai, sedang patogen lodoh ter- utama menyerang semai yang masih sukulen. Lignifikasi me- rupakan proses yaqg lazim terjadi dengan menuanya perakar- an tanaman, demikian pula peningkatan turgiditas jaringan oleh penimbunan Ca-pektat pada lamela tengah (Goodman dkk., 1986).

Lignin merupakan komponen dinding sel tanaman. Ter- dapat tiga kelompok utama lignin berdasarkan komposisi mo- nomernya

.

Sebagai contoh, lignin gymnosperm merupa- kan dehidrogenasi polimer koniferil alkohol, dan lignin

(14)

angiosperm umumnya tersusun oleh campuran koniferil

alkohol dan sinapil alkohol, sedang lignin rumput-rumputan

merupakan campuran sinapil alkohol dan P-koumaril alkohol

(Goodman dkk., 1986). Lignifikasi dinding sel dapat

menghambat difusi toksin dan enzim patogen ke inang, dan

lignifikasi yang dipicu oleh adanya proses infeksi menja-

dikan sel tanaman lebih tahan terhadap penetrasi patogen.

Di samping itu, senyawa fenolik prekursor lignin dapat

menghambat perkembangan patogen (Vance, Kirk, dan Sher-

wood, 1980).

Kalsium sering dihubungkan dengan infeksi patogenik

pada jaringan tanaman. Konsentrasi ion ca++ yang terpeli-

hara tetap tinggi dalam sel tanaman dapat mengurangi peng-

uraian dinding sel akibat aktivitas fungi patogen. Gejala

maserasi jaringan berhubungan dengan aktivitas pektolitik

patogen, dan aktivitas pektolitik tersebut dapat dimodifi-

kasi melalui status ion ca++ dalam dinding sel tanaman

(Drobak dkk., 1992).

Ion ca++ terlibat dalam pertahanan Phaseolus vulgaris

terhadap R. solani

.

Senyawa pektat hasil demetilasi oleh pektinmetil esterase inang mengikat ion ca++ yang tertim-

bun pada tempat infeksi patogen, dan menjadikan jaringan

lebih tahan terhadap aktivitas lanjut poligalakturonase

patogen ( Bateman, 1964a )

.

Ion ca++ dilaporkan menghambat maserasi potongan umbi kentang oleh poligalakturonase

(15)

R. solani (Bateman, 1964a) dan menghambat perkembangan pe- nyakit layu fusarium pada tanaman tomat (Edgington dan Walker, 1958).

I

Pektinase yang disintesis oleh patogen dan didifusi- kan ke dalam jaringan inang, ternyata tidak selalu aktif. Berbagai jaringan inang dilaporkan mengandung penghambat pektinase. Penghambat berupa senyawa mirip protein telah diisolasi dari jaringan atau dinding sel tanaman persik, jeruk, apel, dan pear. Penghambat tersebut terlihat efektif melawan poligalakturonase (PG) yang dihasilkan oleh banyak jenis fungi patogen, akan tetapi tidak efektif terhadap ekso-PG. Penghambat lainnya berupa glikoprotein yang terikat pada polisakarida. Beberapa penghambat dilaporkan ada yang terikat secara ionik dengan dinding sel tanaman, misalnya penghambat PG pada tanaman buncis yang tahan antraknosa, sedang yang lainnya mudah dieks- traksi dari dinding sel melalui pengenceran dengan larutan penyangga (Collmer dan Keen, 1986).

2.4. Pengendalian Hayati Penyakit Lodoh

Berbagai studi tentang penyakit tumbuhan yang dilaku- kan mengarah pada tujuan akhir, yaitu agar dapat mengenda- likan penyakit di lapangan secara efektif, efisien, dan aman. Beberapa teknik pengendalian telah dikembangkan, yang mencakup dari pengendalian secara budidaya (kultur

(16)

teknik), fisik, hayati, penggunaan varietas tahan, eradi- kasi, eksklusi, proteksi dan terapi secara kimiawi, hingga perundang-undangan (Oka, 1992).

Proteksi dan terapi secara kimiawi merupakan teknik pengendalian penyakit yang banyak diterapkan karena cara aplikasinya sederhana dan efeknya segera terlihat. Meski- pun demikian makin disadari bahwa pengendalian secara kimiawi tersebut beresiko pencemaran lingkungan dan dapat membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu teknik pengendalian lainnya perlu dikembangkan dan diaplikasikan secara luas. Dalam kasus tersebut, pengendalian hayati menjadi salah satu pilihan.

Pengendalian hayati memiliki beberapa kelebihan, yaitu: (1) dapat meminimumkan penggunaan bahan kimia se- hingga menurunkan polusi lingkungan, (2) keberhasilannya dapat berjangka panjang atau stabil, bahkan permanen, ( 3 )

tidak mengakibatkan polusi dan tidak membahayakan keseha- tan manusia dan hqwan, (4) tidak mengakibatkan mutasi pada patogen, (5) antagonis umumnya bersifat saprofitik dan tidak patogenik, (6) antagonis mudah diperoleh dan dibiak- kan, (7) aplikasinya relatif mudah, dan (8) biayanya relatif murah (Fry, 1982).

Meskipun memiliki kelebihan-kelebihan sebagaimana di- kemukakan di atas, pengendalian hayati tampak belum

(17)

berkembang dengan baik. Hal tersebut karena dalam penera- pannya memerlukan ketekunan, ketabahan, keuletan bagi para pengelola sebab seringkali mengalami kegagalan akibat kompleksitas yang dihadapi karena melibatkan interaksi an- tar inang, antagonis, lingkungan, dan patogen. Pengenda- lian hayati juga memerlukan beberapa kali pengujian sebe- lum diaplikasikan secara luas di lapangan, karena keberha- silan pengujian di laboratorium tidak menjamin keberhasi- lan di lapangan. Di samping itu keberhasilannya tidak dapat segera terlihat sehingga seringkali kurang mendapat perhatian.

Baker dan Cook (1974) mengemukakan konsep pengendali- an hayati, yaitu pengurangan kepadatan inokulum atau akti- vitas patogen dalam menimbulkan penyakit, baik dalam sta- dia aktif atau donnan, dengan menggunakan satu atau lebih organisme. Hal tersebut dapat terjadi secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang, atau antagonis, atau melalui introduksi massa satu jenis antagonis atau lebih.

Cook dan Baker (1983) mengemukakan bahwa untuk mene- kan jumlah inokulum tersebut, dapat dimanfaatkan: (1)

individu atau populasi avirulen atau hipovirulen dalam jenis patogennya sendiri, (2) tanaman inang yang dimanipu- lasi secara genetik, atau ( 3 ) antagonis patogen tersebut, yaitu jazad renik yang mengganggu keberlangsungan hidup atau aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit.

(18)

Penggunaan antagonis merupakan upaya yang telah di- laporkan untuk pengendalian penyakit lodoh secara hayati. Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. merupakan fungi anta- gonis yang telah dilaporkan mampu menghambat patogen lodoh

(Boyce, 1961; Baker dan Cook, 1974).

Interaksi fungi antagonis dan fungi patogen dalam pe- ngendalian hayati terjadi dalam bentuk antibiosis, kompe- tisi, dan mikoparasitisme (Baker dan Cook, 1974). Anti- biosis adalah antagonisme yang diperantarai oleh metabolit spesifik atau non-spesifik, atau oleh agensia lisis, enzim, senyawa volatil, atau zat beracun (toksin) lainnya yang dihasilkan oleh mikroba (Fravel, 1988). Kompetisi biasanya terjadi terhadap nutrisi dan ruang atau faktor- faktor pertumbuhan penting tertentu lainnya. Interaksi mikoparasitik secara umum dibedakan ke dalam dua tipe, yaitu tipe biotrofik dan nekrotrofik. Untuk tipe biotro- fik, parasit mendapatkan nutrisi dari sel hidup tanpa, atau sedikit, mengakibatkan efek negatif terhadap inang, setidaknya pada awal interaksi, sedang pada tipe nekrotro- fik parasit merusak sel inang sebelum atau segera sesudah terjadi interaksi. Kebanyakan interaksi mikoparasitik yang mempengaruhi struktur bertahan patogen tular tanah adalah bertipe nekrotrofik (Lockwood, 1988).

(19)

Baker dan Cook (1974) mengemukakan tujuh sifat anta- gonis yang ideal. Pertama, antagonis harus mampu bertahan dan tumbuh pada rizosfer untuk mencegah infeksi, atau di dekat struktur istirahat patogen, atau dalam massa tanah untuk menekan kemampuan bertahan patogen. Ke dua, walau- pun tumbuh pada media sederhana, antagonis tetap mampu menghasilkan antibiotik sangat beracun yang berspektrum

luas, efektif pada konsentrasi rendah, dan tidak segera terjerap atau terdegradasi dalam tanah. Ke tiga, antibio- tik yang dihasilkan suatu antagonis tidak menghambat anta- gonis lain yang diasosiasikan dengannya. Ke empat, anti- biotik yang dihasilkan tidak mengakibatkan kerusakan pada inang. Ke lima, antagonis tersebut adaptif terhadap pro- duksi komersial dan penanganan berskala besar. Ke enam, perkecambahan sporanya harus berlangsung cepat, atau seti- daknya secepat perkecambahan spora patogen, dan kembalinya ke fase dorman harus lebih lambat dibanding proses yang sama pada patogen. Ke tu juh, antagonis harus lebih adap- tif terhadap kondisi ekstrem dibanding patogen, dan ideal- nya tnemiliki kisaran optimum terhadap suhu, potensial air, dan pH yang lebih luas dibanding patogen, serta di samping itu kebutuhan nutrisinya lebih sempit dibanding patogen.

Fungi antagonis potensial mampu menghasilkan toksin. Gliotoksin dilaporkan dihasilkan oleh G l i o c l a d i u m v i r e n s

(20)

dan T. viride (Lumsden dkk., 1992 serta Brian dan Hemming, 1945 diacu oleh Ridout dan Lumsden, 1993). G. virens juga menghasilkan toksin lain, yaitu gliovirin (Howell dan stipanovic, 1983 diacu oleh Ridout dan Lumsden, 1993). Fungi antagonis lainnya, yaitu Chaetomium globosum, dila- porkan menghasilkan toksin chaetomim (Di Pietro dkk., 1992).

Kitin, yaitu polimer glukosamin, merupakan komponen dinding sel fungi yang membedakannya dari dinding sel turn- buhan. Adapun fungi antagonis yang diketahui menghasilkan enzim kitinolitik, di antaranya adalah T , harzianum

(Lorito dkk., 1993) dan G, virens (Di Pietro d m . , 1993). Harman dkk. (1993) mengemukakan bahwa T. harzianum mengha- silkan tiga macam enzim kitinolitik. Eksokitinase (glu- kosaminidase) memotong rantai polimer terujung dan mele- paskan glukosamin tunggal, endokitinase memotong rantai kitin di tengah secara acak, sedang kitobiosidase me- motong rantai kitin dan melepaskan kitobiosa yang tersusun

atas dua unit glukosamin.

Fungi mikoriza juga dilaporkan mempunyai kemampuan antagonistik terhadap patogen (Marx, 1969a; Marx 1969b). Daya hidup semai P, resinosa nyata meningkat bila ditum- buhkan secara in vitro bersama-sama dengan fungi mikoriza P. involutus dan fungi patogen F , moniliforme atau F. oxysporum, dibanding bila ditumbuhkan bersama-sama dengan

(21)

patogennya saja (Chakravarty dkk., 1991). Akan tetapi Achmad (1991) dan Achmad dkk. (1994) melaporkan bahwa Rhi- zopogon sp. dan S. columnare tidak mampu melindungi semai P. merkusii dari serangan patogen lodoh Pythium sp., Rhizoctonia sp. dan Fusarium sp. pada pengu jian in vivo dengan teknik inokulasi langsung,

Marx (1973) mengemukakan struktur hasil simbiosis yang terbentuk beserta seluruh perubahan biokimia yang me- nyertainya merupakan faktor utama yang berperan dalam per- lindungan hayati mikoriza terhadap patogen akar.

Penyakit lodoh terjadi sebelum struktur hasil simbio- sis antara perakaran inang dengan fungi mikoriza teramati secara visual. Dengan demikian perlindungan hayati terhadap penyakit lodoh lebih diharapkan dari kemampuan antagonistik fungi mikorizanya, bukan dari struktur hasil asosiasi beserta perubahan biokimia yang menyertainya. Kenyataan bahwa serangan lodoh terjadi sebelum teramatinya mikoriza secara visual sedang fungsi perlindungan hayati mikoriza terjadi terutama setelah struktur hasil asosiasi terbentuk tersebut diduga menjadi salah satu penyebab fungi mikoriza tidak mampu melindungi semai P, merkusii dari patogen lodoh pada pengujian in vivo dengan teknik inokulasi langsung (Achmad, 1991; Achmad dkk., 1994).

(22)

2.5. Pengaruh Positif Ektomikoriza Terhadap Perturrbuhan Semai

Bibit bermikoriza yang diturnbuhkan pada kondisi kahat

X

unsur hara lazimnya tumbuh lebih baik dan kandungan unsur haranya, terutama fosfor, lebih tinggi dibanding bibit yang tidak bermikoriza (Lamb dan Richards, 1974; Gagnon, Langlois dan Fortin, 1988; Santoso, 1988). De la Cruz (1981) bahkan melaporkan bahwa pada tanaman lamtoro, miko- riza mampu memenuhi kebutuhan pupuk Fosfor, Nitrogen, dan Kalium berturut-turut sebesar 50%, 40%, dan 25%.

Mikoriza menguntungkan bagi tanaman melalui pengar- uhnya: membantu penyerapan unsur hara, meningkatkan keta- hanan tanaman terhadap kekeringan, mengendalikan patogen akar, menghasilkan zat perangsang pertumbuhan tanaman, merangsang aktivitas mikroorganisme tanah yang menguntung- kan bagi tanaman, memperbaiki struktur dan agregasi tanah, dan membantu siklus mineral (De la Cruz, 1990).

Di Indonesia, Manan (1976) melaporkan bahwa semai P o merkusii yang perakarannya ditulari fungi mikoriza dari pohon induk tumbuh jauh lebih baik dibanding yang parakar- annya tidak ditulari (tanpa pohon induk). Hadi (1980) menekankan perlunya mikoriza bagi P, merkusii untuk menja- min keberhasilan pestumbuhan semai di pesemaian maupun tegakan di lapangan.

(23)

Jenis fungi mikoriza yang berasosiasi dengan P. merkusii di Indonesia belum banyak dilaporkan. Hadi

( 1980 ) mengemukakan bahwa tubuh buah Boletus sp. kadang-

kadang ditemukan di pesemaian atau tegakan, akan tetapi belum jelas apakah fungi tersebut berasosiasi dengan perakaran P. merkusii. Achmad (1991) mendapatkan tubuh buah Scl eroderma dyctiosporum dari tegakan P. merkusii di lokasi BIOTROP Bogor.

Pengaruh positif mikoriza terhadap pertumbuhan tanam- an inang tersebut antara lain diakibatkan oleh peningkat- an aktivitas pengambilan unsur hara dan air pada akar bermikoriza karena : (a) pertambahan luas permukaan akar yang berfungsi sebagai penyerap unsur hara, (b) perpan- jangan periode akar dapat berfungsi sebagai penyerap unsur hara, dan (c) pembentukan benang-benang hifa pada per- mukaan ektomikoriza yang menjadikan akar lebih mampu mencapai bagian-bagian tanah yang tidak dapat dicapai oleh akar tidak bermikoriza karena diameternya (Thomas dkk.,

1982; Hadi 1990).

Selain mekanisme di atas, telah dilaporkan bahwa mi- koriza mampu mengekstrak senyawa berunsur hara secara langsung dari bahan organik, kemudian mengubahnya menjadi senyawa organik di dalam jaringan mikoriza selama proses metabolismenya, kemudian mengirimkan senyawa organik ter- sebut ke jaringan tanaman inang (De la Cruz, 1981).

(24)

Proses metabolisme fungi dilaporkan menghasilkan se- kresi yang dapat berperan mengubah unsur hara dari keadaan tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Alexander, 1977). Fenomena ini juga berperan dalam meningkatkan se- rapan unsur hara.

Telah dilaporkan bahwa karbohidrat dialirkan dari inang ke fungi simbion; sebaliknya, unsur-unsur hara se- perti fosfat, nitrogen, dan kalium diserap oleh hifa dan ditranspor ke tanaman (Melin dan Nilsson, 1950; Harley dan Wilson, 1959; Bowen, 1973; Lamb dan Richards, 1974; Skin- ner dan Bowen, 1974).

Fungi mikoriza lebih menyukai menyerap Nitrogen dalam bentuk amonium (Bowen, 1973; Bledsoe & Zasoski, 1983) meskipun pengambilan nitrat dapat pula terjadi (France & Reid, 1983). Fungi mikoriza yang terlibat dalam simbiosis dapat mengambil asam amino seperti glutamat dan amida glutamin (Melin dan Nilsson, 1953). Kemampuan pohon hutan mengambil amonium sangat penting menghadapi tanah-tanah dengan derajat kemasaman (pH) dan laju nitrifikasi rendah. ~ a l i u m diserap dengan cepat dan diakumulasi di dalam selubung (Harley dan Wilson, 1959). Lebih tingginya konsentrasi unsur-unsur yang lain pada tanaman bermikoriza dibanding dengan pada tanaman tidak bermikoriza menunjuk- kan bahwa pada ektomikoriza terjadi pertukaran unsur-unsur bersangkutan dari fungi simbion ke tanaman, seperti yang

(25)

dilaporkan Santoso (1988) untuk unsur-unsur Ca, Mg, Fe, Mn, Cut Zn, dan Al.

, Telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ektomikoriza meningkatkan ketahanan tanaman inang terhadap kondisi kekeringan. Dugaan mekanisme yang telah dikemuka- kan berkaitan dengan peningkatan ketahanan terhadap keke- ringan tersebut adalah : i) mikoriza menjaga pengambilan air karena hifa fungi tumbuh di sekeliling perakaran sehingga dapat mengambil air dan mengangkutnya melalui hifa tersebut ke tanaman, dengan demikian potensial air yang tinggi dalam tanaman inang memungkinkan untuk diper- tahankan, ii) mikoriza meningkatkan permeabil.itas akar terhadap air melalui peningkatan nutrisi tanaman, iii) mikoriza meningkatkan permeabilitas akar dengan mengubah keseimbangan hormon tanaman (Dosskey, Boersma & Linderman,

Referensi

Dokumen terkait

Setelah menemukan formulasi yang tepat antara whey protein dan kitosan serta gliserin, maka dilakukan uji efektivitas edible coating yang diaplikasikan pada buah

“Efektivitas Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) dengan Metode Talking Stick dan Penemuan Terbimbing terhadap Hasil Belajar Matematika

Ciptaan buku dan/ atau hasil karya tulis lainnya serta lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa

Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 137 orang, 41 orang merupakan pelanggan PSAB dan 96 orang merupakan masyarakat pengguna sumber air bersih

[r]

Dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dan lamanya bekerja sebagai petani dengan aktivitas yang biasa dilakukan di lahan yang sebagaian besar dilakukan

 Pemahaman lain yang perlu Bunda ajarkan pada si kecil adalah bahwa tidak ada orang lain (termasuk teman dekat atau anggota keluarga) yang boleh menyentuh daerah pribadi

Algoritma pencarian rute yang digunakan yakni A-star memiliki fungsi pencarian heuristik dan juga dalam penentuan lokasi awal dan tujuan bisa saja tidak berada dalam jaringan