GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI PADA WANITA GOLONGAN
TRIWANGSA DI BALI YANG DIHARAPKAN MELAKUKAN
PERKAWINAN NYENTANA
(STUDI KASUS)
Oleh :
Putu Yunita Trisna Dewi
Ni Made Ari Wilani, S.Psi., M.Psi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Paparan Kasus
Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki beragam adat dan
budaya sebagai warisan leluhur yang masih dipertahankan sampai saat ini. Mulai dari awal
hingga akhir kehidupan masyarakat Bali selalu berhubungan dengan adat dan budaya,
seperti beragam upacara yang dilakukan sejak seseorang masih di dalam kandungan,
saat lahir, mulai memasuki masa dewasa, masuk ke jenjang pernikahan sampai
meninggal.
Di dalam budaya Bali, terdapat sistem penggolongan masyarakat yang disebut
sebagai sistem kasta atau sistem warna. Sistem kasta merupakan pergeseran makna dari
sistem warna. Diantha & Wisanjaya (2010) menyatakan bahwa pada kitab suci Hindu,
kasta bersumber dari perbedaan jenis pekerjaan yang disebut dengan istilah warna yang
berarti kelompok Brahmana, Ksatria, dan Wesya mengambil pekerjaan yang tergolong
halus seperti pendeta, guru agama, pejabat pemerintahan, pedagang dan petani
sementara kelompok Sudra mengambil pekerjaan yang tergolong kasar seperti pelayan,
buruh kasar, dan pemulung. Pekerjaan yang dibedakan secara halus dan kasar ini,
memunculkan konsep suci (pure) dan konsep kotor (polluted) yang merupakan faktor
utama terjadinya diskriminasi yang tajam terhadap kelompok Sudra. Konsep ini menjadi
penyebab timbulnya pergeseran paham warna (perbedaan berdasarkan pekerjaan) ke
paham kasta (perbedaan berdasarkan keturunan). Sehingga sistem kasta pada
masyarakat Bali termasuk sistem lapisan masyarakat yang sifatnya tertutup (Ibid dalam
Soekanto & Sulistyowati, 2014).
Menurut Soekanto & Sulistyowati (2014) kelompok Brahmana, Ksatria dan Wesya
disebut sebagai kelompok Triwangsa, sedangkan kelompok Sudra atau yang disebut
dengan istilah jaba merupakan kelompok paling bawah dari kelompok Triwangsa.
Masyarakat mengetahui tingkatan kasta seseorang melalui gelar yang ia dapatkan.
Gelar-gelar tersebut diwariskan menurut garis keturunan laki-laki yang sepihak patrilineal. Bagi
seseorang yang termasuk dalam kasta Brahmana, maka ia akan menyandang gelar Ida
Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk perempuan. Tjokorda, Dewa, Ngahan merupakan
gelar bagi orang Ksatria. Gelar Gusti ditujukan bagi orang Wesya dan
orang-orang Sudra biasanya memakai gelar Pande dan Pasek.
Penggolongan sistem kasta atau warna terlihat pada hubungan pernikahan di Bali.
Atmaja (2008) menyatakan bahwa sistem kasta merupakan masalah yang dianggap
menggunakan istilah warna. Seorang gadis suatu kasta tertentu umumnya dilarang
bersuamikan seseorang dari kasta yang lebih rendah (Soekanto & Sulistyowati, 2014).
Aturan tersebut sudah berlaku sejak zaman Kerajaan di Bali dan pemerintahan kolonial
Belanda, apabila dilanggar, terdapat sanksi yang akan diterima seperti penurunan kasta
bagi mempelai perempuan dan biasanya bagi perempuan yang sudah mengalami
penurunan kasta maka tidak diperbolehkan untuk pulang kembali ke rumah orangtuanya.
Kondisi tersebut menjadi sebuah tekanan psikologis yang kemudian disalurkan ke dalam
perilaku sosial dengan tujuan menjaga tatanan sosial yang telah dibangun (Atmaja, 2008).
Meskipun sudah memasuki era modern, namun perilaku orangtua di Bali saat ini masih
ada yang mewajibkan anaknya untuk memilih pasangan yang sekasta demi tujuan
tersebut.
Papalia, Old, Feldman (2009) menjelaskan bahwa, individu yang berusia 20-40 tahun
termasuk ke dalam masa dewasa awal. Berdasarkan perkembangan identitas atau
gender, dewasa awal memiliki hasrat untuk mencapai kemandirian, kontrol diri, tanggung
jawab pribadi (Papalia dkk, 2009) dan ketertarikan yang kuat terhadap kebebasan
(Santrock, 2002). Sedangkan, menurut Hurlock (1980), individu yang sudah memasuki
masa dewasa awal memiliki tugas perkembangan seperti memilih pasangan hidup, belajar
hidup bersama sebagai suami istri dalam sebuah bahtera rumah tangga, dan bertanggung
jawab atas kehidupan rumah tangga.
Ketika memasuki masa dewasa awal, setiap individu memerlukan penyesuaian diri
dalam mengerjakan tugas-tugas perkembangan. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian
diri adalah proses yang melibatkan respon mental dan tingkah laku individu untuk
mengatasi kebutuhan dalam diri, ketegangan, frustasi, dan konflik. Usaha tersebut
dilakukan agar individu mencapai keselaran dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri
dan tuntutan lingkungan dimana ia tinggal. Atwater (1983) menyatakan bahwa terdapat
tiga elemen dalam konsep penyesuaian diri, yaitu individu itu sendiri, orang lain dan
perubahan. Penyesuaian diri menjadi hal yang penting di masa dewasa awal karena
tugas perkembangan pada masa ini akan lebih berat dibandingkan dengan tugas
perkembangan sebelumnya. Setiap individu akan menemui berbagai konflik dan dapat
mengalami stress bahkan frustasi apabila tidak mampu menyesuaikan diri dengan tugas
perkembangan tersebut.
Responden di dalam penelitian studi kasus ini adalah seorang wanita yang termasuk
dalam kasta Wesya dengan inisial PS, berusia 24 tahun dan berstatus lajang atau belum
menikah. Pendidikan terakhir yang ditempuh PS adalah SMK dan saat ini ia bekerja di
sebuah villa yang berada di daerah Kuta. PS merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara
yang semuanya adalah perempuan. Saat ini, ayah PS bekerja sebagai penjual beli sapi,
Kedua kakak PS sudah menikah dengan pria yang sekasta dan masih memiliki hubungan
keluarga dengan mereka.
Permasalahan yang saat ini sedang dialami oleh PS adalah kebimbangannya dalam
menghadapi permintaan orangtua yang menginginkannya untuk memilih pasangan yang
sekasta dan bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Perkawinan Nyentana adalah
perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan perempuan, dimana
pihak laki-laki meninggalkan rumahnya untuk melangsungkan upacara perkawinan di
tempat kediaman sang istri, kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban
(swadharma) orangtua serta leluhur istrinya secara sekala (alam nyata) maupun niskala (alam gaib). Di dalam perkawinan yang umum dilakukan sebagian besar masyarakat Bali,
pihak wanita yang meninggalkan keluarganya, sedangkan di dalam perkawinan
Nyentana, pihak laki-laki yang meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga sang istri (Windia dkk, 2012).
Perkawinan Nyentana ini merupakan perkawinan yang diinginkan oleh orangtua PS
agar ia tidak meninggalkan rumah dan kedua orangtuanya. Terlebih hanya ia anak
perempuan satu-satunya yang belum menikah dan diharapkan bisa menjadi penerus
keturunan di keluarganya. Sampai saat ini, PS masih merasa bimbang dan belum
memutuskan kesiapannya untuk melakukan perkawinan Nyentana. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa hal seperti, suami dari kakak pertama PS yang belum
membawa tipat bantal ke rumah sang istri, sehingga kakak pertama PS masih dianggap
belum sah mepamit (pergi) dari rumah orang tuanya. Apabila nanti suami dari kakak
pertama PS bersedia untuk melakukan perkawinan Nyentana, maka PS berhak untuk tidak
melakukan proses perkawinan tersebut. Di satu sisi, PS masih memiliki keinginan yang
besar untuk tidak meninggalkan kedua orangtuanya karena melihat kondisi kesehatan
ayahnya yang sudah mulai menurun sehingga ia merasa bertanggung jawab untuk
merawat kedua orangtuanya.
Sebelumnya PS pernah memiliki pacar yang tidak sekasta dengannya. Hubungan
asmara PS bersama mantan pacarnya berjalan selama kurang lebih dua tahun dan PS
sangat merasa nyaman dengan sang pacar. Pada akhirnya, PS memutuskan hubungan
dengan sang pacar setelah kedua kakaknya menikah. PS tersadar bahwa ia sangat
diharapkan oleh orangtuanya untuk mencari pasangan yang sekasta dan bersedia
melakukan perkawinan Nyentana. Ketika PS memutuskan hubungannya dengan sang
pacar, ia merasa sedih dan mengungkapkan perasaan kesalnya dengan cara memarahi
kakak pertamanya, sehingga sang kakak sempat tidak mengajak PS berkomunikasi.
Selain itu, apabila PS merasa sedang marah, ia akan melempar bantal-bantal yang ada di
kamarnya. Ketika ia mendengar suara sang ayah yang menghampiri kamarnya, maka
Sampai saat ini PS merasa belum menemukan pria yang lebih baik dari mantan
pacarnya. PS pernah memiliki kedekatan dengan beberapa pria yang masih memiliki
hubungan keluarga dengannya dan dikabarkan bersedia untuk melakukan perkawinan
Nyentana, namun pria-pria tersebut dianggap belum sesuai dengan kriteria pasangan yang responden inginkan.
PS menyatakan kepada peneliti bahwa kakak pertama dan suaminya bisa saja
tinggal bersama kedua orangtua PS karena kakak iparnya tersebut sebenarnya bersedia
untuk melakukan perkawinan Nyentana, apabila ayah PS mau membicarakan secara
langsung hal tersebut kepada menantunya. Di satu sisi, kakak pertama dan sang ayah
yang mengharapkan PS untuk melakukan perkawinan Nyentana. PS pernah merasa kesal
karena menganggap kakak pertamanya tidak memikirkan perasaannya apabila nanti ia
tidak bisa mendapatkan pasangan yang bersedia melakukan perkawinan Nyentana.
Selain faktor masalah perkawinan kakak pertama PS dan kondisi kesehatan orang
tua yang mulai menurun, faktor lingkungan juga mempengaruhi kebimbangan PS sebelum
melakukan perkawinan Nyentana. Adapun salah satu anggota keluarga PS yang telah
melakukan perkawinan Nyentana, namun saat ini kondisi keluarga tersebut kurang
harmonis dikarenakan pria yang dahulunya melakukan perkawinan Nyentana, sifatnya
tiba-tiba berubah setelah memiliki seorang anak, dan meninggalkan sang istri begitu saja.
Berkaca dari pengalaman keluarganya, PS juga tidak ingin mengalami kondisi seperti itu,
apabila ia melakukan perkawinan Nyentana tanpa didasari oleh rasa cinta dan
ketertarikan.
Di awal pertemuan, PS menceritakan bahwa perkawinan orangtuanya terjadi karena
faktor perjodohan dan tidak didasari oleh perasaan saling suka. Sehingga hal tersebut
menjadi sebuah nasihat tersendiri bagi PS dari sang ibu agar tidak mementingkan
ketertarikan fisik, maupun hal yang lain dari seorang pria untuk menjadi pasangannya.
Selama pria tersebut bersedia untuk melakukan sentana, maka PS diminta untuk segera
memperkenalkan calon pasangan ke orangtuanya. Saat ini, PS masih berusaha untuk
mencari sendiri pasangan yang sesuai dengan keinginannya. Apabila PS tidak
menemukan pria yang sesuai dengan kriterianya, maka ia bersedia untuk dijodohkan
dengan pilihan orangtuanya selama pria tersebut memiliki kepribadian yang baik. PS akan
mengungkapkan perasaannya ke orangtua apabila pria yang akan dijodohkan dengannya
memiliki kepribadian yang kurang baik.
PS sempat merasa susah tidur di malam hari karena memikirkan apakah ia bisa
mendapatkan pria yang sesuai dengan harapannya. Hal tersebut dianggap sebagai
sebuah beban baginya, namun terkadang PS merasa termotivasi untuk tetap tinggal di
rumahnya. Motivasi tersebut didasari atas keinginan responden untuk membahagiakan
kasta dan bersedia untuk melakukan perkawinan Nyentana, tetapi menginginkan pria yang
mampu mencintai dirinya dan keluarganya, memiliki sikap berwibawa, bertanggung jawab
terhadap orangtua maupun keluarga, memiliki rasa kasih sayang dengan keluarga,
memiliki sikap rajin, seperti rajin bekerja, rajin membantu orangtua, mau melakukan
kegiatan ngayah di banjar, mau menjaga orangtuanya dan memiliki sikap mau mencoba
hal baru. Sehingga responden perlu melakukan penyesuaian diri untuk menyeimbangkan
tuntutan dari dalam diri dan lingkungannya.
Berdasarkan pemaparan kasus diatas, maka peneliti tertarik mengangkat judul
“Gambaran Penyesuaian Diri pada Wanita Golongan Triwangsa di Bali yang diharapkan
melakukan perkawinan Nyentana” untuk penelitian studi kasus ini.
1.2 Rumusan Kasus
Berdasarkan pemaparan kasus diatas, maka rumusan kasus dari penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana gambaran penyesuaian diri pada wanita golongan Triwangsa di Bali yang
diharapkan melakukan perkawinan Nyentana ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian diri wanita golongan
Triwangsa di Bali yang diharapkan melakukan perkawinan Nyentana ?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian studi kasus ini adalah mengetahui
gambaran penyesuaian diri pada wanita golongan Triwangsa di Bali yang diharapkan
melakukan perkawinan Nyentana dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
dalam menghadapi hal tersebut.
Manfaat teoritis yang hendak dicapai dari penelitian studi kasus ini adalah :
1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan literatur psikologi khusunya pada
bidang psikologi klinis dewasa.
2. Mendorong terciptanya penelitian studi kasus yang membahas lebih dalam tentang
pentingnya penyesuaian diri di masa dewasa awal terutama pada wanita yang
menghadapi dinamika perkawinan di Bali.
Manfaat praktis yang hendak dicapai dari penelitian studi kasus ini adalah :
Bagi responden penelitian :
1. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, responden lebih belajar memahami diri
sendiri dan situasi dilingkungannya agar ia bisa melakukan penyesuaian diri terhadap
2. Responden bisa mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukungnya dalam
penyesuaian diri serta mempertahankan faktor-faktor tersebut saat responden
menghadapi masalah ataupun perubahan lingkungan yang terjadi.
Bagi orangtua :
1. Diharapkan melalui penelitian ini, para orangtua dapat menjalin komunikasi yang
lebih terbuka dengan anak, sehingga hal apapun yang diinginkan antara orangtua
BAB II
METODE PENGUMPULAN DATA
2.1 Observasi Kasus
Observasi adalah teknik dalam melakukan pengamatan secara langsung terhadap
objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan (Riduwan, 2012). Teknik
pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenan dengan perilaku
manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu
besar (Sugiyono, 2013).
2.1.1 Teknik Observasi
Di dalam proses pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu, observasi berperan serta (participant observation) dan observasi non
partisipan (non participant observation). Teknik observasi yang digunakan di dalam
penelitian studi kasus ini adalah observasi non partisipan, yaitu observasi yang dilakukan
peneliti tanpa terlibat dalam kegiatan sehari-hari responden dan hanya sebagai pengamat
independent (Sugiyono, 2013). Observasi juga dapat dibagi atas observasi terbuka dan observasi tertutup (Moleong, 2004). Di dalam penelitian studi kasus ini, peneliti
menggunakan jenis observasi tertutup, dimana peneliti melakukan observasi tanpa
diketahui oleh responden. Observasi tersebut dilakukan di sebuah tempat makan sebagai
pilihan tempat responden dan peneliti bertemu. Berdasarkan instrument yang digunakan,
maka observasi dapat dibedakan menjadi observasi terstruktur dan tidak terstruktur.
Peneliti menggunakan observasi tidak terstruktur yaitu observasi yang tidak dipersiapkan
secara sistematis tentang hal apa yang akan diobservasi. Ketika melakukan pengamatan
peneliti tidak menggunakan instrumen yang telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu
pengamatan.
2.1.2 Subjek Observasi
Subjek atau responden observasi di dalam penelitian ini adalah seorang wanita
yang berusia 24 tahun denga status lajang atau belum menikah. Responden merupakan
anak ketiga dari tiga bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Saat ini, responden
tinggal bersama kedua orangtuanya di daerah Badung. Tingkat pendidikan terakhir
responden adalah SMK dan saat ini responden bekerja di sebuah villa di kawasan Kuta.
2.2. WAWANCARA KASUS
Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data yang digunakan untuk
memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Wawancara digunakan apabila ingin
mengetahui hal-hal dari responden secara mendalam dengan jumlah responden yang
sedikit (Riduwan, 2012).
2.2.1 TEKNIK WAWANCARA
Terdapat beberapa macam teknik wawancara, yaitu wawancara terstruktur,
semiterstruktur dan tidak terstruktur. Di dalam penelitian studi kasus ini, peneliti
menggunakan teknik wawancara semiterstruktur. Teknik wawancara ini sudah termasuk
dalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila
dibandingkan dengan wawancara terstruktur (Sugiyono, 2013). Peneliti menggunakan
teknik wawancara ini untuk menemukan permasalahan yang dihadapi responden secara
lebih terbuka, dimana responden diminta untuk mengemukakan pendapat dan ide-idenya.
Selain itu, peneliti juga menggunakan jenis wawancara terbuka, dimana responden
mengetahui bahwa ia sedang diwawancarai dan mengetahui maksud serta tujuan dari
wawancara yang dilakukan.
2.2.2 SUBYEK WAWANCARA
Subjek atau responden yang diwawancara dalam penelitian ini adalah seorang
wanita yang berusia 24 tahun denga status lajang atau belum menikah. Responden
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Saat ini,
responden tinggal bersama kedua orangtuanya di daerah Badung. Tingkat pendidikan
terakhir responden adalah SMK dan saat ini responden bekerja di sebuah villa di kawasan
BAB III
ANALISA KASUS DAN DISKUSI
3.1 Analisa Kasus
Di dalam budaya Bali, terdapat sistem penggolongan masyarakat yang disebut
sebagai sistem kasta atau sistem warna. Sistem kasta yang digunakan oleh masyarakat
Bali merupakan sistem lapisan yang tertutup (Ibid dalam Soekanto & Sulistyowati, 2014).
Sistem ini membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang
lain, baik bergerak ke atas ataupun ke bawah. Di dalam sistem tersebut, jalan untuk
menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah melalui kelahiran atau keturunan
(Soekanto & Sulistyowati, 2014). Menurut kitab suci masyarakat Bali, terdapat empat
lapisan di dalam masyarakat, yaitu Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra (Ibid dalam
Soekanto & Sulistyowati, 2014). Menurut Soekanto & Sulistyowati (2014) kelompok
Brahmana, Ksatria dan Wesya disebut sebagai kelompok Triwangsa, sedangkan kelompok
Sudra atau yang disebut dengan istilah jaba merupakan kelompok paling bawah dari
kelompok Triwangsa. Masyarakat mengetahui tingkatan kasta seseorang melalui gelar
yang ia dapatkan. Gelar-gelar tersebut diwariskan menurut garis keturunan laki-laki yang
sepihak patrilineal.
Penggolongan sistem kasta atau warna terlihat pada hubungan pernikahan di Bali.
Atmaja (2008) menyatakan bahwa sistem kasta merupakan masalah yang dianggap sensitif
dalam tata cara pernikahan di Bali, namun sistem kasta tersebut diperhalus dengan
menggunakan istilah warna. Seorang gadis suatu kasta tertentu umumnya dilarang
bersuamikan seseorang dari kasta yang lebih rendah (Soekanto & Sulistyowati, 2014). Hal
tersebut sesuai dengan kondisi responden di dalam penelitian studi kasus ini. Responden
adalah seorang wanita berusia 24 tahun, berstatus lajang dan tergolong dalam kasta
Wesya di golongan atau kelompok Triwangsa. Responden merupakan anak ketiga dari tiga
bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Saat ini, kedua kakak responden telah
menikah dengan pria yang sekasta dan masih memiliki hubungan keluarga dengan mereka.
Usia responden saat ini termasuk dalam kategori dewasa awal menurut pendapat
Papalia, Old, Feldman (2009). Menurut Hurlock (1980), individu yang telah memasuki masa
dewasa awal memiliki tugas perkembangan seperti memilih pasangan hidup, belajar hidup
bersama sebagai suami istri dalam sebuah bahtera rumah tangga, dan bertanggung jawab
atas kehidupan rumah tangga. Permasalahan yang sedang dihadapi oleh responden
adalah kebimbangannya dalam memenuhi permintaaan orangtua yang menginginkannya
Sebelumnya responden pernah memiliki pacar yang tidak sekasta dengannya.
Responden mengetahui bahwa orangtuanya tidak akan menyetujui hubungannya dengan
sang pacar, sehingga ia menutupi hubungan tersebut. Responden mulai memutuskan
hubungannya tersebut, ketika ia diminta oleh orangtuanya melakukan perkawinan
Nyentana, terutama saat kedua kakaknya telah resmi menikah. Menurut Windia dkk (2012) bentuk perkawinan Nyentana adalah jalan alternatif bagi pasangan suami istri yang tidak
memiliki saudara laki-laki. Perkawinan tersebut dilangsungkan antara seorang laki-laki
dengan perempuan, dimana pihak laki-laki meninggalkan rumahnya untuk melangsungkan
upacara perkawinan di tempat kediaman sang istri, kemudian bertanggung jawab penuh
meneruskan kewajiban (swadharma) orangtua serta leluhur istrinya secara sekala (alam
nyata) maupun niskala (alam gaib). Di dalam perkawinan yang umum dilakukan sebagian
besar masyarakat Bali, pihak wanita yang meninggalkan keluarganya, sedangkan di dalam
perkawinan Nyentana, pihak laki-laki yang meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi
anggota keluarga sang istri. Orangtua responden menginginkan dirinya untuk melakukan
perkawinan Nyentana agar responden tetap bisa tinggal bersama mereka dan menjadi
penerus keturunan di keluarganya.
Setelah responden memutuskan hubungan dengan pasangannya, ia sering
menangis di malam hari. Responden juga pernah berkonflik dengan kakak pertamanya. Hal
tersebut dikarenakan responden masih belum bisa menerima kondisi yang menuntutnya
mencari pasangan yang sekasta dan melakukan perkawinan Nyentana. Menurut
responden, suami dari kakak pertamanya bersedia untuk melakukan perkawinan Nyentana,
namun ayah responden belum bersedia untuk membicarakan masalah tersebut dengan
menantunya. Sampai saat ini pun, ayah responden masih menunggu responden untuk
membawa pasangan yang bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Sejak saat itu,
responden perlu melakukan penyesuaian diri untuk memahami dan menerima permintaan
orangtuanya.
Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri perlu dilakukan oleh individu agar bisa
mengatasi kebutuhan dalam diri, ketegangan, frustasi, dan konflik. Usaha tersebut
dilakukan untuk mencapai keselaran dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dan
tuntutan lingkungan dimana individu tinggal. Schneiders juga mengatakan bahwa adanya
konflik personal, frustasi, kecemasan, dan akar dari perilaku yang aneh, secara langsung
ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Budaya masyarakat Bali yang
masih menerapkan sistem kasta, terutama keluarga responden, menimbulkan konflik
tersendiri di dalam diri responden. Sampai saat ini responden masih menyayangi mantan
pacarnya, namun orangtua menuntutnya untuk mencari pasangan yang sekasta dan
bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Hal tersebut dilakukan agar responden tetapi
pendapat Atmaja (2008) bahwa dalam rangka mempertahankan sistem kasta, terdapat
tekanan psikologis yang disalurkan ke dalam perilaku sosial dengan tujuan menjaga
tatanan sosial yang telah dibangun.
Menurut Freud, kepribadian terdiri atas tiga bagian, yaitu id (terdiri atas naluri dasar
amoral dan bekerja sesuai prinsip kesenangan), ego (sebagai pusat pikiran yang membuat
keputusan secara sadar sesuai dengan prinsip kenyataan), dan superego (hati pikiran yang
berisi nilai-nilai ajaran orangtua dan bekerja sesuai dengan prinsip moral) (Gladding, 2012).
Di dalam kasus ini, terlihat bahwa adanya pertentangan antara id, ego dan superego dalam
diri responden. Id ditunjukkan dari sikap responden yang masih menyayangi mantan
pacarnya dan berkeinginan kembali menjalin hubungan dengan mantan pacarnya apabila
kakak pertama responden bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Di satu sisi,
superego dalam diri responden mengingatkan agar responden tidak melupakan jasa-jasa orangtua yang telah membesarkan dirinya, sehingga responden perlu menyeimbangkan
antara id dan superegonya. Saat ini responden berusaha menuruti keinginan dari
orangtuanya namun ia tetap mempertimbangkan aspek-aspek diluar latar belakang sosial
budaya dalam memilih pasangan seperti, aspek kepribadian dan tingkah laku.
3.2 Diskusi Berdasarkan Perspektif Teori
Berdasarkan analisa kasus diatas, peneliti akan membahas gambaran dan
faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri wanita golongan Triwangsa di Bali yang
diharapkan melakukan perkawinan Nyentana. setelah melakukan wawancara dan
observasi terhadap responden, peneliti mendapatkan bagaimana penyesuaian diri wanita
golongan Triwangsa di Bali yang diharapkan melakukan perkawinan Nyentana
berdasarkan teori dan faktor-faktor penyesuaian diri menurut Schneiders (1964). Berikut
adalah gambaran aspek-aspek penyesuaian diri responden yang dikaji berdasarkan teori
dari Schneiders :
1. Mengurangi Emosi yang Berlebihan :
Penyesuaian diri yang normal dapat diidentifikasi dengan tidak adanya emosi yang
relatif berlebihan ataupun merusak. Individu yang memiliki kontrol dan ketenangan
emosi akan memungkinkan untuk menghadapi permasalahan secara cermat dan dapat
menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika menemui hambatan.
Hal ini menunjukkan bahwa individu perlu mengontrol emosi secara positif untuk
memenuhi tuntutan pada situasi yang membebankan.
Berdasarkan hasil wawancara, ketika responden merasa marah karena ia belum
bersedia melakukan perkawinan Nyentana, maka harus pada saat itu juga ia
mengungkapkan perasaan marahnya. Salah satu contohnya saat responden berkonflik
dengan sang ayah maupun kakak pertamanya, responden akan membentak,
mengomel, bahkan terkadang sampai meneteskan air mata, namun ia tetap menggunakan bahasa Bali yang halus dan sopan ketika menyampaikan perasaan
marahnya. Setelah tiga atau lima jam responden mengungkapan perasaan marahnya,
maka ia akan tersadar bahwa tindakan membentak atau memarahi orangtua
merupakan hal yang salah. Terkadang responden melempar bantal-bantal yang ada
saat ia merasa marah namun ia bisa mengambil bantal-bantal tersebut ketika
mendengar suara ayahnya yang datang menghampirinya.
Responden terlihat cenderung belum mampu mengontrol emosinya secara positif
terutama saat ia sedang marah. Hal tersebut dikarenakan cara responden yang
membentak atau memarahi orang lain serta adanya perilaku melempar bantal untuk
mengungkapkan perasaan kesalnya. Sehingga responden memiliki perilaku yang
cenderung mengarah ke sikap agresivitas. Kecenderungan adanya sikap agresi dalam
diri responden serupa dengan pendapat Scheneider (1964) bahwa di dalam reaksi
agresif terdapat kekuatan ego yang didasari oleh adanya keberanian dan rasa marah.
2. Mengurangi Mekanisme Pertahanan Diri
Penyesuaian diri yang normal dikarakteristikkan dengan mengurangi penggunaan
mekanisme pertahanan diri atau mekanisme psikologis. Adanya pendekatan secara
langsung terhadap masalah ataupun konflik yang dihadapi menunjukkan respon yang
normal pada individu dibandingkan dengan menggunakan mekanisme pertahanan diri
seperti rasionalisasi, proyeksi atau kompensasi.
Ketika responden belum mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan
yang mengharapkan ia melakukan perkawinan Nyentana, responden cenderung
menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri seperti, rasionalisasi dan
penyangkalan (denial). Menurut Gladding (2012) rasionalisasi merupakan bentuk
mekanisme pertahanan diri yang melibatkan pemberian “alasan intelektual” untuk
membenarkan suatu tindakan. Alasan dan tindakan tersebut hanya berhubungan
dalam pikiran seseorang setelah tindakan selesai dilakukan. Contohnya saat
responden memberitahu kakak pertamanya bahwa seharusnya sang kakak tidak
hanya sekedar langsung menikah saja, namun memiliki sikap bertanggung jawab
terhadap orangtua dan rumah. Responden juga menganggap sang kakak tidak
memikirkan perasaannya apakah ia bisa mendapatkan pria yang bersedia melakukan
perkawinan Nyentana atau tidak. Gladding juga menyatakan bahwa sikap
penyangkalan (denial) merupakan proses dimana seseorang tidak mau melihat atau
Penyangkalan bekerja pada tingkat prasadar atau sadar. Responden cenderung
terlihat menunjukkan sikap penyangkalan saat ia bercerita kepada kakaknya yang
kedua, bahwa apabila kakak pertamanya bersedia untuk tinggal dirumah orangtuanya
maka ia akan meninggalkan kedua orangtuanya dan kembali dengan mantan
pacarnya. Adanya penyangkalan tersebut menunjukkan bahwa responden masih
belum menerima kondisi yang sedang ia hadapi.
Terkadang responden memiliki kecenderungan mengurangi penggunaan
mekanisme pertahanan diri seperti reaction formation dengan berusaha menunjukkan
sikap asertif. Salah satu contohnya saat ia tidak menyukai perilaku kakak sepupunya
yang suka meminum minuman keras dan dianggap belum mampu berbicara sesuai
dengan situasi dan kondisi. Responden akan menyatakan ketidaksukaannya tentang
perilaku kakak sepupunya kepada orangtua ataupun langsung menegur kakak
sepupunya tersebut. Sehingga ia tidak menunjukkan sikap baik yang berlebihan
kepada orang lain untuk menutupi perasaan tidak suka.
3. Mengurangi Rasa Frustasi
Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan diri individu yang terbebas dari
frustasi, Menurut Atwater (1983) frustasi terjadi karena terhalangnya perilaku individu
yang memiliki tujuan atau motivasi individu terhadap suatu hal. Meskipun terkadang
setiap inividu tidak mungkin untuk bereaksi secara normal ketika menghadapi situasi
ataupun masalah (Schneiders, 1964).
Berdasarkan hasil wawancara, responden memiliki beberapa cara agar bisa lebih
tenang ketika menghadapi sebuah masalah sehingga mengurangi terjadinya frustasi,
seperti menceritakan tentang permasalahan yang ia hadapi dengan teman ataupun
kakak keduanya, pergi berolahraga ke Pantai dan merias-rias wajah bersama salah
satu anggota keluarganya, melakukan kegiatan persembahyangan bersama
teman-teman SMA.
4. Berpikir Rasional dan Kemampuan Mengarahkan Diri
Karakteristik penyesuaian diri yang paling menonjol adalah berpikir rasional dan
mampu mengarahkan diri. Kemampuan ini merupakan hal dasar dan penting bagi
individu ketika menghadapi masalah, konflik dan frustasi karena mengatur cara berpikir
dan perilaku individu dalam menyelesaikan kesulitan apapun yang muncul sebagai
bentuk dari penyesuaian diri yang normal. Apabila individu kurang mampu berpikir
secara rasional dan mengarahkan dirinya maka ia akan mengalami kesulitan dalam
melakakukan penyesuaian diri.
Berdasarkan hasil wawancara, responden terlihat mampu berfikir secara rasional
dan memiliki kemampuan mengarahkan diri dalam menghadapi sebuah masalah.
akan merawat orangtuanya apabila ia tidak melakukan perkawinan Nyentana.
Sehingga responden berani untuk mengakhiri hubungan dengan pacarnya terdahulu.
Apabila hubungan tersebut terus dilanjutkan maka ia akan semakin sayang dengan
pacarnya dan semakin sulit untuk mengakhiri hubungan tersebut. Responden
berusaha untuk mencari sendiri pasangan yang ia inginkan. Ketika mencari pasangan,
responden akan melihat tingkah laku dari calon pasangannya. Apabila tingkah lakunya
baik, maka ia akan menerima dan jika tingkah lakunya kurang baik, maka ia berani
untuk menolak calon pasangannya.
5. Kemampuan untuk Belajar
Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan proses belajar yang terus menerus
sehingga individu bisa mengembangkan kualitas pribadi yang diperlukan untuk
memenuhi tuntutan hidup sehari-hari.
Berdasarkan hasil wawancara, saat ini responden merasa telah belajar bersikap
dewasa. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pemikiran responden yang tidak
hanya mementingkan diri sendiri, namun memikirkan juga kebahagiaan orangtua dan
nama baik keluarganya. Demi mendapatkan pasangan, responden berusaha lebih
membuka diri, tidak sombong, dan tidak terlalu menjaga image dihadapan lawan jenis.
6. Memanfaatkan Pengalaman Masa Lalu
Penyesuaian diri bisa diidentifikasi dari penggunaan atau pemanfaatan masa lalu
karena dengan adanya pembelajaran dari masa lalu, inividu memiliki acuan yang baik
dalam mengatasi permasalahan.
Berdasarkan hasil wawancara, responden banyak belajar dari pengalaman masa
lalu dirinya sendiri dan juga orang lain agar mampu menyesuaikan diri dalam
memenuhi keinginan orangtuanya. Responden belajar dari pengalamannya agar saat
ini ia lebih berhati-hari dalam memilih pasangan. Ketika responden menjalin hubungan
dengan pria yang tidak sekasta dengannya, maka ia akan mengurangi intensitas
komunikasi yang sudah terbangun karena ia memfokuskan dirinya untuk mencari pria
yang sekasta dengannya.
Pengalaman responden dalam melihat kondisi salah satu anggota keluarganya
yang melakukan perkawinan Nyentana, yang kemudian ditinggal pergi oleh suaminya
setelah memiliki anak, membuat responden memikirkan pentingnya kebahagiaan yang
harus ada di dalam sebuah keluarga. Responden berusaha mencari pasangan yang
sekasta agar ia tidak mengalami nyerod atau turun kasta, karena responden melihat
banyak orang yang menikah nyerod hidupnya tidak bagus, seperti ditinggal oleh
suaminya, dan memiliki penyesalan karena telah meninggalkan orangtuanya.
Sehingga bagi perempuan yang telah menikah Nyerod tidak diperbolehkan kembali ke
bahwa biasanya perempuan yang sudah mengalami penurunan kasta, tidak
diperbolehkan untuk pulang kembali ke rumah orangtuanya.
7. Sikap yang Realistik dan Objektif
Aspek penting yang terakhir dalam penyesuaian diri adalah sikap realistik dan
objektif. Sikap realistik dan objektif merupakan orientasi individu terhadap realita.
Sikap ini bisa dicapai berdasarkan pada proses belajar, pengalaman masa lalu,
pemikiran yang rasional, dapat menghargai situasi dan masalah.
Berdasarkan hasil wawancara, sikap realistik dan objektif responden terlihat dari
pendapat yang ia berikan ke ayahnya untuk memperbaiki rumah terlebih dahulu agar
calon pasangannya nanti bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Menurut
responden, calon pasangannya pun akan memepertimbangkan secara matang untuk
melakukan perkawinan Nyentana apabila kondisi rumahnya tidak segera diperbaiki.
Ketika responden menjalin hubungan dengan seorang pria, ia harus mencari tahu
terlebih dahulu latar belakang keluarga dari pria tersebut. Responden akan
mempertimbangkan jumlah saudara yang dimiliki calon pasangannya nanti, karena
responden tidak akan tega mengajak calon pasangannya melakukan perkawinan
Nyentana apabila pria tersebut tidak memiliki saudara laki-laki di dalam keluarganya. Responden juga ingin mendapatkan pasangan yang memiliki perasaan yang sama
dengannya agar bisa mencapai kebahagiaan dalam hubungannya.
Menurut Schneiders (1964) terdapat lima faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
pada individu. Berdasarkan hasil wawancara, lima faktor ini yang cenderung terlihat
membantu responden untuk melakukan penyesuaian diri dengan baik, yaitu :
1. Keadaan fisik :
Efek dari kondisi fisik individu memiliki pengaruh secara langsung terhadap proses
penyesuaian diri, seperti kondisi kesehatan individu, penyakit kronis dan kondisi cacat
fisik. Selama peneliti melakukan wawancara, responden terlihat tidak memiliki penyakit
kronis ataupun kondisi cacat fisik yang mempengaruhi penyesuaian dirinya.
2. Perkembangan dan kematangan :
Perbedaan bentuk penyesuaian diri antar individu dipengaruhi oleh perbedaan
tahap perkembangan yang dilalui oleh masing-masing indvidu. Sejalan dengan
perkembangannya, individu akan semakin matang dalam merespon lingkungan.
Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral dan emosi akan
mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.
Schneiders menyatakan bahwa hubungan antara kecerdasan (intelligence) dengan
seseorang dalam menghadapi masalah dan kesulitan sebagian besar ditentukan oleh
kecerdasan. Respon yang muncul seperti baik atau buruk, normal atau neurotik,
menunjukkan kondisi pribadi yang berkembang dalam diri individu. Perbedaan antara
penyesuaian diri yang baik ataupun yang buruk ditentukan dari bagaimana cara
individu menyelesaikan situasi yang sulit, konflik dan frustasi melalui cara berpikir yang
cerdas. Berdasarkan pendapat Scheneiders, responden cenderung memiliki
kematangan dari segi intelektual. Hal tersebut terlihat dari bagaimana upaya
responden untuk bangkit dari pengalaman masa lalunya dan berusaha membina
hubungan baru dengan orang-orang yang sekasta dengannya. Responden berusaha
untuk menggabungkan kriteria pasangan yang ia dan orangtuanya inginkan. Ketika
responden tidak menyukai tingkah laku calon pasangan yang dipilihkan oleh
orangtuanya, maka responden akan mengatakan secara langsung ketidaksukannya
tersebut. Hal lain yang mendukung bahwa responden memiliki kematangan dari segi
intelektual adalah ketika responden mampu menjawab pertanyaan yang diajukan
peneliti dan adanya konsistensi pernyataan yang diberikan responden selama tiga kali
wawancara.
Menurut Vaughan (dalam Schneiders, 1964), kematangan emosional merupakan
salah satu bagian terpenting dalam keseluruhan kriteria penyesuaian diri. Responden
cenderung belum memiliki kematangan dari segi emosional. Hal tersebut terlihat ketika
responden sedang mengalami sebuah masalah, secara emosional ia tertutup dengan
orangtuanya dan cara mengungkapkan emosi marah cenderung mengarah ke sikap
agresif, seperti membentak, mengomel, atau melempar bantal. Di satu sisi responden
tetap menceritakan apapun masalahnya kepada kakak keduanya ataupun ke teman
terdekatnya. Responden memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain. Kemampuan tersebut menjadi bagian yang positif berkaitan dengan
perkembangan emosional responden. Responden termotivasi untuk tidak
meninggalkan orangtua karena pengalamannya yang pernah melihat seorang ibu yang
datang berbelanja ke warungnya kemudian menangis dihadapan ibunya sambil
menceritakan kesedihannya yang ditinggal menikah oleh anaknya, sehingga
responden merasa iba dan membayangkan ibunya akan bereaksi seperti itu juga
apabila ia pergi menikah keluar dari rumahnya.
Kematangan secara sosial terlihat dari hubungan interpersonal yang dibangun oleh
individu. Di dalam menjalin hubungan dengan orang lain, responden tidak pernah
melihat tampang, kasta, atau merasa dirinya yang paling agung, sehingga responden
memiliki banyak teman dan mudah bergaul dengan orang lain. Responden
menganggap hal ini sebagai suatu kelebihan yang ada di dalam dirinya. Ketika
menyatakan keinginannya untuk mencari pasangan yang bersedia melakukan
perkawinan Nyentana. Hal tersebut dikarenakan responden tidak ingin hubungan yang
dibangun terkesan dimanfaatkan demi mendapatkan sentana.
Menurut Schneiders, moralitas diinterpretasikan sebagai bentuk dari penyesuaian
diri. Kemampuan individu untuk memenuhi tuntutan moral secara efektif dan sehat,
memberikan kontribusi yang besar dalam mencapai kesejahteraan dalam hidup.
Perkembangan moral pada diri responden lebih banyak dipengaruhi oleh faktor aturan
yang berlaku di masyarakat dan aturan dari orangtua. Salah satu contohnya seperti
responden yang tidak ingin meninggalkan orangtua hanya demi seorang pacar saja.
Hal tersebut dikarenakan responden ingin menunjukkan rasa bakti kepada orangtua
yang telah membesarkan dan mengurusnya sampai saat ini.
3. Keadaan psikologis :
Di dalam penyesuaian diri terdapat beberapa faktor keadaan psikologis yang
mempengaruhi, seperti pengalaman, learning and conditioning, self determination,
psychological needs, frustasi dan konflik.
Sebelum responden mampu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dari
keluarganya, responden pernah berkonflik dengan kakak pertamanya. Konflik tersebut
ditandai dengan adanya pertangkaran yang terjadi antara responden dengan kakak
pertamanya karena responden masih belum mampu menerima tuntutan untuk
melakukan perkawinan Nyentana. Adanya konflik dan tuntutan tersebut tidak sampai
membuat responden menjadi frustasi.
Dilihat dari segi pengalaman dan proses pembelajaran, responden belajar dari
pengalaman salah satu anggota keluarganya yang melakukan perkawinan nyentana,
namun setelah memiliki anak, sang suami meninggalkannya. Sehingga hal itu menjadi
pembelajaran bagi responden untuk memperhatikan kebahagiaan dan keharmonisan
keluarga yang akan nanti ia bangun. Selain itu, pengalaman responden yang
sebelumnya pernah menjalin hubungan dengan pria yang tidak merokok, tidak memiliki
kebiasaan meminum minuman keras dan bersikap baik kepadanya, membuat
responden ingin mendapatkan pasangan yang memiliki kemiripan karakteristik dengan
mantan pacarnya. Begitu juga dengan pernikahan kedua orangtuanya yang dijodohkan
secara paksa namun dari kejadian tersebut membuat responden belajar untuk
membahagiakan kedua orangtua dan keluarganya serta memiliki sikap tidak
mementingkan diri sendiri.
Self determination merupakan sikap individu yang mampu mengatur perilaku diri sendiri dan melepaskan sifat-sifat di dalam diri yang tidak diinginkan agar bisa
mencapai penyesuaian diri yang baik. Hal tersebut terlihat dari usaha responden yang
ketika sudah merasa dekat dengan seseorang. Apabila pria yang dekat dengannya
tidak sekasta, maka ia akan mengurangi intensitas komunikasi dengan pria tersebut.
Responden mampu mengatur perilakunya sendiri dalam mencari pasangan karena
responden memiliki target menikah di usia 25 atau 26 tahun.
Di dalam psychological needs terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan
penyesuaian diri, seperti afeksi, kepemilikan, rasa aman, dan status. Kebutuhan secara
psikologis pada diri responden ditunjukkan dari adanya keinginan responden untuk
mencari pasangan yang mampu menyayangi keluarga dan dirinya sendiri, bisa
menjaga dirinya dan mampu membuatnya merasa nyaman dalam hubungan yang
akan dibangun.
4. Keadaan lingkungan :
Keadaan lingkungan yang tentram, damai, aman, penuh penerimaan dan
pengertian serta mampu memberikan perlindungan bagi anggotanya merupakan
lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan
yang mampu dalam memperlancar penyesuaian diri adalah rumah, keluarga dan
sekolah.
Menurut responden, kedua orangtuanya masih memberikannya pilihan agar bisa
mendapatkan pria yang sederajat dan bersedia untuk melakukan perkawinan
nyentana, apabila responden mampu mendapatkan pria yang sesuai dengan keinginannya maka ia diharapkan untuk memperkenalkan calon pasangannya kepada
orangtua. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa orangtua responden akan menerima
calon pasangan yang dipilih oleh responden selama memiliki kriteria sesuai dengan
yang diinginkan oleh pihak keluarga. Pengharapan orangtua agar responden bisa
mendapatkan pria yang bersedia untuk melakukan perkawinan nyentana, membuat
orang-orang terdekat responden memberikan nasihat, doa dan semangat kepada
responden agar ia bisa mendapatkan pria yang bersedia untuk nyentana dan
mengingatkan kembali tujuan responden dalam mencari sentana.
5. Tingkat religiusitas dan kebudayaan :
Religiusitas merupakan faktor yang berdampak terhadap kesejahteraan psikologis
seperti mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan psikis lainnya. Religiusitas
memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan dan stabilitas hidup
yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam
hidupnya. Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang
membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau
frustasi, kecemasan, akar dari perilaku yang aneh, secara langsung ataupun tidak
langsung juga dipengaruhi oleh faktor kebudayaan.
Berdasarkan hasil wawancara, sikap religiusitas responden terlihat dari kegiatan
bersembahyang bersama teman-teman SMAnya agar ia bisa menenangkan dirinya.
Responden juga berdoa kepada leluhurnya agar ia diberikan jalan untuk bertemu
dengan jodohnya. Responden mengatakan astungkara (pengharapan kepada Tuhan
agar yang diinginkn bisa terjadi) dengan cepat saat proses wawancara karena ia
memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan sentana.
Menurut responden, salah satu kebiasaan yang ada dianut oleh masyarakat Bali
adalah ketika anak bungsu telah menikah maka anak tersebut yang akan tetap tinggal
bersama kedua orangtuanya, sehingga faktor ini juga yang membuat responden
diharapkan untuk mencari sentana dan bisa menyesuaikan diri dengan adanya
kebudayaan tersebut. Di dalam kebudayaan Bali, bagi wanita Bali yang termasuk di
dalam golongan Triwangsa, apabila mereka menikah dengan pria yang kastanya
dibawah kasta mereka, maka para wanita tersebut akan mengalami nyerod (penurunan
kasta) dan menurut responden adanya kebudayaan tersebut membuat responden
tidak boleh memanggil orangtuanya dengan sebutan biang dan ajik lagi, namun
menjadi gung biang dan gung aji, serta ia juga tidak boleh bersembahyang (mebanten)
dirumahnya. Responden menganggap apabila ia tidak mendapat sentana dan
melakukan perkawinan nyerod, maka ia akan mengalami kesulitan untuk pulang
kembali ke rumah orangtuanya. Faktor tersebut yang akhirnya membuat responden
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa kasus yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa
gambaran penyesuaian diri pada responden dalam penelitian studi kasus ini adalah
sebagai berikut :
1. Responden cenderung belum mampu mengontrol emosinya secara positif terutama
saat ia sedang marah.
2. Responden cenderung menggunakan mekanisme pertahanan diri berupa
rasionalisasi dan penyangkalan (denial) ketika ia belum mampu menyesuaikan diri
dengan permintaan orangtuanya untuk melakukan perkawinan Nyentana.
3. Responden berusaha mengurangi frustasi atau membuat dirinya menjadi lebih
tenang saat menghadapi masalah dengan cara berolahrga, bercerita tentang
masalahnya dengan kakak keduanya ataupun teman-temannya, merias-rias wajah
dan melakukan kegiatan persembahyangan bersama teman-teman SMAnya.
4. Responden terlihat mampu berfikir secara rasional dan memiliki kemampuan
mengarahkan diri dalam menghadapi sebuah masalah.
5. Responden memiliki kemampuan belajar untuk bersikap tidak mementingkan diri
sendiri, belajar memikirkan kebahagiaan orang lain, membuka diri kepada orang lain,
bersikap untuk tidak sombong dan tidak terlalu menjaga image dihadapan lawan
jenis.
6. Responden telah banyak belajar dari pengalaman masa lalu dirinya sendiri dan juga
orang lain agar mampu menyesuaikan diri dalam memenuhi keinginan orangtuanya.
7. Responden cenderung memiliki sikap realistik dan objektif.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri responden yaitu :
1. Sampai saat ini responden tidak memiliki penyakit kronis ataupun kondisi cacat fisik
yang mempengaruhi proses penyesuaian dirinya.
2. Dari segi pengaruh perkembangan dan kematangan, responden cenderung matang
pada aspek intelektual, sosial, dan masih kurang dari segi emosional.
3. Keadaan psikologis seperti, pengalaman dari diri sendiri dan orang lain, proses
pembelajaran, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk dicintai, dan self
4. Orang-orang yang berada di dalam maupun diluar rumah responden banyak
memberikannya nasihat, doa dan semangat agar ia bisa mendapatkan pria yang
sekasta dan bersedia melakukan perkawinan Nyentana.
5. Sikap religiusitas seperti melakukan persembahyangan, mendoakan hal positif yang
dilontarkan oleh orang lain menjadi faktor yang mempengaruhi responden untuk lebih
optimis dalam mencari calon pasangannya.
4.2 Saran
Saran yang bisa diberikan bagi responden di dalam penelitian studi kasus ini yaitu :
1. Responden lebih banyak belajar mengelola emosi terutama saat ia merasa marah.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengatur pernafasan terlebih dahulu atau
meminum segelas air putih sebelum membicarakan secara baik-baik hal yang
dianggap menjadi masalah. Sehingga responden mampu menyesuaikan diri saat
mengalami sebuah masalah.
2. Responden tetap berusaha menjalin hubungan baru dengan orang lain agar segera
memudahkannya mendapatkan pasangan.
3. Responden bisa melakukan self talk atau berkomunikasi dengan dirinya sendiri saat sedang menghadapi sebuah masalah, sehingga ia bisa memikirkan cara untuk
menyeimbangkan tuntutan dari dalam diri dan luar dirinya.
4. Responden disarankan untuk meningkatkan kemampuan asertifitasnya agar ia tidak
menekan atau merepres hal-hal yang kurang menyenangkan ataupun yang ia tidak
sukai
Saran bagi orangtua responden :
1. Orangtua sebaiknya lebih sering berkomunikasi dengan responden, terutama dalam
membicarakan perkawinan Nyentana.
2. Orangtua sebaiknya memahami dan menerima kriteria calon pasangan yang
diinginkan oleh responden.
3. Orangtua juga sebaiknya mampu untuk mengontrol emosi responden ketika marah
dan memperhatikan perilaku responden ketika ia sedang menghadapi
permasalahan.
Saran bagi peneliti selajutnya :
1. Peneliti selanjutnya bisa meneliti lebih dalam lagi tentang proses penyesuaian diri
bagi wanita Bali yang termasuk dalam golongan Triwangsa saat sedang
mengahadapi sebuah permasalahan.
2. Peneliti selanjutnya bisa melakukan wawancara mendalam dengan significant
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, J. 2008. Bias Gender Perkawinan Terlarang pada Masyarakat Bali. Denpasar: Udayana University Press
Atwater, E. 1983. Psychological of Ajustment. 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall. Inc
Diantha, M.P., Wisanjaya, I. G. P. E. 2010. Kasta dalam Perspektif Hukum dan HAM. Denpasar: Udayana University Press
Gladding, S. T. 2012. Konseling: Profesi yang Menyeluruh. Edisi Keenam. Jakarta Barat: PT. Indeks
Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (Istiwidayanti & Soedjarwo). Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Moleong, L. J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Papalia, D. E., Old, S. W., & Feldman, R.D. 2009. Human Development Perkembangan
Manusia. 10th ed. Jakarta: Salemba Humanika
Riduwan. 2012. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta
Santrock, J. W. 2002. Live Span Development : Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5. Jilid II. Jakarta: Erlangga
Schneiders. A. A. 1964. Personal Ajustment and Mental Health. New York
Soekanto, S., Sulistyowati, B. 2014. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta