• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI INFEKSI DAN IDENTIFIKASI CACING TREMATODA HATI PADA ITIK LOKAL (ANAS SP.) YANG BERASAL DARI BEBERAPA KABUPATEN DI BALI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PREVALENSI INFEKSI DAN IDENTIFIKASI CACING TREMATODA HATI PADA ITIK LOKAL (ANAS SP.) YANG BERASAL DARI BEBERAPA KABUPATEN DI BALI."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI INFEKSI DAN IDENTIFIKASI CACING TREMATODA HATI PADA ITIK LOKAL (ANAS SP) YANG BERASAL DARI

BEBERAPA KABUPATEN DI BALI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Diajukan oleh I Komang Arya Upadana

1009005006

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

PREVALENSI INFEKSI DAN IDENTIFIKASI CACING TREMATODA HATI PADA ITIK LOKAL (ANAS SP) YANG BERASAL DARI

BEBERAPA KABUPATEN DI BALI

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh:

I Komang Arya Upadana NIM. 1009005006

Menyetujui/Mengesahkan:

Pembimbing I

drh. I Made Dwinata, M.Kes NIP. 19620606198903 1 003

Pembimbing II

drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes NIP. 19601231198903 1 014

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P NIP. 19600305198703 1 001

(3)

Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh kami berpendapat bahwa tulisan ini baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.

Ditetapkan di Denpasar, tanggal ………

Panitia Penguji:

drh. I Made Dwinata, M.Kes Ketua

drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes Sekretaris

Dr. drh. Ida Ayu Pasti Apsari, M.P Anggota

drh. Anak Agung Gede Arjana, M.Kes Anggota

(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi dan mengidentifikasi jenis cacing trematoda hati pada itik lokal (Anas sp) yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali. Sampel yang diteliti sebanyak 50 ekor itik yang berasal dari tiga kabupaten yaitu Tabanan, Bangli dan Klungkung. Pengambilan cacing hati dilakukan dengan cara mengiris hati secara memanjang dan dipencet untuk menemukan cacingnya, kemudian hati yang telah teriris keseluruhan dimasukkan ke dalam toples untuk dicuci beberapa kali hingga mendapatkan supernatan yang jernih yang selanjutnya akan diperiksa adanya cacing hati dalam

cawan petri. Cacing hati diperiksa secara mikroskopis untuk identifikasi, dan proses identifikasi berdasarkan morfologi dan ciri-ciri dari cacing hati tersebut. Hasil penelitian terhadap 50 sampel hati itik lokal yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali didapatkan 9 (18%) terinfeksi cacing trematoda hati. Prevalensi infeksi cacing trematoda hati dari tiga kabupaten asal sampel didapatkan pada Kabupaten Tabanan 5%, Bangli 15%, dan Klungkung 50%. Hasil identifikasi cacing trematoda hati yang menginfeksi itik lokal Bali adalah spesies

Opisthorchis obsequens.

(5)

ABSTRACT

This research aims to determine the prevalence of infection and determine the type of trematode liver flukes on local ducks (Anas sp) derived from several districts in Bali. Samples were examined by 50 ducks from three districts of Tabanan, Bangli and Klungkung. Intake of liver flukes is done by slicing lengthwise heart and squeezed to find the flukes, then the liver that has been sliced whole put into the jar to be washed several times to obtain a clear supernatant which would then be examined their heartworms in a petri dish. The liver flukes examined microscopically for identification, and the process of

identification based on morphology and characteristics than the liver fluke. Results of a study of 50 local duck liver samples from several districts in Bali obtained 9 (18%) trematode flukes infected liver. The prevalence of trematode flukes infection of the three districts of origin liver samples were obtained at 5% Tabanan, Bangli 15%, and 50% Klungkung. The results of the identification of trematode flukes that infect the heart of the local Balinese duck is Opisthorchis obsequensspecies.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penulis dapat meneyelesaikan skripsi yang berjudul

“Prevalensi Infeksi dan Identifikasi Cacing Trematoda Hati pada Itik Lokal(Anas sp.) yang Berasal dari Beberapa Kabupaten di Bali”. Skripsi ini merupakan salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

2. Bapak drh. I Made Dwinata, M.Kes. selaku dosen Pembimbing I yang bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, membantu, mengarahkan dan memberikan motivasi kepada penulis selama penelitian maupun penyusunan skripsi.

3. Bapak drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes. selaku dosen Pembimbing II yang bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, membantu, mengarahkan dan memberikan motivasi kepada penulis selama penelitian maupun penyusunan skripsi.

4. Ibu Dr. drh. Ida Ayu Pasti Apsari, M.P., Bapak drh. Anak Agung Gede Arjana, M.Kes. dan Bapak drh. I Nyoman Sulabda, M.Kes. selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya memberikan kritik dan saran pada penulisan skripsi ini. 5. Ibu drh. Tjokorda Sari Nindhia, M.P. selaku dosen pembimbing

akademis.

(7)

7. Kedua Orang Tua (Bapak Ir. I Gede Putu Warka, M.T. dan Ibu dr. Hinarti Utami), Kakak I Putu Danny S. Pradhana, S.E., Ak. I Made Puthera Wibawa, S.T. serta adik Nila Sukmawathi beserta keluarga besar, terima kasih atas doa, dukungan moral dan materiil, perhatian serta nasehatnya selama ini.

8. Ni Nyoman Pasek Kusuma Dewi, S.Pd. yang sudah membantu dan selalu memberikan semangat serta motivasi untuk menyelesaikan tulisan ini.

9. Tri Cahyadi, Andriana, Fandi, Oka, Juanda dan semua teman-teman angkatan 2010 FKH Unud terima kasih atas doa, saran dan kerja

samanya.

10. Teman-teman Gabenk Crew : Krisna Nadha, Krisna Wisudana, Angga, Ari Mas, Rama Nuja, Bayu, Sumardika, Orik, Priyatna, Alik, Gungde, Harry Yoga, Dodok dan semua teman-teman yang lain terima kasih atas bantuan dan dukungannya.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan serta motivasi bagi penulis selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan pengetahuan dan referensi yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan dari berbagai pihak. Sekali lagi penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan ataupun kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

Denpasar, Maret 2015

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RIWAYAT HIDUP... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Ternak Itik ... 4

2.2 Sistem Pemeliharaan Itik ... 5

2.3 Cacing Trematoda ... 5

2.4 Siklus Hidup Cacing Trematoda ... 6

2.5 Cacing Trematoda pada Hati Itik ... 7

2.6 Patogenesis dan Gejala Klinis ... 12

2.7 Kerangka Konsep ... 13

2.8 Hipotesis ... 13

BAB III MATERI DAN METODE... 14

3.1 Materi Penelitian ... 14

3.1.1 Sampel Penelitian ... 14

3.1.2 Bahan Penelitian ... 14

3.1.3 Alat-alat yang Digunakan ... 14

3.2 Metode Penelitian ... 14

Prosedur Pemeriksaan Sampel ... 14

a. Cara Pengambilan Organ Hati ... 14

b. Cara Pengambilan Cacing Hati ... 14

c. Parameter Penelitian dan Identifikasi Cacing Hati ... 15

d. Pembuatan Preparat ... 15

3.3 Analisis Data ... 16

3.4 Lokasi Penelitian ... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 17

4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Prevalensi Infeksi Cacing Trematoda Hati pada Itik Lokal (Anas sp.) yang Berasal dari Beberapa Kabupaten di Bali ... 17

4.1.2 Identifikasi Cacing Trematoda Hati pada Itik Lokal (Anas sp.) yang Berasal dari Beberapa Kabupaten di Bali ... 19

4.2 Pembahasan ... 20

(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 23

5.1 Simpulan ... 23

5.2 Saran ... 23

(10)

DAFTAR TABEL

4.1 Prevalensi Infeksi Cacing Trematoda Hati pada Itik Berdasarkan

Kabupaten Asal Sampel ... 17 4.2 Prevalensi Infeksi Cacing Trematoda Hati pada Itik Berdasarkan

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Ilustrasi cacingAmphimerus sp. ... 7

2.2 Ilustrasi cacingMetorchis sp.... 8

2.3 Ilustrasi cacingOpisthorchis skrjabini... 9

2.4 Ilustrasi cacingOpisthorchis parageminus... 9

2.5 Ilustrasi cacingOpisthorchis obsequens... 9

2.6 Ilustrasi cacingOpisthorchis simulans... 10

2.7 Ilustrasi cacingOpisthorchis longissimus... 10

2.8 Ilustrasi cacingOpisthorchis geminus... 10

2.9 Ilustrasi cacingBilharziella sp.... 11

2.10 Ilustrasi cacingGymnophallus mollissima... 12

2.11 Ilustrasi cacingTrichobilharziella sp.... 12

4.1 Histogram Prevalensi Infeksi Cacing Trematoda Hati pada Itik Lokal (Anas sp) yang Berasal dari Beberapa Kabupaten di Bali ... 18

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Cacing Trematoda Hati pada Beberapa Kabupaten di Bali 2. CacingOpisthorchis obsequenspada Itik Bali

3. Chi-Square Test

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Itik Bali merupakan itik asli Bali yang keberadaannya (eksistensinya) tetap diakui dan merupakan plasma nuftah (germ plast) Bali yang tetap dilestarikan. Sebagai hewan produksi, itik Bali merupakan jenis petelur yang cukup produktif. Seekor itik Bali betina dewasa mampu menghasilkan 250 butir telur dalam setahun, dengan berat telur 60-70 g per butir. Selain diandalkan sebagai penghasil telur, itik Bali juga dimanfaatkan sebagai sumber daging dan sumber pendapatan

keluarga, serta kedekatan itik dengan kehidupan masyarakat di Bali terkait erat dengan upacara-upacara adat dan keagamaan (Hindu) yang membutuhkan itik ini sebagai kelengkapannya (Udayana, 2014).

Berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2002), sistem pemeliharaan itik di Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tradisional (ekstensif), semi intensif dan intensif. Pemeliharaan itik di Bali pada umumnya peternak menggunakan sistem pemeliharaan tradisional dan sistem semi intensif, dan ada beberapa menggunakan sistem intensif. Itik dipelihara dalam satu kandang yang besar, kemudian pada siang hari peternak menggembalakan itiknya ke sawah atau aliran sungai untuk mencari makan, kemudian dikembalikan ke kandang pada sore hari (Srigandono, 1997; Budaarsa dkk, 2012; Udayana, 2014).

Hasil penelitian Eomet al. (1984) di Korea menemukan itik terinfeksi oleh cacing hati Amphimerus anatis dan Opisthorchis anatis. Islam et al. (1988) melaporkan, hasil penelitian di Bangladesh menemukan prevalensi Amphimerus sp. sebesar 23%, Hymenolepis columbae (40%) dan Cotugnia cuneata (20%). Zelimiret al. (2004) melaporkan, hasil penelitian di Belgrade, Serbia menemukan prevalensi Echinostoma sarcinum sebesar 44,92%, Notocotylus pacifera

(33,05%), Cotylurus hebraicus (12,71%), Bilharziella polonica (15,25%) dan

Metorchis xanthosomus sebesar 8,47%. Mladineo & Peharda (2005), melaporkan hasil penelitian di Kroasia menemukan prevalensi Gymnophallus sp. sebesar

(14)

2

cacing Opisthorchis obsequens yang menginfeksi itik Bali dengan prevalensi sebesar 38,12%. Dari hasil penelitian di beberapa negara didapatkan kebanyakan itik terinfeksi oleh cacing trematoda dan cestoda. Menurut McDonald (1981), cacing trematoda ada yang berpredileksi di dalam saluran pencernaan, saluran pernafasan, pembuluh darah, organ hati dan yang lainnya. Cacing trematoda yang berpredileksi pada hati itik adalah Amphimerus sp., Metorchis sp., Opisthorchis sp., Bilharziella sp., Gymnophallus mollisima,danTrichobilharziella sp.

Kerugian yang dapat ditimbulkan oleh infeksi cacing trematoda hati yaitu terjadi penurunan produksi, anemia, penurunan rasio konversi pakan, penurunan berat badan dan bisa menimbulkan kematian (Dunn, 1978; Soulsby, 1982; Levine,

1990; Musa et al., 2012). Adanya infeksi cacing ini akan menimbulkan kelainan pada hati serta dapat menggangu fungsi fisiologis hati sebagai sekresi empedu, detoksifikasi persenyawaan racun bagi tubuh, metabolisme protein, karbohidrat, dan lipida, penyimpanan vitamin, penyimpanan karbohidrat, destruksi sel-sel darah merah, pembentukan protein plasma, dan inaktifasi hormon polipeptida (Schalmet al.,1975; Kerr, 2000).

Sampai saat ini, laporan penelitian tentang prevalensi infeksi dan jenis cacing yang menginfeksi hati itik di Bali masih sedikit. Oleh karena itu penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas, dapat diidentifikasikan masalah dari penelitian sebagai berikut :

1. Berapa prevalensi infeksi cacing trematoda hati pada ternak itik lokal yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali?

2. Jenis cacing trematoda apa yang menginfeksi hati ternak itik lokal yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali?

(15)

3

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui prevalensi infeksi cacing trematoda hati pada ternak itik lokal yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali.

2. Mengetahui jenis cacing trematoda yang menginfeksi hati ternak itik lokal yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali.

3. Mengetahui perbedaan prevalensi infeksi cacing trematoda hati pada ternak itik lokal yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal tentang prevalensi infeksi serta jenis-jenis cacing trematoda hati pada itik lokal (Anas sp.)

(16)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ternak Itik

Itik (Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar (Anas moscha) atau Wild mallard. Itik tersebut dijinakkan oleh manusia hingga terbentuk itik yang dipelihara sekarang yang disebut Anas domesticus (Chavez & Lasmini, 1978). Menurut Sahara dkk. (2009), jika dibandingkan dengan unggas lainnya, itik memiliki keunggulan yaitu mampu mempertahankan produksi telur

lebih lama; bila dipelihara dengan sistem pengelolaan yang sederhana sekalipun, itik masih mampu berproduksi dengan baik; umumnya tingkat morbilitas dan mortalitas rendah; itik selalu bertelur di pagi hari, dengan demikian kegiatan pengambilan telur dilakukan sekali sehari sehingga peternak dapat melakukan kegiatan lainnya; dengan pakan yang berkualitas rendah itik masih mampu bertelur; telurnya baik dijadikan untuk telur asin dan jamu.

(17)

5 2.2 Sistem Pemeliharaan Itik

Berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2002), sistem pemeliharaan ternak itik secara umum dapat di kelompokkan menjadi tiga yaitu :

1. Sistem tradisional atau ekstensif, yaitu sistem pemeliharaan dimana ternak itik dilepas atau digembalakan di sawah setelah musim panen. 2. Sistem semi intensif, yaitu sistem pemeliharaan dimana ternak itik

dilepas atau digembalakan pada siang hari untuk mencari makan dan ternak itik dimasukkan kembali ke dalam kandang pada sore hari. 3. Sistem intensif, yaitu sistem pemeliharaan dimana ternak itik

dikandangkan secara terus menerus. Usaha peternakan itik bukan

hanya sekedar sambilan akan tetapi sudah memiliki orientasi bisnis yang diarahkan dalam suatu kawasan, baik sebagai cabang usaha maupun sebagai usaha pokok, karena usaha budidaya itik cukup menguntungkan dan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan keluarga (Apriyantono, 2011).

Di Bali peternak memelihara itiknya dengan cara tradisional (ekstensif) dan semi intensif, walaupun sudah ada beberapa peternak menggunakan sistem intensif (Budaarsa dkk, 2012).

2.3 Cacing Trematoda

Trematoda merupakan subfilum dari filum Platyhelminthes. Cacing ini tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di dalam jaringan parenkim. Bentuk tubuh pipih dorsoventral, tidak bersegmen dan seperti daun. Cacing trematoda mempunyai dua alat penghisap, oral sucker yang berada di ujung anterior dari badan dan ventral sucker atau acetabulum berada di sepertiga pada permukaan ventral dan posisinya bervariasi (Soulsby, 1982; Levine, 1990; Gosling, 2005)

Dinding luar atau tegumen cacing trematoda adalah kutikula yang kadang-kadang mengandung duri atau sisik. Sistem pencernaan makanan dari cacing trematoda sangat sederhana, makanan masuk melalui mulut selanjutnya secara

(18)

6

mempunyai anus, dengan demikian sisa metabolisme makanan harus dimuntahkan (Erasmus, 1972; Levine, 1990).

Sistem saraf tersusun dari serabut cincin esophageal dan pasangan ganglia, tiga pasang berada di depan dan tiga pasang lainnya berada di belakang bagian dari tubuh. Pada umumnya cacing dewasa tidak mempunyai organ perasa yang khusus. Cacing trematoda tidak mempunyai sistem peredaran darah. Sistem ekskresi tersusun dari sebuah kantong posterior, sebuah sistem percabangan dari tabung pengumpul atau saluran pengumpul yang masuk ke dalam kantong posterior, dan sebuah sistem sel-sel ekskresi yang terbuka ke dalam saluran pengumpul (Soulsby, 1982; Brotowidjojo, 1987; Levine, 1990).

Sistem reproduksinya komplek, sebagian besar dari trematoda adalah hermaprodit yaitu pada setiap individu mempunyai organ reproduksi jantan dan betina. Tetapi pembuahan silang merupakan hal yang biasa, disebabkan karena testis lebih dulu berkembang daripada ovarium dan pembuahan sendiri tidak umum (Dunn, 1978; Soulsby, 1982; Levine, 1990).

2.4 Siklus Hidup Cacing Trematoda

Siklus hidup cacing trematoda secara umum mengalami lima stadium antara lain : mirasidium, sporokista, redia, serkaria dan metaserkaria. Telur keluar bersama tinja dan harus mencapai air untuk berkembang lebih lanjut. Telur ini akan menetas dalam waktu sekitar 10-12 hari pada suhu 260C, dan muncul mirasidium. Mirasidium ini berenang dengan aktif di dalam air hingga menjumpai siput dari famili Hydrobiidae, Bithyniidae dan Melaniidae (IARC, 1994). Mirasidium masuk ke dalam siput, melepaskan epitelnya yang bersilia, masuk ke hepatopankreas, dan berubah berbentuk seperti kantong sporokista. Di dalam sporokista terdapat bola-bola benih dan berkembang ke stadium berikutnya menjadi redia. Setiap sporokista memproduksi 5-8 redia, yang membebaskan diri dari sporokista dan berkembang mencapai panjang 1-3 mm. Redia mempunyai mulut, faring yang berotot dan sepanjang tonjolan tumpul ke lateral di tengah-tengah dari pertengah-tengahan posterior tubuh. Selanjutnya redia akan tumbuh dan

(19)

7

meninggalkan tubuh siput sekitar 3-7 minggu setelah infeksi, tergantung dari suhu, dan aktif berenang di dalam air. Dalam dua jam serkaria ini melepaskan ekornya dan masuk ke dalam tubuh induk semang kedua yaitu siput dan ikan air tawar, kemudian berkembang menjadi metaserkaria (Soulsby, 1982; Levine, 1990; Kaufmann, 1996).

Induk semang kedua setelah ditelan oleh hospes definitif akan mengakibatkan metaserkaria pecah di dalam usus halus, berkembang lebih lanjut menjadi cacing muda. Cacing muda akan menembus dinding usus masuk ke dalam rongga peritoneum, kemudian memasuki parenkim hati dan bermigrasi di dalam hati. Akhirnya cacing muda tersebut masuk ke dalam saluran empedu dan

mengalami perkembangan menjadi cacing dewasa dan memulai produksi telur sekitar 8 minggu setelah infeksi. Selama di dalam tubuh, cacing ini akan memakan jaringan hati dan darah (Erasmus, 1972; Levine, 1990).

2.5 Cacing Trematoda Hati pada Itik

Amphimerus sp. Bentuk tubuh memanjang agak silinder, melebar pada bagian posterior dan meruncing pada ujung anterior; memiliki panjang 20-23 mm dan lebar 1,09-1,12 mm; ujung anterior tanpa duri; esofagus pendek; memiliki ventral sucker, bukan pada ujung posterior; tidak memiliki kantong cirrus; oral sucker sangat kecil bahkan tidak ada, acetabulum lokasinya 1/3 dari ujung anterior tubuh; testis berbentuk oval, tidak memiliki anus (McDonald, 1981).

(20)

8

Metorchis sp.Bentuk tubuh seperti buah pir; memiliki panjang 4,3-5,6 mm dan lebar 0,8-1,5 mm; ujung anterior tanpa duri; memiliki ventral sucker, bukan pada ujung posterior; tidak memiliki kantong cirrus; acetabulum dan oral sucker memiliki ukuran yang sama, kadang-kadang oral sucker kurang berkembang dengan baik, acetabulum terletak 1/3 dari ujung anterior; vitelaria lateral, hingga mencapai anterior ovarium; testis bentuknya berlobus-lobus dan tidak memiliki anus (McDonald, 1981).

Gambar 2.2. Ilustrasi cacingMetorchis sp.(McDonald, 1981)

Opisthorchis sp. Bentuk tubuh memanjang, bukan silinder; memiliki panjang 5,9-8,25 mm, lebar 0,7-2 mm; ujung anterior tanpa duri; esofagus pendek; tidak memiliki kantong cirrus; memiliki ventral sucker, bukan pada ujung posterior; acetabulum sedikit lebih besar daripada oral sucker; oral sucker ada atau kurang berkembang dengan baik, acetabulum terletak 1/3 atau 1/4 dari anterior tubuh; testis memiliki banyak cabang atau berlobus; tidak memiliki anus (McDonald, 1981).

(21)

9

Gambar 2.3. Ilustrasi cacingOpisthorchis skrjabini(McDonald, 1981)

- Opisthorchis parageminus. Bentuk tubuh memanjang, bukan silinder; memiliki panjang 5,9-8,25 mm, lebar 0,7-2 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum sedikit lebih besar daripada oral sucker (diameter 235µ dan 225µ); vitelaria dimulai dari acetabulum, sekitar 1/3 atau 1/4 dari anterior tubuh meluas hingga posterior testis; ovarium berlobus, testis bulat berlobus atau bercabang (McDonald, 1981).

Gambar 2.4. Ilustrasi cacingOpisthorchis parageminus(McDonald, 1981)

- Opisthorchis obsequens.Bentuk tubuh memanjang, sedikit melebar, bukan silinder; memiliki panjang 2,5-5,1 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum sedikit lebih besar dari oral sucker (diameter acetabulum 260µ, oral sucker 150-210µ); vitelaria dimulai dari acetabulum, sekitar 1/3 atau 1/4 dari anterior tubuh memanjang sampai testis pertama; testis bercabang atau bulat berlobus (McDonald, 1981).

(22)

10

- Opisthorchis simulans. Bentuk tubuh memanjang, sangat ramping; memiliki panjang 7-23 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum lebih kecil daripada oral sucker (diameter 200µ dan 500µ); vitelaria dimulai dari pertengahan tubuh, tepat di belakang acetabulum; testis bulat berlobus atau bercabang (McDonald, 1981).

Gambar 2.6. Ilustrasi cacingOpisthorchis simulans(McDonald, 1981)

- Opisthorchis longissimus. Bentuk tubuh memanjang, sangat ramping; memiliki panjang 20-24 mm, lebar 0,7-1 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum sedikit lebih kecil daripada oral sucker; vitelaria dimulai dari pertengahan tubuh, tepat di belakang acetabulum; testis berdekatan di ujung posterior (McDonald, 1981).

Gambar 2.7. Ilustrasi cacingOpisthorchis longissimus(McDonald, 1981)

- Opisthorchis geminus. Bentuk tubuh memanjang dan ramping; memiliki panjang 7-12,5 mm, lebar 1,3-2 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum sedikit lebih kecil daripada oral sucker; vitelaria dimulai dari pertengahan tubuh, tepat di belakang acetabulum; testis terpisah, kira-kira 1/5 dari posterior tubuh (McDonald, 1981).

(23)

11

Bilharziella sp. Bentuk tubuh pipih, memanjang, melebar pada posterior; Jantan : memiliki panjang 2,95-4 mm, dan lebar 0,375-0,5 mm; acetabulum 500µ-860µ dari ujung anterior; panjang esofagus 375µ -500µ. Betina : memiliki panjang 1,8-2,1 mm, dan lebar 0,25-0,89 mm; tidak memiliki saluran ginekoforus; memiliki oral sucker dan acetabulum; ceca berada pada garis tengah tubuh; umumnya tidak memiliki divertikula; ovarium memanjang (McDonald, 1981; Soulsby, 1982).

Gambar 2.9. Ilustrasi cacingBilharziella sp.(McDonald, 1981)

(24)

12

Gambar 2.10. Ilustrasi cacingGymnophallus mollissima(McDonald, 1981)

Trichobilharziella sp. Bentuk tubuh bulat memanjang; Panjang 6,1 mm; kutikula ditutupi oleh tuberkel yang kecil; memiliki oral dan ventral sucker atau tidak ada sama sekali; saluran ginekoforus hanya di bagian anterior dan telur diproduksi tunggal; vesikula seminalis diantara acetabulum dan saluran ginekoforus; testis mulai posterior hingga ke ujung seka (McDonald, 1981; Levine, 1990).

Gambar 2.11. Ilustrasi cacingTrichobilharziella sp.(McDonald, 1981)

2.6 Patogenesis dan Gejala Klinis

(25)

13

empedu dan kerusakan epitel saluran empedu. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul odema (Islam et al., 1988). Luasnya organ yang mengalami kerusakan tergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi.

Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, penurunan berat badan, penurunan kondisi tubuh dan anemia. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan odema dan pembesaran hati (Levine, 1990).

2.7 Kerangka Konsep

Pemeliharaan itik di Bali bersifat tradisional dan semi intensif, dan ada beberapa bersifat intensif. Itik digembalakan pada siang hari ke daerah persawahan yang baru selesai panen atau aliran sungai untuk mencari makan seperti sisa-sisa hasil panen atau mencari sumber pakan lain seperti siput dan ikan air tawar.

Infeksi parasit sudah menyebar secara luas di seluruh dunia. Prevalensi infeksi sangat dipengaruhi oleh faktor : parasit (cara penyebaran atau siklus hidup, daya tahan hidup, patogenitas dan imunogenitas), hospes (spesies, umur, ras, jenis kelamin, status imunitas dan status gizi) dan lingkungan (seperti musim, suhu dan tata laksana peternakan). Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling mempengaruhi infeksi parasit. Infeksi cacing trematoda pada hati itik terjadi karena termakannya hospes intermedier atau induk semang perantara. Menurut McDonald (1981), induk semang perantara pertama yaitu siput sedangkan induk semang perantara kedua adalah siput dan ikan air tawar. Apabila siput dan ikan air tawar yang mengandung serkaria dan metaserkaria cacing hati termakan oleh itik, maka itik dapat terinfeksi.

2.8 Hipotesis

Terdapat perbedaan prevalensi infeksi cacing trematoda hati pada ternak itik lokal yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali, dilihat dari faktor

Gambar

Gambar 2.1. Ilustrasi cacing Amphimerus sp. (McDonald, 1981)
Gambar 2.2. Ilustrasi cacing Metorchis sp. (McDonald, 1981)
Gambar 2.3. Ilustrasi cacing Opisthorchis skrjabini (McDonald, 1981)
Gambar 2.8. Ilustrasi cacing Opisthorchis geminus (McDonald, 1981)
+3

Referensi

Dokumen terkait

- OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN DAN

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dapat mempermudah peserta didik dalam memahami materi dan mengaitkan konsep dengan kehidupan sehari-hari terutama pada kelas eksperimen

Berdasarkan analisis data dan pembahasaan, maka dapat disimpulkan bahwa: Latihan berjalan di atas balok kayu memberikan pengaruh yang berarti terhadap kemampuan

Pada proses pembuatan metil klorida dengan bahan baku metanol dan asam klorida dengan menggunakan bantuan katalis silika gel alumina dengan menggunakan proses

tutor agent tutoring strategies student profile cxn inventoryi grammar enginei flexibility strategies language agent cxn inventoryj grammar enginej learning strategies student

Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKD 2004), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga per

Türkiye’de üretilen istatistiki verilerin iyile ş tirilmesi, geli ş tirilmesi, bölgesel istatistiklerin toplanması, bölgelerin sosyoekonomik analizlerinin yapılması,

Terdapat enam indikator yang dinilai pada pembelajaran berbantuan ICT yaitu mengamati gambar yang ditampilkan melalui LCD proyektor, mengamati video yang ditampilkan