Komumkasi
Vol. 2 No. 2 Januari 2009f-rc
Sil
ISSN : 1411-268X
Diterbitkan oleb:
Junisan Ilmu Komumkasi
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Vol. 2 No. 2 Januarl 2009 ISSN: 1411-268X
DEWAN REDAKSI
|
Femimpin Redaksi
Dra. Prahastiwi Utari, M.Si., Ph,D.
Redaktur Pelaksana
Drs. Hamid Arifm, M.Si.
Tanti Hennawati, S.Sos., M.Si.
Sekretaris Redaksi Mahfud Ansori, S.Sos.
Redaktur Ahli
Drs. Pawito, Ph.D.
Sri Has^aijo, S.Sos., Ph.D.
Susanto Karthubij, S.Sos., M.Si.
Mitra Bestari
Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D.
{Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Dedy Mulyana
(Universiias Padjajaran)
A/Prof. Pamela Nilan, Ph.D.
{University of
Newcastle, Australia)
Alamat Redaksi
Junisan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A.
Surakarta 57126
Tel./Fax. +62 271 632478.
Email:
jkm-uns@yahoo.com
Femasar/Sirkulasi
Budi Aryanto, Tel. +62
271 632478
Jurnal Komunikasi Massa terbit dua kali dalam setahun, diterbitkan oleh Ju nisan Ilmu Komunikasi FISIP Univer
sitas Sebelas Maret Surakarta sebagai
. media wacana intelektualitas bagi
pe-ngembangan Ilmu Komunikasi.
Dewan Redaksi mengundang para
pe-ngajar, peneliti, dan praktisi bidang ko
munikasi media massa untukme-ngirimkan tulisan baik berupa artikel
il-miah maupun hasil penelitian. Syarat
penulisan artikel tercantum di halaman
sampul belakang. Dewan Redaksi
ber-hak menyeleksi dan menge^t naskah
tanpa mengurangi esensi isi.
DAFTAR ISI
^^si jumalisme publik dalam demokratisasi
poUtik
Mursito
Quo-vadis kekerabatan Malaysia-Indonesia?
97
Musafir Kelana &
Abubakar Eby Hara
Perang dalam tata kehidupan antarbangsa.
112
Totok SarsitoThe economic strategies Pursued by Moro Islamic
Liberation Front
(MILF)
for self-determination
in the Southem Philippines
12
Sharnsuddin L. Taya
The importance and functional role of qualitative
audience analysis within the stalceholders of
Malaysia screen industry
1^
Hisham Dzakaria and Nuraini Yusojf
Proposionalitas anggota DPRD:
Kajian terhadap
proses perekmtan anggota DPRD hasil Pemilu
2004 di Kabupaten Wonogiri
14
Dwi TiyantoFaktor-faktor yang mempengamhi pilihan
mahasiswa Program D3
Komunikasi Terapan
^
FISIP Universitas Sebelas Maret
1-Surisno Satrijo Utomo
Peranan teknologi komunikasi terhadap perubahan
sosial Sutopo
Communication as culture
1'
Pamela Nilan
Online learning and the quality of learning in
journalism course
^
Sri Hastjarjo
Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008
1
Widodo Muktiyo
Jumal Komunikasi Massa - Vol. 2
No. 2
Januari 2009
Perubahan Tanpa Komunikasi
Perubahan dunia yang semakin cergas
(dinamis)
ini nampaknya dapat berubah sendiri
oleh kekuatan-kekuatan yang datangnya tidak
disangka dan tidak dapat dikendalikan.
Per-ubahan-perubahan ini bisa membawa
akibat-perubahan pada orang yang menjadi sasara
nya. Fenomena ini sebenamya tidak diraguk
lagi, baliwa dalam sistem sosial manapim terc
pat banyak sekali komunikasi yang dimaksu
kan untuk memperkecil atau menghalangi pel
bahan yang cenderung akan teijadi bila tid
Jumal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hall59-164
Peranan Teknologi Komunikasi terhadap
Perubahan Sosiai
Sutopo
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret
Fungsi Komunikasi dan Perubahan
Sosiai
Bagaimana komunikasi dapat membawa perubahan sosiai di tengah-tengah dunia yang semakin semrawut ini? Tanggapan semacam ini berasal dari pandangan mereka yang
mengang-gap komunikasi sebagai suatu proses dan yang menyamakan proses dengan perubahan. Isi
pe-san ^
negara-negara berkembang sebagian
be-sar merupakan: hiburan, pembangkit fantasi,
beipihakpada status quo bukanmendorongper
ubahan sosiai.
Dari segi teoritis, sebenamya komunika
si bukanlah selamanya menjadi penyebab per
ubahan dan juga tidak selamanya tidak relevan
dengan perubahan kontradiksi dan kekacauan
dalam analisa komunikasi dan perubahan ber-sumber dari pencampuradukan tingkat analisa, dari refikasi proses komunikasi danpercampur-an isi pesdanpercampur-an-pesdanpercampur-an ydanpercampur-ang nyata dengdanpercampur-an potensi
pertukaran pesan yang dikendalikan oleh kaum
elit Berikut ini akan dibahas secara singkat
in-dependensi komunikasi dan perubahan sosiai dengan maksud agar uraian tentang bagaimana komunikasi dapat dijadikan
alatuntukperubah-an atau sebali^ya dengalatuntukperubah-an adalatuntukperubah-anya perubahalatuntukperubah-an
yang secara cepat (Demokratis serta Dinamis)
alcan mempengaruhi pola komunikasi yang ter-jadi.
Perubahan Tanpa Komunikasi
Perubahan dunia yang semakin cergas
(dinamis)
ini nampaknya dapat berubah sendiri
oleh kekuatan-kekuatan yang datangnya tidak
HisatigVa dan tidak dapat ^endalikan.
Per-ubahan-perubahan ini bisa membawa
akibat-akibat yang mendasar dalam mempengaru
polahidupmanusia. Sebagai
contohmunculn
sebuah gummg berapi di ladang kedelai ak mengubah cara-cara bertani di ladang itu, ju akan mengubah perilaku petard di daerah ii Begitu juga dengan adanya pantai yang omb lautnya besar akan mempengaruhi tata rua dan pola hidup masyarakat di tepi pantai unt mensikapi bila datang gelombang Tsunai yang datangnya mendadak tersebut.Seseorang bisa menyebabkan perubah pada orang lain, baik secara sadar atau tids dengan jalan TANPA KOMUNIKASI. Seba^ contoh seseorang yang tidak "berperikeman siaah** dengan tega menuangkan "^racun" dalam sumber air Tninnm (umbul) di. sebuah c
sa pada suatu malam yang gelap hal ini ak
menimbulkan perubahan besar terhadap tr
syarakat desa itu. Apa yang teqadi? Dari urai singkat dapat disimpulkan bahwa komunik
merupakan suatu alat hanya salah satu alat d
tidak selalu yang teipenting dalam memba> perubahan sosiai. Arti penting di sini "REL.TIF' dari komunikasi dalam perubahan tid
dapat dipisahkan dari masyarakat tertentu
mana perubahan sedang dipelajari atau dim
hakan (Rogers, 1976:124).
Komunikasi tanpa Perubahan ^
Bahwa di suatu daerah berlangsung 1; munikasi dalam hal ini, tetapi tidak memba>
Sutopo: Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial
ada komunikasi itu. Pennasalahannya adalah bagaimana suatu masyarakat bisa tetap utuh dan stabil tidak lebih dan tidak kurang mendasamya
dengan masalah bagaimana masyarakat itu
da-pat mengiibah dirinya atau justru diubah oleh
kekuatan dari luar, baik lewat media massa atau
lewat opinion leaders setempat Dari berbagai
kajian di lapangan komuni^i yang bersifat
ritual pada prinsipnya dimaksudkan untuk me-melihara kestabilan ini. Hubimgan antara indi-vidu sebagian dipelihara dengan komunikasi pewarisan kebudayaan banyak tergantung pada
komunikasi. Banyak pertukaran pesan-pesan
berfungsi untiik memperkuat pandangan atau
nilai-nilai yang telah dianut sebelumnya,
bukan
untuk mengubahnya sekiranya tidak ada komu
nikasi tanpa perubahan, maka tidak mungkin
menggunakan komunikasi untuk membendung
perubahan. Padahal kegunaan semacam itu
sa-ngat penting demi kelangsungan hidup
organi-sasi organiorgani-sasidanhubungan hubungan sosial
(Rogers, 1976:125).
Kehidupan kelompok hanya dapat
ber-lanjut sejauh para anggotanya mengatur
ting-kah laku mereka sesuai dengaii seperangkat
ha-rapan yang dijunjung bersama atau paling tidak
menurut seperangkat peranan yang cukup
ter-padu. Namun demikian, setiap anggota suatu
masyarakat tidak hams
persis sama
dengan ang
gota anggota lainnya. Kebudayaan bukanlahhasil peniruan keseragamanpsil^,
sebagaima-na ditegaskan oleh Wallace (1970). Demikian
juga seorang anggota masyarakat tidak hams
tahu semua seluk beluk koordinasi dan
oigani-sasi interaksi dalam masyarakat. Namun,
jika
stabilitas hubungan dan pandangan itu tidakter-pelihara maka masyarakat itu sendiri tidak akan
dapat terus bertahan. Perubahan-pembahan da
lam suatu masyarakat hanya mungkin tegadi
apabilakelompok itu sampai
pada batas tertentu
berusaha memperhatikan diri selama proses
pe-mbahan ituberlangsimg.Komunikasi dengan Perubahan
Pada Pola ini, Komunikasi adalah masa
lah yang essensial dalam pembahan sosial. Pro
ses sosial pada pola ini meliputi tiga langkah
ya-itu invention (proses ide-ide bam diciptakan
atau dikembangkan), disjusion (proses inovasi
itu disebarkan kepada anggota masyarakat),
dan consequences
(pembahan yang teijadi
aki-bat inovasi itu diterima atau ditolak).
Oleh karena itu, pembahan sosial disini teijadi ketika penerimaan dan penolakan.
ide-ide bam yang dikomunikasikan memiliki suatu
efek. Dengan demikian pembahan sosial adalah
efek dari komunikasi. Pembahan sosial ialah
proses teijadinya pembahan dalam struktur dan
fungsi suatu sistem sosial. Dari sisi perspektif lain dapat dilihat dari unit yang menerimanya
atau menolak ide-ide bam itu. Di dalam sistem
masyarakat banyak pembahan tegadi: 1) pada
level individu, dalam arti individu adalah pene-rima atau penolak inovasi itu. Pembahan pada level ini sering disebut dengan berbagai istilah;
Difusi Adopsi, Akulturasi ataii Sosialisasi.
Pen-dekatan seperti ini dapat kita sebut penPen-dekatan
Microanalistis, dalam arti titik perhatian pem
bahan itu ialah pada perilaku individual; 2). Perubahan dapat juga teijadi di level sistem sosial
yang sebaliknya sering diberi istilah;
pemba-ngunan, spesialisasi, integrasi, atau adopsi, pa da level ini pembahan yang ada di level sistem
sosial, oleh sebab itu, pendekatannya adalah
Microanalistis.
Untuk selanjutnya pembahan yang teija
di di dua level ini sangat erat berinteraksi danberhubungan satu dengan yang lain. Mimgkin
seluruh analisa pembahan sosial pada akhimya
hams memusatkan perhatian utamanya pada
proses komunikasi.
Komunikasi dan Dehumanisasi
Dalam mengkomunikasikan ide-ide bam
itu di dalam sistem sosial masih memiliki
jenis
pengamh lain, inovasi yang telah disebarkan
kepada masyarakat dapat diterima atau ditol^
oleh individu anggota suatu sistem atau seluruh anggota suatu sistem sosial. Hubungan antara sistem sosial dan keputusan untuk menerima
suatu inovasi dapat diuraikan sebagai berikut: 1. OptionalDecisiony yaitu suatu keputu san yang dibuat oleh individu terlepas dari ke
putusan yang dibUat olehindividu-individu lain
yang ada dalam sistem itu. Dalam kasus ini pun
keputusan individual itu jelas dipengaruhi oleh
norma-norma sistem sosialnya dan kepenting-annya untuk menyelaraskan diri dengan
tekan-an kelompok.
Keputusan individu^ seorang
pe-tani untuk meningkatkan bibit unggul dan kepu
tusan seorang ibu rumah tangga untuk meneri
ma dan menggunakan tablet pembatasan
kela-hiran adalah mempakan contoh dari keputusan
yang demikian.
Sutopo: Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahah Sosial
2. Collective Decision^ di mana
individu-individu yang ada dalam suatu sistem sosial se-tuju untuk membuat suatu keputusan berdasar-suatu kesepakatan bersama. Setelah kepu tusan yang demikian dibuat, semua orang harus men);elaraskan dirinya dengan keputusan sis tem itu. Contohnya ialah pembeiian flourid pada air untuk minum di suatu kota. Sekali ke
putusan masyarakat tebh dibuat maka individu
hams menerima air yang telah mengandimg
flouridtersebut.
3. Authority Decision, yaitu seorang
ko-munikator y^g menyampail^ informasi
ke-pada komunikan (sasaran atau masyarakat), de ngan cara memaksakan kehendalmya supaya komunikannya untuk memberi keputusan guna menerima informasi/inovasi tersebut. Misalnya oleh seorang supervisor dalam suatu organisasi birokiasi. Dalam penerimaan dan penolakan inovasi tersebut, sikap individu terhadap ino-vasi bukan mempakan faktor yang penting. la hanya diberitahu dan diharapkw untuk
menye-suaikan diri dengan keputusan inovasi yang di buat oleh yang berwenang. Dengan demikian
proses komunikasi seperti ini pihak komunikan mengalami teijadinya Dehumanisasi. Beberapa
penelitian tentang tipe keputusan inovasi seper ti ini nampak hasil penelitian Suiyono tentang
difusi inovasi program inseminasi buatan di kalangan kelompok tani di Kecamatan Kebak Kiamat Kabupaten Karanganyar. Hasil peneli
tian menunjukkan bahwa ting^t adopsi inovasi
IB (Inseminasi Buatan) mencapai 88,8% de
ngan pendekatan **kekuasaan** lewat pilar biro-krasi dengan ditakut-takuti kalau tidak ikut menggunakan suntikan IB bagi hewan sapinya.
Begitu juga hasil penelitian tentang Adopsi
KontrasepsiKB spiral bagi masyarakatpinggir-an kota Sukohaijo mencapai 92,8%. Sebab so-sialisasi kontrasepsi KB spiral itu, dikaitkan de ngan **upaya kenaikan pangkat pegawai negeri" (Subiyanto, 1998:28). Dengan demikian meng-gambarkan dua hasil penelitian itu menunjuk
kan dalam menerima inovasi tidak ada
kebebas-an untuk menolaknya, maka masyarakat sasar-anmengalami Dehumanisasi.
Pengaruh Perkembangan Teknologi Komunikasi Terhadap Perubahan
Sosial
Dalain mengenalkan teknologi yang ba rn, selalu akan berhadapan dengan dua unsur
yang penting yaitu hubimgan sosial dan pe
ngen^an masyarakat. Pengawasan, pengen
dalian dan penilaian terhadap teknologi yan{ bersangkutan temtama pada pe-ngaruh tekno logi terhadap organisasi sosial penerima. Kegi atan pengendalian mempakan tugas manaje men teknologi yang mencakup kemungkinai penyalahgunaan dan gangguan terhadap ling kungan sosial/fisik alami serta buatan.
Terhadap setiap teknologi setiap inasya rakat piengharapkan adanya pengaturan yan{ memadai demi ketertiban, ketenangan dan ke
teraturan dalam masyarakatnya, dengan sediki
mungkin gangguan terhadap kehidupan sehari hari. Dengan demikian setiap introduksi tekno logi bam, mensyaratkan suatu persiapan yan{ cukup dini dan perencanaan, yang memperhi tungkan reaksi dan kemampuan wadah peneri-manya/ masyarakat.
Untuk itu diperlukan persiapan dan pe-mikiran-pemikiran yang matang tentang dam-pak teknologi terhadap struktur sosial-politil ekonomi-budaya dengan memperhatikan aspel
organisasi (sosial, telmologi, dan ekonomi) dai
aspek budaya milik perancang teknologi dar masyarakatnya yang telah melandasi teknolog yang bersangkutan
Telah dilihat bahwa secara tidak sadai
perancang pun telah memasukkan
keingii^-keinginan pribadinya, termasuk sistem nila; lingkungan/pemesan, yang diintegrasikan de
ngan daya kreasi, pengetahuan dan ketrampilar
perancang/konstruktor/produsen. Hal' iniM yang telah mengakibatkan bahwa seoyektif-ob-yektifiiya suatu teknologi ia tetap berbias kepa-da pihak-pihak yang terlibat kepa-dalam proses
pe-rancangannya. Karena itulah maka suatu tekno
logi tidak bebas organisasi, tidak bebas nilai bu-daya-sosial-ekonomi danpolitik.
Dengan demikian agar supaya suatu tek nologi berfungsi dengan semaksimal mungkin, maka ia perlu bertemu dengan lingkungan dan wadah yang mirip/cocok dengan budaya negara asalnya. Inilah yang teijadi dalam proses glo-balisasi yang biasanya akibatnya saja yang kita sadari temtama bila tidak cocok dengan lingku-ngw barunya. Maka dampak dari pengguna teknologi itu, akan melahirkan pembahan sosial yang mengarah kepada budaya asli teknologi dari negara asal.
de-Sutopo:
Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Penibahan Sosial
ngan istilalh live-ware untuk uosur sumber daya
manusia sebagai salah satu unsur manajemendisamping modal dan perangkat keras» itulah
sebabnya Pacey mendefinisikan teknologi menjadi : *Uhe application of scientific and
other knowlegde to practical tasks by ordered
system that involuepeople, and organization, living thing and
machines'*
(Pacey,
1983:6-7)
Definisi ini sekurang-kurangnya
juga
te-lab mampu
untuk memasukkan bidang ilmu
pe-ngetahuan yang tercakup dalam proses peren-canaan, pengadaan, babkan konstruksi danpro-.
duksi teknologi itu sendiri. Pada tahap inilah
tegadi pertumbukan atau adaptasi danmodifi-kasi oleh masyarakat atau peneliti perancang
terhadap IPTEK karena sebagaimana telah dili-hat, teknologi tidak berdiri sendiri, tidak bebasdari nilai-nilai sosial-ekonomi-politik, oleh ka
rena itu masyarakat penggunanyajuga telah
ter-cemar oleh budaya negara asal teknologi, se-hingga sedikit banyak juga sudahmemuncul-kan fenomena dehumanisasi.
Adaptasi tidak sukar, apabila selalu
disa-dari bahwa suatu teknologi dikembangkan
(le-bih lanjut) selalu berdasarkan suatu dorongan
dan motivasi untuk mencapai sesuatu. Dorong
an ini tentunya berakar pada suatu nilar: nilaiprofesional IPTEK atau dorongan-dorongan
sosial-politik-ekonomi yang ditanamkan duniaekonomi-industri dalam proses pengembangan
suatu teknologi. Proses ini teijadi secara sadar
atau tidak sadar dan mempengaruhi dunia
IPTEK
bila melaksanakan R&D
terhadap suatu
masalah.
Sumber nilai yang lain bagi teknologi
dan profesi IPTEK
ialah pengalamannya sendi
ri {technological experience) yang lambat laun
menjadi standar teknis atau bahkan standar etis
profesi IPTEK. Kemudian teijadilah interaksi
antara "pengalaman"
IPTEK dan nilai dorong
an sosial-politik-ekonomi yang telah diterima
oleh dunia IPTEK dan melahirkan apa yang
di-kenal sebagai technological imperatives.
Ke-lompok nilai IPTEK inilah yang oleh Einstein
disebut **IhejoyJull sense of
intelectualpower/
challenges** sebagai milik dunia IPTEK/the.Expert-Sphere, yang hams
selalu lebih baik,
le-bih teliti, lele-bih rinci, dan lele-bih cepat serta lele-bih
murah.
Masyarakat Informasi
Dalam rangika mempercepat datangnya
masyarakat informasi, industri informasi saat
ini sedang menyajikan sisi positif dari teknologi tinggi, khususnya teknologi Komunikasi. Wa-laupim orang tidak dapat menyalahkan industri informasi yang sedang membangun citra ideal,
pengaruh yang diharapkan yang mempercepat datangnya masyarakat informasi dapat
me-nyebabkan munculnya konsekuensi sosial
tat-kala industri informasi tidak secara simultan
bertanggung jawab terhadap munculnya efek samping dari cepatnya pembahan dari masyara kat industri menuju masyarakat informasi.
Tampaknya, orang sepakat dengan
Mar-gareth Mead (1973:345) yang menyatakan bah wa kemajuan teknologi pada dasamya adalah
netral, yang tampak adalah intervensi manusia
terhadap teknologi, secara cepat mengingkari
kenetralan ini. Para peneliti terus menunjukkan
pengaruh yang muncul dari teknologi informa si. Persoalan-persoalan krusial yang berkaitandengan masyarakat informasi, ^antaranya
ke-limpahan informasi (Gabor, 1973; Branscomb,
1979; Pelton, 1983), campur tangan masalah
pribadi (Dormer, 1986; Diebol, 1973),
ketidak-adilan Mormasi
(lihat Evans, 1979; Oettinger,
1980), isolasi psikologis (Silberman, 1977),
sentralisasi informasi (Schller, 1981), dan
pe-nyalahgunaan informasi (Parker, 1983).Ketakutan masyarakat informasi, karena
menyangkut glamomya teknologi tinggi.
Apa-kah konsep masyarakat informasi benar-benar
perlu dipromosikan? Dengan glamomya
telmp-logi komputer pada masyarakat kini, apaikah
konsep masyarakat informasi perlu
disebarlu-askan? Jawabaimya adalah ya. Masyarakat me-rasa belum begitu puas dengan prospek teknologi telekomunikasi (lihat Davis, 1983). Sikap
masyarakat terhadap konsep masyarakattekno-kratik di mana tukang pos digantikan oleh
me-sin elektronik dan berbelanja dapat dilakukan
dengan videotext, tetap negatif. Sementara
hampir semua orang terpesona dengan
kemam-puan komputer yang luar biasa dalam
mempro-ses segudang informasi dalam hitungan
nano-detik, sebagian yang lain merasa khawatir yang
canggih yang melewatr batas kehidupan
indi-vidu.
Ketakutan pelanggaran tersebut
mempa-kan ketakutan terhadap industri informasi yang'
akan mengendalikan sistem informasi. Menumt
pandangan ini, kabel, komputer, dan sistem
komputer secara cepat menjadi hak milik
Sutopo: Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial
lintirkonglomeratbesar.
Sebagianorangperca-ya bahwa konglomerat ini akan segera dapat mengendalikan arus informasi walaupun tam-paknya tidak demikian. John Wlcklein (1981), misalnya, beipendapat bahwa sistem kabel
in-teraktif yang bam,
yang beijumlah 108 saluran
dapat dikontrol oleh operator. Walaupun hal ini
dibuat-buat, namun ada yang merasa khawatir kalau-kalau pemerintah atau pihak swasta dapatmengendalikan informasi dan teknologi infor
masi. ,
Samuel C. Florman (1981: 181) meng-ungkapkan bahwa teknologi ditakutikarenami-tos teknologi itu sendiri dan miditakutikarenami-tos elit
teknokra-tik. Dalam sebuaih artikel yang beijudul" Sa
ving the Consumer
fromthe
Computerized
Sna-fii*' (Ross, 1980:56) menyatakan bahwa "kon-sumen senantiasa merasa sebagai korban yang tak berdaya dari mesin birokrasi yang besar dan seragam orang tidak dapat diajak berbicara,
atau berpikif*. Pada tahunl970, banyak film
dan novel yang mengusung tema sejenis: 2001:
A Space Odyssey, Thon, Looker, Rollerball,
Zaidoz, damTHXllSSy semuamenggambarkan
suatu masa depan dunia yang serba komputer,tidak mempunyai naifsu sama sekali. Industri in
formasi dengan cepat telah mempersq)sikan b^wa sikap negatif publik terhadap teknologi
tihggi akan hilang dengan cara melakukan
pro-mosi media yang positif.
Masyarakat yang disebutkan sebagai
ta-hap setelah era industrialisasi atau yang santer
dengan sebutan masyarakat **pasca industrial"dinamakan juga sebagai masyarakat informasi. Tahapan masyarakat dimaksud memahg telah
berkali-kali digambarkan oleh para ahli yang berusaha menunjukkan ciri-ciri penting dari
tahapan kehidupan tersebut dengan
memperli-hatkan perbedaannya dengan tahap-tahapsebe-lumnya.
Masyarakat informasi (Rogers, 1986) di-rumuskan sebagai "suatu bangsa dimana
mayo-ritas angkatan keija adalah terdiri dari para pe-keija informasi, dan dimana informasi
mempa-kan elemen yang paling penting. Jadi, masyara
kat informasi mencerminkan suatu pembahan
yang tajam dari masyarakat industrial dimana mayoritas tenaga keija bekeija dalam pekeijaan manufacturing seperti perakitan mobU dan pro-duksi baja, dan yang mempakan elemen kimci adalah energi.
Kontras dengan itu, parapekeija individu
pada masyarakat informasi adalah mereka yanj aktivitas utamanya memproduksi, mengolab
atau mendistribusikan informasi, dan mempro duksi teknologi informasi".
Dari uraian di atas dapat disimpulkan masyarakat informasi yaitu masyarakat yanj sadar akan informasi, dan mengandalkan infor masi dalam segala bidang kehidupan,. sekaligu pemerataan informasi serta berlangsimgnya in
teraksi terbuka dan bertanggung jawab dalan
proses komunikasi dan tercapainya integras sosial dalam menunjang pembangunan nasio
nal. ^
Informasi merupakan energi bahan yani beipola {patterned matterenergy) yang mempe ngaruhi probabilitas yang tersedia bagi seoranj individu dalam pembuatankeputusan. Informa
si tidak memiliki eksistensi fisik secara sendiri
dan hanya dapat diekspresikan dalam bentul material (seperti tinta di atas kertas) atau dalan bentuk energi seperti impuls atau gelombani elektrik. Seringkali informasi dapat disubtitusi kan oleh sumber {resources) lain seperti uang.
Dari gambaran di atas nampaknyia ma syarakat informasi dibentuk dari 3 aspek yaiti 1) segi ekonomi (daya guna informasi): bagai mana dapat bekeija melalui pendayagunaan in
formasi; 2)
segi sosial budaya
(bu^ya
informa
si): bagaimana mengandalkan informasi dalan segala bidang kehidupan dan mampu mengha silkan mengolah dan memanf^tkan secara efi sien dan efektif; 3) segi teknologi (infrastruktu informasi): bagaimana memiliki infrastruktu yang lengkap, yang mampu mengakses infor masi ke seluruh penjiuru dunia melalui suatu hu bimgan denganjari tangan informasi dan jaring an telekommiikasi global.
Bila ketiga aspek maupim dalam kehidu pan yang akurat dan benar, baik dalam kehidup an informasinya maupun dalam kehidupan so sial dan budayanya. Dengan terbentuknya ma syarakat informasi konsekuensinya sikm mu dah teijadi interkoneksi global komunikasi ber gerak secara aliansi global juga, implikasi se lanjutnya adalah hilangnya batas geografis; hi langnya ketergantungan pada waktu dan ruang hubungan komunikasi terdistribusi dalam "ru ang*'; dan manusia menjadi anggota dari **man) global nonplace communities**.
Untuk dampak yang lain, dengan adany:
information superhighway maka: demokras
Sutopo: Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial
ekonomi cenderung meningkat; dan nilai infor-masi semakin dihaigu.
Dengan terwujudnya masyaiakat
infor-masi maka akan sangat beipengaruh terhadap: meningkatnyapemerataan infonnasi yang tentu
akan sangat beipengaruh terhadap
meningkat-nya gerakan perubahan sosial. Dengan adameningkat-nyatransparansi dan akuntabilitas semakin kuat
maka fenomena yang bersi&t dehumanisasi se
makin berkurang juga; iheluasnya informasi pembangunan secara teipadu dan merata;
me-ningkatnya kemampuan sumber daya manusia,
sarana, dan prasarana; dan meninglmtnya
inter-aksipositifantaiamediamassa, pemerintah danmasyaiakat.
Kritik Media Massa dalam
Pembangunan
Beberapa kritik yang dilontarkan kepada
peran media massa dalam pembangunan di
an-taranyaadalah:
a. Perlu dicermati adalah dengan
berkembang-nya Ilmu dan Teknologi Komunikasi, bahwamedia massa di negara-negara berkembang
sebagai suatu peipanjangan hubungan yang
eksploitatif dengan berbagai perusahaan
multi nasional di negara-negara majukhu-susnya lewatproduk iklan-ildankomersial.
b. Terk^t dengan pola pemilikan dan
penga-wasan elit atas lembaga-lembaga media mas
sa nampaknya beipengaruh terhadap isi me
dia
(tid^ obyektif lagi)
c. Sumbangan komunikasi massa dalam per
ubahan sosial
(pembangunan)
seiing
terbam-bat oleh struktur sosial dan Inirang adanya
bahan masukan (hanya kritik saja), danku-rang banyak memberitahukah hambatan pembangunan.
d. Banyak harapan di Negara-negara berkem
bang (misalnya, Columbia) bahwa komuni kasi merupakan faktor penunjangmodemi-sasi dan pembangunan,
tetapi kenyataannya
beipengaruh kecil kecuali lebih dahulu
dila-kukan perubahan struktur imtuk mengawali
proses pembangunan.
e. Masih diperlukan banyak cara yang mema-dai atau suatu penelitian tentang menguji
ke-benarah suatu hipotesa adanya kesenjangan
akibat adanya komunikasi. IBpotesa tentang kesenjangan yang disampaikan para pakar komunikasi untukmenunjukkan bahwa salah
satu pengaruh komuni^i massa adalah
memperlebar jurang peibedaan pengetahuandi antara dua kelompok masyaiakat yang
ber-status ekonomi tinggi dan berstatus ekonomi
rendah, untuk itu perlu penelitian lebih lanjut
mengenai *lcesenjangan akibat pengaruh ko munikasi dengan menggunakan model Uses and Gratification.
DaflarPus^ka
Indajit, R.B.
(2001). Manajemen Sistem Infor
masi dan Teknologi Informasi. Jakarta:
Gramedia.
McAnany, E.G (1980). Communications in the
Rural Third Word. New York: Praegen Pu
blisher.
Rahardjo, B.
(2002). Memahami Teknologi In
formasi. Jakarta: Gramedia.
Roger, B.M. (1976). Komunikasi dan Pemba
ngunan. Jakarta: LP3B$.
Salvaggio, J.L (2000). Membangun Citra
Posi-tif Masyaiakat Infonnasi. JumalISKI'iio.
V0ktober2000.
Scoot, N.M.
(1991). Information Technology
and Organizational Tranformation. Ox ford: Oxford University Press.
Sutopo. (2001). Pendidikan Perubahan Sosial. Bahan latihan riset aksi. Surakarta: Puslit-bangdeka-LemlitUNS.
. (2005). Komunikasi, Perubahan Sosial
dan Dehumanisasi. Surakarta: Pustaka
Ramayana Ilalang dengan Program Pasca Saijana Komunikasi UNS.
Jumal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 165-171
Communication as
Cuiture
Pamela Nilan
School of
Social Science, The University of
Newcastle Australia
Abstract
Culture is not only things which can be touched. It also include 'the way of life' of
a society. It is
a series of
practices too. While media and popular culture products are the form of
communication. For example the popular musical genre, nasyid, and the new television trend,
'reality'/ horror shows. There is the cultural studies approach, which tries tofind out and digs
about how
people are binded to the particular context ofculture. This article will explore about
the intersection ofcommunication and culture, especially in Asia, as one of
the most dynamic
modem places in the world.
K^rwords: communication, popular culture, cultural studies, media.
Introduction
t
The topic today conies from
a question
how do communication and culture intersect in
specific Asian societies in the twenty-first cen
tury? To define culture, I will use the following
definition:
The human creation and use of symbols and
fiolefrcts. Culture maybe taken as constitut
ing "die way of life' of an entire society, and this will include codes of manners, dress, la nguage, rituals, norms of behaviour and sys tems of belief (Jary and Jary, 1991:138). If culture is 'a way of life' then this draws our attention to the fact that culture is not fixed
or static. Indeed it has been been claimed that
we are always living culture. The
antropholo-gist Brian Street
(1993)
argues that culture is a
verb, not simply a state of
being, but a series of
practises. So there be no time or place which is
outside lived culture. As
culture change though,
there is certainly the impression that some ways
of being, and knowing are being left behind,
even eclipsedj as new form of
culture develop
from inside and from outside sources. Bo
westem nations and developing nations are no enmeshed in the workings of what is increasin; ly a global economy and what some claini to I
a 'global culture'. Yet there is really no su(
thing as a singular form of global culture :
such. For while technologically-driven westei
(particularly American) culture threatens sweep te planet (Waisbord 1998), there a other cultural 'cores' in the world from whi(
new cultural trends are distribted (such as X
pan, India, South America and the Nfiddle Eas
which many
people in the world prefer as a
for
of mediated symbolic communication.
So,
tall^g about communication today
will be generally referring to the form of cod
munication we
usually call media newspaper
journals, magazines, television, internet, film
advertising and other forms of
popular cultu
such as fashion and pop songs. As specific e: amples, I will be considering the popular musial genre of nasyid and the new television trer to 'reality' mistery/horor shows. In the soci
Nilan: Communication as Cuiture
there ^
three main ways ofanalysing the relat
ionship between media and culture. The first of
these is sociological, an approach which usually
emphasises the ideological and political econo
my influences upon the citizenry that come
fi-om media (for example, Curran 2002). Ano
ther popular angle of
analysis is political scien
ces, which emphasises die political economy of
the media industry (see Croteau &
Hoynes
2002), especially issues of
transnational own
ership and distribution. Finally, there is the cul
tural study approach, which seeks to explore the
ways that media links, enfolds or otherwise
binds people in particular contexts of culture
(Holden, 2004; Fiske 1996). Holden maintains
foat the essential (but often neglected) dimens
ion m cultural studies of media is context
(Di-imtriadis 2001). Culture is communicated in the
lived spaces of everyday life where local and
global identities are mediated (for example
dodo 2002; Nilan 2001; Gillespie 1995) and ar
ticulated (Morley& Robins 1995).
Alfoough there are pockets of
underde-velopment and backward thinking in Asia (for
example Burma mdNorth Korea)
Asia is one of
the most dynamic modem places in the world.
There are forms of media coming out of Asia
which are different to those produced anywhere
else in the world and they have a profound ef
fects on Asian cultural identity (Lent 1995). Al
though pessimistic view is that people in
non-westem countries are brainwashed by non-
westem-controlled media (Best &
Kellner 1998) into
the consumption of cheap, culturally meaning
less commodities (see Gitlin 2000; Hibbs 1999;
Giroux 1997; Adomo &
Horkheimer 1977);
thereby losing their traditional culture and be
coming slaves to the style/ feshion trends and
ideologies manufactured by global marketing
(Klein 2000; Ritzer 1993), I beheve the reverse
to be trae (Harrington &
Bielby 2001 2001*
Bennet2000; Willis 1991; Hebdige 1988; Ben'
jamin 1973).
The litCTary critic Walter Benjamin, for
example, argued strongly against the pessimis
tic thesis. He pointed out that mass media al
lows the masses to participate openly in aes
thetic and communicative reception and
appre-tiation. Like Benjamin, Wilis (1991), writing
about British working class-youth, stresses the
d^ocratic and active, rather than be hegemo
nic and oppresive, potential of contemporary
popular culture. He
maintated the people appro
priated and synthesised cultural materials fi'om
all kinds of sources for their own creative and
social ends (Thompson 1995). Therefore, in
talking about the relationship between commu
nication and culture in Asia we must consider
not only the local 'meanings' constructed global
media messages md icons, but the meanings
people construct about established cultural tra
ditions and identities which exist in a
dialectical
relationship (see Hoogvelt 2001:11)
with these
modem western and other hegemonic icons
and s^bols (Sunyindo 1998). Before we
un-thinkmgly accept foe idea that westem cultural
forms constitute a massive homogenising
jug-gemaut that sweeps all before it (Appadurai
1996; Barker 1999), we must recognise that foe
majority of Asian people are still 'located' in
their local communities with specific cultural
histories (Cunningham &
Sinclair 2000). This
is foe context' that Holden demands we under
stand. Pattiera (1995), writing about
Philipin-nes, clai^ in foe postmodern moment there is
a colonication where foe past coexist with foe
present'. Local identities are still nurtured but
these are interfaced with 'foe cultural bound
aries of
a global order'
(1997)
in foe context of
people's everyday lives. In this context, hybrid
forms of media culture emerge, so that foe past
(real or imagined), touces te increasingly tech
nological present at key points in foe fi-aming of
identities (Nilan, 1999). Pieterse (1995) des
cribes this hybridisation as foe 'creolisation of
global culture', and instances of this phenome
non fi-om foe
examples below.
Media Communication and Asian
Cuiture
^ia
is a collection of
cultural contexts a
dynaimc, variegated, discontinous collection of
•
states. It is full of dissimilar political systems,
economic and class ordering, religious prac
tices, cultural histories, social and ethnic group
ings, technological prospects, andmedia prefer
ences. As a result in foe increasingly complex
societies of Asia, media forms are becoming
ever more complex and 'creolised', yet
real-world events are still represented and modelled
in an interative fashion by media as a form of
communication which speaks to local identi
ties. We may consider foe case of Hello Kitty
originally 'cute' goods marketed only as toys for
Milan: Communication as Cuitura
'
which has come over three stlucting cultures ofidentity for the new consu
^
^
Altough media pro
^n^TvZ.llf'l
<'™'®®«°»»y®fewofthemyriadcommodWe
,?
to now flooding into developing countries, the^
»
®to unique in their abiUty to enchant and tacith
ta^honalfllto for cotter about race, gen- advertise countless other consumer goods'
V
(aeftotod Massmediapioduceaspacefortheimaginatio.
means thmnoli mh-
"P'® P'toiaiy that beckons consumers to ejqierience and live;
ZT
^ ^
ejqimence, under- as their own. These images provide a new fom
Viaf
*u &
1. .
middle-class youth employ in their efforts t(
Studies the ways in which media routinly filter,
Media and Culture
Modernity and reHgion, develonmen
®"®'' ®®<'to/«>'!iefy andtradition, sit somewhat uneasUytogeSierh
that
^
'®8'°n- ^
^e last two decades of the twen
^
®®°- ti®to century, Indonesia underwent aS^
"Pid social and poUtical transformation whici
^
BoUywood films and saw the dramatic ascendancy of a
high-consu-""y ^0 social world around them A sienific^
ir„,L.-
status mAF/
(Ahidemi volume ofwork has been produced on the topic
f
^
®°-
Asmanyhavenoted,commentatorscanbe
j
^
™®'' ® ^videdintothosewhounderstandtheimpactas
At^can teleriowla, Smchan cartoon and co- andthosewhofevouramodelofculturalannro'
Sbena""^"""li®
^ °""'®
P'to'ion, synthesis and hybridization (see ^e
i^tir^®®riuu T ®°"spi®«'"s sense of tims of a cultural onslaught fiom the West
IS s^
bmlt ^und gendered concept- (Abou-El-Haj 1991; Said 1978) p.u.^ thev
®Wwith^ntem;K,raryrSS«£
• Va*- i*' -
-■ ' • 1
zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBAa
«
^ find globul in an urban social and work
con-emniril? !!. h ®®^'' ® 1"
®
'®*' Promotes an inviting set of discourses
''^®'°'®'' ' togeouslybin the world, drawing not only on
? °""v®'
®° magazines, ad- modernist ideology, but on signfficant
wo^^fo^S-Milan: Communication as Culture
Aough complex, the relationship between me- Yet media representations encode particularly
™
Identity IS theorised here as two-way powerfol identity messages, operating as they
f
subjectivity. On the one hand, do through embodiment, voice (including
wiit-miwdualsbrmgbothactualandpotentialidra^ ten media), and acts which directly appeal to
tity discot^ to their moments of media en- emotions and morals values. It has been argued
^^»t.
For Imtoraians. fliese W
dis- that media consumers W
texts such as mis
TOurses (knve mostly ftom the foUowing re- dia products, constantly seeking
representat-""8ion, and ions through which they might reconstitute
fta-M,.c
.U
t
8*'® subjectivity as stable and strong (Barthes
Mms media, on the other hand, offer a 1977). Through the appropriation of offered
cultural commumcation,
that an effect
constitu-tive of identity can possibly occur. Importantly,
Nasyld Phenomenon
Barendiegt aigues that Snntt..,,.^ Asian
hfy ^urse^
provocation between the two Islam increasingly carves out a public space of
teown,andpopLcultureplaKu^S
To offwm example, most In- role in the distribution ofthis new public
visibi-^n«.imm» completely ignore women's day- lity. Tie assosiation of Islam wittCSil
SSST'
lii^ \A \
j
n f
celebration and controversy. Current debates
simultaneously arouses both
Imca^ this verity well when he argues: not westemlir Z^^ITas^
inSMra^LwneT'
•«g®for such national popular culture forms has
ways of beinn both Vmp fth "^'®!*°''®s»nd become synonymous with shaping a truly
Isla-waj^ of being, both real (those denved ftom micpopularculture(BarendreEL20b4t
f 't^l^ed' (those en-
In the region, traditional and lo^
reUgi-roim^mrealmsbeyonddieeveryday: tales, ous musical forms have hybridised with m^
^1^x
7 ®<>™»7«'tions, con-' poUticalpmc4s.IntheSf^fftt^^!
T^' '^®'^ ®®°'"^' *^®
genre
.he'evocatiLofdSo^lE^S^ad" Sti^SStS"
dress consumers indirectly, by representations, laysia. The music is performed by°L^bles of
"
168
Nilan: Corrimunication as Culture
young men
singing in harmony. The popularity commentator, and the scene is frozen whil(
of na^id may accord with the popularity of camera zooms into the still. What
looked tc
western boy bands like Boys UMen,
Backstreet viewer like just a lighter patch in the dark
Boys, or Westlife to some extent, but nasyid is turn out to be ghostly face when enough tecl
emphatically Islamic. In the 1990s nasyid be- logy is applied. This illustrates to viewers
came popular in Indonesia, especially afrer re- kind ofdanger the volunteer is exposed to.
formasi when the genre gained many Indone-
Often the member of the public is i
sian followers. ^ ^
left there for hours, alone in the dark. Subst
The traditional song forms from which ently the viewing audience rejoins kim or
contemporary nasyid derives have always been and the person gets to talk about their supe:
usedby the younger Muslim generation to com- tural experiences. Finally a Jdai (Isla
ment on contemporary events (Barendregt, preacher) cleanses the person (and often
2004). Facilitated by the spread of
Arabic Islam haunted place as well) of evil spirits and tai
through Southeast Asia, nasyid ^
proved at- Rachmah (2004) maintains that when this I
tractive to many young people with a strong Is- pens, 'ulamma'
presides, and Islamic faifti is
lamic conscioussness who want to be both in- inforced. Some shows in this genre has to do
formed and entertamed by morally and spirit- tirely with exorcism, so that die kiai conjure
ually responsible popular media. Lately nasyid spirits up with prayers, and even communic
has become professionaHsed with nasyid art- with them, before the exorcism resolves
ists travelling between Malaysia and Indonesia, state of evil and impurity. It is noted tkat on •
So, nasyid might serve to illustrate the rise of a occasion, the successfully exorcised house \
regio^ transculturalism: a culture that is in- provided with a sticker which proclaims
CTeasmgly sh^
by Southeast Asian Muslims 'free from ghosts' possibly a tribute to the f
m spite of being geographically divided. Both Ghostbusters. In analysing the phenomen
music and related websites provide young Is- Rachmah maintains that indigenous is eleva
lamic fans with important symbols of modem- as a model of reaUty and this appeals mosi
ity so desperately sought by the middle class, abangan working class and rural Muslim vie
The nasyid genre has therefore proved import- ers in Indonesia, She furthCT purposes that t
mt m
the development of a moderate, modem serves as an example of the democratisatioi}
but not westem,'cool', image both Malaysian Muslim religious beliefs and practices f
and Indonesian Muslim Youth.
their incorporation into a popular culture'fr«
The
Television Misteri Phenomenon
wW9hpromotesIslamasamajorsocialforse
1
X. I.- t-1 1- 1.
tliis way her claims about wisteriZ/iororsho
tfT*^ of a highly hybndis- are similar to Barendgrefs inteipretation ofi
fo^ R^hmah (2004)
our atenfton to syncretic aspects ofthe cultural fonn and gen
the appear^^ of-realrV horror/ mystery but the role of professionalism and techrSS
^ows on Indonraran televisron in the last thatmakesthephenomenonadistinctively'n
couple of years. Prime time shows like Dunia dem'
sensation
^tm^uvciy n
Lain ei^loit popular abangan beliefs in ghosts
and supernatural. These are 'reality shows in Conclusion
the seiue of the viewer being taken into a 'real'
These two examples demonstrate tl
p^e,
for example a haunted house, by a scien- culture, and media as a form ofcommunicatic
hfic et^perf leading a volunteer member ofthe are tightly tied. As example, they
„
pubhc m to expmence supernatural presences, ture as a series of a creative practised in liv
A
typical scene is an 'ordinary" person advanc- everyday interaction. As society changes in i
ihg slowly in a state of
terror into a decayed ruin ference to the new global order, culture and m
a^^t,
apparently with only the aid of infra- diated communication forms change at sat
red hating. The voice-over commentary re- tinie. In Indonesia, there is evidence that fort
latestheusuallymurderoushistoryofthedweU- ofpopular culture media which incorporate ai
mg. A
famt change m the density of the black- celebrate Islam as a shaping force in nation
Milan: Communication as Culture
(like state-sponsored propaganda) but from cre
ativity apd encouragement of ordinary people
themselv^-youth, the working class, rural lages and communities. It seems certain that many young people in Indonesia show amarked culturd preference for these local formsof me diated symbolic communication which speak to them oftheur Muslim identity, overthe imported
westemprodiict.
Reference
Abou-El-Haj, B. (19910 "Languages and Mo dels for Cultural Exchange', in J. Eade (ed) Living the Global City: Globalization as a
Local Process^ London & New York: Roudedge.
Adomo, T. & Horkheimer, M. (1997) 'The Cul ture Industry: Enlightenment as Mass De ception', in J. Cuiran, M. Gurevitch & J. WooUacott (eds) Mass Communication and Society, London: Edward Arnold.
Appadurm, A. (1996) Modernity at Large: The
Cultural Dimensions of Globalisation, Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Barendregt, B. (2004) 'Cyber-Nasyid: Trans
national Soundcapes in Muslim Southeast
Asia', in T.J.M. Holden & T.Scrase (eds)
Medi@sia, London: Routledge.
Barker, C. (1999) Television, Globalization and Cultural Identities, Buckingham and Phi
ladelphia: Open University Press.
Barthes, R. (1977) Image-Music-T^, trans lated by. S. Heath, London: Fontana. Benjamin, W. (1973) Illuminations, trans. H.
Zohn, London: Fontana.
Bennett, A. (20000) Popular Music and Youth Culture, Basingstoke and London:
Mac-millan.
Best, S. & Kellnes, D. (1998) "Beavis and Butt-Head: No Future for Postmodern Youth',
in J. Epstein (ed) Youth Culture: Identity in
a Postmodern World, Oxford: Blacwell Publishers.
Crane, D. (2002) 'Culture and Globalization: Theoretical Model and Emerging Trends', in D. Crane, N. Kawashima and K. Kawa
saki (eds) Media, Arts and Globalization,
New York & London: Routledge.
Croteau, D. & Hoynes, W. (2002) Media/So ciety: Industries, Images and Audiences, Pine Forge: Pine Forge Press.
Cunningham, S. & Sinclair, J. (2002) 'Intro
duction', in S. Cunningham & J. Sinclair Floating Lives: The Media and Asian Diasporas: Negotiating Cultural Identity through Media, Brisbane: University of
QueenslandPress.
Curran, J. (2002) Media and Power, London &
New York: Routledge.
Dimitriadis, G (2001) "In the clique": Popular
Culture, Constructions of Place, and the
/
Everyday Lives of Urban Youth', Anthro pology arid Education Quarterly, vol 32,
no. l,pp. 29-42.
Fiske, J. (1996) Postmodernism and television, in J. Curran & M. Gurevitch (eds) Mass
Media and Society-2^ Edition, London &
New York: Arnold.
Gillespie, M. (1995) Television, Ethnicity and Cultural Change, London & New York: Routledge.
Giroux, H. (1997) Channel Surfing, Basing
stoke & London: Macmillan.
Gitlin, T. (2001) Media Unlimited: How the
Torrent of Images and Sounds Over
whelms our Lives, New York: Metropo
litan Books.
Golding, P. & Murdock, G (1996) 'Culture, Communications and Political Economy",
in J. Curran & M. Gurevitch (eds). Mass
Media and Society (Second Edition), Lon
don & New York: Arnold.
Harrington, C.L.& Bielby, D. (2001) "Con structing the Popular: Cultural Production and Consumption", in C.L. Harrington & D. Bielby (eds) Popular Culture: Product ion and Consumption, Maiden Oxford: Blackweel Publishing.
Hebdige, D. (1998) Hiding in the Light, Lon
don: Routledge.
Hibbs, T.S. (1999) Shows about Nothing: Nihil ism in Popular Culture from the Exorcist to Seinfield, Dallas: Spence Publishing Company.
Holden, T.J.M. (2004) 'Introduction', in T.J.M.
Holden &
T. Scrase (eds)
Medi^ia,ljovL-don:Rotledge.
Hoogvelt, A. (2001) Globalization and the
Postcolonial World: The New Political
Economy
ofDevelopment,
2°^ Edition,
Ba
singstoke: Palgrave.
Jary, D. & Jary, J. (1991) Collins Dictionary of
Sociology. Glasgow: HarperCollins
^b-lishers.Nilan: Communication as Cuiture
Klein, N. (2000) No Logo, Hammersmith: Fla-mingo/HaiperCollms.
Lent, J. (1995) Introduction', in J. Lent (ed)i4jz-an Popular Culture, Boulder San
Fransis-00 Oxford: Westview Press.
Liechty, M. (1995) 'Youth and Modernity in
Kathmandu, Nepal', in V. Amit-Talai & Wulff, H. (eds) Youth Cultures: A Cross-Cultural Perspective, London & New York:Routledge.
Morley, D. & Robins, K. (1995) Spaces of
Identity: Global media. Electronic Land scapes and Cultural Boundaries, London andNew York: Routledge.
Morris, N. (2002) 'The Myth of Unadulterated Culture Meets the Threat of Imported Me
dia', Media, Culture & Society, vol. 24, pp.
278-289.
NilaUj P. (2001) 'Gendered Dreams: Women
Watching 'Sinetron' (Soap Operas) On In
donesia TV,
Indonesia and the Malay
World, vol. 29, no. 84, pp. 85-98.
Pertierra, R. (1995) Philippine Localities and
Global Perspective, Manila: Ateneo de ManilaUniversity Press.
Pieterse, J.N.
(1995)
'Globalization as Hybrid
ization', in M. Featherstone, S. Lash and R. Robertson (eds) Global Modernities, Lon don: Sage.
Rachmah, I. (2004) 'Ghost or Gossip; The F
ture of the Indonesian television Indus
in the 2000s', paper delivered to the 1.
Biennial Conference of the Asian Stud Association of Australia, Canberra,
June 2 July, 2004.
Ritzer, G (1993) The McDonaldisation of * ciety. Thousand Oaks: Pine Forge Press Said, E. (1978) Orientalism, London: Rc
ledge & Kegan Paul.
Street, B. (1993) 'Culture is a Verb: Anthro] logical Aspects of Language and Culti Process', Language and Culture, Brit Studies in Applied Linguistics 7. Cle don: Multilingual Matters, pp. 23-24. Sunindyo, S. (1998) 'Wacana Gender di TV
Antara Hegemoni Kolonialisme dan H
lywood', in I.S. Ibrahim and H. Sura (eds) Wanita dan Media, Bandung: Rer jaRosdakarya.
Thompson, J.B. (1995) The Media and h demity: A Social Theory of the Mec Cambridge, polity Press.
Waisbord, S. (1998) 'When the Cart of Medi
before the Horse of Identity: A Critique
Technology-Centered Vews on Glol
ization'. Communication Research, y