• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMAJI JAN 2015 ERIC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMAJI JAN 2015 ERIC"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Isu utama adaptasi novel ke ilm adalah kesetiaan. Karena novel lebih senior dari pada ilm, kesetiaan ilm selalu dituntut. Baik buruknya sebuah ilm adaptasi akhirnya diperhitungkan lewat kesetiaannya. Derrida menentang hierarki senioritas atas junioritas, juga yang original dan yang duplikat lewat konsep invagination. Pada tulisan ini akan diperlihatkan bagaimana proses tersebut lewat adaptasi naskah Othello Shakespeare ke ilm Othello lalu ke FTV Ken Arok.

Abstract

he main issue of adaptation novel to ilm is idelity. Because of its seniority, novel should be adapted faithfully by ilm. By its idelity too, the success of adaptation ilm is counted. Derrida refuse this kind of hierarki through his concept of invagiation. his paper will show how the concept woks via adaptation from Shakespeare’s script of Othello to ilm Othello then to FTV Ken Arok.

Keywords

adaptasi, kesetiaan, invagination, original, duplikat.

Othello di Tanah Jawa

Konsep

invagination

pada adaptasi

Othello

Shakespeare

Eric Gunawan

[email protected]

Isu utama adaptasi novel ke ilm adalah idelity (kesetiaan). Dalam isu itu tersirat kekuatan hierarki senioritas atas junioritas yakni yang junior harus tunduk kepada yang senior. Pascastrukturalisme menghancurkan hierarki tersebut. Salah satunya lewat invagination yang digagas oleh Jacques Derrida. Lewat teori itu hierarki yang original dan yang duplikat dibongkar untuk dibangun kembali sehingga prestise original tercipta kembali.

Tulisan ini ingin menggagas ulang makna kesetiaan dalam proses adaptasi naskah asli menjadi ilm kemudian menjadi FTV. Naskah aslinya adalah naskah yang diperuntukkan bagi pertunjukkan teater, lalu naskah ini diadaptasi menjadi karya ilm layar lebar, dan ilm layar lebar diadaptasi lagi menjadi ilm televisi (FTV). Naskah original itu adalah Othello karya William Shakespeare. Film layar lebarnya adalah Othello (1995) karya Oliver Parker, dan FTVnya adalah Ken Arok Banjir Darah di Tumapel (2006) yang skenarionya ditulis oleh Didya Adakita1.

Pertanyaan yang hendak dijawab pada tulisan ini adalah apakah karya adaptasi masih memiliki hubungan yang erat dengan aslinya sebagai sebuah hierarki yang asli dan yang duplikat? Apakah karya adaptasi tidak mungkin dianggap sebagai karya mandiri yang hadir sebagai dirinya sendiri tanpa harus memperhitungkan jejak-jejak yang hadir di dalamnya?

(2)

Bagian pertama akan mengguraikan secara singkat persoalan kesetiaan adaptasi novel ke ilm lewat tiga teori adaptasi yang sekaligus sebagai pengantar konsep invagination Derrida. Bagian kedua akan mendeskripsikan adaptasi naskah Othello menjadi ilm Othello guna diperoleh kejernihan seputar perbedaan media panggung dan ilm. Bagian ketiga akan mendeskripsikan adaptasi ilm Othello ke dalam FTV Ken Arok guna menjelaskan konsep invagination Derrida. Pada bagian terakhir, pencapaian ketiga bagian di atas akan dilabuhkan sebagai sebuah kesimpulan berupa penggagasan kembali makna kesetiaan dalam adaptasi.

Kesetiaan dalam Adaptasi

Ketika seorang pembaca novel menonton ilm adaptasi dari novel yang dibacanya, kesimpulan akhir yang terlontar ada dua yakni ilm itu setia atau khianati novel. Film dianggap setia kepada novel apabila karakter, setting, struktur, ide yang terdapat pada novel secara setia diadaptasi. Tetapi, ia dianggap mengkhianati sumber aslinya apabila terjadi penyimpangan terhadap salah satu atau sejumlah unsur tersebut.

Terlontarnya penilaian ini mengindikasikan hierarki karya seni diperhitungkan berdasarkan mana yang lebih dulu muncul. Novel dan teater telah hadir dan menjadi karya seni mapan ketika ilm lahir pada 1895. Senioritas ini bersumbangsih pada pandangan sinis terhadap kelahiran perangkat perekam cinematographe yang dianggap jauh dari seni lantaran hanya merekam aktiitas yang hadir di depannya. Sejarah ilm mencatat antusiasme para pendukung ilm masa itu berupaya mendeinisikan ilm guna menyejajarkan posisinya dengan novel dan teater yang sudah lebih dulu dianggap sebagai seni agung.

Salah satu upaya tersebut adalah lewat pembuktian bahwa ilm mampu menuturkan kisah. Kemampuan ini merupakan kekuatan novel dan teater. Sejarah mencatat, ilm yang semula hanya merekam kejadian keseharian mulai bernaratif. Adaptasi menjadi pilihan. homas Alfa Edison pada 1896 mengadaptasi adegan ciuman babak akhir pementasan panggung he Widow Jones karya John McNally menjadi shot tunggal berdurasi dua puluh detik. Sejak saat itu berturut-turut adaptasi dari novel ke ilm rutin diproduksi, sebut saja Sherlock Holmes Baled dalam 30 detik shot, (1900), Les Miserables (1909) menjadi versi empat reel, bahkan Dante’s Inferno.

Ciuman yang dilakukan oleh May Irwin dan John C. Rice pada ilm tersebut menjadi heboh bukan saja lantaran norma masyarakat kala itu belum dapat menerimanya, namun adaptasi ciuman di panggung broadway ke dalam bentuk medium shot ilm menawarkan detil adegan dalam hal gesture, aksi-reaksi, bahkan ekspresi wajah yang selama itu tidak mungkin dilihat dari tempat duduk penonton ke panggung. Detil adegan ciuman ini sangat menghebohkan. Sesuatu yang masih tabu dan ditutupi kini hadir di depan mata dalam ukuran yang tidak biasa. Nilai positif dari kehebohan itu adalah salah satu kelebihan ilm dibandingkan teater yakni kemampuan kamera mendekati subjeknya.

Kespesiikan yang dimiliki oleh sinema, rupanya mendapat perhatian pula dari oleh seorang estetikawan sekaligus sineas berkebangsaan Hungaria, Bela Balázs. Ia menyambut hadirnya wajah manusia yang selama ini tersembunyi lewat pernyataannya bahwa sinema mempersiapkan jalan bagi budaya baru visible man2. Balázs

2 Pada pengantar tulisan Balázs “he Faces of Man” pada buku yang disuntingnya, Richard Dyer Gambar 1: adengan ciuman pertama yang hadir di dalam sinema

melihat bahwa teknik sinematograi mampu menghadirkan variasi jarak antara penonton dan layar, serta mampu menampilkan detil wajah tokoh melalui close-up.

Pada pertunjukkan teater, kendala jarak tempat duduk penonton dan panggung disiasati lewat dialog, gesture, kostum, dan properti. Dialog tokoh selain berfungsi sebagai alat komunkasi dengan tokoh lain, juga sebagai perangkat untuk menjelaskan setting, isi hati, bahkan tindakan yang akan dilakukan di masa depan oleh para tokoh. Kealamiahan gesture manusia sering ditinggalkan demi kejelasan pesan. Pada teater penonton dapat menerimanya. Demikian pula, make up sebagai pengungkap karakteristik tokoh digoreskan secara berlebihan. Kostum dan properti melebihi ukuran normal sehingga terlihat dan terpahami oleh penonton dari tempat duduknya. Semua hal yang tidak biasa dijumpai pada kehidupan keseharian diterima baik oleh penonton teater.

Berbeda penggunaan dialog, gesture, make up, kostum dan properti pada ilm. Kamera yang mampu berpindah posisi sebagai pengganti sudut pandang penonton, bahkan mampu mendekati objeknya dan menjadikan ekspresi wajah tokoh secara detil terlihat. Dialog berfungsi murni komunikasi. Tuturan seputar setting atau peristiwa yang menjadi kekuatan dialog panggung ditinggalkan, berganti dengan visual. Gesture keseharian hadir secara natural, bahkan pada ilm bergenre komedi slapstick. Penggunaan make up secara alamiah justru menambah kekuatan karakter. Tokoh mengandalkan kemampuan ekspresi wajahnya untuk menuturkan kedalaman hatinya. Inilah kelebihan ilm yang dilihat oleh Balázs khususnya dalam menghadirkan wajah manusia.

MacCann memberi subjudul “Manusia kembali menjadi terlihat” (Man has again become visible). Menurutnya, Balázs adalah satu dari sedikit estetikawan yang tertarik dengan komunikasi melalui aksi, gesture, ekspresi wajah, durasi, dan disain. Maka, ketika teknik kamera mulai memperlihatkan kekuatan ekspresi manusia menggantikan kata-kata terucap, Balázs menyebut kondisi ini sebagai manusia yang kini terlihat (visible man). Lihat Béla Balázs,

heory of Film, hal. 39 - 43.

Adaptasi yang dilakukan oleh Edison meletakkannya sebagai karya adaptasi yang berusia setua sinema. Namun demikian, belum ada teori adaptasi yang diterima sebagai teori yang mampu menjelaskan mana adaptasi yang baik dan mana yang buruk. George Bluestone3 menyatakan novel dan ilm adalah dua karya seni berbeda, namun konsistensi penjelasannya tentang kesetiaan dalam mengadaptasi novel ke ilm dikaburkan persoalan kesuksesan ilm. Ia mengamati, ilm adaptasi yang sukses sering tidak dipermasalahkan meski tidak setia dengan novel aslinya.

Jean Mitry, teoritikus ilm Perancis, dalam tulisannya Remarks on the Problem of Cinematic Adaptation menegaskan adaptasi pada ilm sebagai sebuah rekonstruksi. Hal ini lantaran perbedaan media bersumbangsih pada perbedaan cara berekspresi. Menurutnya, pembacaan novel adalah aktiitas tersendiri yang tidak mungkin digenggam oleh ilm. Ia menkritisi adaptasi yang dilakukan secara setia pada setiap tahap perkembangan novel berakibat ilm jauh dari imajinatif. Juga, adaptasi yang setia pada “roh” kisah sama sekali mustahil karena ketika huruf menjadi visual, dua bentuk berbeda ini akan saling mengkhianati satu sama lain. Oleh sebab itu, ia lebih menekankan adaptasi sebagai rekonstruksi yang jauh dari sekadar menerjemahkan huruf ke visual.

Dudley Andrew dalam bukunya Concepts in Film heory mendeinisikan tiga hubungan dalam mengadaptasi novel ke ilm, yakni borrowing (meminjam), intersection (persimpangan), dan idelity (kesetiaan). Ia menjelaskan bahwa proses peminjaman dan pengimplementasian bagian-bagian esensi dari novel terjadi lewat perjumpaan dengan menjaga integritas novel dan mentransformasikannya secara setia ke dalam media baru.

Ketiga teori adaptasi di atas masih terikat hubungan antara yang original dan yang duplikat. Tersirat ada ikatan yang tak putus antara

3 Tulisan George Bluestone berjudul

(3)

keduanya. Kondisi ini seolah mengesampingkan perbedaan dua media, yakni novel dan ilm, tulisan dan visual, yang lebih dulu dan yang terkemudian, yang senior dan yang junior. Ikatan ini menimbulkan persoalan hierarki sebagai kondisi yang ajeg. Aturan tak terucapkan menjadi absah bahwa yang junior harus tunduk kepada yang senior, yang terkemudian tunduk kepada yang terdahulu.

Mengadopsi teori invagination dekonstruksi Derrida, persoalan kesetiaan adaptasi menemukan titik terang.

Invaginasi adalah istilah biologi terkait perkembangan embrio dari satu fase ke fase lain, yakni mulai dari sel sederhana, ke fase blastula, hingga menjadi organisme kompleks. Proses biologi ini, dalam tulisan berjudul he Law of Genre dipahami Derrida hadir pada teks lewat naratif yang secara berkelanjutan melipat dirinya sehingga bagian luarnya menjadi bagian dalam dan kemudian bagian dalam yang sudah menjadi bagian luar menjadi bagian dalam. Proses pada entitas yang identik ini terus menerus berlangsung di mana entitas luar memenuhi entitas lain yang ada di dalamnya. Menurut Derrida, sebuah teks mengalami proses ini. Kandungan teks yang dimilikinya membuka diri kepada bentuk lain karena bagian luar teks dan bagian dalamnya memiliki identitas yang tidak ajeg.

Teori invagination Derrida ini dijadikan pendekatan adaptasi Othello karya William Shakespeare menjadi FTV Ken Arok. Proses terjadi lewat penurunan tiga tingkat, yakni dari naskah panggung ke ilm lalu menjadi FTV. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan adaptasi naskah panggung Othello menjadi ilm layar lebar Othello dengan terlebih dulu mensarikan dan membedah beberapa bagian Othella seperti yang dituliskan oleh Shakespeare.

Othello di Hollywood

Othello: he Moor of Venice berkisah tentang Othello, jenderal angkatan perang Venesia yang berdarah Moor, yang terbakar cemburu akibat tipu-muslihat Iago sehingga pernikahannya dengan Desdemona berakhir tragis. Iago adalah bawahan Othello, dan sangat berharap kenaikan pangkat. Namun, incarannya justru dianugrahkan Othello ke Cassio. Dibakar dendam, Iago

berintrik untuk menjatuhkan Othello. Dimulai dengan gossip seputar pernikahan atasannya dengan Desdemona putri senator Venesia, Brabantio. Digossipkan pernikahan itu terjadi lantaran Desdemona diguna-guna oleh Othello. Namun, pengakuan Desdemona meluluhkan tuduhan itu. Iago lantas memanfaatkan Roderigo yang dipahaminya mencintai Desdemona dan selalu terhalang restu Brabantio. Ditiup kabar bahwa Cassio bermain api dengan Desdemona. Pada sejumlah kesempatan Iago berhasil memperlihatkan kedekatan-kedatan itu kepada Roderigo. Juga, pada setiap saat yang dianggap tepat, Iago membakar cemburu Othello. Cinta Othello berhasil dibuat goyah lewat serangkaian plot yang diatur oleh Iago. Dan ketika api cemburu memuncak, Othella menjadi mata gelap dan membunuh Desdemona.

Oliver Parker, selaku penulis skenario sekaligus sutradara, sangat menyadari kekuatan dialog Shakespeare, dan di saat yang sama tidak ingin mengorbankan kekuatan visual media ilm tunduk pada dialog. Kedua media berbeda ini masing-masing memiliki kekuatan.

Berdasarkan teori adaptasi Andrew yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Parker meminjam Othello dan di saat yang sama mempertemukan kekuatan panggung dan ilm untuk mentransformasinya secara setia karya aslinya. Stuktur, setting, karakter, dan dialog.

Struktur.

Naskah panggung Othello mengikuti struktur piramida yang terdiri atas lima babak yang lajim digunakan pada masa Renaisans, yakni: (i) babak I terdiri atas eksposisi berupa set-up karakter, latar belakang, konlik dan inciting incident berupa kejadian yang memicu kisah bergulir; (ii) babak II atau rising action di mana konlik berkembang dan mengarah pada klimaks; (iii) babak III atau crisis atau turning point berupa perubahan arah atau klimak babak sebelumnya yang menentukan perkembangan kisah; (iv) babak IV atau falling action berupa semua peristiwa yang disebabkan oleh perubahan arah babak sebelumnya; (v) babak V berupa resolution yang mengakhiri kisah dan denouncement yang menutup resolution.

Film menganut sistim tiga babak, yakni: (i) Babak I berdurasi 10-15 menit berupa set-up karakter, setting, konlik yang diakhiri oleh turning point 1,

yakni pembelokan arah situasi awal yang damai akibat munculnya ketergangguan; (ii) Babab II berupa aksi-aksi tokoh utama untuk terbebas dari ketergangguan dan diakhiri oleh turning point 2 di mana tokoh utama memperoleh kekuatan kembali untuk menyelesaikan tujuan utamanya; (iii) Babak III berupa klimak yang ditandai tokoh utama mencapai tujuannya untuk bebas dari ketergangguan.

Adaptasi Parker berdasarkan tiga hubungan borrowing, intersection, dan idelity salah satunya dapat ditemukan pada babak I baik naskah panggung maupun ilm. Pada babak I, Shakespeare melakukan set-up karakter utama dan hubungannya dengan karakter-karakter lain. Iago (diperankan oleh Kenneth Branagh) diperkenalkan, berikut hubungannya dengan Roderigo dan perasaan kesalnya terhadap Othello (diperankan oleh Lawrence Fishburne) yang tidak jadi menaikkan pangkatnya padahal sudah sekian lama mengabdi. Tokoh Othello diperkenalkan pula serta hubungan cintanya dengan Desdemona (diperankan oleh Irene Jacob). Juga, hubungan cinta mereka ternyata tidak mendapat restu Brabantio (diperankan oleh Pierre Vaneck). Babak I ini ditutup dengan ucapan Iago yang menjadi inciting incident penggerak perkembangan kisah, “After some time, to abuse Othello’s ear / hat he (Cassio) is too familiar with his wife.” (Othello, Act I, Scene III, baris 398-399)

Sementara itu pada ilm layar lebar, Babak I dibuka dengan pernikahan diam-diam Othello dan Desdemona di hadapan pendeta dengan saksi Cassio. Tanpa sepengetahuan mereka, Iago dan Roderigo mengintip. Lewat dialog Iago dan Roderigo dipahami sakit hatinya terhadap Othello yang mempromosikan jabatan Cassio padahal sejak lama Iago mengincarnya. Maka, Iago bersiasat mengabarkan penculikan Desdemona guna membongkar pernikahan diam-diam itu kepada Brabantio.

Kesadaran Parker atas perbedaan media panggung dan ilm salah satunya terlihat pada pilihan plot yang dijadikan turning point 1. Apabila Shakespeare menempatkan soliloquy Iago Act I, Scene iii, baris 398-399 sebagai inciting incident, maka Parker memilih ucapan Brabantio kepada Othello di scene 28 (skenario halaman 15, naskah Act I, Scee iii, baris 293) sebagai turning point I,

BRABANTIO

Look to her, Moor, if thou hast eyes to see: She has deceived her father, and may thee. OTHELLO

My life upon her faith.

Soliloquy Iago menjadi tujuan aksi Iago terhadap Othello. Aksi ini kerap diulang dan mengalami perkembangan setiap kali terjadi pengulangan. Dengan demikian, soliloquy ini bernilai visual. Sementara itu, peringatan Brabantio bahwa Desdemona akan menipu juga Othello seperti yang dilakukan terhadap ayahnya bernilai kontemplatif. Apabila dialog ini ditiadakan, galau hati Othello (pada skenario scene 79) ketika tipu daya Iago telah merasuki pikirannya bahwa Desdemona berselingkuh tidak akan bernilai.

Setting. Parker setia terhadap setting naskah

Othello. Setting kotanya tetap berlansung di Venesia dan Cyprus. Setting eranya tetap di masa Kesultanan Ottoman. Setting era diperkuat pula lewat pilihan kata yang diucapkan para tokoh, yakni masih mengacu pada bahasa Inggris kuno. Kostum dan properti para tokoh tetap setia pada era yang digambarkannya.

Karakter.

Penggambaran para tokoh pada naskah asli Shakespeare dipegang teguh oleh Parker. Protagonis Othello tetap dihadirkan sebagai orang Moor berkulit hitam4. Rasa cintanya terhadap Desdemona mengalami gradasi menjadi benci akibat tipu daya Iago. Antagonis Iago hadir tanpa perkembangan karakter. Sejak awal sampai akhir karakternya datar, tokoh yang mendendam dan penuh tipu daya. Parker hanya mempertegas kekhususan ini lewat pengadeganan. Pada scene 7, Iago dan Roderigo mengintip pemberkatan nikah Othello dan Desdemona yang dilanjutkan dengan promosi jabatan Cassio. Pada scene tersebut, hanya Roderigo yang mengintip sementara kamera menghadirkan close up ekspresi Iago yang sedang berintrik dengan mengutarakan isi hatinya kepada Roderigo atas pengangkatan Cassio itu.

(4)

Penekanan ini sekaligus menggarisbawahi motif Iago, yakni dendam atas Othello.

Sedangkan Desdemona hadir sebagai perempuan kulit putih putri Senator Venesia dan menjadi korban Iago sekaligus Othello. Dalam naskahnya, Shakespeare tidak memberi ruang kepada Desdemona untuk mengetahui intrik Iago, namun hanya menyaksikan perubahan sikap Othello terhadapnya. Juga ketika ayahnya memperingatkan Othello kemungkinan Desdemona akan berkhianat seperti terhadapnya (Act I, Scene iii, baris 293-294; scene 11 halaman 15), Desdemona yang turut mendengar tidak terpengaruh. Pernikahannya dengan Othello didasari cinta dan bukan tipu daya. Justru Othello yang termakan ucapan Brabantio saat tipu Iago ranum.

Baik Shakespeare maupun Parker menghadirkan Iago saat ucapan itu terlontar. Shakespeare menggunakan panggilan Othello setelah menjawab Brabantio.

OTHELLO. Honest Iago,

My Desdemona must I leave to thee: I prithee let thy wife attend on her:

And bring them after in the best advantage. Come, Desdemona: I have but an hour

Parker menggunakan keseluruhan kalimat itu untuk mempertegas kehadiran Iago.

OTHELLO Honest Iago,

My Desdemona must I leave to thee: I prithee let thy wife attend on her:

And bring them after in the best advantage. Come, Desdemona: I have but an hour

Gambar 2: Iago mengutarakan perasaannya atas promosi jabatan Cassio yang berlangsung di balik dinding Chapel.

Selain mempertegas kehadiran tersebut, Parker menggarisbawahi kalimat Brabantio mempengaruhi strategi yang akan dilakukan Iago lewat gesture dan ekspresi Iago sesaat Othello dan Desdemona meninggalkan Ruang Dewan Venesia. Kalimat itu mematangkan niat Iago menjadikan kisah cinta pimpinannya berada di jalur perselingkuhan.

Gesture reaksi Iago atas ucapan Brabantio dan jawaban Othello dijelaskan lebih lanjut oleh Parker pada scene 71 (skenario halaman 49; naskah Act III, Scene iii, baris 206-207) lewat percakapan Iago dengan Othello selepas mereka berlatih senjata. Dalam percakapan itu Iago mulai menanamkan isu perselingkuhan Desdemona dan Cassio setelah pada scene sebelumnya Othello menyaksikan Cassio bercakap-cakap akrab dengan istrinya. Saat Othello mulai masuk perangkap Iago, prajurit itu mengingatkan soal ucapan Brabantio,

IAGO

She did deceive her fatjer, marrying you.

And when she seemed to shake and fear your looks She loved them most

OTHELLO And so she did.

Maka, Desdemona menjadi bidak yang di-set up Iago dalam upayanya menjatuhkan Othello sebagai balas dendam pengangkatan Cassio. Othello sendiri di-set up oleh Iago guna meranumkan ucapan Brabantio. Shakespeare menegaskan hal ini lewat pernyataan Iago yang menjadi inciting incident, sedangkan Parker menjadikannya sebagai turning point 1. Pilihan Parker, sekali lagi, menggemakan kesetiaan atas naskah asli namun dengan memahami keunggulan masing-masing media.

Gambar 3: Gesture dan ekspresi Iago terkait ucapan Brabantio tentang Desdemona kepada Othello dikemudian hari.

Dialog.

Pada pertunjukan teater penggunaan dialog sangat dominan karena fungsinya bukan sekadar alat komunikasi antar tokoh tetapi juga beban beragam informasi untuk penonton, seperti setting, suasana hati tokoh, dan sebagainya. Parker menyadari fungsi dialog pada ilm sangat berbeda. Dialog ilm menempati posisi sekunder di bawah keutamaan visual. Walau demikian, ilm Othello tidak menuliskan kembali dialog para tokohnya, melainkan tetap menggunakan dialog itu tetapi sudah disunting untuk keperluan ilm. Shakespeare tidak menuliskan detil pernikahan Othello dan Desdemona yang dilakukan secara diam-diam di hadapan pendeta dan disaksikan oleh Cassio. Act I, Scene I dibuka dengan Iago dan Roderigo di sebuah jalan di Venesia. Iago sedang berkesal hati dan membenci atasannya, Othello, yang telah menaikkan pangkat Cassio. Padahal, menurut penilaian Ioga kenaikan pangkat itu dia yang berhak karena pengabdiannya selama ini sedangkan Cassio adalah prajurit baru yang masih belum berpengalaman di medan perang. Sebagai pembalasan atas sakit hati itu, ia membujuk Roderigo ke rumah Brabantio untuk melaporkan Desdemona telah minggat dari rumahnya dan menikah dengan Othello secara diam-diam. Berita itu disampaikan oleh Roderigo demikian,

RODERIGO. Sir, I will answer any thing. But, I beseech you,

If ’t be your pleasure and most wise consent, As partly I ind it is, that your fair daughter, At this odd-even and dull watch o’ the night, Transported, with no worse nor better guard But with a knave of common hire, a gondolier, To the gross clasps of a lascivious Moor— If this be known to you and your allowance, We then have done you bold and saucy wrongs; But if you know not this, my manners tell me. We have your wrong rebuke. Do not believe hat, from the sense of all civility,

I thus would play and trile with your reverence: Your daughter, if you have not given her leave, I say again, hath made a gross revolt;

Tying her duty, beauty, wit and fortunes In an extravagant and wheeling stranger

Of here and every where. Straight satisfy yourself: If she be in her chamber or your house,

Let loose on me the justice of the state For thus deluding you.

(Act I, scene I, baris 119-139)

Jika Shakespear memulai pertunjukannya dengan kekesalan hati Iago atas Othello, maka Parker menggunakan dialog Roderigo pada naskah seperti dikutip di atas sebagai pembuka ilmnya. Mula-mula ia memperlihatkan suasana kota Venesia dengan gondola yang melintasi sungai dan penumpangnya berkostum dan bertopeng khas Venesia berpapasan dengan gondola Desdemona yang minggat dan menikah dengan Othello. Iago dan Roderigo menguntit Desdemona secara diam-diam dan menanti kedatangan Desdemona di salah satu sudut kota Venesia. Mereka sudah mengetahui tentang rencana dan di mana pernikahan itu akan berlangsung.

Gambar 4: Opening shot ilm Othello.

Gambar 5: Desdemona yang minggat dengan gondola tiba di tempat tujuan.

(5)

Dialog Roderigo pada ilm menjadi efektif dengan hanya mengutip baris 119 dan 137-139 pada naskah yakni saran kepada Brabantio, dan meninggalkan semua dialog deskripsi tentang minggatnya dan pernikahan Desdemona.

RODERIGO

Sir, I will answer any thing; But, I beseech you, Straight satisfy yourself:

If she be in her chamber or your house, Let loose on me the justice of the state For thus deluding you.

Seleksi dialog juga dilakukan untuk kenaikan pangkat Cassio oleh Othello. Pada naskah, kejadian ini dituturkan oleh Iago kepada Roderigo pada pembukaan scene. Tuturan itu sekaligus merupakan set up alasan Iago melancarkan tipu daya atas Othello dan Cassio,

And, in conclusion,

Nonsuits my mediators; for, “Certes,” says he, “I have already chose my oicer.”

And what was he?

Forsooth, a great arithmetician, One Michael Cassio, a Florentine, A fellow almost damn’d in a fair wife; hat never set a squadron in the ield, Nor the division of a battle knows

More than a spinster; unless the bookish theoric, Wherein the toged consuls can propose

Pada ilm, pengangkatan ini dilakukan langsung setelah pemberkatan pernikahan Othello dan Desdemona. Tanpa dialog, hanya simbolisasi lewat pemberian belati oleh Othello kepada Cassio. Adegan itu diintip oleh Roderigo, sementara Iago iri hati lewat pernyataannya, “More than a spinster, must his lieutenant be, And I—God bless the mark!—his Moorship’s ancient”. (skenario scene 7 halaman 3)

Penegasan pernikahan yang dilakukan secara diam-diam, pada naskah terjadi di jalan Venesia (Act 1, scene ii) antara Iago dan Othello, dan kemudian menyusul Cassio yang datang membawa berita Duke of Venice sedang menanti kehadiran Othello segera. Pada ilm, Cassio sedang menunggu di depan Chapel. Iago yang pada scene sebelumnya meninggalkan rumah Brabantio, kini sudah bergabung dengan Cassio. Saat Othello keluar dari Chapel Iago menyambutnya dan mengatakan, “I pray you, sir,

Gambar 7: Othello menganugrahkan belati kepada Cassio sebagai tanda kenaikan pangkat.

Are you fast married?” (skenario scene 11 halaman 7; naskah Act I, scene ii, baris 10-11). Jawaban Othello hanya dengan kode telunjuk di depan mulutnya. Dilanjutkan dengan berita dari Cassio.

Gambar 8: Othello memberi kode ke Iago, disaksikan oleh Cassio yang menanti dengan berita lain.

Bagian ini menggarisbawahi adaptasi novel atau naskah drama menjadi ilm bukan sebagai aktiitas ekslusif tanpa dapat digenggam kemudian oleh ilm seperti tersirat pada teori adaptasi Mitry. Adaptasi yang dilakukan oleh Parker justru terjadi sebagai aktiitas yang menyatu. Film Othello meminjam sebagian besar elemen-elemen yang ada pada naskah. Pinjaman ini lantas digali berdasarkan kekuatan masing-masing media dengan tetap setia pada esensi naskah aslinya.

Pada bagian selanjutnya akan dibahas pendekatan adaptasi yang berbeda, yang dilakukan berdasarkan turunan kedua naskah asli. Adaptasi ini tidak lagi mempersoalkan yang original dan yang duplikat, melainkan meminjam sebagian besarnya potensi yang dikandungnya, membawanya ke permukaan sebagai identitas berbeda dari original. Pada bagian selanjutnya akan dibahas Othello menjadi Ken Arok dengan mengadopsi teori mutual invagination Derrida.

Othello di Televisi Indonesia

Ken Arok adalah tokoh sejarah Indonesia yang dipahami sebagai pendiri kerajaan Singosari. Asal usulnya, sepak terjangnya saat menggulingkan Tumapel dibawah kekuasaan Tunggul Ametung, keris Mpu Gandring yang menyertai penggulingan itu, serta Kebo Ijo yang dijadikan kambing hitam dalam percaturan politik Tumapel telah menjadi legenda tersendiri dan hadir dalam beragam versi.

Salah satu versi tersebut dituturkan kembali oleh Pramoedya Ananta Toer lewat roman Arok Dedes. Pada kata pengantarnya dijelaskan penolakan Pram atas semua dongeng dan mistisisme seputar legenda Ken Arok (2006: viii). Sumber utama tulisan Pram adalah dari “Ludbaka” karya Mpu Tanakung dan Tugu Kemenangan Arok di sekitar candi Singasari atau candi Tumapel (2006: xiii). Di tangan Pram, kisah Ken Arok menjadi kudeta pertama yang terjadi di Indonesia.

FTV Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel banyak diilhami dari roman Arok Dedes. Terutama tentang asal-usul Arok sebagai pemuda pergerakan penentang Tumapel, masuk Arok sebagai prajurit pekuwuan di sana. Mpu Gandring juga dihadirkan bukan sekadar pembuat keris sakti melainkan sebagai pemilik pabrik persenjataan (skenario scene 11 halaman 12). Pada scene tersebut diperlihatkan arti penting biji besi sebagai bahan baku pembuatan senjata melalui Ken Arok menemui Mpu Gandring dan memberinya biji besi.

FTV Ken Arok dimulai dari penculikan Dedes, putri Mpu Parwa, oleh Tunggul Ametung penguasa Tumapel. Gadis itu dipaksa menikah, dipertukarkan dengan keselamatan kaum brahmana. Tidak ada pilihan lain bagi Dedes selain menurut. Juga ketika Mpu Parwa menjemputnya pulang, Dedes lebih memilih tinggal dan mengakui pernikahan itu karena keputusannya sendiri tanpa paksaan. Sebagai siasat untuk membebaskan Dedes, sekaligus menggulingkan Tunggul Ametung, Lohgawe memperkenalkan Arok untuk bekerja sebagai patih mewakili kaum brahmana. Keberadaan Arok sangat menguntungkan Tumapel. Banyak pemberontakan berhasil dipadamkan. Hal ini membuat Arok sangat dipercaya oleh Tunggul Ametung. Tanpa diketahui penguasa Tumapel

itu, Arok bersiasat dengan Kebo Ijo yang mencintai Dedes sejak lama. Gossip disebar bahwa Gandang juga mencintai Dedes. Arok sengaja membakar cemburu Kebo Ijo. Gossip juga perlahan-lahan dihembuskan ke telinga Tunggul Ametung hingga penguasa itu terbakar cemburu. Siasat Arok berhasil, Tunggul Ametung mencurigai selingkuh Dedes dan Gandang. Pada saat nyawa Dedes di ujung tanduk, Arok membunuh Tunggul Ametung lewat tangan Kebo Ijo.

Adaptasi Othello menjadi Ken Arok dilakukan dengan tetap bersetia pada dialog tetapi setting, karakter, dan kostum berbeda.

Setting.

Kerajaan Venesia pada Othello menjadi wilayah kerajaan Kediri, sedangkan Cyprus tempat aksi bergulir menjadi Pekuwuan Tumapel. Maka, setting era juga mengalami perubahan dari masa ekspansi Kesultanan Ottoman 1500an menjadi sekitar 1182-1224 menjelang runtuhnya kerajaan Kediri. Dengan demikian kostum juga mengikuti setting era.

Karakter.

Peran Arok ketika berintrik dengan Tunggul Ametung mirip dengan Iago. Arok masuk menjadi prajurit Tumapel, mengabdi kepada Tunggul Ametung, dan di saat yang sama bersiasat mengulingkannya dengan men-set-up perselingkungan Dedes dan Patih Danang. Dengan demikian, Othello menjadi Tunggul Ametung, dan Desdemona adalah Dedes. Kebo Ijo yang menjadi salah satu ikon kisah Ken Arok diadaptasi dari Roderigo. Cassio diadaptasi ke tokoh iksi Patih Danang. Sementara itu, Mpu Gandring yang menjadi ikon kisah Ken Arok tidak terdapat padanannya pada Othello.

Dialog.

Dialog Ken Arok setia pada ilm Othello besutan Oliver Parker. Adaptasi media ilm layar lebar menjadi tayangan televisi dititikberatkan pada pemecahan scene. Scene panjang pada ilm Othello dipecah menjadi beberapa scene tanpa mengubah dialog.

(6)

ilm, panjang scene ini adalah 4 halaman, berisikan percakapan intens hanya antara Othello dan Iago. Pada FTV, scene tersebut dipecah menjadi scene 36, 37, dan39, dengan tambahan intrik scene 38 yakni Ken Arok sengaja membunuh rekan seperjuangannya demi meyakinkan kesetiaannya pada Tunggul Ametung. Lokasi dan adegan scene juga berubah, dari gudang persenjataan dengan aktiitas membersihkan senjata selepas latihan pada Othello menjadi persiapan berburu di depan pekuwuan, berlanjut adegan berburu di hutan, dan berakhir sepulang berburu di pekuwuan kembali.

Gambar 9: Scene 71 Othello dan Iago membersihkan

senjata selesai berlatih. Pemadatan plot juga dilakukan. Plot Brabantio

mendatangi Council Chamber untuk meminta pertanggungjawaban Othello yang dituduh telah menculik Desdemona, dan plot berakhir dengan pilihan Desdemona untuk mengikuti Othello berperang melawan Kesultanan Ottoman. Pada ilm, scene tersebut dimulai pada scene 13 sampai scene 28 (kurang lebih 8 halaman) pada ucapan Brabantio, “Look to her, Moor, if thou hast eyes to see: / She has deceived her father, and may thee”.

Maka pada FTV Ken Arok, scene tersebut dipadatkan menjadi scene 13 yakni kedatangan Mpu Parwa meminta pertanggungjawaban Tunggul Ametung yang menculik Ken Dedes, berlanjut dengan penjelasan Ken Dedes untuk menikah dengan Tunggul Ametung, dan berakhir dengan kalimat Mpu Parwa, “Dia yang telah menipu ayah kandungnya, mungkin nanti dia akan menipu kau juga.” (kurang lebih 2 halaman). Scene 28 ilm Othello masih berlanjut, sampai kurang lebih 3 halaman, Roderigo menemui Iago secara sembunyi setelah semua orang meninggalkan Council Chamber. Pada FTV menjadi scene 16 yang lepas berdiri sendiri secara waktu dan lokasi yakni Kebo Ijo menemui Ken Arok.

Gambar 10: Scene 36 Ken Arok dan Tunggul Ametung

bersiap hendak berburu.

Gambar 11: Scene 37 Ken Arok dan Tunggul Ametung

berburu di hutan.

Gambar 12: Scene 38 Ken Arok bertempur dengan Damar

Jati di hutan saat berburu.

Gambar 13: Scene 39 Ken Arok dan Tunggul Ametung

selesai berburu.

Pada bagian selanjutnya akan diuraikan proses Othello menjadi Ken Arok menggemakan konsep invagination Derrida.

Dalam tulisannya he Law of Genre, Jacques Derrida memutus dan meniadakan kelekatan antara yang asli dan yang duplikat. Seperti dijelaskan di bagian awal, gagasan Derrida ini dengan mengumpamakan perkembangan teks mirip dengan perkembangan embrio, mulai dari sel sederhana, hingga menjadi organism kompleks yang disebutnya invagination. Seperti halnya embrio, maka teks mengalami proses pelipatan, yakni bagian luarnya melipat menjadi bagian dalam, lalu melipat lagi menjadi bagian luar, lalu bagian luar ini melipat lagi menjadi bagian dalam, demikian seterusnya.

Derrida mula-mula menjelaskan konsep genre. Menurutnya genre adalah wadah tertutup, ia membatasi dan menyeleksi segala sesuatu yang mengaku bagian darinya. Ketika sesuatu mengaku sebagai bagian dari genre tertentu, pada saat itu juga genre memperlihatkan kriterianya, norma-normanya, dan batasan-batasan apa yang membuat sesuatu layak diakui sebagai bagian dari genre itu.

As soon as the word “genre” is sounded, as soon as it is heard, as soon as one attempts to conceive it, a limit is

Gambar 14: Scene 28 Roderigo menemui Iago setelah

Council Chamber sepi.

Gambar 15: Scene 16 Kebo Ijo menemui Ken Arok di lokasi latihan prajurit Tumapel.

drawn. And when a limit is established, norms and interdictions are not far behind: “Do,” “Do not” says “genre,” the word “genre,” the igure, the voice, or the law of genre. (1980: 56)

Adanya proses seleksi melalui kriteria yang dimiliki oleh genre menyiratkan hadirnya oposisi ganda: sesuai atau tidak sesuai. Proses ini diperlukan oleh genre karena ia harus mempertahankan kemurniaan dan otoritasnya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang disandingkan sebagai bagian dari genre harus memiliki aturan yang sama. Gagal memiliki berarti penolakan.

Lebih lanjut Derrida menegaskan bahwa, “Genre tidak boleh bercampur” (halaman 55). Namun demikian, ekslusiitas genre tidak perlu dijauhi. Justru perlu dirasuk dan ikut berpartisipasi di dalamnya sehingga dimungkinkan untuk menguji setiap hukum yang dimilikinya, “What if there were, lodged within the heart of the law itself, a law of impurity or a principle of contamination?” (1980: 57) Upaya ini akan berbuah pada penggandaan yakni hadirnya entitas baru. Hadirnya entitas baru ini bukanlah dalam rangka oposisi ganda, karena jika demikian kekuasaan genre akan makin berlipat ganda.

Entitas baru ini adalah mengikuti prinsip kontaminasi dan ekonomi parasit, sehingga yang dihasilkan adalah “hukum di dalam hukum” yang sudah dikandung oleh genre yang dirasuki itu. Namun, menjadi parasit harus dipahami sebagai partisipasi di dalam genre tanpa menjadi bagian dari genre itu. Hukum utama yang dimilikinya tetap diserap, tetapi ditolak pada saat bersamaan sebagai bentuk ketidaksetiaan atas genre itu. Penolakan ini tidak harus dipahami sebagai upaya pemisahan diri, “a sort of participation without belonging – a taking part in without being part of, without having membership in a set.”

(7)

Proses adaptasi Othello menjadi FTV Ken Arok menggemakan invaginasi Derrida. Hukum, norma, kriteria yang mengalir di dalam Othello dirasuki, dipahami untuk kemudian menjadi ‘hukum di dalam hukum’, mengalir dan menjadi parasit di dalam Othello, tetapi tidak berpartisipasi. Ia hanya mengawasi sebagai hukum baru, entitas baru.

Pada bagian sebelumnya sudah diperlihatkan bagaimana plot Othello tidak mengalami perubahan. Dimulai dari Desdemona melarikan diri untuk menikah secara diam-diam dengan Othello. Sedangkan Ken Arok dimulai dengan Tunggung Ametung menculik Desdemona. Lantas set up alasan Desdemona mau menikah dengan Othello, demikian pula set up alasan Ken Dedes mau menikahi Tunggul Ametung. Sampai dengan kedatangan Brabantio ingin menjemput kembali Desdemona yang menolak ajakan ayahnya, demikian pula Ken Dedes yang menolak diajak pulang oleh ayahnya. Plot yang menjadi tulang punggung Othello diamati dan dikuasai menjadi kekuatan bagi Ken Arok.

Hal yang sama juga dilakukan pada dialog. Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan dialog yang menjadi tulang punggung Othello digunakan secara maksimal dalam Ken Arok. Maka, ketika Ken Arok berkembang sebagai parasit di dalam Othello, ia melipat bagian luar Othello dan muncul ke permukaan sebagai Ken Arok. Tetapi, apabila Ken Arok dilipat menjadi bagian dalam, maka yang muncul dipermukaan adalah Othello.

Kesimpulan

Pada bagian ini akan dijawab pertanyaan utama seputar persoalan adaptasi, yakni: apakah karya adaptasi masih memiliki hubungan yang erat dengan aslinya sebagai sebuah hierarki yang asli dan yang duplikat? Apakah karya adaptasi tidak mungkin dianggap sebagai karya mandiri yang hadir sebagai dirinya sendiri tanpa harus diperhitungkan jejak-jejak yang hadir di dalamnya?

Menjawab pertanyaan tersebut, konsep invagination Derrida membantu menjernihkannya. Pada kasus naskah Othello

Shakespeare menjadi ilm Othello proses yang terjadi adalah adaptasi yang memiliki oposisi ganda. Artinya, ilm Othello baru dapat disebut

sebagai Othello karya Shakespeare apabila seluruh elemen yang dimiliki oleh naskah asli diadaptasi secara setia ke dalam ilm. Pertimbangan perbedaan media ilm dan panggung teater tidak menyebabkan ilm Othello keluar dari “hukum genre” yang dimiliki naskah Othello. Dalam hal ini, kesetian mengadaptasi menjadi penilaian. Maka hierarki antara yang asli dan yang duplikat menjadi diperhitungkan secara ketat. Keberhasilannya bergantung pada kadar kesetiaannya.

Adaptasi yang dilalui dari ilm Othello menjadi FTV Ken Arok mengalami proses berbeda yang menggemakan konsep invagination Derrida. Ken Arok tidak memiliki hierarki dengan ilm Othello karena entitasnya adalah baru. Tetapi, hukum yang mengalir di dalam Ken Arok adalah hukum, norma, serta kriteria “genre Othello”.

Dengan demikian, proses ini tidak berakhir pada Ken Arok. Teks Ken Arok tetaplah sebagai teks terbuka, yang jika diintervensi dan dirasuki dan dikuasai hukumnya dengan turut berpartisipasi tanpa menjadi bagiannya, maka akan muncul teks baru lagi yang tidak memiliki berhierarki sebagai yang original dan yang duplikat, melainkan sebuah entitas baru.

Daftar Pustaka

Adakita, Didya. Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Jakarta: Diwangkara Citra Suara Film, 2006. Tidak diterbitkan.

Andrew, Dudley. Concepts in Film heory. Oxford, London: Oxford University Press, 1984.

Balazs, Bela. heory of the Film. Terj. Edith Bone. London: Dennis Dobson LTD, 1952.

Bazin, André. “In Defense of Mixed Media.” What is Cinema? Vol. 1. Editor dan penerjemah oleh Hugh Gray. Berkeley: University of California Press, 1967.

Derrida, Jacques. “he Law of Genre.” Terjemahan Avital Ronell. Dalam Critical Inquiry, Vol. 7. No. 1. On Narrative. Chicago: he University of Chicago Press, 1980. Halaman 55-81.

Mitry, Jean. “Remarks on the Problem of Cinematic Adaptation.” he Bulletin of the Midwest Modern Language Association, Vol 4. No. 1. 1971. Halaman: 1-9.

Parker, Oliver. Othello. Los Angeles: Castle Rock Entertainment, 1995. Tidak diterbitkan.

Shakespeare, William. Othello: he Moor of Venice. With related reading. Minnesota: EMC/Paradigm Publishing, 2005.

Toer, Pramoedya Ananta. Arok Dedes. Jakarta: Lentera Dipantara: 2006.

Wortham, Simon Mongan. he Derrida Dictionary. London: Continuum International, 2010.

Film:

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Skenario: Didya Adakita. Produksi Diwangkara Cirta Suara Film, 2006. Tayang di Indosiar.

Gambar

Gambar 1: adengan ciuman pertama yang hadir di dalam sinema
Gambar 3: Gesture dan ekspresi Iago terkait ucapan Brabantio tentang Desdemona kepada Othello dikemudian hari.
Gambar 7: Othello menganugrahkan belati kepada Cassio sebagai tanda kenaikan pangkat.
Gambar 12: Scene 38 Ken Arok bertempur dengan Damar Jati di hutan saat berburu.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Ada hubungan yang signifikan antara tindakan personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Bilalang Kota Kotamobagu.. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak

Yang dimaksud dengan jual lepas adalah suatu transaksi dimana satu pihak menyerahkan kepemilikannya atas tanah untuk selama-lamanya kepada pihak lain/pihak ke-2 dan pihak ke-2

Studi kasus yang menjadi pokok bahasan penelitian ini adalah digunakan untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada klien Skizofrenia Tipe Manik dengan

mahasiswa dalam menyusun skripsi adalah banyaknya mahasiswa yang tidak.. mempunyai kemampuan tulis-menulis, adanya kemampuan akademis

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan data dari laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdapat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun

Jadi tujuan dari peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi hak para bayi untuk memperoleh ASI Eksklusif, untuk mengetahui dan

Analisis data yang digunakan adalah (1) Analisis, biaya, penerimaan dan keuntungan untuk mengetahui keuntungan usaha bandeng presto dalam satu bulan, (2) Internal

Terbitnya Sertifikasi Lembaga Diklat Provinsi Sumatera Barat sesuai Standar I Padang Besi, Padang Terkendalinya Standar Mutu ISO Badan Diklat Rp80.000.000 Terkendalinya Standar