• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerimaan Korban Kejahatan Seksual dan Dokter Terhadap Langkah-Langkah Pemeriksaan di Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penerimaan Korban Kejahatan Seksual dan Dokter Terhadap Langkah-Langkah Pemeriksaan di Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

di Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Mohammad Ardhian Syaifuddin, Yuli Budiningsih, Oktavinda Safitry

Department of Forensic Medicine & Legal Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta 10430, Indonesia

E-mail:muhammad.ardhian@ui.ac.id, yuli.budiningsih@ui.ac.id, oktavinda.safitry@ui.ac.id Abstrak

Makalah ini membahas tentang apakah korban-korban kejahatan seksual yang diperiksa di pusat krisis terpadu rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dan dokter-dokter yang sehari-harinya memeriksa korban-korban kejahatan seksual menerima langkah-langkah protokol pada pusat pelayanan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif fenomenologi dan data dikumpulkan dengan menggunakan in-depth interview terhadap 10 responden korban kejahatan seksual yang diperiksa di pusat krisis terpadu rumah sakit Cipto Mangunkusumo dan focus group discussion terhadap 4 responden dokter. Hasil menunjukkan bahwa seluruh responden korban bersedia diperiksa dengan langkah tersebut dan responden dokter menerima langkah-langkah tersebut dalam praktek sehari-hari.

The Acceptance of Sexual Violance Victims and Physicians of the Examination Methods in The Integrated Crisis Center Cipto Mangunkusumo Hospital

Abstract

This paper discusses whether victims of sexual violance who’s examined in the integrated crisis center of Cipto Mangunkusumo hospital and doctors who regularly examine the victims are accepting the step-by-step protocol at the service center. This is a qualitative phenomenology research and data were collected using in-depth interviews with 10 respondents of sexual violent victims whose examined in an integrated crisis center Cipto Mangunkusumo hospital and a focus group discussion with 4 physician respondents. The result showed that all the victim respondents are willing to be examined with these methods and the physician respondents accepting the methods in daily practice.

Keywords: forensic medicine, hospital, sexual violence

Latar Belakang

Indonesia secara geografis-yuridis adalah negara timur, yaitu negara yang selain letaknya di timur, juga menganut nilai-nilai adat dan budaya timur. Berbeda dengan di dunia barat, hal-hal yang berkaitan dengan seks dan hubungan seksual masih menjadi hal-hal yang tabu untuk dibicarakan. Penyensoran masih ada di sana sini. Bahkan pada tahun 2008 disahkan undang-undang nomor 44 tentang pornografi yang mengatur perilaku seksual masyarakat Indonesia.1

Hubungan seksual pra-nikah juga menjadi hal yang sangat tabu, seseorang yang ketahuan melakukannya dapat menerima sanksi atau tekanan sosial. Akhir-akhir ini juga sedang ramai

(2)

dibicarakan apakah hubungan seksual antara dua orang yang belum menikah akan diatur melalui KUHP dan dapat dikenai sanksi pidana.2

Di Amerika Serikat, karena nilai-nilai budaya yang berbeda dengan yang dianut di Indonesia, pasangan di luar nikah (bukan suami istri) umum melakukan hubungan seksual. Menurut statistik pada tahun 2000, antara 75 sampai 80 % penduduk Amerika Serikat pernah melakukan hubungan badan per vaginam di luar pernikahan, hal ini salah satunya dikarenakan tersedia dengan bebasnya alat-alat kontrasepsi seperti kondom.3 Resiko terjadinya kejahatan seksual dengan pasangan juga semakin meningkat. Korban kejahatan seksual di Amerika tidak diharuskan untuk melaporkan peristiwa tersebut ke kepolisian, sehingga sebagian korban datang terlebih dahulu ke pusat pelayanan kesehatan.

Sementara korban-korban kejahatan seksual di Indonesia, menurut data dari Pusat Krisis Terpadu (PKT) untuk perempuan dan anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), seluruhnya datang ke pusat pelayanan tersebut dengan membawa surat permintaan visum, yang artinya korban terlebih dahulu telah melaporkan kejadian ke polisi atau penyidik. Dari kantor penyidik, korban dirujuk ke pusat pelayanan forensik untuk pembuatan visum. Namun korban juga kadang tidak siap dan kaget saat diberitahukan dokter akan memeriksa alat kelaminnya, apalagi bila dokter pemeriksanya adalah laki-laki, karena di kantor penyidik korban hanya dikatakan akan divisum tanpa menyebutkan rincian pemeriksaan yang dilakukan.

Terlebih lagi apabila korban dan pelaku melakukan hubungan seksual atas dasar ‘suka sama suka’, tanpa sebelumnya mengetahui hukum yang berlaku, atau mengetahuinya tetapi meremehkannya. Tiba-tiba saja pelaku, yang bisa saja pada saat itu statusnya sebagai pacar korban, dilaporkan oleh, misalnya orang tua korban, ke penyidik, walaupun korban berusia sama atau lebih dari 18 tahun tetapi misalnya masih tinggal dan masih diasuh/ dipenuhi kebutuhannya oleh orangtua.

Dari data di PKT, setidaknya antara bulan April 2012 sampai Maret 2013, terdapat 294 korban kejahatan seksual yang diperiksa. Dari 294 kasus tersebut, 63 kasus di antaranya atau 21,43% adalah hubungan seksual yang berdasarkan ‘suka sama suka’, yang ternyata dilaporkan oleh pihak lain/ bukan korban yang sendiri yang melaporkan kejadian.

(3)

Kejahatan seksual merupakan peristiwa yang dapat memberikan trauma psikis pada korban karena bersifat menjatuhkan harga diri dan martabat korban, yang membuat korban merasa malu dan direndahkan. Saat dikirim oleh penyidik ke pusat pelayanan kesehatan untuk pembuatan visum, pada korban akan diperiksa tanda-tanda kekerasan dan tanda-tanda persetubuhan. Tanda-tanda tersebut merupakan benda bukti yang nantinya akan menyembuh sehingga tidak dapat dihadirkan ke sidang pengadilan dan harus dituangkan oleh dokter ke dalam bentuk visum et repertum. Peristiwa kejahatannya saja sudah berpotensi menimbulkan trauma, ditambah proses pemeriksaannya. Bila tidak dilakukan dengan benar, maka pemeriksaan itu akan menimbulkan trauma psikis yang lebih dalam, misalnya mengingatkan korban atas peristiwa kejahatan seksual yang menimpanya.

Menurut pasal 133 KUHAP, tertulis bahwa untuk membantu membuat terang suatu perkara, penyidik dapat meminta bantuan seorang dokter ahli kehakiman, atau ahli lainnya, untuk memeriksa barang bukti berupa manusia, atau yang diduga merupakan bagian dari tubuh manusia, baik korban mati ataupun korban hidup.4 Apabila seorang korban hidup datang ke dokter forensik atau instalasi pelayanan forensik untuk dilakukan pemeriksaan dengan diantar oleh penyidik disertai surat permintaan visum, korban tersebut harus diperiksa, sesuai dengan kasus yang tertera pada surat permintaan visum. Dalam pemeriksaan korban-korban kejahatan seksual, salah satu prinsip terpenting adalah bagaimana agar korban merasa nyaman, tidak merasa ‘diperkosa dua kali’, kehormatan dan martabatnya pun tetap terjaga. Sedangkan dokter dapat memeriksa korban dan mengumpulkan alat bukti sehingga dapat dibuat visum et repertum yang nantinya dapat digunakan untuk proses persidangan. Pelaku kejahatan seksual diharapkan akan tertangkap dan mendapat sanksi, sehingga resiko pelaku untuk berbuat kejahatan yang sama terhadap korban atau orang lain tidak ada, dan tidak akan terjadi keresahan di masyarakat.

Di Indonesia belum ada protokol baku tentang pemeriksaan korban-korban kejahatan seksual, sehingga pemeriksan antara satu pusat pelayanan dengan pusat pelayanan yang lainnya belum tentu sama. WHO pada tahun 2003 telah membuat protokol penatalaksanaan medikolegal bagi korban-korban kejahatan seksual. Indonesia, sebagai anggota PBB, dapat mengadopsi protokol tersebut. RSCM pun telah mendirikan PKT untuk pelayanan korban-korban kejahatan seksual dengan membuat protokolnya sendiri. Tetapi apakah korban-korban kejahatan seksual tersebut akan nyaman dengan seluruh langkah yang dilakukan oleh pemeriksa/ tenaga kesehatan kepada korbannya? Di dalam protokol tersebut juga dijelaskan

(4)

seorang korban harus terus menerus di-informed consent tentang tindakan-tindakan yang akan dilakukan pemeriksa, termasuk manfaat dari jenis pemeriksaan yang dimaksud. Korban apabila sewaktu-waktu tidak merasa nyaman, dapat menolak pemeriksaan dan pemeriksa harus menghargai keputusan korban.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah teknik pemeriksaan korban kejahatan seksual di PKT RSCM layak diterapkan di Indonesia. Tujuan khususnya adalah untuk mengetahui apakah pada korban bersedia dan setuju diperiksa sesuai dengan langkah-langkah pemeriksaan di PKT RSCM tersebut, serta untuk mengetahui penerimaan dokter yang berpraktek dan bertugas melakukan pemeriksaan korban kejahatan seksual di Indonesia terhadap hasil penerimaan dari korban-korban yang diperiksa di PKT RSCM terhadap langkah-langkah pemeriksaan tersebut.

Tinjauan Teoritis

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada seluruh manusia tanpa membedakan bangsa, ras, dan jenis kelamin, yang bersifat sangat mendasar dan mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan cita-cita dan martabatnya. Secara objektif, prinsip perlindungan HAM antara negara yang satu dengan negara yang lain adalah sama, tetapi secara subyektif pelaksanaannya disesuaikan dengan perbedaan latar belakang, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan perbedaan kepentingan nasional dari masing-masing negara.5

Di Indonesia sudah ada undang-undang yang mengatur tentang HAM yaitu undang-undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999. Bab yang berkaitan dengan pemeriksaan di bidang forensik adalah bab III, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, bagian ke satu, hak untuk hidup.6

Pada pasal 21 dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya.6 Yang dimaksud dengan menjadi objek penelitian adalah kegiatan menempatkan

seseorang sebagai pihak yang dimintai komentar, pendapat, atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data. Tetapi pada undang-undang tersebut tidak ada yang

(5)

menyatakan secara spesifik tentang pemeriksaan korban-korban kejahatan seksual karena bersifat umum.

Berdasarkan data WHO tahun 2003, sekitar satu dari lima perempuan pernah menjadi korban pemerkosaan atau nyaris menjadi korban pemerkosaan oleh pasangan intim mereka.7 Sedangkan di Amerika Serikat berdasarkan The National Intimate Partner and Sexual Violance Survey tahun 2010, 18,3% perempuan dan 1,4% laki-laki pernah menjadi korban kejahatan seksual.8 Selain beresiko menderita penyakit menular seksual, korban-korban kejahatan seksual tersebut juga beresiko menderita gangguan kejiwaan seperti post-traumatic stress disorder (PTSD).9

Di Indonesia, hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Menurut undang-undang tersebut, kejahatan terhadap kesusilaan terbagi menjadi perbuatan cabul, perzinahan, dan pemerkosaan.10 Kejahatan seksual juga dibahas di undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002.11

Pada tahun 2003 di Jenewa, WHO melalui kerjasama antara Departemen Pencegahan Kekerasan dan Luka Luka (Department of Injuries & Violence Prevention), dan Departemen Kesehatan Wanita & Jender (Department of Gender and Women's Health) merumuskan dan mengesahkan suatu protokol penatalaksanaan (guidelines) medikolegal bagi korban-korban kejahatan seksual.9

Protokol tersebut membahas penatalaksanaan korban-korban kejahatan seksual, baik perempuan dewasa, laki-laki dewasa, maupun anak-anak. Penatalaksanaan yang dijelaskan secara langkah per langkah mulai dari fasilitas yang diperlukan bagi pemeriksaan, wawancara/ anamnesis, pemeriksaan fisik, pengambilan spesimen dan pemeriksaan laboratorium, sampai follow-up, pengobatan, dan pendokumentasian data yang diambil dari korban, yang tercantum dalam 8 bab.9

Pada protokol ini dijelaskan pentingnya informed consent sebelum memulai seluruh tindakan pemeriksaan. Di beberapa yurisdiksi (wilayah berlakunya hukum) di Amerika Serikat keterangan yang diajukan di pengadilan tidak sah apabila proses pengambilan keterangan tersebut tidak disertakan informed consent. Pihak pemeriksa pun akan dirugikan karena dapat

(6)

terkena tuduhan penyerangan/ penganiyaan atau penerobosan wilayah pribadi tertentu (trespass). Pada pemeriksaan fisik, seorang pasien harus dijelaskan terlebih dahulu bagian tubuh apa yang akan diperiksa, bagian mana yang akan disentuh, serta instrumen apa saja yang akan dipakai. Pasien boleh menolak seluruh atau sebagian tindakan yang dilakukan dan pemeriksa harus menghormati keputusan pasien.9

Sayangnya, di Indonesia belum ada suatu protokol nasional ataupun suatu perundang-undangan yang spesifik menjelaskan tentang penyelenggaraan pemulihan korban kejahatan seksual. Pemeriksaan korban kejahatan seksual di Indonesia secara umum meliputi kerjasama dari penyidik, dokter, pekerja sosial, serta psikolog atau psikiater apabila dibutuhkan.12

Dokter harus menjelaskan prinsip dan tujuan dari pemeriksaan, tatalaksana, serta interpretasi hasil pemeriksaan kepada korban serta orangtua atau perwalian korban apabila korban masih anak-anak dan menandatangani informed consent.12

Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence sampai saat ini menjadi acuan dalam pemeriksaan korban-korban kejahatan seksual di seluruh dunia, dan seharusnya dapat diadopsi menjadi protokol penatalaksanaan korban-korban kejahatan seksual di Indonesia dengan beberapa penyesuaian. Terdapat beberapa point dari protokol yang berkaitan langsung dengan pemeriksaan korban yang menyangkut anamnesis/ wawancara, pemeriksaan fisik, sampai pengambilan sampel untuk pemeriksaan laboratorium. Dari sana dapat dipraktekkan ke korban dan apakah korban bersedia memenuhi langkah-langkah pemeriksaan tersebut, sampai sejauh mana korban mau diintervensi oleh dokter pemeriksanya. Karena protokol tersebut juga menyebutkan bahwa korban harus diberitahu apa yang akan dilakukan terhadap dirinya dan korban dapat menyetop pemeriksaan kapan pun korban tidak bersedia diperiksa.9 Pada pemeriksaan korban kejahatan seksual, terdapat beberapa kaidah dasar bioetika yang muncul. Justice di bidang kedokteran dan pelayanan kesehatan lebih dititiberatkan pada keadilan dalam memperoleh pelayanan kesehatan dan harus dibedakan dengan criminal justice yaitu bidang yang membahas pemberlakuan hukuman pidana, atau dengan rectificatory justice yang membahas kompensasi persoalan-persoalan transaksi. Justice di bidang kedokteran atau pelayanan kesehatan berfokus pada distributive justice atau distribusi hak dan tanggung jawab di masyarakat termasuk, contohnya, hak-hak sipil dan politik.13 Dari

(7)

Kaidah dasar bioetik selanjutnya adalah non maleficence yang menekankan pada perbuatan do no harm, tidak bermaksud menyakiti pasien.13 Dalam kasus kejahatan seksual, korban-korban sudah sangat direndahkan martabatnya oleh pelaku. Sehingga pada norma non maleficence ditekankan bagaimana caranya agar tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter, tidak menambah beban mental serta tidak menjatuhkan martabat korban lebih jauh lagi.

Kaidah dasar bioetik lainnya yang juga muncul dalam pemeriksaan korban-korban kejahatan seksual adalah beneficence. Beneficence, secara umum adalah perilaku berbelas kasih, kebaikan, dan amal.13 Beneficence di dalam dunia kedokteran berkaitan dengan bagaimana seorang tenaga kesehatan termasuk dokter memenuhi kebutuhan/ kepentingan pasien. Di dalam pemeriksaan korban kejahatan seksual, beneficence dikaitkan dengan perbuatan seorang dokter dalam memeriksa korban-korban tersebut, yang nantinya hasil pemeriksaannya akan dijadikan alat bukti di pengadilan. Dokter bermaksud membantu penyidik untuk menegakkan hukum. Dokter juga harus waspada terhadap kebutuhan dan harapan dari korban, mempertunjukkan rasa welas asih dan sensitif terhadap kesulitan pasien, serta mempertahankan obyektivitas.9

Secara umum, kasus kejahatan seksual merupakan delik aduan, tetapi menurut KUHP, apabila korban berusia di bawah 12 tahun, maka kasus tersebut bukan merupakan delik aduan lagi, sehingga pelakunya harus mendapatkan sanksi.10 Bagi korban-korban berusia di atas 18 tahun, tidak ada kewajiban melapor, tetapi apabila korban tidak melapor, maka pelaku kejahatan seksual akan bebas, sehingga peluang terjadinya kejahatan seksual lain menjadi lebih besar. Hal itu mengakibatkan masyarakat menjadi tidak aman. Jadi selain bermaksud memberikan pertolongan yang terbaik pada korban, secara tidak langsung dokter juga menerapkan prinsip beneficence untuk kehidupan bermasyarakat.

Tetapi, beneficence juga dikaitkan dengan status kesehatan dari korban. Hal yang diutamakan dalam penatalaksanaan korban kejahatan seksual adalah kesehatan dan kesejahteraan pasien. Sikap yang hanya mengutamakan pemeriksaan untuk proses peradilan tanpa mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan pasien dianggap sebagai kelalaian.9

Kaidah dasar bioetik yang juga muncul adalah otonomi. Otonomi berasal dari bahasa Yunani yang berarti autos yang berarti sendiri/ self, dan nomos yang berarti peraturan, atau hukum/ governance. Self governance awalnya bersifat publik, yaitu daerah pemerintahan yang

(8)

menjalankan pemerintahannya sendiri. Namun istilah tersebut juga berkembang mencakup ruang lingkup individu yaitu privacy, hak untuk bebas, pilihan individu, dan menentukan nasib sendiri.14 Di bidang kedokteran dan pelayanan kesehatan, prinsip otonomi berhubungan dengan informed consent, hak seorang pasien dalam menentukan pilihan dalam penanganan medis mulai dari prosedur diagnostik sampai terapi/ pengobatan.

Alat kelamin seorang perempuan, yaitu area yang menjadi ‘target’ kejahatan seksual, adalah area tubuh yang sangat pribadi. Tidak sembarang orang dapat melihat atau bahkan menyentuh area tersebut. Seorang dokter atau tenaga kesehatan dapat melihat dan menyentuh area tersebut apabila dibutuhkan dalam pemeriksaan dan pengobatan. Tetapi proses pemeriksaan itu pun juga harus disertai pemberian informasi dahulu dari tenaga kesehatan kepada pasien yang akan diperiksa, dan pasien harus memberikan informed consent-nya terlebih dahulu. Apabila pasien berkeberatan dengan pemeriksaan, maka pasien boleh menolak untuk memberikan informed consent.

Korban kejahatan seksual juga membutuhkan pemeriksaan pada area kelamin oleh dokter yang membuat visum et repertum. Tetapi apakah seorang korban kejahatan seksual dapat menolak pemeriksaan alat kelaminnya? Seorang korban dapat saja tidak mengetahui sebelumnya bahwa ia akan diperiksa alat kelaminnya sewaktu ia melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang menimpa dirinya ke kepolisian. Ia menolak dan hanya mau diperiksa tanda kekerasannya saja. Otonomi masih melekat pada dirinya. Oleh karena itu seorang dokter harus menghargai keputusannya, tidak mencoba mengintervensi, menghargai privacy, harkat dan martabatnya. Kode etik kedokteran Indonesia tahun 2001, pasal 7c menyatakan tentang kewajiban seorang dokter dalam menghormati hak-hak pasien.15

Namun otonomi seorang korban ternyata terbentur dengan kepentingan hukum. Seperti pada kaidah dasar bioetik beneficence yang telah dijelaskan, ternyata seorang korban yang menolak pemeriksaan tidak hanya merugikan dirinya sendiri karena mengurangi alat bukti di pengadilan. Kemungkinan seorang pelaku untuk lepas dan tidak dikenai sanksi menjadi lebih besar. Pelaku tersebut dapat saja melakukan kejahatan yang sama terhadap orang lain sehingga kehidupan sosial bermasyarakat akan ternganggu dan akan menimbulkan keresahan. PKT RSCM berlokasi di instalasi gawat darurat (IGD) lantai 1, di bawah manajemen IGD. Fasilitas ini didirikan pada Juni 2000 sebagai suatu pusat krisis yang berbasis rumah sakit

(9)

yang bertujuan untuk membantu proses penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak secara terpadu.16 PKT RSCM telah mempunyai standard prosedur operasional (SPO) yang diresmikan pada 5 Oktober 2013 yang terdiri atas pengertian, tujuan, kebijakan, prosedur, dokumen terkait dan unit terkait. Tata kelola pelayanan di PKT tersebut yang sudah dibuat SPO-nya yang menurut pendirinya merupakan modifikasi dari berbagai macam sumber termasuk guidelines WHO.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif studi fenomenologi, dengan mempergunakan in-depth interview untuk mengeksplorasi perasaan, pendapat, dan persepsi mengenai langkah-langkah yang langsung berhubungan dengan pemeriksaan korban pada protokol pemeriksaan di PKT RSCM. Kemudian akan dilanjutkan dengan focus group discussion yang digunakan untuk membahas hasil in-depth interview tersebut. Penelitian ini dilaksanakan di PKT RSCM, Jakarta, dan Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia antara bulan Mei sampai Juni tahun 2013.

Penelitian dengan in-depth interview menggunakan teknik purposive sampling, yaitu subyek penelitian sesuai dengan karakteristik yang sudah ditentukan sebelumnya. Subyek penelitian adalah korban-korban kejahatan seksual, baik yang datang dengan disertai surat permintaan visum atau tidak, yang diperiksa di PKT RSCM, perempuan, dengan usia minimal 12 tahun. Subyek penelitian focus group discussion adalah dokter yang memeriksa dan membuat visum et repertum korban-korban kejahatan seksual yang berpraktek di Indonesia.

Hasil Penelitian

Dari in-depth interview, didapatkan subyek berdasarkan usia: satu orang berusia 19 tahun, lima orang berusia 17 tahun, satu orang berusia 16 tahun, satu orang berusia 14 tahun, dan dua orang berusia 12 tahun. Berdasarkan surat permintaan visum (SPV): dua orang dikirim dari Polda Metro Jaya, dua orang dikirim dari Resort Metro Jakarta Utara, satu orang dikirim dari Resort Metro Jakarta Timur, dua orang dikirim dari kepolisan Resort Metro Jakarta Barat, dua orang dikirim dari kepolisian Resort Metro Jakarta Selatan, dan satu orang datang tanpa membawa SPV.

(10)

Berdasarkan pasal yang dipakai pada SPV, tujuh orang merupakan korban dugaan persetubuhan di bawah umur atau persetubuhan dengan anak (pasal 81 UURI 23/2002), dan dua orang merupakan korban dugaan perbuatan cabul (pasal 290 KUHP).

Responden yang datang langsung ke PKT tanpa membawa SPV mengaku datang atas keinginan sendiri, satu dari sembilan responden yang datang dengan membawa SPV datang untuk melaporkan kejadian atas keinginan sendiri, sedangkan satu orang responden yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga mengaku bahwa kejadian dilaporkan oleh majikannya, dan tujuh orang lainnya datang karena kejadian dilaporkan oleh anggota keluarga dari responden seperti ayah atau ibu, yang mengetahui kejadian hubungan seksual antara responden yang masih di bawah umur dengan pelaku. Berdasarkan dokter pemeriksa dari departemen forensik, enam responden diperiksa oleh dokter laki-laki, dan empat responden diperiksa oleh setidaknya satu orang dokter perempuan.

Dari wawancara dengan subyek didapatkan tema-tema berupa: Pemberitahuan di kepolisian tentang proses pemeriksaan di pusat krisis terpadu, isu pemeriksaan oleh dokter dengan jenis kelamin yang berbeda dengan responden, anamnesis, pemeriksaan, pengambilan foto, kecepatan pelayanan, dan pemeriksaan kehamilan di departemen kebidanan dan kandungan. Dari focus group discussion didapatkan empat orang responden dengan karakteristik sebagai berikut: Satu orang merupakan dokter spesialis forensik perempuan yang berdinas di RSCM, sempat menjalani penempatan pendidikan di Rumah Sakit Umum Tangerang, dan berpengalaman memeriksa korban-korban dugaan kejahatan seksual sejak tahun 2007. Satu orang merupakan dokter spesialis forensik laki-laki yang berdinas di Rumah Sakit Persahabatan dan sempat menjalani pendidikan di RSCM, berpengalaman memeriksa korban-korban dugaan kejahatan seksual sejak tahun 2009. Satu orang merupakan dokter umum perempuan yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis forensik di RSCM dan berpengalaman memeriksa korban-korban dugaan kejahatan seksual sejak tahun 2010. Satu orang merupakan dokter umum laki-laki yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis forensik di RSCM, berpengalaman memeriksa korban-korban dugaan kejahatan seksual sejak tahun 2010.

Sedangkan dari diskusi dengan subjek focus group discussion, didapatkan tema-tema pengetahuan terhadap guidelines WHO dan protokol yang digunakan di rumah sakit tempat

(11)

responden bekerja, kerjasama pemeriksaan korban dengan sejawat dari kebidanan & kandungan dan psikiatri, penciptaan suasana yang nyaman agar korban mau diperiksa, pemeriksaan oleh dokter yang berjenis kelamin berbeda dengan korban, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pengambilan foto, dan tentang protokol penanganan korban kejahatan seksual di PKT RSCM.

Pembahasan

Pada in-depth interview, pertanyaan-pertanyaan awal yang diajukan oleh peneliti awalnya berupa pertanyaan-pertanyaan terbuka, tetapi kemudian dijawab dengan pendek-pendek oleh para responden, sehingga pertanyaan-pertanyaan diubah menjadi bentuk tertutup. Hal ini dikarenakan setidaknya ada dua faktor, yaitu faktor budaya, juga faktor dari peneliti.17

Dua macam kebudayaan yang ada di dunia adalah budaya timur dan budaya barat. Indonesia menganut budaya timur yang mementingkan kerohanian, perasaan, gotong-royong dan menjaga keharmonisan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Sedangkan budaya barat dicirikan menekankan dunia objektif dibandingkan perasaan.17 Hal ini pun juga berpengaruh pada perbedaan dalam pengungkapan perasaan antara orang timur dan orang barat, yaitu orang barat lebih mampu terbuka dalam mengungkapkan perasaannya dibandingkan orang timur. Satu orang responden menyatakan bahwa ia merasa salah walaupun saat diperiksa statusnya adalah sebagai korban dan mengatakan bahwa diperiksa di PKT RSCM karena juga mau ‘diobatin’.

Faktor kedua adalah faktor dari peneliti yang memiliki jenis kelamin berbeda dengan semua responden. Seluruh responden mengatakan malu apabila diperiksa oleh dokter yang berjenis kelamin berbeda. Hal ini juga dapat berpengaruh pada in-depth interview, sehingga jawaban responden cenderung pendek-pendek.

Sepuluh orang responden direncanakan untuk hadir pada focus group discussion (FGD), yang terdiri atas tiga responden dari RSCM, satu responden dari Rumah Sakit Persahabatan, tiga orang dari Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang, dan tiga orang dari Rumah Sakit Kepolisan Pusat R.S. Sukanto. Tetapi yang dapat hadir pada waktu yang ditentukan hanya empat orang responden. Menurut Greenbaum, FGD sudah dapat dilakukan dengan jumlah peserta empat orang.18

(12)

Dari in-depth interview ditemukan fakta bahwa hampir seluruhnya tidak mengetahui pemeriksaan yang akan dijalani. Hal ini menunjukkan ketidaktahuan akan protokol dari pemeriksaan di PKT RSCM. Sebagian menyatakan hanya tahu akan divisum tetapi tidak mengerti arti visum itu apa. Ada perasaan takut dari responden saat sebelum diperiksa. Dari FGD didapatkan bahwa dokter harus mengatasi keadaan ini dan membuat kondisi nyaman bagi korban terlebih dahulu dan agar korban percaya terhadap dokter pemeriksa dan mau diperiksa. Caranya antara lain mulai dari memperkenalkan diri, membina rapport, menjelaskan tujuan prosedur pemeriksaan.

Dari in-depth interview didapatkan bahwa seluruh responden merasa malu apabila diperiksa oleh dokter yang berjenis kelamin berbeda, dan tiga orang responden yang diperiksa oleh dokter perempuan sama sekali tidak mau diperiksa oleh dokter yang berjenis kelamin berbeda. Guidelines WHO tidak memaksa bahwa dokter-dokter pemeriksa atau tenaga kesehatannya harus seluruhnya perempuan, tetapi disarankan bahwa fasilitas kesehatan yang memeriksa korban-korban kejahatan seksual harus lebih banyak mempekerjakan dan lebih banyak menerima tenaga kesehatan perempuan.9 Sementara di protokol RSCM, tidak disebutkan secara spesifik mengenai jenis kelamin tenaga kesehatan yang memeriksa korban-korban di PKT.19

Responden FGD setuju apabila di fasilitas kesehatan yang menangani korban-korban kejahatan seksual lebih banyak mempekerjakan tenaga kesehatan perempuan, atau dibentuk tim yang terdiri dari bidan, perawat, atau pekerja sosial yang terlatih, sehingga mereka dapat melaporkan hasil pemeriksaan secara akurat kepada dokternya. Apabila terpaksa maka korban dapat dirujuk ke fasilitas lain bila ada, dengan sebelumnya diterangkan terlebih dahulu apa kerugiannya apabila tidak diperiksa.

Dari wawancara dengan responden, ternyata proses anamnesis dapat menjadi masalah, bukan dari segi isi atau konten dari pertanyaan-pertanyaannya, yang dianggap para responden tidak menghakimi, tetapi dari segi pengulangan pertanyaan. Berbeda dengan proses pemeriksaan di negara barat, contohnya di Amerika Serikat, korban-korban kejahatan seksual datang terlebih dahulu ke pusat pelayanan kesehatan untuk penanganan luka-luka, dan dokter pemeriksa pun selain menangani luka-luka juga menyarankan korban untuk melaporkan kejadian ke pihak

(13)

berwajib serta dokter pun telah bersiap membuat laporan apabila seandainya sewaktu-waktu diperlukan. Pemeriksaan merupakan sebuah kerjasama tim.20

Sedangkan di wilayah yang diamati oleh peneliti yaitu di Jakarta, pemeriksaan korban merupakan suatu proses yang berlapis. Di kepolisian, korban sudah ditanyakan kejadiannya terlebih dahulu, dan menurut salah satu responden pemeriksaan di kepolisian pun penuh dengan tekanan, digambarkan oleh salah satu responden bahwa responden sampai dipukul. Kemudian korban ditanya berulang-ulang di PKT oleh lebih dari satu dokter, dan ada responden yang mengatakan kesal. Akan lebih baik seandainya korban-korban tidak ditanya berulang kali.

Pada protokol di PKT RSCM tidak ada penjabaran secara spesifik dokter pemeriksa dari disiplin mana dahulu yang harus memeriksa, tetapi bila perlu dokter pemeriksa untuk pembuat visum dapat mengkonsultasikan kepada disiplin lain untuk tindakan dan/atau pengobatan medis selanjutnya terhadap korban.19 Berdasarkan FGD, responden mengatakan sebaiknya pemeriksaan dilakukan bersama-sama dengan disiplin lain.

Para responden in-depth interview mengatakan bahwa dokter-dokter pemeriksa dari forensik ramah. Pada protokol RSCM, pada langkah anamnesis hanya dijelaskan bahwa harus dilakukan upaya untuk memperoleh informasi kronologis peristiwa kekerasan yang dialami oleh korban.19

Berdasarkan hasil FGD, didapatkan pula bahwa seorang dokter tidak berhak untuk menghakimi korban atau menyatakan pendapat mengenai kejadian yang dialami korban apabila bertentangan dengan nilai moral yang dianut dokter. Yang dapat dilakukan dokter adalah sebatas edukasi terhadap resiko dari hubungan seksual.

Pada protokol RSCM, pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan status lokalis, dan pemeriksaan penunjang apabila diperlukan.19 Setiap pemeriksaan harus didampingi setidaknya satu tenaga kesehatan perempuan. Dengan tujuan memberikan rasa nyaman dan dukungan kepada korban. Pendamping perempuan juga bertujuan agar tenaga kesehatan terlindung dari tuduhan korban yang menyatakan bahwa petugas kesehatan berperilaku dalam cara yang tidak profesional.9

(14)

Seluruh responden in-depth interview menyatakan malu saat melakukan pemeriksaan fisik karena harus membuka celana dan celana dalamnya. Tetapi hanya satu orang yang merasa direndahkan martabatnya. Satu orang responden yang sebelumnya diperiksa di rumah sakit lain mengatakan pemeriksaan di PKT lebih nyaman dan tidak menyakitkan. Seluruh responden sebelumnya ditawarkan untuk didampingi oleh keluarga dan selalu didampingi minimal satu orang tenaga kesehatan yang berjenis kelamin sama dengan responden.

Dari FGD didapatkan hasil bahwa penting dilakukan informed consent terhadap korban. Kadang ‘pemaksaan’ secara halus itu perlu, walaupun harus dijelaskan dulu kepada korban tentang resiko kalau tidak diperiksa, maka tidak akan ditemukan bukti.

Pemeriksaan di PKT membutuhkan foto dari tanda-tanda kekerasan tanda-tanda persetubuhan, hal ini pun juga dianjurkan pada guidelines WHO. Perasaan para responden in-depth interview dari proses pengambilan foto ini adalah khawatir bahwa foto akan tersebar, walaupun telah dijelaskan sebelumnya tujuan memfoto oleh dokter pemeriksa. Dari responden FGD, ada pendapat yang menyatakan bahwa agar mau difoto, seorang dokter harus mengingatkan korban bahwa dokter berada di bawah sumpah untuk menjaga kerahasiaan pasiennya.

Langkah-langkah pemeriksaan di PKT RSCM yang ada pada panduan pelayanan medis sudah dianggap oleh responden FGD cukup baik, tidak perlu diubah lagi menjadi lebih spesifik, karena nanti takut tidak fleksibel. Setiap kasus yang diperiksa tentunya tidak ada yang persis sama, sehingga penanganannya pun walaupun bertujuan sama, dapat menjadi berbeda-beda. Oleh karena itu protokol tidak perlu rinci dan dapat disesuaikan kasus per kasus.

Secara lisan, peneliti tidak menanyakan secara langsung apakah responden in-depth interview yang kasusnya ‘suka sama suka’ dilaporkan oleh orangtua ke penyidik, apakah benar-benar mau atau tidak diperiksa, tetapi dengan hadirnya responden ke tempat pemeriksaan, menunjukkan bahwa responden sudah bersedia diperiksa, walaupun sebagian mengaku terpaksa.

(15)

Walaupun ada perasaan malu dan takut, korban-korban kejahatan seksual yang diperiksa di PKT RSCM bersedia dan setuju diperiksa sesuai dengan langkah-langkah pemeriksaan pada pusat pelayanan tersebut. Dokter yang berpraktek dan bertugas melakukan pemeriksaan korban kejahatan seksual di Indonesia mengerti dan menerima perasaan yang dialami oleh korban-korban yang diperiksa di PKT RSCM, dan berusaha untuk menciptakan suasana pemeriksaan yang nyaman, mengutamakan informed consent, serta bersikap tidak menghakimi, agar korban mau diperiksa dan bukti dari korban dapat dikumpulkan. Teknik pemeriksaan korban kejahatan seksual di PKT RSCM layak diterapkan di Indonesia, tidak perlu diubah menjadi lebih rinci, sehingga dalam prakteknya dokter dapat bekerja lebih fleksibel tergantung dari kasus yang ditangani.

Saran

Perlu dilakukan penelitian dengan pewawancara yang berjenis kelamin sama dengan responden pada in-depth interview sehingga dapat diketahui apakah responden dapat lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaannya saat menjalani pemeriksaan. Kemudian perlu juga dilakukan penelitian dengan responden selain korban dan dokter, yang juga menangani kasus-kasus kejahatan seksual seperti penyidik, perawat, bidan, psikolog, dan pekerja sosial untuk mengetahui penerimaan mereka terhadap langkah-langkah pemeriksaan di PKT RSCM. Untuk pelayanan di PKT RSCM harus dibuat jadwal agar selalu ada tenaga kesehatan perempuan yang mendampingi pemeriksaan sehingga korban merasa nyaman, karena pemeriksaan merupakan sebuah kerjasam tim. Selain itu untuk menghindari ketidaknyamanan korban karena dianamnesis berulang-ulang, setiap pemeriksa yang menganamnesis, harus bekerjasama dengan pemeriksa lain, dan menanyakan pemeriksa yang terlebih dahulu menganamnesis data apakah yang sudah didapatkan.

Daftar Referensi

1. Undang-undang Republik Indonesia no. 44 tahun 2008 tentang pornografi.

2. Perbandingan aturan delik perzinahan dalam KUHP dan rancangan KUHP

1999-2000 [Online]. 2010 [disitasi 12 April 2013]; Tersedia: URL:

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/prioritas-2011/133-daftar-rancangan-undang-undang.html

(16)

4. Kitab undang-undang hukum acara pidana

5. Saraswati LG, Basari T, Adian DG, Boangmanalu SB, Wijayanto E, Haryatmoko et al. (2006). Hak asasi manusia, teori, hukum, dan kasus. 1st ed. Depok: Filsafat UI Press, p. 184-87,410-19.

6. Undang-undang Republik Indonesia no.39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. 7. Kinasih SE. Perlindungan dan penegakan HAM terhadap pelecehan seksual

[Online]. 2008 [disitasi 1 Februari 2013]; Tersedia: URL:

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Perlindungan%20dan%20Penegakan%20HAM.pdf 8. National intimate partner and sexual violance report [Online]. November 2011

[disitasi 25 April 2013]; Tersedia: URL:

http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/nisvs_report2010-a.pdf

9. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence [Online]. 2003

[disitasi 1 Februari 2013]; Tersedia: URL:

whqlibdoc.who.int/publications/2004/924154628X.pdf 10. Kitab undang-undang hukum pidana

11. Undang-undang Republik Indonesia no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. 12. Afandi D. (2011). Visum et repertum, tata laksana dan teknik pembuatan. Cetakan

pertama. Pekanbaru: UR Press.

13. Beauchamp TL, Childress JF. (2001). Principles of bimoedical ethics. 5th edition. Oxford: Oxford University Press.

14. Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ. (2006). Clincal ethics, a practical approach to ethical decisions in clincal medicine. 6th edition. New York: McGraw-Hill Medical Publisihing Division.

15. Kode Etik Kedokteran Indonesia.

16. Rahmawati. Melongok Pusat Krisis Terpadu RSCM. [Online] 2005 [disitasi: 19 April 2013]; Tersedia: URL: http://www.gemari.or.id/artikel/1691.shtml

17. Pengaruh budaya modern (asing) terhadap budaya Indonesia. [Online]. Mei 2013 [disitasi 2 Juli 2013]; Tersedia: URL: http://ciptadestiara.com/category/pengaruh-budaya-modern-asing-terhadap-indonesia/

18. Greenbaum TL. (1988). The practical handbook and guide to focus group research. Lexington Massachusets: DC Heath and Company.

19. Sastroasmoro S. (2007). Panduan Pelayanan Medis Departemen Forensik Klinik RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.

(17)

20. A national protocol for sexual assault medical forensic examinations adult/adolescence [Online]. 2004 [disitasi 4 Februari 2013]; Tersedia: URL: www.ncjrs.gov/pdffiles1/ovw/206554.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai penanaman karakter kejujuran dan kerja keras oleh

: Kurang memahami permasalahan yang diberikan sehingga tidak semua informasi yang diperoleh kurang lengkap sehingga dalam mengaitkan masalah dengan yang diketahui tidak berjalan

Sistem marketplace ini dibangun dengan tambahan dua fitur yang baru dan unik yaitu manajemen jadwal kerja pada sistem bagi pihak penyedia jasa dan menyediakan fitur

[r]

Bila mencermati upaya pengembangan sarana dan prasarana yang dilakukan di desa lokasi penelitian diperoleh gambaran bahwa upaya tersebut belum menunjukan hasil

Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut (1) Upaya perusahaan untuk mengefisiensikan biaya persediaan bahan habis

tahanan jenis untuk tipe mineralisasi epithermal sulfur tinggi di daerah ini kurang memberikan gambaran yang jelas mengenai daerah prospek meskipun hasil penyelidikan

pencarian dan memudahkan pencarian dokumen. Dokumen yang di-clustering-kan hanya untuk artikel pada jurnal, tesis, proposal tesis, ebook dan dokumen lainnya. Indexing dan