• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4 bahwa Indonesia adalah. negara hukum. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4 bahwa Indonesia adalah. negara hukum. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan apa yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4 bahwa “ Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (supremacy of law).

Indonesia juga merupakan Negara dengan begitu banyak budaya, agama, suku maupun adat istiadat. Kehidupan masyarakat Indonesia sangat beragam khususnya masyarakat adat yang menggunakan hukum adat yang sangat beraneka ragam antar satu masyarakat adat dengan adat lainnya untuk mengatur kehidupan mereka dalam bermasyarakat untuk mencapai kehidupan yang adil, makmur dan mencapai kesejahteraan. Sebagai Negara yang menganut pluralitas termasuk dibidang hukum sampai saat ini masih mengakui keberadaan hukum Barat dan Hukum adat, sehingga dalam praktiknya sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungan masyarakat adat. Sebagai Negara yang majemuk dan memiliki bermacam adat dan budaya, termasuk hukum adatnya masing-masing sangat mencerminkan pola dan tingkah laku masyarakatnya.

(2)

Penyelidikan Van Vollenhoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah hukum adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada wilayah

Republik Indonesia, yaitu terbatas pada kepulauan nusantara kita.1 Hukum

adat di Indonesia itu tidak saja bersemayam dalam hati nurani perasaan orang Indonesia yang jadi warga Negara (Republik) Indonesia (staatsrctelijk Indonesier) di segala penjuru nusantara kita, tetapi juga tersebar dan menjalar sampai-sampai di gugusan kepulauan Filipina dan Taiwan disebelah Utara, di pulau Malagasi (Madagaskar) disebelah Barat Lautan Hindia dekat pantai Afrika, dan berbatas disebelah Timur sampai dekat Amerika Selatan dikepulauan Paas, dianut dan dipertahankan oleh orang

Indonesia yang termasuk golongan ethnologisch Indonesiel.2 Menurut

Soepomo Dalam karyanya “beberapa catatan mengenai kedudukan hukum adat “berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan

tersebut mempunyai kekuatan hukum3. Hukum di Indonesia adalah suatu

keharusan dimana semua masyarakat yang berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melakukan aktivitasnya harus selalu menjadikan hukum sebagai patokan atau batas-batas untuk bertindak maupun tidak bertindak sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditetapkan, khususnya hukum pidana yang didalamnya diatur mengenai tindakan-tindakan yang

1 Busyar Muhammad, SH., Pengantar Hukum Adat, PT. Penerbit dan Balai Buku

“Ichtiar”, jilid I, Cetakan Pertama, Jakarta, 1961, hlm. 39.

2 Ibid, Hal. 39. 3

Lihat, http://riksaaneh.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-hukum-adat-menurut-para-ahli.html, dikunjungi pada hari rabu 9 november 2016, pukul 21:56 WIB.

(3)

tidak boleh dilakukan oleh masyarakat salah satunya adalah pembunuhan, apabila ada masyarakat yang melakukan pembunuhan terhadap warga dalam masyarakat maka akan dikenakan sanksi pidana.

Namun yang menjadi masalah serius yang ingin dikaji oleh penulis adalah, dalam masyarakat Indonesia masih ada masyarakat yang hidup dan menggunakan hukum adat sebagai patokan dan batas-batas untuk masyarakat adat dalam bertindak dan melakukan hal-hal yang dilarang dalam masyarakat adat tersebut, karena ada hukum adat dalam masyarakat tersebut yang sudah dipakai selama turun temurun. Menurut Soepomo dengan mengutip pendapat Soekanto, salah satu unsur yang menjadi dasar sistem hukum adat adalah sifat kebersamaan yang kuat yang meliputi

seluruh lapangan hukum adat4.

Setelah Indonesia memasuki era reformasi dan pasca amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) ketentuan yang mengatur tentang hukum adat diatur dalam asal 18B ayat (2), pasal tersebut berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”5. Selain itu, dalam beberapa undang-undang juga mengatur pengakuan dan keberlakuan hukum adat, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) dalam pasal

4

Ali Abubakar Medya Syaari’ah, Jurnal, Hukum Islam dan Pranata Sosial, “ Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Adat Aceh” Fa. Syari’ah, vol. XII No. 23 Januari-Juni 2010, hal. 36.

(4)

5 yang berbunyi “Hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.6

Hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan masyarakat adat yang selalu berkembang meliputi peraturan tingkah laku masyarakat adat dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanski. Menurut Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada

pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat)7.

Hukum adat tersebut dapat diterapkan untuk menyelesaikan kasus Pembunuhan dalam lingkungan masyarakat adat. Dalam keseharian mereka hukum yang dipakai dalam masyarakat itu apabila terjadi pembunuhan adalah “mata ganti mata, gigi ganti gigi” dalam bahasa daerah setempat disebut dengan kata “Epkeret”, sanksi adat Epkeret ini sendiri lahir karena adanya perbuatan yang didaerah setempat disebut dengan “Fah rahat” artinya pertumpahan darah harus dibalaskan dengan pertumpahan darah. Fah rahat berasal dari dua kata yaitu Fahan artinya tangan dan rahan

6

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

7 Dewi C Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT Reifika Aditama,

(5)

artinya darah, jadi secara harafiah artinya tangan yang menumpahkan darah. Dengan kata lain orang yang melakukan pembunuhan (menumpahkan darah) dalam konteks masyarakat adat setempat di sebut sebagai orang yang melakukan Fah rahat, atau menumpahkan darah orang lain. Apabila terjadi Fah rahat atau pembunuhan sepanjang belum ada penyelesaian maka pihak korban terus berupaya untuk melakukan pembalasan.

Akibatnya lingkungan setempat tidak aman dan menimbulkan ketidaktentraman dalam masyarakat. Untuk menciptakan perdamaian diantara keluarga pelaku dan keluarga korban maka kedua belah pihak membawa masalahnya kepada Tua-tua adat untuk diselesaikan. Untuk sampai pada tingkat perdamaian, antara keluarga pelaku dan keluarga korban maka didepan siding adat tua-tua adat memutuskan untuk membuat penyelesaian menggunakan hukum adat “Epkeret” yaitu pihak pelaku mendirikan seseorang pengganti di depan sidang adat atau mensubstitusikan pengganti untuk keluarga korban, hukuman ini wajib untuk dijalankan dalam artian apabila seorang warga masyarakat adat dibunuh oleh warga masyarakat adat lain dalam komunitas masyarakat adat tersebut maka, keluarga dari warga adat yang membunuh akan mengganti orang yang telah dibunuh, apabila yang dibunuh laki-laki maka keluarga dari warga adat yang membunuh harus mengganti seorang laki-laki, apabila perempuan harus diganti dengan seorang perempuan di depan persidangan adat. Kata “Epkeret” sendiri berasal dari dua kata epak artinya mendekat keret mendirikan secara harafiah mendekati keluarga korban untuk mendirikan pengganti. Terhadap pembunuhan maka sanksi adat “Epkeret” ini harus

(6)

dilakukan untuk memulihkan hubungan antar warga adat dalam masyarakat adat setempat, jika tidak dilakukan sanksi adat “Epkeret” maka, lambat atau cepat akan ada suatu pembalasan dendam oleh keluarga korban yang dibunuh dan hal ini akan terus berlanjut secara terus menerus sampai dengan dijalaninya sanksi adat “Epkeret” Untuk mencegah terjadinya tindakan pembalasan dendam maka sanksi adat “Epkeret” harus dijalankan, agar hubungan antar warga dalam masyarakat adat di Pegunungan Buru Selatan kembali berjalan dengan baik untuk menyudahi dendam dan permusuhan antar warga dalam masyarakat adat.

Sanksi adat “Epkeret” memang diberikan kepada keluarga pelaku pembunuhan oleh karena itu, orang yang mengganti (substitusi) harus dipersiapkan dengan baik oleh keluarga pelaku, jika sudah disiapkan dengan baik maka keluarga pelaku memberitahukan keluarga korban untuk melakukan sanksi adat “Epkeret” yang dihadiri oleh Keluarga korban dan keluarga pelaku, tua-tua adat, pemerintah, tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Semua ini dimaksudkan agar kedamaian dan kekeluargaan yang ada dalam masyarakat tidak terganggu oleh pembunuhan. Oleh karena itu, sanksi adat “Epkeret” adalah sebuah jalan damai untuk mengakhiri permusuhan dan balas dendam antara pihak korban dan pelaku. Ketentuan ini di pegang teguh oleh masyarakat adat setempat karena mengandung pesan dan makna bahwa kematian akibat pembunuhan adalah penurunan derajat kehidupan yang tidak bisa diterima begitu saja oleh pihak korban dan karena itu harus dilakukan pembalasan untuk memulihkan derajat kehidupannya.

(7)

Pemahaman masyarakat adat setempat bahwa pembalasan dendam keluarga korban terhadap keluarga pelaku adalah bagian dari pemulihan derajat kehidupan dari pihak keluarga korban. Pemberlakuan hukuman atau sanksi adat “Epkeret” untuk Masyarakat adat di Pegunungan Kabupaten Buru Selatan bertujuan meminta pertanggungjawaban bagi pelaku pembunuhan atas perbuatannya oleh karena itu sanksi adat “Epkeret” adalah hukuman yang memiliki nilai kemanusian karena manusia yang meninggal (korban) diganti dengan manusia yang masih hidup. Selain sanksi adat “Epkeret” apabila keluarga pihak pelaku tidak memiliki orang pengganti, maka dilakukan pembicaraan antara kedua belah pihak untuk menggantinya dengan sanksi berikut yang oleh tua-tua adat setempat disebut, “Rahe nefu” terdiri dari dua kata yaitu Rahe artinya tanah dan nefu atau tefu artinya tebusan. Dalam pengertian itu maka apabila sanksi “Epkeret” tidak terlaksana maka kemudian dilakukan sanksi berikut adalah Rahe nefu yaitu pihak pelaku akan menyerahkan sebidang tanah sebagai pengganti bagi pihak korban. Tanah dapat diterima sebagai tebusan bagi sikorban, karena dalam pemahaman masyarakat adat setempat tanah adalah asal mula manusia. Selain itu diatas tanah tersebut dapat dilalukan banyak untuk menopang kehidupan keluarga korban, dengan kata lain tanah yang diberikan menjadi jaminan hidup bagi keluarga korban. Seperti diketahui bahwa pergantian menggunakan tanah sebagai tebusan dilakukan melalui musyawarah keluarga (marga) apabila disepakati maka yang menyerahkan tanah kepada keluarga korban adalah kepala marga atau dalam bahasa setempat disebut Kepala Soa. Dua bentuk sanksi adat diatas yakni Epkeret

(8)

dan Rahe nefu dalam konteks masyarakat adat di daerah pegunungan Buru Selatan masih dipelihara dan di pakai dalam penyelesaian kasus pembunuhan. Ter Haar dalam pidato Dies Natalies Rechtshogeschool, Batavia 1937, yang berjudul Het Adat recht van Nederlandsch Indie in wetenschap, pracktijk en onderwijs, menurutnya hukum adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa yang dalam pelaksanaannya “diterapkan begitu saja”, artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya mengikat sama

sekali.8 Definissi Ter Haar tersebut kemudian dikenal dengan nama

beslissingenleer. menurut ajaran ini, hukum adat dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis (terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja) merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti

luas).9 Dalam Hukum adat keputusan diambil berdasarkan nilai-nilai yang

hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan adat.

Berkaitan dengan hukum yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh warga masyarakat adat yaitu hukum adat “ mata ganti mata, gigi ganti gigi “, atau dalam bahasa setempat disebut dengan “Epkeret” yang lahir sebagai akibat dari perbuatan “Fah rahat” atau pembunuhan dan melahirkan sanksi adat “Epkeret” yang terjadi dalam masyarakat adat tersebut, jika dikaitkan dengan pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

8 Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini,dan Akan Datang, Prenadamedia

Group, Jakarta, Cetakan ke-1, 2014, hal. 4.

(9)

disebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Itu berarti pengenaan sanksi adat “ Epkeret “, apakah dirasakan adil bagi orang yang di dirikan selaku orang yang mengganti (substitusi) untuk keluarga korban dalam hal pembunuhan yang dilakukan oleh anggota keluarganya. Apakah orang yang menjadi pengganti korban pembunuhan, dan yang akan menjadi pengganti ini terpenuhi seluruh aspek kehidupan oleh keluarga yang akan menerimanya menjadi bagian dari keluarga yang menerimanya, setelah adanya pengenaan sanksi “Epkeret” khususnya dalam hal hidupnya, pendidikannya, maupun dalam hal-hal untuk tidak diperbudak.

Terkait dengan masalah ini berbicara soal keadilan itu sangat relatif dikarenakan salah satu pihak yang merasa dirugikan terhadap adanya pembunuhan ini akan merasa sangat adil dengan adanya sanksi adat “Epkeret” akan tetapi belum tentu dilain pihak akan merasa adil terhadap pengenaan sanksi “Epkeret”. Memang diakui bahwa keadilan yang paling tinggi adalah keadilan menurut hukum Tuhan, sementara disisi lain dan keputusan yang diambil menurut manusia belum tentu juga menurut masyarakat adat, keputusan peradilan adat efektif karena dampak putusan dan sanksi sosial langsung dirasakan sebagai sesuatu yang adil. Sudah saatnya masyarakat adat di Pegunungan Buru Selatan mempunyai kesadaran

(10)

tinggi tentang hukum maupun hukum adat sebagai hukum yang hidup dan mempunyai kekuatan dalam hal kemanfaatan terhadap terjadinya tindakan pencegahan pembalasan dendam dari pihak yang anggota keluarganya menjadi korban. Persoalan kemudian adalah apakah dengan adanya pencegahan pembalasan dendam akan berlaku keadilan bagi yang menjalani sanksi “Epkeret”. Terkait dengan penerapan sanksi Epkeret diatas maupun Rahe nefu, memang ada hal yang positif yakni para pihak menyadari bahwa setiap perbuatan yang menghilangkan nyawa orang lain bertentangan dengan hukum dan karena itu penuh dengan resiko baik moral maupun materiil.

Berkaitan dengan alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka penulis terdorong untuk melakukan kajian terhadap Penggunaan Sanksi adat dalam masyarakat adat yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan mengangkat judul “PENGENAAN SANKSI ADAT “EPKERET” TERHADAP KASUS PEMBUNUHAN DALAM MASYARAKAT ADAT DI PEGUNUNGAN BURU SELATAN”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka penulis mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, dari penerapan konsep Restorative Justice terkait dengan eksistensi hukum adat terhadap Pengenaan sanksi adat “Epkeret“ terhadap kasus pembunuhan dalam Masyarakat adat di Pegunungan Buru Selatan

(11)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum terhadap

pengenaan sanksi adat “Epkeret“ terhadap kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan, dengan konsep Restoratif Justice.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang ilmu hukum, terkait dengan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang sudah secara turun temurun ditaati yaitu adanya Pengenaan Sanksi Adat “ Epkeret “ terhadap kasus pembunuhan dalam masyarakat adat di pegunungan Buru Selatan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bukan hanya untuk menambah pengetahuan untuk masyarakat adat di pegunungan Buru Selatan, akan tetapi juga untuk menambah pengetahuan untuk setiap orang yang membaca penelitian ini, untuk dapat lebih memahami hukum adat yang berkembang dan bertumbuh di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan harapan bahwa kehidupan masyarakat adat daerah pegunungan Buru Selatan lebih memahami pentingnya kehidupan yang lebih baik antar sesama masyarakat dalam komunitas masyarakat hukum adat, dengan

(12)

adanya pengenaan sanksi “Epkeret“ yaitu adanya pergantian orang, sebagai akibat dari pembunuhan.

E. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu : 1. Pendekatan yang digunakan

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

pendekatan Yuridis-sosiologis artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian menuju pada identifikasi (problem-identification),dan menggambarkannya (to describe).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hukum yang tumbuh dan

berkembang secara turun temurun dalam masyarakat adat Pegunungan Buru Selatan yang selama ini menjadi pedoman untuk bagaimana masyarakat adat untuk bertindak, dan juga sanksi yang dikenakan apabila ada pelanggaran terhadap apa yang sudah menjadi batasan untuk suatu perbuatan, yaitu Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat Pegunungan di Buru Selatan.

2. Jenis Penelitian

Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu penelitian

yang memberikan gambaran rinci tentang fakta-fakta tentang hukum yang tidak tertulis berdasarkan hukum berlaku dalam masyarakat, yang terkait

(13)

dengan pidana adat. Penelitian deskriptif sendiri adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan

pada saat tertentu.10

3. Jenis dan Sumber Data 1. Jenis Data

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan penelitian secara langsung dengan pihak-pihak terkait dalam penelitian ini agar dapat memperoleh data-data akurat dan konkret

mengenai masalah penelitian. Dalam hal ini Matgugul

(raja tanah), Kepala Soa, tua-tua adat, orang yang didirikan sebagai pengganti, pelaku, keluarga korban, pemerintah, dan pihak Kepolisian).

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap berbagai macam literatur yang berkaitan dengan tujuan penelitian seperti dokumen, artikel, buku-buku, kamus-kamus hukum, sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.

2. Sumber Data

a. Penelitian Pustaka (library research), yaitu menelaah berbagai buku, artikel, jurnal-jurnal hukum, dan artikel yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.

10 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi 1, Cetakan 3, Jakarta:

(14)

b. Penelitian Lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan mengamati secara sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki.

4. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan dengan membaca serta mengkaji berbagai macam literatur yang relevan dan berhubungan langsung dengan masalah penelitian yang dijadikan sebagai landasan teoritis. b. Wawancara

Wawancara dimaksud untuk memperoleh keterangan, pendirian, pendapat, secara lisan dari seseorang (yang lazim disebut dengan responden) dengan berbicara langsung (face to face) dengan orang tersebut.11 Wawancara ini ditujukan kepada tokoh-tokoh adat, masyarakat adat serta pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian

11 Suyanto dan Sutinah, (Metode penelitian sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan),

(15)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

1. BAB I : PENDAHULUAN. Pada bab ini berisikan urain orientasi tentang penelitian yang akan dilakukan, meliputi :

a. Latar belakang Masalah b. Rumusan Masalah c. Tujuan Penelitian d. Manfaat Penelitian e. Metode Penelitian

2. BAB II : Bab ini berisikan uraian pembahasan atau analisis terhadap permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil dari analisa tentang kasus yang dipelajari, yaitu tentang Pengenaan sanksi adat “Epkeret” terhadap kasus Pembuhunan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan.

3. BAB III : Bab ini berisikan tentang Kesimpulan dan Saran penulis.

Referensi

Dokumen terkait

KURIKULUM / ISI PENDIDIKAN PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR MELALUI PENDIDIKAN LIBERAL DAN PENDIDIKAN PRAKTIS BERSIFAT KOMPREHENSIF YANG BERISI SEMUA PENGETAHUAN YANG

Dari data yang diperoleh untuk resep obat jadi 16 menit 82 detik sedangkan standar waktu pelayanan Apotek Kimia Farma menetapkan untuk resep obat jadi tidak

Segi produk dapat dilihat dari kandungan gizi yang dimiliki susu sapi tersebut, kualitas gizi yang baik, memiliki varians rasa yang banyak, pengemasan yang menarik

tersebut, maka solusinya adalah dengan merancang dan membangun program aplikasi yang dapat mengolah data secara tepat dan efisien sekaligus mampu memberikan informasi kepada

Untuk tujuan tersebut, beberapa variabel yang diteliti adalah ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga ekspor CPO, harga CPO domestik, pendapatan nasional

Pada Tabel 9 dapat dilihat hasil dari kuesioner dari pertanyaan 1 “Apakah aplikasi sistem pakar diagnosis penyakit gastritis ini membantu anda dalam mengidentifikasi

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Fitriana yang berjudul Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Seks Selama Kehamilan dengan Melakukan Hubungan

AREA PARKIR KHUSUS PENGUNJUNG KENDARAAN RODA 2 (DUA) RUANG LANTAI BASEMENT P1 DENGAN POSISI PARKIR SUDUT 90 0.. RUANG AREA