• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR

INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR

MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI

OLEH

WIDA KUSUMA WARDANI H14104036

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

RINGKASAN

WIDA KUSUMA WARDANI. Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri. (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).

Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan

yang mempunyai peran cukup penting dalam perekonomian Indonesia, karena CPO merupakan komoditi ekspor andalan Indonesia. Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006 Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Eksportir CPO akan melakukan ekspor secara besar-besaran apabila harga CPO internasional sedang meningkat secara tajam tanpa memikirkan pasokan dalam negeri. Hal ini akan berdampak pada industri turunan CPO yang didominasi oleh industri minyak goreng. Industri ini akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku, sehingga produksinya akan menurun.

Menyadari dampak tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan di sektor industri CPO yang berupa pajak ekspor guna membatasi para eksportir CPO untuk tidak mengekspor CPO dalam jumlah yang berlebihan dan lebih memikirkan pasokan dalam negeri. Adanya pajak ekspor CPO akan mempengaruhi volume ekspor CPO, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keseimbangan pasar industri hilirnya, yaitu industri minyak goreng sawit yang akan dicerminkan melalui harga minyak goreng sawit di pasar dalam negeri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan pasar minyak goreng sawit di Indonesia dan menganalisis keterkaitan antar keduanya serta bagaimana dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri . Untuk tujuan tersebut, beberapa variabel yang diteliti adalah ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga ekspor CPO, harga CPO domestik, pendapatan nasional Indonesia, jumlah penduduk Indonesia, pajak ekspor CPO, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga dan produksi minyak goreng sawit dalam negeri, permintaan minyak goreng sawit dalam negeri, upah tenaga kerja di sektor industri, dummy krisis ekonomi, harga minyak goreng kelapa, impor minyak goreng sawit serta harga impor minyak goreng sawit.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang menggunakan data statistik tahunan dari tahun 1990-2006. Sumber data berasal dari Laporan Tahunan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan Jurnal-jurnal Ekonomi serta instansi-instansi lain yang terkait dengan penelitian yang

(3)

dilakukan. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software SAS 6.12 sedangkan analisis data menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS).

Hasil analisis memberikan kesimpulan bahwa model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri menghasilkan lima persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik dan populasi Indonesia. Sedangkan lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari minyak goreng sawit yang diimpor dan minyak goreng sawit produksi Indonesia. Impor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil impor minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng domestik dan pendapatan nasional Indonesia, sedangkan nilai tukar riil dan lag impor minyak goreng tidak berpengaruh nyata. Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis ekonomi Indonesia dan lag produksi minyak goreng sawit. Sedangkan harga riil minyak goreng sawit domestik dan upah riil tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng sawit Indonesia.

Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak goreng oleh industri pengguna minyak goreng sawit. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil minyak goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan lag permintaan minyak goreng sawit. Variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng sawit domestik adalah harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa dan dummy krisis ekonomi Indonesia. Validasi model dengan menggunakan kriteria statistics of fit, menunjukkan model layak untuk digunakan sebagai peramalan. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan sepuluh persen pajak ekspor CPO akan mengakibatkan penurunan permintaan minyak goreng sawit, impor minyak goreng sawit dan volume ekspor CPO masing-masing sebesar 0,0017 persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta diduga akan meningkatkan harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan produksi minyak goreng sawit sebesar 0,1433 persen.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah perlu suatu adanya kebijakan alternatif selain pajak ekspor sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari penerapan pajak ekspor. Perlu juga adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam hal senjang pengambilan keputusan pada penetapan pajak ekspor agar penyesuaiannya mengikuti pola perubahan harga CPO dunia yang fluktuatif.

Penerapan operasi pasar yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga keseimbangan pasar minyak goreng dapat efektif jika infrastrukturnya dipersiapkan secara baik dengan koordinasi yang baik dari pemerintah pusat dan daerah untuk menjangkau kalangan yang benar-benar kurang mampu.

(4)

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR

INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR

MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI

Oleh

WIDA KUSUMA WARDANI H14104036

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Wida Kusuma Wardani Nomor Registrasi Pokok : H14104036

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul : Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 131 846 871

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2008

Wida Kusuma Wardani H14104036

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Wida Kusuma Wardani lahir pada tanggal 14 Agustus 1986 di Jakarta. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Soeroso dan Tasmiyati. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Jati Mekar, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 246 Jakarta. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 113 Jakarta dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA), Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dan Komisi Pelayanan Khusus (Kopelkhu). Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerah yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis diberi kemudahan dan kekuatan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Soeroso dan Ibu Tasmiyati atas doa dan dukungannya. Serta mas Ambar dan mas Fajar atas semangat dan keceriaannya untuk penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini secepatnya. 2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang

dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr selaku dosen penguji utama atas kesediaan

serta arahan, saran, kritik dan perhatian yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

4. Jaenal Effendi, S.Ag ., MA selaku dosen penguji komisi pendidikan atas kesediaan serta arahan, saran, kritik dan perhatian yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

5. Sahabat penulis Deni, Liana, Tika, Rista, Ate, Rolas, Wike, Elsa, Epy dan Rima terima kasih atas doa, semangat dan dukungannya.

6. Teman-teman penulis, Septi, Niken, Lia, Rani, Della, Hana, Irma, Prima, Merlyn, Noorish, Titis, Tata, Dila, Dita, Eko, Arum, Tia, Hansen, Agus dan teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 41. Terima kasih atas masukan dan dukungannya.

(9)

7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini dan tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuannya.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2008

Wida Kusuma Wardani H14104036

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 7 1.4 Manfaat Penelitian ... 7 1.5 Batasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Gambaran Umum Industri Kelapa Sawit Indonesia... 9

2.1.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia ... 10

2.1.2 Pengolahan Kelapa Sawit ... 12

2.1.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit ... 13

2.1.4 Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit ... 15

2.2 Gambaran Umum Industri Minyak Goreng Indonesia... 17

2.2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 18

2.3 Tinjauan Kebijakan Pemerintah Disektor Industri Minyak Sawit ... 19

2.4 Studi Terdahulu ... 20

2.4.1 Penelitian Mengenai CPO ... 20

2.4.2 Penelitian Mengenai Minyak Goreng sawit dan Minyak Goreng Kelapa ... 21

2.4.3 Penelitian Mengenai Two-Stage Least Square(2SLS) ... 24

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 26

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 26

(11)

3.1.2 Teori Nilai Tukar... 29

3.1.3 Teori Penawaran Ekspor CPO Indonesia ... 32

3.1.4 Kebijakan Pajak Ekspor ... 33

3.1.5 Teori Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 37

3.1.6 Teori Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 41

3.1.7 Metode Two-Stage Least Square (TSLS) ... 45

3.1.8 Konsep Elastisitas ... 46

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 48

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 52

4.1 Jenis dan Sumber Data ... 52

4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 52

4.3 Spesifikasi Model Simultan ... 53

4.3.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia ... 55

4.3.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 56

4.3.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 57

4.3.4 Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 58

4.3.5 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 59

4.3.6 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 60

4.3.7 Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 60

4.4 Hipotesis ... 61

4.5 Identifikasi Model ... 62

4.6 Model Lag yang Didistribusikan ... 65

4.7 Pengujian Model dan Hipotesis ... 66

4.7.1 Uji Kesesuaian Model ... 66

4.7.2 Pengujian Hipotesis ... 67

4.7.3 Uji Autokorelas ... 68

4.7.4 Uji Heteroskedastisitas ... 69

4.7.5 Uji Normalitas ... 70

(12)

4.7.7 Validasi Model ... 71

4.7.3 Simulasi Model Kebijakan ... 73

4.8 Definisi Operasional... 73

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 76

5.1 Estimasi Parameter Model ... 76

5.1.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia ... 76

5.1.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 81

5.1.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 85

5.1.4 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 88

5.1.5 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 91

5.2 Hasil Validasi Model... 94

5.3 Perubahan Pajak Ekspor CPO Sebesar 10 Persen ... 95

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

6.1 Kesimpulan ... 100

6.2 Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1 Produksi Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton) ... 2 1.2 Volume Ekspor Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005

(000 Ton) ... 3 2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia

Tahun 2000-2005 ... 19 4.1 Pengujian Order Condition ... 64 5.1 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Penawaran

Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia ... 81 5.2 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan

Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 84 5.3 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Produksi

Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 88 5.4 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan

Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 91 5.5 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Harga Minyak

Goreng Sawit Indonesia ... 94 5.6 Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO

terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit Dalam Negeri ... 95 5.7 Hasil Simulasi Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Sepuluh Persen... 99

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 2.1 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia

Tahun 2000-2006 ... 13 2.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000-2006 ... 14 2.3 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara

Tujuan Tahun 2006 ... 15 3.1 Terjadinya Perdagangan Internasional ... 29 3.2 Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir

pada Keseimbangan Perdagangan Internasional ... 31 3.3 Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO terhadap

Industri CPO ... 35 3.4 Efek Pajak Ekspor Terhadap Volume Ekspor ... 41 3.5 Keseimbangan Minyak Goreng Sawit Akibat Adanya

Peningkatan Permintaan Minyak Goreng Sawit ... 44 3.6 Diagram Alur Kerangka Pemikiran ... 51

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kebijakan Pemerintah Pada Industri Kelapa Sawit Indonesia ... 108 2. Data Riil Penelitian ... 110 3. Hasil Estimasi Parameter pada Penawaran Ekspor CPO Indonesia

dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ... 112 4. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Impor Minyak Goreng

Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ... 113 5. Hasil Estimasi Parameter pada Produksi Minyak Goreng

Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ... 114 6. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Minyak Goreng

Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ... 115 7. Hasil Estimasi Parameter pada Harga Minyak Goreng

Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ... 116 8. Hasil Uji Autokorelasi, Heteroskedastisitas dan Normalitas

pada Masing-masing dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ... 117 9. Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan

dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ... 122 10. Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor sebesar

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan nilai ekspor Indonesia sampai tahun 1986 masih didominasi oleh ekspor migas, namun sejak tahun 1987 ekspor Indonesia didominasi oleh sektor non migas. Ekspor komoditas pertanian merupakan salah satu bagian penting dalam komposisi ekspor non migas. Total nilai ekspor produk pertanian selama lima tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat, yaitu dari US$ 3,8 milyar di tahun 2000 menjadi US$ 8,2 milyar di tahun 2004. Selama periode Januari-Desember 2006, ekspor sektor pertanian secara relatif meningkat sebesar 16,8 persen dibanding tahun 2005. Dan selama satu tahun, sektor ini telah menghasilkan devisa senilai US$ 484,7 juta. Dari total komoditas pertanian tersebut, sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sub sektor lainnya adalah sub sektor perkebunan, yaitu sebesar 87,57 persen dengan total nilai ekspor sebesar US$ 7,4 milyar (2004)1.

Salah satu komoditas yang berkontribusi terhadap ekspor perkebunan Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, kemudian produksinya menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri, lalu untuk diekspor sebagai penghasil devisa (ekspor Crude Palm Oil

(17)

tahun 2006 bernilai US$ 4,8 milyar) dan menyediakan kesempatan kerja diberbagai sub sistem (menyediakan kesempatan kerja bagi lebih dari 2 juta orang). Peranan Industri minyak sawit dan produk turunannya akan terus berkembang, terutama dengan adanya program energi alternatif biodiesel baik nasional maupun internasional.

Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006 Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia pada tahun 2006 sebesar 16.000 ribu ton, sedangkan total produksi CPO Malaysia sebesar 15.881 ribu ton2. Pada data produksi dan volume ekspor tahun 2001 hingga 2005, terlihat bahwa Malaysia masih menempati peringkat pertama di dunia untuk produksi dan ekspor CPO (Tabel 1.1 dan Tabel 1.2).

Tabel 1.1 Produksi Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton)

Negara 2001 2002 2003 2004 2005 Malaysia 11.804 11.909 13.355 13.976 14.962 Indonesia 8.396 9.622 10.441 12.326 14.620 Nigeria 770 775 785 790 800 Thailand 625 600 640 668 680 Columbia 548 528 527 632 661

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006.

2

(18)

Tabel 1.2 Volume Ekspor Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton)

Negara 2001 2002 2003 2004 2005

Malaysia 10.618 10.886 12.248 12.575 13.401

Indonesia 4.903 6.334 6.386 8.662 10.376

Papua New Guinea 328 324 325 348 320

Singapura 224 220 256 240 205

Columbia 90 85 105 183 225

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006.

Industri CPO membutuhkan input dari perkebunan kelapa sawit dalam bentuk Tandan Buah Segar (TBS). Perkebunan kelapa sawit dengan hasilnya yang berupa TBS merupakan industri hulu dari industri CPO, sedangkan industri hilir utamanya adalah industri minyak goreng sawit, dimana lebih dari 76 persen penggunaan CPO oleh industri digunakan hanya untuk industri minyak goreng. Sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia, minyak goreng asal kelapa sawit telah mendominasi pangsa konsumsi minyak goreng yang beberapa tahun lalu dipegang oleh kelapa3.

Industri minyak goreng Indonesia dari tahun ke tahun semakin pesat perkembangannya. Hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya angka produksi minyak goreng tiap tahunnya. Pada tahun 1998 total produksi minyak goreng Indonesia mencapai angka 5,9 juta ton dan untuk tahun selanjutnya produksi minyak goreng relatif meningkat hingga mencapai 11,9 juta ton pada tahun 2005. Peningkatan tersebut disebabkan oleh semakin bertambahnya permintaan akan minyak goreng itu sendiri.

3 http://www.bumn.go.id/news.detail.html=21711 Wayan R. Susila. 2007. Mempertanyakan

(19)

Nilai dan volume impor minyak goreng sawit selama periode 1996-2002 meningkat rata-rata 565,7 persen dan 23,9 persen per tahun. Volume impor pada tahun 1996 sebesar 3,3 ribu ton (US$ 3,7 juta) meningkat menjadi 14,9 ribu ton (US$ 8,5 juta) pada tahun 2002. Peningkatan tersebut akibat adanya kenaikan kapasitas ekspor dari Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku yang lebih sering dipakai dalam proses produksi pabrik minyak goreng, sehingga kekurangan tersebut ditutup dengan membuka keran impor minyak goreng (CIC, 2003).

Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh harga CPO internasional. Harga CPO dunia yang tinggi merupakan insentif yang besar bagi pengusaha CPO domestik untuk mengekspor CPO dan menghindarkan diri dari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri. Harga CPO dunia naik lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Harga CPO pada Mei 2007 mencapai US$ 740 per ton dan diperkirakan akan terus naik hingga mendekati US$ 800 per ton. Lonjakan harga CPO diindikasikan karena adanya peningkatan permintaan dunia yang tinggi dan tidak sebanding dengan produksi dan suplai CPO di pasar internasional (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007).

Ketika terjadi kenaikan harga CPO dunia, para produsen sawit akan lebih memilih memasarkan produknya di pasar internasional. Hal ini menyebabkan terjadinya kelangkaan CPO untuk bahan baku industri minyak goreng sawit yang selanjutnya akan memicu ketidakseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri yang dicerminkan dengan kenaikan harga minyak goreng sawit domestik.

Menyadari dampak negatif tersebut pemerintah menetapkan suatu kebijakan perdagangan yang berkaitan dengan industri CPO dan industri minyak

(20)

goreng. Salah satu kebijakan perdagangan yang ditetapkan pemerintah adalah kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dengan harapan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan CPO dalam negeri khususnya industri minyak goreng menjadi lebih terjamin dengan harga yang lebih murah. Selama ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan bagi industri kelapa sawit yang dapat berdampak bagi industri hulu hingga hilir. Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan CPO senantiasa berubah dari waktu ke waktu.

1.2 Rumusan Masalah

Indonesia yang memiliki potensi sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, berupaya mengembangkan industri hilir, mengingat industri yang berbasis pada SDA lokal berpeluang untuk dapat menyerap tenaga kerja dan sebagai penghasil devisa dan diperkirakan pada tahun 2010 akan menjadi produsen CPO terbesar di dunia (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Kenyataannya, tidak perlu menunggu sampai tahun 2010, total produksi CPO Indonesia pada tahun 2006 telah melampaui Malaysia, sehingga Indonesia menjadi negara produsen CPO pertama di dunia.

Kondisi permintaan dan penawaran domestik CPO dipengaruhi kekuatan permintaan dan penawaran di pasar internasional, mengingat Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka. Lonjakan harga CPO dunia mengindikasikan adanya permintaan dunia yang tidak sebanding dengan produksi dan suplai CPO di pasar internasional. Harga yang meningkat di pasaran internasional dapat menjadi insentif ekspor bagi pengusaha CPO domestik. Laju ekspor yang tidak terkendali

(21)

dapat mengakibatkan kurangnya pasokan CPO domestik, sehingga industri minyak goreng sawit tidak mendapatkan pasokan bahan baku yang cukup.

Pengembangan industri hilir CPO banyak mendapat insentif karena pemerintah akan mengembangkan mekanisme untuk mendorong berkembangnya industri hilir CPO yang dalam hal ini adalah industri minyak goreng. Pajak ekspor banyak diterapkan di negara berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan menjamin ketersediaan produk di pasar domestik. Adanya kebijakan perdagangan yang berupa pajak ekspor untuk CPO akan berdampak negatif pada industri hulunya yang dicerminkan oleh penurunan harga tingkat petani, areal, produksi dan pendapatan petani. Sebaliknya, industri hilir memperoleh beberapa manfaat seperti ketersediaan bahan baku yang lebih banyak dengan harga yang lebih rendah.

Pada tahun 1991-1994 ekspor CPO dibebaskan. Tiga tahun kemudian ditetapkan tarif ekspor progresif yang mencapai 40 persen sampai dengan 50 persen bagi CPO dan produk olahannya. Tarif ekspor pada tahun 1997 diturunkan menjadi 2 persen sampai dengan 5 persen, hingga kemudian naik menjadi 15 persen sampai dengan 40 persen. Pada bulan Desember 2005, pemerintah menetapkan kebijakan tarif ekspor sebesar 1,5 persen dari tarif ekspor sebelumnya yaitu sebesar 3 persen sejak tahun 2001. Lalu melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 94/PMK.011/2007 ditetapkan tarif pungutan ekspor baru atas kelapa sawit, CPO dan produk turunannya. Besarnya tarif ekspor baru yang ditetapkan oleh pemerintah ini adalah sebesar 10 persen, hal ini merupakan perubahan ketujuh atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 92/PMK.02/2005.

(22)

Mengingat pentingnya komoditas kelapa sawit dan minyak goreng sawit terhadap perekonomian Indonesia, maka permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan pasar minyak goreng sawit di Indonesia ?

2. Bagaimanakah keterkaitan ekspor CPO dengan keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri ?

3. Bagaimana dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan pasar minyak goreng sawit di Indonesia.

2. Menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri.

3. Menganalisis dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan.

(23)

1. Bagi penulis, hasil penulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang masalah-masalah yang dihadapi dan mampu memecahkan permasalahan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah.

2. Bagi pemerintah, hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan perdagangan disektor industri CPO dan industri minyak goreng sawit.

3. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai salah satu bahan rujukan dan bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan perdagangan yaitu pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit domestik. Data yang dipergunakan menjadi keterbatasan dalam penelitian ini. Kode HS untuk Crude Palm Oil adalah HS 151110000, kode SITC untuk minyak goreng sawit adalah 42229 sedangkan untuk industri minyak goreng sawit digunakan KLUI 5 digit yaitu 31154 dan 15144. Kemudian penelitian ini juga tidak membedakan antara minyak goreng sawit kemasan bermerek dengan minyak goreng sawit curah.

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Industri Kelapa Sawit Indonesia 2.1.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia

Walaupun tanaman kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun tanaman ini dapat berkembang dengan baik dan produk olahannya, Crude Palm

Oil (CPO), menjadi salah satu komoditas perkebunan yang handal. Awal

mulanya, kelapa sawit hanya berperan sebagai tanaman hias langka di Kebun Raya Bogor dan sebagai tanaman penghias jalan atau pekarangan.

Tahun 1848, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan 4 batang bibit kelapa sawit dari Mauritius dan Amsterdam yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor. Selanjutnya hasil anakannya dipindahkan ke Deli, Sumatera Utara. Mulai tahun 1911, barulah kelapa sawit dibudidayakan secara komersil (Satyawibawa dalam Mahisya, 2004).

Kelapa sawit berasal dari benua Afrika, bukti tersebut diperkuat dengan adanya analisis fosil yang dilakukan oleh Fridel. Fridel menemukan lemak dalam botol disebuah makam pada daerah Abyados yang diperkirakan adalah kelapa sawit. Begitu pula Zeven, Zeven melaporkan bahwa fosil dari serbuk sari di Niger Delta sama dengan serbuk sari yang tumbuh saat ini. Serbuk sari yang ditemukan tersebut menjadi bukti kuat bahwa kelapa sawit sudah dipelihara.

Awalnya masyarakat dunia tidak mengenal kelapa sawit kecuali Afrika dan daerah-daerah tropik. Di Afrika, kelapa sawit dikenal sebagai tanaman domestik dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan akan minyak dan vitamin A

(25)

dalam susunan makanan. Kelapa sawit hanya digunakan oleh mereka yang mengetahui manfaatnya sedangkan yang lain mengabaikan atau sekedar membawanya saja. Sejak awal abad ke-19 kelapa sawit mulai diperdagangkan karena masyarakat sudah banyak yang mengetahui manfaat dan kegunaannya. Sekarang ini kelapa sawit mulai banyak dibudidayakan ditiga daerah tropik ekuator, yaitu Afrika, Asia Tenggara dan Amerika.

2.1.2 Pengolahan Kelapa Sawit

Buah kelapa sawit dalam pengolahannya menghasilkan dua jenis minyak. Minyak yang berasal dari daging buah (mesocarp) berwarna merah dikenal sebagai minyak kelapa sawit kasar atau crude palm oil (CPO), sedangkan minyak yang kedua berasal dari inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO). Selain minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut, cangkang (tempurung) dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak dan bahan untuk industri.

Keunggulan minyak sawit dapat dilihat dari susunannya yang terdiri dari asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh. Minyak kelapa sawit juga mengandung beta karoten atau pro-vitamin A, antioksidan dan pro-vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme dan untuk kesehatan tubuh manusia.

Produk kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam jenis bahan makanan (oleofood), bahan non makanan (oleochemical) dan bahan kosmetika dan farmasi.

(26)

Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan diperoleh melalui proses fraksinasi, rafinasi dan hidrogenasi. Umumnya, sebagian besar CPO difraksinasi sehingga menghasilkan fraksi olein (cair) dan fraksi

stearin (padat). Fraksi olein digunakan untuk bahan pangan, sedangkan fraksi stearin untuk keperluan non pangan. Bahan pangan dengan bahan naku olein

antara lain : minyak goreng, mentega (margarine), lemak untuk masak (shortening), bahan pengisi (adatif), industri makanan ringan dan sebagainya.

Minyak kelapa sawit sebagai bahan bukan pangan dapat digunakan untuk bahan industri ringan maupun berat, antara lain untuk industri penyamakan kulit agar menjadi lembut dan fleksibel. Industri tekstil menggunakan minyak sawit sebagai pelumas yang tahan terhadap tekanan dan suhu yang tinggi. Minyak kelapa sawit pun digunakan oleh industri perak sebagai bahan flotasi pada pemisahan bijih tembaga dan cobalt. Dan pada industri ringan dipakai sebagai bahan baku sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, tinta cetak dan sebagainya.

Pengolahan minyak sawit melalui proses hidrolisis menghasilkan asam lemak dan gliserin, yang selanjutnya dapat diproses menjadi turunan-turunan asam lemak, seperti amine alcohol dan metilester. Bahan-bahan ini dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan cat dinding atau cat kayu, tinta cetak, pasta gigi, pembuatan plastik, minyak diesel, kerosene atau gasoline.

Selain untuk industri bahan makanan dan non makanan, minyak kelapa sawit juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk industri kosmetik dan industri farmasi. Sifat minyak kelapa sawit yang mudah diabsorbsi kulit, banyak

(27)

dipakai untuk pembuatan shampo, krim, minyak rambut, sabun cair, lipstik dan sebagainya.

2.1.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit

Perkembangan produksi kelapa sawit di Indonesia selama tujuh tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun berkisar antara 8,44-19,94 persen. Pada tahun 2000 produksi kelapa sawit mencapai 7,00 juta ton dan meningkat 19,94 persen pada tahun 2001 menjadi sebesar 8,40 juta ton. Selanjutnya pada tahun 2002 meningkat lagi sebesar 14,60 persen menjadi 9,62 juta ton dan meningkat 8,51 persen pada tahun 2003 menjadi sebesar 10,44 juta ton. Pada tahun 2004 produksi kelapa sawit meningkat sekitar 18,6 persen atau menjadi 12,33 juta ton, sedangkan pada tahun 2005 produksi kelapa sawit sebesar 14,62 juta ton yang berarti meningkat sekitar 18,61 persen. Produksi kelapa sawit kembali mengalami peningkatan sekitar 9,44 persen pada tahun 2006 sehingga menjadi sebesar 16,00 juta ton. Perkembangan produksi kelapa sawit Indonesia tahun 2000-2006 disajikan pada Gambar 2.1.

(28)

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah).

Gambar 2.1 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2000-2006

2.1.4 Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit

Produksi minyak sawit Indonesia sebagian besar dipasarkan ke mancanegara (diekspor) dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Pangsa pasar untuk produk minyak sawit tersebut telah menjangkau kelima benua yakni Asia, Afrika, Australia, Amerika dan Eropa. Namun demikian Asia merupakan pangsa pasar yang paling utama.

Perkembangan ekspor minyak sawit periode 2000-2006 cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 dan 2001 volume ekspor minyak sawit Indonesia masing-masing mencapai 4,11 dan 4,90 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 1,09 milyar dan US$ 1,08 milyar. Dan di tahun 2002, volume ekspor minyak sawit Indonesia meningkat sekitar 29,17 persen menjadi sebesar 6,33 juta ton dengan nilai ekspor mencapai US$ 2,09 milyar dan pada tahun 2003 mengalami peningkatan lagi sebesar 0,83 persen atau menjadi 6,39 juta ton dengan nilai sebesar US$ 2,45 milyar. Pada tahun 2004 volume ekspor mengalami

0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000 16000000 18000000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun P ro duk si C P O ( T o n )

(29)

kenaikan yakni menjadi 8,66 juta ton atau meningkat 35,63 persen dan nilainya mencapai US$ 3,44 milyar.

Ekspor minyak sawit kembali mengalami peningkatan (19,79%) pada tahun 2005 dengan volume sebesar 10,38 juta ton dan nilai sebesar US$ 3,76 milyar. Pada tahun 2006 mengalami kenaikkan sebesar 16,61 persen atau menjadi 12,10 juta ton dengan nilai mencapai sebesar US$ 4,82 milyar.

Ekspor CPO Indonesia cenderung meningkat berkisar 1,73-51,68 persen selama periode 2006. Perkembangan ekspor CPO Indonesia tahun 2000-2006 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah).

Gambar 2.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000-2006

CPO Indonesia diekspor ke berbagai negara tujuan. Pada tahun 2006, lima besar negara yang menjadi pengimpor CPO Indonesia berturut-turut yaitu India yang volume ekspornya mencapai 1,89 juta ton atau sebesar 36,42 persen terhadap total volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai sebesar US$ 738,3 juta, peringkat kedua adalah Belanda dengan volume ekspor sebesar 0,83 juta ton atau

0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun Ek sp o r C P O ( T o n )

(30)

memiliki kontribusi 16,05 persen dan nilai ekspornya sebesar US$ 322,4 juta. Kemudian yang ketiga adalah Singapura dengan kontribusi 9,41 persen atau volume ekspornya sebesar 0,49 juta ton dengan nilai ekspor US$ 185,5 juta, sementara itu Malaysia dan Jerman berada di posisi keempat dan kelima. Ekspor CPO ke Malaysia pada tahun 2006 mencapai 0,47 juta ton atau sekitar 9,02 persen dengan nilai ekspor sebesar US$ 166 juta, sedangkan untuk Jerman sebesar 0,17 juta ton atau 3,35 persen dengan nilai ekspor mencapai US$ 68,9 juta. Besarnya persentase volume ekspor CPO dari lima negara terbesar pengimpor CPO Indonesia tahun 2006 disajikan pada Gambar 2.3 di bawah ini.

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah).

Gambar 2.3 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 2000-2006

2.2 Gambaran Umum Industri Minyak Goreng Indonesia

Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan pokok yang dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu, minyak goreng dapat pula dikategorikan sebagai komoditas yang cukup strategis, karena pengalaman yang

37% 16% 9% 3% 9% 26% India Belanda Malaysia Jerman Singapura Lainnya

(31)

ada selama ini menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng dapat menimbulkan dampak ekonomis dan politis yang cukup berarti bagi perekonomian nasional.

Minyak goreng merupakan minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung, kedelai dan kanola.

Minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat pada masa sebelum orde baru dan sampai pada awal pembangunan jangka panjang (PJP) I, didominasi oleh jenis minyak goreng asal kelapa. Semenjak semakin meningkatnya produksi kelapa sawit pada tahun 1970-an, minyak goreng asal kelapa tergeser oleh minyak goreng asal sawit. Dibandingkan dengan minyak sawit, minyak kelapa mengandung lemak jenuh dalam jumlah tinggi dan diperkirakan sebagai penyebab penyakit jantung koroner. Rendahnya lemak jenuh dalam minyak sawit dikarenakan adanya proses pemanasan dan pengepresan dalam produksi minyak sawit.

Keunggulan lain yang dimiliki oleh minyak sawit dibandingkan minyak kelapa adalah harga minyak kelapa sawit lebih murah dan juga warnanya lebih jernih sehingga aman bagi kesehatan. Bagi masyarakat yang sudah paham pentingnya kesehatan mereka lebih memilih minyak goreng yang berbahan baku dari minyak kelapa sawit.

(32)

Pada awal masa perkembangannya, industri minyak goreng Indonesia dimulai dari skala rumah tangga dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari minyak kelapa. Sistem perdagangan minyak goreng saat itu dilakukan dalam bentuk minyak goreng curah, dan selanjutnya mulailah bermunculan minyak goreng bermerek. Sejalan dengan diperkenalkannya tanaman kelapa sawit sebagai salah satu tanaman perkebunan di Indonesia, minyak kelapa mulai tergeser posisinya sebagai bahan baku minyak goreng oleh minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit mendominasi penggunaannya sebagai bahan baku industri minyak goreng nasional. Pergeseran posisi tersebut dikarenakan minyak sawit mentah yang berasal dari pohon kelapa sawit lebih mudah dibudidayakan. Budidaya kelapa sawit tidak tergantung musim tertentu, lebih tahan hama dan dapat diusahakan dalam skala besar sehingga dapat mencapai skala ekonomi tertentu.

Sistem pemasaran minyak goreng dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan swasta. Akan tetapi mengingat bahwa minyak goreng merupakan komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu memantau perkembangan pemasarannya agar ketersediaan minyak goreng dipasar selalu tercukupi dengan harga yang relatif stabil.

Pangsa pasar produk minyak goreng saat ini diperebutkan oleh sekitar 120 produsen lokal yang masih aktif berproduksi dengan kapasitas produksi sebesar 8,5 juta ton. Beberapa konglomerat yang terjun dalam bisnis perkebunan dan pengolahan kelapa sawit diantaranya adalah Salim grup (produsen Bimoli), Sinarmas grup (produsen Filma), Astra grup, Bakrie grup, Musi Mas grup, Hasil Karsa grup, Bukit Kapur grup dan Raja Garuda Mas. Kelompok di atas memiliki

(33)

industri terpadu mulai dari perkebunan sawit, pengolahan CPO dan pabrik minyak goreng.

2.2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia

Pada Tabel 2.1 terlihat bahwa perkembangan industri minyak goreng sawit pada enam tahun terakhir mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit.

Rata-rata pertumbuhan produksi minyak goreng sawit di Indonesia selama periode 1999-2005 sebesar 10,6 persen. Sedangkan konsumsi per kapita minyak goreng di Indonesia mencapai 16,5 kilogram per tahun dimana konsumsi per kapita khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 14,6 kilogram per kapita per tahun. Konsumsi minyak goreng sawit yang relatif tinggi ini sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit serta tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, yaitu sebesar 1,28 persen per tahun, dimana konsumsi minyak goreng terbesar adalah konsumsi langsung oleh masyarakat. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak goreng sawit Indonesia disajikan pada Tabel 2.1.

(34)

Tabel 2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun 2000-2005 Tahun Produksi (000 Ton) Pertumbuhan (%) Konsumsi/Kap (Kg/Kap/Tahun) Pertumbuhan (%) 2000 6.950 11,2 13,76 -1,6 2001 7.660 10,2 13,97 1,5 2002 9.060 18,3 14,28 2,2 2003 10.110 11,6 14,72 3,1 2004 10.955 8,4 15,38 4,5 2005 11.938 9,0 16,03 4,2

Sumber : Badan Pusat Statistik, Neraca Bahan Makanan dan Statistik Industri Besar dan

Sedang Volume II 1999-2005 (diolah).

2.3 Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit

Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pada industri kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun yang lebih kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Hal ini telah dilakukan sejak tahun 1978 (Lampiran 1). Berbagai instrumen kebijakan telah diaplikasikan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : (1) pengendalian laju inflasi dan mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat, dan (2) pengendalian pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng (Amang, 1996).

Beberapa instrumen kebijakan pemerintah yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (1) penetapan pungutan ekspor, (2) penetapan alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, (3) pemupukan cadangan penyangga minyak sawit kasar dan (4) pelarangan ekspor. Instrumen yang sangat populer dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang

(35)

berkepentingan adalah pajak ekspor (tax export) dan pelarangan ekspor (export

ban).

2.4 Studi Terdahulu

2.4.1 Penelitian Mengenai CPO

Penelitian Mahisya (2004), menganalisa permintaan ekspor CPO Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Error Correction Model (ECM). Mahisya menyimpulkan bahwa perkembangan harga domestik memiliki pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekspor. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan harga domestik suatu negara yang meningkat menandakan adanya defisit supply terhadap komoditi CPO, defisit ini terjadi pada pasar dunia yang juga memberikan imbas bagi pasar domestik suatu negara, karena adanya defisit suplai dari pasar dunia maka akan memicu harga CPO dunia meningkat dan berefek juga produsen CPO dalam negeri untuk melakukan ekspor untuk memenuhi kebutuhan CPO dunia. Sementara itu, deflasi nilai tukar rupiah berhubungan positif dengan volume permintaan ekspor, hal ini disebabkan karena deflasi nilai tukar rupiah yang semakin meningkat menyebabkan harga CPO Indonesia dipasar dunia akan dirasakan lebih murah oleh konsumen diluar negeri sehingga mereka meningkatkan permintaannya terhadap CPO Indonesia.

Penelitian tentang CPO juga dilakukan oleh Askadarimi (2007) mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit (CPO) Indonesia dengan menggunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Hasil penelitian Askadarimi menunjukkan bahwa produksi minyak sawit (CPO) Indonesia tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal kelapa

(36)

sawit dan produktivitas minyak sawit Indonesia. Persamaan luas areal kelapa sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil CPO domestik, harga riil karet domestik, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit Indonesia dan luas areal kelapa sawit Indonesia tahun sebelumnya. Pada persamaan produktivitas kelapa sawit Indonesia menunjukkan bahwa harga riil ekspor CPO, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit dan produktivitas CPO Indonesia tahun sebelumnya berpengaruh nyata, sedangkan harga riil CPO domestik dan harga riil pupuk domestik tidak berpengaruh secara nyata. Pengenaan pajak ekspor CPO untuk pengamanan pasokan domestik mestinya hanya menjadi kebijakan jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang kebijakan dari sisi produksi akan lebih efektif.

2.4.2 Penelitian Mengenai Minyak Goreng Sawit dan Minyak Goreng Kelapa Hasil kajian yang dilakukan oleh Suharyono (1996) mengkaji mengenai Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak Sawit dan Hasil Industri yang Menggunakan Bahan Baku Minyak Sawit di Indonesia. Data yang digunakan pada penelitian tersebut adalah data sekunder dalam time series periode 1969-1993. model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap atau Linear Three Stage Least Squares (LTSLS). Hasil estimasi menunjukkan bahwa luas areal produktif tidak responsif terhadap perubahan masing-masing peubah eksogen yang diperhitungkan dalam model, disamping itu

(37)

produktivitas minyak sawit domestik hanya responsif terhadap perubahan harga ekspor.

Produksi minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif terhadap teknologi dan permintaan minyak goreng sawit domestik. Disamping itu produksi margarine dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang juga responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan permintaan minyak sawit minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan besar pengruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan. Permintaan minyak goreng sawit, margarine dan sabun baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan nasional. Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak goreng sawit dan minyak goreng kelapa dilihat dari sisi konsumen lebih cenderung bersifat substitusi.

Peubah trend teknologi ternyata mampu memberikan pengaruh yang besar pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarine dan sabun. Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun demikian harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar pada penawaran penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit dunia dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan harga ekspor minyak sawit Indonesia. Sedangkan harga ekspor minyak

(38)

sawit Indonesia ke pasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ternyata memberikan pengaruh yang besar pada perubahan volume ekspor komoditi itu ke pasar MEE.

Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak responsifnya perubahan harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarine maupun sabun terhadap perubahan teknologi.

Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah (1) kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga tertinggi; (2) kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari harga pupuk rata-rata dan; (3) kebijakan peningkatan pendapatan nasional.

Penelitian mengenai minyak goreng juga dilakukan oleh Ratri (2004) yang menganalisis permintaan dan dan penawaran minyak goreng kelapa di Indonesia dengan menggunakan metode persamaan simultan 2SLS. Hasil estimasi dari penelitian Ratri menunjukkan bahwa persamaan penawaran menunjukkan bahwa harga minyak goreng kelapa, harga minyak kelapa kasar dan stok tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata pada penawaran sedangkan upah dan trend berpengaruh nyata terhadap penawaran. Hasil estimasi persamaan permintaan menunjukkan bahwa harga minyak goreng kelapa, harga minyak goreng sawit, trend dan permintaan tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap permintaan, sedangkan hasil estimasi persamaan ekspor menunjukkan bahwa harga ekspor, nilai tukar dan dummy kebijakan pembebasan ekspor berpengaruh nyata terhadap

(39)

ekspor. Semua variabel dalam persamaan penawaran, permintaan dan ekspor tidak responsif dalam jangka pendek.

2.4.3 Penelitian Mengenai Two-Stage Least Square (2SLS)

Jamaludin (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan metode

Two- Stage Least Square (2SLS) untuk menganalisis dampak kebijakan

perdagangan gandum-tepung terigu terhadap keseimbangan tepung terigu di Indonesia. Model yang dirumuskan oleh Jamaludin terdiri dari 7 persamaan yang di dalamnya terdiri dari persamaan identitas dan persamaan struktural. Seluruh jumlah variabel yang membangun berjumlah 29 variabel. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa produksi tepung terigu Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh variabel harga tepung terigu domestik, jumlah impor gandum, upah tenaga kerja di sektor Industri, dan bedakala produksi tepung terigu Indonesia. Permintaan tepung terigu ditentukan dan responsif terhadap harga tepung terigu domestik, pendapatan nasional, jumlah penduduk dan dummy kebijakan perdagangan impor gandum-tepung terigu. Sedangkan untuk harga tepung terigu domestik secara nyata ditentukan oleh penawaran tepung terigu Indonesia dan trend waktu.

Widayunita (2007) juga melakukan penelitian dengan menggunakan metode 2SLS untuk menganalisa daya saing industri semen Indonesia periode 1978-2005. Dalam penelitiannya Ia menggunakan metode 2SLS dan metode

Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis faktor-faktor yang

(40)

terhadap penyerapan tenaga kerja. Penelitian Pristia menggunakan dua persamaan struktural yang diestimasi dengan menggunakan persamaan simultan. Kedua persamaan tersebut diubah kedalam bentuk double log, kecuali variabel-variabel yang sudah dalam bentuk persen. Bentuk logaritma menunjukkan persentase perubahan variabel independent terhadap variabel dependent. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri semen Indonesia memiliki tingkat daya saing yang kuat di pasar internasional. Daya saing industri semen Indonesia dipengaruhi secara positif oleh produktivitas, efisiensi, ekspor semen Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, jumlah tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja dan dipengaruhi secara negatif oleh dummy krisis. Daya saing industri semen Indonesia berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja.

(41)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan atau pertukaran secara ekonomi dapat diartikan sebagai proses tukar-menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela. Perdagangan akan terjadi bila diantara pihak yang melakukan perdagangan mendapatkan manfaat atau keuntungan. Demikian pula halnya dengan perdagangan internasional. Dalam arti sempit, perdagangan internasional merupakan suatu proses yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditi antar negara. Apabila perdagangan internasional tidak ada, maka masing-masing negara harus mengkonsumsi hasil produksinya sendiri (Salvatore, 1997).

Perdagangan internasional dalam arti luas merupakan alat penggerak bagi pertumbuhan sektor ekonomi di suatu negara. Seiring dengan terus meningkatnya taraf hidup dan kebutuhan masyarakat, meningkatnya peran teknologi, komunikasi, sumberdaya, serta perubahan politik dunia, maka kehidupan suatu negara akan semakin terkait dengan perkembangan keadaan negara lain.

Menurut Halwani dalam Ervina (2005) negara-negara akan melakukan perdagangan bila mereka memperoleh manfaat atau keuntungan didalam perdagangan tersebut (gains from trade). Karena dengan adanya perdagangan internasional akan berdampak cukup luas terhadap perekonomian suatu negara, baik aspek ekonomi maupun non-ekonomi. Ada dua alasan mengapa hal ini

(42)

terjadi yaitu karena setiap negara mempunyai keunggulan komparatif yang berbeda dan untuk tujuan skala ekonomis (economic of scale).

Pada dasarnya beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional suatu negara dengan negara lainnya bersumber dari keinginan memperluas pasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara, serta akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu. Dalam teori mengenai timbulnya perdagangan internasional, Heckser-Ohlin menganggap bahwa suatu negara dicirikan oleh faktor bawaan yang berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama. Berdasarkan asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan fungsi produksi yang sama dan faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara cenderung untuk mengekspor komoditi yang menggunakan faktor produksi yang lebih banyak dan secara relatif murah, dan mengimpor barang-barang yang menggunakan faktor-faktor produksi yang relatif langka dan mahal (Salvatore, 1997).

Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misal CPO) ke negara lain (misal negara B) karena harga domestik di negara A lebih rendah jika dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Struktur harga yang relatif rendah di negara A tersebut disebabkan adanya kelebihan penawaran (excess supply) yaitu produksi domestik yang melebihi konsumsi domestik. Dalam hal ini faktor produksi di negara A relatif berlimpah. Dengan demikian negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di pihak lain, negara B terjadi kekurangan penawaran

(43)

karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand) sehingga harga menjadi tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli komoditi negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka dapat terjadi perdagangan antara kedua negara tersebut dimana negara A akan mengekspor komoditi CPO ke negara B (Salvatore, 1997).

Secara grafis terjadinya perdagangan antara negara A dan negara B dapat dilihat pada Gambar 3.1. Sebelum terjadi perdagangan internasional, keseimbangan di negara A terjadi pada titik Ea dengan jumlah produksi sebesar Qa1 dan harga yang terjadi adalah P1. Di negara B keseimbangan terjadi pada titik Eb dengan dengan jumlah produksi sebesar Qb1 dan harga yang terjadi adalah sebesar P3. Harga di negara A (P1) lebih rendah daripada harga di negara B (P3).

Produsen di negara A akan memproduksi lebih banyak dari tingkat konsumsi domestik untuk harga di atas P1. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya excess supply di negara A. Sementara untuk harga di bawah P3, negara B akan meminta lebih banyak dari tingkat produksi domestiknya. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya excess demand di negara B. Kemudian terjadilah perdagangan antara negara A dan negara B. Penawaran ekspor pada pasar internasional digambarkan oleh kurva Sw yang merupakan excess supply dari negara A. Permintaan impor digambarkan oleh kurva Dw yang merupakan excess

demand dari negara B. Keseimbangan di pasar dunia terjadi pada titik Ew yang menghasilkan harga dunia sebesar P2 dimana negara A mengekspor sebesar (Qa2-Qa3) yang sama jumlahnya dengan yang diimpor negara B (Qb2-Qb3) jumlah

(44)

ekspor dan impor tersebut ditunjukkan oleh volume perdagangan sebesar Qw pada pasar dunia.

Grafik A Grafik B Grafik C Pasar di negara A Hubungan perdagangan Pasar di Negara B Untuk komoditi CPO internasional untuk komoditi untuk komoditi

CPO CPO

3.1.2Teori Nilai Tukar

Kegiatan ekspor suatu komoditi yang terjadi di pasar internasional tidak terlepas dari masalah nilai tukar yang terjadi. Nilai tukar adalah harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual (Lipsey, 1995). Nilai tukar ini akan mempengaruhi kebijakan perdagangan antara masing-masing negara pengekspor dan pengimpor. Peningkatan atau penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing dapat mempengaruhi volume ekspor yang diperdagangkan. Bertambah mahal atau murahnya suatu komoditas

Q Q Ekspor SA B A Ea P P3 P2=Pw P1 Sw Ew DA Dw P P3 P2 A B Impor Eb SB DB Sumber : Salvatore, 1997

Gambar 3.1 Terjadinya Perdagangan Internasional

Qa2 Qa1 Qa3 Qw Qb2 Qb1 Qb3 P P2=Pw P1 Q

(45)

ekspor di pasar internasional sangat ditentukan oleh nilai tukar mata uang suatu negara.

Kondisi nilai tukar seperti terdepresiasinya Rupiah terhadap Dollar Amerika merupakan faktor yang dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran ke kanan. Terdepresiasinya Rupiah terhadap Dollar Amerika membuat harga CPO Indonesia relatif lebih murah sehingga mendorong terjadinya peningkatan jumlah penawaran ekspor. Mekanisme pengaruh perubahan nilai tukar terhadap volume ekspor dapat dilihat pada Gambar 3.2. Apabila di negara A terjadi depresiasi nilai tukar yang terlihat pada penurunan nilai tukar dari e1 menjadi e2. Penurunan nilai tukar yang terjadi menyebabkan terjadinya peningkatan output pada kurva IS. Peningkatan output ini terjadi karena adanya peningkatan ekspor bersih sebagaimana ditunjukkan pada gambar perpotongan keynesian. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa penurunan nilai tukar (depresiasi) menyebabkan tejadinya peningkatan volume ekspor. Selanjutnya dapat dijelaskan pula bagaimana mekanisme peningkatan volume ekspor yang disebabkan penurunan nilai tukar pada gambar perdagangan internasional. Semula sebelum terjadinya penurunan nilai tukar, besarnya excess supply di negara A sebesar X1X2. Setelah terjadinya penurunan nilai tukar menyebabkan terjadinya peningkatan excess

supply menjadi X3X4. Kondisi ini mengakibatkan kurva supply dunia mengalami pergeseran dengan titik awal yang sama. Pergeseran kurva supply dunia dari SW menjadi SW1 menyebabkan tingkat harga dunia yang terjadi lebih rendah dan volume perdagangan internasional meningkat dari 0Q menjadi 0Q1. Negara pengimpor merespon perubahan harga ini dengan meningkatkan jumlah impornya.

(46)

Besarnya volume ekspor negara A setelah depresiasi nilai tukar (X3X4.) sama dengan besarnya volume impor negara B (M3M4).

Pengeluaran Pengeluaran aktual

NX2 NX1 E Y1 Y2 Y1 Y2 Negara Pengimpor e2 e1 Kurs, e e2 e1 (Output) Kurs, e Perdagangan Internasional SA DA (Ekspor bersih) NX2 NX1 SW1 SW X2 X3 X4 X1 Negara Pengekspor Q1 Q DW M3 M2 M4 M1 SB DB Pw 0 Sumber : Mankiw, 2003

Gambar 3.2 Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir pada Keseimbangan Perdagangan Internasional

(47)

3.1.3 Teori Penawaran Ekspor CPO Indonesia

Penawaran suatu komoditas merupakan jumlah komoditas yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditas adalah harga komoditas yang bersangkutan, harga faktor produksi, tingkat teknologi, pajak dan subsidi (Lipsey dkk, 1995).

Berdasarkan pengertian lebih luas, ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen dari negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk stok (Kindleberger and Lindert, 1982). Dengan pengertian ini, maka ekspor minyak sawit dapat didefinisikan sebagai berikut :

Xt = Q – Ct + St (3.1) Dimana :

Xt = Jumlah ekspor pada tahun ke-t

Qt = Jumlah produksi domestik pada tahun ke-t Ct = Jumlah konsumsi pada tahun ke-t

St = Jumlah stok awal tahun ke-t

Asumsi yang digunakan dalam (3.1) adalah impor minyak sawit negara pengekspor relatif sangat kecil dibandingkan dengan jumlah produksinya, sehingga dapat diabaikan. Konsumsi domestik negara produsen pada umumnya relatif stabil sehingga dapat diabaikan. Mengingat besarnya tingkat produksi minyak sawit bila dibandingkan dengan permintaannya, maka walaupun terdapat stok di negara produsen diduga bukanlah berfungsi sebagai penyangga (buffer),

(48)

namun merupakan sisa produksi pada akhir tahun yang tidak dapat disalurkan di pasar internasional.

Penawaran ekspor suatu negara juga dipengaruhi oleh tingkat bunga dan nilai tukar valuta asing di negara pengekspor dan di negara partner dagang negara pengekspor (Branson and Litvack dalam Imi, 2007). Demikian juga harga minyak sawit negara produsen lain sebagai mitra dagang, berbagai kebijakan pemerintah suatu negara atau kebijaksanaan internasional, tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi keragaman ekspor suatu negara. Dengan demikian, maka fungsi penawaran ekspor minyak sawit suatu negara dalam bentuk dinamis dapat dirumuskan sebagai berikut ;

Xt = f (HXt, HDIt, Qt, XRt, Vt, Xt-1) (3.2) Dimana :

HXt = Harga ekspor minyak sawit pada tahun t HDIt = Harga minyak sawit domestik pada tahun t Qt = Produksi pada tahun t

ERt = Nilai tukar mata uang asing pada tahun t

Vt = Faktor – faktor lain yang mempengaruhi ekspor tahun t Xt-1 = Jumlah ekspor minyak sawit pada tahun t-1

3.1.4 Kebijakan Pajak Ekspor

Proses perdagangan internasional yang dilakukan oleh berbagai negara diwarnai dengan adanya hambatan-hambatan perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara untuk tujuan tertentu seperti untuk meningkatkan kesejahteraan

(49)

nasional, dan sebagainya. Hambatan perdagangan yang diterapkan oleh suatu negara dapat mempengaruhi harga suatu komoditi yang diperdagangkan. Apabila negara yang memberlakukan hambatan perdagangan adalah negara besar, maka pemberlakuan hambatan tersebut akan berpengaruh pada harga komoditi perdagangan dunia. Namun, jika negara yang memberlakukan hambatan perdagangan adalah negara kecil maka pemberlakuan hambatan tersebut hanya berpengaruh pada harga komoditi di negara tersebut.

Negara-negara dapat menghambat perdagangan luar negeri dengan membuat hambatan ekspor maupun impor. Salah satu bentuk hambatan perdagangan yang sering diterapkan di negara eksportir adalah kebijakan tarif ekspor, yaitu pajak yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diekspor ke negara lain.

Piermartini dalam Fitri (2007) menjelaskan bahwa produk yang menjadi subjek untuk pajak ekspor biasanya merupakan produk pertanian seperti gula, kopi, produk kehutanan, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan, mineral, produk logam dan produk kulit. Efek pajak ekspor tergantung pada kekuatan pasar yang ada. Pelaksanaan pajak ekspor oleh negara yang memiliki kekuatan pasar akan lebih efektif dibandingkan dengan negara tanpa kekuatan pasar dalam hal mempengaruhi harga internasional, volume perdagangan dan distribusi pendapatan. Sementara itu, dampak pajak ekspor pada suatu negara yang tidak memiliki kekuatan pasar akan memperburuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bagaimanapun apabila terjadi peningkatan perdagangan, hal tersebut akan diikuti dengan peningkatan harga ekspor.

(50)

P Q Q D Sd Se1 Se2 Se De Pe2 Pe1 P1 P2 P0 Q1 Q5 Q3 Q4 Q6 Q2

Industri CPO Ekspor CPO

P

Sumber : Puteri et all. dalam Fitri, 2007

Gambar 3.3 Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO Terhadap Industri CPO

Crude palm Oil (CPO) adalah salah satu komoditas ekspor perkebunan

yang telah dikenakan pungutan ekspor. Sejak Maret 2001 sampai dengan November 2005, ekspor CPO dikenakan tarif pungutan ekspor sebesar tiga persen. Pengaruh pajak ekspor terhadap harga, permintaan, dan penawaran domestik dibandingkan dengan tidak dikenakan pungutan ekspor dapat dijelaskan pada Gambar 3.3.

Pada saat tidak dikenakan pajak ekspor maka harga ekspor akan sama dengan harga domestik, yaitu sebesar P0. Dengan harga tersebut, jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebanyak Q2 dan jumlah yang diminta perusahaan domestik sebanyak Q1, sehingga banyaknya CPO yang diekspor sebesar Q1Q2. Dengan pengenaan tarif ekspor sebesar tiga persen maka kurva penawaran (Se) akan bergeser ke kiri atas menjadi Se1. Pada saat itu harga ekspor sebesar Pe1,

(51)

tetapi yang diterima eksportir sebesar P1, yang lebih rendah dari P0. Akibatnya jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebesar Q4 sedangkan yang diminta oleh perusahaan domestik sebesar Q3. Hal ini berakibat jumlah yang diekspor berkurang menjadi Q3Q4 (lebih kecil dari Q1Q2). Disisi lain, penurunan ekspor CPO ini berpengaruh terhadap industri hilirnya yaitu minyak goreng sawit, karena industri tersebut akan lebih banyak menerima pasokan bahan baku, sehingga stabilitas harga minyak goreng sawit yang mencerminkan keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri dapat terjaga.

Pajak ekspor CPO sejak Desember 2005 diturunkan dari tiga persen menjadi 1,5 persen. Dampak penurunan ini juga dapat dijelaskan pada Gambar 3.3. Penurunan pajak ekspor dari tiga persen menjadi 1,5 persen dapat digambarkan oleh pergeseran kurva penawaran ekspor dari Se1 menjadi Se2. Dengan asumsi permintaan ekspor tetap, maka harga ekspor turun dari Pe1 menjadi Pe2 dan harga yang diterima eksportir (produsen CPO) meningkat dari P1 menjadi P2. Hal ini menjadi daya tarik bagi para produsen CPO untuk lebih banyak lagi dalam mengekspor CPO. Akibatnya jumlah CPO domestik yang ditawarkan meningkat dari Q6, yang diminta turun dari Q3 menjadi Q5 dan yang diekspor meningkat dari Q3Q4 menjadi Q5Q6. Hal ini akan berpengaruh pada kelangkaan bahan baku untuk industri minyak goreng sawit dalam negeri sehingga supply minyak goreng sawit menjadi berkurang yang akan memicu kenaikan harga minyak goreng sawit dalam negeri.

(52)

3.1.5 Teori Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia

Penawaran adalah jumlah suatu barang dan jasa yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan kondisi tertentu. Jumlah produksi yang ditawarkan di pasar berasal dari produksi pada waktu tertentu dan persediaan (inventory) dari periode-periode sebelumnya.

Perubahan pada penawaran dapat terjadi karena adanya pengaruh dari beberapa faktor seperti :

1. Harga komoditi itu sendiri (H)

Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan, ceteris paribus. Semakin tinggi harga suatu komoditi, semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh para produsen/penjual. Sebaliknya semakin rendah harga suatu komoditi, maka semakin sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan oleh para produsen/penjual. 2. Harga komoditi lain (HS)

Berbagai komoditi dapat disubstitusi atau saling komplemen dalam produksi maupun dalam konsumsi. Jika harga komoditi substitusi meningkat, maka penawaran komoditi yang bersangkutan akan menurun. Sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang bersangkutan.

3. Teknologi (T)

Bila terjadi perubahan atau peningkatan pada teknologi dalam proses produksi maka akan terjadi perubahan pada produksi yang cenderung meningkat. Bila

(53)

produksi meningkat karena perubahan teknologi berarti penawaran pun akan meningkat.

4. Harga Input /Faktor-faktor produksi (HF)

Apabila harga faktor produksi turun, maka produsen akan menambah penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan meningkat. Jika harga faktor produksi meningkat, maka produsen akan cenderung mengurangi penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan menurun. Turunnya hasil/produksi secara otomatis menyebabkan turunnya penawaran.

5. Jumlah Produsen (PRD)

Jika jumlah produsen bertambah, maka produksi yang ditawarkan akan meningkat.

6. Tujuan Perusahaan (TP)

Dalam teori ekonomi, perusahaan diasumsikan bertujuan untuk mencapai laba yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak berorientasi kepada maksimisasi laba sehingga perusahaan tersebut dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.

7. Pajak dan Subsidi (Tx)

Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Dengan demikian, penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan

Gambar

Tabel 1.1 Produksi Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton)
Tabel 1.2 Volume Ekspor  Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton)
Gambar 2.1 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2000-2006
Gambar 2.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia  Tahun 2000-2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti

uji hipotesis menggunakan Independent samples t-test pada kelompok perlakuan p = 0,029 (p < 0,05), hal ini menunjukkan bahwa perbedaan penambahan intervensi

Berdasarkan hasil dan analisis data studi kasus tentang kebiasaan belajar siswa SMP Negeri 1 Rantau Pandan Kabupaten Bungo Propinsi Jambi sesuai dengan analisis

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas

Pada waktu yang bersamaan kelompok P.lombinasi diberi diet tinggi kolesterol yaitu suspensi otak sapi sebanyak 3 ml per tikus per hari dan diet kombinasi madu + minyak

Dengan metode deskriptif analitis ini akan dikaji mengenai konsistensi Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Penerapan

Preferensi bila dilihat dari Axis saja, prioritas yang perlu ditekankan untuk ke depannya yaitu tarif sms yang selama ini bisa dikatakan masih belum murah, kualitas sinyal,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan peneliti maka disimpulkan secara umum bahwa: Guru menanamkan perilaku disiplin dengan cara menetapkan