• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Estimasi Parameter Model

Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik menunjukkan hasil yang memuaskan karena sebagian besar parameter-parameter dari setiap persamaan memberikan tanda yang sesuai dengan teori dan hipotesis. Masalah autokorelasi dan heteroskedastisitas tidak ditemukan dalam persamaan, baik dalam penawaran ekspor CPO Indonesia, permintaan impor dan produksi minyak goreng sawit Indonesia maupun permintaan dan harga minyak goreng sawit Indonesia. Masalah autokorelasi dapat dilihat pada uji autokorelasi yang menyajikan nilai

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Nilai Breusch-Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test yang lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan menunjukkan tidak

terdapat masalah autokorelasi dalam persamaan (Gujarati, 2000). Masalah heteroskedastisitas juga tidak ditemukan dalam persamaan karena nilai White

Heteroskedasticity Test lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan, begitu

juga dengan uji normalitas pada setiap persamaan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada pembahasan di bawah ini.

5.1.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan penawaran ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia bernilai 0,9940 artinya persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model

tersebut sebesar 99,40 persen dan sisanya sebesar 0,60 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,1602 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan

yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik, jumlah penduduk Indonesia dan lag ekspor CPO (Tabel 5.1).

Variabel harga riil ekspor CPO Indonesia memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5 persen terhadap ekspor CPO Indonesia dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan bernilai 0,0040, artinya apabila harga riil ekspor CPO meningkat sebesar 1 US$/ton maka akan mengakibatkan peningkatan penawaran ekspor CPO sebesar 0,0040 juta ton. Ekspor CPO Indonesia tidak responsif terhadap perubahan harga riil ekspor yang diperlihatkan oleh nilai elastisitas sebesar 0,27 dalam jangka pendek, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan harga riil ekspor CPO sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan ekspor CPO sebesar 0,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga riil ekspor CPO tidak akan memberikan dampak perubahan yang terlalu besar terhadap peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia.

Variabel nilai tukar riil berpengaruh nyata pada penawaran ekspor CPO Indonesia. Tanda parameter estimasi yang diperoleh tidak sesuai dengan parameter yang diharapkan. Secara teori ekonomi apabila terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika, maka ekspor akan meningkat, tetapi yang

terjadi adalah sebaliknya. Pada saat terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap

Dollar Amerika ditahun 1991, jumlah ekspor CPO Indonesia justru mengalami

peningkatan sebesar 43,17 persen karena adanya kebijakan pembebasan pajak ekspor yang dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut terus berlangsung sampai dengan tahun 1994 dimana peningkatan volume ekspor yang cukup besar yang mengakibatkan kurangnya pasokan minyak sawit dalam negeri membuat pemerintah untuk menetapkan pajak ekspor CPO yang berkisar antara 40 persen sampai dengan 50 persen. Dengan adanya kebijakan pemerintah pada industri kelapa sawit yang berupa kebijakan tataniaga minyak sawit seperti pembebasan ekspor, pelarangan ekspor, patokan harga ekspor dan pajak ekspor menyebabkan jumlah CPO yang diekspor menjadi fluktuatif.

Produksi CPO domestik berpengaruh nyata pada taraf 1 persen terhadap ekspor CPO Indonesia dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan bernilai 1,0354, artinya jika produksi CPO domestik meningkat sebesar 1 juta ton maka akan mengakibatkan peningkatan penawaran ekspor CPO sebesar 1,0354 juta ton. Volume ekspor CPO Indonesia responsif terhadap perubahan produksi CPO domestik dalam jangka pendek dan mempunyai nilai elastisitas sebesar 1,80, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan produksi CPO sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan ekspor CPO sebesar 1,80. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan produksi CPO Indonesia sebagian besarnya diperuntukkan bagi ekspor.

Tentunya, orientasi yang lebih dari industri CPO terhadap peluang ekspor dapat mengganggu kestabilan industri pengolahan kelapa sawit domestik, salah satunya industri minyak goreng. Kebijakan dari pemerintah terhadap penerapan PE dapat dikatakan berhasil. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang berlawanan antara ekspor CPO dan PE dengan nilai 0,026, artinya jika pemerintah menaikkan PE CPO sebesar 1 persen, maka volume ekspor CPO Indonesia diduga akan mengalami penurunan sebesar 0,026 juta ton. Hal ini dikarenakan dengan adanya PE, maka penerimaan yang akan diperoleh para eksportir CPO akan berkurang dibandingkan jika tidak diberlakukan PE CPO, sehingga mereka mengurangi jumlah CPO yang diekspor. Pernyataan ini kembali dibuktikan dengan perhitungan pada elastisitas PE CPO Indonesia terhadap ekspor CPO Indonesia dalam jangka pendek yang bernilai -0.091, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan PE sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan menurunkan ekspor CPO sebesar 0,091 persen.

Variabel populasi Indonesia berpengaruh negatif dan nyata terhadap ekspor CPO Indonesia pada taraf 10 persen dan tanda yang diperoleh sesuai dengan parameter yang diharapkan. Hal ini dikarenakan kebutuhan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng sawit domestik akan semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya konsumsi minyak goreng sawit karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia.

Lag ekspor CPO Indonesia berpengaruh positif terhadap ekspor CPO

Variabel lag ini tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia tahun analisis. Hal ini dikarenakan adanya PE CPO yang ditetapkan oleh pemerintah. Jumlah ekspor CPO Indonesia tahun 1990 sebesar 0,8155 juta ton dan meningkat menjadi 1,1677 juta ton ditahun 1991 karena adanya keputusan pemerintah mengenai paket kebijakan deregulasi yang berupa pembebasan sistem tataniaga minyak sawit dan pajak ekspor. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1994 pemerintah mulai memberlakukan kembali pajak ekspor antara 40 persen hingga 50 persen yang mengakibatkan penurunan ekspor CPO dari sebesar 1,6312 juta ton ditahun 1994 menjadi 1,2650 juta ton ditahun 1995. Adanya kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh pemerintah di sektor industri CPO menyebabkan volume CPO yang diekspor menjadi fluktuatif setiap tahunnya, sehingga lag ekspor CPO tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia tahun analisis.

Dari hasil perhitungan elastisitas pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah variabel produksi CPO domestik, hal ini menjadi indikasi bahwa memang ekspor CPO akan terus meningkat setiap tahunnya dimana kondisi Indonesia yang begitu berlimpah akan komoditas CPO. Kebijakan pengendalian ekspor yang dilakukan pemerintah agar ditetapkan bukan untuk menghambat industri untuk melakukan ekspor, namun sebagai instrumen agar ekspor yang terjadi tidak melupakan kebutuhan pasokan CPO domestik.

Tabel 5.1 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia

Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr) Koefisien 7,964767 0,1945 Harga riil ekspor

CPO (HXCPO) 0,003953 *0,0167 0,25

Nilai tukar riil

(XRR) 0,000355 ***0,1243

Pajak ekspor CPO

(PE) -0,02590 *0,0045 -0,091

Produksi CPO

domestik (QCPO) 1,035426 *0,0006 1,80

Populasi Indonesia

(POP) -0,065287 **0,0767

Lag ekspor CPO

(XCPO(-1)) 0,060552 0,7753

R2 = 0,9940 F value = 246,59 Prob (F value) = <.0001

Sumber : Lampiran 3.

Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % ** Nyata pada taraf 10 % * Nyata pada taraf 5 %

5.1.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia bernilai 0,7145 artinya persamaan permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 71,45 persen dan sisanya sebesar 28,55 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test sebesar 0,1562 lebih besar dari taraf nyata

yang digunakan yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi oleh

nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga riil impor minyak goreng, permintaan minyak goreng domestik, pendapatan nasional dan lag impor minyak goreng sawit Indonesia.

Nilai tukar berpengaruh positif terhadap impor minyak goreng sawit Indonesia dan tanda yang diperoleh sesuai dengan hipotesis, dimana ketika terjadi apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, maka jumlah yang diimpor semakin besar. Hal ini disebabkan karena apresiasi nilai tukar yang terjadi pada suatu negara akan menyebabkan harga-harga barang di negara lain relatif lebih murah, sehingga mendorong bagi negara yang bersangkutan untuk melakukan impor. Variabel nilai tukar tidak berpengaruh nyata terhadap impor minyak goreng. Hal ini disebabkan bahwa impor minyak goreng lebih diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri, sehingga tidak dipengruhi oleh nilai tukar. Impor minyak goreng sawit memang masih relatif kecil, yakni hanya sebesar 74,18 ribu ton per tahun, namun perkembangannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Rata-rata perkembangan impor minyak goreng periode 1990-2006 adalah sebesar 55,87 persen per tahun.

Harga riil impor minyak goreng berpengaruh negatif dan nyata pada taraf 5 persen. Parameter yang diperoleh tidak sesuai dengan hipotesis, hal ini mengindikasikan bahwa harga riil impor minyak goreng tidak mempengaruhi importir untuk melakukan impor minyak goreng dari negara lain. Adanya peningkatan harga riil impor minyak goreng pada tahun 1996 sebesar 0,009 persen justru diikuti oleh impor minyak goreng yang meningkat sebesar 56,9

persen. Hal ini dikarenakan konsumsi minyak goreng sawit Indonesia yang tinggi yaitu sebesar 14,9 kilogram per kapita per tahun.

Pernyataan di atas dibuktikan dengan hasil estimasi parameter pada variabel permintaan minyak goreng sawit Indonesia yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap impor minyak goreng Indonesia pada taraf 5 persen. Permintaan minyak goreng sawit yang semakin meningkat akan menyebabkan impor minyak goreng juga semakin meningkat. Impor minyak goreng Indonesia tidak responsif terhadap perubahan permintaan minyak goreng sawit Indonesia dalam jangka pendek dan mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,0092, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan impor minyak goreng sebesar 0,0092 persen.

Pendapatan nasional Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap impor minyak goreng Indonesia. Tanda parameter yang diperoleh telah sesuai dengan hipotesis sebelumnya. Impor minyak goreng Indonesia tidak responsif terhadap perubahan pendapatan nasional Indonesia dalam jangka pendek dan mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,0085, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan pendapatan nasional sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan impor minyak goreng Indonesia sebesar 0,0085 persen.

Impor minyak goreng sawit tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap impor minyak goreng sawit pada tahun analisis. Koefisien yang diperoleh juga bertanda negatif dan tidak sesuai dengan hipotesis. Besarnya impor

minyak goreng sawit disesuaikan dengan kebutuhan akan permintaan minyak goreng dalam negeri, sehingga jumlah impor minyak goreng tahun sebelumnya tidak mempengaruhi jumlah impor minyak goreng pada tahun analisis.

Jika dilihat dari nilai elastisitas pada persamaan permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia (Tabel 5.2), variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah variabel permintaan minyak goreng domestik. Artinya, apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahan impor minyak goreng yang semakin lama semakin bertambah, lebih baik pemerintah membuat suatu kebijakan untuk mengamankan pasokan minyak goreng dalam negeri baik untuk permintaan langsung bagi masyarakat umum maupun permintaan tidak langsung oleh industri pengguna minyak goreng sawit.

Tabel 5.2 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia

Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr) Koefisien -604938,89 0,0091

Nilai Tukar (XRR)

0,019515 0,4384 Harga Riil Impor

(PIMMG) 1364,17 *0,0090 Permintaan MG (QDMG) 0,254952 *0,0082 0,0092 Pendapatan Nasional (GDP) 0,00045219 *0,0546 0,0085 Lag Impor MG (IMMG(-1)) -0,028656 0,8826 R2 = 0,7145 F value = 5,003281 Prob (F value) = 0,0014837 Sumber : Lampiran 4.

Keterangan : * Nyata pada taraf 5 %

5.1.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia bernilai 0,9982 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 99,82 persen dan sisanya sebesar 0,18 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,2783 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan

yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi harga riil minyak goreng sawit domestik, luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis ekonomi, upah riil tenaga kerja dan lag produksi minyak goreng sawit.

Harga riil minyak goreng sawit domestik berpengaruh positif terhadap produksi minyak goreng sawit. Hal ini sesuai dengan parameter yang diharapkan, bahwa adanya peningkatan pada harga minyak goreng sawit merupakan insentif bagi para produsen minyak goreng untuk memproduksi lebih banyak lagi produk keluarannya. Variabel harga minyak goreng sawit domestik tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi minyak goreng sawit pada taraf 15 persen, hal ini dikarenakan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan strategis masyarakat Indonesia, dimana penetapan harga dan kuantitasnya akan selalu mendapat perhatian dari pemerintah, sehingga harga dan ketersediannya terjamin dan terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya, adanya peningkatan pada harga minyak goreng tidak berpengaruh terhadap produksi minyak goreng.

Dengan laju peningkatan luas areal kelapa sawit sekitar 3,42 juta Ha per tahun, produksi minyak goreng sebagai industri hilir dari industri minyak sawit juga mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu sebesar 11,15 persen per tahun. Dibuktikan dari hasil estimasi pada persamaan produksi minyak goreng bahwa luas areal kelapa sawit berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen terhadap produksi minyak goreng sawit, hal ini sesuai dengan hipotesis dimana adanya peningkatan luas areal kelapa sawit akan meningkatkan jumlah CPO yang diproduksi sebagai bahan baku dari industri minyak goreng sawit, sehingga jumlah minyak goreng yang diproduksi juga bertambah. Jika dilihat dari nilai elastisitasnya, produksi minyak goreng tidak responsif terhadap perubahan luas areal kelapa sawit dalam jangka pendeknya, yaitu sebesar 0,35. Dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan luas

areal kelapa sawit sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan produksi minyak goreng sebesar 0,35persen.

Kebanyakan dari produsen minyak goreng memiliki industri terpadu mulai dari perkebunan sawit, pengolahan CPO dan pabrik minyak goreng, sehingga adanya peningkatan luas areal kelapa sawit akan meningkatkan jumlah CPO yang diproduksi dan selanjutnya akan meningkatkan jumlah produksi minyak goreng sawit, hal ini dibuktikan dari hasil estimasi pada variabel produksi CPO domestik yang berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen. Nilai elastisitas produksi CPO domestik dalam jangka pendek bernilai 0,32 artinya kenaikan jumlah produksi CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan jumlah produksi minyak goreng sebesar 0,32persen.

Dummy krisis Indonesia berpengaruh nyata terhadap produksi minyak

goreng sawit pada taraf 5 persen dengan koefisien dugaan bertanda negatif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sekitar tahun 1997 membuat produsen minyak goreng sawit mengurangi jumlah produksinya karena mahalnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi.

Upah riil tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap produksi minyak goreng sawit, hal ini telah sesuai dengan hipotesis dimana adanya kenaikan dari biaya produksi akan membuat produsen untuk mengurangi jumlah produksinya. Variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng. Hal ini dikarenakan industri minyak goreng sawit adalah industri yang bersifat padat modal. Biaya-biaya produksi yang dikeluarkan lebih banyak digunakan untuk

perawatan dan perbaikan mesin-mesin dalam proses produksi, sehingga upah tenaga kerja tidak mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil produsen minyak goreng dalam proses produksinya.

Variabel lag produksi minyak goreng sawit berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi minyak goreng sawit tahun analisis. Tanda parameter yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, apabila lag produksi minyak goreng sawit meningkat, maka produksi minyak goreng sawit tahun analisis juga akan meningkat.

Dari perhitungan nilai elastisitas pada Tabel 5.3 di bawah juga menunjukkan bahwa apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahn kurangnya ketersediaan minyak goreng di pasaran, lebih baik pemerintah membuat suatu kebijakan yang mendukung adanya perluasan areal dan peningkatan produktivitas kelapa sawit, sehingga produksi CPO domestik dapat ditingkatkan untuk industri pengolahan CPO domestik seperti industri minyak goreng.

Tabel 5.3 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia

Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)

Koefisien -146,656801 0,8905

Harga riil minyak goreng sawit domestik

(HMGDR)

0,187798 0,2469 Luas areal kelapa sawit

(LA)

685,940763 *0,0308 0,35 Produksi CPO (QCPO) 296,603047 *0,0460 0,32

Dummy krisis ekonomi

(DK) -797,436665 *0,0335

Upah riil (UPR) -0,00932414 0,8213 Lag produksi minyak

goreng sawit (QMG(-1)) 0,390933 **0,1083 R2 = 0,9982

F value = 841,222 Prob (F value) = 0,0001

Sumber : Lampiran 5.

Keterangan : ** Nyata pada taraf 10 % * Nyata pada taraf 5 %

5.1.4 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan permintaan minyak goreng sawit Indonesia bernilai 0,9736 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 97,36 persen dan sisanya sebesar 2,64 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,8446 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan

yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi harga riil minyak goreng

sawit domestik, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan lag permintaan minyak goreng sawit Indonesia (Tabel 5.5).

Harga riil minyak goreng sawit domestik mempunyai koefisien dugaan bertanda negatif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap permintaan minyak goreng sawit. Artinya, ketika ada peningkatan harga pada komoditi minyak goreng sawit, maka masyarakat dan industri pengguna industri minyak goreng akan mengurangi jumlah konsumsinya atau jumlah permintaannya. Nilai elastisitas harga riil minyak goreng sawit domestik dalam jangka pendek bernilai -0,23 artinya adanya peningkatan harga minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan menurunkan jumlah permintaan minyak goreng sawit sebesar 0,23persen.

Harga riil minyak goreng kelapa mempunyai pengaruh yang nyata dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan, hal ini dikarenakan minyak goreng kelapa merupakan substitusi dari minyak goreng sawit. Adanya kenaikan pada harga minyak goreng kelapa menyebabkan permintaan akan minyak goreng sawit semakin meningkat karena beralihnya konsumsi masyarakat dan industri pengguna minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit. Nilai elastisitas harga riil minyak goreng kelapa domestik dalam jangka pendek bernilai 0,19 artinya adanya peningkatan harga minyak goreng kelapa domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan jumlah permintaan minyak goreng sawit sebesar 0,19persen.

Variabel pendapatan per kapita Indonesia berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap permintaan minyak goreng sawit Indonesia dengan koefisien

dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Nilai elastisitas pendapatan per kapita dalam jangka pendek bernilai 1,57. Dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan permintaan minyak goreng sawit sebesar 1,57 persen. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi minyak goreng sawit semakin meningkat dengan meningkatnya pendapatan seseorang dan jumlah penduduk Indonesia.

Variabel lag permintaan minyak goreng sawit berpengaruh signifikan terhadap permintaan minyak goreng sawit tahun analisis. Tanda parameter yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, apabila lag permintaan minyak goreng sawit meningkat, maka permintaan minyak goreng sawit tahun analisis juga akan meningkat. Kecenderungan konsumen yang rentan akan isu-isu yang berkembang dan keputusan ekonomi di masa lalu akan mempengaruhi perilaku pembelian mereka.

Nilai elastisitas dari variabel-variabel pada persamaan permintaan minyak goreng sawit Indonesia mengindikasikan bahwa jika tidak ada usaha pemerintah untuk mengintroduksi produk substitusi minyak goreng sawit dan peningkatan ketersediaan minyak goreng, maka variabel-variabel tersebut dalam jangka panjang akan memberikan respon perubahan yang cukup besar terhadap permintaan minyak goreng sawit.

Tabel 5.4 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia

Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)

Koefisien -2070,861915 0,0332

Harga riil minyak goreng

sawit (HMGDR) -0,137087 *0,0441 -0,17 Harga riil minyak goreng

kelapa (HMKD) 0,431732 ***0,1226 0,19 Pendapatan/kap (ICPK) 0,422148 *0,0144 1,10 Lag permintaan MG (QDMG(-1)) 0,689786 *0,0004 R2 = 0,9736 F value = 116,3347 Prob(F value) = 0,0001 Sumber : Lampiran 6.

Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % * Nyata pada taraf 5 %

5.1.5 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia bernilai 0,5403 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 54,03 persen dan sisanya sebesar 45,97 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,6347 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan

yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Harga riil minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi oleh penawaran minyak goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, harga riil CPO domestik, dummy krisis ekonomi dan lag harga minyak goreng sawit (Tabel 5.5).

Dokumen terkait