• Tidak ada hasil yang ditemukan

Riketsia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Riketsia"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

Diajukan sebagai salah satu persyaratan PPDS 1 Radiologi

RICKETS

Oleh :

dr. Triana Dyah Cahyawati

Pembimbing : dr. Hesti Gunarti, Sp.Rad

Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta 2013

(2)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi 3

B. Anatomi dan fisiologi tulang 3

C. Metabolisme tulang 6 D. Densitas tulang 9 E. Etiologi 9 F. Patofisiologi 10 G. Epidemiologi 11 H. Gejala klinis 11 I. Pemeriksaan radiologi 12 J. Pemeriksaan laboratorium 14

K. Diagnosis banding radiologis 14

L. Terapi 17

BAB III. LAPORAN KASUS 18

BAB IV. PEMBAHASAN 22

BAB V. KESIMPULAN 28

DAFTAR PUSTAKA 29

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Rickets merupakan suatu sindrom klinis yang menggambarkan spektrum

kelainan metabolik dengan abnormalitas gambaran radiologis dan histopatologis yang serupa yang disebabkan karena mineralisasi yang inadekuat atau lambat dari matriks organik tersintesis baru (osteoid) pada tulang yang imatur sebelum fusi fisis.1

Tulang yang sedang bertumbuh atau imatur rentan terhadap defisiensi nutrisi dan mencerminkan terjaganya mekanisme homeostatik dalam memelihara kalsium. Dua kelainan yang sering terjadi pada tulang imatur ini adalah rickets dan hiperparatiroidisme, yang pada umumnya sekunder akibat adanya kelainan ginjal kronis.2

Rickets aktif bermanifestasi hanya pada tulang yang mengalami

pertumbuhan sehingga kelainan ini tampak pada periode pertama pertumbuhan yang berlangsung cepat, yaitu usia antara 6 bulan dan 3 tahun. Tipe rickets yang kurang parah dapat tidak bermanifestasi sampai usia prepubertas. Rickets dilaporkan semakin banyak terjadi pada bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah. Patogenesis hal ini kemungkinan karena metabolik, nutrisional, dan pada beberapa kasus karena iatrogenik.3

Rickets dapat terjadi secara kongenital ataupun akuisita. Penyebab yang

biasa dijumpai antara lain yaitu karena defisiensi nutrisi terutama vitamin D, kalsium dan fosfat, paparan sinar matahari yang kurang, status malabsorpsi yang melibatkan pankreas, usus halus dan hepar, serta hidroksilasi yang abnormal.1,4

Rickets dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan radiologi turut berperan dalam menilai

rickets, dan dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto polos, CT scan, magnetic resonance imaging (MRI), skintigrafi, bone scan dan ultrasonografi (USG).1,5

Gambaran rickets pada foto polos tampak khas yaitu osifikasi yang abnormal yang menyebabkan retardasi tulang dan osteopenia. Gambaran radiografi paling awal pada rickets yaitu pelebaran lempeng epifisis disepanjang aksis longitudinal

(4)

tulang yang diikuti dengan penurunan densitas tulang pada sisi metafisis lempeng epifisis. Seriring dengan perkembangan penyakit, pelebaran lempeng epifisis akan semakin bertambah dan zona kalsifikasi provisional menjadi ireguler. Selanjutnya tampak gambaran fraying dan iregularitas pada tulang spongiosa pada metafisis.1 Pemeriksaan CT scan dan magnetic resonance imaging merupakan pemeriksaan lanjutan yang dapat membantu mengevaluasi adanya fraktur, menilai densitas tulang, melihat pelebaran epifisis serta Looser’s zone.

Laporan kasus ini dilatarbelakangi adanya kasus seorang anak dengan gejala yang mengarah rickets dan telah menjalani pemeriksaan radiologi foto thorax dan CT scan thorax saat diperiksa di rumah sakit sebelumnya, namun belum didiagnosis sebagai rickets. Diagnosis rickets baru ditegakkan setelah anak menjalani pemeriksaan klinis, laboratoris dan radiologi di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mempelajari gambaran rickets secara lebih mendalam dikarenakan kasusnya yang jarang terjadi, sedangkan gambaran radiologinya khas. Selain itu penulisan laporan kasus ini juga bertujuan untuk mempelajari kaitan rickets dengan patofisiologinya, sehingga diharapkan pemahaman akan rickets dapat lebih mendalam.

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kelainan metabolisme tulang didefinisikan sebagai kelainan pada sistema skeletal yang terkait dengan abnormalitas semua reaksi biokimiawi sintetik (anabolik) maupun degradatif (katabolik) di dalam tubuh.3

Rickets merupakan suatu sindrom klinis yang menggambarkan

spektrum kelainan metabolik dengan abnormalitas gambaran radiologis dan histopatologis yang serupa yang disebabkan karena mineralisasi yang inadekuat atau lambat dari matriks organik tersintesis baru (osteoid) pada tulang yang imatur sebelum fusi fisis.1 Bila kelainan ini terjadi pada orang dewasa dengan tulang yang matur, maka gambaran radiologis, biokimiawi dan perubahan klinis yang terjadi ini disebut sebagai osteomalasia. Sehingga dengan definisi ini rickets hanya ditemukan pada anak-anak yang belum mengalami penutupan lempeng pertumbuhan, sedangkan osteomalasia terjadi pada orang dewasa.1,6,7,8

Kelainan mineralisasi pada tulang imatur dominan terjadi pada ujung tulang yang bertumbuh dimana osifikasi enkhondral berperan, yang memberikan gambaran klasik rickets.8

B. Anatomi dan fisiologi tulang

Tulang merupakan kerangka penunjang tubuh yang ditandai dengan struktur yang kaku, keras dan kemampuan untuk regenerasi dan memperbaiki diri. Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang-tulang tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk berbagai sel darah. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fosfat.9,10

Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-mineral dan jaringan organik (kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan

(6)

fosfat membentuk suatu kristal garam (hidroksiapatatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan. Matriks organik tulang disebut juga sebagai suatu osteoid. Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe I yang kaku dan memberikan ketegaran yang tinggi pada tulang. Materi organik lain yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan seperti asam hialuronat.9

Tulang terdiri dari dua komponen yaitu tulang kortikal atau kompakta dan tulang trabekular atau spongiosa. Bagian-bagian tulang panjang terdiri dari epifisis, metafisis dan diafisis. Diafisis atau batang adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah. Sumsum merah terdapat juga di bagian epifisis dan diafisis tulang. Pada anak-anak, sumsum merah mengisi sebagian besar bagian dalam dari tulang panjang, tetapi kemudian diganti oleh sumsum kuning sejalan dengan semakin dewasanya anak tersebut. Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak. Bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa. Bagian epifisis yang letaknya dekat sendi tulang panjang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang.9,10

Tulang juga dapat dibedakan berdasarkan pola kolagen dalam membentuk osteoid yaitu berbentuk anyaman dan lamelar. Tulang yang berbentuk anyaman terbentuk saat osteoblas memproduksi osteoid secara cepat, misalnya pada saat perkembangan janin dan penyembuhan fraktur.

(7)

Selanjutnya tulang ini akan diganti melalui proses remodelling untuk menjadi tulang dewasa dengan bentuk lamelar.9,10

Histologi yang spesifik dari lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan merupakan faktor yang penting untuk memahami cedera pada anak-anak. Lapisan sel paling atas yang letaknya dekat epifisis disebut daerah sel istirahat. Lapisan berikutnya adalah zona proliferasi, dimana pada zona ini terjadi pembelahan aktif sel dan disinilah mulainya pertumbuhan tulang panjang. Sel-sel yang aktif ini didorong ke arah batang tulang, ke dalam daerah hipertrofi, dimana sel-sel ini membengkak menjadi lemah dan secara metabolik menjadi tidak aktif lagi. Patah tulang epifisis pada anak-anak sering terjadi di tempat ini, dan cedera dapat meluas ke daerah kalsifikasi provisional. Di dalam daerah kalsifikasi provisional inilah sel-sel mulai menjadi keras dan menyerupai tulang normal. Bila daerah proliferasi mengalami kerusakan, maka pertumbuhan dapat terhenti dengan retardasi pertumbuhan longitudinal anggota gerak tersebut, atau terjadi deformitas progresif bila hanya sebagian dari lempeng tulang yang mengalami kerusakan berat.9,11

Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel yaitu osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mensekresikan sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagian dari fosfatase alkali akan memasuki aliran darah. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Sedangkan osteoklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel-sel ini menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan

(8)

beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah.9,10

Pada keadaan normal tulang mengalami pembentukan dan absorpsi pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa pertumbuhan kanak-kanak dimana lebih banyak terjadi pembentukan daripada aborpsi tulang.9

Seluruh tulang berasal dari mesenkim, tetapi berkembang melalui satu diantara dua mekanisme. Tulang dapat berkembang secara langsung dari sel mesenkim primitif, yaitu suatu lembaran yang bertindak sebagai membran pembentuk tulang (osifikasi intramembran), misalnya pada cranium dan clavicula. Tetapi tulang juga dapat berkembang secara tidak langsung yaitu dengan mengubah kartilago menjadi tulang (osifikasi endokondral). Osifikasi endokondral terjadi pada sebagian besar tulang manusia. Kedua proses tersebut menghasilkan mikrostruktur tulang yang identik, dimana tulang kompakta dan tulang spongiosa dapat terbentuk melalui kedua mekanisme tersebut. Setelah proses osifikasi, tulang imatur tumbuh dan mengalami remodeling secara terus menerus karena adanya osteoklas dan osteoblas sampai tulang menjadi matur. Remodeling tulang terjadi karena adanya keseimbangan antara pembentukan tulang oleh osteoblas dan resorbsi tulang oleh osteoklas. Proses ini berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup dengan pola homeostatik.10,11

C. Metabolisme tulang

Terdapat beberapa faktor penting yang berperan dalam metabolisme tulang yaitu terutama kalsium, fosfat, hormon paratiroid, dan vitamin D.3,9 Fungsi utama sumbu vitamin D-hormon paratiroid-endokrin adalah mempertahankan kadar kalsium dan fosfat ekstraseluler pada kadar yang tepat untuk memungkinkan mineralisasi.4

1. Metabolisme kalsium

Kalsium terdapat dalam plasma dalam 3 bentuk yaitu ; sebagai ion, terikat dengan proten dan sebagai komplek difusi. Kalsium serum akan meningkat oleh hormon paratiroid dan vitamin D serta akan berkurang karena hiperkalsemia akut dan kalsitonin. Sistem organ yang berperan

(9)

dalam metabolisme kalsium ini yaitu traktus gastrointestinalis, ginjal, dan tulang. Traktus gastrointestinalis berperan dalam metabolisme kalsium karena kalsium diabsorpsi secara primer pada usus halus bagian proksimal yang dipengaruhi oleh vitamin D dan hormon paratiroid.3

Ginjal akan mengontrol ekskresi kalsium dengan filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubulus. Hormon paratiroid dan vitamin D mengendalikan proses yang terakhir. Bentukan paling aktif vitamin D yaitu 1,25 (OH)2 cholecalciferol atau dihydroxycholecalciferol terjadi

melalui hidroksilasi di ginjal.3

Tulang berperan dalam metabolisme kalsium karena hormon paratiroid dan vitamin D menyebabkan resorpsi kalsium dari matriks yang mengalami mineralisasi. Kalsitonin dihasilkan oleh sel parafolikular glandula tiroid dengan kerja yang berlawanan dengan kerja hormon paratiroid, sehingga akan mengurangi resorpsi kalsium dari tulang. Kalsitonin disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya kalsium serum namun tidak berperan penting pada homeostasis kalsium normal.3

2. Metabolisme fosfat

Fosfat difiltrasi melalui glomerulus dan direabsorpsi dalam jumlah besar pada tubulus proksimalis. Hipofostatemia akan meningkatkan reabsorpsi fosfat pada tubulus sedangkan hiperfosfatemia akan menurunkan reabsorpsi fosfat pada tubulus. Hormon paratiroid menghambat reabsorpsi fosfat pada tubulus.3

3. Hormon paratiroid

Suatu peningkatan kadar hormon paratiroid mempunyai efek langsung dan segera pada mineral tulang, menyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan bergerak memasuki serum. Disamping itu, peningkatan kadar hormon paratiroid secara perlahan-lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklas, sehingga terjadi demineralisasi.9

(10)

Hormon paratiroid bekerja pada berbagai tingkatan. Hormon ini berefek pada traktus intestinalis, tulang, dan ginjal dalam memelihara kadar kalsium serum dengan: menstimulasi absorpsi kalsium intestinal, meningkatkan reabsorpsi kalsium dari tulang, serta menghambat reabsorpsi sodium, kalsium, fosfat, dan ion bikarbonat pada nefron tubulus proksimalis ginjal serta menstimulasi reabsoprsi kalsium pada tubulus distalis. Hormon paratiroid juga menstimulasi sintesis renal 1,25-dihydroxycholecalciferol dari 25 hydroxycholecalciferol yang dibentuk di hepar. Hormon paratiroid juga memelihara kadar magnesium serum.3

4. Metabolisme vitamin D

Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormin paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu kalsifikasi tulang, antara lain dengan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.9

Vitamin D mempunyai 2 bentuk yaitu vitamin D2 atau ergocalciferol dan vitamin D3 atau cholecalciferol. Vitamin D2 diperoleh dari diet (tanaman) sedangkan vitamin D3 dihasilkan di kulit sebagai respon terhadap paparan sinar ultraviolet ke kulit atau juga diperoleh dari diet (misalnya ikan laut dalam, kuning telur, hati).13 Kedua bentuk vitamin D tersebut mengalami modifikasi di hepar menjadi 25-hydroxycholecalciferol dan di ginjal mengalami hidroksilasi menjadi bentuk yang paling aktif yaitu 1,25

(OH)2cholecalciferol atau dihydroxycholecalciferol.

Dihydroxycholecalciferol ini merupakan suatu hormon, sehingga

vitamin D lebih bersifat sebagai prohormon. Bentukan vitamin D aktif akan menaikkan kadar kalsium dan fosfat plasma melalui beberapa aksi, yaitu: memacu absorbsi kalsium oleh usus halus, memacu

(11)

absorbsi fosfat oleh usus halus, meningkatkan resorbsi tulang yang diinduksi oleh hormon paratiroid, kemungkinan mempunyai efek langsung dalam mineralisasi tulang, memacu reabsorbsi kalsium oleh ginjal dan memacu reabsorbsi fosfat oleh ginjal.3,13

D. Densitas tulang.

Pemeliharaan mineral tulang bergantung pada keseimbangan antara sintesis tulang oleh osteoblas dan resorpsi tulang oleh osteoklas. Densitas tulang normal terkait keseimbangan antara elaborasi osteoid, mineralisasi osteoid, dan lisis tulang fisiologis. Fungsi-fungsi ini dikendalikan secara langsung atau tidak langsung oleh faktor hormonal maupun biokimiawi di luar maupun di dalam tulang.3

Terdapat tiga tipe berbeda dari generalized diminished bone density atau osteopenia, yaitu: osteoporosis, osteomalasia dan osteolisis. Osteoporosis didefinisikan sebagai pengurangan nonfokal massa tulang per unit volume (sentimeter kubik) tanpa adanya perubahan komposisi kimiawi tulang. Osteomalasia terjadi bila mineralisasi osteoid tidak adekuat dan komposisi kimiawi tulang berubah. Sedangkan pada osteolisis terjadi peningkatan kecepatan resorpsi tulang oleh osteoklas atau disebabkan oleh kelainan proliferasi sumsum tulang dan atau

marrow packing.3

E. Etiologi Rickets

Rickets dapat terjadi secara kongenital ataupun akuisita. Berbagai

faktor yang turut berperan dalam terjadinya rickets yaitu metabolisme vitamin D yang meliputi asupan, hidroksilasi pada hepar dan ginjal, dan resistansi organ terhadap kerja hormon. Penyebab yang biasa dijumpai antara lain yaitu: malnutrisi, paparan sinar matahari yang kurang, status malabsorpsi yang melibatkan pankreas, usus halus dan hepar, serta hidroksilasi yang abnormal.1

Penyebab terjadinya rickets pada anak yang berusia kurang dari 6 bulan yaitu antara lain karena hipofosfatasia, dimana hipofosfatasia atau hipokalsemia ini merupakan penyebab rickets pada osteopetrosis yang

(12)

berat. Rickets juga banyak terjadi pada bayi prematur, dimana gambaran radiologis rickets ditemui pada sekitar 55% bayi dengan berat lahir kurang dari 1000 gram. Rickets juga banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer dan faktor-faktor prenatal lain yaitu hiperparatiroidisme maternal, defisiensi vitamin D maternal, insufiensi renal maternal. Sedangkan pada anak yang berusia lebih dari 6 bulan, rickets lebih banyak disebabkan karena defisiensi nutrisi (nutritional rickets), kelainan pada hepar yang meliputi penyakit hepar kronis dan terapi antikonvulsan, malabsorbsi, insufisiensi tubular ginjal serta penyakit ginjal kronis.5

Klasifikasi etiologi rickets dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu: 1)Status defisiensi meliputi defisiensi vitamin D, defisiensi kalsium, defisiensi fosfat, defisiensi paparan sinar matahari serta rickets of

prematurity; 2)Absorptif, meliputi kelainan pada gastrointestinal, hepatobilier dan pankreatik; 3)Kelainan tubular renal herediter (renal

rickets) meliputi Vitamin D dependent rickets (VDDR), Vitamin D

refractory rickets (VDRR), Vitamin D refractory rickets dengan

glukosuria, Sindroma Fanconi, asidosis tubular renal (tubular distal); 4)Renal osteodystrophy (uremic osteopathy); 5)Iatrogenik yang terjadi karena misalnya pemberian terapi antikonvulsan, hiperalimentasi intravena, antasida yang tak dapat diabsorpsi, dialisis peritoneal, hemodialisis; 6)Terkait tumor; 7)Lain-lain, yang meliputi diantaranya: hipofosfatasia, vitamin D refractory rickets tipe II, osteomalasia aksial yang tidak khas.3

Penyebab rickets yang terbanyak dulu dan hingga saat ini adalah karena defisiensi vitamin D, meskipun demikian di sebagian besar rumah sakit penyebab yang lebih sering ditemui adalah karena kelainan absorpsi dan kelainan ginjal.2 Di beberapa negara tropis dengan paparan sinar matahari yang cukup, defisiensi kalsium merupakan penyebab yang lebih penting daripada defisiensi vitamin D.13

(13)

Rickets dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti yang telah

disebutkan di atas. Pada kasus defisiensi vitamin D (asupan nutrisi, paparan sinar matahari yang kurang, gangguan pembentukan pada hepar dan ginjal), akan terjadi gangguan absorbsi kalsium dan fosfat di usus halus, penurunan reabsorbsi kalsium dan fosfat di ginjal serta gangguan mineralisasi tulang secara langsung. Sebagai akibatnya terjadi mineralisasi yang terlambat atau adekuat pada matriks organik tulang yang baru tersintesis (osteoid) pada tulang yang imatur karena gangguan deposisi kalsium dan fosfat pada tulang.3

G. Epidemiologi

Vitamin D-deficiency rickets merupakan penyakit yang sering

terjadi pada abad lalu, namun sekarang sangat jarang dijumpai di negara maju. Penyakit ini kadang-kadang djumpai pada bayi dengan berat badan rendah sesuai masa kehamilan. Di negara berkembang, vitamin

D-deficiency rickets masih merupakan penyakit yang umum dijumpai.

Adapun di negara maju, vitamin D-resistdant rickets merupakan kelainan tulang metabolik yang paling sering dijumpai. Kelainan ini merupakan kelainan yang diturunkan dengan pola pewarisan x-linked dominant pada dua pertiga kasus, dan lebih banyak diderita anak perempuan daripada anak laki-laki.14 Sebuah data menyebutkan bahwa rickets di Turki dan di Afrika banyak disebabkan oleh defisiensi kalsium, sedangkan pada anak ras Afrika-Amerika terjadinya rickets dapat disebabkan paparan sinar matahari yang inadekuat.5

Rickets aktif bermanifestasi hanya pada tulang yang mengalami

pertumbuhan sehingga kelainan ini tampak pada periode pertama pertumbuhan yang berlangsung cepat, yaitu usia antara 6 bulan dan 3 tahun terutama dibawah 18 bulan. Tipe rickets yang kurang parah dapat tidak bermanifestasi sampai usia prepubertas. Rickets dilaporkan semakin banyak terjadi pada bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah. Patogenesis hal ini kemungkinan karena metabolik, nutrisional, dan pada beberapa kasus karena iatrogenik.3,12

(14)

H. Gejala klinis

Pada bayi baru lahir dengan berat badan lahir yang sangat rendah atau bayi yang membutuhkan alimentasi parenteral, sering dijumpai osteopenia dan fraktur.4 Pada bayi yang berumur kurang dari setahun, kejang hipokalsemia dapat merupakan manifestasi awal terjadinya

rickets.5,13Pada bayi yang lebih besar dan pada anak-anak, rickets bermanifestasi dengan pelebaran metafisis tulang panjang, costochondral

junctions yang prominen (rachitic rosary), flaring dinding thoraks anterior

bawah, frontal bossing, dan kadang-kadang dijumpai craniotabes. Setelah anak mulai belajar berjalan dan terdapat tumpuan berat badan, dapat terjadi adanya genu valgum atau genu varum (lebih sering dijumpai). Juga dapat dijumpai bengkoknya tibia ke arah anterior (saber shin). Anak akan lebih lambat dalam belajar duduk, berdiri dan berjalan daripada anak normal. Juga dapat terjadi gambaran coxae varae yang dapat diikuti dengan terjadinya skoliosis. Pada gigi juga dapat dijumpai erupsi gigi yang terlambat, hipoplasia enamel dengan karies dentis. Manifestasi sistemik

rickets meliputi kelemahan otot, gangguan pergerakan dan pertumbuhan,

anoreksia, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi pada pasien dengan defisiensi vitamin D.1,4,14

I. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi turut berperan dalam menilai rickets, dan dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto polos, CT scan, magnetic

resonance imaging (MRI), skintigrafi, bone scan dan ultrasonografi (USG)

a. Pemeriksaan foto polos

Perubahan radiologis pada rickets diilustrasikan dengan baik pada tulang panjang. Meskipun terjadi perubahan pada tulang secara umum, namun lokasi pertama dan paling nyata dijumpai dimana pertumbuhan tulang berlangsung sangat cepat seperti pergelangan tangan, lutut,

costochondral junction, femur distal dan proksimal, tibia proksimal,

(15)

Pada rickets, terjadi osifikasi yang abnormal yang menyebabkan retardasi tulang dan osteopenia. Gambaran radiografi paling awal pada

rickets yaitu pelebaran lempeng epifisis disepanjang aksis longitudinal

tulang yang diikuti dengan penurunan densitas tulang pada sisi metafisis lempeng epifisis. Seriring dengan perkembangan penyakit, pelebaran lempeng epifisis akan semakin bertambah dan zona kalsifikasi provisional menjadi ireguler. Selanjutnya tampak gambaran fraying dan iregularitas pada tulang spongiosa pada metafisis.1,15,16

Pada foto polos dapat dijumpai tampak gambaran yang khas yaitu sebagai berikut: di kepala dapat tampak gambaran frontal bossing,

wormian bones, maupun craniotabes; pada genu dapat tampak genu varum

maupun genu valgum; pada tibia akan tampak saber shin, pada pelvis dapat dijumpai gambaran triradiate pelvis serta epifisi caput femur yang mengalami slipped; pada thorax dapat dijumpai gambaran rachitic rosary dan pectus carinatum. Selain itu juga dapat dijumpai fraktur greenstick, skoliosis, keterlambatan erupsi gigi dan hipoplasia enamel gigi.1,15

b. Pemeriksaan radiologi lain

Pemeriksaan CT scan dapat membantu mengevaluasi adanya fraktur dan menilai densitas tulang. Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan yang optimal untuk melihat pelebaran epifisis dengan meningkatnya sinyal T2, menghilangnya zona kalsifikasi provisional serta mendeteksi Looser’s zone. Lebar epifisis normal berkisar 0,9-1,9 mm, sedangkan pada rickets dapat melebar menjadi 2,5-3 mm. Pemeriksaan skintigrafi dapat memperlihatkan cortical infractions yang kemudian akan berkembang menjadi Looser’s zones. Pemeriksaan bone scan

menggunakan technetium 99m methylene diphosphonate (MDP) dapat menunjukkan adanya area peningkatan uptake bilateral dan simetris, yang akan memperlihatkan inital flare up setelah terapi awal. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu mengevaluasi epifisis caput femur yang mengalami slipped serta berperan dalam mengevaluasi ginjal.1,5

(16)

J. Pemeriksaan laboratorium

Hasil laboratorium pada pasien rickets dapat bervariasi sesuai dengan derajat defisiensi vitamin D yang terjadi. Sebagian besar pasien dengan rickets mempunyai kadar kalsium total yang normal atau rendah, kadar fosfat yang rendah, serta peningkatan fosfatase alkali dan konsentrasi hormon paratiroid.4,13 Pada kasus defisiensi vitamin D, dapat terjadi penurunan kadar vitamin D aktif yang sangat rendah, biasanya kurang dari 5 ng/mL. Meskipun demikian kadarnya tidak turun dengan ekstrim pada pasien rickets akibat defisiensi kalsium atau yang telah mendapat terapi vitamin D ataupun mendapat paparan sinar matahari yang cukup.13

K. Diagnosis banding radiologis

Terdapat beberapa kelainan yang mempunyai kemiripan dengan

rickets berdasarkan gambaran radiologis. Diagnosis banding rickets yang

dibahas berikut ini adalah osteogenesis imperfekta, non accidental injury, dan skurvi.

1. Osteogenesis imperfekta

Osteogenesis imperfekta merupakan kelainan kongenital yang relatif jarang, dan bermanifestasi sebagai peningkatan fragilitas tulang dan osteoporosis, juga dengan kelainan gigi, sendi serta kulit yang tipis. Kelainan ini terjadi karena abnormalitas kolagen tipe I, sehingga terdapat kelainan pada sklera, kornea, sendi dan kulit. Terdapat empat tipe osteogenesis imperfekta yang didasarkan pada gangguan kolagen spesifik yang terjadi.16,17

Tipe 1 merupakan tipe yang paling sering terjadi, dengan pewarisan autosomal dominan. Tipe I ditandai dengan fraktur dengan derajat keparahan yang bervariasi, namun fragilitas tulang cenderung ringan dan tinggi badan sedikit berkurang. Tipe I ini dibagi menjadi tipe IA dan IB. Tipe IA mempunyai gambaran gigi yang normal, dengan perubahan tulang ringan. Pada tipe IB terdapat dentinogenesis imperfekta dan perubahan tulang yang lebih berat. Osteoporosis terjadi

(17)

dengan penipisan korteks dengan gambaran tulang panjang yang melengkung, tipis dan langsing. Sebagian besar fraktur terjadi dimasa kanak-kanak. Terdapat pula gambaran wormian bones pada cranium. Tipe 1 ini terdiri dari kasus yang dahulu diklasifikasikan sebagai

osteogenesis imperfecta tarda.16,17 Tipe 2 dan 3 ditandai dengan keterlibatan tulang yang parah serta survival yang rendah. Tipe ini kemungkinan dahulu diklasifikasikan sebagai osteogenesis kongenita. Pasien dengan tipe 2 dan 3 ini mempunyai sklera biru dan mengalami fraktur saat lahir atau dalam kandungan. Pasien dengan tipe 4 mempunyai sklera yang normal dan temuan pada tulang yang bervariasi.16 Pada keempat tipe osteogenesis imperfekta ini, bowing pada tulang panjang disebabkan oleh osteoporosis dan fraktur multipel.16 Sebagian besar fraktur pada tulang panjang melibatkan diafisis atau regio metadiafisis. Pada kasus yang jarang, dapat dijumpai fragmen metafisis kecil dengan pola corner fracture.6

2. Non accidental injury (NAI)

Non accidental injury (NAI) disebut juga sebagai Child abuse, battered child syndrome, shaken baby syndrome dan sebagainya.

Trauma tulang merupakan temuan yang paling sering dijumpai pada studi pencitraan anak dengan NAI.6,15, Pola trauma skeletal meliputi

subperiosteal new bone formation, fraktur metafisis atau classic metaphyseal lesion (CML), pemisahan epifisis, dan fraktur pada

diafisis.18

Temuan pada tulang yang paling sering berhubungan dengan NAI yaitu classic metaphyseal lesion (CML), yang disebut juga

metaphyseal corner fracture dan bucket handle fracture. CML terjadi pada sekitar 20% kasus fraktur akibat NAI dan biasanya dijumpai multipel. Faktur ini lebih sering terjadi pada ekstremitas bawah dan paling sering dijumpai di sekitar lutut.18 Secara patologis fraktur meluas mendatar melalui spongiosa primer. Fraktur dapat meluas parsial atau komplit menyeberangi metafisis. Fraktur seperti ini paling

(18)

sering terjadi pada femur distal, tibia dan fibula proksimal dan distal, humerus proksimal, serta lebih jarang dijumpai pada siku, pergelangan tangan, femur proksimal. Fraktur terjadi dengan torsi dan traksi ekstremitas yang terjadi karena bayi direbut di lengan atau kaki. Fraktur juga dapat terjadi setelah akselerasi dan deselerasi ekstremitas yang tiba-tiba karena bayi diguncangkan dengan hebat dan direbut di thorax. Fraktur terjadi pada thorax bayi, terutama pada costa posterior.6 Terdapat temuan-temuan pada NAI yang mempunyai spesifisitas tinggi, sedang dan rendah, yang dapat membantu menyingkirkan adanya NAI. Temuan dengan spesifisitas yang tinggi diantaranya adalah classic metaphyseal lesion, fraktur costa terutama aspek posterior, fraktur yang tidak biasa, misalnya pada vertebra, acromion. Temuan dengan spesifisitas sedang diantaranya adalah fraktur multipel terutama fraktur bilateral, fraktur multipel dengan waktu terbentuknya yang berbeda-beda, fraktur pada jari terutama pada anak yang belum bisa berjalan/merangkak, serta fraktur cranium kompleks. Sedangkan temuan dengan spesifisitas yang rendah diantaranya adalah

subperiosteal new bone formation, fraktur clavicula, fraktur pada

corpus tulang panjang, dan fraktur cranium linear.18 3. Skurvi

Skurvi disebabkan oleh defisiensi vitamin C atau asam askorbat, biasanya terkait diet. Pada kelainan ini terjadi gangguan jaringan ikat untuk menghasilkan kolagen sehingga terdapat defek produksi osteoid oleh osteoblas dan berkurangnya ossifikasi endokhondral tulang.7,8 Kelainan ini banyak diderita secara khas pada bayi berusia 6 bulan hingga 9 bulan dan jarang diderita pada bayi berusia kurang dari 6 bulan karena masih terdapat cadangan vitamin C pada bayi.7,8,17

Tulang pada kelainan skurvi biasanya tampak osteopenik difus, dengan batas yang relatif hiperdens (white lines of scurvy) dimana mineralisasi osteoid berlanjut. Secara radiografis terdapat empat tanda karakteristik pada skurvi, yaitu: 1) epifisis tampak kecil, dan dibatasi

(19)

dengan tegas oleh rim sklerotik atau Wimberger sign; 2) zona kalsifikasi provisional pada metafisis yang bertumbuh menjadi tampak opak, yang memberikan gambaran garis putih atau Frankel’s line; 3)dibawah lesi tersebut terdapat zona lusen yang disebabkan kekurangan mineralisasi osteoid yang disebut sebagai Trumerfeld

zone; 4)karena kelemahan pada area ini, maka akan cenderung terjadi

fraktur pada batas korteks, yang memberikan gambaran Pelkan’s

spur.17 Terdapat pula perdarahan subperiosteal yang disebabkan fragilitas kapiler. Akibatnya terjadi gambaran peninggian periosteal dan pembentukan tulang baru berikutnya.17

L. Terapi

Vitamin D-deficiency rickets dapat dicegah ataupun diterapi

dengan pemberian vitamin D 500 IU setiap hari, serta dipastikan juga pasien mendapat paparan sinar matahari yang adekuat. Sedangkan pada

vitamin D-resistant rickets diberikan terapi vitamin D dosis tinggi yaitu

antara 50.000-100.000 IU, serta dapat diberikan juga terapi fosfat yang disesuaikan dengan kadarnya dalam serum. Penatalaksaan ortopedik juga dapat dilakukan sesuai dengan kondisi klinis pasien.14

(20)

BAB III LAPORAN KASUS

Dilaporkan seorang pasien anak H, perempuan, umur 2 tahun 9 bulan, nomor CM 14234xx, dengan alamat di Banjarnegara, yang datang ke rumah sakit dr. Sardjito pada tanggal 15 Juni 2009. Pasien dirujuk oleh dokter spesialis anak dengan diagnosis pigeon chest dan masuk ke rumah sakit dr. Sardjito dengan keluhan utama sesak.

Riwayat penyakit sekarang pasien yaitu sejak usia 18 bulan, anak belum bisa berjalan, bisa berdiri bila dibantu, kedua tungkai tampak melengkung, tampak kurus dan pendek dibandingkan teman seusianya. Pada usia 29 bulan, anak masih belum bisa berjalan dengan kedua tungkai dan lengan bawah tampak melengkung. Pergelangan tangan dan kaki kiri kanan tampak membesar serta dada terlihat bertambah cembung. Anak juga sesak, batuk, dan demam. Anak kemudian dibawa berobat ke dokter spesialis anak, disarankan untuk foto dada dan tes mantoux. Dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut anak didiagnosis menderita PKTB dan diterapi dengan obat anti tuberkulosis. Pada usia 31 bulan, anak masih belum bisa berjalan, dada bertambah cembung, pergelangan tangan melebar dan membengkok ke arah luar. Anak bertambah sesak, sering batuk, dan demam. Anak kemudian diperiksakan kembali ke rumah sakit swasta dan didiagnosis sebagai TB paru berat. Anak kemudian disarankan ke RS Sardjito namun orang tua menolak. Pada usia 33 bulan, keluhan menetap, anak diperiksakan kembali ke dokter spesialis anak di Yogyakarta dan dirujuk ke RS dr.Sarjito.

Riwayat penyakit keluarga pada anak, adanya riwayat penyakit serupa disangkal. Riwayat kehamilan dan persalinan ibu didapatkan data: selama hamil ibu kontrol ANC teratur di bidan, mendapat suntikan TT 2x, tablet tambah darah, masalah selama hamil (-), riwayat muntah berlebihan (-), demam (-), tungkai bengkak (-), darah tinggi (-). Persalinan ibu ditolong bidan, spontan, cukup bulan, langsung menangis, gerak aktif, kuning (-), sesak (-), biru (-), ketuban jernih, berat badan lahir anak 3200 gram dengan panjang badan 49 cm. Setelah kelahiran tidak

(21)

djumpai adanya ikterik dan infeksi tali pusat. Dari riwayat ini didapatkan kesan riwayat kehamilan, persalinan dan pasca lahir baik.

Riwayat makanan anak didapatkan data anak jarang mengkonsumsi sumber kalsium dan fosfat (ikan 1 bulan sekali, yang cukup sering bayam dan telur, tidak mengkonsumsi susu formula hanya ASI saja). Dari riwayat makanan ini didapatkan kesan yaitu kualitas dan kuantitas makanan kurang baik.

Riwayat perkembangan dan kepandaian anak didapatkan data yaitu: perkembangan motorik kasar anak, miring pada usia 3 bulan, tengkurap pada usia 4 bulan, duduk pada usia 8 bulan, berdiri pada usia 18 bulan dan berjalan dengan dibimbing pada usia 2 tahun. Saat ini anak tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa berjalan sendiri. Perkembangan motorik halus anak yaitu anak menggenggam benda pada usia 5 bulan, mencorat-coret pada usia 15 bulan. Perkembangan bahasa anak yaitu anak bersuara pada usia 2 bulan, bicara 1 kata pada usia 12 bulan dan bicara kalimat pada usia 2 tahun. Perkembangan sosial yaitu anak tersenyum pada usia 2 bulan dan mengenal orang pada usia 6 bulan. Dari riwayat ini dapat dikesankan bahwa terdapat gangguan perkembangan motorik kasar sedangkan perkembangan motorik halus, bahasa dan sosial sesuai usia. Dari data vaksinasi anak didapatkan bahwa vaksinasi dasar anak lengkap menurut PPI.

Pada pemeriksaan umum didapatkan kesan umum anak tampak lemah, sesak, compos mentis. Tanda utama didapatkan frekuensi nadi 120 x/menit, teratur, nadi dengan isi dan tegangan cukup pada keempat ekstremitas. Respirasi: 44 x/menit, tipe kostoabdominal teratur. Suhu badan: 370C (aksila). SpO2: 98-100% (nasal kanul 1L/mnt). Pada status gizi anak didapatkan berat badan 7,4 kg, lingkar kepala 47 cm, lingkar dada 45 cm, lingkar lengan atas 13 cm, lingkar perut 46 cm, panjang badan 68 cm. Status gizi anak menurut WHO juga dihitung. Dari data status gizi anak didapatkan simpulan status gizi kurang.

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada kulit tidak terlihat adanya sianosis dan ptekie. Ukuran kepala anak normosefal dengan bentuk mesocephal dan ubun-ubun menutup. Pada mata tidak didapatkan adanya konjungtiva anemis, sklera ikterik, blue sclera (+/+), pupil isokor 3mm/3mm, reflek kornea direk/indirek +/+ , papil edema (-). Pada hidung dan telinga tidak didapatkan adanya discharge dengan

(22)

letak dan bentuk dalam batas normal. Pada mulut tidak didapatkan adanya stomatitis. Pada leher, kelenjar limfe servikalis dan supraklavikularis tak teraba membesar. Pada dada didapati bentuk pigeon chest, simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (+) subkostal dan interkostal. Pada jantung didapatkan batas jantung dengan kesan tidak membesar, dengan suara jantung S1 tunggal, S2 split tak konstan dan bising(-). Pada abdomen didapati abdomen supel, turgor(+) normal, elastisitas(+) normal, bising usus (+) normal, hepar tak teraba, limpa tak teraba, anus (+), anogenital : perempuan. Pada ekstremitas didapatkan bentuk lengan bawah bilateral melengkung seperti busur, tungkai bilateral melengkung seperti busur (bowlegs).

Pada pemeriksaan laboratorium darah tanggal 16 Juni 2009 didapatkan hasil: Hb 14 (g/dL), hematokrit 41,9 (%), jumlah eritrosit (5,08x106/uL), jumlah leukosit (12x103/uL), segmen 27,3(%), limfosit 63,9(%), monosit 4,9%, eosinofil 3,9%, basofil 0%, jumlah trombosit 356x103/uL, MCV 82,6 fl, MCH 27,6 pg, MCHC 33,4 g/dL, RDW 15,1(%). Dari hasil laboratorium ini disimpulkan adanya leukositosis. Pemeriksaan urine rutin dan tinja tanggal 16 Juni 2009, didapatkan hasil dengan kesan dalam batas normal. Pemeriksaan kimia darah didapatkan hasil: kadar natrium 141 mmol/L, kalium 3,90 mmol/L, Cl 105 mmol/L, BUN 10,9 mg/dL, creatinin 0,29 mg/dL, kalsium 1,72 mmol/L fosfat anorganik 1,60 mg/dL, alkali fosfatase 1549 mg/dL. Pemeriksaan kimia urine didapatkan hasil natrium urine 54,3 mmol/L, kalium urine 53,01 mmol/L dan Cl 74,8 mmol/L. Pemeriksaan kadar hormon PTH 868 mmol/L (nilai rujukan 12-65). Dari hasil pemeriksaan kimia darah disimpulkan adanya hipokalsemia, hipofosfatemia, peningkatan kadar alkali fosfatase dan peningkatan kadar hormon paratiroid. Pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan hasil: pH 7,32; pCO2 44,6; PO2 55,2; so2 86,4%; HCO3 22,5 mmol/L. Dari hasil analisis gas darah ini dapat disimpulkan adanya asidosis metabolik terkompensasi sebagian, hipoksemia. Hasil plasma anion gap: 13.2; urine anion gap: 32.2; pH urine > 5,5; dengan kesan yaitu asidosis tubuler renal distal.

Pemeriksaan radiologi yang dilakukan di RS dr. Sardjito pada pasien ini yaitu foto polos thoraks, foto genu bilateral, foto antebrachii dan wrist joint

(23)

terbuka (tercantum dalam lampiran). Sedangkan CT scan thoraks dilakukan di RS di luar RS. Dr. Sardjito pada tanggal 16 Juni 2009. Dari foto radiologi didapatkan kesimpulan menyokong gambaran rickets.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan rickets et causa defisiensi vitamin D, asidosis tubular renal, malabsorbsi; pneumonia; tuberculosis dalam pengobatan; dengan gizi kurang. Pasien diberikan terapi dengan oksigen 2 liter/menit, antibiotik cefspan 2x30 mg, bicarbonat 3x15 mEq, terapi tuberculosis, serta terapi alfacalcidiol. Setelah dirawat 13 hari dengan kondisi klinis membaik, pasien kemudian diperbolehkan pulang. Setelah terapi tidak dilakukan pemeriksaan radiologi pada pasien, sehingga tidak dapat dianalisis gambaran rickets yang mengalami penyembuhan.

(24)

BAB IV PEMBAHASAN

Rickets merupakan kelainan pada proses pembentukan tulang pada tulang

rangka yang bertumbuh yang disebabkan kegagalan deposisi mineral pada matriks organik kartilago dan tulang pada lempeng pertumbuhan. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya defisiensi pada intake diet kalsium atau fosfat, kegagalan absorpsi yang adekuat pada dinding usus, maupun faktor-faktor lain.3Permasalahan utama terkait penyakit ini pada anak adalah terjadinya retardasi pertumbuhan dan deformitas tulang.19

Dalam memahami rickets, penting untuk mengetahui tahapan-tahapan patofisiologi terjadinya rickets. Pada tahap pertama, seiring dengan berkembangnya defisiensi vitamin D, penurunan absorpsi kalsium di usus halus akan menyebabkan hipokalsemia yang dapat asimtomatis secara klinis maupun menyebabkan kejang dan manifestasi lain. Sebagai responnya, terjadi hiperparatiroidisme yang meresorpsi kalsium dan fosfat dari tulang, meningkatkan reabsorbsi kalsium di ginjal dan ekskresi fosfat, dan memacu

25-hydroxycholecalciferol-1αhydroxylase (1-OHase) untuk meningkatkan vitamin D

aktif (kalsitriol) serta memacu absorpsi kalsium di usus. Perkembangan ini kemudian mengarah pada tahapan kedua, yang didefinisikan sebagai normalisasi sirkulasi kalsium. Kadar PTH dan fosfatase alkali meningkat serta terjadi hipofosfatemia. Kadar kalsitriol dapat meningkat pada tahapan ini. Pada tahapan ini, manifestasi kelainan pada epifisis secara klinis dan radiologis menjadi tampak jelas, sesuai dengan keadaan hipofosfatemia yang menjadi penyebab kegagalan apoptosis kondrosit. Seiring dengan memburuknya defisiensi vitamin D, kadar

25-hydroxy-vitamin D sangat turun sehingga kadar kalsitriol tidak dapat

dipertahankan walaupun terdapat stimulasi PTH pada 1-OHase. Proses ini mengarah pada tahapan ketiga, dengan berkurangnya absorpsi kalsium di usus, hipokalsemia, memburuknya hiperparatiroidisme disertai gambaran klinis dan radiografis rickets.12

(25)

Gambaran klinis dan radiologis rickets bergantung pada beberapa faktor, yaitu: usia pasien saat terjadi kelainan, kematangan tulang yang terkena, tingkat keparahan defisiensi vitamin D. Pada rickets akan terlihat osifikasi yang terlambat atau abnormal yang mengarah pada retardasi tulang dan osteopenia.1 Trabekula tulang yang lebih dapat mengalami resorpsi sehingga densitas tulang tampak menurun dan kasar. Mineralisasi yang tidak adekuat menyebabkan seolah-olah terlihat gambaran korteks yang menebal, namun terbentuk dari osteoid dengan penulangan inadekuat yang dapat memperlihatkan garis radiolusen pada korteks.3

Gambaran radiologi rickets paling baik terlihat pada tulang panjang. Meskipun terjadi perubahan difus pada tulang, namun lokasi yang paling awal dan paling nyata terlihat dijumpai pada lokasi dimana pertumbuhan tulang berlangsung sangat cepat dan aktif, misalnya pada costochondral junctions pada costa media, pergelangan tangan, lutut, femur distal, humerus proksimal, tibia distal, radius dan ulna distal.1,3

Gambaran awal radiologis rickets pada epifisis dan lempeng epifisis yaitu berupa pengaburan dan menghilangnya zona kalsifikasi provisional yang disertai pelebaran lempeng epifisis dengan gambaran iregularitas. Gambaran radiologi pada metafisis tampak lebih nyata karena pertumbuhan tulang terjadi paling cepat pada bagian tulang panjang ini. Secara radiografis, matriks kartilago fisis yang radiolusen diantara pusat epifisis dan metafisis tampak bertambah lebar dan dalam. Adanya penulangan dari osteoid yang terdeposit ireguler menyebabkan iregularitas pada daerah metafisis yang tampak pada foto rontgen sebagai gambaran bulu kuas cat (bristles of a paintbrush) atau dapat digambarkan sebagai

fraying dan splaying pada metafisis.3,5 Pada diafisis akan tampak gambaran bengkok (bowing) yang disebabkan oleh faktor mekanik yang diperparah oleh metafisis dengan osteoid yang tidak termineralisasi dengan baik. Sering dijumpai gambaran fraktur terutama fraktur greenstick, serta dapat terjadi fraktur Salter

Harris tipe I yang terutama lebih sering terjadi pada pelvis.1,3,15Dapat dijumpai pula area lokal dengan penurunan densitas dan berbatas tegas (looser zones) yang terlihat tegak lurus terhadap korteks dan melintang pada batang tulang panjang.

(26)

Gambaran looser zones ini jarang dijumpai pada rickets namun sering dijumpai pada orang dewasa dengan osteomalasia.3

Gambaran radiologi rickets pada kranium dapat terjadi karena akumulasi osteoid yang tak terosifikasi di regio frontal dan parietal sehingga os frontale menjadi prominen, yang disebut sebagai frontal bossing. Pada bayi, kegagalan mineralisasi pada batas sutura cranium membentuk gambaran pelebaran sutura. Manifestasi lain dapat berupa wormian bones, pendataran kranium aspek posterior, invaginasi basilar dan kranium yang menjadi berbentuk persegi.1,3

Pada tulang panjang dapat kelemahan tulang yang meliputi deformitas pada tulang panjang, baik pada diafisis maupun pada perbatasan dengan kartilago. Dapat dijumpai gambaran genu varum genu valgum pada penderita rickets yang baru belajar berjalan. Gambaran bengkoknya tibia ke anterior juga dapat terlihat (saber shin). Gambaran pada pelvis dan pinggul dapat berupa triradiate pelvis yang terjadi karena adanya intrusi spinal ke pelvis, tampak sebagai

triflanged-shaped pelvis. Gambaran ini dapat disertai dengan adanya epifisis caput femur

yang mengalami pergeseran. Seiring dengan bertambahnya usia penderita, deformitas seperti skoliosis dan bending pada tulang panjang dapat menyebabkan berkurangnya tinggi badan. Pada gigi dapat terlihat erupsi gigi yang terlambat dan hipoplasia enamel dengan karies dentis.1,5

Gambaran di dada dapat berupa rachitic rosary pada costa (gambaran menyerupai tasbih pada costochondral junctions) yang disebabkan karena akumulasi osteoid yang tidak terosifikasi pada costa. Dapat terlihat pula pectus

carinatum pada sternum.1,5

Pada rickets yang mulai menyembuh akan tampak kembali gambaran zona kalsifikasi provisional, terlihat sebagai bayangan linier transversal dengan densitas yang meningkat pada metafisis. Metafisis yang radiolusen terletak diantara zona kalsifikasi dengan kalsifikasi baru dan ujung diafisis yang terlihat osifikasinya. Seiring dengan penyembuhan, zona kalsifikasi provisional ini akan menebal menjadi transverse band, metafisis spongiosa akan terkalsifikasi bertahap dan menempati zona yang sebelumnya radiolusen, yang akhirnya bersatu dengan zona kalsifikasi provisional. Gambaran cupping, fraying dan splaying

(27)

serta deformitas pada metafisis akan berkurang. Sedangkan penyembuhan pada tulang kortikal biasanya lebih lambat dan kurang tampak secara radiologis, meskipun demikian dapat terlihat gambaran reaksi periosteal.1

Bila rickets ini sudah mulai menyembuh maka pengisian zona kalsifikasi provisional akan tampak dengan mineralisasi yang adekuat dan pertumbuhan tulang normal. Kemudian metafisis yang radiolusen tampak terisi dengan tulang yang baru. Pada tahap ini gambaran radiologi kecekungan pada ujung diafisis tulang panjang paling jelas terlihat. Pusat epifisis tampak berbentuk hemisferik kembali. Bowing pada tulang panjang penyangga berat badan tampak menetap setelah terapi, namun kelainan ini akhirnya dapat menghilang karena pertumbuhan tulang yang normal.3

Pada laporan kasus ini, orang tua pasien mengeluhkan pasien yang sesak nafas, belum bisa berjalan sampai umur 33 bulan dan postur tubuh kurus dan pendek, kemudian dibawa berobat ke RS dr. Sardjito. Dari anamnesis disimpulkan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada pasien. Terlihat kedua tungkai dan lengan bawah tampak melengkung, yang mengindikasikan adanya bowing pada diafisis tulang panjang. Pergelangan kaki dan pergelangan tangan melebar dan membengkok ke arah luar disebabkan adanya pelebaran lempeng epifisis. Bentuk dada pasien serupa pectus carinatum dan terlihat penonjolan costa karena adanya gambaran rachitic rosary.

Berdasarkan riwayat penyakit keluarga didapatkan bahwa tidak ada penyakit serupa pada keluarga dan tidak ada penyakit yang diturunkan sehingga kemungkinan tidak terdapat gangguan pertumbuhan akibat rickets yang diturunkan. Dari analisis laboratorium terdapat gangguan tubular ginjal juga dapat dipikirkan kelainan tersebut merupakan penyakit yang tidak diturunkan serta tidak terdapat pola pewarisan tertentu.

Dari anamnesis mengenai nutrisi didapatkan asupan nutrisi yang kurang dan status gizi kurang. Pada pemeriksaan laboratorium dapat disimpulkan adanya leukositosis, hipokalsemia, hipofosfatemia, peningkatan fosfatase alkali dan hormon paratiroid yang tinggi dan asidosis tubular renal distal. Dapat dianalisis bahwa gangguan mineralisasi yang terjadi terutama disebabkan karena adanya

(28)

gangguan pada tubular ginjal sehingga berakibat asidosis tubular renal. Pada asidosis tubular ginjal ini dapat terjadi defek enzim 1αhidroksilase yang menyebabkan gangguan hidroksilasi pro vitamin D menjadi vitamin D yang aktif sehingga terjadi defisiensi vitamin D aktif. Akibatnya terjadi gangguan absorbsi kalsium dan fosfat di usus halus yang menyebabkan penurunan kadar kalsium dan fosfat dalam darah.20 Pada laboratorium kimia darah juga didapatkan kadar alkali fosfatase yang sangat meningkat, karena adanya proses osifikasi yang berlangsung dimana osteoblas mensekresikan sejumlah besar fosfatase.9 Terdapat peningkatan kadar hormon paratiroid yang sangat melebihi normal yaitu 868 mmol/L, mengindikasikan terdapat aktivitas hormon paratiroid untuk meresorpsi kalsium tulang untuk mengkompensasi rendahnya kadar kalsium serum.

Gambaran radiologi gangguan mineralisasi tulang pada pasien khas untuk gambaran rickets. Terlihat gambaran pelebaran lempeng epifisis disertai pengaburan zona kalsifikasi provisional dan gambaran cupping, fraying, splaying pada metafisis dan terlihat gambaran bulu kuas cat pada metafisis. Pada diafisis terlihat gambaran bowing disertai fraktur kompleta lama multipel yang ditandai dengan adanya kalus. Pada thorax terlihat adanya bentuk dada pectus

carinatum/pigeon chest, dan dijumpai gambaran rachitic rosary. Terdapat

gambaran pneumonia, hal ini dapat dimengerti karena terdapat resiko infeksi yang lebih besar pada pasien dengan adanya deformitas pada thorax dan status gizi kurang.

Terdapat beberapa kelainan pada tulang yang mempunyai kemiripan dengan rickets, walaupun tidak semua tanda pada rickets tampak pada kelainan tersebut. Kelainan tersebut diantaranya yaitu non accidental injury (NAI), osteogenesis imperfekta dan skurvi. Pada osteogenesis imperfekta dan skurvi juga dijumpai gambaran osteopenia, sedangkan pada NAI tidak ditemui. Pada osteogenesis imperfekta, bowing secara khas melibatkan seluruh tulang panjang. Gambaran bowing juga dijumpai pada rickets, namun lebih banyak dijumpai pada tulang panjang yang merupakan penyangga berat badan.16 Pada rickets dan osteogenesis imperfekta juga sering dijumpai gambaran fraktur multipel dan penipisan korteks. Perbedaan yang dapat dijadikan untuk membedakan kedua

(29)

kelainan ini adalah jenis kelainan pada metafisis dan bentuk tulang panjang. Pada

rickets jelas dijumpai gambaran cupping, fraying dan splaying pada metafisis,

serta pelebaran lempeng epifisis yang tidak dijumpai pada osteogenesis imperfekta.21 Pada osteogenesis imperfekta tulang panjang tampak lebih tipis dan langsing dibandingkan pada rickets. Pada laporan kasus ini sklera pasien tampak normal dan tidak terdapat kelainan genetik pada keluarga yang tidak mendukung diagnosis osteogenesis imperfekta.

Terdapat kemiripan rickets dengan skurvi dalam gambaran osteopenia. Namun pada skurvi epifisis tampak lebih kecil, terdapat garis sklerotik dan zona kalsifikasi provisional tampak opak, yang membedakannya dengan rickets.17

Pada NAI juga sering dijumpai gambaran fraktur multipel seperti pada

rickets. Namun pada NAI tidak ditemui gambaran osteopenia berat, tidak terdapat

gambaran bowing, serta terdapat perbedaan predileksi lokasi lesi yang sering dijumpai bila dibandingkan dengan rickets.

(30)

BAB V SIMPULAN

Telah dilaporkan pasien anak perempuan, umur 2 tahun 9 bulan dengan keluhan utama sesak nafas, dada yang membesar disertai gangguan tumbuh kembang. Gambaran klinis pasien menyokong rickets. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan antara lain foto polos thorax, foto genu bilateral, antebrachii dan wrist joint bilateral serta CT scan thorax dengan hasil yang khas menyokong gambaran rickets, yaitu gambaran pectus carinatum dan rachitic rosary, osteopenia, pelebaran lempeng epifisis, gambaran cupping, splaying dan fraying pada metafisis, disertai bowing dan fraktur lama pada diafisis. Hasil pemeriksaan laboratorium kimia darah juga menyokong proses rickets, dengan penyebab utama terjadinya kelainan adalah asidosis tubular renal distal.

Gambaran rickets ini didiagnosis banding dengan osteogenesis imperfekta,

non accidental injury dan skurvi. Terdapat kemiripan rickets dengan osteogenesis

imperfekta dan skurvi dalam gambaran osteopenia dan penipisan korteks. Namun terdapat gambaran yang khas untuk rickets yaitu gambaran pelebaran lempeng epifisis yang disertai pengaburan zona kalsifikasi provisional dan gambaran

cupping, fraying dan splaying pada metafisis dan bowing pada tulang panjang

yang tidak tipis atau langsing. Terdapat kemiripan rickets dan non accidental

injury, namun terdapat perbedaan khas dalam gambaran pada metafisis dan

(31)

DAFTAR PUSTAKA

1. Babyn P. Metabolic bone disorders. In: Daldrup HE, Gooding CA, editor. Essentials of pediatric radiology. Cambridge University Press; 2010. Pp 256-66.

2. Haller JO, Slovis TL, Joshi A. Pediatric radiology. 3rd ed. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.2005. pp193-4.

3. Bonakdarpour A. Systematic approach to metabolic disease of bone. In: Bonakdarpour A, editor. Diagnostic imaging of musculoskeletal diseases: a systematic approach. Springer; 2010.pp 15-50.

4. Rudolph CD, Rudolph AM. Rudolph’s pediatrics. 21st ed. The McGraw-Hill companies inc. 2003. Pp2156-62.

5. Donelly LF, Jones BV, O’Hara SM, Anton CG, Benton C, Westra SJ, et al. Diagnostic imaging pediatrics. 1st ed. Amirsys Inc; 2005.

6. Hodler J, Von Schulthess GK, Zollikofer CI, editor. Muskuloskeletal diseases. Springer Verlag Italia; 2009.

7. Weissleder, Wittenberg, Harisinghani, Chen. Primer of diagnostic imaging. 5th ed. Elsevier Mosby. 2011.pp335-6.

8. Adams JE. Metabolic and endocrine skeletal disease. In: Adam A, Dixon AK. Grainger & Allison’s Diagnostic radiology; A textbook of medical imaging. 5th ed. Elsevier Churchill Livingstone; 2008.

9. Carter MA. Anatomi dan fisiologi tulang dan sendi. In: Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa, Anugerah P; editor, Wijaya C. EGC. 1995. Pp1175-82.

10. Kini U, Nandeesh BN. Physiology of bone formation, remodelling and metabolism. In: Fogelman I et al, editor. Radionuclide and hybrid bone imaging. Springer-Verlag Berlin Heidelberg;2012. Pp`29-34.

11. Shore RM, Chesney RW. Rickets: part I. Pediatr Radiol. 2013;43:140-51. 12. Shore RM, Chesney RW. Rickets: part II. Pediatr Radiol. 2013;43:152-72. 13. Thacher TD, Clarke BL. Vitamin D insufficiency. Mayo Clin Proc.

(32)

14. Hefti F, Brunner R, Hasler CC, Jundt G. Skeletal Dysplasias. In: Hefti F, Brunner R, Hasler CC, Jundt G, editor. Pediatric orthopedics in practice. Springer; 2000. pp671-3.

15. Manaster BJ, May DA, Disler DG. Musculoskeletal imaging. 3rd ed. Mosby; 2007.pp 373-82.

16. Cheema JI, Grissom LE, Harcke HT. Radiographic characteristics of lower extremity bowing in children. Radiographics. 2003;23:871-80.

17. Sutton D, editor. Textbook of radiology and imaging. 7th ed. Vol II. Elsevier Churchill Livingstone; 2003.

18. Chapman S. Non accidental injury. In: Johnson KJ, Bache E, editors. Imaging in pediatric skeletal trauma. Springer; 2008. Pp159-171.

19. Jagtap VS, Sarathi V, Lila AR, Bandgar T, Menon P, Shah NS. Hypophosphatemic rickets. Indian journal of endocrinology and metabolism. 2012;16:177-82.

20. Singh J, Mohgal N, Pearce SHS, Cheetham T. The investigation of hypocalcemia and rickets. Arch Dis Child. 2003;88:403-7.

21. Jenny C. Evaluating infants and young children with multiple fractures. Pediatrics. 2006;118:1299-303.

22. Israeli TG, Dranitzki Z, Straus U. Nutritional rickets in infant immigrating to Israel from Ethiopia. IMAJ. 2003;5:291-2.

(33)

LAMPIRAN

Gambar 1. Foto abdomen, tangan dan kaki pasien.

Gambar 2. Foto thorax. Expertise:

Foto thorax AP (asimetris, RPO) dan lateral, view, inspirasi kurang, kondisi cukup, hasil:

- Tampak opasitas inhomogen di kedua pulmo terutama diperihiler dan paracardial bilateral, batas tak tegas dengan air bronchogram (+).

- Tampak pemadatan limfonodi hilus bilateral.

- Sinus costophrenicus dextra dan sinistra lancip, tak tampak penebalan pleural space.

- Diafragma dextra tampak licin mendatar, diafragma sinistra licin tak mendatar

(34)

- Cor, konfigurasi cor relatif normal. Retrosternal dan retrocardial space terbuka

- Sistema tulang intak. Diameter anteroposterior thorax tampak lebih membesar.

- Tampak costa bilateral yang prominen dengan gambaran rachitic rosary pada costa aspek media bilateral.

Kesan:

- Gambaran pneumonia bilateral dengan limfadenopati hilus, suspek TB pulmo primer. Konfigurasi cor dalam batas normal

(35)

Gambar 3. CT scan thorax

Kesan : pigeon chest dengan pneumonia bilateral.

Gambar 4. Foto genu dextra dan sinistra, AP dan lateral, kondisi cukup, hasil: - Tampak gambaran porotik pada sistema tulang dengan trabekulasi tulang

tampak kasar dan jarang. Tampak cortex tulang menipis.

- Tampak pelebaran lempeng epifisis pada femur dan tibia bilateral. Tampak metafisis dengan gambaran cupping, fraying dan splaying.

- Tampak fraktur dengan callus (+) di os fibula dextra pars tertia media, cum angulationem.

Kesan :

(36)

Gambar 5. Foto antebrachii dan wrist joint dextra dan sinistra.

Foto antebrachii dan wrist joint dextra dan sinistra, AP dan lateral, kondisi cukup, hasil:

- Tampak gambaran porotik pada sistema tulang dengan trabekulasi tulang tampak kasar dan jarang. Tampak cortex tulang menipis.

- Tampak gambaran epifisis os radius dan os ulna bilateral yang mengabur. Tampak metafisis dengan gambaran cupping, fraying dan splaying terutama pada os ulna bilateral.

- Tampak fraktur dengan callus (+) di os ulna dextra pars tertia media, os ulna sinistra pars tertia proksimal, os metacarpal V manus dextra, os metacarpal III manus sinistra.

Kesan :

(37)

Gambar 6. anatomi tulang10

Gambar 7. Diagram anatomi fungsional lempeng epifisis. R=reserve or resting chondrocytes.P= proliferative zone, H=hypertrophic zone, C=Cartilage calcification, M=metaphysis.11

(38)

Gambar 9. Gambar foto manus (A) dan genu (B) memperlihatkan perubahan pada rickets yang meliputi cupping¸fraying, splaying pada metafisis dan pelebaran zona kalsifikasi provisional dan penurunan densitas tulang difus.1

Gambar 10. Rickets pada anak berusia 2 tahun (A) memperlihatkan gambaran cupping, fraying pada radius dan ulna aspek distal. Gambar B pada pasien yang sama pada usia 2,5 tahun memperlihatkan kalsifikasi pada lempeng epifisis dan metafisis.21

(39)

Gambar 11. (A) Rickets pada anak berusia 7 bulan memperlihatkan gambaran coarse¸iregular dan fraying disertai cupping pada radius dan ulna distal, dengan sklerosis metafisis. (B) setelah 6 bulan, zona kalsifikasi provisional mulai tampak, dengan remineralisasi pada metafisis yang berkembang ke arah lempeng epifisis. Masih tampak gambaran cupping pada ulna. (C) pada usia 11 bulan, rickets tampak membaik.21

Gambar 12. Rickets nutrisional. Gambaran genu pada foto AP memperlihatkan

penurunan densitas tulang, pengkabutan kontur epifisis, dan gambaran paint brush pada metafisis dan penurunan densitas zona kalsifikasi provisional pada kedua sisi femur dan tibia.3

Gambar 13. Rickets nutrisional. Foto polos dada memperlihatkan gambaran rachitic rosary terutama pada sisi kiri.3

(40)

Gambar 14. Kasus rickets yang telah diterapi dengan gambaran sisa deformitas lengkung. Deformitas ini akan membaik dengan remodelling selama pertumbuhan pasien.3

Gambar 15. Foto pelvis AP pada pasien rickets nutrisional setelah terapi. Epifisis femur proksimal memperlihatkan adanya remineralisasi. Fenomena ini tidak berkaitan dengan pertumbuhan epifisis namun merupakan efek terapi dan rekalsifikasi parsial pada kartilago epifisis.3

(41)

Gambar 17. Foto pasien dengan kombinasi rickets dan skurvi. Foto ekstremitas atas (A) dan ekstremitas bawah (B) memperlihatkan bowing dan fraying pada metafisis sebagai manifestasi rickets dan ring epiphyses dengan zona kalsifikasi provisional dengan densitas yang lebih tinggi sebagai manifestasi skurvi.3

Gambar 18. Gambaran osteogenesis imperfekta pada anak berusia 7 tahun. Foto cruris anteroposterior dan lateral memperlihatkan osteopenia, bowing anterior dan medial, sklerosis fokal pada pertengahan corpus tibia karena riwayat fraktur. Terdapat juga gambaran fibula yang tipis, bowing, dan perubahan pada metafisis femur distal post trauma.16

(42)

Gambar 19. Gambaran non accidental injury. Gambar A dan B memperlihatkan classic metaphyseal lesions (CML), yang disertai gambaran pembentukan periosteal tulang baru dengan derajat maturitas yang berbeda-beda, mencerminkan fraktur multipel dengan umur yang berbeda pula. Gambar C memperlihatkan fraktur costa posterior. Garis fraktur tidak terlihat, namun bentukan kalus mengindikasikan adanya fraktur. Gambar D memperlihatkan fraktur cranium multipel.18

Gambar

Gambar 1. Foto abdomen, tangan dan kaki pasien.
Gambar 4. Foto genu dextra dan sinistra, AP dan lateral, kondisi cukup, hasil:
Gambar 5. Foto antebrachii dan wrist joint dextra dan sinistra.
Gambar 7. Diagram anatomi fungsional lempeng epifisis. R=reserve or resting chondrocytes.P= proliferative zone, H=hypertrophic zone, C=Cartilage calcification, M=metaphysis
+6

Referensi

Dokumen terkait