• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERBAU SUMBAWA: SEBAGAI KONVERTER SEJATI PAKAN BERSERAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERBAU SUMBAWA: SEBAGAI KONVERTER SEJATI PAKAN BERSERAT"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KERBAU SUMBAWA:

SEBAGAI KONVERTER SEJATI PAKAN BERSERAT

SUDIRMAN1dan IMRAN2

1Dosen Jurusan INMT Fakultas Peternakan Uiversitas Mataram, Kandidat Doktor UGM, 2Ketua Laboratorium Hijauan dan Manajemen Padang Pengembalaan Jurusan INMT

Fakultas Peternakan Uiversitas Mataram

Jl. Majapahit No. 62 Mataram 83125 Nusa Tenggara Barat ABSTRAK

Evaluasi dua jenis ransum campuran 40% jerami padi + 60% konsentrat dan 55% hijauan jagung + 45% secara bertahap telah dicoba pada sapi dan kerbau betina dewasa berfistula rumen. Nilai cerna bahan kering dan bahan organik secara in vivo dan in vitro. Parameter kinetik rumen diamati selama 24 jam dan membandingkan kondisi biologis cairan rumennya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jerami padi atau jerami jagung sebagai pakan berserat dapat menjadi pakan basal ternak kerbau Sumbawa untuk penelitian dalam rangka menelusuri keberadaannya sebagai pilar utama penunjang pembangunan peternakan. Hal ini disebabkan karena konsumsi dan kecernaan bahan kering maupun bahan organik (in vivo, in vitro), kadar amoniak dan tingkat keasaman cairan rumen sapi maupun kerbau relative sama.

Kata kunci: Kerbau, sapi, pakan berserat, in vivo, in vitro

LATAR BELAKANG

Sejarah mencatat bahwa keberadaan ternak kerbau di Sumbawa telah memberikan andil besar dalam kehidupan masyarakat Sabalong Sama Lewa menjadi sosok manusia yang dipanuti dan berkarisma. Kerbau identik sebuah simbol atau indikator kekayaan dari sebuah rumah tangga setelah kepemilikan tanah/lahan pertanian. Tidak sedikit orang yang menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu hingga ke jenjang pendidikan tinggi berkat jasa kerbau. Apabila manajemen pemeliharaan yang selama ini hanya dilepas dalam padang pengembalaan dengan ketersediaan pakan alami ditingkatkan menjadi semi-intensif (suplementasi konsentrat), dipastikan calving interval bisa lebih singkat. Sering tidak tampak

tanda-tanda birahinya, bukan alasan yang tepat

untuk tidak dijadikan kerbau sebagai pilar utama penunjang pembangunan peternakan di Tana’ Samawa. Kenyataannya, populasi kerbau dapat bertahan walaupun dilepas di dalam padang penggembalaan (lar) secara tradisonal. Kemampuannya mengkonversi pakan berserat/limbah pertanian (jerami padi, jerami jagung) yang berlimpah-ruah di wilayah ini, lebih baik dibandingkan sapi

karena tingginya populasi mikrobia rumennya (WANAPAT, 2001).

In vivo merupakan metode konvensional

yang sudah lama diterapkan untuk mengevaluasi kecernaan pakan (SCHNEIDER dan FLATT, 1975; LÓPEZ, 2005). Walaupun hasilnya valid, uji nilai pakan dengan metode in vivo ini masih memiliki keterbatasan bila diterapkan secara rutin, antara lain tingginya biaya operasional (membutuhkan banyak ternak, tenaga, fasilitas, pakan, waktu) dan sulit diaplikasikan ketika ketersediaan bahan pakan yang akan diuji terbatas jumlahnya (EL-MEADAWAY et al., 1988; BAAN et al., 2004). Untuk mengatasi masalah tersebut, telah dikembangkan metode in vitro (TILLEY dan TERRY, 1963; ORSKOV et al., 1980; LÓPEZ, 2005). Metode evaluasi kecernaan pakan secara

in vitro telah berkembang dengan cepat dan

digunakan secara rutin karena membutuhkan relatif sedikit jumlah sampel bahan pakan yang akan diuji. Selain itu, dapat mengestimasi kecernaan beberapa jenis bahan pakan dalam satu kali proses analisis, hasilnya pun cukup akurat dan mempunyai korelasi positif dengan nilai kecernaan in vivo (HERVANDEZ, 1984; HVELPUND et al., 1999; BORBA et al., 2001; BLUMMELL et al 2003; MAHADEVAMMA et al., 2004).

(2)

Makalah ini mengetengahkan kemam-puan Kerbau Sumbawa mencerna pakan (jerami padi dan jerami jagung) secara in

vivo dan in vitro.

MATERI DAN METODE Sapi dan kerbau betina dewasa (rata-rata bobot badan 332 dan 321 kg), dipelihara di dalam kandang individual berlantai campuran pasir-semen selama 51 hari untuk dua macam ransum. Selama penelitian, disuguhkan ransum 3% bobot badan (KEARL, 1982) dan air minum secara ad

libitum. Ransum (A) 40% jerami padi + 60%

konsentrat dan (B) 55% hijauan jagung + 45% konsentrat. Ransum diberikan berturut-turut selama 17 hari (hijauan diberikan setelah konsentrat terkonsumsi). Konsumsi ransum diketahui berdasarkan hasil pengurangan antara yang diberikan dengan

sisa selama 24 jam dengan lama koleksi 7 hari dan periode adaptasi 10 hari.

Pakan dan feses yang dianalisis berasal dari kumpulan sampel yang dikoleksi setiap hari. Sampel yang terkumpul diambil 5% setelah diaduk dengan mixer, dikeringkan (oven 55oC) selama 48 jam untuk mengetahui berat kering udara, kemudian digiling menggunakan saringan 1 mm (OLIVERA, 1998; CHICKWANDA dan MUTISI, 2001). Untuk mengetahui kadar bahan kering dan bahan organik, sampel dikeringkan (oven 105oC selama 8 jam) kemudian dibakar (tanur 550oC) selama 2 jam (BLUMMEL et al., 2003; THU, 2003). Kadar bahan kering sampel segar dapat dihitung berdasarkan prosedur HARRIS (1970) dengan berpatokan pada nilai berat kering udara dan bahan kering sampel. Analisis proksimat pakan dan feses sesuai prosedur Nahm (1992) sedangkan NDF dan ADF berdasarkan prosedur VAN SOEST dan Robertson (1980).

Tabel 1. Kandungan zat gizi bahan pakan (%, bahan kering)

Pakan BK PK SK LK BETN ABU NDF ADF TDN

Jerami padi 95,25 4,24 33,48 1,01 36,21 25,06 81,72 55,60 41,00 Hijauan jagung 90,00 11,33 28,00 0,68 49,23 10,76 64,40 32,64 53,00 Konsentrat 88,46 13,36 21,23 1,87 54,62 8,92 50,69 29,84 70,00

Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta BK = bahan kering, PK = protein kasar, SK = serat kasar, LK = lemak kasar,

BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, NDF = neutral detergent fiber, ADF = acid detergent fiber Tabel 2. Kandungan nutrisi ransum percobaan (%)

Ransum PK SK LK BETN ABU NDF ADF TDN PK/TDN

A 10,96 26,13 1,53 47,26 15,38 63,10 40,14 58,40* 0,19 B 12,24 24,95 1,22 51,66 9,93 58,23 31,38 60,65** 0,20

Keterangan: Dihitung berdasarkan Tabel 1

Inokulum cairan rumen dikoleksi dengan aspirator melalui fistula rumen sebelum pemberian pakan pagi, ditampung di dalam termos yang telah diatur suhunya (38o – 39oC) dengan air hangat (EL -MEADAWAY et al., 1988; WANAPAT, 2001; THU, 2003). Koloni mikrobia dan aktivitas enzim caboxy methyl cellulase cairan rumen dan feses dianalisis menurut prosedur BACHRUDDIN (1994). Apabila kadar bahan kering isi rumen 10 – 15%, pH dan suhu (6

– 6,8 dan 38 – 40oC) telah konstan, dapat dimanfaatkan sebagai sumber inokulum.

Inokulum cairan rumen yang telah disaring dengan empat lapis kain kasa dicampur dengan saliva buatan (1 : 4) dimanfaatkan untuk analisis kecernaan in vitro sesuai prosedur TILLEY dan TERRY (1963) selama 48 jam inkubasi. Parameter yang diukur meliputi konsumsi pakan, kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan secara in vivo dan in vitro, konsentrasi amonia dan pH, total koloni mikrobia dan aktivitas enzim

(3)

Analisis variansi untuk mengetahui

pengaruh spesies ternak dan jenis ransum terhadap variabel yang diamati diproses menggunakan komputer program Microsoft Excel® (Anova: Two-Factor with

Replication).

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan nutrisi ransum percobaan (Tabel 2) sesuai kebutuhan ternak sapi dan kerbau betina dewasa (KEARL, 1982). Walaupun kandungan protein kasar sedikit bervariasi, namun rasio terhadap total nutrisi tercerna relatif sama (iso

protein-energy). Kandungan gizi bahan pakan

penyusun ransum dianalisis di laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM, sedangkan kadar total nutrien tercerna (TDN) dikutip dari tabel

NRC (1984) dan label NuTrifeed (BC-132).

Tingginya kadar protein kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen dan total nutrien

tercerna jerami jagung disebabkan karena dipanen pada umur muda (baby corn).

Tabel 3 menunjukkan bahwa konsumsi pakan ternak sapi dan kerbau baik berupa bahan kering maupun bahan organik tidak berbeda nyata diantara kedua jenis ransum walaupun jenis pakan basal berbeda. Kebutuhan bahan kering ternak ruminasia pada umumnya sekitar 2,5 – 4% bobot badan (KEARL, 1982; WANAPAT, 1989). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi bahan kering berada pada kisaran standar dimaksud (2,46%). Tidak berbedanya tingkat konsumsi bahan kering sangat erat kaitannya dengan keseimbangan nutrien atau rasio protein terhadap energi (LÓPEZ, 2005) dalam kedua ransum percobaan (Tabel 2). Ruminansia akan maksimal konsumsi pakannya bila kadar nitrogen di dalam rumen cukup atau setara dengan protein kasar ransum 7 – 12% (SATTER and ROFFLER, 1981; KEARL, 1982; NRC, 1984; WANNAPAT, 1989; MINSON, 1990; ORSKOP,1992;BERGER danMERCHEN, 1995).

Tabel 3. Rata-rata konsumsi bahan kering dan bahan organik

Ternak Ransum A Ransum B Rata-rata

Konsumsi bahan kering (kg/ekor/hari)

Sapi 8,71 7,48 8,10a

Kerbau 7,98 7,89 7,94a

Rata-rata 8,35a 7,68a

Konsumsi bahan organik (kg/ekor/hari)

Sapi 7,31 6,67 6,99a

Kerbau 6,67 7,03 6,85a

Rata-rata 6,99a 6,85a

Konsumsi bahan kering (% BB/ekor/hari)

Sapi 2,53 2,13 2,33a

Kerbau 2,71 2,55 2,63a

Rata-rata 2,60a 2,30a

Keterangan: Huruf yang sama pada nilai rata-rata dalam kolom dan baris yangsama, tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tingginya konsumsi bahan kering ransum dengan bahan pakan basal jerami terkait langsung dengan persentase kadar bahan kering (95,25 %), dan sebaliknya terhadap konsumsi bahan organik yang lebih rendah. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05), ternak sapi mengkonsumsi bahan kering maupun

bahan organik lebih tinggi dibandingkan ternak kerbau disebabkan karena bobot badan dan umurnya berbeda.

Kecernaan bahan kering maupun bahan organik kedua jenis ransum (Tabel 4) ternyata berbanding terbalik dengan konsumsi, sesuai hasil penelitian kecernaan in vivo.

(4)

Tabel 4. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum percobaan

Ternak Ransum A Ransum B Rata-rata

Kecernaan in vivo bahan kering (%)

Sapi 57,79 66,90 62,35a

Kerbau 51,93 62,01 56,97a

Rata-rata 55,44a 64,94a

Kecernaan in vivo bahan organik (%)

Sapi 62,12 67,27 64,70a

Kerbau 56,46 62,10 59,28a

Rata-rata 59,85a 65,20a

Kecernaan in vitro bahan kering pangola (%)

Sapi 42,36 43,31 41,84a

Kerbau 43,39 43,29 43,34a

Rata-rata 42,88a 43,30a

Kecernaan in vitro bahan organik pangola (%)

Sapi 44,86 45,76 45,31a

Kerbau 46,19 46,65 46,42a

Rata-rata 45,53a 46,21a

Keterangan: Huruf yang sama pada nilai rata-rata dalam kolom dan barisyang sama, tidak berbeda nyata (P > 0,05)

Rata-rata nilai kecernaan ransum pada ternak sapi dan kerbau tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hal ini disebabkan karena NH3, pH, total koloni bakteria dan aktivitas enzim relatif sama (Tabel 4 dan 5). Nilai cerna in vitro rumput pangola yang diuji dengan cairan rumen sapi maupun kerbau juga tidak berbeda (P > 0,05). Konstannya nilai cerna ransum oleh kedua spesies

ternak percobaan sesungguhnya berhubungan dengan keseimbangan komposisi kimianya yang tidak bervariasi. Dengan kata lain, kadar nutrien seperti misalnya protein kasar berada pada kisaran kebutuhan ternak ruminansia. Pemanfaatan pakan oleh ruminansia dipengaruhi oleh ekologi rumen dan rasio protein (PRESTON dan LENG, 1987).

Tabel 5. pH dan N-NH3 cairan rumen selama 24 jam pengamatan

Ternak Ransum A Ransum B Rata-rata

pH cairan rumen

Sapi 6,41 6,65 6,53a

Kerbau 6,61 6,53 6,57a

Rata-rata 6,51a 6,59a

Kadar NH3 cairan rumen (mg N/liter)

Sapi 102,6 92,44 97,52a

Kerbau 96,05 111,42 103,74a

Rata-rata 99,32a 101,93a

Keterangan: Huruf yang sama pada nilai rata-rata dalam kolom dan baris yang sama, tidak berbeda nyata (P > 0,05)

Gambar 1 dan 2 berikut ini menunjukkan variasi pH cairan rumen sapi dan kerbau selama 24 jam observasi dengan ransum yang berbeda. pH normal cairan rumen berkisar 5,5 – 7,0 (THEODOROU dan FRANCE, 1993). pH cairan rumen untuk

kedua jenis ransum berkisar 6,1 – 7,4 selama 24 jam, masih dalam batas normal untuk pakan berserat yaitu 6,2 – 7,0 (AKIN, 1982; 1998; THEODOROU dan FRANCE, 2005), meskipun ada beberapa data melebihi 7,0.

(5)

5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 07.0 0 08.0 0 09.00 10.0 0 11.0 0 12.0 0 14.0 0 16.00 18.0 0 20.0 0 22.0 0 24.0 0 02.00 04.0 0 06.0 0 Waktu (jam) pengambilan

pH

J. Padi Hj. Jagung

Gambar 1. Variasi pH cairan rumen sapi selama 24 jam observasi KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ternak Kerbau

Sumbawa mampu mencerna jerami padi

atau jerami jagung secara normal. Dengan kata lain, ternak kerbau dapat dijadikan sebagai pilar utama penunjang pembangunan peternakan di Tana’ Samawa.

DAFTAR PUSTAKA

AKIN,D.E. 1982. Microbial Breakdown of Feed in the Digestive Tract. J.B. HACKER

(editor). In: Nutritional Limit to Animal Production from Pasture. Proceeding of an International Symposium Held at St.Lucia, Queensland Australia, Pp. 201 – 223. Commonwealth Aqricultural Bureaux. BAAN,A.V.D.,W.A.NIEKERK,N.F.G.RETHMAN,

and R.J. COERTZE. 2004. The Determination of Digestibility of Atriplex Mummularia cv. De Kock (Oldman’s Saltbush) Using Different in vitro techniques. S. Afr. J. Anim. Sci., 34(1): 95 -97.

BACHRUDDIN, Z., R. UTOMO, L.M. YUSIATI, WIDYANTORO, and ASMARA. 1994. Manipulation of Microbial Rumen Carabao and its Application for Increasing of Quantity and Quality of Ruminant Production in Utization of Crude Fibre. 2.

Manipulation and Selection of Carabao Microbial Rumen Treating by Different of Crude Fibre. Laporan penelitian HB II/2.

BERGER,L.L.and N.R.MERCHEN. 1995. Influence of Protein Level on Intake of Feedlot Cattle – Role of Ruminal Ammonia Supply. OWE, F.N., D.R.GILL, K.S. LUSBY, and F.T. MC COLLUM

(editors), Symposium: Intake by Feedlot Cattle. Oklahoma Agricultural experiment station, Oklahoma State University, Stilwater, USA. Pp. 272 – 280

BLUMMEL, M., A. KARSLI, and J.R.RUSSELL. 2003. Influence of Diet on Growth Yields of Rumen Micro-Organisme in vitro and in vitro: Influence on Growth Yield of Variable Carbon Fluxes to Fermention Products. Br. J. Nutr., 90: 625 – 634. BORBA, A.E.S., P.J.A.CORRELA, J.M.M. FERNANDES

and A.F.R.S.BORBA. 2001. Comparison of Three Sources of Inocula for Predicting Apparent Digestibility of Ruminant Feedstuff. J. Anim. Res., 50: 265-273.

CHICKWANDA,A.T.and C.MUTISI. 2001. The Use of Faecal Fluid in Evaluating Ruminant Feeds. TSAP Proceeding, Volume 28.

EL-MEADAWAY,A.,Z.MIR,P.S.MIR,M.S.ZAMAN and L.J. YANKE. 1988. Relatif Efficacy of Inocula from Rumen Fluid or Faecal Solution for Determining in vitro Digestibility and Gas Production. Can. J. .Anim. Sci., 78:673-679. GIVENS, D.I. and A.R. MOSS. 1995. The Nutrition

Value of Cereal Straw for Ruminant – A Review. Nutr. Abstr. Rev. (B), 65 (11): 793 - 811.

(6)

HARRIS, L.E. 1970. Nutrition Rresearch Techniques for Domestic and Wild Animals. Volume 1. An International Record System and Procedures for Analyzing Samples.

HVELPLUND, T., M.R. WEISBJERG, and K. SOEGAARD. 1999. Use of in vitro Digestibility Methods to Estimate in vivo Digestibility of Straw. Dan. Inst. Agric. Sci. Diakses di internet 2/16/2005.

http://www.ihh.kvl.dk/htm/php/Tsap99/6-hvelplund.htm.

HERVANDEZ,M.,A.DE LA VEGA,and A.SOTELO. 1984. Determination of in vitro and in vitro Protein Digestability in Cereal and Legumes, Raw and Cooked. Arch. Lat. Nutr. 34 (3): 513 – 522.

KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Countries. International Feedstuff Institute, Utah Agriculturel Experiment Station, Utah State University, Logan, Utah 84322, USA.

LÓPEZ,S. 2005. In vitro and In situ Techniques for Estimating Digestibility. J.DIJKTRA, J.M.FORBES and J.FRANCE (editors). In Quantitative Asfects of Ruminant Digestion and Metabolism, 2nd edition, CABI Publishing. Pp. 87- 122.

MAENG,W.J.,H.PARK,and H.J.KIM. 1997. The Role of Carbohydrate Supplementation in Microbial Protein Synthesis in the Rumen. RYOJI ONODERA, HISAO ITABHASI, KAZUNARI USHIDA, HIDEO YANO, and YASUYUKI SASAKI (editors). In: Rumen Microbes and Digestive Physiology in Ruminants. Japan Scientific Societies Press, Karger. Pp. 107 - 119.

MAHADEVAMMA, S., T.R. SHAMALA, and R.N. THARANATHAN. 2004. Resistant Starch Derived from Processed Legumes: in vitro and in vivo Fermentation Characteristics. Ir. J. Food Sci. Nutr., 55 (5): 399-405. MINSON,D.J.andM.N.MCLEOD, 1972. The in

vitro Technique: its Modification for Number of Tropical Pasture Samples. Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, Australia.

NAHM, K.H. 1992. Practical Guide to Feed, Forage and Water Analysis. Yoo Han Publishing Inc. Seoul, Korea Republic. Evaluation in Ruminant Nutrition. CAB International, pp. 135-154.

NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 1984. Nutrient Requirements of Domestic Animal. Nutrient Requirements of Beef Cattle; Buffalo. Sixth Revised Edition.

OLIVERA,andREDIMIO M.PEDRAZA. 1998. Use of in vitro Gas Production Technique to Assess the Contribution of Both Soluble and Insoluble Fraction on the Nutritive Value of Forages. A Thesis Submitted to the University of Aberdeen, Scotland, in Partial Fulfillment of the Degree of Master of Science in Animal Nutrition. August 1998.

ORSKOV E.R. 2000. The in-situ Technique for the Estimation of Forage Degradability in Ruminants. In: D.I. GIVENS, E.OWEN, R.F.E. AXFORD and H.M. ORMED (Ed.). Forage Evaluation in Ruminant Nutrition. CABI Publishing, UK.

PRESTON, T.R. 1995. Tropical Animal Feeding: A Manual for Research Workers. FAO, Animal Podiction and Health, Paper no. 126, Roma. PRESTON, T. R. and R. A. LENG, 1987. Matching

Ruminant Profuction System with Available Resources in the Tropics and Sub-tropics. Penambul Books, Armidale, Australia. Pp 161 -180.

SCHNEIDER, B.H. and W.P. FLATT. 1975. The Evaluation of Feeds Through Digestibility Experiment. University of Georgia Press, Athens-USA.

SATTER L.D. and R.E. ROFFLER. 1981. Influence of Nitrogen and Carbohydrate Inputs on Rumen Fermentation. HARESIGN, W. and D.J.A. COLE

(editors). Recent Development in Ruminant Nutrition. Butterworths. Pp. 115 -156.

TILLEY, J.M. and R.A.TERRY 1963. A Two-Stage Technique for the in vitro Digestion of Forage Crops. J. Br. Grass. Soc., 18:105-111

THU, N.V. 2003. Effect of Different Strategies of Processing Rice Straw on in vitro Digestibility using Rumen Fluid or Faecal Inocula of Local Cattle. In Proceedings of Final National Seminar-Workshop on Sustainable Livestock Production on Local Feed Resources (editor: REG PRESTON and BRIAN OGLE). HUAF-SAREC, Hue City, 25 – 28 March 2003.

THEODOROU, M.K. and FRANCE, J. 2005. Rumen Microorganism and their Interaction. J.DIJKTRA, J.M. FORBES and J. FRANCE (editors). In: Quantitative Asfects of Ruminant Digestion and Metabolism, 2nd edition, CABI Publishing. Pp. 207- 228.

(7)

VAN SOEST, P.J. and J.B. ROBERTSON. 1980. System of Analysis for Evaluating Fibrous Feeds. Standardization of Analytical Metodology for Feeds (Eds., W.J.PIGDEN,

C.C.BALCH, and MGRAHAM), I.D.R.C., Canada. WANAPAT,M. 2001. Swamp Buffalo Rumen Ecology and its Manipulation. http:// www.vcn.vnn.vn/

Gambar

Gambar 1. Variasi pH cairan rumen sapi selama 24 jam observasi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dan perhitungan dari penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan metode EOQ lebih efisien dibandingkan dengan kebijakan yang diterapkan dalam Ukm, dapat dilihat

Catatan dan Tanggapan Penilai terhadap dokumen dan/atau keterangan guru (catat kegiatan yang dilakukan). Guru memiliki catatan tentang kemajuan belajar siswa, siswa yang tidak

Bibliokonseling merupakan kegiatan konseling yang dapat membantu klien daam menyelesaikan permasalahan menggunakan buku sebagai media untuk kegiatan konseling.

Selain itu, pemilik industri ini juga mengatakan kalau tidak mudah merubah sikap para pekerja untuk menerapkan penataan tempat kerja yang baik, karena dari diri

Bukan rahasia lagi pengaturan pelayanan medis khususnya medis spesialistik sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala, tenaga spesialis masih kurang dan belum merata di berbagai

PEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO DINAS KESEHATAN.. PUSKESMAS GRUJUGAN

Teacher Education Vol. Menurut Berry Brazelton, strategi mengedisiplinkan harus mencakup beberapa hal. Pertama, kelakuan buruk anak harus dihentikan. Kedua, mungkin anak

Menjelaskan gambaran umum tentang lokasi penelitian, serta menganalisa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik untuk menentukan unsur berencana dalam