• Tidak ada hasil yang ditemukan

KULDESAK PENULISAN SEJARAH SRIWIJAYA DALAM MATA PELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH: SEBUAH WACANA AWAL. Oleh: Dedi Irwanto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KULDESAK PENULISAN SEJARAH SRIWIJAYA DALAM MATA PELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH: SEBUAH WACANA AWAL. Oleh: Dedi Irwanto"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 56 ) A. Pendahuluan

Berdasarkan bukti arkeologis dan sumber asing, layaknya kebesaran Sriwijaya tidak dapat terelakkan, dapat dikatakan Sriwijaya ”ada di mana-mana”, karena memang temuan jejaknya dapat ditelusuri, mulai dari Jawa, Pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, hingga daratan India. Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, maupun Arab. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina yang berasal dari periode mulai dari Dinasti Song (960-1279 M) sampai Ming (abad 14-17 M).

Kebesaran Sriwijaya juga terlacak dari peninggalan di India dan Jawa. Prasasti Dewapaladewa dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan, Raja Balaputradewa dari

Swarnadipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara. Prasasti Rajaraja I tahun 1046 mengisahkan pula, Raja Kataha

dan Sriwiyasa

Marawijayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu wilayah desa pembangunan biara Cudamaniwarna, nama ayahnya, di kota Nagipattana, India. Manuskrip sejarah, seperti Kitab Sejarah Dinasti Song dan Dinasti Ming, berada di Cina.

Raja Sriwijaya juga mendukung penuh pembangunan Candi Borobudur di Pulau Jawa yang terbuat dari batu gunung. Sedangkan candi-candi peninggalan Sriwijaya di Sumatra, karena lokasinya jauh dari gunung semuanya terbuat dari batu bata yang cepat aus dimakan zaman.

Munculnya narasi sejarah ”mengambang” tentang lokalitas pusat “KULDESAK” PENULISAN SEJARAH SRIWIJAYA DALAM MATA

PELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH: SEBUAH WACANA AWAL Oleh: Dedi Irwanto

Abstrak

Kajian ini sebagai wacana untuk mendesak perlunya sebuah penulisan sejarah yang luas tentang sejarah Sriwijaya. Maka permsalahan utama dalam kajian ini adalah mengapa perlu diadakan pelurusan sejarah Sriwijaya tentang lokalitas pusat Sriwijaya tersebut? Bagaimana contoh tulisan tentang lokalitas Sriwijaya yang perlu ada dalam buku teks sejarah di sekolah dengan sebuah pendekatan baru. Kuldesak dalam penulisan tersebut disebabkan karena munculnya narasi “mengambang” tentang pusat Sriwijaya. Oleh karena itu, perlu wacana yang ditawarkan dalam tulisan ini menggunakan pendekatan dekonstruksi kota ritual keagamaan atau kota suci, konsep-konsep kota suci tersebut perlu digunakan karena Sriwijaya indetik sebagai kerajaan Buddha.

(2)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 57 ) Sriwijaya tersebut, melahirkan

kebingungan tersendiri, baik dikalangan pendidik maupun peserta didik ataupun juga ”mantan” peserta didik. Sebagai contoh, penulis melakukan sedikit observasi terhadap sepuluh sampel yang terdiri dari pendidik, peserta didik, mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi dan mantan siswa serta alumni mahasiswa.

Menariknya, ternyata hasil dari observasi dengan pertanyaan tunggal, “di mana pusat Sriwijaya?” , justru menghasilkan jawaban yang sama mengambangnya, bahkan sampel guru menceritakan, ia mengalami kesulitan menjelaskan pusat Sriwijaya karena narasi dibeberapa buku teks dan pegangan sekolah tentang pusat Sriwijaya tersebut sangat samar dan tidak jelas.

Dengan keadaan seperti ini, mestinya penulisan sejarah Sriwijaya, meminjam istilah Asvi (2006), perlu diadakan pelurusan kembali, terutama untuk memperjelas lokasi pusat Sriwijaya pada buku-buku ajar sejarah di sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, maka muncul dua permasalahan, yakni mengapa perlu diadakan pelurusan sejarah Sriwijaya tentang lokalitas pusat Sriwijaya tersebut? Serta, meski masih terlalu dini, singkat dan belum terlalu tajam narasinya, bagaimana contoh konstruksi tentang lokalitas Sriwijaya yang perlu ada dalam buku teks sejarah di sekolah.

B “Kuldesak” Dalam (Pelurusan Kembali) Penulisan Sejarah Sriwijaya

Pascakolonial, bukan saja mulai banyak diselipi oleh ahli sejarah Indonesia diantara sarjana sejarah asing, tetapi pembantahan teori penulisan sejarah Sriwijaya dengan lokasi pusatnya di Palembang, kemudian mengalir deras. Mula-mula Poerbatjaraka (1952) menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya ada di Jawa. Yang menarik dari uraian Poerbatjaraka adalah penyebutan yang berbeda-beda tentang raja Sriwijaya dalam prasastinya. Satu piagam menyebutnya dengan gelar punta (dapunta hyang) dan yang lain dengan sebutan maharaja.

Poerbatjaraka berkeyakinan bahwa penyebutan maharaja dilakukan setelah Sriwijaya menyerang Pulau Jawa, dan Raja Jawa, Sanjaya, melarikan diri ke daerah pegunungan Dieng, dengan demikian Jawa dapat dikalahkan oleh Sriwijaya. Namun, Sanjaya dari pegunungan ini kemudian dapat mempersiapkan diri untuk membalas dan berhasil mengalahkan Sriwijaya, dan keturunannya nanti yang memakai gelar Sailendra dinobatkan di Sriwijaya dengan memakai gelar Maharaja, Rakai Panangkaran. Panangkaran kemudian menyerang Jawa kembali dengan menaklukan saudaranya, yaitu Dewashimha yang melarikan diri ke Dinayah (Malang).

Rakai Panangkaran menjadi raja Sriwijaya yang berkedudukan di Jawa. Tafsir Poerbatjaraka tersebut, berdasarkan cerita Aji Saka, namun

(3)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 58 ) oleh beberapa sejarawan peristiwa

dalam narasi Aji Saka belum banyak memuat pembuktian yang kuat, karena penuh dengan mitos.

Soekmono (1958), kemudian memberi tafsir tentang lokalisasi Sriwijaya yang berbeda dengan ahli sejarah lainnya dengan pendekatan baru yang digunakan juga berbeda. Soekmono dengan pendekatan geomorfologi, pada intinya, menyangkal pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, ia melokasikannya di Jambi.

Soekmono untuk memperkuat teorinya mula-mula menyamakan San-fo-tsi dengan toponim Tembesi. Ia beranggapan, pusat Sriwijaya harus berada ditempat yang strategis, di mana tempat tersebut harus menguasai sepenuhnya jalur lalu lintas pelayaran dari Cina ke India dan sebaliknya. Soekmono, yang kemudian diperkuat dengan tulisan keduanya, Sekali Lagi Tentang Lokalisasi Sriwijaya menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya di Jambi dengan statemen:

... tidak ada pendapat yang menyokong Moens untuk melokalisasikan Sriwijaya di Muara Takus... maka kiranya dapat disimpulkan bahwa kedudukan Jambi semakin kuat ...(Soekmono, 1979: 82)

Sebenarnya pendapat Soekmono tersebut, dengan sendirinya diantam oleh Muljana (1960), dengan bukunya yang berjudul Sriwijaya. Muljana dalam buku tersebut berbicara panjang lebar dengan sekali lagi memperkuat pendapat Coedes tahun

1900-an. Pendapat Muljana pada tahun 1960 tersebut, kemudian mengalami perubahan signifikan ketika ia menulis buku keduanya Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi.

Pendapatnya pada tahun 1960-an sebelumnya, y1960-ang nampaknya sedikit meredakan pendapat kepastian lokasi Sriwijaya di Palembang, ia bongkar sendiri dengan reinterpretasi baru dan berbeda dengan sebelumnya. Buku kedua Muljana (1981) tersebut yang merevisi buku pertamanya kembali mengangatkan dan semakin “mengambangkan” narasi tentang lokasi pusat Sriwijaya.

Yang menarik dari buku kedua Muljana ini adalah pertama, tafsirnya atas periode Sriwijaya yang berbeda dengan pendapat-pendapat ahli sejarah sebelumnya. Menurut Coedes, periodesasi Sriwijaya membentang mulai abad 7 sampai awal abad ke-14 Masehi, namun Muljana berdasar rekonstruksi atas berita Cina, membagi masa Sriwijaya dalam tiga babak, sesuai dengan judul bukunya. Periode pertama, zaman Kuntala sebagai masa awal Sriwijaya yang membentang sebelum abad ke 7, bahkan ditarik sampai abad ke-3-4 Masehi. Periode kedua, zaman Sriwijaya sebagai perkembangan pertamanya, dan periode ketiga zaman Suwarnabhumi sebagai perkembangan keduanya. Yang kemudian ditutup, narasi zaman Samudera yang dianggap sebagai masa awal kerajaan Islam di Sumatera.

Yang menarik kedua dari pendapat Muljana di buku keduanya ini adalah apa yang semula diyakini sebagai pengertian sama atas tafsir

(4)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 59 ) antara Shih-li-fo-shih dan San-fo-ts’i

sebagai terjemahan Sriwijaya dari tulisan Cina, kemudian dibongkar konstruksinya oleh Muljana sebagai tafsir baru yakni Shih-li-fo-shih sebagai terjemahan Sriwijaya sendiri dan San-fo-ts’i sebagai terjemahan baru dengan pengertian yang mengacu ke kata Kerajaan Suwarnabhumi yang tidak pernah muncul sebelumnya.

Dus, tafsir atas toponim ini lebih jauh kemudian berpengaruh pada pengertian lokasinya, di mana ia melokalisasikan Sriwijaya tetap di Palembang, tetapi Suwarnabhuminya diletakkannya di Jambi. Jadi, berdasar tafsir baru Muljana tersebut, boleh dikatakan setengah pendapatnya tetap berpihak pada teori Coedes, namun setengahnya lagi ia palingkan pada pembenaran untuk teori Soekmono, yang sebelumnya ia bantah.

Inilah yang menyebabkan, semakin mengentalnya narasi “mengambang” tentang lokasi pusat Sriwijaya. Oleh karena itu, tampaknya persoalan ini perlu dibutuhkan sebuah kata “kuldesak” untuk pelurusan kembali penulisan sejarah Sriwijaya. Kuldesak berkenaan dengan “sesuatu” yang mesti mengalami perubahan yang mendesak, dalam hal ini demi sebuah kata “mencari kepastian” tentang sebuah lokasi pusat Sriwijaya.

Menariknya, pada tingkat lokal, Ismail (2003) kemudian menulis buku tentang Sriwijaya dengan judul Periodesasi Sejarah Sriwijaya, dalam bukunya ini tanpa bermaksud mengesampingkan keilmuan penulisnya dalam bidang sejarah, ia kemudian meletakkan titik pusat

masalahnya pada persoalan toponim “Minanga”, sebagai asal usul tempat pusat Sriwijaya yang terbaitkan dalam prasasti Kedukan Bukit. Posisi Minanga tersebut diposisikannya pada suatu daerah Minanga, Ogan Komering Ulu Timur sekarang ini.

Ismail (2003) melihatnya dengan pendekatan kemiripan dan keserupaan nama dalam prasasti Kedukan Bukit tersebut serta menganggap bahwa pada zaman purba daerah ini terletak di tepi pantai ditambah kedudukan bahasa Komering sebagai cikal bakal bahasa Melayu Kuno atau Proto Melayu, tetapi sayangnya tafsirnya tidak diikuti dengan pembuktian secara ilmiah. Pendapatnya tersebut cenderung bermuatan kronik mitologi, sebagian pendapatnya dikutip sebagai berikut:

Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan kekuatan dari sang Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan.... Untuk mewujudkan cita–citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba)... Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun,

(5)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 60 ) pasukan atau laskar sriwijaya

terkenal akan keberanian, dan kekuatannya mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang (Kedukan Bukit) di daerah Palembang sebagai titik temu...dengan membawa 20.000 (duapuluh ribu) pasukannya dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa perahu mengikuti perairan... Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat bangunan atau rumah (barak) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2 laksa laskar

Sriwijaya, untuk

mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit...

Sekali lagi tampaknya, karena kelamahan dalam pembuktian ilmiahnya tafsir dari Ismail tersebut, kembali kurang mendapat respon

dalam memposisikan lokasi pusat Sriwijaya.

C. (Mencoba) Rintisan (Mencari) Tafsir Baru Atas Lokasi Pusat Sriwijaya

Jika berbagai pendekatan, baik arkeologis, epigrafi, geologis, dan geomorfologis di atas tampaknya semakin mengusutkan benang merah tentang lokasi pusat Sriwijaya, maka pertanyaan yang pantas dilontarkan adalah pendekatan bagaimana dan apa lagi yang setidaknya “menyembati” berbagai persepsi berbeda ini, sehingga narasi “mengambang” tentang lokasi pusat Sriwijaya dan kebingungan para penggemar sejarah Sriwijaya di sekolah dapat sedikit berkurang.

Dalam tulisan ini, ada sebuah pendekatan yang ingin dituangkan, namun pendekatan ini baru pada tataran wacana dan untuk itu perlu ditindaklanjuti dengan sebuah penelitian luas. Pendekatan ini adalah pendekatan dekonstruksi keruangan kota Sriwijaya, pendekatan ini berawal dari konstruksi ruang kota ritual keagamaan. Pendekatan ini penting, karena Sriwijaya adalah sebuah kerajaan beragama Buddha, dengan demikian di atas dapat diterapkan sebuah konstruksi ruang ritual keagamaan Buddha itu sendiri. Pendekatan baru ini, selanjutnya akan berujung pada suatu kesimpulan dalam memahami kota manakah yang lebih layak sebagai pusat Sriwijaya.

Pendekatan konstruksi ruang kota ritual mencoba melihat bagaimana masyarakat atau penguasa

(6)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 61 ) kota, dalam hal ini kota zaman

Sriwijaya tersebut, mereproduksi bentuk kosmos di muka bumi. Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha tidak dapat disangsikan lagi, baik dari bukti arkeologis maupun berita asing. Konstruksi dalam agama Buddha menyakini dan memandang makna keberadaan ordo manusia sebagai hasil ciptaan manusia itu sendiri secara natural. Akibatnya, pada konsep agama seperti ini, menurut Isaac (1961: 12ff) banyak dianut di Asia, ruang sakral sebagai legitimasi reproduksi bentuk kosmos, diciptakan dengan mengimitasi tata bentuk kosmos, maka yang terlihat di kota agama tipe seperti ini dampak pengaruh konsep agama terhadap penciptaan lanskap bisa sangat besar.

Berdasarkan hal ini, nantinya akan terindikasi bagaimana kota-kota, kuil-kuil dan monumen-monumen dibuat sebagai tiruan kosmos, yang disana juga tampaknya ada tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai tempat yang secara instrinsik diciptakan “Tuhan” lebih suci dari yang lain. Nilai kesucian tempat tersebut, pertama-tama harus disebar luaskan, kemudian ditetapkan sebagai titik pusat yang abadi, dari sini, titik tersebut, kesucian akan menyebar ke segala penjuru. Jadi, nantinya memalui titik inilah poros dunia bermula, dan poros dunia ini biasanya dilambangkan sebagai pilar dunia, misalnya dalam bentuk sekuntum bunga matahari atau gunung atau bentuk lainnya yang sakral. Yang menjadi pertanyaan, kalau dekonstruksinya seperti ini, dimanakah pilar dunia kota Sriwijaya

tersebut, walau harus dijabarkan lebih panjang lebar dan ini memang suatu keharusan nantinya jika ditindaklanjuti menjadi sebuah penelitian, pilar dunia kota Sriwijaya berdasar literatur yang dibaca dapat dikatakan terletak di “Bukit Siguntang”, tidak ada tempat lain dalam literatur tentang Sriwijaya yang dibaca mendekati kesempurnaan bentuk poros dunia bermula seperti ini, misalnya di Jambi, Riau, Perak, Malaysia, atau Ligor dan Ca’iya di Tahiland Selatan yang selama ini diperdebatkan sebagai pusat Sriwijaya.

Menariknya, menurut Eliade (1986: 22), jika tempat, sebagai poros dunia ini, tidak menunjukkan tanda-tanda kesucian intriksik yang nyata, yang biasanya dianggap “liar” atau terjadi “chaos”, maka proses penciptaan dunia harus diulangi secara simbolis. Maka dapat dipahami misalnya dalam isi Prasasti Kedukan Bukit terdapat sebuah kata Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa, perjalanan atau arak-arakan jaya Sriwijaya memuaskan. Jadi, pencarian pilar dunia kota Sriwijaya dilakukan dengan sebuah perjalanan jaya yang munkin saja dilakukan dari poros dunia yang telah terjadi chaos sebelumnya.

Jadi dalam tata konsep kota agama tersebut, sebuah kota dibangun dibangun dengan meniru tata bentuk arketipe kosmos, simbolisme arsitektural yang memiliki kaitan dengan titik pusat. Dalam tata kota suci seperti itu, menurut Eliade (1986: 25), ada tiga simbol utama yang berhubungan dengan dan dimiliki oleh suatu pusat, yakni pertama sebuah gunung, biasanya gunung suci tempat

(7)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 62 ) terartikulasikannya surga dan dunia.

Kedua, kuil, istana atau monumen ritual yang dipandang sebagai gunung suci dan dengan demikian merupakan pusatnya. Ketiga, kota suci atau kuil suci yang merupakan pilar dunia dan dengan demikian merupakan artikulasi antara surga, dunia, dan dunia arwah.

Kalau ini dibaca dan dicocokkan dengan literatur yang ada, tampaknya tidak ada penciptaan lanscap simbolisme kota suci tersebut yang terdapat di Jambi, Riau, Perak, Malaysia, atau Ligor dan Ca’iya di Tahiland Selatan, kecuali di Palembang. Lanscap gunung suci tampaknya di Bukit Siguntang, Istana di daerah Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) sekarang ini, yang membentang mulai dari Padang Kapas, Kambang Unglen sampai ketepian Musi, Kuil Suci dapat dilokasikan di Telaga Batu, Sabukingking sekarang ini. Meskipun ini merupakan penafsiran kasar dan awal, namun jika diteliti lebih jauh konstruksi lanscap seperti ini dapat dijelaskan dengan baik. Hal ini sebenarnya, cocok dengan pendapat Pierre-Yves Manguin yang pada tahun 1992 dan 1993 membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokingking.

Jadi, dengan tata konsep kota agama tersebut, tampak sebuah kota kayangan, dimana terdapat sebuha tempat berkomunikasi sehingga dianggap sebagai artikulasi antara surga dan bumi. Artinya, kota sebelum dibentuk awalnya merupakan tempat-tempat upacara ritual, yang menurut (Wheatley, 1967; 25-26), kemudian

berubah menjadi pusat kota dan lingkungannya terus menerus mengalami urbanisasi. Menurut literatur yang dibaca, tempat seperti ini tidak dapat diilustrasikan di kota manapun yang dianggap dan dicap sebagai kota pusat Sriwijaya, selain di Palembang.

Lebih jauh Wheatley berpendapat, bahwa dari titik kesucian tempat-tempat suci tersebutlah, pada peringkat apapun, akan memnacar empat cakrawala ke empat penjuru mata angin sehingga teritorialnya, yang bersifat kuasa dapat terakumulasi dengan susunan kosmos dan menciptakan sebuah ruang suci atau habitabilis. Ruang suci ini membingkai ruang dimensi tempat penyelenggaraan ritual-ritual penting untuk memastikan keselarasan antara makro-kosmos dan mikro-kosmos, yang bertujuan demi terciptanya kemakmuran di dunia manusia.

Berdasarkan hal ini, dapat dipahami jika dalam beberapa literatur dan bukti arkeologis, jika Sriwijaya adalah sebuah kerajaan berbentuk mandala. Menurut Utomo ada tiga prasasti yang bisa dijadikan pijakan kuat untuk menyimpulkan pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, yakni Kedukan Bukit, Telaga Batu dan Talang Tuo yang terletak di Palembang serta cakrawala empat penjuru anginnya yang terdiri dari utara Parasasti Karang Birahi di Jambi, Selatan ada Prasasti Palas Pasemah di Lampung dan Timur ada Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka.

Konstruksi ritual kota agama Buddha di Sriwijaya tersebut, dalam

(8)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 63 ) konsep ini, bercirikan dualisme etika,

buka dualisme kosmos. Menurut Evers (1972: 104), dualisme etika, biasanya akan berhadapan antara konsep lokottara dan laukika. Lokottara, dunia lain terkait dengan dunia nanti setelah kelahiran kembali dan berhadapan dengan laukika atau dunia ini, yang terkait dengan dunia manusia sekarang.

Dalam konteks Chough (1982: 544), ada pertalian antara sang Buddha dan para dewa melalui kedua orientasi tata nilai yang berlawanan ini. Artinya, raja memiliki posisi, secara teoritis ia berada didunia lokottara sebab berkaitan dengan unsur uttara, kedigdayaan, kedaulatan tertinggi tetap dalam prakteknya, raja pasti terlibat dalam urusan duniawi, laukika. Ketika berada di dunia lokottara, ia menjadi Bodhisatwa, sang Buddha dan ketika berada di laukika ia menjelma menjadi Chakkravarthin, penakluk dunia, ingat epiteton “pembunuh atau penggempur musuh-musuh”, dalam prasasti Ligor B.

Menurut konsep Evers (1969), dalam tataran seperti itu, raja sebagai pelindung Sangha dalam agama Buddha, maka dari itu ia mendirikan biara-biara dan ia memberikan tanah-tanah yang luas. Maka hal ini dapat dilihat dalam isi-isi prasasti raja-raja Sriwijaya: ... Laghu mudita datang maruwuat wanua, “dengan lega gembira datang membuat wanua”... wiara ini di wanua ini (bait ke-9 Prasasti Kedukan Bukit) ... dgan tawad talaga sawanyaknya yang wuatku sucarita parawis prayojanakan punyanya sarwwasatwa sacaracara

ware payanya tmu, “demikian pula taman-taman lainnya dengan tebat dan telaganya yang kubuat semuanya itu dimaksudkan demi kebahagiaan segenap makhluk, baik yang bergerak maupun tidak bergerak” (bait ke-4 Prasasti Talang Tuwo) ... Raja memegang peranan penting karena dianggap sebagai mediator antara laukika dan lokattara, antara Buddha dan dewa.

Oleh karena itu, teori mengenai gelar Dapunta Hyang dapat dipahami, Dapunta dianggap sebagai gelar orang yang berkedudukan tinggi di biara dan dianggap agak aneh oleh Muljana (1960: 152) jika kepala biara ikut campur dengan urusan ketentaraan serta agak aneh jika kepala biara memberikan hadiah taman, tidak hanya satu, kepada masyarakat, karena menurut Muljana justru kebalikannya kepala biaralah yang mendapat hadiah. Sebaliknya menurut konsep di atas sangatlah wajar raja Sriwijaya bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga, Dapunta Hyang gelar lokattaranya, Bodhisatwa, titisan sang Buddha, raja adalah dewaraja agama Buddha, jadi raja tidak dipandang sebagai dewa karena bertentangan dengan agama Buddha, raja setengah dewa dan Sri Jayanaga gelar laukikanya, raja penguasa yang adil, keadialan dan karmanya membawa kemakmuran bagi kerajaan, ia menjadi raja karena karma dan kebajikannya.

Legitimasi atas kawasan muncul dari raja sendiri, baik ia sebagai penguasa yang suci, dharmaraja, atau sebagai penakluk dunia, chakkravadin. Sebagai

(9)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 64 ) dharmaraja ia menjadi pemimpin ritual

suci, dan sebagai chakkravadin, keberhasilannya dalam serangan-serangan militer mencerminkan kedigdayaan dan prestasi sang raja. Jadi, kekuasaannya sebagai penakluk dilegitimasi lewat agama. ...Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa membawa dua laksa orang, dua ratus orang di perahu, yang berjalan seribu, 312 orang banyaknya, datang dari matadanau (bait ke-4-7 Prasasti Kedukan Bukit)... tentara Sriwijaya berangkat ke Bhumi Jawa, karena Bhumi Jawa tidak berbakti (bait terakhir Prasasti Kota Kapur)....

Jadi, berdasarkan uraian-uraian sebagian dari konsep kota suci di atas, dengan laukika dan lokottara, seperti itu mestinya dapat dilacak di mana kota lokasi pusat Sriwijaya, harusnya kota pusat Sriwijaya memiliki konsepsi kota suci dengan dunia laukika dan lokottara yang menjembati sang rajanya dalam dunia, surga dan dunia arwah. Maka dari semua litelatur kota yang dianggap sebagai lokasi pusat Sriwijaya, sekali lagi Palembanglah yang dapat dan bisa serta memiliki semua landscap dengan ekspresi sempurna seperti itu.

Tambahan lagi dalam sebuha konsep kota ritual, biasanya selalu diiringi dengan munculnya konsep kota yang menyerupai kota-kota di India, yang terbentuk berdasarkan susunan berlapis teridir dari kota raja yang ditopang sekelilingnya oleh struktur kota pengrajin, seniman dan seterusnya. Maka sekali lagi konsep kota India seperti ini, tentang kota

pusat Sriwijaya hanya cocok untuk kota Palembang.

Demikian wacana ini diuraikan, meskipun ini hanya merupakan narasi singkat dan pendek, tetapi kalau diikuti dan ditindaklanjuti dengan sebuah penelitian luas, maka sebuah keyakinan akan dapat diharapkan, nantinya tulisan ini dapat menjadi sebuah referensi simbolik kota Sriwijaya dengan sebuah pendekatan baru, yang dapat menjembati pendekatan terdahulu tentang penulisan sejarah Sriwijaya, sehingga narasi “mengambang” tentang pusat Sriwijaya paling tidak menemukan titik terangnya. Meskipun tampaknya masih terburu-buru tetapi paling tidak dapat membawa pada kepastian, sehingga tidak menimbulkan kebingungan, terutama di mata pelajaran sekolah.

Pendekatan ini, tidak mengenyampingkan sumber-sumber terdahulu, namun sekali lagi misalnya kalau sumber asing sebelumnya telah dikonstruksikan oleh ahli sejarah zaman neerlandosentrisme (kolonial), kemudian direkonstruksikan zaman Indonesiasentrisme (sejarawan nasional tahun 1950-akhir abad 20-an, maka sumber tersebut dapat didekonstruksikan oleh penulis sejarah zaman kini (pascakolonial).

D. Penutup

Wacana yang ditawarkan dalam tulisan ini menggunakan pendekatan konstruksi kota ritual keagamaan atau kota suci. Berdasarkan konsep-konsep kota suci, karena Sriwijaya indetik sebagai

(10)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 65 ) kerajaan Buddha, yang ditawarkan

dalam tulisan ini maka dari semua literatur yang diacuh, terindikasi konstruksi, landschap dan bentuk kota suci ini ternyata tidak terdapat di kota-kota lain yang dijadikan bahan perdebatan mulai dari Jambi, Muara Takus, Muara Inderagiri, Teluk Kuantan, Perak di Malaysia, Ligor dan Ca’iya di Tahiland Selatan, kecuali kota Palembang sendiri.

Oleh karena itu, berdasar pendekatan ini dapat dikatakan dan disimpulkan meskipun tampaknya kasar dan terburu-buru, Palembang tidak diragukan lagi adalah Lokasi Pusat Sriwijaya. Persfektif penulisan baru sejarah Sriwijaya yang bertujuan mencoba meluruskan kembali penulisan sejarah Sriwijaya dengan multiapproach ini diharapkan menyembati pendekatan-pendekatan lain, sekaligus dapat melokasikan dengan pasti di mana pusat kerajaan Sriwijaya.

DAFTAR PUSTAKA

Asvi, Warman Adam. 2006. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Beals, S. 1886. “The Situation of the country called Shi-li-fo-shai”, NBG, 24, 1886, I-V bijlage I.

Blagden, C.O. 1920. “The Empire of the Maharadja, King of the Mountains and Lord of the Isles”. JMBRAS, Volume II, p.t. 3, h. 258-263.

Clough, B. 1982. Sinhalese-English Dictionary. Colombo: Wesleyan Missions Press.

Coedes, George. 1919. “le Royaume de Crivijaya”,. B.E.F.E.O. XVIII. Termuat juga dalam Kumpulan Coedes dan L. Ch. Damais. 1989. terj. “Kedatuan Sriwijaya: Penelitian Tentang Sriwijaya”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Eliade, M. 1986. Kosmos und Geschichte: Der Mythos der ewigen Wiederkehr. Frankfurt a. M.: Suhrkamp.

Evers, Hans-Dieter. 1967. “Monastic Landlordism in Ceylon: a Traditional System in a Modern Setting”, dalam Journal of Asian Studies, Volume 28, Nomor 3, 1969, hlm. 685-692.

Ferrand, Gabriel. 1922. “L’empire Sumatranais de Srivijaya: Relations de Voyages et Textes Geographiques”. J.A. tome CCII, 1922, h. 1-35.

Garraghan, Gilbert J. A Guide to Historical Method. New York: Fordham University Press. 1963.

Gottchalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press. 1986.

Groeneveldt, W.P. 1876. “Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources”, VBG XXXIX, 1876.

(11)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 66 ) Isaac, E. 1961. “The Act and the

Covenant: The Impact of Religion on the Landscape”, dalam Landscape Volume 11, Nomor 2, Hlm. 12-17.

Ismail, Arlan. 2003. Periodesasi Sejarah Sriwijaya. Palembang: Unanti Press

Ivans, Ivor H.N. 1932. “Cri Visnuvarmasya”, dalam majalah Federated Malay States Museums Vol. XV part 3. 1932.

Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kern, H. 1913. “Insripties van de Indischen Archipel, Verspeide Geschriften VI, VII, ‘s Gravenhage.

Krom, N.J. 1926. De Sumatraansche periode der Javaaneche Geschiedenis. Leiden.

Krom, N.J. 1930. Les incriptions Malaises de Crivijaya. TBG. LIX, 1930, h. 426-431.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994.

Majumdar, R. C. 1933. “les Rois de Cailendra de Suvarnadvipa. B.E.F.E.O. XXXIII.

Muljana, Slamet. 1960. Sriwijaya. Yogyakarta: LkiS.

Muljana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya dan

Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Moens, J.L. 1938. Crivijaya, Yava en Kataha. T.B.G. LXXVII, afl. 3. 1938. dan disalin dalam jurnal bahasa Inggris Journal of the Malayan Branch No. XVII.

Notosusanto, Nugroho. 1987. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Yayasan Idayu.

Poerbatjaraka. 1952. Riwajat Indonesia. Jilid I. Jakarta: Jambatan.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. S. Sartono. 1979. Pusat-pusat Kerajaan

Sriwijaya berdasarkan Interpretasi Paleogeografi, Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta.

Soekmono. 1958. Tentang Lokasi Sriwijaya. Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I. Jakarta : MIPI.

Soekmono. 1979. Sekali Lagi Tentang Lokasi Sriwijaya. Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta.

Stutterheim, W.F. 1929. “A Javanese Period in Sumatran History”. Surakarta. TBG LXIX, 1929, h. 135-156.

Yamin, Moh. 1958. Penjelidikan Sejarah ttg Negara Sriwijaya dan Rajakula Sailendra dlm Kerangka Kesatuan Ketatanegaraan Indonesia. dalam Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I.

(12)

Nomor 12 Tahun VIII Januari 2008 --- ( 67 ) Vogel, J. Ph. 1919. “Het koninkrijk

Crivijay”. BKI LXXXIV, h. 167-232.

Wales, Quaritch. 1940. “Archaeological researches”. Indian Art and Letters vol. IX no.1. 1940

Wheatley, P. 1967. The City a Symbol. London: University College London.

www. pemkot pagaralam. co. id. Kerajaan Basemah sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya, diakses dari Internet tanggal 28 Agustus 2009

www. Situs Kerajaan Sriwijaya di Kaur akan Teliti. Diakses dari Internet tanggal 28 Agustus 2009

Referensi

Dokumen terkait

Secara pragmatis Khomeini membentuk Dewan Ahli ( Majelis-e Khobregan ) untuk memilih penggantinya yang akan menyelamatkan Velayat- e Faqih (pemerintahan ulama), karena

Penggunaan sumberdaya alam lokal yang digunakan sebagai sumber nafkah penting bagi rumahtangga petani di desa Mantangai Hilir adalah bersumber dari hasil perkebunan

tertulis, dimulai dari rumusan tujuan,materi, metode dan evaluasi, (3) diimplementasikan dalam proses kegiatan pembelajaran dengan kolaboratif, melibatkan unsur pendidik,

[r]

These authors find that the germination energy, germination, root length, shoot length, root fresh weight, shoot fresh weight, root dry weight and shoot dry weight of maize

Pengamatan terhadap kondisi lalu lintas di luar Kota Labuan Bajo dilakukan pada jalan provinsi yang menghubungkan terminal Nggorang dengan kawasan utara Kabupaten

Pada source code TestTable1 terdapat program seperti di bawah ini, dimana kolom 3 mempunyai lebar kolom yang paling besar dibandingkan kolom lainnya.. Pada TableColumn

Aktivitas endogenik terjadi di dasar laut berupa kegiatan gunungapi atau gempa tektonik dapat menyebabkan terjadinya gelombang pasang secara tiba-tiba dengan tinggi