• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA TRAKEOESOFAGEAL FISTULA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA TRAKEOESOFAGEAL FISTULA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA TRAKEOESOFAGEAL

FISTULA

dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn.MSi

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RS SANGLAH 2018

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Atresia esofagus didefinisikan sebagai kelainan kongenital berupa gangguan kontinuitas pada lumen esofagus. Atresia esofagus dapat disertai dengan fistula trakeoesofagus yaitu lumen penghubung antara bagian proksimal dan atau distal esofagus dengan jalan napas (trakea). Pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Gibson pada tahun 1967. Terjadi pada 2500-3000 kelahiran hidup, dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar.1,2,3

Etiologi atresia esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan jelas. Adanya hubungan atresia esofagus dengan berbagai kelainan bawaan lainnya, menunjukkan bahwa lesi ini terjadi akibat adanya gangguan dalam embriogenesis, yang penyebab pastinya belum teridentifikasi.2

Bayi dengan atresia esofagus akan menunjukkan gejala hipersalivasi dan sesak napas yang ditimbulkan akibat aspirasi pneumonia. Ketika selang nasogastrik tidak dapat melewati esofagus maka dapat diduga adanya atresia. Pemeriksaan radiologi memiliki peran penting dalam mendiagnosis atresia esofagus, menegaskan atresia esofagus dengan fistula atau tanpa fistula dan mendiagnosis anomali lainnya yang terkait dengan VACTERL.4,5 Pengetahuan dan kemampuan

seorang anestesiologis dalam menangani pasien-pasien dengan kelainan tersebut saat akan sangat memainkan peranan penting dalam keberhasilan durante operasi. Pemahaman terhadap komplikasi yang mungkin terjadi dan hasil jangka panjang serta gejala sisa yang muncul setelah operasi, akan menentukan prognosis dari pasien tersebut1

(3)

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan tabung muskuler yang menghubungkan faring dengan gaster. Panjang esofagus saat lahir bervariasi antara 8- 10 cm dan pada usia 15 tahun sekitar 19 cm. Esofagus memanjang dari batas bawah kartilago cricoid (setinggi corpus vertebra servikal 6) hingga ke orifisium kardiak gaster setinggi corpus vertebra thorakal 11. Batas atas pada bayi baru lahir terletak setinggi corpus vertebra servikal 4 atau 5 dan berakhir lebih tinggi yaitu setinggi corpus vertebra thorakal 9.6

Berdasarkan regio yang dilewati, esofagus dapat dibagi menjadi esofagus servikal, esofagus thorakal dan esofagus abdominal. Esofagus servikal di mulai dari ujung orofaring hingga corpus vertebra cervical 6. Esofagus thorakal berada di sepanjang mediastinum mulai setinggi corpus vertebra thorakal 10 melintasi diafragma yang merupakan jaringan muskuler kuat dan membatasi thorax dengan abdomen. Esofagus abdominal mulai setinggi corpus vertebra thorakal 11, masuk kedalam lambung, membentuk sudut yang tajam disebut cardiac angle.1,6

Esofagus memiliki pembuluh darah yang kompleks sesuai dengan pembagian anatomi esofagus. Esofagus cervical mendapatkan aliran darah dari arteri tiroid inferior. Esofagus thorakal mendapat aliran darah dari cabang aorta thorakal dan arteri brakhial. Esofagus abdominal mendapatkan darah dari artei gastrika sinistra dan aorta abdominal cabang phrenik sinistra inferior. Begitu juga dengan aliran darah vena.1

II. Epidemiologi

Atresia esofagus merupakan malformasi kongenital yang terjadi pada 2500-3000 kelahiran hidup. Dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar. Angka kejadian atresia esofagus di amerika serikat sekitar satu pada 4500 kelahiran. Di finlandia memiliki angka kejadiaan yang tinggi yaitu satu pada 2440 kelahiran.2,4

Atresia esofagus lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Walaupun beberapa kasus bersifat sporadik, adanya riwayat keluarga dengan atresia esofagus telah dilaporkan. Sekitar 6% bayi dengan atresi esofagus merupakan anak kembar. Orang tua yang memiliki satu bayi dengan atresia esofagus , anak selanjutnya beresiko 0,5-2 % memiliki atresia

(4)

esofagus. Jika terdapat lebih satu orang keluarga dengan atresia esofagus angka resiko memiliki kelainan yang sama sekitar 20%.4

III. Etiologi

Etiologi atresia esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan jelas. Kelainan kromosom seperti trisomi 18 dan 21, adanya agen infektif seperti kekurangan vitamin A dan penggunaan dosis tinggi pil kontrasepsi yang mengandung progesteron selama kehamilan diduga sebagai penyebab atresia esofagus. 2,4,7

Limapuluh persen anak dengan AE/TEF akan mengalami anomali tambahan lainnya. Seringkali muncul dalam spektrum yang dikenal sebagai VACTERL (dulunya dikenal dengan VATER):

V : vertebra anomalies (10%) A : anal canal defect (14%)

C : cardiac malformation (29%), termasuk ventricular septal defect, atrial septal defect, tetralogy of Fallot, right sided arch, patent ductus arteriosus)

TE : TEF

R : renal dysplasia

L : limb defect (radial aplasia)

Seorang pasien dipertimbangkan mengalami VACTERL dengan adanya tiga atau lebih dari lesi tersebut. Hampir sepertiga pasien TEF mengalami lesi VACTERL tambahan dan seperlima lainnya mengalami dua masalah VACTERL. Kemungkinan masalah gastrointestinal lainnya adalah malrotasi midgut, dan atresia duodenum. Masalah renal dapat mencakup malposisi, hidronefrosis, dan abnormalitas uretra.

IV. Patofisologi

Esofagus dan trakea berasal dari foregut primitif. Terjadi selama minggu ke empat dan kelima perkembangan embrio. Pemisahan struktur tubular terjadi pada minggu keempat kehamilan dan lengkap pada 34-36 hari. Trakhea sebagai divertikulum ventral dari faring

(5)

primitif yaitu bagian kaudal dari foregut. Septum trakheoesofaeal berkembang pada tempat dimana lipatan tracheoesofageal bersatu. Septum ini membagi foregut menjadi bagian ventral yaitu tabung laringotrakheal dan bagian dorsal (esofagus). Atresia esofagus terjadi jika septum trakea menyimpang ke posterior. Penyimpangan ini menyebabkan pemisahan yang tidak lengkap dari esofagus dari tabung laringotracheal dan menghasilkan fistula tracheoesofageal secara bersamaan.4,8

Pada abnormalitas ini, trakea distal terhubung dengan esofagus bawah melalui fistula. Hal ini menyebabkan tiga masalah. Pertama, udara yang terhirup dapat melewati paru dan membuat distensi lambung, yang kemudian akan menghambat ventilasi dan menyebabkan atelektasis. Kedua, kandungan asam lambung berisiko mengalir secara terus menerus ke paru dan merusak jaringan. Ketiga, sekresi oral cenderung tertampung pada kantong esofagus proksimal yang menyebabkan aspirasi intermiten, batuk dan sianosis.

Atresia esofagus selalu mempengaruhi motalitas esofagus. Kelainan peristaltik biasanya terjadi di esofagus segmen distal. Apakah kelainan motalitas merupakan kelainan primer akibat inervasi abnormal seperti kejadian pada abnormalitas distribusi neuropeptida atau akibat sekunder kerusakan nervus vagal yang terjadi selama operasi perbaikan belum jelas. Tekanan saat relaksasi di seluruh esofagus secara signifikan lebih tinggi dari pasien normal dan tekanan pada spinkter esofagus distal berkurang.2

Pada atresia esofagus juga terdapat kelainan pada trakea berupa berkurangnya kartilago trakea dan peningkatan panjang muskulus transversus pada dinding posterior trakea. Pada kondisi lanjut dapat menimbulkan trakeomalasia dengan kolaps trakea sekitar 1-2 cm dari fistula. Meskipun beberapa teori embriologi telah mengungkapkan proses pembentukan malformasi trakea, tidak semuanya dapat menjelaskan variasi anomali anatomi. Terdapat kejadian cukup tinggi yang menunjukaan adanya kerusakan jaringan mesenkimal selama minggu ke empat kehamilan.2,4

V. Klasifikasi

Terdapat lima tipe TEF berdasar pada klasifikasi mayor klasik. Tipe A merupakan Atresia Esofagus murni tanpa keterlibatan saluran pernapasan, hal ini terjadi pada 8% kasus. Tipe B memiliki atresia esofagus dan fistula yang menghubungkan kantong esofagus proksimal ke trakea; hal ini terjadi kurang dari 1% kasus. Tipe C adalah yang paling umum, dimana atresia

(6)

esofagus dan fistula menghubungkan esofagus distal dengan trakea; terjadi pada 75 hingga 80% kasus. Tipe D yang paling jarang dijumpai yaitu dengan dua fistula yang menghubungkan baik esofagus proksimal dan distal ke trakea (2%). Tipe E yang juga dikenal dengan fistula tipe H, tidak memiliki atresia. Melainkan, esofagus intak yang memiliki hubungan dengan trakea melalui sebuah fistula dan terjadi pada 4% kasus.

Gambar 2. Klasifikasi atresia esofagus oleh Gross dan Vogt

VI. Presentasi Klinis

Gejala yang dapat terlihat dalam hari pertama setelah kelahiran berupa tidak bisa minum ASI, tersedak atau muntah dan tidak dapat menelan air liur sehingga terjadi hipersalivasi. Jika disertai dengan fistula trakeoesofagus proksimal (tipe B) dapat terjadi aspirasi ASI ke paru-paru karena seluruh ASI yang ditelan bayi akan berakhir di paru-paru sehingga bayi tampak sesak napas dan sianosis. Adanya ASI (makanan/benda asing) di paru-paru dapat menyebabkan pneumonia. Distensi abdomen dapat terjadi jika terdapat aliran udara dari trakea ke lambung melalui fistula trakeoesofagus distal (tipe C dan D). Atresia esofagus tipe D selain adanya fistula trakeoesofagus distal juga terdapat fistula di bagian proksimal dan merupakan salah satu tipe yang sulit terdiagnosis. Gejala klinisnya dapat berupa asthma atau batuk yang persisten karena

(7)

aspirasi dalam beberapa tahun. Namun, pada tipe D dengan adanya fistula memberikan jalan bagi ASI dan makanan mencapai lambung melalui fistula proksimal ke trakea dan melalui fistula distal kembali ke esofagus dan akhirnya ke lambung.

Atresia esofagus tipe E atau disebut juga tipe H merupakan tipe yang sulit didiagnosis dini dan dapat terdiagnosis setelah bayi tumbuh menjadi anak- anak atau dewasa. Pada tipe ini tidak terdapat atresia esofagus sehingga makanan dapat mencapai lambung namun, makanan juga dapat masuk ke paru-paru melalui fistula. Begitu juga sebaliknya udara dari trakea dapat masuk ke lambung melalui fistula sehingga terdapat udara dalam jumlah yang banyak di abdomen dan tampak distensi abdomen. Gejala tipikal lainnya berupa sering tersedak ketika makan dan minum, dan pneumonia aspirasi yang berulang. Untuk itu, Bayi dengan atresia esofagus baik dengan fistula atau tidak memiliki mortalitas yang tinggi

VII. Diagnosis

Pasien mengalami atresia esofagus (AE) dengan TEF, hal ini terjadi pada 1 dalam 4.000 kelahiran hidup. Diagnosis dicurigai pada masa prenatal dengan adanya polihidramnion yang disebabkan oleh kegagalan fetus untuk menelan cairan amnion (terjadi secara sekunder akibat AE). Polihidramnion juga dapat diakibatkan karena defek lainnya, termasuk atresia duodenum, anencephaly, hernia diafragma kongenital, dan Trisomy 18, serta 10 hingga 20% bayi dengan polihidramnion mengalami anomali lainnya. Akan terjadi hilangnya gambaran fluid-filled stomach bubble pada ultrasound prenatal. Setelah persalinan, neonatus akan meneteskan air liur secara berlebih. Usaha untuk memberi minum bayi akan menyebabkan batuk dan sianosis. Orogastric tube (OGT) akan tergulung pada kantong esofagus atas dan bukan masuk ke dalam lambung.

Diagnosis atresia esofagus sebaiknya ditegakkan sedini mungkin untuk meminimalkan komplikasi paru, dapat ditegakkan baik pada prenatal maupun postnatal. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi pada ibu. Adanya temuan polihidramnion, berkurangnya cairan intraluminal usus bayi dan ketidakmampun mendeteksi lambung janin pada pemeriksaan ultrasonografi dapat memberikan petunjuk awal atresia esofagus. Adanya pouch

sign yang tampak sebagai bayangan echoik di tengah janin pada usia 26 minggu kehamilan juga

menunjukkan adanya atresia esofagus, tetapi dalam pemeriksaan membutuhkan pengalaman. Nilai diagnosis prenatal ini sangat rendah kecuali ditemukan pouch sign dan polihidramnion

(8)

secara bersamaan. Polihidramnion tanpa pouch sign merupakan indikasi yang lemah atresia esofagus. Hanya 1 dari 12 pasien dengan polihidramnion dengan atresia esofagus. Begitu juga dengan tidak adanya udara gaster, hal ini dapat ditemukan di kelainan lainnya. 1,10

Diagnosis postnatal atresia esofagus dapat dibuat ketika terjadi kesulitan atau ketidakmampuan selang nasogastrik atau orogastrik melewati esofagus. Normalnya kardiak lambung pada bayi terletak 17 cm dari gusi bayi, tetapi pada kasus atresia esofagus, selang berhenti ketika masuk sepanjang 10-12 cm. Foto sinar X babygram memperlihatkan selang nasogatrik melingkar dalam kantung esofagus proksimal. Untuk memperkirakan celah atau jarak antara segmen esofagus, selang nasogastrik dimasukkan semaksimal mungkin. Jarak antara ujung selang dengan karina memperkirakan celah. Jika jarak kurang dari 2-2,5 cm corpus vertebra merupakan sesuatu yang menguntungkan dalam tindakan operasi.1,4

Radiografi thorax dan abdomen penting dilakukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dari atresia esofagus. Selain mengevaluasi letak dari selang nasogastrik, juga dapat menilai letak distribusi udara usus, arkus aorta, pneumonia aspirasi, kelainan bawaan jantung dan anomali tulang belakang. 1,10

Pemeriksaan dengan barium tidak diindikasikan dalam penegakan diagnosis atresia esofagus karena adanya resiko tinggi terjadinya tracheobronchitis aspirasi kimia1,4 Penilaian

kardiologi termasuk echocardiografi merupakan rutinitas sebelum dilakukan operasi untuk mengetahui adanya kelainan jantung bawaan.9

VIII. EVALUASI PREOPERATIF DAN PERSIAPAN

Pertama kali, pasien harus dinilai ada atau tidaknya penyakit paru, khususnya pneumonia aspirasi, dan distress pernapasan yang berhubungan dengan prematuritas. Foto polos X-ray dapat menunjukkan infiltrat. Hal tersebut juga dapat menunjukkan adanya suatu kegagalan jantung kongestif pada kasus penyakit jantung yang berkaitan, yang dapat dioptimalisasi dengan pemberian diuretik. OGT radioopaque dapat tergulung pada kantong esofagus proksimal, dimana X-ray abdomen akan menunjukkan gambaran udara pada usus masuk melalui fistula. Karena risiko aspirasi, penggunaan pewarnaan kontras untuk menggambarkan fistula sebaiknya hanya digunakan bila ada keraguan diagnosis. Idelanya, kontras akan diberikan pada fluoroscopy, sehingga bila terjadi aspirasi dapat segera terdeteksi. Hal ini sebaiknya hanya dilakukan apabila bayi cukup stabil untuk dipindahkan ke ruangan fluoroscopy. Perlu diingat bahwa sebuah OGT

(9)

yang tampak memasuki lambung juga dapat menunjukkan perforasi esofagus yang disebabkan oleh trauma karena percobaan pemasangan berulang.

Kedua, sebuah pemeriksaan echocardiogram harus dilakukan karena kelainan jantung mayor sangat mempengaruhi survival dan dapat berdampak pada manajemen anestesi. Apabila anak menderita tetralogy of Fallot berat, ia mungkin membutuhkan pemasangan shunt temporer pada sirkulasi arteri sistemik dan pulmoner sebelum perbaikan TEF. Sebagai tambahan, ada tidaknya right-sided aortic arch perlu diketahui, karena hal ini akan membutuhkan posisi bayi yang terbalik dari posisi pada umumnya.

Foto polos tulang belakang sebaiknya dilakukan untuk eksklusi anomali vertebra, khususnya bila dipertimbangkan pemberian manajemen nyeri epidural. Ultrasound renal sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan abnormalitas, khususnya hidronefrosis. Sebagai tambahan, darah lengkap, analisis gas darah, dan elektrolit sebaiknya dilakukan dan setidaknya satu unit packed red blood cell dipersiapkan.

Survival dari bayi TEF semakin membaik setiap tahunnya karena perbaikan perawatan intensive care unit, anestesi, dan teknik pembedahan. Waterston mengembangkan klasifikasi pertama dari prognosis TEF pada tahun 1962 seperti berikut:

Kelompok A : berat badan lahir lebih dqari 2.5 kg, sehat, survival 95%

Kelompok B : berat badan lahir 1.8 hingga 2.5 kg, sehat atau lebih dari 2.5kg dengan pneumonia sedang atau anomali lainnya, survival 68%

Kelompok C : berat badan lahir kurang dari 1.8 kg atau lebih dari 1.8 kg dengan pneumonia berat atau anomali kongenital berat, survival 6% dengan perbaikan di perawatan neonatus

Survival di kelompok A dan B keduanya mendekati 100% sehingga sistem klasifikasi baru telah dikembangkan untuk memberikan informasi yang lebih bermanfaat, seperti berat badan lahir lebih dari 1.5 kg tidak lagi menjadi indikator penentu mortalitas secara independen. Dari hal tersebut, kemungkinan yang paling bermanfaat adalah klasifikasi Spitz, dimana memprediksi berdasar temuan penyakit jantung sebagai faktor risiko penentu dan/ atau penyebab mortalitas pada kelompok TEF.

(10)

Spitz kelompok I : berat badan lahir lebih dari 1.5 kg, tanpa penyakit jantung mayor, survival 97%

Spitz kelompok II : berat badan lahir kurang dari 1.5 kg atau tanpa penyakit jantung mayor, survival 59%

Spitz kelompok III : berat badan lahir kurang dari 1.5 kg dan penyakit jantung mayor, survival 22%

Data tersebut berdasar pada review 372 bayi dari tahun 1980 hingga 1992. Dengan peningkatan dalam perawatan, review terkini dari 188 kasus tahn 1993 hingga 2004 menemukan angka survival Spitz kelompok I 99%, kelompok II 82% dan kelompok III 50%. Sebagian besar kasus TEF terjadi secara sporadik, dan angka rekurensi adalah 1% pada saudara kandung.

Sebagian besar anak dengan TEF secara rutin dilakukan gastrostomy (dengan anestesi lokal) diikuti dengan perbaikan bertahap. Pada awal era 80, manajemen konservatif ini mulai dipertanyakan, dan kini perbaikan primer dipertimbangkan sebagai standar perawatan. Namun, terdapat sebagian neonatus dengan pneumonia berat atau sindrom distres pernapasan yang digolongkan memiliki risiko anestesi dan pembedahan yang buruk (Waterston tipe C). Apabila anak diintubasi karena penyakit pernapasan, satu teknik untuk mengoptimalkan ventilasi disertai dengan minimalisir distensi gaster (melalui fisstula) adalah dengan adalah menggunakan ventilasi osilator frekuensi tinggi untuk meminimalkan peak inspiratory pressure.

Apabila hal tersebut belum cukup, gastrostomy sederhana dapat dilakukan untuk memungkinkan drainase cairan gaster (untuk minimalisir aspirasi) dan mencegah atau mengurangi distensi gaster yang dapat terjadi dengan ventilasi tekanan positif dalam kondisi TEF tipe C. Prosedur ini dapat dilakukan dengan anestesi lokal dan menyingkirkan kebutuhan thoracotomy. Masalah dengan pendekatan ini adalah dengan dekompresi gaster, udara dari trakea kini dapat masuk dari paru dan keluar melalui lambung. Hal ini menjadi perhatian apabila paru bayi non compliant akibat pneumonia atau sindrom distress pernapasan. Hal ini dapat membuat kesulitan atau bahkan tidak memungkinkan dalam ventilasi bayi secara adekuat. Untungnya hal ini dapat dikurangi apabila gastrostomy tube diletakkan dalam water seal sehingga memungkinkan perpindahan gas apabila tercapai ambang batas tertentu. Ratan dkk menjabarkan teknik penyelamatan lainnya, yang melibatkan oklusi fistula secara retrograde melalui

(11)

gastrostomy. Anak diberi anestesi lokal pada area insisi dan styletted no 10 French Foley catheter dimasukkan melalui gastrostomy hingga posisi sedikit di atas gastroesophageal junction menggunakan fluoroscopy. Balon kemudian diinflasi dan kateter dapat di clamp atau diletakkan dalam water seal. Dengan cara ini bayi dapat diberi ventilasi dengan tekanan positif dan dapat menghindari distensi gaster atau ventilasi yang tidak adekuat akibat bypass udara. Teknik ini memiliki risiko ruptur esofagus dan pneumothorax fatal apabila kateter tidak diletakkan dengan benar.

Setelah diagnosis TEF ditegakkan dan anomali lain diperiksa, bayi sebaiknya segera diletakkan pada NPO (nothing by mouth). Ia sebaiknya dijaga dalam ruangan isolasi yang hangat dengan elevasi kepala setidaknya 30 derajat untuk minimalisir refluks melalui fistula. Nasogastric tube dapat dipasang pada kantong esofagus proksimal dan dilakukan suction intermiten untuk menghindari aspirasi sekresi oral. Antibiotik untuk terapi pneumonia aspirasi sebaiknya diberikan apabila ada inidiaksi. Ampicillin dan gentamicin sebaiknya diberikan pada pasien tersebut yang memiliki penyakit jantung signifikan sebagai profilaksis. Pastikan bahwa darah tersedia dari bank darah. Karena pasien akan membutuhkan thoracotomy dengan retraksi paru dan kompresi intermiten pada trakea dan pembuluh darah besar, infus arteri harus dilakukan pada kasus tersebut. Idealnya diletakkan pada ruangan NICU. Infus arteri umbilikal dapat dipasang oleh ahli neonatus yang berkualifikasi. Dua akses vena sebaiknya dipasangkan, karena pasien dalam kondisi NPO. Hindari pemasangan pada tangan kanan, karena tangan ini lebih mungkin dilakukan elevasi pada saat right thoracotomy dan akses akan menjadi terbatas.

Anak sebaiknya tidak diintubasi secara rutin preoperatif untuk meminimalisir kemungkinan distensi gaster dari VTP melalui fistula. Perlu diingat bahwa intubasi tidak melindungi anak dari aspirasi cairan gaster melalui fistula.

Interfensi dengan ventilasi merupakan masalah yang paling umum dan dapat disebabkan banyak hal. Retraksi paru dengan atelektasis sering menyebabkan desaturasi. Mungkin sulit bahkan tidak mungkin untuk mempertahankan nomocarbia. PCO2 dapat meningkat 70 hingga 80 mmHg disamping seluruh upaya optimalisasi ventilasi. Bila pasien terpasang Fogarty catheter di fistula, alat tersebut dapat bergeser ke dalam trakea sehingga menyebabkan obstruksi saluran napas total. Manipulasi pembedahan dari trakea lunak membuat distal ETT mudah tertekuk atau salah penempatan (ke dalam bronkus kanan) atau proksimal (di atas fistula). Kompresi berulang

(12)

pada struktur vital di mediastinum dapat menyebabkan gangguan hemodinamik yang cukup besar. Darah dan sekresi merupakan masalah konstan, yang merupakan risiko obstruksi tube. ETT sebaiknya dilakukan suction secara berkala, terlebih apabila terlihat darah. (Tidak membutuhkan banyak darah untuk menyumbat ETT 3.0). Paru yang mengalami retraksi membutuhkan re-ekspansi segera untuk menghindari hipoksia. Distensi gaster derajat berat sebelum ligasi TEF membutuhkan dekompresi gaster menggunakan jarum dengan segera. Penting untuk mempertahankan komunikasi ketat dengan ahli bedah. Hindari hipotermia.

IX. Terapi

Apabila pasien akan tetap diintubasi postoperatif, yang paling dipilih adalah analgrtika narkotika. Fentanyl dengan dosis 10 - 20 mcg per kilogram berat badan dengan muscle relaxant akan memberikan stabilitas hemodinamik dan memungkinkan analgesia dilanjutkan hingga periode postoperatif. Untuk praktisi yang berpengalaman, epidural juga dapat dipasang. Kateter epidural dimasukkan melalui caudal space dapat mencapai dermatom thorakal. Pastikan penempatan catheter dengan menggunakan fluoroscopy sebelum menggunakannya. Teknik ini sebaiknya dilakukan oleh dokter yang sangat berpengalaman dalam anestesi regional anak, dengan kesadaran penuh akan risiko dan kemampuan menangani komplikasi.

Bayi dengan atresia esofagus memerlukan resusitasi awal. Jika terjadi gangguan pernapasan maka bayi membutuhkan ventilator. Bayi yang menggunakan ventilator harus segera di operasi karena terdapat resiko memburuknya gangguan pernapasan dan perforasi lambung. Operasi dilakukan kurang dari 8 jam setelah pemakaian ventilator.7

Hal yang paling penting pada bayi dengan atresia esofagus tanpa ventilator adalah pencegahan aspirasi sekresi faring dan refluks isi lambung melalui fistula. Yang pertama diperlukan adalah pengisapan secara berkala atau aspirasi dari kantong proximal esofagus menggunakan kateter double lumen bertekanan rendah. Bayi diletakkan dengan kepala lebih tinggi untuk meminimalkan refluks lambung.7

Sebelum operasi dilakukan tes darah seperti hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa darah, pembekuan darah dan cross match. Jika kelainan yang berhubungan telah teridentifikasi, kemudian dinilai tingkat keparahan sebelum operasi dilakukan. Bedah dilakukan dengan anastesi umum dengan pemasangan pipa endotrakeal. Tujuan prosedur bedah yaitu untuk memisahkan fistula dan menutupnya pada sisi trachea serta menyambung ujung- ujung segmen esofagus.9

(13)

X. Penatalaksanaan Anestesia

Setidaknya satu IV perifer sebaiknya dipasang sebelum induksi. Yang kedua dapat dipasangkan setelah pasien terbius. Apabila ahli bedah cenderung memberikan nutrisi total parenteral postoperatif pada anak, akses sentral dapat dipasangkan. Pemasangan akses arteri untuk monitoring gas darah dan hemodinamik sebaiknya dipasang sebelum insisi apabila belum terpasang di NICU. Apabila peripheral A-line tidak memungkinkan, akses arteri umbilikal dapat dipasangkan oleh personil ahli. Electrokardiogram, saturasi oksigen, dan end-tidal CO2 serta temperatur rektal sebaiknya dimonitoring. Stetoskop prekordial sebaiknya diletakkan pada aksila kiri untuk akses suara napas pada kasus pergerakan endotracheal tube (ETT) yang tidak disengaja selama retraksi pembedahan atau positioning. Stetoskop prekordial kedua diletakkan pada perut yang dapat bermanfaat untuk menilai apabila fistula mengalami ventilasi.

Apabila terdapat gastrostomy tube, ujungnya dapat diletakkan dalam water seal. Adanya gelembung udara mengindikasikan ventilasi melalui fistula, yang akan terjadi apabila ujung ETT terletak proksimal pada ujung fistula. Kapnografi dimasukkan ke dalam gastrostomy dapat mengindikasikan hal serupa.

Neonatus dengan TEF memiliki kecendrungan mengalami distensi gaster dan pneumoperitoneum. Penatalaksanaan anestesia dan bedah akan memberikan fokus utama pada ventilasi paru tanpa tanpa ventilasi dari fistula. Teknik anestesia yang digunakan meliputi intubasi trakeal sadar (awake tracheal intubation) dan menghindari penggunaan pelumpuh otot serta tekanan ventilasi positif yang berlebihan hingga fistula yang ada dapat diidentifikasi dan dikendalikan7,16. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan suction pada proksimal

esophagus, lalu bayi akan diberikan preoksigenasi selama 3 menit dengan ventlasi spontan. Selanjutnya, dilakukan awake intubation dengan menggunakan endotrakeal tube no 3.0-3.5 mm (internal diameter) endotracheal tube dengan cuff karena cuff dapat menguntungkan untuk menutup fistula. Asisten dibutuhkan untuk mendengarkan suara nafas. Intubasi biasanya dilakukan dengan memasukkan endotrakeal tube sedalam dalamnya hingga ke bronkus kanan, lalu ditarik pelan pelan kira kira0.5-1.0 cm hingga suara nafas terdengar sama, bevel lubang tube juga diarahkan ke anterior untuk menghindari intubasi pada fistula.

Tujuannya intubasi bayi adalah untuk memungkinkan pertukaran udara yang adekuat dengan tekanan inspirasi yang dibutuhkan seminimal mungkin untuk mengembangkan paru,

(14)

menghindari atelektasis, dan menghindari distensi abdomen. Positive pressure mask ventilation sebaiknya dihindari. Terdapat beberapa pilihan. Pertama adalah untuk menjaga anak bernapas secara spontan hingga fistula di ligasi. Hal ini membutuhkan teknik inhalasi dalam dengan bantuan minimal pada setiap napas untuk meminimalisir atelektasis. Intubasi dapat dilakukan pada saat sadar atau setelah induksi inhalasi. Dengan cara ini, dibutuhkan tekanan inspirasi terendah dan meminimalisir distensi gaster. Intubasi pada saat sadar lebih umum dilakukan, namun perhatian sebaiknya diberikan pada kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial atau perdarahan intraventrikuler pada bayi prematur, serta ketidaknyamanan pada bayi. Kondisi intubasi yang baik dapat dicapai dengan agen deep volatile, namun mempertahankan ventilasi yang adekuat serta kondisi pembedahan selama thoracotomy tanpa relaksan dapat menjadi kondisi yang menantang. Induksi IV secara cepat dan intubasi (untuk meminimalisir ventilasi face-mask) merupakan pilihan lain yang tersedia sehingga perhatian dapat dialihkan untuk minimalisir tekanan inspirasi.

Hal penting selain intubasi adalah posisi ETT yang benar. Tujuannya adalah untuk memposisikan ujung distal ETT pada fistula namun proksimal terhadap karina. Apabila tube dengan sengaja diposisikan lebih dalam (ke dalam bronkus kanan) dengan bevel menghadap ke atas, tarik perlahan hingga suara napas muncul secara seimbang pada area kanan dan kiri, mengindikasikan bahwa tube berada pada posisi yang tepat. Apabila pasien memiliki riwayat gastrostomy sebelumnya, ETT sebaiknya ditarik hingga udara mulai bergelembung dari ujung gastric tube (yang telah diletakkan dalam water seal), kemudian dimasukkan kembali hingga gelembung berhenti. Apabila tube berada dalam posisi yang baik, anak dapat dilumpuhkan dan VTP dapat dipertahankan. Kesulitan terletak pada mempertahankan posisi ETT yang baik selama manipulasi pembedahan dan memiringkan pasien ke arah lateral.

Pencegahan distensi lambung dapat tercapai dengan penempatan yang tepat dari selang endotrakea, atau dengan pembuatan lubang gastrostomy terlebih dahulu pada periode preoperatif dengan anestesia lokal maupun sesaat setelah induksi dilakukan dimana hal ini akan mengurangi tekanan lambung7.

Pasien kemudian akan diposisikan lateral decubitus kiri atau kanan. Suara nafas harus diperiksa ulang untuk mendeteksi adanya endobronkial intubasi yang ditandai dengan hilangnya suara nafas pada paru kiri, sianosis, bradikardia, dan hipotensi.

(15)

Seperti seluruh neonatus yang menjalani pembedahan, perhatian khusus dalam manajemen cairan dan temperatur merupakan hal penting. Anak sebaiknya dipindahkan ke ruang operasi (OR) (dengan posisi kepala tegak) dalam inkubator yang telah dihangatkan, dengan topi pada kepala untuk mengurangi perpindahan suhu. OR sebaiknya dihangatkan sebelumnya setidaknya 85˚F. Irigasi pembedahan dan cairan kristaloid IV sebaiknya dihangatkan, serta kantong darah yang disimpan sebelumnya dalam es. Penggunaan forced-air convective warming system sangat direkomendasikan. Heat-moisture exchanger dengan ukuran sesuai diletakkan pada saluran napas sangat bermanfaat. Perlu diingat bahwa neonatus lebih rentan mengalami hipotermia karena sejumlah alasan termasuk lemak subkutan yang terbatas. Salah satu cara bayi untuk kompensasi adalah dengan brown fat nonshivering thermogenesis. Saat memilih teknik anestesi, perlu diingat bahwa gas anestesi yang mudah menguap seperti halothane dan isoflurane dapat menurunkan thermogenesis hingga 70%.

Dengan mempertimbangkan pasien yang telah dalam kondisi NPO sejak lahir dan apapun yang telah dikonsumsi sebelumnya tidak mencapai lambung karena atresia esofagus, disarankan untuk memberikan cairan yang mengandung dekstrosa dengan laju terkontrol selama operasi. D1/2NS diberikan melalui akses IV dengan kecepatan maintenance menggunakan controlled-infusion pump merupakan cara cerdas untuk menghindari hipoglikemia. Insensible losses sebaiknya diperkirakan 3 hingga 4mL/kg/jam dan digantikan dengan cairan isotonik. Urine output (idealnya 1mL/kg/jam) akan sulit dinilai secara akurat pada bayi dengan berat badan lahir rendah.

Pelumpuh otot diberikan setelah fistula berhasil diidentifikasi dan dilakukan ligasi, Induksi inhalasi adalah alternatif dari intubasi sadar. Setelah neonatus ter-anestesi dalam, intubasi dapat dilakukan tanpa pelumpuh otot yang diikuti dengan ventilasi tekanan positif yang ringan. Narkotik merupakan pilihan untuk agen analgesia, yang diberikan bersamaan anestesi volatile untuk pemeliharaan anestesia. Desaturasi akan terjadi saat dokter bedah menahan pengembangan paru guna guna menarik bagian distal esofagus untuk proses anastamosis. Paru perlu dikembangkan kembali guna mengembalikan saturasi ke nilai normal, hal ini dapat dilakukan dengan pemberian PEEP ( positive end expiratory pressure) atau pemberian ventilasi tekanan positif yang besar sesekali untuk pengembangan paru.16,17,18

(16)

Setelah operasi yang tanpa komplikasi maka bayi akan diberikan reverse dengan neostigmine methylsulfate (0.06 mg/kg) and atropine sulfate (0.2 mg/kg) IV dan diekstubasi dengan bersamaan melakukan suction pada trakea dan esophagus. Pasien pasien dengan penyulit preoperative sebelumnya maupun perioperative durante operasi akan dilakukan kontrol ventilasi dengan ventilasi mekanik terlebih dahulu hingga fungsi respirasi berfungsi normal kembali.16,17

Meskipun beberapa ahli bedah lebih memilih bayi dilakukan ekstubasi segera di ruang operasi untuk meminimalisir tekanan pada garis penjahitan, hal ini dapat berisiko. Banyak bayi dengan TEF mengalami defisiensi kartilago trakea pada level fistula sehingga memiliki kecenderungan tracheomalacia. Hal ini dapat memicu obstruksi saluran napas yang membutuhkan reintubasi segera. Banyak anak yang memiliki penyakit paru akibat prematuritas atau pneumonia aspirasi; setelah menerima narkotika untuk penanganan nyeri mereka rentan mengalami hipoventilasi. Bila ekstubasi dini direncanakan, teknik epidural dapat bermanfaat. Namun apabila bayi tetap diintubasi, perhatian khusus sebaiknya diberikan untuk membatasi tekanan inspirasi dan untuk menjaga area yang telah dilakukan perbaikan.

(17)

BAB III LAPORAN KASUS

EVALUASI PRAANESTESIA

Identitas Penderita

Nama : Bayi Ika Rafika No Rekam Medis : 17016764

Umur : 2 hari (17 Januari 2018) Umur kehamilan : 36 minggu

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku : Bali

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : Kedonganan Badung

Masuk Rumah Sakit : 18 Januari 2018 pkl 16 : 55 WITA

Diagnosis : Atresia esophagus + trakeoesophageal fistula distal dan proksimal

Jenis Operasi : Thoracotomy + anastomose esophagus Tanggal operasi : 20 Januari 2018

1. Anamnesis/ heteroanamnesis

Pasien dikeluhkan air liur selalu menetes sejak lahir. Pasien riwayat lahir spontan di puskesmas, langsung menangis. Setelah lahir pasien sempat diberi air susu ibu, namun langsung dimuntahkan. Riwayat kelainan kongenital lainnya tidak ditemukan. Pasien merupakan anak pertama dan Berat badan lahir pasien 2270 gram. Pasien akhirnya dirujuk ke RSUP sanglah untuk dilakukan tindakan lebih lanjut. Riwayat konsumsi obat obatan selama kehamilan disangkal ibu pasien, riwayat infeksi selama kehamilan juga disangkal. Riwayat antenatal care rutin dibidan puskesmas setiap bulan dan USG sempat dilakukan sebanyak tiga kali di spesialis kandungan. Saat lahir, pasien dikatakan langsung menangis dan ketuban berwarna jernih. Pasien dikatakan tubuhnya berwarna kekuningan sehingga kini harus menjalani fototerapi. Terapi saat ini di ruangan Neonatal

(18)

internsive care berupa IVFD Dextose 12,5% 123 ml; nacl 3% 10 ml; ca glukonas 2,5 ml; kcl 2,5 ml, aminofusin 46 ml; ampicilin 120 mg tiap 12 jam; amikacin 18 mg tiap 12 jam, vit K 2 mg tiap 24 jam intramuscular. Management pernafasan dilakukan dengan pemasangan CPAP ( continuous positive airway pressure ) karena ditemukan adanya retraksi subcostal pada bayi.

Status Present

Kesadaran : ATR cukup Respirasi : 58 x / menit Nadi : 138 x / menit Suhu Axilla : 37,1 oC Berat Badan : 2300 gram Saturasi oksigen : 93-94% room air Neonatal pain scale : 0

2. Status Fisik

1. Sistem Saraf Pusat : Normal , konjungtiva Ikterik +/+

2. Sistem Sirkulasi : bunyi jantung s1 s2 tunggal tanpa murmur

3. Sistem Respirasi : RR 58x/menit bronkovesikular tanpa ronki wheezing, retraksi subcostal

4. Sistem Hematologi : Normal

5. Sistem Gastro Intestinal : BU (+) normal, distensi (-), terpasang OGT

6. Sistem Hepatobilier : Tampak jaundice hingga ke pangkal paha kramer III 7. Sistem Urogenital : buang air kecil spontan

8. Sistem Metabolik : Normal

9. Sistem Otot Rangka : Akral hangat, capillary refiil time dibawah 2 detik

3. Pemeriksaan Penunjang 1. Hematologi (19/1/2018) :

(19)

2. Faal Hemostasis (19/1/2018) :

PT 20,3 detik ( 10,8 – 14,4); APTT 50,9 detik ( 24 - 36); INR 1,8

3. Kimia darah (19/1/2018) :

SGOT 70 U/L; SGPT 16,5 U/L; alb 3,7 g/dL; bilirubin total 11,24 mg/dl; bilirubin dirrek 0,5 mg/dl; bilirubin indirek 10,74 mg/dL; BUN 8,6 mg/dL; Na 30 mmol/L; K 4,2 mmol/L; Cl 92,4 mmol/L; GDS 72 mg/dL.

4. Thorax foto (18/1/2018) : tampak insersi NGT setinggi CV Th3 suspect TEF. Jantung normal. Tidak tampak gambaran pneumonia.

4. Kesimpulan : Status Fisik ASA 3 MASALAH :

Permasalahan Aktual

- Ikterus neonatorum suspect breastfeeding jaundice dengan bilirubin total 11,24 mg/dl; bilirubin direk 0,5 mg/dl; bilirubin indirek 10,74 mg/dL.

- Suspect pneumonia aspirasi - Sepsis neonatorum awitan dini

- Pemanjangan Faal hemostasis dengan INR 1,8

- Permasalahan Potensial - Gangguan hemodinamik - Spasme - Aspirasi - Bradikardia - Hipotermia 5. PERSIAPAN PRAANESTESIA

• Informed consent mengenai tindakan operasi dan anestesi, resiko anestesi dan rencana anestesi yang akan dilakukan dan menandatangani surat perjanjian persetujuan operasi dan anestesi

(20)

• Persiapan fisik berupa puasa tetap dilanjutkan sejak awal kelahiran

• Persiapan optimalisi keadaan umum pasien di ruangan (telah dilakukan oleh TS pediatri)

• Persiapan darah PRC 2 kolf masing-masing 25 mL

6. MANAJEMEN ANESTESIA

Pra anestesia :

Pasien disiapkan untuk dilakukan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakeal nafas kendali dengan persiapan sevoflurane, fentanyl, atrakurium, alat-alat untuk persiapan anestesi umum serta obat-obat emergensi.

Di ruang persiapan :

Pukul 08.30 WITA pasien diterima masuk di ruang persiapan didalam inkubator dengan infuse line central yang telah terpasang pada femoral dextra, dilakukan pemeriksaan kelancaran infus dan pemasangan mikroburet, lalu diberi cairan Ringerfundin sesuai kebutuhan cairan perjam.

Pukul 09.00 WITA pasien didorong masuk ke kamar operasi

Di kamar operasi :

Penderita tiba di kamar operasi pukul 09.00 WITA dan dilakukan pemasangan monitor, didapatkan nadi 148-160 kali permenit, saturasi didapatkan 95%. Setelah semua alat-alat anestesi dan resusitasi serta obat-obat anestesi dan resusitasi siap, pasien diberikan preoksigenasi dengan oksigen 6 liter/menit. Pasien diberikan premedikasi berupa sulfas atropine 0,1 mg intravena pada pkl 09.10 WITA. Dilakukan pemberian ko-induksi dengan fentanyl 3 mcg secara perlahan-lahan dan Induksi dengan sevoflurane sambil tetap mempertahankan nafas spontan pasien dan sesekali dibantu dengan assisted ventilation. Tiga menit kemudian didapatkan nadi 130 x/menit dengan saturasi 97%, dilakukan laringoskopi intubasi tanpa pemberian obat pelumpuh otot dengan pipa endotrakea no 2,5 tanpa cuff. Setelah dievaluasi pengembangan paru kanan dan kiri simetris, dilakukan fiksasi lalu diikuti pemasangan packing di daerah supraglotis. Pemeliharaan anestesi dengan compressed air, Oksigen, sevoflurane. Kendali nafas

(21)

dilakukan dengan assisted nafas spontan dengan pemberian PEEP ( positive end expiratory pressure ) untuk mencegah kolapsnya paru. Fraksi oksigen diatur hingga mencapai target saturasi diatas 88%. Dilakukan posisi pasien durante operasi lateral dekubitus kiri. Prinsip-prinsip pencegahan hipotermia dilakukan dengan blanket warmer dan infus warmer. Dilakukan tindakan thorakotomi dan anastomose esophagus pada pkl 09.55. Operasi berlangsung selama 3 jam 10 menit dengan perdarahan (± 15 cc). Saturasi selama durante operasi didapatkan 89 – 94% dengan fraksi oksigen 50-80%. Sesaat setelah operasi berakhir, pasien diposisikan dalam keadaan supine, pasien mengalami desaturase hingga ke angka terendah 76% walaupun telah diberikan fraksi oksigen 80%, dilakukan ventilasi manual dengan pemberian PEEP, perlahan saturasi perifer naik ke 97% dengan fraksi oksigen 60%. Pasien tidak diekstubasi dan direncakan dibawa ke NICU dengan controlled ventilation. Pemeliharaan kecukupan cairan durante operasi dengan cairan kristaloid 120 ml. Produksi urin didapatkan 0,8 ml/kgbb/jam. Analgetika pasca operasi dengan fentanyl 15 mcg via syringe pump dan parasetamol 250 ml tiap 6 jam intravena. pasien dirawat pasca operasi di NICU. Pada durante operasi ditemukan fistula terdapat hanya pada bagian distal trakea.

7. Follow Up NICU Hari I Status fisik Terapi Laboratorium SSP : DPO Resp : On ventilator PC Bipap FiO2 60% Peep 8 SpO2 95% KV : Nadi 156x/menit GIT : distensi – UG : produksi urin : 0,3 ml/kgbb/jam Suhu : 38,7 IVFD Dextose 12,5% 123 ml; nacl 3% 10 ml; ca glukonas 2,5 ml; kcl 2,5 ml, aminofusin 46 ml; ampicilin 120 mg tiap 12 jam; amikacin 18 mg tiap 12 jam, vit K 2 mg tiap 24 jam intramuscular;

Fentanyl 15 mcg/24 jam; parasetamol 30 mg IV tiap 6

AGD : pH 7,41; PO2 128; PCO2 35; HCO3- 21; SO2C 98%

Kimia : bilirubin 9,36; bilirubin direk 0,69; bilirubin indirek 8,67; BUN 16; SC 1,09

DL : WBC 17,69; HB 17,5; HCT 54; PLT 87

(22)

jam 46,2; INR 1,8 Hari II Status fisik Terapi Laboratorium SSP : DPO Resp : On ventilator PC Bipap FiO2 60% Peep 8 SpO2 86% KV : Nadi 177x/menit GIT : distensi – UG : produksi urin : 0,2 ml/kgbb/jam Suhu : 39,8 IVFD Dextose 12,5% 123 ml; nacl 3% 10 ml; ca glukonas 2,5 ml; kcl 2,5 ml, aminofusin 46 ml; ampicilin 120 mg tiap 12 jam; amikacin 18 mg tiap 12 jam, vit K 2 mg tiap 24 jam intramuscular;

Fentanyl 15 mcg/24 jam; parasetamol 30 mg IV tiap 6 jam

AGD : pH 7,31; PO2 53; PCO2 49; HCO3- 24; SO2C 84,8%

Kimia : bilirubin 9,36; bilirubin direk 0,69; bilirubin indirek 8,67; BUN 16; SC 1,09

DL : WBC 17,69; HB 17,5; HCT 54; PLT 87

Faal hemostasis : PT 20,2; APTT 46,2; INR 1,8

Hari III :

Pkl 01.00 WITA pasien ditemukan desaturasi dan bradikardia, telah dilakukan resusitasi namun pasien meninggal pkl 03.10 WITA.

(23)

BAB IV PEMBAHASAN

Atresia diartikan sebagai kelainan kongenital berupa tidak adanya pembukaan normal dari suatu saluran di tubuh. Fistula berarti hubungan abnormal antara dua struktur epitelial pada tubuh. Atresia esofagus dan fistula trakeoesofageal merupakan kelainan kongenital yang dicirikan dengan formasi yang tidak lengkap dari tubuler esofagus atau adanya hubungan yang abnormal antara esofagus dan trakhea.

Pemeriksaan radiologi memiliki peran penting dalam mendiagnosis atresia esofagus, menegaskan atresia esofagus dengan fistula atau tanpa fistula dan mendiagnosis anomali lainnya yang terkait dengan VACTERL. Pemeriksaan pertama yang dilakukan adalah foto thorax proyeksi AP dan lateral serta foto abdomen proyeksi AP atau foto babygram. Dipastikan leher dan trakea terlihat baik. Kantong proximal esofagus tampak terisi udara atau sekresi yang tampak sebagai massa di posterior trakea, melengkung di anterior trakea. Jika terdapat hubungan antara trakea dan esofagus, maka lambung akan terisi udara. Jika tidak terdapat hubungan maka sistema usus tak terisi udara. Lima persen bayi dengan atresia esofagus memiliki kelainan lainnya yang melibatkan jantung, sistema usus, vertebra yang juga dapat terlihat pada pemeriksaan foto polos.

Pada kasus ini bayi berusia 2 hari dengan kecurigaan atresia esofagus dengan fistula proksimal dan distal. Pada bayi didapatkan Bayi hipersalivasi, muntah ketika diberi air susu ibu dan ketika di masukkan selang nasogastrik nomor 8, selang hanya masuk sepanjang 9 cm. Foto polos thorax tampak ujung selang nasogastrik berada di proyeksi corpus vertebra thorakal 3 dengan ujung melurus dan tampak adanya udara gaster.

Menentukan klasifikasi atresia esofagus dapat dinilai dengan letak selang nasogastrik, adanya udara di lambung dan adanya aspirasi pneumonia. Klasifikasi yang paling sering digunakan dalam atresia esofagus adalah kalsifikasi gross-vogt. Berdasarkan letak ujung selang nasogastrik yang berada di proyeksi corpus vertebra thorakal 3, maka atresia esofagus yang mungkin adalah tipe A, tipe B, tipe C dan tipe D. Tipe E dapat disingkirkan karena pada tipe ini selang nasogastrik dapat melewati esofagus dan berada di gaster. Pada tipe F selang masih mungkin melewati stenosis hingga ke gaster. Ujung dari selang nasogastrik yang baik dalam menilai atresia esofagus adalah ujung dalam posisi melingkar. Kemudian di nilai adanya udara di

(24)

dalam gaster. Pada kasus ini terdapat udara di dalam gaster sehingga tipe atresia esofagus yang mungkin adalah tipe C, tipe D, tipe E dan tipe F. Atresia tipe E pada kasus ini telah disingkirkan berdasarkan letak ujung selang nasogastrik. Pada kasus ini tidak didapatkan gambaran aspirasi pneumonia pada rontgen thorak, namun pada klinis didapatkan nilai saturasi perifer room air 90-95% sehingga tipe atresia esofagus yang mungkin adalah tipe C dan tipe D.

Atresia esofagus tipe C angka kejadiannya paling sering dibanding tipe lainnya. Gambaran foto polos akan tampak selang nasogastrik tidak dapat masuk ke lambung dan tampak lambung terisi udara. Tidak didapatkan gambaran aspirasi pneumonia. Dengan menganalisa foto polos dapat menentukan tipe dari atresia esofagus dengan tepat. Pada kasus ini didapatkan proyeksi nasogastric tube setinggi Thorakal 3 hal ini sesuai dengan adanya kemungkinan tipe atresia esophagus tipe C atau tipe D. tetapi karena dari gambaran thorak tidak didapatkan gambaran aspirasi pneumonia tetapi klinis menunjukkan adanya gejala distress nafas maka belum dapat dipastikan tipe C atau D.

Beberapa kesulitan ditemukan selama manajemen anestesi termasuk ventilasi yang tidak efektif karena pipa endotrakea ditempatkan di fistula, dilatasi lambung, komorbid penyakit kelaianan kongenital lainnya terutama jantung dan aspirasi paru sebelumnya. Manajemen anestesi berfokus pada ventilasi paru paru tanpa ventilasi fistula. Prinsip ventilasi pada pasien ini adalah dengan memberikan frekuensi pernafasan yang sedikit lebih tinggi dengan volume tidal yang lebih kecil. Hal ini agar ventilasi semenit tetap tercapai sesuai kebutuhan tanpa memberikan tekanan yang berlebih sehingga tidak menghalangi pandangan lapangan operasi operator. Teknik ini meliputi intubasi trakea dan menghindari pelumpuh otot dan ventilasi positif yang berlebihan sampai fistel terkoreksi seperti yang dikerjakan pada pasien ini. Pada pasien ini pasien diberikan sungkup oksigen 100% dengan mempertahankan nafas spontan dan ventilasi tekanan positif diberikan minimal karena distensi lambung akan memperberat kompresi paru ipsi maupun kontralateral. Intubasi dilakukan tanpa pemberian pelumpuh otot. pasien diinduksi dengan sevoflurane hingga terhipnosis maka sebelum induksi pasien telah dipremedikasi dengan sulfas atropine untuk menekan respon vagal. Induksi anestesia pada pasien ini dilakukan dengan obat anestesi inhalasi sevoflurane pada konsentrasi 2,5 % sesuai dosis konsentrasi pasien infant. Induksi pada pasien pediatrik lebih baik menggunakan agen inhalasi dikarenakan ventilasi semenit yang tinggi sehingga distribusi obat akan lebih baik serta klirens yang cepat karena melalui proses difusi di paru. Sevoflurane dipilih karena tidak merangsang peningkatan produksi

(25)

sekresi saluran nafas, sehingga tidak semakin memperbesar kemungkinan terjadinya aspirasi pada pasien ini.

Kontrol nafas dipertahankan hingga target saturasi diatas 95%, pada pasien ini saturasi ditargetkan saturasi diatas 88% dikarenakan dengan modal saturasi 90-95% room air kemungkinan telah terjadi pneumonia aspirasi pada pasien. Pemberian cairan infus sebaiknya diberikan cairan yang mengandung glukosa, namun pada pasien ini diberikan kristaloid dengan pertimbangan kristaloid merupakan cairan utama untuk resusitasi pada durante operasi, terutama pada operasi dengan insensible water loss yang besar yaitu gastrointestinal..1,6 Operasi ini dilakukan dengan posisi lateral dekubitus kiri melalui torakotomi di celah iga keempat kanan. Waktu yang dibutuhkan untuk pembedahan kurang lebih 2-4 jam dengan perkiraan perdarahan 10 ml/kg. Pasca operasi pasien akan dirawat di ruang intensif.

Hipotermia akan meningkatkan konsumsi oksigen, maka temperature lingkungan dihangatkan hingga 30 -40 celcius karena neonates sangat berisiko terjadi hipotermia. Nyeri juga dapat meningkatkan konsumsi oksigen, penatalaksaan pasien ini sudah tepat dengan pemberian blanket warmer, infus warmer dan memasang monitor suhu. Untuk penanganan nyeri dipilih penggunaan opioid fentanyl untuk mengurangi rangsangan simpatis. Fentanyl merupakan analgetik opioid pilihan karena fentanyl tidak menurunkan aliran darah ke hepar atau menurunkan suplai oksigen jika diberikan dengan dosis yang sedang.

Selama operasi paru akan diretraksi untuk memudahkan lapangan pandang operasi. Hal ini menyebabkan desaturasi terutama bila paru dependen memiliki fungsi yang kurang optimal. Jika pasien tidak mentolerir manipulasi operator, maka penghentian sementara operasi dibutuhkan untuk mengembalikan ventilasi dan oksigenasi. Pada pasien ini, desaturasi terjadi saat pasien diposisikan ke supine, hal ini dapat terjadi karena terjadi atelectasis pada paru dependen, hal ini dapat diantisipasi dengan pemberian PEEP pada pasien.

Monitor seperti elektrokardiogram, saturasi oksigen, end tidal CO2 dan temperature harus dipasang. Stetoskop precordial diletakkan disebelah kiri untuk memastikan dan monitoring suara nafas dan adanya kenungkinan pipa trakea tergeser selama operasi. Pada kasus dimana bronkoskopi tidak dikerjakan, maka untuk konfirmasi pipa trakea dapat digunakan cara lain yaitu setelah induksi intubasi mainstream kanan lalu diikuti withdrawal perlahan pipa trakea hingga suara nafas terdengar disisi kiri, teknik ini yang dikerjakan pada pasien. Pada pasien dengan fistel, pipa dengan cuff memiliki keuntungan untuk menutup fistula, tetapi pada kasus ini

(26)

dikarenakan keterbatasan alat, maka tidak dikerjakan. Bevel lubang pipa tetap diarahkan ke sisi anterior untuk menghindari intubasi pada fistula.

Apabila pasien akan tetap diintubasi postoperatif (yang paling dipilih) adalah teknik narkotika. Fentanyl dengan dosis 10 hingga 20 mikrogram per kilogram berat badan dengan muscle relaxant akan memberikan stabilitas hemodinamik dan memungkinkan analgesia dilanjutkan hingga periode postoperatif. Untuk praktisi yang berpengalaman, epidural juga dapat dipasang. Kateter epidural dimasukkan melalui caudal space dapat mencapai dermatom thorakal. Pastikan penempatan catheter dengan menggunakan fluoroscopy sebelum menggunakannya. Teknik ini sebaiknya dilakukan oleh dokter yang sangat berpengalaman dalam anestesi regional anak, dengan kesadaran penuh akan risiko dan kemampuan menangani komplikasi.

Meskipun beberapa ahli bedah lebih memilih bayi dilakukan ekstubasi segera di ruang operasi untuk meminimalisir tekanan pada garis penjahitan, hal ini dapat berisiko. Banyak bayi dengan TEF mengalami defisiensi kartilago trakea pada level fistula sehingga memiliki kecenderungan tracheomalacia. Hal ini dapat memicu obstruksi saluran napas yang membutuhkan reintubasi segera. Banyak anak yang memiliki penyakit paru akibat prematuritas atau pneumonia aspirasi, setelah menerima narkotika untuk penanganan nyeri mereka rentan mengalami hipoventilasi. Bila ekstubasi dini direncanakan, teknik epidural dapat bermanfaat. Namun apabila bayi tetap diintubasi, perhatian khusus sebaiknya diberikan untuk membatasi tekanan inspirasi dan untuk menjaga area yang telah dilakukan perbaikan.

(27)

BAB V KESIMPULAN

Seorang bayi laki laki, 2 hari datang kerumah sakit dengan keluhan muntah setiap kali diberi air susu ibu. Pasien didiagnosis dengan atresia esophagus dengan fistula distal dan proksimal. Koreksi anastomse pada pasien ini merupakan tantangan yang besar bagi seorang anesthesiologist. Manajemen anestesi yang baik menggunakan teknik sleep non apnea tanpa pelumpuh otot dan mempertahankan nafas spontan dengan assisted ventilation dapat menjadi pilihan pada kasus ini. Operasi berlangsung lancar dengan hemodinamik stabil durante operasi.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. Boia ES. Mittal A. Esophageal atresia and tracheoesopahgeal malformation. Jurnalul Pediatrului. 2005; 8: 41-9.

2. Spitz L. Oesophageal atresia. Orphanet Journal of Rare Disease. 2007; 2: 24.

3. Tandon RK. Sharma S. Shinha SK. Esophageal atresia: factors influencing survival-

experience at Indian tertiary center. Journal Indian Association Pediatric Surgery. 2008; 13: 1-6.

4. Bambini DA. Tracheoesophageal Fistula and Esophageal Atresia. In: Arensman RM,

Bambini DA, Almond PS, editors. Pediatric surgery. Landes Bioscience; 2000. pp 318-24.

5. Beale P. Lakho K. Oesophageal atresia. Available from : www.global-help.org/.../books/help_pedsurgeryaf

6. Viswanatha B. Esophagus Anatomy. Medscape (Updated: Oct 14,2011, Cited: 2013 Nov 23). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1948973-overview

7. Johnson PR. Oesophageal atresia. Infant. 2005; 1: 163-7.

8. Clark DC. Esophageal Atresia and Tracheoesophageal Fistula. American Family Physician (Updated: Feb 15,1999, Cited: 2013 Nov 23). Available from : http://www.aafp.org/afp/1999/0215/p910.html.

9. Hollwarth M. Esophageal Atresia and Tracheoesophageal Fistula. In: Puri P, Hollwarth M, editors. Pediatric surgery. Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2009. pp 329-338.

10. Gupta KA. Guglani B. Imaging of congenital anomalies of the gastrointestinal tract.

Indian Journal Pediatric. 2005; 72 (5) : 403-14.

11. Berocal T. Tores I. Guiterezz J. Congenital anomaly of the upper gastrointestinal tract.

Radiographic; 1999: 855-72.

12. Vogel S. Paediatric gastrointestinal radiology. Auckland Distric Health Board. 2012; 1-7.

13. Serrao E. Santos A. Gaivao A. Congenital esophageal stenosis: a rare case of dysphagia.

Journal of Radiology Case Report. 2010; 4(6): 8-14.

14. Broemling N, Campbell F. Anesthetic management of congenital tracheoesophageal

(29)

15. Robins et al. Anesthetic Management of Acquired Tracheoesophageal Fistula : A Brief Report. Anesthesia & Analgesia : October 2001 p 903-905

16. Gayle et al. Anesthetic Considerations For The Neonate with Tracheoesophageal Fistula.

M.E.J. Anesth 19 (6) 2008.

17. Diego MG, Manolo RL. Anesthetic management of Esophageal Atresia Tipe III with Tracheoesophageal Fistula in Premature Infant without Invasive Monitoring : A Case Report.. 2015. Journal of Anesthesia & Critical Care 2(4) : 00063.

18. Wong et al. Airway and Ventilatory Management Options in Congenital Tracheoesophageal Fistula Repair. 2015. Journal of Cardiothoracic and vascular anesthesia. April : pp 515 – 520

Gambar

Gambar 2. Klasifikasi atresia esofagus oleh Gross dan Vogt

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa proses pengisian dan pembuangan energi pada induktor gandeng sesuai dengan sinyal pensakelaran yaitu ketika sakelar tertutup arus

Manakah di antara reaksi berikut yang dapat berlangsung pada kondisi standar.. Berikut ini adalah penggunaan utama nitrogen,

Periksa mutu produk berdasarkan laporan hasil uji laboratorium yang terakreditasi, berdasarkan standar SNI atau revisinya serta standar lainnya dan bandingkan dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi waktu pengadukan bahan dengan bahan dasar serbuk SMC batok kelapa yang disintesis dengan metode LSE terhadap hasil

Karakteristik produk atau jasa yang dimaksud adalah karakteristik yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan, yang meliputi antara lain desain, komposisi, proses

(1) Seksi Bina Kelompok Ketahanan Keluarga dan Pusat Informasi dan Konseling Remaja merupakan unsur pelaksana urusan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

Untuk semakin meningkatkan kepuasan konsumen diperlukan kualitas yang baik dari layanan yang diberikan oleh Air Asia Indonesia (service quality) dan harga (price)

1) Memberikan perawatan secara langsung berdasarkan proses keperawatan dengan sentuhan kasih sayang. 2) Melaksanakan tindakan perawatan yang telah disususun. 3)