• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum PLTA

4.1.1 PLTA Saguling dan Cirata di Propinsi Jawa Barat

Guna memanfaatkan debit air yang dialirkan Sungai Citarum, sungai terpanjang dan terbesar di provinsi Jawa Barat luas 1.448.279,25 ha, pemerintah membuat tiga bendungan dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai ini yaitu PLTA Saguling, PLTA Cirata, dan PLTA Ir. H. Djuanda (PLTA Jatiluhur). Pengoperation ketiga waduk ini diintegrasikan dalam satu pola operasi yang disebut “Pola operasi waduk kaskade Citarum” dengan pendekatan equal

sharing yang dilakukan setiap bulan Oktober oleh ketiga pengelola waduk, yaitu

Perum Jasa Tirta II (Waduk Jatiluhur), PT Pembangkit Jawa Bali (Waduk Cirata), dan PT Indonesia Power (Waduk Saguling). PLTA yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Saguling dan PLTA Cirata.

A. PLTA Saguling

PLTA Saguling adalah salah satu unit bisnis pembangkitan di bawah PT. Indonesia Power. PLTA Saguling yang mulai beroperasi tahun 1986 memiliki visi menjadi perusahaan publik dengan kinerja kelas dunia dan bersahabat dengan lingkungan. Misi PLTA Saguling melakukan usaha dalam bidang ketenagalistrikan dan mengembangkan usaha-usaha lainnya yang berkaitan, berdasarkan kaidah industri dan niaga yang sehat, guna menjamin keberadaan dan pengembangan perusahaan dalam jangka panjang.

UPB Saguling mengelola 29 mesin pembangkit yang tersebar di Jawa Barat dengan total kapasitas terpasang 797,36 MW. Keuntungan PLTA ini antara lain waktu pengoperasian relatif lebih cepat (15 menit), biaya produksi lebih murah karena menggunakan air, rotasi turbin rendah dan tidak mengeluarkan panas sehingga peralatan jarang mengalami kerusakan. PLTA juga ramah lingkungan, karena tidak adanya proses pembakaran sehingga tidak ada limbah bekas pembakaran yang ditimbulkan. Dam (waduk) bertindak cultivation multifungsi, seperti pengendalian banjir dan sistem irigasi sawah.

(2)

PLTA Saguling memanfaatkan air Sungai Citarum yang terbagi atas 11 sub DAS. Tujuh diantara Sub Das tersebut mempengaruhi pola aliran Sungai Citarum baik kuantitas maupun kualitasnya yaitu Sub DAS Citarik, Sub DAS Cirasea, Sub DAS Cihaur, Sub DAS Ciminyak, Sub DAS Cisangkuy, Sub DAS Ciwidey, dan Sub DAS Cikapundung. Sungai ini bermata air utama di Gunung Wayang, di selatan Bandung pada ketinggian 2.182 m, dan bermuara ke Laut Jawa di daerah Tanjung Karawang. Luas DAS sekitar 6.080 km2dan panjang sungai sekitar 270 km (Marganingrum 2007).

Pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan diintegrasikan ke dalam sistem manajemen perusahaan. Program penghijauan ditetapkan dalam road map tahun 2003-2016. PLTA Saguling melibatkan masyarakat sekitar lokasi pembangkitan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan sekaligus sebagai bentuk partisipasi perusahaan membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.

PLTA bekerjasama dengan Kabupaten Bandung Barat menghimpun kepedulian 56 perusahaan untuk berpartisipasi pada program penghijauan Dinas Lingkungan Kabupaten dan melakukan kerjasama dengan Perhutani Kabupaten pada acara Tepung Lawung. Kerjasama juga dilakukan dengan masyarakat pendidikan lingkungan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat di Kabupaten Bandung mengenai kelestarian lingkungan DAS sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitar DAS dan keberlangsungan operasional Waduk Saguling.

B. PLTA Cirata

PT. Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) adalah anak perusahaan PT. PLN (Persero) yang mengelola PLTA Cirata. PLTA Cirata beroperasi pada akhir September 1988. Visi PT.PJB adalah menjadi perusahaan pembangkit tenaga listrik Indonesia yang terkemuka dengan standar kelas dunia. Misi: (1) Memproduksi tenaga listrik yang handal dan berdaya saing. (2) Meningkatkan kinerja secara berkelanjutan melalui implementasi tata kelola pembangkitan dan sinergi business partner dengan metoda best practice dan ramah linngkungan, (3)

(3)

Mengembangkan kepasitas dan kapabilitas SDM yang mempunyai kompetensi teknik dan manjerial yang unggul serta berwawasan bisnis.

Dalam menjalankan bisnisnya, PT. PJB menerapkan tiga pilar strategis yaitu pengelolaan aset (asset management), sistem manajemen SDM (human capital), dan teknologi informasi sebagai business enabler. Tiga pilar strategis dijabarkan ke dalam 10 sistem manajemen best practice yang antara lain: Manajemen aset, Manajemen Risiko, Manajemen Mutu ISO 9001, Manajemen Lingkungan ISO 14001, dan K3 OHSAS 18000, Good Corporate Governance (GCG), Manajemen Teknologi Informasi, Knowlegde Management, Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, Manajemen Baldrige, dan Manajemen House Keeping 5S.

Unit Pembangkitan Cirata berlokasi di Desa Cadas, Kecamatan Tegal Waru Plered Purwakarta. PLTA terbesar di Asia Tenggara dengan bangunan Power House 4 lantai di bawah tanah. Waduk Cirata memiliki luas 62 km2 dengan elevasi muka air banjir 223 m, elevasi muka air normal 220 m dan elevasi muka air rendah 205 m. Volume air waduk sebesar 2.165 juta meter3dan efektif waduk 796 juta m3.

PLTA Cirata mengoperasikan 8 x 126 MW atau 1008 MW dan mampu memproduksi listrik rata-rata sebesar 1.428 juta kilowatt jam per tahun yang disalurkan melalui transmisi tegangan ekstra tinggi 500 KV ke sistem interkoneksi Jawa Bali . Kemampuan memproduksi listrik PLTA ini setara dengan kemampuan pembangkit termal yang menggunakan BBM 428 ton .Untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1.428 GWh, di operasikan 8 buah turbin dengan kapasitas masing– masing 120.000 KW dengan putaran 187,5 RPM. Adapun tinggi air jatuh efektif untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m3/detik.

Penerapan sistem manajemen lingkungan di unit pembangkitan Cirata, merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi yang diwujudkan dalam bentuk upaya pengelolaan lingkungan yang terencana, terintegrasi pada semua bidang kegiatan dengan melibatkan seluruh komponen dalam manajemen unit pembangkitan Cirata untuk kepentingan masyarakat, tuntutan pasar serta akrab lingkungan dan sejalan dengan visi perusahaan yang ingin menjadikan perusahaan ini peduli lingkungan.

(4)

4.1.2 PLTA Tanggari I dan II di Propinsi Sulawesi Utara

Energi listrik di Sulawesi Utara bersumber dari sistem pembangkitan PLTA Tonsea Lama, PLTA Tanggari I, PLTA Tanggari II, PLTD Manado dan PLTD Bitung. PLTA yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Tanggari I dan II. Kedua PLTA ini menggunakan sumber energi gravitasi “air terjun” Sungai Tondano yang bersumber dari Danau Tondano dengan hulunya Desa Tolour dan bermuara di Pantai Manado. Panjang Sungai Tondano hampir 40 km. Tahun 2006 Manajemen puncak PLTA Tanggari I dan Tanggari II memutuskan untuk menerapkan sistem manajemen lingkungan pada pengelolaan dan pengoperasian PLTA.

PLTA Tanggari I berlokasi di Desa Tanggari termasuk Kecamatan Airmadidi Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada 124º 56’ 11” BT dan 1º 21’ 26” LU. PLTA Tanggari I dibangun pada tahun 1984 dan beroperasi pada tahun 1987. PLTA Tanggari I memiliki dua unit mesin, dengan kapasitas daya terpasang sebesar 18 MW.

PLTA Tanggari II berlokasi di Desa Tanggari Kecamatan Airmadidi Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada 124º 56’ 49” BT dan 1º 22’ 16” LU. PLTA Tanggari II dibangun pada tahun 1995 dan mulai beroperasi pada tahun 1998. PLTA Tanggari II mampu membangkitkan tenaga listrik dengan kapasitas daya terpasang sebesar 19 MW dengan tegangan sebesar 13.2 KV. Tipe pambangkit run off river (aliran langsung), dengan headrace tunnel yang mempunyai panjang 800 meter, diameter 2.6 meter, tinggi jatuh 103 meter, dan debit maksimum sebesar 16,5 m3/detik.

Apabila Sungai Tondano sudah tidak mampu menyalurkan debit air sebesar 16 m3/s pada saat permukaan Danau Tondano mencapai elevasi 629,27 (Low

lower Level/LWL), maka pengoperasian PLTA menjadi terganggu. Pendangkalan

dasar sungai sejak mulut danau hingga pintu pengambilan (intake) PLTA Tonsea lama baik yang ditimbulkan oleh bahan sedimen maupun tumbuhan ganggang yang tumbuh subur sepanjang 2 - 3 kilometer di hulu sungai mempengaruhi pengoperasian PLTA Tanggari. Debit air terus berkurang dapat menggangggu perputaran turbin.

(5)

Sungai Tondano mulai dari mulut danau hingga PLTA Tonsea lama melewati tengah kota Manado. Hampir di sepanjang tepi sungai telah dihuni oleh penduduk. Tidak mengherankan Sungai Tondano juga merupakan tempat pembuangan sampah baik oleh pemukim maupun oleh pasar kota. Sampah yang diperkirakan 5 – 6 ton per hari sangat terasa gangguannya dalam pengoperasian turbin.

Danau Tondano sejak dahulu merupakan sumber ikan tawar bagi penduduk. Kini perkembangan nelayan meningkat dan penggunaan sistem “keramba” untuk meningkatkan volume tanggakan ikan. Sistem keramba menggunakan tepian danau untuk dijadikan tempat pemeliharaan ikan yang diberi makanan tertentu (pellet dsb). Kondisi ini menyebabkan kadar nitrogen dalam air yang mendorong pertumbuhan gulma air.

PLTA Tanggari juga mengalami permasalahan pasokan air akibat waktu tempuh air dari Tonsea Lama sampai intake PLTA Tanggari. Lamanya waktu tempuh disebabkan oleh kondisi dasar sungai yang terlalu banyak hambatan berupa batuan dan sampah buangan disamping profil sungai yang tidak teratur.

4.2 Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah PLTA 4.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Citarum

Analisis perubahan penggunaan lahan (landuse change) DAS dari citra satelit 2001 dan 2007. Citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat ETM 7. Secara umum hasil analisis perubahan penggunaan lahan memperlihatkan adanya perubahan tutupan dan peruntukan lahan pada DAS Citarum di Jawa Barat. Peta penutupan dan penggunaan lahan berdasarkan citra satelit dan hasil analisisnya pada wilayah DAS Citarum tersebut ditampilkan dalam Gambar 13 berikut.

(6)

(a) (b)

Gambar 13 Citra satelit pada DAS Citarum: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.

Gambar 13 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS Citarum. DAS Citarum sendiri meliputi DAS Citarum hulu di mana terdapat DAS Waduk Saguling dan DAS Citarum hilir di mana DAS Waduk Cirata berada. Guna memudahkan pemahaman selanjutnya, dalam peta penggunaan lahan kedua DAS ini dipisahkan menjadi DAS Waduk Saguling (hulu) dan DAS Waduk Cirata (hilir), meskipun keduanya merupakan satu sistem DAS yang berhubungan secara langsung. DAS Waduk Saguling merupakan bagian dari DAS Waduk Cirata yang berada di bagian hulu.

Gambar 14 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Saguling pada tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit. Sementara Gambar 15 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Cirata pada tahun 2001 dan 2007. Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar analisis perubahan lahan di DAS Citarum yang menjadi daerah tangkapan air Waduk Saguling dan Cirata. Penggunaan lahan yang ditampilkan dalam kedua peta tersebut terdiri dari berbagai kelas penutupan atau liputan lahan (land cover), antara lain tutupan hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka, rawa, perkebunan, pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan.

(7)

(a)

(b)

(8)

(a)

(b)

(9)

Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Waduk Saguling yang berada pada wilayah paling hulu Sungai Citarum kurang lebih meliputi wilayah seluas 222.830 ha. Sementara luas DAS Waduk Cirata meliputi wilayah sekitar 465.286 ha, di mana DAS Waduk Saguling tercakup di dalamnya. Hasil analisis terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling

Jenis Penggunaan

Lahan

Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL

(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)

Hutan 38.139,80 17,12 12.531,77 5,62 (25.608,03) (4.268,01) (11,19) Permukiman 39.782,58 17,85 41.458,90 18,61 1.676,32 279,39 0,70 Sawah 64.940,11 29,14 65.007,33 29,17 67,22 11,20 0,02 Semak belukar 1.060,72 0,48 30.604,91 13,73 29.544,19 4.924,03 464,22 Lahan terbuka 1.867,27 0,84 190,95 0,09 (1.676,32) (279,39) (14,96) Pertanian lahan kering 72.864,11 32,70 43.252,87 19,41 (29.611,24) (4.935,21) (6,77) Perkebunan 2.300,34 1,03 27.908,94 12,52 25.608,60 4.268,10 185,54 Rawa 521,49 0,23 520,81 0,23 (0,68) (0,11) (0,02) Badan air 1.353,58 0,61 1.353,52 0,61 (0,06) (0,01) (0,00) Total 222.830,00 100,00 222.830,00 100,00

Tabel 5 di atas menunjukkan terjadinya dinamika perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling selama kurun waktu 6 tahun dari tahun 2001 hingga tahun 2007. Luas hutan di bagian hulu waduk pada tahun 2001 sebesar 38.139,80 ha atau sebesar 17,12% dari luas DAS. Luasan hutan berubah menjadi hanya 5,62% atau sekitar 12.531 ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan terjadi pengurangan luas hutan 11,19% setiap tahunnya. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama menjadi perkebunan. Luas perkebunan meningkat pesat sekitar 185% setiap tahunnya, dari luas sekitar 2.300 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 25.608 ha yang hampir seluruhnya berasal dari konversi terhadap hutan. Sementara penggunaan lahan lainnya yang mengalami pengurangan adalah lahan terbuka yang berkisar seluas 1.867 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja

(10)

pada tahun 2007. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan terbuka pada tahun 2001 ini berubah menjadi lahan permukiman pada tahun 2007.

Penggunaan lahan lainnya yang mengalami pertumbuhan cukup pesat adalah semak belukar yang tumbuh sekitar 462% setiap tahunnya, dari seluas 1.060 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 29.544 ha pada tahun 2007. Semak belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering yang berubah dari luas sekitar 72.864 ha pada tahun 2001 yang menyusut menjadi 43.252 ha pada tahun 2007. Sementara penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan, seperti permukiman (0,7% per tahun), sawah dan rawa (0,02% per tahun), serta relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun).

Sementara Tabel 6 menunjukkan terjadinya dinamika perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata pada kurun waktu yang sama. Hampir sebagian luas DAS Waduk Cirata sebenarnya merupakan DAS Waduk Saguling, yang berada di hulu Waduk Cirata. Hal ini menunjukkan dinamika perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata, sebagian merupakan sumbangan dari perubahan yang terjadi pada DAS Waduk saguling.

Tabel 6 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata

Jenis Penutupan Lahan

Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL

(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)

Hutan 87.817,72 18,87 23.392,37 5,03 (64.425,35) (10.737,56) (12,23) Permukiman 48.489,76 10,42 55.233,83 11,87 6.744,07 1.124,01 2,32

Sawah 135.217,40 29,06 135.348,93 29,09 131,53 21,92 0,02

Semak belukar 3.259,97 0,70 70.056,67 15,06 66.796,70 11.132,78 341,50 Lahan terbuka 6.935,02 1,49 190,95 0,04 (6.744,07) (1.124,01) (16,21) Pertanian lahan kering 135.677,20 29,16 68.749,14 14,78 (66.928,06) (11.154,68) (8,22) Perkebunan 34.523,69 7,42 98.949,60 21,27 64.425,91 10.737,65 31,10

Rawa 840,08 0,18 839,81 0,18 (0,27) (0,04) (0,01)

Badan air 11.534,08 2,48 11.533,88 2,48 (0,20) (0,03) (0,00)

Awan 991,08 0,21 990,82 0,21 (0,26) (0,04) (0,00)

Total 465.286,00 100,00 465.286,00 100,00 - -

-Hutan pada wilayah DAS Waduk Cirata memiliki luas sekitar 87.817 ha atau sebesar 18,87% dari luas DAS pada tahun 2001. Luasan hutan berubah menjadi hanya 5,03% atau sekitar 23.392 ha pada tahun 2007, sehingga

(11)

diperkirakan terjadi pengurangan luas hutan 12,23% setiap tahunnya. Seperti halnya pada DAS Waduk Saguling, perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama disebabkan konversi terhadap lahan perkebunan. Hal ini mendorong peningkatan luas lahan perkebunan dari luas sekitar 34.523 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 98.949 ha, atau meningkat sekitar 12,23% setiap tahunnya. Penggunaan lahan lainnya yang mengalami pengurangan adalah lahan terbuka yang berkisar seluas 6.935 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja pada tahun 2007. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan terbuka pada tahun 2001 ini berubah menjadi lahan permukiman pada tahun 2007.

Seperti pada DAS Waduk saguling, semak belukar pada DAS Waduk Cirata mengalami pertumbuhan cukup pesat dari sekitar 3.259 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 66.796 ha pada tahun 2007, atau tumbuh sekitar 341% setiap tahunnya. Semak belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering yang berubah dari luas sekitar 135.677 ha pada tahun 2001 yang menyusut menjadi 68.749 ha pada tahun 2007. Penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan, seperti sawah (0,02% per tahun) dan rawa (0,01% per tahun), serta relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun). Sementara permukiman di bagian hilir memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi dibandingkan bagian hulu (DAS Waduk Saguling). Hal ini terlihat dari tingkat pertumbuhan permukiman secara keseluruhan di DAS Cirata sebesar 2,32% setiap tahun, atau lebih tinggi dari DAS Waduk Saguling (0,7% per tahun).

Secara umum pengurangan luas hutan bisa meningkatkan laju degradasi lahan, karena tutupan hutan bisa mencegah terjadinya peningkatan laju erosi dan sedimentasi (Indriyanto 2008). Menurut PPSDAL UNPAD (2008), tingkat erosi di DAS Citarum Hulu pada tahun 2001 sekitar 2,20 mm/tahun dan sedimentasi 4.296.268 m3/tahun. Pada tahun 2007, tingkat erosi meningkat menjadi 2,23 mm/tahun dan laju sedimentasi meningkat menjadi 4.315.404 m3/tahun.

Tingkat erosi dan laju sedimentasi yang tinggi dapat mengancam keberlanjutan Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang memasok air ke PLTA. Sesuai perencanaan waduk, tingkat erosi dan laju sedimentasi yang diperbolehkan secara berturut yaitu 2,10 mm/tahun dan 4.000.000 m3/tahun. Berdasarkan

(12)

prediksi PPSDAL UNPAD (2008), peningkatan sedimentasi akan mengurangi kemampuan waduk untuk menampung air sebab sedimen akan terakumulasi baik di dead storage dan life storage waduk. Peningkatan sedimen ini akan mengurangi fungsi waduk sebagai penampung air.

Hutan dapat mempertahankan debit air sungai sehingga tidak akan banjir pada musim hujan dan tidak akan kekeringan pada musim kemarau (Indriyanto 2008). Air dari Waduk Saguling berasal dari Sungai Cikapundung, Sungai Cikeruh, Sungai Citarik, Sungai Cisangkuy, Sungai Ciwidey dan Sungai Cisarea. Berdasarkan data tahun 1990-2010, debit air sungai sangat berfluktuasi. Debit air minimum dan maksimum sungai ke Waduk Saguling yaitu 4,08 - 66,92 m3/dtk dan 141,46 - 306,39 m3/dtk (PLTA Saguling 2011). Waduk Cirata memperoleh air dari Sungai Cisokan, Sungai Cibalagung, Sungai Cimeta, Sungai Cikundul dan Sungai Citarum. Debit minimum dan maksimum air sungai ke Waduk Cirata yaitu 31,18 - 103,02 m3/dtk dan 205,21- 488,66 m3/dtk (PLTA Cirata 2011).

4.2.2 Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Tondano

Gambar 16 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS PLTA Tanggari dan II (DAS Tondano). Gambar 17 dan 18 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Tondano pada tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit. Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar analisis perubahan lahan di DAS Tondano yang menjadi daerah tangkapan air PLTA Tanggari I dan II.

Seperti pada peta penggunaan lahan DAS Citarum, penggunaan lahan yang ditampilkan dalam kedua peta penggunaan lahan DAS Tondano juga terdiri dari berbagai kelas penutupan lahan. Penggunaan lahan tersebut terdiri dari tutupan hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka, rawa, perkebunan, pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan. Penggunaan lahan berdasarkan analisis terhadap citra satelit tersebut ditampilkan dalam peta penggunaan lahan pada tahun 2001 dan tahun 2007. Perbedaan luas penggunaan lahan antara kedua tahun tersebut menjadi dasar dalam memperkirakan terjadinya perubahan penggunaan lahan di DAS Tondano setiap tahunnya.

(13)

(a) (b)

Gambar 16 Citra satelit pada DAS Tondano: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.

(14)

Gambar 18 Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2007.

Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Tondano di mana PLTA Tanggari I dan II berada meliputi wilayah seluas 24.708 ha. Penampakan tutupan lahan melalui citra satelit menunjukkan bahwa sebagian besar wilayahnya tertutup oleh vegetasi (hijau). Sementara pemukiman (merah) tersebar di beberapa wilayah, terutama terkonsentrasi di wilayah pesisir pantai pada bagian utara lokasi studi dan di pesisir Danau Tondano yang ada di bagian selatan lokasi studi. Hasil analisis terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano yang mempengaruhi PLTA Tanggari I dan II disajikan dalam Tabel 7.

(15)

Tabel 7 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano

Jenis Penutupan Lahan

Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL

(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)

Hutan 18.323,83 74,16 18.098,12 73,25 (225,71) (37,62) (0,0021) Permukiman 2.000,39 8,10 2.198,62 8,90 198,23 33,04 0,0165 Sawah 1.739,37 7,04 1.739,38 7,04 0,01 0,00 0,000001 Semak belukar 794,91 3,22 796,41 3,22 1,50 0,25 0,0315 Lahan terbuka 789,03 3,19 551,05 2,23 (237,98) (39,66) (0,0503) Bayangan Awan 18,90 0,08 17,40 0,07 (1,50) (0,25) (1,3228) Badan air 15,85 0,06 15,56 0,06 (0,29) (0,05) (0,0030) Awan 1.026,59 4,15 1.292,33 5,23 265,74 44,29 0,0431 Total 24.708,87 100,00 24.708,87 100,00

Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano selama kurun waktu 6 tahun dari tahun 2001 hingga tahun 2007 relatif tidak terlalu dinamis. Hal ini dilihat dari sedikitnya prosentase perubahan penggunaan lahan setiap tahunnya. Hasil analisis penggunaan lahan terhadap data citra satelit menunjukkan bahwa pada tahun 2001, sebagian besar wilayah DAS Tondano ditutupi oleh hutan seluas 74,16% dari luas DAS secara keseluruhan. Selain hutan, wilayah ini juga ditempati oleh permukiman (8,1%), sawah (7,04%), semak belukar (3,22%), lahan terbuka (3,19%), badan air (0,06%), serta selebihnya ditutupi awan dan bayangan awan. Penggunaan lahan pada tahun 2001 ini tidak berbeda jauh dengan penggunaan lahan pada tahun 2007, sehingga bisa disimpulkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah ini relatif kecil.

Luas hutan di DAS Tondano pada tahun 2001 sebesar 18.323 ha berubah menjadi sekitar 18.098 ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan terjadi pengurangan luas hutan hanya sekitar 0,0021% setiap tahunnya. Luas permukiman relatif meningkat sekitar 0,0165% setiap tahunnya, dari luas sekitar 2.000 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 2.198 ha pada tahun 2007. Sementara penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan, seperti sawah (0,000001% per tahun), semak belukar (0,0315 per tahun) dan lahan terbuka (-0,0503% per tahun).

Jenis tanah di perbukitan sekitar danau Tonado adalah latosol sehingga jumlah erosi diduga atas dasar curah hujan. Tingkat erosi di DAS Tondano pada tahun 1992 telah mencapai 0,213 ton/ha di lahan bervegetasi, serta sebesar 24,932

(16)

ton/ha di lahan terbuka tanpa vegetasi. Sementara erosi yang masih dapat ditoleransi sebesar 11,0 ton/ha. Jadi lahan harus tertutup vegetasi untuk menghindari bahaya erosi (DPE 1992).

Sungai yang bermuara di Danau Tondano adalah Sungai Noogan, Sungai Panasen, Sungai Ema. Kondisi debit air minimum Sungai Tondano yang masuk ke PLTA saat ini berkisar 4,005 – 20,324 m3/dtk dan maksimum berkisar 53,351

-181,225 m3/dtk. PLTA Tanggari I dan II hanya akan beroperasi jika debit air Sungai Tondano minimum 16 m3/dtk. Debit Sungai Tondano dipengaruhi musim. Wilayah Manado, Tondano, dan Airmadidi memiliki iklim dengan nisbah bulan kering (bulan dengan curah hujan < 60 mm) berkisar 0 % – 14,30 %. Faktor lain yang mempengaruhi debit air adanya rumput air di tepian danau sampai sejauh 500 meter dari danau dan erosi dari wilayah sekitarnya. Hal ini merupakan sumber pendangkalan yang menghambat laju air (DPE 1992).

4.3 Kualitas Air Sungai di Wilayah PLTA

Kualitas air suatu perairan mencerminkan kualitas lingkungan. Kualitas air waduk sangat dipengaruhi kualitas lingkungan catchment area di wilayah hulu, perubahan penutupan lahan dan penggunaannya. Kualitas air ini akan mempengaruhi dan menentukan kemampuan hidup jasad perairan tersebut dan proses teknis/produksi pembangkit listrik. Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup dipengaruhi oleh sifat fisika kimia perairan tersebut (Krismono

et al. 1987; Kartamihardja et al. 1987). Data-data yang berkaitan dengan

karakteristik fisik dan kimia yang berpengaruh terhadap PLTA meliputi suhu, TDS, TSS, Fe, COD, DO, H2S, pH, NO3-2, dan PO4-3. Analisis kualitas air sungai pada empat PLTA menggunakan uji T berpasangan dan metode deksriptif dengan membandingkan kualitas air di wilayah PLTA dengan baku mutu kualitas air kelas 4 (PP No.82/2001). Uji T dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kualitas air di inlet dan outlet PLTA. Bilamana nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (Siregar 2004).

(17)

Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA dilihat pada Tabel 8. Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Saguling menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) pada kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya terlihat pada BOD pada tahun 2005, TSS pada tahun 2008, dan pH tahun 2008 dan tahun 2009.

Tabel 8 Hasil uji T kualitas air di PLTA Saguling

Parameter P-Value Saguling

Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Suhu 0,560 0,396 0,426 0,787 0,166 0,076 TDS 0,288 0,117 0,220 0,058 0,102 0,079 TSS 0,620 0,409 0,365 0,031 0,112 0,191 pH 0,433 0,213 0,453 0,021 0,005 0,199 H2S 0,391 0,291 0,395 0,221 0,132 0,391 NO3-2 0,517 0,600 0,850 0,224 0,155 0,672 PO4-3 0,561 0,074 0,637 0,672 0,804 0,342 DO - - 0,103 0,885 0,240 0,184 COD 0,081 0,833 0,596 0,211 0,467 0,436 BOD 0,039* 0,621 0,951 0,146 0,871 0,714 Fe 0,275 0,155 0,078 0,473 0,537 0,116

Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data

Konsentrasi nilai rata-rata median TSS (3 mg/L) dan pH (7,1) di oulet lebih rendah dibandingkan dengan TSS (4 mg/L) dan pH (7.9) di inlet pada tahun 2008. Konsentrasi BOD di outlet (7,85 mg/L) lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi rata-rata median BOD (8,75) di inlet pada tahun 2005 (Lampiran 1). Walaupun ada parameter pada tahun yang berbeda tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata (α=0,05) namun hal tersebut tidak menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk. Dari Tabel 8 hanya sekitar 6,25 % data yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Kualitas air yang tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA menunjukkan bahwa PLTA Saguling dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air.

Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Cirata secara umum menunjukkan kualitas air di PLTA Cirata di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya terlihat pada konsentrasi TDS pada tahun 2010 dan phosfat pada tahun 2009.

(18)

Tabel 9 Hasil uji T kualitas air di PLTA Cirata Parameter P-Value Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Suhu 0,391 0,406 0,467 0,989 0,074 0,134 TDS 0,116 0,759 0,217 0,163 0,110 0,007 TSS 0,225 0,401 0,886 0,372 0,375 0,577 pH 0,532 0,118 0,623 0,139 0,097 0,059 H2S 0,391 - 0,227 0,333 0,459 0,193 NO3- 0,381 0,198 0,759 0,310 0,627 0,284 PO4-3_ 0,103 0,153 0,571 0,722 0,034 0,470 DO 0,861 0,779 0,373 0,192 0,018 0,832 COD 0,960 0,904 0,207 0,781 0,080 0,638 BOD 0,892 0,378 0,348 0,692 0,096 0,521 Fe 0,319 0,389 0,735 0,428 0,108 0,541

Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data

Konsentrasi rata-rata median TDS (150 mg/L) di outlet Cirata pada tahun 2010 lebih tinggi dibandingkan konsentrasi TDS (112 mg/L) di inlet. Konsentrasi phosfat (0,26 mg/L) di outlet lebih tinggi dibandingkan di inlet (0,23 mg/L) pada 2009 sebagaimana tertera pada Lampiran 2. Walaupun terdapat dua parameter pada tahun yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal tersebut tidak menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau hanya sekitar 3,08 % data yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Dengan demikian kualitas air tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA Cirata. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA Cirata dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air.

Analisis hasil uji T memperlihatkan secara statistik kualitas air (kelas IV) di inlet dan outlet PLTA Saguling dan PLTA Cirata tidak berbeda nyata (α=0,05). Proses konversi energi potensial air sungai menjadi energi mekanik kemudian energi listrik di pembangkit tidak ada indikasi adanya tambahan material dalam kegiatan konversi energi tersebut. Sehingga air yang keluar dari turbin pembangkit listrik tenaga air tidak menambah beban lingkungan. Air yang keluar dari turbin PLTA bukan merupakan sisa kegiatan PLTA (Penjelasan pasal 38 ayat 1 dari PP Nomor 82/2001).

Berdasarkan data sebaran kualitas air di Waduk Saguling dan Citara secara keseluruhan masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 (PP No.82/2001), kecuali untuk parameter Biological Oxygen Demand (BOD).

(19)

Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis merupakan

jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat diurai oleh mikroorganisma. Dinamika kualitas air inlet di Waduk Saguling untuk parameter BOD tahun 2005, tahun 2007 hingga tahun 2010 adalah kurang baik. Sebaran konsentrasi BOD telah melewati ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 (Lampiran 5). Hal tersebut juga terjadi di waduk di PLTA Cirata. Dinamika kualitas air BOD di waduk di Cirata telah melewati ambang baku mutu Kelas 4 dari PP No. 82/2001 pada tahun 2005, 2006, dan 2008 (Lampiran 6). Perairan yang memiliki nilai BOD yang tinggi tidak cocok bagi kepentingan perikanan dan pertanian.

PLTA harus memperhatikan dinamika kualitas air baik di inlet dan outlet, sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA. Sesuai dengan komitmen manajemen puncak untuk selalu memenuhi ketentuan yang berlaku dan mencegah terjadinya polusi dan kerusakan lingkungan yang diikuti dengan melakukan perbaikan secara berkelanjutan. Evaluasi kualitas air terhadap pemenuhan regulasi (audit internal maupun tinjauan manajemen) tidak hanya difokuskan dampak kualitas air terhadap operasional PLTA, PLTA sebagai pemanfaat sumberdaya perlu memperhatikan keseimbangan ekosistem antara wilayah hulu dan hilir baik dalam aspek ekonomi dan pelestarian lingkungan sehingga multifungsi air tetap dapat dipertahankan. Konsentrasi Fe meskipun tidak ditetapkan persyaratan baku mutunya dalam PP No. 82/2001, Fe yang teroksidasi di dalam air berwarna kecoklatan dan tidak dapat larut dapat mengakibatkan penggunaan air menjadi terbatas untuk keperluan fungsi lainnya.

Selain itu diketahui bahwa air yang terdapat pada waduk di PLTA Saguling dan Cirata digunakan juga untuk aktivitas lain seperti untuk kegiatan budidaya keramba jaring apung (KJA). Aktivitas KJA merupakan salah satu bentuk untuk mengurangi dampak sosial ekonomi saat pendirian PLTA dan pembangunan waduk dengan jumlah maksimum yang ditetapkan. Sisa limbah pakan ikan dari kegiatan KJA akan menurunkan kualitas air waduk. Peningkatan kontentrasi nitrat dan phosfat dapat terjadi karena masuknya bahan pencemar yang mengandung unsur N dan P seperti dari pakan ikan. Limbah yang berasal dari KJA (tahun 1996-2000) di Waduk Saguling mengandung 1.359.028 kg N dan

(20)

214.059 kg P, dan di Waduk Cirata mengandung 6.611.787 kg N dan 1.041.417 kg P (Garno 2002). Sementara peningkatan jumlah KJA terus meningkat hingga berjumlah 7209 petak unit pada tahun 2010 di Waduk Saguling dan sebanyak 51418 unit di Waduk Cirata. Jumlah ini telah melewati kapasitas daya dukung waduk. Daya dukung Waduk Saguling hanya dapat menampung 4514 unit petak KJA (Maulana 2010), sedangkan daya dukung Waduk Cirata dapat menampung sebanyak 24000 unit petak KJA (Hapsari 2010).

Hal penting lainnya adalah keberlangsungan fungsi waduk juga tergantung pada kondisi keadaan lahan di sekitar daerah tangkapan air (DTA). Berbagai penggunaan lahan sebagaimana diuraikan dalam analisis perubahan penutupan lahan lahan dapat menghasilan berbagai bahan pencemar atau limbah yang akan mengalir ke perairan waduk. Hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan perairan waduk.

Adanya dinamika kualitas air di kedua waduk tersebut menunjukkan bahwa PLTA tidak bisa berhenti melakukan pengendalian terhadap kualitas air yang akan dimanfaatkannya meskipun secara statistik kualitas air waduk di wilayah PLTA Saguling dan Cirata masih sesuai untuk keperluan operasional PLTA. Pendekatan sukarela untuk perlindungan lingkungan dan sumberdaya air perlu ditunjukkan dengan adanya konsistensi untuk mempertahankan kualitas air dan melebihi (beyond) ketentuan dan persyaratan yang berlaku atau yang ditetapkan pihak yang berwenang. Selain itu, keberlanjutan sumberdaya air juga berarti keberlanjutan operasional PLTA itu sendiri. Walaupun pelestarian kualitas air inlet PLTA, terutama di bagian hulu, di luar kendali manajemen PLTA, manajemen PLTA harus mengkomunikasikan kepada stakeholder terkait yang memanfaatkan dan/atau berkepentingan terhadap sumberdaya air waduk.

4.3.2 Kualitas Air PLTA Tanggari I dan II

Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari I dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di

outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) pada

kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya terlihat pada konsentrasi BOD pada tahun 2006 dan COD pada tahun 2009.

(21)

Tabel 10 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari I

Parameter P-Value Tanggari I

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Suhu 0,500 0,252 0,224 - 0,151 0,675 TDS 0,500 1,000 0,055 0,143 0,116 0,779 TSS 0,305 0,642 0,295 0,062 0,387 0,170 pH - 0,391 0,090 0,238 0,209 0,570 H2S - - 0,393 - 0,541 -NO3-2 0,063 0,391 0,483 0,236 0,478 0,313 PO4-3 - 0,391 - - - 0,807 DO - - - -COD 0,514 0,206 0,248 0,134 0,013* -BOD 0,823 0,048* 0,340 0,204 0,379 -Fe - 0,100 0,346 - 0,232 0,604

Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data

Pada tahun 2005, konsentrasi rata-rata median BOD ( 5,93 mg/L) di oulet lebih rendah dibandingkan dengan BOD (6,01 mg/L) di inlet. Sedangkan konsentrasi rata-rata median COD (11,35 mg/L) di outlet lebih tinggi dibandingkan dengan COD (10,40 mg/L) di inlet pada tahun 2009 sebagaimana tertera pada Lampiran 3. Walaupun dua parameter yang pada tahun yang berbeda tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal tersebut tidak menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau hanya sekitar 4,35 % data di wilayah PLTA Tanggari I yang menunjukkan ada perbedaan nyata (α=0,05). Kualitas air di Tanggari I tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA, menunjukkan bahwa PLTATanggari I dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air sungat yang dimanfaatkannya .

Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari II dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di PLTA Tanggari II di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Berdasarkan hasil uji T perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya terlihat pada suhu dan COD pada tahun 2006, dan pH, BOD, NO3-2pada tahun 2008.

Tabel 11 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari II

Parameter P-Value

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Suhu 0,156 0,036 0,346 0,706 0,443 0,878

(22)

TSS - 0,071 0,387 - 0,313 0,082 pH 0,500 0,474 - 0,005 0,092 0,339 H2S - - - - 0,421 -NO3-2 0,698 0,718 - 0,002 0,171 0,949 PO4-3 - - - 0,252 DO - - - -COD 0,358 0,121 0,123 0,237 0,391 -BOD 0,218 0,383 0,689 0,036 0,391 -Fe - 0,252 0,929 - 0,656 0,064

Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data

Konsentrasi rata-rata median pada tahun 2006 COD (25,85 mg/L) di oulet Tanggari II adalah lebih tinggi dibandingkan COD (22,5 mg/L) di inlet. Sementara pada tahun 2008, konsentrasi rata-rata median di outlet Tanggari II untuk NO3-2, BOD dan pH lebih rendah dibandingkan di inlet sebagaimana terlihat pada Lampiran 4. Dengan demikian Kualitas air di Tanggari II secara umum tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air sungai yang dimanfaatkannya.

Secara keseluruhan kualitas air di inlet PLTA Tanggari I dan Tanggari II masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 dari PP No.82/2001 sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 7 dan 8. Namun demikian dinamika kualitas air parameter COD dan Fe di PLTA Tanggari I dan Tanggari II cenderung lebih tinggi di wilayah outlet dibandingkan di wilayah inlet meskipun tetap masih di bawah baku mutu untuk Kelas 4 (PP No.82/2001). Adanya kecenderungan konsentrasi COD dan Fe yang selalu lebih tinggi di wilayah outlet dibandingkan dengan di inlet perlu di evaluasi lebih lanjut oleh manajemen PLTA. Dinamika konsentrasi COD di outlet Tanggari I dan II (Gambar 19 dan 20) juga cenderung lebih tinggi dibandingkan di wilayah inlet mungkin disebabkan adanya aktivitas pemakaian bahan pelumas dalam pemeliharaan peralatan pembangkit yang relatif tua (tahun 1984 dan tahun 1987). Kenaikan konsentrasi besi kemungkinan terjadi karena adanya korosi pada mesin yang sudah relatif lama (berumur kurang lebih 26 tahun). Konsentrasi Fe yang melebihi 0,3 ppm dapat menyebabkan air bersifat toksik (Krismono et al. 1987, Kartamihardjo et al. 1987).

(23)

Gambar 19 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari I tahun 2005-2010.

Gambar 20 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari II tahun 2005-2010.

Selain itu air sungai Tondano juga digunakan untuk aktivitas lainnya. Oleh karena itu PLTA tetap harus memperhatikan kelestarian sumberdaya air tersebut sehingga multifungsi sumberdaya air tetap terpelihara. Keberlanjutan sumberdaya air juga berarti keberlanjutan operasional PLTA.

4.4 Institusi dan Regulasi Terkait Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

Mengacu pada kebijakan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya air, PLTA melakukan serangkaian program lingkungan dengan melakukan perlindungan terhadap sumberdaya air secara berkelanjutan. Titik fokus kegiatan

0 5 10 15 20 25 2005 2006 2007 2008 2009 2010 CO D ( m g/ L ) Tahun COD_in COD_out 0 5 10 15 20 25 30 2005 2006 2007 2008 2009 2010 CO D (m g/ L) Tahun COD_in COD_out

(24)

konservasi sumberdaya air yang dilakukan PLTA yaitu pertama untuk menahan aliran permukaan (run-off) yang sebesar-besarnya dan memberi kesempatan selama-lamanya air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi) atau tertahan di muka tanah di daerah aliran sungai bagian hulu. Serangkian program lingkungan untuk melindungi sumberdaya air secara berkelanjutan dilakukan melalui program penghijauan di wilayah Green Belt Waduk PLTA hingga daerah batas konstruksi. Pengelolaan vegetasi ini mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air, sehingga wilayah yang ditanami dapat menyimpan air selama musin hujan dan melepaskannya pada musim kemarau (Asdak, 2010). Kemampuan vegetasi menangkap butir air hujan sehingga energi kinetik terserap dalam tanaman dan tidak langsung ke tanah juga akan untuk memperkecil laju erosi (Suripin, 2001).

PLTA Saguling menanam 963.175 pohon di areal seluas 1.403 ha sebagaimana ditetapkan Roadmad Program Penghijauan tahun 2003-2016. Jenis pohon yang ditanam adalah pohon buah-buahan, kopi, aren dan jarak. PLTA Cirata mulai tahun 2003 hingga 2011 (dikelola oleh BPWC) telah menanam sebanyak 210.120 pohon dengan jenis tanaman buah-buhan, aren dan kayuan seperti mahoni, mindi, angsana, karet dan trambesi. PLTA Tanggari I dan II memiliki program 10.000 pohon per tahun.

Penghijauan di wilayah DAS (Green Belt) Waduk PLTA belum menunjukkan pencapaian tujuan konservasi sumberdaya air secara signifikan dibandingkan dengan penurunan daya dukung lingkungan akibat tingginya perubahan tutupan di wilayah hulu PLTA. Untuk mencapai tujuan perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan, pendekatan voluntari memberi fleksibilitas untuk mengembangkan cara untuk mencapai perlindungan lingkungan yang tentu saja memperhitungan aspek ekonomi dan sosial dan secara teknis dapat dilakukan.

Pengendalian kualitas maupun kuantitas air sungai (waduk) tidak bisa dikendalikan sendiri. Pemanfaataan sumberdaya air yang notabene sebagai barang publik meminta PLTA perlu memahami perspektif dan concern stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap ekosistem dan sumberdaya air. Selain itu, strategi dan teknik operasional pelaksanaannya harus mengacu pada regulasi yang telah ditetapkan. Pemetaan tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder dijadikan sebagai dasar membangun kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya air

(25)

PLTA. Sementara tinjauan regulasi (legal review) dijadikan dasar pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air PLTA yang taat aturan.

4.4.1 Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

Stakeholder yang teridentifikasi terkait dengan pengelolaan sumberdaya air

PLTA meliputi Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Perhutani/HTI, PLN, Dinas Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Perusahaan Pengguna, Masyarakat, Pemerintah Daerah, Investor, P3B dan LSM. Hasil justifikasi pakar mengenai tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pencapaian program pengelolaan sumberdaya air di PLTA ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Matrik analisis stakeholder perlindungan sumberdaya air di PLTA

Pemangku kepentingan KepentinganTingkat PengaruhTingkat

Kementerian Kehutanan Tinggi Tinggi

Kementerian Pekerjaan Umum Tinggi Tinggi

Perhutani/HTI Tinggi Tinggi

Kementerian ESDM Tinggi Tinggi

Kementerian Kelautan dan Perikanan PLN

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) PLTA Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Dinas Kehutanan

Dinas Pekerjaan Umum Kementerian Pertanian DPRD Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi

Perusahaan pengguna Tinggi Rendah

Masyarakat Tinggi Rendah

Pemerintah Daerah Rendah Tinggi

Investor Rendah Tinggi

LSM

P3B RendahRendah Rendah Rendah

Sumber : data primer dari justifikasi pakar

Hasil pendapat pakar mengenai besarnya tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder dipetakan dalam empat kuadaran yaitu kuadaran I, II, III, dan IV yang menunjukan posisi kepentingan dan pengaruh masing-masing

(26)

stakeholder. Adapun posisi setiap

digambarkan seperti pada Gambar

Gambar 21 Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya

Gambar 21 menunjukkan

kepentingan (stakeholder) terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah

stakeholder sekunder dan stakeholder

stakeholders) atau stakeholder

pengaruh yang relatif lebih rendah dalam proses

Stakeholder sekunder (secondary stakeholders

pengaruh dalam proses penentuan kebijakan Sementara stakeholder ekternal (

Masyarakat 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 0.00 1.00 K ep en ti nga n Stakeholders Primer Stakeholders Sekunder Stakeholders Eksternal

Adapun posisi setiap stakeholder berdasarkan hasil pemetaan Gambar 21.

Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya.

menunjukkan bahwa terdapat 3 kelompok pemangku terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah stakeholder primer,

stakeholder eksternal. Stakeholder primer (primary

stakeholder kunci memiliki tingkat kepentingan tinggi dengan relatif lebih rendah dalam proses penentuan kebijakan

econdary stakeholders) memiliki tingkat kepentingan dan

pengaruh dalam proses penentuan kebijakan dengan proporsi relatif sama ekternal (external stakeholders) memiliki tingkat

PLN (Persero) PLTA Kementerian ESDM Kemenhut Kementerian PU Kementan KLH Pemda DPRD Dinas PU Dishut Dinas LH Masyarakat Perusahaan Pengguna LSM P3B Kementerian KP Perhutani Investor 2.00 3.00 4.00 5.00 Pengaruh Stakeholders Stakeholders Stakeholders

berdasarkan hasil pemetaan

Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat

terdapat 3 kelompok pemangku terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. primer,

rimary

tingkat kepentingan tinggi dengan penentuan kebijakan.

ngan dan sama. tingkat

(27)

kepentingan relatif lebih rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses penentuan kebijakan.

Stakeholder kunci terdiri dari Kementerian Kehutanan, PLN (Persero),

PLTA, Perhutani/HTI, Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU, Perusahaan Pengguna dan masyarakat. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menjadi pihak yang memiliki pengaruh dan tingkat kepentingan tertinggi. Hal ini diterkait mungkinkan karena aspek pengelolaan sumberdaya air sangat dekat dengan wilayah hulu DAS yang sebagian besar merupakan kawasan hutan yang menjadi tupoksi Kemenhut. Kemenhut menjadi pihak yang paling berpengaruh dalam proses penyusunan kebijakan strategis terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA, karena output kebijakan Kemenhut mampu menjangkau semua pihak terkait.

Pada kelompok tengah stakeholder primer (kunci), PLTA menjadi pihak yang paling berkepentingan, sehingga harus menjadi pihak yang proaktif pada tataran operasional. PLTA perlu melakukan komunikasi eksternal dan kerjasama dengan stakeholder kunci lain agar program perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA tercapai. Stakeholder yang memenuhi kriteria tersebut yaitu Kemenhut, PLN dan Perhutani di tataran pusat, serta Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU, perusahaan pengguna, dan masyarakat pada tataran daerah.

Sementara masyarakat menjadi pihak kunci yang berkepentingan, tetapi memiliki pengaruh yang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat merupakan pihak kunci yang lebih banyak menerima dampak kebijakan pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena itu, setiap proses penyusunan dan pengambilan kebijakan tetap harus melibatkan masyarakat yang akan menjadi objek penerima dampak di tataran hilir pelaksanaan kebijakan. PLTA harus melibatkan masyarakat agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan kebijakan pada tataran operasional. Program lingkungan yang tidak melibatkan masyarakat tidak akan berhasil. Mereka banyak bergantung pada sumberdaya alam di wilayah ini untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kepentingan masyarakat lebih dipengaruhi oleh kebutuhan mereka akan kelestarian sumberdaya untuk menopang hidup mereka. Masyarakat sebagian besar bersedia lahannya dijadikan lahan untuk rehabilitasi (Sundawati & Sanudin 2009).

(28)

Kementerian PU, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi institusi pusat yang bisa mendukung program pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Hal ini disebabkan, semua institusi pusat ini berada pada kuadran stakeholder sekunder. Pada kuadran ini juga terdapat DPRD dan Pemda sebagai lembaga daerah yang bisa mendukung keberhasilan program. Sementara pihak swasta yang berada pada kuadran ini adalah pihak investor. Kelompok ini penting untuk mendukung program konservasi SDA namum perlu pemberdayaan dalam tataran operasional. PLTA harus mengajak dan meminta dukungan pihak-pihak tersebut. Pemda dan investor patut diajak kerjasama dalam tataran operasional. Pemda berperan sebagai fasilitator dan pemberian izin yang terkait dengan program lingkungan. Investor meskipun memiliki tingkat kepentingan yang rendah namun penting diperhatikan karena memiliki tingkat pengaruh dalam pembentukan opini green product PLTA di pasar internasional.

LSM dan Pusat Penyaluran dan pengatur Beban (P3B) memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang relatif rendah dalam konservasi sumberdaya air. PLTA perlu memperhatikan kebutuhan P3B terkait dengan kebutuhan energi listrik yang dibuutuhkan. LSM dapat diajak untuk membantu memberikan advokasi dan pelatihan kepada masyarakat.

PLTA perlu mengembangkan upaya untuk membangun potensi kolaborasi yang dapat dikembangkan dari stakeholder ini. Upaya konservasi sumberdaya air tidak dapat dikerjakan sendiri, tetapi membutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak. Sebagai pihak yang memanfaatkan sumberdaya air, PLTA perlu mengetahui tipikal dan concern masing-masing stakeholder guna menetapkan kunci keberhasihan. Secara umum stakeholder memiliki perhatian lebih pada kredibilitas dan kemudahan aksesibilitas data, dan ingin mengetahui apakah tujuan pengelolaan sumberdaya air PLTA sesuai dengan strategi lingkungan mereka. Komunikasi eksternal perlu dilakukan lebih intensif dengan pemangku kepentingan guna keberhasilan program lingkungan PLTA dan memperoleh akseptasi mereka.

(29)

Peraturan perundang-undangan yang diacu oleh ke-empat PLTA dalam melakukan perlindungan sumberdaya air pada tahap operasional adalah Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Selain itu, terkait pengelolaan dan perlindungan kawasan yang lebih luas (DAS hulu PLTA), PLTA juga harus megacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Secara umum UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdiri dari 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Hal ini menunjukkan bahwa untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Berdasarkan UU ini, penetapan kebijakan pengelolaan sumberdaya air berada pada pemerintah sesuai dengan wilayah penyebarannya. Wilayah sungai yang melintasi provinsi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, wilayah sungai yang melintasi kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan wilayah sungai yang hanya ada di kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sementara PP Nomor 42 Tahun 2008, memberikan kewenangan kepada Dinas pada tingkat provinsi untuk membantu wadah koordinasi pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai-sungai lintas kabupaten/kota dalam penyusunan rancangan pola pengelolaan sumberdaya air.

Hal ini sejalan dengan arahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota yang mengatur kewenangan otonomi daerah. Pengelolaan DAS Citarum di mana PLTA Saguling dan Cirata berada yang melintasi dua kabupaten, menurut UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tanggung jawab pemerintah

(30)

provinsi. Sementara DAS Tondano di mana PLTA Tanggari I dan II berada dalam satu kabupaten yang sama.

Sebagai langkah antisipasi, UU Nomor 7 Tahun 2009 ini juga melarang berbagai pihak untuk melakukan kegiatan yang bisa mengakibatkan daya rusak air. Selain itu, UU ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses penentuan kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya air sekaligus memperoleh manfaat dari pengelolaannya. Berbagai peran masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan juga diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 yang tentu saja terkait dengan pengelolaan sumberdaya air sebagai salah satu aspek dari lingkungan.

Kebijakan lain terkait pengelolaan sumber daya air adalah pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran yang diatur dalam PP Nomor 82 Tahun 2001 dan PP No 42 Tahun 2008. Pengelolaan kualitas air tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya air. Perbaikan kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya air sendiri diatur untuk dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Sementara itu, penerapan konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan perlu diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya air, karena merupakan bagian dari aspek lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009.

Pengelolaan yang terkait kawasan lindung dan budidaya yang berada pada wilayah PLTA diatur dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU ini mengatur juga tentang pembangunan berkelanjutan dengan mendefinisikan keberlanjutan dalam konteks penataan ruang adalah diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Selain itu, kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.

Terkait dengan pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku, PLTA berkomitmen untuk melakukan konservasi sumberdaya air sesuai dengan konsepsi yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

(31)

Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Konservasi air ditujukan untuk meningkatkan volume air, meningkatkan efisiensi penggunaannya, memperbaiki kualitas sesuai dengan peruntukkannya, dan menjaga keberlanjutan kemampuan sumberdaya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Gambaran berbagai hal tentang perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air dari aspek regulasi tersebut harus menjadi acuan dalam melakukan implementasi kebijakan. Kondisi saat ini pada empat PLTA yang diteliti, masih terjadi penurunan kualitas air akibat pemanfaatannya sebagai pembangkit tenaga listrik. Hal ini terlihat dari hasil analisis deskriptif kualitas air pada inlet dan outlet PLTA yang masih menunjukkan adanya penurunan kualitas air setelah dimanfaatkan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan regulasi yang melarang kegiatan yang bisa menyebabkan daya rusak air, termasuk penurunan kualitasnya.

Selain itu, pada sisi pengelolaan masih terjadi konflik kepentingan dan lemahnya koordinasi antar berbagai stakeholder terkait sumberdaya air. Hal ini bisa menghambat pencapaian pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan. Masyarakat dan pihak swasta lainnya yang diberi peluang untuk mendapat manfaat dari sumberdaya air juga masih melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satunya pemanfaatan badan air waduk/genangan untuk kegiatan budidaya ikan KJA. Saat ini, sudah terjadi pemanfaatan Waduk Cirata dam Saguling untuk budidaya ikan KJA yang melampaui batas daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Selain itu, ada juga pemanfaatan waduk untuk budidaya ikan KJA yang tidak sesuai zonasi peruntukannya.

Berbagai kesenjangan antara regulasi yang harus ditaati dengan kondisi saat ini di lapangan menjadi gap yang harus dikurangi hingga dihilangkan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan penaatan terhadap berbagai peraturan yang

(32)

telah ditetapkan, serta inisiatif sukarela dari stakeholder guna mengimplementasikan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air.

4.5 Nilai Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA

Perusahaan akan mengembangkan suatu program, bila benefit yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Benefit akibat perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air diperoleh dari jasa yang diberikan ekosistem air yang terlindungi. Jasa ekosistem memberikan use value dan non -use value. Use

value terdiri atas direct use value, indirect use value dan option value. Non-use value terkait dengan existence value.

Nilai ekonomi dari akibat perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air mempertimbangkan seluruh value yang dikandung dari program tersebut jarang sekali dihitung. Berkaitan dengan program pelestaraian sumberdaya air di PLTA, dilakukan analisis valuasi ekonomi akibat program lingkungan dengan mengambil kasus di PLTA Saguling.

Analisis data menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV) yaitu analisis kebijakan untuk menilai manfaat lingkungan secara ekonomis dengan menggabungkan unsur dari berbagai disiplin ilmu yang bersifat deskriptif, valuatif dan normatif. Nilai lingkungan tidak hanya bergantung pada nilai pemanfaatan langsung, namun juga pada seluruh fungsi sumberdaya lain yang memberi nilai (ekonomis dan non ekonomis) yang setinggi-tingginya.

Model ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaataan sumberdaya yang dapat diukur secara nyata berdasarkan tolok ukur nilai moneter. Potensi benefit use value dihitung dari market output yang langsung terkait dengan PLTA yaitu nilai produksi listrik, market output tidak langsung dengan PLTA akibat dampak positif dari program lingkungan yang dilakukan PLTA, yaitu nilai produksi ikan, unprices benefit dihitung dari nilai ekowisata, serta ecological function value dihitung dari potensi nilai karbon dari program penghijauan, cadangan air tanah, dan cadangan air waduk. Sedangkan non-use terdiri atas option value, bequest value dan existence value yang dinilai melalui nilai pasar.

(33)

4.5.1 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA Saguling dan Cirata di Provinsi Jawa Barat

Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA di Provinsi Jawa Barat terdiri dari nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value), dan nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna langsung terdiri dari nilai produksi listrik, nilai produksi ikan, dan nilai ekowisata. Sementara nilai guna tidak langsung yang juga merupakan nilai fungsi ekologis (ecological function value) terdiri dari nilai serapan karbon, nilai cadangan air tanah, dan nilai cadangan air waduk. Sementara nilai bukan guna terdiri dari nilai pilihan dan nilai kelestarian.

A. PLTA Saguling

Nilai Guna Langsung

 Nilai Produksi Listrik

Nilai produksi listrik merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari penjualan energi listrik yang diproduksi oleh PLTA. Nilai keuntungan ini ditentukan oleh jumlah produksi listrik yang bisa dijual dikurangi biaya produksinya. Produksi listrik PLTA Saguling setiap tahunnya sebesar 2.158 GWh. Berdasarkan statistik listrik PLN, harga jual rata-rata per kWh sebesar Rp 591,11 dengan biaya produksi Rp 463, maka bisa diperoleh keuntungan sebesar Rp 276.008.200.000 atau Rp 276 milyar setiap tahunnya.

Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA

Nilai ekonomi produksi ikan yang berasal dari usaha keramba jaring apung (KJA) merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari penjualan ikan hasil budidaya setiap tahunnya. Nilai keuntungan ini ditentukan oleh jumlah KJA, jumlah produksi ikan, harga jual ikan, dan biaya usaha budidaya yang dikeluarkan. Berdasarkan data pada Waduk Saguling terdapat 4.514 unit KJA (Maulana 2010) dengan rata-rata produksi 2 ton per tahun ikan mas dan ikan nila setiap unitnya. Harga jual ikan mas berkisar sebesar Rp 14.000 per kg dan harga jual ikan nila sebesar Rp 15.000 per kg. Jika biaya produksi yang dikeluarkan Rp 28.731.610.000 per unit KJA setiap

(34)

tahunnya, maka bisa diperoleh keuntungan sebesar Rp 233.080.390.000 atau Rp 233,08 milyar setiap tahunnya.

Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata

Nilai ekonomi ekowisata di Waduk Saguling dihitung dari besarnya biaya perjalanan wisata yang dikeluarkan oleh setiap pengunjung yang datang setiap tahunnya. Pengunjung yang datang umumnya wisatawan transit ke wilayah ini dan rata rata hanya berkunjung 1 kali dalam setahun. Biaya Pengeluaran terdiri atas biaya transportasi dan biaya akomodasi dan konsumsi. Dari hasil kuesioner diperoleh bahwa biaya rata rata transportasi sebesar Rp 116.000,- dan biaya akomodasi dan konsumsi sebesar Rp 33.000,-. Jadi biaya Pengeluaran sebesar Rp. 149.000,-/orang.

Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan diperoleh data bahwa rata-rata pengunjung yang datang ke waduk Saguling pada hari-hari biasa (Senin-Jumat) berkisar 10 orang, sedangkan pada hari libur seperti hari Sabtu dan Minggu dapat mencapai 20 orang pengunjung. Dari data tersebut diketahui jumlah pengunjung rata-rata 4 orang per hari atau 1.460 pengunjung per tahun. Nilai ekonomi wisata di sekitar Waduk Saguling yaitu sebesar Rp. 149.000 x 1.460 pengunjung = Rp 217, 54 juta = Rp. 0,217 milyar setiap tahunnya.

Nilai Guna Tidak Langsung

 Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)

Nilai ekonomi penyerapan karbon dapat dihitung berdasarkan besarnya kandungan karbon yang tersimpan di dalam vegetasi hutan yang dikonversikan dalam nilai finansial. Menurut Brown dan Peaece (1994)

dalam Widada (2004), hutan alam primer, hutan sekunder, dan hutan

terbuka memiliki kemampuan menyimpan masing-masing karbon sebesar 283 ton per hektar, 194 ton per hektar, dan 115 ton per hektar. Setiap 1 ton karbon dapat dihargai dengan nilai finansial yang berkisar antara $1 US sampai $28 US (Soemarwoto, 2001). Berdasarkan data ini, maka nilai ekonomi penyerapan karbon di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling dapat dihitung. Untuk menghindari penilaian yang terlalu tinggi atau terlalu

(35)

rendah, maka nilai finansial yang diambil adalah nilai tengah dari yang ditetapkan oleh Soemarwoto yaitu sebesar $19 US per ton.

Nilai ekonomi penyerapan karbon di sekitar Waduk Saguling , dapat dihitung dengan asumsi sebagai berikut

1. Luas kawasan hutan di sekitar Waduk Saguling 1.403 hektar dimana keseluruhan merupakan hutan sekunder.

2. Satu hektar hutan sekunder di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling menyimpan karbon sebesar menyimpan karbon sebesar 194,00 ton karbon.

3. Nilai karbon sebesar $US 19 per ton dimana untuk $US 1 = Rp 9.425,85 Adapun nilai ekonomi serapan karbon di kawasan Waduk Saguling adalah = 1403 ha x 194,00 ton x $US 19 x Rp. 9425,85 = Rp 35,57 milyar setiap tahunnya.

Nilai Cadangan Air Tanah

Jumlah cadangan air tanah di DAS Saguling pada dasarnya merupakan sumber utama bagi air permukaan yang mengalir di Sungai Citarum hulu. Secara tidak langsung air ini juga menjadi pemasok utama pembangkit listrik PLTA Saguling. Sehingga cadangan air tanah ini memiliki potensi ekonomi setara dengan jumlah pembangkitan energi listrik yang bisa dihasilkannya. Besarnya potensi tersebut bisa dihitung dari volume air input yang berasal dari curah hujan di seluruh DAS, dikurangi yang mengalir di air permukaan (run off) dan penguapan yang terjadi di seluruh permukaan DAS.

Berdasarkan data diketahui bahwa luas DAS Waduk Saguling adalah 222.830 ha, dengan rata curah hujan sebesar 3.378 mm/tahun dan rata-rata penguapan sebesar 1.116 mm/tahun, serta debit air permukaan sebesar 108 m3/detik. Volume cadangan air tanah dihitung dari volume input curah hujan dikali luas DAS, dikurangi volume output penguapan dikali luas DAS dan aliran permukaan. Setiap m3 cadangan air tanah ini berpotensi menghasilkan energi listrik senilai Rp 202. Hasil perhitungan menunjukkan volume cadangan air tanah tersebut bernilai sebesar Rp 330.174.373.200 atau Rp 330,17 milyar setiap tahunnya.

(36)

Nilai Cadangan Air Waduk

Seperti hanya cadangan air tanah, air yang tergenang dalam waduk juga berpotensi untuk dikonversi menjadi energi listrik senilai Rp 202/m3. Potensi ini bisa hilang jika volume air di waduk mengalami pengurangan akibat sedimentasi. Sehingga volume sedimentasi yang masuk ke dalam waduk berpotensi menghilangkan nilai ekonomi cadangan air waduk. Besarnya nilai ekonomi cadangan air waduk sebanding dengan banyaknya sedimen yang masuk ke waduk setiap tahunnya. Berdasarkan data PT Indonesia Power (2010) diketahui rata-rata volume sedimen yang masuk ke dalam Waduk Saguling sebesar 4,2 juta m3setiap tahunnya. Sehingga nilai cadangan air waduk yang hilang sebesar Rp 848,4 juta setiap tahunnya.

Nilai Bukan Guna

 Nilai Pilihan

Nilai pilihan waduk adalah nilai pemanfaatan sumberdaya waduk untuk pemanfaatan dimasa yang akan datang. Nilai pilihan waduk dihitung sama dengan dengan nilai keberadaan di atas yaitu menggunakan metode

Contingent Valuation Method (CVM) yang didasarkan pada seberapa besar

seseorang atau masyarakat mau membayar (willingness to pay) untuk melindungi sumberdaya waduk. Nilai pilihan ini dihitung berdasarkan bagaimana manfaat sumberdaya alam yang terkandung dalam waduk dapat dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang. Untuk mengumpulkan data berkaitan dengan nilai pilihan ini, disebarkan kuisioner kepada responden.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden menyatakan bahwa Waduk perlu dipertahankan manfaat yang terkandung di dalamnya terutama untuk pemanfaatan dimasa yang akan datang. Terkait dengan kesediaan membayar agar manfaat SDA dalam hutan sekitar waduk tetap dipertahankan, sekitar 50% menyatakan bersedia membayar dan sisanya (50%) menyatakan tidak bersedia membayar.

Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk mempertahankan manfaat Waduk Saguling adalah sekitar 75 % bersedia membayar sebesar Rp. 5.000,- dan hanya sekitar 25 % bersedia membayar sebesar Rp. 10.000,-.

(37)

Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirata-ratakan maka dapat diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden yaitu sebesar Rp. 12.500,00/orang

Berdasarkan data di atas, dihitung nilai pilihan waduk yaitu nilai manfaat (WTP) dikalikan dengan jumlah penduduk di wilayah penelitian. Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk di sekitar waduk sebanyak 618.479 jiwa, sehingga nilai pilihan Waduk Saguling = Rp 12.500 x 618.479 jiwa = Rp 7.730.987.500 atau Rp 7,73 milyar.

 Nilai Kelestarian Waduk

Nilai kelestarian waduk juga dihitung dengan metode Contingent Valuation

Method (CVM). Nilai kelestarian waduk dihitung berdasarkan pentingnya

dilestarikan kawasan waduk terutama untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi air untuk operasional PLTA dan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuisioner untuk 120 responden. Informasi yang ingin digali dalam kuisioner dituangkan dalam bentuk pertanyaan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden menyatakan bahwa waduk perlu dilestarikan untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi air dan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat. Berkaitan dengan kesediaan membayar untuk melestarikan fungsi Waduk, sekitar 62,5 % menyatakan bersedia membayar dan 37,2 % menyatakan tidak bersedia membayar.

Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk melestarikan Waduk adalah sekitar 37,5 % bersedia membayar sebesar Rp. 5.000, sekitar 12,5 % bersedia membayar sebesar Rp. 10.000 dan sekitar 12,5 % bersedia membayar sebesar Rp. 15.000 serta sisanya yaitu sekitar 37,3 % tidak bersedia membayar. Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirata-ratakan maka dapat diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden yaitu sebesar Rp. 15.000,00/orang .

Berdasarkan data di atas, dapat dihitung nilai kelestarian waduk yaitu nilai kelestarian (WTP) dikalikan dengan jumlah kepala keluarga di wilayah penelitian. Jumlah kepala keluarga sebanyak diasumsikan ¼ dari jumlah

Gambar

Tabel 6  Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata
Gambar 16  Citra satelit pada DAS Tondano: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.
Gambar 18  Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2007.
Tabel 7  Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dan yang terakhir narasumber ke tujuh Sella Amalia adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

• Grup dapat melakukan penetapan yang tidak terbatalkan untuk investasi utang yang memenuhi kriteria biaya perolehan diamortisasi atau FTVOCI sebagai diukur

Ditinjau dari kandungan NaCl dalam sludge kotor yaitu 48,5% dan kandungan padatan tak larut 40%,maka besar kemungkinannya sludge kotor ini dapat

Moralitas secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, menurut temuan penelitian, dengan memiliki moralitas yang tnggi akan

Hasil pengujian terhadap larva yang dilakukan dengan dua cara apikasi, yaitu perlakuan pada daun brokoli dan melalui semprot langsung terhadap larva menunjukkan minyak

Sebagai tindakan pencegahan penyebaran Covid-19 dan mendukung upaya Pemerintah dalam mengatasi penyebaran tersebut, Perseroan menghimbau kepada para Pemegang Saham

LAPAN memiliki 4 bidang kompetensi utama, yaitu sains antariksa dan atmosfer, penginderaan jauh, teknologi penerbangan dan antariksa, dan kebijakan penerbangan dan

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rumah tangga atau keluarga yang istrinya bekerja sebagai tenaga kerja wanita, di mana mereka tidak bisa menjalankan kewajibannya, sedangkan syarat