• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN 9 PENGURUGAN (LANDFILLING) SAMPAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAGIAN 9 PENGURUGAN (LANDFILLING) SAMPAH"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAGIAN 9

PENGURUGAN

(LANDFILLING)

SAMPAH

Bagian ini menjelaskan metode yang selalu digunakan dalam pengelolaan sampah yaitu TPA. Dijelaskan tentang peran TPA, jenis landfilling, aspek engineering yang perlu diperhatikan khususnya dalam pengendalian lindi dan gasbio. Dijelaskan pula tentang kondisi TPA di Indonesia yang sampai saat ini selalu bermasalah.

9.1 Pemerosesan Akhir Sampah secara Umum

Proses akhir dari rangkaian penanganan sampah yang biasa dijumpai di Indonesia adalah

dilaksanakan di Tempat Pemerosesan Akhir (TPA). Pada umumnya pemerosesan akhir sampah yang dilaksanakan di TPA adalah berupa proses

landfilling (pengurugan), dan di Indonesia sebagian

besar dilaksanakan dengan open-dumping, yang mengakibatkan permasalahan lingkungan, seperti timbulnya bau, tercemarnya air tanah, timbulnya asap, dsb. Teknologi landfilling yang tradisional membutuhkan lahan luas, karena memiliki kemampuan reduksi volume sampah secara terbatas. Kebutuhan luas lahan TPA dirasakan tiap waktu meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah sampah. Sedangkan persoalan yang dihadapi di kota-kota adalah keterbatasan lahan. Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka diperlukan suatu usaha optimalisasi TPA yang telah ada sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja dan masa layan TPA [8].

TPA sampah merupakan langkah akhir dari rangkaian proses penangan sampah. Dalam pemusnahan ini dikenal berbagai metode, antara lain adalah landfill. Sanitary landfill adalah metode

landfilling yang dianggap paling baik. Di Indonesia

dikenal terminologi Controlled Landfill atau lahan urug terkendali yang merupakan perbaikan atau peningkatan dari cara open dumping, tetapi belum sebaik sanitary landfill. Perbaikan atau peningkatan antara lain dengan kegiatan penutupan sampah secara berkala. Bila dalam sanitary landfill diinginkan adanya penutup harian, dan pada open

dumping urugan sampah samasekali tidak

dilkakukan, maka dalam controlled landfill

penutupan ditunda sampai 5-7 hari, sesuai dengan siklus hidup lalat [8]. Namun terminologi controlled

landfill ini kerap disalah artikan, bila secara berkala

sebuah TPA sudah menerapkan penutupan, maka itu dianggap sebagai controlled landfill.

Untuk memperpanjang umur pemakaian TPA, maka salah satu solusi adalah pengolahan dan daur-ulang sampah sebelum diurug, melalui reduksi volume sampah yang akan diurug, misalnya [9]:

Pendaurulangan sampah (Reuse, Recycling,

Recovery).

Pembuatan kompos (Composting)

− Insinerasi.

Proses daur ulang berupa pemanfaatan kembali bahan-bahan yang ada pada sampah biasanya dilaksanakan oleh pemulung. Bila dibandingkan dengan TPS, pemulungan sampah di TPA di beberapa kota di Indonesia rata-rata memiliki

persentase yang lebih besar, yaitu kira-kira 5% dari sampah yang tiba di TPA. Proses pendaur-ulangan pada tingkat sumber memiliki tingkat keberhasilan yang relatif rendah. Sehingga masih banyak dijumpai bahan/material bernilai guna yang masih terangkut bersama sampah ke TPA. Kegiatan pendaurulangan yang efektif justru banyak terdapat pada lahan TPA. Pelakunya adalah para lapak dan pemulung yang mengkonsentrasikan kegiatan di TPA. Di sisi lain, keberadaan para pemulung seringkali menimbulkan masalah terhadap pengelolaan sampah di TPA karena kegiatan pemulung memang belum diatur, sehingga keberadaannya dapat mengganggu operasional lahan TPA.

Sebelum isu pemanasan global mencuat luas, maka isu dampak negatif aplikasi landfilling lebih banyak ditujukan pada pencemaran akibat leachate, dan timbulnya bau serta gangguan lingkungan, kesehatan dan estetika lainnya. Sejak isu pemanasan global mendunia, maka sorotan penggunaan landfill untuk sampah yang mengandung bahan organik tinggi mendapat perhatian besar. Landfill bisa dipastikan akan mengemisi gas metan, gas yang dianggap

mempunyai potensi gas rumah kaca sebesar 21 kali gas CO2. Landfill dianggap sumber utama gas

rumah kaca dari kegiatan pengelolaan limbah. Dengan adanya isu ini, maka negara-negara maju sangat membatasi kadar organik limbah yang boleh masuk ke landfill:

− Negara Eropa membatasi kadar organik yang

boleh terkandung dalam limbah yang akan di-landfill yaitu maksimum 5%. Upaya yang banyak diterapkan di negara-negara tersebut adalah insinerasi limbah, atau melakukan proses reduksi bahan organik melalui konsep

Mechanical Biological Treatment (MBT), yaitu

sebagai pretreatment sampah yang akan diurug, melalui pemotongan, dilanjutkan dengan aerasi sampah, yang pada dasarnya adalah proses pengomposan. Produk dari proses MBT ini di negara Eropa dianggap bukan kompos, karena kualitasnya yang tidak memenuhi persyaratan. Produk ini setelah memenuhi batas kadar organik, baru boleh diurug dari sebuah landfill

− Sejalan dengan negara Eropa, maka Jepang

sangat membatasi aplikasi landfilling. Hanya abu insinerasi saja yang boleh diurug dari sebuah landfill. Karena dalam abu insinerasi tersebut terkonsentrasi logam berat, maka aplikasi landfilling yang digunakan menganut landfilling limbah B3, termasuk penggunaan

(2)

sampah dilaksanakan di dalam area tertutup dengan menggunakan atap. Setelah dilakukan penutupan final yang kedap, maka struktur atap tersebut kemudian dapat dipindahkan ke area atau sel lain yang akan aktif.

Berdasarkan UU18/2008, penanganan sampah di TPA yang selama ini umum diterapkan di Indonesia yaitu dengan open dumping harus diubah secara keseluruhan. Bab XVI (Peralihan) Ps 44 dari UU tersebut mengamanatkan bahwa:

(1) Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan TPA sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut

(2) Pemerintah daerah harus menutup TPA sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut. Ada berbagai dampak merugikan yang dapat ditimbulkan oleh landfilling ini, yaitu [55]:

a. Pencemaran air tanah yang disebabkan oleh lindi (leachate). Tidak adanya lapisan dasar dan tanah penutup akan menyebabkan

leachate yang semakin banyak dan akan dapat

mencemari air tanah

b. Pencemaran udara akibat gas, bau dan debu. Ketiadaan tanah penutup akan menyebabkan polusi udara tidak teredam. Produksi gas yang timbul dari degradasi materi sampah akan menyebabkan bau yang tidak sedap dan juga ditambah dengan debu yang beterbangan. c. Resiko kebakaran cukup besar. Degradasi materi organik yang terdapat dalam sampah akan menimbulkan gas yang mudah terbakar seperti metan. Tanpa penanganan yang baik gas ini dapat memicu kebakaran di TPA. Kebakaran selalu terjadi dalam lahan TPA yang menggunakan metode open dumping. d. Berkembangnya berbagai vektor penyakit

seperti tikus, lalat dan nyamuk. Berbagai vektor penyakit senang bersarang ditimbunan sampah karena merupakan sumber makanan mereka. Salah satu fungsi dari penutupan sampah dengan tanah adalah mencegah tumbuh dan berkembangbiaknya vektor penyakit tersebut. e. Berkurangnya estetika lingkungan. Karena

lahan tidak dikelola secara baik, maka dalam jangka panjang lahan tidak dapat digunakan kembali secara baik.

9.2 Pengurugan Sampah dengan Landfilling Landfilling secara Umum

Penyingkiran dan pemusnahan limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang selalu disertakan dalam pengelolaan limbah, karena pengolahan limbah belum menuntaskan

permasalahan yang ada. Cara ini mempunyai banyak resiko akibat kemungkinan pencemaran air tanah, terutama bila digunakan untuk limbah B-3. Di Negara majupun belum ada cara yang dapat menggantikannya. Lahan urug akan tetap

merupakan bagian yang sampai saat ini sulit untuk dihilangkan dalam pengelolaan limbah, antara lain karena alasan-alasan [55]:

− Teknologi pengelolaan limbah seperti reduksi

di sumber, daur ulang, daur pakai, atau minimasi limbah, tidak dapat menyingkirkan limbah secara menyeluruh.

− Tidak semua limbah mempunyai nilai ekonomis

untuk didaur ulang.

− Teknologi pengolahan limbah seperti

insinerator atau pengolahan secara biologi atau kimia tetap menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut.

− Kadangkala sebuah limbah sulit untuk

diuraikan secara biologis, atau sulit untuk dibakar, atau sulit untuk diolah secara kimia.

− Timbulan limbah tidak dapat direduksi sampai

tidak ada sama sekali.

Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan pengurugan/penimbunan yang dikenal sebagai

landfilling diterapkan mula-mula pada sampah kota,

dan bila aplikasinya pada pengolahan sampah kota melibatkan rekayasa yang memperhatikan aspek sanitasi lingkungan, maka cara ini dikenal sebagai

sanitary lanfill (lahan urug saniter).

Landfilling merupakan upaya terakhir. Cara ini

bukanlah pemecahan masalah yang ideal, bahkan tidak bisa dikatakan merupakan suatu pemecahan yang baik. Landfilling merupakan satu-satunya cara yang dipunyai oleh manusia untuk menyingkirkan limbahnya setelah melalui cara lain. Guna mengurangi sebanyak mungkin dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, maka upaya manusia adalah bagaimana merancang, membangun, dan mengoperasikannya secara baik. Upaya lain yang tak kalah pentingnya adalah mengkaji calon lahan yang akan digunakan secara baik sehingga dampak negatif yang mungkin timbul dapat diperkecil [55]. Metode sanitary landfill dilakukan dengan cara mengurug sampah secara lapis-perlapis pada lahan yang telah disiapkan, diratakan dan dipadatkan, kemudian ditutup dengan tanah penutup setiap hari akhir operasi. Kegiatan pengurugan dan pemadatan sampah beserta tanah penutupnya dilakukan secara berlapis-lapis. Metode sanitary landfill merupakan metode terbaik dibandingkan open

dumping dalam hal penanggulangan dampak

negatif terhadap lingkungan. Cara open dumping sangat tidak dianjurkan karena sangat merugikan terhadap lingkungan sekitarnya, terutama dalam hal pencemaran. Tabel 9.1 memberikan kelebihan dan kekurangan dari berbagai cara pengurugan yang telah dikenal di Indonesia.

(3)

Tabel 9.1: Perbandingan Metode Landfilling Metode Landfilling

Kelebihan Kekurangan

Open Dumping (sebetulnya bukan metode)

- Teknis pelaksanaan mudah. - Personil lapangan relatif sedikit.

- Biaya operasi dan perawatan yang relatif rendah.

- Terjadi pencemaran udara oleh gas, bau, dan debu. - Pencemaran terhadap air tanah oleh terbentuknya leachate. - Resiko kebakaran cukup besar.

- Mudah terjadi kabut asap.

- Mendorong tumbuhnya sarang vektor penyakit (tikus, lalat, nyamuk)

- Mengurangi estetika lingkungan.

- Lahan tidak dapat digunakan kembali dalam waktu yang cukup lama.

Controlled Landfill

- Dampak terhadap lingkungan dapat diperkecil. - Lahan dapat digunakan kembali setelah selesai dipakai. - Estetika lingkungan cukup baik.

- Operasi lapangan relative lebih sulit.

- Biaya investasi, operasi, perawatan cukup besar. - Memerlukan personalia lapangan yang cukup terlatih

Sanitary Landfill

- Biaya investasi lebih rendah dibanding metode pengolahan lain

- Merupakan metode pembuangan akhir yang lengkap, tanpa memerlukan pengolahan dibandingkan insinerasi dan komposting

- Dapat menerima berbagai tipe sampah.

- Metode yang fleksibel terhadap fluktuasi kuantitas sampah. - Setelah selesai pemakaiannya, dapat digunakan untuk

berbagai keperluan seperti areal parkir , lapangan golf, dan kebutuhan lain.

- Pada daerah dengan populasi yang tinggi, ketersediaan lahan menjadi sulit.

- Jika operasi tidak berjalan semestinya dapat menghasilkan akibat seperti metode open dumping.

Pengelompokan Metode Landfilling [55]

Pengurugan limbah ke dalam tanah telah dikenal oleh manusia sejak manusia merasakan adanya gangguan bau pada limbahnya. Bahkan

binatangpun seperti kucing menerapkan metode ini secara sistematis. Namun secara rekayasa yang sistematis, metode ini dikenal sejak awal abad 20-an, dengan cara yang paling sederhana, yaitu yang menerapkan konsep penutupan dengan tanah penutup harian. Dalam uraian berikut ini disajikan beberapa pengelompokan metode landfilling:

− Mengisi lembah

− Mengupas site

− Menimbun sampah

a. Mengisi lembah:

Pada awalnya landfilling sampah dilaksanakan pada lahan yang tidak produktif, misalnya bekas pertambangan, mengisi cekungan-cekungan (lihat Gambar 9.1). Cara ini dikenal dengan metode pit atau canyon atau quarry

.

Dengan demikian terjadi reklamasi lahan, sehingga lahan tersebut menjadi baik kembali.

b. Mengupas site:

Dengan terbatasnya site yang sesuai , maka dilakukan pengupasan site sampai kedalaman tertentu (lihat Gambar 9.2), dikenal sebagai metode slope (ramp). Perlu diperhatikan: − tinggi muka air tanah

− struktur batuan / tanah keras

− peralatan pengupasan / penggalian yang

dimiliki

Diperoleh tanah untuk bahan penutup

Kadangkala pengupasan site tidak dilakukan sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap. Terbentuk parit-parit tempat pengurugan sampah (lihat Gambar di bawah). Cara ini dikenal sebagai metode parit (trench)

Gambar 9.1: Mengisi lembah/cekungan [62]

Gambar 9.2: Mengupas site [62]

c. Menimbun sampah:

Untuk daerah yang datar, dengan muka air tanah tinggi, sulit untuk mengupas site. Maka cara yang dilakukan adalah menimbun sampah di atas area

(4)

tersebut (lihat Gambar 9.3). Cara ini dikenal sebagai metode area. Teknologi landfilling di dunia sebetulnya cukup berkembang pesat, hanya sayangnya di Indonesia cara yang paling mudahpun sulit untuk diterapkan, karena alasan ketiadaan biaya untuk menyediakan tanah penutup harian.

Gambar 9.3: Menimbun sampah [5]

Berikut ini diberikan gambaran umum tentang beberapa pengelompokan metode landfilling, disesuaikan dengan cara atau perlakuan yang digunakan, yaitu berdasarkan:

− Penanganan sampah sebelum diurug

− Kondisi geografi site

− Proses biodegradasi

− Jenis limbah yang akan diurug

− Penanganan leachate

− Sel timbunan

a. Berdasarkan penanganan sampahnya:

Landfill tradisional (sanitary landfill):

− Cara yang dikenal di Indonesia

− Sampah diletakkan lapis perlapis (0,5 - 0,6 m) sampai ketinggian sekitar 1,2 - 1,5 m

− Urugan sampah membentuk sel-sel dan

membutuhkan operasi alat berat agar teratur

− Kepadatan sampah dicapai dengan alat berat

biasa (dozer atau loader) dan mencapai 0,6 - 0,8 ton/m3

− Membutuhkan penutupan harian 10 - 30 cm,

paling tidak dalam 48 jam

Kondisi di lapisan (lift) teratas bersifat aerob (ada oksigen), sedang bagian bawah anaerob (tidak ada oksigen) sehingga dihasilkan gas metan

Landfill dengan kompaksi:

− Banyak digunakan untuk lahan-urug yang

besar dengan dozer khusus yang bisa memadatkan sampah pada ketebalan 30 - 50 cm, dan dicapai densitas timbunan 0,8 - 1,0 ton/m3

− Proses yang terjadi menjadi anaerob

− Karena densitas tinggi, serangga dan tikus sulit bersarang

− Keuntungan dibanding lahan-urug tradisional:

− tanah penutup menjadi berkurang

− truk mudah berlalu lalang

− masa layan lebih lama

Namun biaya operasi menjadi meningkat

Landfill dengan pemadatan sampah dengan baling (Gambar 9.4)

− Banyak digunakan di Amerika Serikat

− Sampah dipadatkan dengan mesin pemadat

menjadi ukuran tertentu (misalnya bervolume 1 m3). Kepadatan mencapai lebih dari 1,0 ton/m3

− Transportasi lebih murah karena sampah lebih

padat, dan benbentuk praktis

− Pengurugan di lapangan lebih mudah (dengan

fork-lift)

− Pengaturan sel lebih mudah dan sistematis

− Butuh investasi dan operasi alat/mesin. Biaya menjadi sangat mahal

Dihasilkan lindi hasil pemadatan yang perlu mendapat perhatian

Cara ini hampir menjadi kenyataan di

Indonesia pada tahun 2006 yang akan diterapkan di TPST Bojong (Bogor), yang diperkenalkan dengan nama teknologi bala-pres, namun karena ditolak oleh masyarakat sekitar, maka TPST ini terpaksa dibongkar dan tidak dapat beroperasi.

Landfill dengan pemotongan dan aerasi sampah terlebih dahulu (lihat proses MBT di atas):

− Sampah dipotong dengan mesin pemotong

50-80 mm. Sampah menjadi lebih homogen, lebih padat (0,8 – 1,0 ton/m3), dapat ditimbun lebih tebal (> 1,5 M)

− Dapat digunakan sebagai pengomposan

(aerobik) in-situ: sel-sel dengan ketingian 50 cm. memungkinkan proses aerobik yang menghasilkan panas sehingga dapat menghindari lalat

Binatang pengerat (tikus dsb) berkurang

karena rongga dalam timbunan berkurang / dihilangkan, dan timbunan lebih padat

− Bila tidak ada masalah bau, maka tidak perlu

tanah penutup

− Pembusukan lebih cepat sehingga stabilitas

lebih cepat

Butuh alat pemotong sehingga biaya menjadi

mahal

Gambar 9.4: Landfilling dengan baling [62]

b. Berdasarkan kondisi site:

Metode area:

− Dapat diterapkan pada site yang relatif datar,

− Sampah membentuk sel-sel sampah yang

saling dibatasi oleh tanah penutup

− Setelah pengurugan akan membentuk slope

− Penyebaran dan pemadatan sampah

(5)

Metode slope/ramp:

− Sebagian tanah digali

− Sampah kemudian diurug pada tanah

− Tanah penutup diambil dari tanah galian

− Setelah lapisan pertama selesai, operasi

berikutnya seperti metode area Metode parit (trench):

− Site yang ada digali, sampah ditebarkan dalam

galian, dipadatkan dan ditutup harian

− Digunakan bila airtanah cukup rendah

sehingga zone non-aerasi di bawah landfill cukup tinggi ( ≥ 1,5 m)

− Digunakan untuk daerah datar atau sedikit

bergelombang

− Operasi selanjutnya seperti metode area

Metode pit/canyon/quarry:

− Memanfaatkan cekungan tanah yang ada

(misalnya bekas tambang)

− Pengurugan sampah dimulai dari dasar

− Penyebaran dan pemadatan sampah seperti

metode area

− Kenyataan di lapangan, cara tersebut dapat

berkembang lebih jauh sesuai dengan kondisi

c. Berdasarkan proses biodegradasi sampah:

Seperti halnya pengomposan, maka pada dasarnya landfilling adalah pengomposan dalam reaktor yang luas. Oleh karenanya terdapat kemungkinan pembusukan sampah secara aerobik maupun secara anaerobik.

Landfill anaerobik:

− Landfill yang banyak dikenal saat ini, khususnya di Indonesia. Timbunan sampah dilakukan lapis perlapis tanpa memperhatikan ketersediaan oksigen di dalam timbunan.

− Kondisi anaerob menghasilkan gas metan (gas

bakar). Dihasilkan pula uap-uap asam-asam organik, dan H2S yang menyebabkan jenis

landfill ini berbau bila tidak ditutup tanah.

− Karena kondisinya anaerob, stabilitas sampah

tidak cepat tercapai, dan dihasilkan leachate dengan konsentrasi tinggi

Landfill semi-aerobik (lihat Gambar 9.5):

− Dikenal pula sebagai metode Fukuoka, karena

universitas inilah yang memperkenalkan pada awal tahun 1980-an

− Dihindari tergenangnya leachate dalam

timbunan, melalui sistem pengumpul leachate dengan pipa yang berdiameter besar, sehingga 2/3 luas panampang pipa terisi udara

− Sistem drainase leachate ini berhubungan

dengan sistem penangkap gas vertikal

− Tanah penutup tidak perlu terlalu kedap

Landfill aerobik:

− Mengupayakan agar timbunan sampah tetap

mendapat oksigen. Dengan demikian proses pembusukan lebih cepat, seperti halnya pengomposan biasa.

− Leachate yang dihasilkan relatif lebih baik dibanding landfill anaerob. Juga bau akan

banyak berkurang. Disamping itu, tidak dibutuhkan penutup tanah harian.

− Dapat dilakukan dengan pendekatan: lapisan

sampah dibiarkan beberapa hari berkontak dengan oksigen, sebelum diatasnya dilapis sampah lain. Bila perlu dilakukan pembalikan pada lapisan sampah tersebut. Dibutuhkan area yang luas.

Cara lain adalah memasukkan udara ke dalam

timbunan secara sistematis, sehingga proses pembusukan berjalan secara aerob.

Gambar 9.5 : Landfill semi-aerobik [59]

d. Berdasarkan jenis limbah yang akan diurug:

Di negara maju, pembagian landfill dilakukan berdasarkan jenis limbah yang akan diurug, seperti:

− Landfill sampah kota dan sejenisnya

− Landfill limbah industri

− Landfill yang dapat menerima kedua jenis

limbah tersebut, dikenal sebagai co-disposal Di Perancis misalnya, hubungan karakter permeabilitas site dengan limbah dijadikan dasar pembagian landfill, yaitu:

Site landfill kelas 1:

− site kedap dengan nilai permeabilitas (k) < 10–7 cm/detik

− migrasi leachate dapat diabaikan

− untuk limbah industri, termasuk limbah B3

Site landfill kelas 2:

− site semi-kedap dengan nilai permeabilitas (k) antara 10 –4 sampai 10 –7 cm/detik

− migrasi leachate lambat

− untuk limbah sejenis sampah kota

Site landfill kelas 3:

− site tidak kedap dengan nilai permeabilitas (k) > 10 –4 cm/detik

− migrasi leachate cepat

untuk limbah inert dengan pencemaran

diabaikan

Di Jepang, landfill dibagi menjadi:

− Landfill sampah domestik (sampah kota)

− Landfill industri, yang lebih lanjut dibagi menjadi:

− landfill untuk limbah industri yang stabil: limbah sisa bangunan, plastik, karet, logam

− landfill limbah terdegradasi: oli, kertas, kayu, residu hewan / tanaman; diperlukan adanya pengolah lindi.

(6)

shut-off landfill: untuk limbah berbahaya

dengan mengisolasi kontak air dari luar seperti air hujan dan air tanah.

Di Indonesia untuk landfill limbah berbahaya (B3) Kep Bapedal 04/IX/1995 membagi landfill menjadi: − Landfill Kategori 1 dengan double liner Landfill Kategori 2 dengan single liner Landfill Kategori 3 dengan clay liner

e. Berdasarkan aplikasi tanah penutup dan penanganan leachate:

Menurut versi Jepang, landfill sampah kota dibagi berdarkan aplikasi tanah penutup, yang menjadi keharusan dari sanitary landfill standar, serta penanggulangan leachate

Controlled tipping

Peningkatan dari open dumping. Calon lahan

telah dipilih dan disiapkan secara baik. − Aplikasi tanah penutup tidak dilakukan setiap

hari

− Konsep ini banyak dikenal di Indonesia yang

mirip dengan konsep controlled landfill

Sanitary landfill with a bund and dailiy cover soil

Perdefinisi merupakan sanitary landfill Peningkatan controlled tipping.

− Lahan penimbunan dibagi menjadi berbagai

area, yang dibatasi oleh tanggul ataupun parit.

− Penutupan timbunan sampah setiap hari,

sehingga masalah bau, asap dan lalat dapat dikurangi.

Sanitary landfill with leachate recirculation

Masalah lindi (leachate) sudah diperhatikan.

− Terdapat sarana untuk mengalirkan lindi dari

dasar landfill ke penampungan (kolam)

− Lindi kemudian dikembalikan ke timbunan

sampah melalui ventilasi biogas tegak atau langsung ke timbunan sampah.

Sanitary landfill with leachate treatment

− Lindi dikumpulkan melalui sistem pengumpul,

kemudian diolah secara lengkap seperti layaknya limbah cair

− Pengolahan yang diterapkan bisa secara

biologi maupun secara kimia.

f. Berdasarkan jenis sel di timbunan: (lihat

Gambar 9.6)

Secara tidak teratur (open dumping): sampah

diurug / ditimbun tanpa aturan yang jelas

Metode sandwich: sampah diurug secara lapis

perlapis

− Metode sel: sampah diurug mejadi sel-sel

9.3 Kerekayasaan dalam Aplikasi Landfilling

Karena metode landfilling sensitif terhadap

terjadinya pencemaran, khususnya akibat timbulnya lindi, maka aplikasi landfilling membutuhkan serangkaian langkah engineering (rekayasa), yang bersasaran mengurangi dampak tersebut, yaitu [55]:

− Pemilihan site agar dampak negatif dapat

dikurangi

− Perancangan secara rakayasa sarana dan

prasarana landfill

− Pengoperasian landfill dengan kaidah-kaidah

yang benar

Pemantauan sarana baik selama masa

operasi, maupun pada pasca operasi

Gambar 9.6 Pengurugan Sampah

Pemilihan Calon Lokasi Pengurugan

Tahapan dalam proses pemilihan lokasi landrilling adalah menentukan satu atau dua lokasi terbaik dari calon lokasi yang dianggap potensial. Dalam proses ini kriteria digunakan semaksimal mungkin guna proses penyaringan. Guna memudahkan evaluasi pemilihan sebuah lahan yang dianggap paling baik, digunakan beberapa tolok ukur untuk merangkum semua penilaian dari parameter yang digunakan. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara pembobotan. Ada beberapa metode penilaian calon lokasi yang diterapkan di Indonesia, yang paling sederhana adalah SNI T-11-1991-03, khususnya untuk site di kota kecil. Metode lain antaranya adalah Metode Le Grand.

Secara umum pemilihan site landfilling dalam SNI T-11-1991-03 dibagi berdasarkan 3 (tiga) tahapan, yaitu [58, 65]:

a. Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan.

b. Tahap penyisihan yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Pada tahap ini disusun beberapa parameter penentu disertai bobot dan nilainya. c. Tahap penetapan yang merupakan tahap

penentuan lokasi tepilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku.

(7)

Persyaratan umum lokasi pembuangan akhir berdasarkan cara tersebut adalah sebagai berikut:

− Sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang

kota dan daerah. − Jenis tanah kedap air.

− Daerah yang tidak produktif untuk pertanian.

− Dapat dipakai minimal untuk 5 - 10 tahun.

− Tidak membahayakan/mencemarkan sumber

air.

− Jarak dari daerah pusat pelayanan ± 10 km.

− Daerah yang bebas banjir.

Penilaian berdasarkan Metode Le Grand [56] digunakan untuk menilai suatu calon lokasi, khususnya ditinjau dari sudut hidrogeologi. Terdapat 10 langkah dalam penilaian tersebut, yaitu:

− Langkah 1: menentukan jarak horizontal antara

lokasi dengan sumber air minum.

− Langkah 2: menentukan jarak vertikal

(kedalaman) muka air tanah terhadap dasar lahan urug.

− Langkah 3: menentukan kemiringan hidrolis air

tanah dan arah alirannya.

− Langkah 4: menetukan potensi pencemaran

dan kemampuan sorpsi.

− Langkah 5: catatan tentang keakuratan data.

− Langkah 6: catatan tentang kondisi sekitar.

− Langkah 7: penentuan deskripsi hidrogeologi

calon lokasi berdasarkan langkah 1 sampai 6

− Langkah 8: penentuan kaitan jenis limbah

dengan media tanah di bawah site.

Langkah 9: penentuan Protection of Aquifer

Rating (PAR) berdasarkan langkah 7 dan

langkah 8

− Langkah 10: iterasi ulang bila terjadi perbaikan site dengan masukan teknologi

Penyiapan Sarana dan Prasarana

Lahan di lokasi TPA yang direncanakan biasanya dibagi menjadi:

a. Lahan Efektif: merupakan bagian lahan yang digunakan sebagai lokasi pengurugan atau penimbunan sampah. Lahan efektif direncanakan sebesar ± 70% dari luas total keseluruhan TPA

b. Lahan Utilitas: merupakan bangunan atau

sarana lain di TPA khususnya agar pengurugan dan kegiatan lainnya dapat berlangsung, seperti jalan, jembatan timbang, bangunan kantor, hanggar, bangunan pengolah leachate, bangunan pencucian kendaraan, daerah buffer (pohon-pohon) lingkungan, dan sebagainya. Lahan utilitas direncanakan luasnya mencapai sekitar 30% dari lahan yang tersedia. Lahan utilitas ini akan mengakomodasi berbagai sarana dan

prasarana penunjang yang diperlukan dalam pengelolaan site.

Sarana dan prasarana di sebuah kegiatan TPA akan terdiri dari:

a. Sarana untuk perlindungan terhadap lingkungan:

− Sistem liner dasar dan dinding yang kedap

− Drainase sekeling TPA dan dalam area

pengurugan sampah

− Sarana penangkap, pengumpul dan pengolah

lindi

− Sumur pemantau

− Ventilasi gasbio

− Sarana analisa air

− Jalur hijau penyangga

− Pengendali vektor

b.Peralatan untuk pengoperasian: − Alat berat: trackloader dan bulldozer

− Stok tanah penutup

− Alat transportasi lokal

− Cadangan bahan bakar

− Cadangan insektisida

− Pelataran pengurugan

c. Sarana penunjang:

− Pagar dan papan nama site

− Jembatan timbang

− Pos penjaga, kantor, garasi, rumah penjaga,

gudang, workshop, bengkel, tempat cuci mobil

− Jalan akses dan operasi

− Fasilitas pengolahan selain pengurugan : daur

ulang, pengomposan, insinerasi, dan lain-lain

− Prasarana penunjang (hidrant kebakaran,

reservoir penampungan air, sumur pemantauan, dan lain-lain).

− Lahan penunjang kegiatan lain, seperti transit sampah, dsb

Sistem Pengelolaan Lindi (Leachate)

Lindi (Leachate) adalah cairan yang merembes melalui tumpukan sampah dengan membawa materi terlarut atau tersuspensi terutama hasil proses dekomposisi materi sampah atau dapat pula didefinisikan sebagai limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas materi terlarut, termasuk juga materi organik hasil proses

dekomposisi biologis.

Secara teoritis leachate tidak akan keluar dari timbunan sampah sebelum kapasitas serap air dari sampah terlampaui. Kualitas dan kuantitas leachate tergantung dari banyak faktor, antara lain

karakteristik dan komposisi sampah, jenis tanah penutup, iklim, kondisi kelembaban dalam timbulan sampah serta waktu penimbunan sampah. Tanah penutup yang baik dapat mencegah atau

meminimasi air yang masuk kedalam lahan urug, terutama berasal dari air hujan. Penetrasi air yang masuk merupakan sumber terbentuknya leachate yang merupakan pencemar bagi lingkungan. Semakin banyak air yang masuk maka semakin banyak pula leachate yang ditimbulkan dan yang harus dikelola. Secara umum leachate

mengandung zat organik dan anorganik dengan konsentrasi tinggi, terutama pada timbunan sampah yang masih baru. Oleh karena itu dalam

pengelolaan sebuah TPA yang baik tidak terlepas dari pengelolaan leachatenya [55]. Gambar 9.7 merupakan skema umum dalam memprediksi timbulan lindi.

(8)

Beberapa perangkat lunak tersedia di pasar untuk mempermudah perhitungan tersebut, yang paling sering digunakan di dunia adalah Hydrological evaluation leachate

Moisture Storage (ST)

Run Off (RO)

Presipitasi (P)

Evapotranspirasi (ET)

Perkolasi Lindi = P - RO - ET - ST

Gambar 9.7: Neraca Air [55] Untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan lindi, ada beberapa cara yang dapat digunakan, antara lain:

− Penggunaan lapisan tanah penutup, baik

lapisan tanah penutup harian, antara, maupun akhir.

− Pemakaian lapisan dasar/liner untuk mencegah

lindi berinfiltrasi ke air tanah.

− Penyediaan sarana pengolah lindi yang

dihasilkan, termasuk di antaranya pemasangan saluran lindi di lapisan dasar, pembangunan saluran drainase, dan penerapan pengolah lindi. Pengolah lindi yang banyak digunakan di Indonesia hingga saat ini adalah kontak stabilisasi, kolam oksidasi, yang dipilih berdasarkan kesederhanaan serta tersedianya sinar matahari.

Pengadaan sistem pengolahan leachate sangat diperlukan untuk mengurangi beban pencemaran terhadap badan air penerima. Lindi yang telah terkumpul diolah terlebih dahulu sehingga mencapai standar aman untuk kemudian dibuang ke dalam badan air penerima. Diharapkan setelah dilakukan pengolahan tidak terjadi pencemaran terhadap lingkungan sekitar, baik terhadap sungai maupun air tanah. Masalah yang dihadapi adalah bahwa debit lindi yang keluar dari timbunan sampah sangat berfluktuasi.

Sistem Pengelolaan Gas

Dekomposisi sampah, khususnya zat organik dalam kondisi anaerobik mengakibatkan produksi gas. Gas bio adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian materi organik oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerob. Gas-gas yang dihasilkan dari proses penguraian antara lain gas metan (CH4), karbondioksida (CO2), uap air (H2O), gas

nitrogen (N2), dan lain-lain. Dalam perencanaan

suatu landfill, pembentukan gas perlu diperhatikan. Metan merupakan gas yang eksplosif, dapat

meledak jika terkonsentrasi hingga 5 sampai 15% di udara. Karbondioksida dapat menjadi penyebab peningkatan mineral pada air tanah serta membentuk asam karbonik.

Untuk menghilangkan pengaruh negatif yang ditimbulkan maka perlu pengelolaan gas bio yang dihasilkan oleh landfill. Gas bio ini dapat

dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembantu. Produksi gas metan dapat diperkirakan secara stoichiometri. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, khususnya bakteri metanogene, antara lain : pH (optimum 6,6-7,6), temperatur (optimum 35-55ºC), kandungan air (optimum 45-60%), dan ketersediaan makro-mikro nutrisi yang dibutuhkan (ratio C/N antara 35-40).

Sebelum dimanfaatkan, gas bio harus melalui proses pemurnian agar didapatkan hasil yang memuaskan. Proses pemurnian ini mempunyai sasaran untuk menghilangkan uap air dalam gas, dan memisahkan gas-gas yang tidak diinginkan. Selain memiliki nilai ekonomis untuk menghemat pemakaian bahan bakar utama, pemanfaatan gas bio pada insinerator dari penelitian yang ada ternyata dapat juga mengurangi potensi terjadinya pencemaran udara pada proses insinerasi. Aplikasi penangkapan gas bio dari suatu landfill bersasaran ganda, yaitu untuk mengontrol emisi gas-gas yang terbuang dan untuk memanfaatkan biogas yang dihasilkan. Sistem penangkapan gas bio terdiri atas 3 (tiga)jenis, yaitu: sistem horizontal, sistem vertikal, dan sistem gabungan horizontal dan vertikal.

Pengoperasian landfill di TPA

Lahan yang tersedia di sebuah TPA tidak semua dapat digunakan untuk pengurugan atau penimbunan sampah. Prasarana lain perlu

dipertimbangkan seperti : area pengolah lindi, jalan akses dan operasi, jalur hijau/area penyangga, dan sebagainya. Diperkirakan sekitar 20-30 % dari luas lahan yang ada akan terpakai untuk kebutuhan tersebut, di luar kebutuhan untuk pengurugan dan penimbunan. Pengupasan dinding dan dasar lahan jelas akan menambah kapasitasnya di samping akan diperoleh tanah penutup. Namun pengupasan tanah dasar memerlukan kehati-hatian. Beberapa pertimbangan yang membutuhkan observasi lapangan terlebih dahulu guna menentukan seberapa dalam dasar sebuah TPA boleh dikupas, adalah muka air tanah, struktur geologi, dan kemampuan pengelola untuk melaksanakan. Jarak yang dipersyaratkan antara dasar landfill dengan muka air tanah adalah 3,0 meter atau lebih, sehingga memungkinkan adanya zone penyangga dari tanah tersebut andaikata lindi dari sampah di atasnya merembes ke bawah. Lapisan tersebut

harus mempunyai kelulusan minimum sebesar 10-6

cm/detik, sehingga dibutuhkan waktu yang relatif lama bagi lindi tersebut untuk mencapai air tanah. Struktur geologi (litologi) perlu mendapat perhatian.

(9)

Pengupasan yang tidak disertai data lapangan akan mengakibatkan masalah misalnya:

− Terdapatnya lapisan yang sulit untuk dikupas.

− Terdapatnya lapisan yang tidak diinginkan.

Di atas kertas memang tidak ada masalah untuk mengupas lahan rencana sampai kedalaman berapapun, namun kenyataan di lapangan mungkin akan berbeda terutama bila pengelola TPA tidak disiapkan untuk itu, misalnya tidak tersedianya alat berat untuk melaksanakannya. Keuntungan lain yang diperoleh dengan pengupasan dasar adalah tersedianya slope dasar dengan besar dan arah kemiringan yang diinginkan, sehingga memudahkan pengelolaan lindi. Konsekuensinya, pengupasan yang kurang sistematis akan mengubah rancangan dari dasar landfill sehingga dapat menimbulkan masalah dalam mengalirkan lindi.

Ketinggian maksimum timbunan sampah akan menentukan lanskap akhir dari landfill tersebut kelak. Tentunya diinginkan sebuah landfill yang bila telah ditutup akan menyatu dengan lingkungannya serta sesuai dengan fungsinya. Di samping itu. ketinggian maksimurn juga hendaknya mempertimbangkan kemampuan operasi

penimbunan sampah serta kestabilan dari timbunan tersebut. Grading final dari sebuah landfill tidak ditentukan secara sembarang, namun hendaknya dirancang dari awal disesuaikan dengan kondisi lanskap sekitarnya atau kegunaan lahan tersebut setelah pasca operasi.

Oleh karena pengukuran timbulan sampah yang diterapkan di Indonesia adalah dengan. satuan volume (basah), maka pengukuran ini

membutuhkan dibedakannya kepadatan (bulk

density) sampah dalam berbagai keadaan.

Kepadatan sampah pada bak sampah di rumah adalah tidak sama dengan kepadatan sampah di gerobak (yang kadangkala diperpadat dengan penginjakan oleh petugas). Selanjutnya, kepadatan pada alat transportasi akan ditentukan oleh jenis truk dan mekanisme pemadatannya. Demikian pula kepadatan di urugan akan ditentukan oleh aplikasi alat berat serta jenisnya. Secara teoritis, kepadatan sampah di suatu tempat akan tergantung pada ketinggian sampah tersebut. Dengan demikian estimasi kebutuhan site landfilling yang langsung dihitung dari timbulan di sumber akan menghasilkan prakiraan yang berlebihan bila landfill tersebut dioperasikan secara lapis per lapis dan dipadatkan dengan alat berat. Secara praktis kepadatan di urugan dapat dihitung berdasarkan angka 0,60-0,65 ton/m3. Sedang kepadatan sampah di truk

pengangkut sekitar 0,30-0,35 ton/m3.

Ketersediaan tanah penutup memegang peranan sangat penting agar landfilling tersebut dapat beroperasi secara baik. Biasanya sebuah landfill yang dirancang secara baik akhimya menjadi open

dumping akibat masalah tanah penutup yang tidak

diterapkan karena berbagai alasan. Pengamatan di

landfill TPA Sukamiskin pada tahun pertama

aplikasi lahan-urug saniter dengan tanah penutup harian menghasilkan rasio tanah penutup antara 19-31 % dari volume sampah yang masuk (untuk kapasitas operasi 500-1000 m3 per hari). Tambah

tinggi kapasitas operasi, tambah kecil rasio tersebut. Angka tersebut masih terlalu tinggi mengingat di sektor inilah biaya operasi sebuah TPA banyak terserap. Penelitian di pilot skala kecil di TPA Bogor menghasilkan angka sekitar 15-20 %. Angka ini akan mengecil lagi pada lahan urug terkendali yang mengaplikasikan tanah penutup tidak setiap hari [65].

Penanganan sampah yang baik di area

penimbunan akan meningkatkan masa layan lahan. Pembagian lahan menjadi beberapa area kerja akan memudahkan dalam pengelolaan lahan secara keseluruhan, di sarnping dapat mendata jumlah dan jenis sampah yang masuk ke dalam area kerja tersebut. Peranan pengurugan, penyebaran, dan pemadatan sampah secara lapis per lapis akan menambah kepadatan sampah dibandingkan bila dilakukan sekaligus sampai ketinggian tertentu. Di samping itu, aplikasi timbunan sampah semacarn itu akan

memungkinkan berlangsungnya fase aerobik yang lebih larna, sehingga akan mempercepat stabilitas sampah. Penelitian pada timbunan sampah setinggi 2,0 meter yang ditutup tanah penutup setebal 20 cm terungkap bahwa timbunan tersebut akan tetap memungkinkan fase aerobik yang ditandai dengan panas timbunan di sekitar 500C. Konsep timbunan aerobik tersebut sebetulnya dapat pula

dikembangkan lebih jauh misalnya dengan mengatur agar suatu timbunan sampah dibiarkan sampai sekitar 10-15 hari sebelum di atasnya ditimbun sampah baru.

Adanya penurunan permukaan (settlement) timbunan sampah, baik secara mekanis maupun biologis, akan menambah kapasitas lahan sehingga memperlama masa layan. Namun sebaiknya asumsi settlement karena proses biologis tidak diperhitungkan dalam perancangan, karena [65]: - Degradasi yang terjadi belurn tentu diikuti oleh

settlement.

- Andaikata terjadi akan mernbutuhkan waktu

yang sulit diukur, Penelitlan sekala pilot menunjukkan bahwa settlement mekanis maksimum adalah sebesar 15-25% dari tinggi awal, yang terjadi pada minggu pertama. Penurunan ini terjadi akibat konsolidasi sampah. Setelah itu tinggi permukaan landfill relatif stabil.

- Pemadatan sampah di timbunan dengan

mengandalkan alat berat dozer atau loader yang biasa digunakan di TPA Indonesia akan menghasilkan kepadatan timbunan sampai 0,70 ton/m3.

Masalah ketersediaan liner dan tanah penutup merupakan kendala yang berkaitan dengan biaya OM. Tanah penutup antara lain efektif untuk mencegah adanya lalat. Penelitian yang dilaksanakan di Bogor menunjukkan bahwa populasi lalat akan turun dengan sendirinya di timbunan yang telah berumur lebih dari 7 hari. Oleh karena itu, bila dalam sebuah lahan-urug belum dapat mensyaratkan aplikasi tanah penutup harian, maka paling tidak aplikasi tanah penutup

(10)

Berbeda halnya dengan liner, maka tanah penutup disarankan untuk tidak terlalu kedap agar proses penguraian sampah secara aerobik masih bisa berlangsung dengan baik pada sel timbunan teratas. Nilai kelulusan antara 10-4 sampal 10-5

cm/det cukup baik untuk itu. Di samping itu agar tanah penutup tidak retak pada saat panas, maka Indeks Plastisitas (IP) tanah yang baik adalah lebih kecil dari 40%. Bila tidak, maka sebaiknya tanah tersebut dicampur dengan tanah tertentu (seperti pasir) agar memperkecil IP tersebut.

Pemantauan dan Pemanfaatan Lahan

Selama pengoperasian, perlu dilakukan

pemantauan terus menerus, khususnya terhadap kualitas sampah yang masuk, kuantitasi kualitas lindi yang dihasilkan, kualitas lindi hasil pengolahan, kuantitas dan kualitas gasbio dan penyebarannya, kualitas lingkungan lainnya sekitar lokasi TPA, khususnya masalah bau, air tanah dan sumur-sumur penduduk, air sungai, kemungkinan terjadinya longsor, dsb. Pemantauan juga perlu dilaksanakan setela pasca operasi, paling tidak selama 10 tahun terhadap leachate, gasbio dan

settelement.

Lahan TPA setelah pengoperasian akan berupa suatu areal kosong yang cukup luas. Keberadaan area ini dapat difungsikan menjadi berbagai macam kegunaan, diantaranya area rekreasi, taman, lahan penghijauan, lahan pertanian atau perkebunan, fasilitas komersial. Operasi penambangan kembali sampah yang sudah tua dalam urugan (landfill

mining) untuk diolah dijadikan kompos, dan tanah

penutup juga sudah banyak diterapkan sehingga lahannya dapat dijadikan lahan TPA lagi.

9.4 TPA) Sampah Kota di Indonesia [9, 55, 73]

Sampah perkotaan akan tetap merupakan salah satu persoalan yang rumit yang dihadapi oleh pengelola kota dalam menyediakan sarana dan prasarana perkotaannya. Di samping persoalan bagaimana menyingkirkan sampah secara baik agar kota tersebut menjadi bersih dan tidak mengganggu lingkungan, namun pula bagaimana daerah yang kebetulan terpilih untuk lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) tidak mengalami degradasi kualitas lingkungan akibat adanya TPA tersebut. Kegiatan umum yang dilaksanakan di sebuah TPA adalah pengurugan atau penimbunan sampah di lahan yang tersedia.

Untuk mendapatkan lokasi TPA yang cocok dari sudut biaya dan teknis memang terasa makin sulit, namun aplikasi pengurugan sampah ke dalam tanah tersebut agaknya akan tetap merupakan pilihan bagi kota-kota di Indonesia pada masa mendatang. Di samping alasan bahwa landfilling adalah relatif mudah, luwes, dan murah, maka alasan lainnya adalah bahwa cara ini dianggap tuntas dalam menangani sampah.

Masyarakat luas di lndonesia agaknya sampai sekarang masih menganggap sebuah TPA yang

aktivitas utamanya adalah landfilling selalu identik dengan open dumping, sehingga metode yang lebih baik, semacam sanitary landfill akan dicurigai sebagai open dumping. Hal ini tidak mengherankan, karena sampai saat ini masih banyak pengelola persampahan yang menganggap bahwa sebuah TPA hanyalah sekedar tempat untuk menyingkirkan sampah agar kotanya menjadi bersih. Banyak dijumpai bahwa sebuah TPA hanya dioperasikan oleh seorang sopir bulldozer, atau hanya

mengandalkan sopir truk sampah dalam menuang sampahnya. Tidak terdapat rencana pengelolaan lahan yang baik dan sistematis agar TPA tersebut bisa berfungsi dengan baik dan tidak mengganggu Iingkungan. Alasan yang biasa terdengar adalah karena tingginya biaya dari sebuah TPA yang baik. Kontrol terhadap aplikasi inipun masih sangat lemah. Tidak jarang dijumpai, bahwa sebuah TPA sampah kota menerima buangan industri, atau bahkan dari jenis limbah B-3 yang berkatagori

infectious misalnya dari rurnah sakit, yang tentunya

akan dapat mendatangkan dampak yang tidak diinginkan. Sebuah TPA yang telah dirancang dan disiapkan sebagai lahan-urug saniter akan dengan mudah berubah menjadi sebuah open dumping bila pengelola TPA tersebut tidak secara konsekuen menerapkan aturan-aturan yang berlaku. TPA tersebut akan menjadi semrawut, bau, berasap, dan lindinya menyebar ke arah yang tidak diinginkan. Pencemaran sumber air minum penduduk

sekitarnya oleh lindi merupakan salah satu masalah yang paling serius dalam aplikasi pengurugan sampah ke dalam tanah.

Pada awal tahun 1990-an metode transisi yaitu lahan-urug terkendali (controlled landfill) diperkenalkan oleh Dept PU terutama untuk kota-kota kecil dan sedang, antara lain dengan menunda kriteria waktu penutupan harian menjadi 5 – 7 hari sesuai dengan siklus lalat. Tetapi ternyata sampai saat ini metode inipun tetap dianggap mahal oleh pengelola kota atau pengelola persampahan.

Pilihan lain yang saat ini banyak menarik perhatian adalah mengaitkan pengelolaan sampah yang berada di TPA dengan mekanisme pembangunan bersih, atau dikenal sebagai clean mechanisme

development (CDM) yang dikaitkan dengan Kyoto Protocol dalam upaya global mereduksi emisi gas

rumah kaca. Indonesia telah meratifikasi protocol ini sehingga dapat memanfaatkan peluang

‘perdagangan’ karbon yang saling menguntungkan. Prinsip umum dalam CDM adalah, negara-negara industri yang termasuk dalam negara ‘Annex’ dari protokol tersebut mempunyai komitmen

pengurangan emisi CO2 di negara masing-masing. Namun penurunan CO2 berarti akan terkait dengan upaya peningkatan efisiensi industri di negara tersebut atau melalui pengurangan aktivitas ekonomi yang mungkin sulit dilakukan. Oleh karenya, negara berkembang yang meratifikasi protokol tersebut dapat melaksanakan penurunan emisi gas rumah kaca di negaranya, yang dapat ‘dijual’ kepada negara inustri tersebut. Salah satu kegiatan yang dianggap berpotensi dalam upaya tersebut adalah bila gas metan yang dihasilkan di

(11)

sebuah TPA tidak dibiarkan terlepas tanpa kontrol ke udara bebas. Dengan perbaikan TPA dan pemasangan sistem penangkap gas, maka gas bio yang dihasilkan akan dapat diarahkan untuk dimanfaatkan, atau paling tidak melalui

pembakaran sehingga terkonversi menjadi CO2.

Gas CH4 dikenal mempunyai potensi gas rumah

kaca 21 kali dibandingkan CO2. Banyaknya CH4

yang dapat dikonversi menjadi CO2 inilah yang di

‘hargai’ dengan harga tertentu oleh negara pembeli. Tentu saja, proses ini membutuhkan sebuah mekanisme verifikasi yang panjang untuk sampai pada kesepakatan perdagangan CO2 tersebut.

Sampai saat diktat ini ditulis, maka terdapat 4 TPA di Indonesia yang sedang dalam proses kelayakan teknis yang dilaksanakan oleh calon investor masing-masing untuk mendapatkan sertifikat emisi karbon dari PBB, yaitu:

− TPA Suwung di Denpasar: status potensinya

telah terdaftar pada badan dunia (UN-FCCC No. 0938), sehingga menunggu persetujuan metodologi dan verivikasi untuk mendapatkan sertifikat

− TPA Pontianak, TPA Kota Bekasi dan TPA

Palembang: potensinya sedang dalam proses verivikasi secara intensif

Secara finansial, bila ‘perdagangan’ emisi gas rumah kaca ini akhirnya disepakati oleh pembeli, maka untuk setiap ton ekivalen CO2 tersebut akan

mendapatkan kompensasi, yang menurut

perhitungan akan dapat menutup biaya operasional TPA tersebut, disamping adanya keuntungan bagi investor/operator yang melaksanakan kegiatan tersebut sesuai dengan kaidah bisnis komersial biasa.

Gambar

Tabel 9.1: Perbandingan Metode Landfilling  Metode Landfilling
Gambar 9.4: Landfilling dengan baling [62]
Gambar 9.5 : Landfill semi-aerobik [59]
Gambar 9.6 Pengurugan Sampah  Pemilihan Calon Lokasi Pengurugan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih padi varietas Nipponbare sebagai sumber eksplan, bahan untuk kegiatan kultur jaringan dan transformasi, zat pengatur

Banyak projek dan alat-alat dikembangkan oleh akademisi dan profesional dengan menggunakan Arduino, selain itu juga terdapat banyak modul pendukung (sensor, tampilan, penggerak

Hasil analisis pada penelitian yang di uji menggunakan independent t test menunjukkan nilai P value &lt; 0,05 (0,000&lt;0,05) yang berarti Ho ditolak dan Ha

Fitostabilisasi mampu meminimalisir pergerakan polutan (logam berat) dalam sedimen (Susarla et al., 2002).. Mangrove memiliki kemampuan menyerap logam berat dari lingkungan,

[r]

Dengan analisis kemampuan proses multivariat didapatkan hasil bahwa keempat faktor tersebut kapabel (proses dinyatakan baik) dengan nilai kapabilitas proses yang

Robot pengikut garis yang dirancang ini bekerja pada saat sensor membaca garis dan mengirim signal ke komparator sebagai pembanding dan diterima oleh

Prinsip kerja TSM adalah melepaskan serangga jantan yang telah dimandulkan ke alam dengan tujuan supaya terjadi perkawinan antara serangga jantan mandul dengan betina