• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan HAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan HAP"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20-50%. Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan P.aeruginosa atau yang mengalami bakteremia sekunder. Angka kematian pasien pada pneumonia yang dirawat di istalansi perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10x dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3x dibandingkan pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7-9 hari.

Angka kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 – 10 per 1000 kasus yang dirawat. Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi pneumonia dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20 – 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil.

(2)

B. Rumusan Masalah

• Bagaimana mekanisme penularan terjadinya HAP (hospital acquired pneumonia)?

• Bagaimana upaya pencegahan HAP (hospital acquired pneumonia) berdasarkan EBN?

C. Tujuan

• Mengetahui mekanisme penularan terjadinya HAP (hospital acquired pneumonia)

• Mengetahui penanganan yang tepat dan sesuai pada pasien dengan HAP (hospital acquired pneumonia)

• Mengetahui dan mampu menerapkan upaya pencegahan yang sesuai dengan dengan EBN pada pasien dengan HAP (Hospital Acquired Pneumonia) D. Manfaat

Bagi Pembaca :

• Menambah wawasan mengenai HAP (hospital acquired Pneumonia) • Mengetahui tindakan pencegahan pada pasien dengan HAP

Bagi Penulis :

• Menyelesaikan salah satu tugas yang diberikan mengenai HAP (Hospital Acquired Pneumonia)

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pneumonia

Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan dimana alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi infeksi karena bakteri, virus, jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, atau secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker paru atau penggunaan alkohol.

Gejala khas yang berhubungan dengan pneumonia sering kali disertai batuk berdahak, sputum kehijauan atau kuning, demam tinggi yang disertai dengan menggigil. Disertai nafas yang pendek, nyeri dada seperti pada pleuritis , nyeri tajam atau seperti ditusuk, demam,dan sesak nafas. Alat diagnosa meliputi sinar-x dan pemeriksaan sputum. Pengobatan tergantung penyebab dari pneumonia; pneumonia kerena bakteri diobati dengan antibiotika. Pneumonia merupakan penyakit yang umumnya terjadi pada semua kelompok umur, dan menunjukan penyebab kematian pada orang tua dan orang dengan penyakit kronik. Tersedia vaksin tertentu untuk pencegahan terhadap jenis pnuemonia. Prognosis untuk tiap orang berbeda tergantung dari jenis pneumonia, pengobatan yang tepat, ada tidaknya komplikasi dan kesehatan orang tersebut. Orang dengan pneumonia, batuk dapat disertai

(4)

dengan adanya darah, sakit kepala, atau mengeluarkan banyak keringat dan kulit lembab. Gejala lain berupa hilang nafsu makan, kelelahan, kulit menjadi pucat, mual, muntah, nyeri sendi atau otot. Tidak jarang bentuk penyebab pneumonia mempunyai variasi gejala yang lain. Misalnya pneumonia yang disebabkan oleh Legionella dapat menyebabkan nyeri perut dan diare,pneumonia karena tuberkulosis atau Pneumocystis hanya menyebabkan penurunan berat badan dan berkeringat pada malam hari. Pada orang tua manifestasi dari pneumonia mungkin tidak khas. Bayi dengan pneumonia lebih banyak gejala,tetapi pada banyak kasus, mereka hanya tidur atau kehilangan nafsu makan.

B. Hospital Aquired Pneumonia (HAP)

Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal. VAP merupakan bagian dari Hospital Acquired Pneumonia (HAP).

• Etiologi

Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Patogen yang paling banyak menyebabkan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) adalah bacilli gram-negative dan Staphylococcus aureus,terutama organisme yang resisten terhadap obat.

(5)

Secara umum aerobic enteric gram negatif bacillus diperkirakan sampai sepertiga dari semua kuman patogen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pneumonia.Pada pasien yang menggunakan ventilator, resiko terkena kuman gram negatif bacillus diperkirakan sekitar 58 - 83 %, sedangkan gram positif coccus hanya 14 - 38 %, dan anaerob hanya 1 - 3 %.Infeksi poli mikrobial tercatat kejadiannya mencapai 26 - 53 %. Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi.

Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi. Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea.

• Epidemiologi Hospital Acquired Pneumonia

HAP atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP) merupakan infeksi kedua terbanyak di Amerika. Terdapat 300.000 kasus HAP pertahun, dan itu menyebabkan kematian 30 % hingga 70 %. Sulit untuk menentukan pasien dengan HAP yang meninggal karena disebabkan langsung oleh pneumonia yang dideritanya,tetapi diperkirakan kematian yang disebabkan langsung oleh pneumonia antara 27 % hingga 50%. Ini berarti 25 % hingga 50% dari penderita HAP meninggal karena HAP dan sisaya 50% hingga 75% pasien penderita HAP meninggal karena penyakit lain yang dideritanya. HAP memperpanjang masa perawatan di rumah sakit hingga 7 sampai 9 hari, sehingga meningkatkan pula biaya perawatan yang harus dibayar oleh pasien.

(6)

Faktor resiko dari HAP umumnya adalah pasien dengan umur lebih dari 70 tahun, komorbiditas yang serius, malnutrisi, gangguan kesadaran, dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama, dan pasien dengan PPOK.

HAP merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada pasien yang berada di ICU dan jumlahnya hampir 25% dari semua pasien infeksi nosokomial yang ada di ICU, dengan tingkat insiden berkisar antara 6 % hingga 52%. Insiden ini meningkat karena pasien yang berada di ICU sering mendapatkan mekanikal ventilasi, dan pasien yang terpasang mekanikal ventilasi 6 sampai 21 kali lebih beresiko menderita HAP dari pada pasien yang tidak terpasang mekanikal ventilasi. Ventilasi mekanik berhubungan dengan kejadian HAP karena endotracheal tube mengganggu mekanisme pertahanan saluran pernapas bagian atas , sehingga dapat menyebabkan penumpukan atau genangan sekresi orofaringeal, mencegah batuk efektif, dan dapat menyebabkan infeksi. Perkembangan HAP pada pasien dengan ventilasi mekanik menandakan prognosis yang buruk, dengan tingkat kematian 2 sampai 10 kali lebih tinggi daripada kelompok pasien dengan mekanik ventilasi tanpa HAP.

• Patofisiologi

Pada kejadian infeksi saluran pernapasan, setidaknya harus ada satu dari tiga kondisi berikut : pertahanan host terganggu, masuknya organisme ke dalam saluran pernapasan bawah yang jumlahnya cukup untuk menginfeksi dan mengalahkan pertahanan host, atau tingginya jumlah organisme patogen yang ada disekitar.

Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komuniti. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran

(7)

napas bagian bawah. Ada tiga rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu :

1. Aspirasi

Merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis dan usia lanjut. Tidak semua jalan efektif untuk masuknya bakteri sehingga dapat menginfeksi. Jalan yang paling potensial untuk masuknya bakteri patogen ke dalam saluran pernapasan bawah adalah melalui mikroaspirasi dari sedikit sekresi orofaringeal yang sebelumnya sudah terdapat koloni bakteri patogen.

Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia.

Pada pasien yang menderita penyakit sistemik yang parah, kejadian kolonisasi bakteri patogen orofaringeal oleh enteric gram-negative bacilli meningkat hingga 35 % pada pasien dengan keparahan yang sedang dan meningkat 75% pada pasien yang kritis. Kejadian aspirasi meningkat ketika terdapat gangguan pada refleks muntah, gangguan kesadaran, dan ketika adanya penggunaan alat seperti nasogastrik atau endotracheal tubes, atau jika terdapat penyakit esofageal.

(8)

2. Inhalasi

Jalan melalui inhalasi merupakan metode efektif untuk penyebaran Legionella spp., virus terentu, Mycobacterium tuberculosis, dan jamur, serta melalui kontaminasi alat bantu nafas yang digunakan pasien.

3. Hematogenik

Penyebaran melalui darah terutama terjadi pada pasien postoperative dan pada pasien dengan kronik intravenus atau pasien dengan pemasangan kateter pada genito-urinary.

• Faktor Resiko Pneumonia Nosokomial

Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian: 1) Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh

Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme, azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis

2) Faktor eksogen adalah : a. Pembedahan

(9)

Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah (5%).

b. Penggunaan antibiotic

Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.

c. Peralatan terapi pernapasan

Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.

d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral.

Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di

(10)

lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.

e. Lingkungan rumah sakit

- Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur

- Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll.

- Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)  Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir

 Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari.

 Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut.

 Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi • Diagnosa Pneumonia Nosokomial

Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :

1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit

2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :  Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif

(11)

 Ditambah 2 diantara kriteria berikut: - suhu tubuh > 38oC

- sekret purulen - leukositosis

Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS 1. Dirawat di ruang rawat intensif

2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 % untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 %

3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari infiltrat paru

4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau disfungsi organ yaitu :

• Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)

•Memerlukan vasopresor > 4jam

• Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam

• Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialysis

Pemeriksaan yang diperlukan adalah :

1. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasiliti memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara

(12)

semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan ? 106 colony-forming units/ml dari sputum, ? 105 – 106 colony-forming units/ml dari aspirasi endotrracheal tube, ? 104 – 105 colony-forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) , ? 103 colony-forming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102 colony-forming units/ml dari vena kateter sentral . Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10 / lpk.

2. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit

3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal.

• Terapi Antibiotik

Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :

1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat

(13)

2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.

3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.

4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR

5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk

6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.

Tabel 1. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA 2004)

Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan • Streptocoocus pneumoniae • Haemophilus influenzae •Metisilin-sensitif Staphylocoocus aureus Betalaktam + antibetalaktamase (Amoksisilin klavulanat) atau Sefalosporin G3 nonpseudomonal

(14)

•Antibiotik sensitif basil Gram negatif enterik - Escherichia coli - Klebsiella pneumoniae - Enterobacter spp - Proteus spp - Serratia marcescens (Seftriakson, sefotaksim) atau

Kuinolon respirasi (Levofloksasin, Moksifloksasin)

Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS / IDSA 2004).

Patogen potensial Terapi Antibiotik kombinasi • Patogen MDR tanpa atau dengan

patogen pada Tabel 1 Pseudomonas aeruginosa Klebsiella pneumoniae (ESBL) Acinetobacter sp Methicillin resisten Staphylococcus aureus (MRSA) Sefalosporin antipseudomonal (Sefepim, seftasidim, sefpirom)

atau

Karbapenem antipseudomonal (Meropenem, imipenem)

atau

β-laktam / penghambat β laktamase (Piperasilin – tasobaktam)

ditambah

Fluorokuinolon antipseudomonal (Siprofloksasin atau levofloksasin)

atau

Aminoglikosida

(Amikasin, gentamisin atau tobramisin)

(15)

Linesolid atau vankomisin atau teikoplanin

Tabel 3. Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP dan VAP pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada ATS/IDSA 2004) Antibiotik Dosis Sefalosporin antipseudomonal Sefepim Seftasidim 1-2 gr setiap 8 – 12 jam 2 gr setiap 8 jam 1 gr setiap 8 jam Karbapenem Meropenem 1 gr setiap 8 jam

500 mg setiap 6 jam / 1 gr setiap 8 jam βlaktam / penghambat β laktamase 4,5 gr setiap 6 jam Aminoglikosida Gentamisin Tobramisin 7 mg/kg BB/hr 7 mg/kg BB/hr 20 mg/kg BB/hr Kuinolon antipseudomonal Levofloksasin 750 mg setiap hari 400 mg setiap 8 jam Vankomisin 15 mg/kg BB/12 jam Linesolid Teikoplanin 600 mg setiap 12 jam 400 mg / hari

(16)

• Pencegahan Pneumonia Nosokomial

1. Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung

o Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat karena dapat menyebabkan berkembangnya koloni abnormal di orofaring, hal ini akan memudahkan terjadi multi drug resistant (MDR)

o Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk antibiotik parenteral dan topikal menurut beberapa penelitian sangat efektif untuk menurunkan infeksi pneumonia nosokomial, tetapi hal ini masih kontroversi. Mungkin efektif untuk sekelompok pasien misalnya pasien umur muda yang mengalami trauma, penerima donor organ tetapi hal ini masih membutuhkan survailans mikrobiologi

o Pemakaian sukralfat disamping penyekat H2 direkomendasikan karena sangat melindungi tukak lambung tanpa mengganggu pH. Penyekat H2 dapat meningkatkan risiko pneumonia nosokomial tetapi hal ini masih merupakan perdebatan.

o Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan gerakan duodenum misalnya metoklopramid dan sisaprid, dapat pula menurunkan bilirubin dan kolonisasi bakteri di lambung.

o Anjurkan untuk berhenti merokok

(17)

2. Pencegahan aspirasi saluran napas bawah

o Letakkan pasien pada posisi kepala lebih (30-45o) tinggi untuk mencegah aspirasi isi lambung

o Gunakan selang saluran napas yang ada suction subglotis

o Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian refluks gastro esofageal

o Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang masuk ke dalam saluran napas bawah

o Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah sedikit melalui selang makanan ke usus halus

3. Pencegahan inokulasi eksogen

o Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar, untuk menghindari infeksi silang

o Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang digunakan pasien misalnya alat-alat bantu napas, pipa makanan dll

o Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur o Pasien dengan bakteri MDR harus diisolasi

o Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala misalnya selang makanan , jarum infus dll

4. Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien

(18)

o Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya o Mobilisasi sedini mungkin

C. Enternal Feeding

Enternal feeding merupakan pemasukan nutrisi yang lengkap, yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, air, mineral, dan vitamin, yang secara langsung masuk kedalam lambung, duodenum, atau jejunum.

• Kriteria Pasien

Pemberian enternal feeding harus dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami malnutrisi, atau yang beresiko mengalami malnutrisi,namun saluran gastrointestinalnya masih berfungsi dengan baik , tetapi tidak dapat mempertahankan intake makanan yang adekuat secara oral. Walaupun enternal feeding dapat mengatasi malnutrisi, tetap berdampak pada kualitas hidup pasien.

Enternal feeding sebaiknya diberikan kepada:

- Pasien yang memiliki penyakit yang kritis, dimana enternal feeding akan menjaga barier usus dan mengurangi tingkat infeksi dan kematian

- Pasien postoperasi dengan oral intake yang terbatas. Pemberian enternal feeding secara dini setelah pembedahan dapat mengurangi komplikasi dan durasi perawatan di rumah sakit.

- Pasien dengan pangkreasitis yang parah, tanpa komplikasi pseudokista atau fistula. Enternal feeding membantu penyembuhan inflamasi dan mengurangi infeksi.

• Jenis Makanan Enteral

Makanan enteral terdiri dari 2 jenis, yaitu: - Standars enteral feeds:

(19)

Jenis ini terdiri dari karbohidrat,protein, lemak, air, elektrolit, mikronutrien (vitamin dan elemen minor) dan serat yang dibutuhkan oleh pasien yang stabil.

- ‘Predigested’ feeds:

Jenis ini terdiri dari nitrogen sebagai peptida pendek atau asam amino bebas dan bertujuan untuk meningkatkan penyerapan nutrisi pada pasien yang mengalami pancreatic insufficiency atau inflammatory bowel disease. Kandungan seratnya berubah-ubah dan dilengkapi dengan beberapa vitamin K, yang dapat berinteraksi dengan obat lain.

• Komplikasi dari enternal feeding 1. Tube Complication

o Nasogastric tube : menyebabkan ketidaknyamanan nasofaring, erosi hidung, abses, dan sinusitis. Selain itu juga dapat menyebabkan komplikasi akut seperti perforasi faring atau esofagus, insersi intrakranial atau bronkial, meskipun ini jarang terjadi tetapi komplikasi – komplikasi ini dapat berakibat fatal. Penggunaan dalam jangka panjang juga dapat menyebabkan esofagitis, ulserasi dan penyempitan esofagus.

o Percutaneous gastrostomy atau jejunostomy tube: dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan endoskopi pada perforasi usus dan pendarahan dinding abdominal atau intraperotoneal.

o Semua feeding tube seharusnya disiram dengan menggunakan air sebelum dan sesudah digunakan,karena mereka mudah tersumbat. Penyumbatan terkadang dapat diatasi dengan menyiramnya

(20)

menggunakan air hangat atau enzim solution tetapi beberapa tube mungkin membutuhkan penggantian.

2. Infeksi

Kontaminasi bakteri pada enteral feed dapat menyebabkan infeksi yang serius. Penatalaksanaan dan alat alat yang digunakan seharusnya dikeluarkan setiap 24 jam untuk meminimalisir resiko infeksi. Makanan seharusnya tidak tumpah atau keluar dari tube dan peralatan tidak tersentuh langsung oleh tangan.

3. Gastro-esofageal reflux dan aspirasi

Reflux dapat sering terjadi pada enteral feding, terutama pada pasien yang mengalami gangguan kesadaran, memiliki reflek muntah yang lemah dan ketika makan dalam posisi supinasi. Pasien seharusnya ditinggikan setidaknya 30 derajat ketika pemberian makanan dan harus tetap dalam posisi tersebut untuk kira kira selama 30 menit untuk meminimalisasi aspirasi. Post-pyloric tube harus digunakan pada pasien yang tidak sadar yang perlu diposisikan datar. Reflux lebih seperti akumulasi dari residu gastrik. Aspirasi gastrik seharusnya diukur secara teratur dan perubahan feeding regimen atau pemberian prokinetik dapat mengurangi residu atau penumpukan makanan atau cairan pada gastrik.

(21)

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Analisis Jurnal Judul Jurnal:

Is early enteral nutrition a risk factor for gastric

intolerance and pneumonia?

Lidija Kompana,*, Gaj Vidmarb, Alenka Spindler-Vesela, J. Pe&carc aClinical Centre Ljubljana, University of Ljubljana, CIT, Zalo&ska cesta 7, 1000 Ljubljana, Slovenia

bFaculty of Medicine, Institute of Biomedical Informatics, University of Ljubljana, Slovenia cVeterinary Faculty, Surgical Clinic, University of Ljubljana, Slovenia

(22)

Received 27 January 2003; accepted 19 September 2003

Latar belakang jurnal:

Walaupun dalam diagnosis, terapi dan teknik pencegahan mengalami kemajuan, Ventilator associated pneumonia (VAP) tetap menjadi masalah pada pasien perawatan intensive dengan ventilator. Enteral nutrisi (EN) melalui nasogastric tube (NGT) adalah metode pilihan untuk mencegah Hospital Pneumonia dan pemberian makanan untuk beberapa pasien dengan banyak cedera karena Enteral Nutrisi mudah, tetapi Enteral Nutrisi dapat memicu aspirasi pulmonal dan menyebabkan pneumonia karena menderita Upper Digestive Intolerance (UDI).

Laporan hubungan anatara EN dengan perkembangan pneumonia pada pasien dengan ventilator menjadi konflik: Beberapa pengarang melibatkan EN menjadi penyebab utama. EN yang diberikan segera setelah cedera akan menurunkan komplikasi septic dan berbagai macam kegagalan organ, tetapi ini dipercaya untuk membuat lebih banyak masalah intoleransi daripada parenteral feeding karena saluran pencernaan bagian atas menyebabkan paralitik segera setelah trauma atau pembedahan. Pada penelitian sebelumnya, ditemukan sedikit masalah UDI pada pasien dengan berbagai macam cedera yang menerima enteral nutrisi awal. Ini membuktikan bahwa pengukuran UDI dengan peningkatan volume aspirasi gastric yang berhubungan dengan meningkatnya insiden nosokomial pneumoni .

Tujuan jurnal:

Tujuan pertama penelitian ini adalah untuk menentukan apakah pemberian nutrisi intragastic awal pada kelompok pasien dengan berbagai cendera menggunakan ventilator meningkatkan intoleransi. Yang kedua, untuk mengkaji resiko VAP pada pasien nutrisi nasogastric awal dengan pasien yang diberikan enteral nutrisi 24 jam kemudian setelah rawat masuk.

(23)

Subjek penelitian melibatkan beberapa pasien dengan cedera yang banyak dengan menggunakan injury severity score (ISS) lebih dari 20 termasuk pembelajaran prosfektiv. Juga beberapa pasien dengan pemulihan dari shock dalam 6 jam setelah mendapat perawatan ICU dimasukkan ke dalam pembelajaran. APACHE II skore digunakan untuk mengevaluasi fisiologi akut atau kronis. Shock dikaji menggunakan allgower index seperti ratio HR dan tekanan darah sistolik, suhu tubuh di ukur tiap jam, leukosit dihitung setiap hari dan aspirasi trakeal dievaluasi adanya pus.

Pada kedua grup,tujuan pemberian makan adalah untuk mencapai nilai target antara 0,2-0,3 gram N/kg BB/hari dan rata-rata 25 gr non protein kcal/kgBB/hari dalam 72 jam setelah perawatan. EN dimulai dengan rata-rata 30 ml/jam selama 4 jam, kemudian pemberian diberhentikan selama 2 jam dan sebelum jadwal makan kemudian, isi gastric di aspirasi dan jika volumenya kurang dari 200 ml,maka jumlahnya dinaikan 50-100%. Sisa dari aspirasi gastric sedikit, total EN dapat dicapai dalam 2 hari dan pada hari ke 4 kedua grup menerima EN dengan jumlah yang sama. Pada gambaran pertama peningkatan sisa gastric, metoclopramide 10 mg diberikan sebelum periode makan selanjutnya dan volume makan tetap konstan selama periode 4 jam.

Semua pasien pada penelitian ini menerima analgesik narkotik dan dilanjutkan dengan sedasi tapi tidak menerima obat relaksasi otot ketika dalam ventilasi mekanik.

Sedikitnya 2 dari 3 kriteria dijadikan untuk mendiagnosa nosokomial pneumonia: purulent trakeal aspirate (>25 leukosit per high power field) suhu tubuh >38 C dan peningkatan jumlah leukosit 10.000/mm atau lebih.

Untuk mendiagnosa UDI dinilai dari sisa gastric dengan menggunakan syringe 50 ml sebelum dimulai sesi EN, jika melewati 200 ml dalam dua kali atau lebih pengukuran secara berurutan dan/atau ketika terjadi muntah.

(24)

Analisis Statistik : Kelompok di uji dengan menggunakan t-test dan fishers test .

Hasil

Dari tabel 1 menunjukkan jumlah pasien 52 pasien dengan berbagai macam cedera, 27 pasien masuk dalam kelompok EN awal dan 25 pasien dimasukkan dalam kelompok EN tertunda.

Karakteristik pasien : 34 pasien mengalami cedera kepala (20 pasien dikelompokkan dalam EN awal dan 14 pasien dikelompokkan dalam EN tertunda), 25 pasien mengalami truma dada (12 pasien dikelompokkan dalam EN awal dan 13 pasien dikelompokkan dalam EN tertunda) dan 50 pasien mengalami trauma skeletal (25 pasien dikelompokkan dalam EN awal dan 25 paien dikelompokkan dalam EN tertunda).

Semua pasien bertahan dalam treatment di ICU akan tetapi 1 pasien meninggal pada kelompok EN tertunda karena kegagalan organ setelah 16 hari cedera. Tidak ada perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok menurut usia, ISS, APACHE II, lamanya pemasangan ventilator dan lamanya perawatan di ICU. Rata-rata nilai ISS kelompok EN awal lebih rendah dibandingkan dengan kelompok

(25)

EN tertunda (30,1 ± 9,1 VS 35,5 ± 10,9 ,P = 0,06). Dalam perawatan tidak ada pasien yang memiliki riwayat atau tanda – tanda dari malnutrisi. Sejak di ICU,3 pasien di kelompok EN tertunda diberikan treatment katekolamin, tetapi sebelumnya mereka memiliki riwayat VAP.

UDI (upper digestive Intolerance) ditemukan pada 39 pasien (19 pada EN awal dan 20 EN tertunda). Semua pasien yang menderita UDI diberikan metoclopramide dan lamanya UDI pada pasien dengan EN awal rata – rata selama 1,0 ± 0,9 hari sedangkan lamanya UDI pada pasien dengan EN tertunda rata – rata selama 2,2 ± 2,7 hari. Pada hari ke 4, kelompok EN awal menerima jumlah makanan lebih banyak daripada kelompok EN tertunda (1175 ± 485 ml vs 803 ± 545 ml, P= 0.012).

Dua puluh lima (48%) dari 52 pasien mengalami pneumonia: 9 (33%) pada kelompok EN awal dan 16 pasien pada kelompok EN tertunda. Pneumonia ditemukan pada rata-rata 4,1 ± 1,6 hari setelah perawatan; hal ini tidak signifikan berbeda antara dua kelompok. Perbandingan pasien pneumonia dengan pasien tidak pneumonia ditunjukkan pada tabel 2.

Pada tabel 2, penilaian APACHE II tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada kedua kelompok. Pasien dengan pneumonia memiliki usia lebih tua (P=0,021), memiliki nilai ISS lebih tinggi (P= 0,038) dan membutuhkan waktu pemasangan ventilator lebih lama (P= 0,002) dan perawatan di ICU lebih lama daripada pasien yang tidak pneumonia (P= 0,004). Enteral nutrisi diberikan lebih awal pada pasien

(26)

yang tidak pneumonia (P= 0,010) tetapi frekuensi terjadinya gastric residual tidak mengalami perbedaan signifikan antara kedua kelompok.

Pembahasan

Pemberian EN awal memperbaiki tujuan klinis dan mengurangi infeksi pada pasien yang kritis,tetapi sulit untuk diselesaikan.masalah utama pada UDI,manifestasi sisa gastric,muntah dan diare.

Dalam sebuah studi sebelumnya, EN akan diinisiasi dalam 72 jam perawatan,ini membutuhkan waktu cukup lama dan oleh karena itu pula digunakan untuk menentukan hubungan antara pneumonia dan inisiasi EN. Dalam 39 pasien,terapi prokinetik diberikan untuk mendeteksi apakah ada peningkatan volume sisa lambung, bukan untuk memperbaiki pengosongan lambung. Meningkatnya sisa lambung pada semua pasien bukan karena terapi prokinetik akan tetapi karena penurunan volume makanan dan periode istirahat yang membantu menyelesaikan masalah.

Tujuan dalam sudi ini adalah untuk menyelidiki UDI pada pasien yang memulai EN lebih awal dan pada pasien konvensional dengan inisiasi EN lebih dari 24 jam setelah perawatan. Dalam pandangan masa kini bahwa pemberian EN yang segera setelah cedera akan meningkatkan rata – rata masalah intoleransi. Dalam penelitian ini, 27 pasien pada kelompok dengan berbagai cedera diberikan EN 10,3 ± 3,5 jam setelah cedera menunjukkan lebih sedikit masalah intoleransi daripada kelompok EN tertunda.

UDI pada kelompok EN tertunda terjadi mungkin disebabkan gangguan penyerapan setelah pemberian makanan kembali karena konsentrasi intestinal hidrolasi yang rendah.

Pasien yang memiliki faktor resiko sangat penting untuk mengalami pneumonia nosokomial, adalah seperti pemakaian ventilator mekanik yang sangat lama,NGT, dan Enteral feeding. Kami menemukan rata – rata kejadian VAP lebih

(27)

tinggi pada kelompok EN tertunda, ini juga dijelaskan oleh adanya peningkatan rata – rata dari masalah intoleransi pada pasien tersebut.

Perkembangan awal pneumonia, pada rata – rata 4,1 hari setelah perawatan. Observasi ini sesuai dengan hasil pembelajaran multicentre di italia. Dalam pasien yang diduga menderita UDI, terdeteksi rata – rata 1,3 hari setelah perawatan dan tidak berpengaruh pada terjadinya VAP. Dalam sebuah penelitian 153 pasien ICU dengan modalitas ventilasi yang tidak spesifik,volume aspirasi lambung yang tinggi dipertimbangkan sebagai resiko pneumonia nosokomial dalam perawatan di ICU,sedasi dan terapi katekolamin. Faktor yang membedakan anatara pasien yang menderita pneumonia dengan yang tidak meliputi usia yang lebih tua,lamanya penggunaan ventilator mekanik dan lamanya perawatan di ICU dan beberapa cedera yang serius.

Kelompok EN awal menunjukan pneumonia rata – rata lebih rendah daripada yang kelompok EN tertunda,yang berhubungan dengan efek dari enteral feeding yang menguntungkan. Ini membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara insiden komplikasi septic yang lebih rendah pada pasien operasi dan trauma. Akan tetapi itu bertentangan antara kelompok EN awal yang lebih rendah pada nilai ISS dibandingkan dengan EN tertunda,akan tetapi hasilnya tidak signifikan. Namun hubungan yang signifikan antara EN tertunda dengan pneumonia ditetapkan berdasarkan analisis multivariat,control dari usia pasien,ISS,dan durasi dari pemsangan ventilator mekanik dan lamanya dirawat di ICU.

Pada penelitian Ibrahim et al menjelaaskan bahwa EN awal belum di berikan pada pasien di ICU,dan ini bertentangan dengan penelitian ini yaitu dimana alasan yang paling penting dari insiden terjadinya pneumonia nosokomial pada kelompok EN awal adalah jenis makanan yaitu bolus.

Kesimpulannya, EN awal jika diberikan dengan sesuai akan menurunkan daripada meningkatkan kejadian dari pneumonia nosokomial pada pasien dengan berbagai cedera,dan itu berhubungan dengan angka kejadian UDI lebih rendah pada pasien di ICU. Penurunan kejadian ini pada pasien pneumonia dengan berbagai

(28)

cedera telah dilaporkan sebelumnya,dan itu tidak dikaitkan pada kandungan makanan akan tetapi dari hasil inisiasi awal/waktu pemberian EN.

(29)

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

- Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.

- Penyebab HAP oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Yang ditularkan melalui aspirasi, inhalasi, dan hematogenik.

- Pemberian enteral nutrisi dengan cara yang benar pada pasien dengan ventilator dapat menurunkan kejadian nosokomial pneumonia.

4.2 Saran

- Perawat dapat melakukan pencegahan pada HAP (Hospital Acquired Pneumoni)

- Perawat mampu melakukan usaha untuk meminimalisir terjadinya penyebaran HAP (Hospital Acquired Pneumoni)

- Perawat dapat mengidentifikasikan faktor resiko terjadinya HAP (Hospital Acquired Pneumoni)

- Perawat dapat mengedukasikan kepada pasien dan keluarga mengenai pencegahan dan penularan HAP (Hospital Acquired Pneumoni)

(30)

DAFTAR PUSTAKA

• American Thoracic Society. Guidelines for management of adults with community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity,

antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54

• American Thoracic Society. Hospital-acquired pneumonia in adults :

Diagnosis, assessment of severity, initial antimicrobial therapy and preventive strategies. Am J Respir Crit Care Med 1995; 153 : 1711-25

• American Thoracic Society. Official Consensus Statement (1995): Hospital Acquired Pneumonia in adults : Diagnosis, assesment of severity, initial antimicrobial therapy and preventive strategies. Am J Respir Crit Care Med. 153 : 1711-25.

Ranes, J.L., Gordon, S. & Arroliga, A.C. 2010. Cleveland Clinic Center for Continuing Education. Hospital-Acquired, Health Care Associated, and Ventilator-Associated Pneumonia,

(http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/ infectious-disease/health-care-associated-pneumonia/ , diakses tanggal 28 September 2012)

• Willacy, Hayley. 18 Maret 2011. Patient.co.uk Trusted Medical Information and Support. Enteral Feeding, ( http://www.anascava.com/cara-penulisan-daftar-pustaka-dari-internet-buku-artikel-jurnal-koran/ , diakses tanggal 27 September 2012)

(31)

Gambar

Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua  derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen  MDR (mengacu ATS / IDSA 2004).
Tabel 3. Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP dan VAP pada  pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada  ATS/IDSA 2004) Antibiotik Dosis Sefalosporin antipseudomonal  Sefepim  Seftasidim  1-2 gr seti

Referensi

Dokumen terkait

Menganalisis peta (RBI) merupakan tingkatan tersulit dalam menggunakan peta, karena kegiatan itu biasanya memerlukan informasi lain yang ada di luar peta. Jadi

Ekstrak Teh (Camellia Sinensis) Hijau Memperbaiki Profil Lipid Lebih Baik Daripada Ekstrak Teh (Camellia Sinensis) Putih Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Jantan

Hal ini berarti bobot buah per butir galur mutan harapan tomat mempunyai tanggapan berbeda-beda di lingkungan tanam yang berbeda, baik di Kalitirto maupun di

Pada tugas akhir ini, akan dirancang suatu sistem kontrol posisi pada panel surya dengan menggunakan metode FSMC untuk memperoleh sistem pengendali alternatif yang dapat

Pengelolaan toilet berdasarkan standar toilet umum Indonesia yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata adalah sebagai berikut: a. Toilet harus

Lorsque les commerçants parlent les deux langues, ceux qui ont leur boutique au sud de la route nationale parlent le plus souvent le paloor, alors que ceux qui ont des boutiques

Dalam konteks ini, Sistem Hukum Waris Minang kabau : Sebuah Dualitas Hukum antara Matrialinial dan Islam merupakan sebuah ketetapan hukum yang berlaku dimasyarakat dan

Berdasarkan data yang diperoleh pada prestasi kerja karyawan (variabel Y), skor sangat tinggi 1 orang dengan persentase 2,5%, jawaban responden untuk kategori tinggi 5 orang