• Tidak ada hasil yang ditemukan

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK

TERHADAP PASIEN TULI MENDADAK (SUDDEN

DEAFNESS) DI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT

Dr. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT

PERIODE 2014

SKRIPSI

NOVILA TARI

NIM : 1111102000006

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2015

(2)

i

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK

TERHADAP PASIEN TULI MENDADAK (SUDDEN

DEAFNESS) DI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT

Dr. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT

PERIODE 2014

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

NOVILA TARI

1111102000006

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2015

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Nama : Novila Tari Program Studi : Farmasi

Judul : Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Pasien Tuli Mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode 2014

Tuli mendadak (sudden deafness) adalah suatu kegawatdaruratan yang terjadi secara tiba-tiba dan memerlukan penanganan segera. Tuli mendadak biasanya bersifat unilateral. Terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi dimana pasien bernafas dengan pemberian oksigen 100%. Terapi oksigen hiperbarik digunakan dalam terapi tuli mendadak untuk meningkatkan tekanan oksigen parsial dan konsentrasi oksigen dalam telinga bagian dalam dan juga untuk meningkatkan profil darah dan mikrosirkulasi. Penilaian Audiometry dari 54 pasien dilakukan sebelum dan setelah perawatan. Tekanan terapi oksigen hiperbarik 2,5 ATA selama 90 menit. Dalam penelitian ini menunjukkan peningkatan rata-rata mendengar termurah ditemukan pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun sebesar 5,38 ± 5,47 dB. Perubahan tingkat gangguan pendengaran berdasarkan ambang pendengaran perbedaan sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz. Pada perbaikan pendengaran rata-rata sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik dilakukan pada frekuensi 250 Hz sebesar 19,4±14,7 dB, frekuensi 500 Hz sebesar 17,3±14,2 dB, frekuensi 1000 Hz sebesar 16,6±13,4 dB, frekuensi 2000 Hz sebesar 16,7±14,4 dB, frekuensi 4000 Hz sebesar 17,5±12,97 dB dan frekuensi 8000 Hz sebesar 16,6±11,2 dB. . Perubahan tingkat pendengaran menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik secara statistik signifikan dalam meningkatkan fungsi pendengaran penderita tuli mendadak atau tiba-tiba tuli (p≤0,05).

Kata kunci: Terapi oksigen hiperbarik, gangguan pendengaran, tuli mendadak, frekuensi audiometri

(7)

vii

ABSTRACT

Name : Novila Tari Study Program : Pharmacy

Title : The Effect Of Hyperbaric Oxygen Therapy to Patients Sudden Deafness in Naval Hospital Dr Mintohardjo Central Jakarta Period 2014

Sudden deafness is an emergency that occurs suddenly and requires immediate treatment. Sudden deafness is usually unilateral. Hyperbaric oxygen therapy is defined as a treatment in which a patient intermittently breathes 100% oxygen. Hyperbaric oxygen therapy is used in the therapy of sudden deafness to increase the partial oxygen pressure and the oxygen concentration in the inner ear and also to improve the blood profile and the microcirculation. Audiometry assessments of the 54 patients were performed before and after the treatment. Hyperbaric oxygen therapy pressure of 2.5 ATA for 90 minutes. In this study showed an average improvement of hearing lowest was found in patients with age over 65 years amounted to 5.38 ± 5,47 dB. Changes in the level of hearing loss based on the difference hearing threshold before and after hyperbaric oxygen therapy at a frequency of 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz and 8000 Hz. On average hearing improvement before and after hyperbaric oxygen therapy done at a frequency of 250 Hz by 19.4 ± 14.7 dB, a frequency of 500 Hz by 17.3 ± 14.2 dB, frequency of 1000 Hz by16.6 ± 13.4 dB, a frequency of 2000 Hz by 16.7 ± 14.4 dB, frequency at 4000 Hz by 17.5 ± 12.97 dB and a frequency of 8000 Hz by 16.6 ± 11.2 dB. Changes in hearing levels showed that hyperbaric oxygen therapy was statistically significant in improving the function of hearing people with sudden deafness or sudden deafness (p≤0,05).

Keywords: Hyperbaric oxygen therapy, hearing loss, sudden deafness, frequency audiometry

(8)

viii

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia, dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Pasien Tuli Mendadak (Sudden Deafness) di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat periode 2014”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya.

Dalam penyelesaian penelitian dan penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :

1. Drs. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

2. Yardi, Ph.D., Apt selaku Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

3. Dr. Dra. Delina Hasan M. Kes., Apt dan Drs. Fakhren Kasim, MH. Kes., Apt.sebagai dosen pembimbing I dan II yang dengan kesabarannya telah memberikan waktu, ilmu, arahan dan bimbingannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini

4. Kepala Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo, Kepala Bangdiklat dan Kepala Departemen Farmasi, karyawan ruangan rekam medis yang telah membantu saya memperoleh data untuk penyusunan skripsi ini 5. Ayahanda tercinta Hendri Si Sutan Bandaro dan Ibunda tercinta Husnita

yang senantiasa selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan baik moral maupun materi kepada penulis selama ini

6. Adik-adikku tersayang Indah Putri Islami, Salsabila Natasya Putri, Suci Handayani, Ega Fitri Handayani, Debby Tri Handayani, Olivia Reghita Fitri, Atika Stevany Castavina, Muhammad Ridwan Al-Rasyid, Al-Harits, Al-Hafidz, Abdurrahman yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

7. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

ix

8. Teman seperjuangan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo, Dana Yushhiammanti Fitri, Nindya Azhar, Khabatun Nikmah, Athirotin Halawiah, Siti Ulfa Bilqis, atas kebersamaan, motivasi dan bantuan selama penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Teman-teman tersayang yang telah memberikan dukungan Mazaya Fadhila, Firda Khanifah, Nurul Hikmah Tanjung, Dini Fauzana, Fitri Rahmadani, Yulia Nurbaiti Raihana, Denny Arman Siregar, Resky Yuliandari.

10. Teman-teman Farmasi Angkatan 2011 atas segala kebersamaanya, semangat, dan bantuan selama dibangku perkuliahan hingga selesai pengerjaan skripsi ini.

11. Dan kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penulisan skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengaharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Juni 2015

(10)
(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL...

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ABTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... DFTAR ISI... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISTILAH... BAB I PENDAHULUAN... 1.1. Latar Belakang... 1.2. Rumusan Masalah... 1.3. Tujuan Penelitian... 1.3.1. Tujuan Umum... 1.3.2. Tujuan Khusus... 1.4. Manfaat Penelitian... 1.4.1. Secara Teoritis... 1.4.2. Secara Metodologi... 1.4.3. Secara Aplikatif... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian... BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

2.1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran... 2.1.1. Anatomi Pendengaran... 2.1.2. Fisiologi Pendengaran... 2.2. Jenis Gangguan Pendengaran... 2.3. Cara Pemerikaan Pendengaran... 2.4. Ambang Dengar... 2.5. Tuli Mendadak... 2.5.1. Definisi ... 2.5.2. Etiologi ... 2.5.3. Patogenesis... 2.5.4. Gejala Klinis... 2.5.5. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran... 2.5.6. Diagnosa... 2.5.7. Pengobatan... 2.5.8. Evaluasi fungsi pendengaran... 2.5.9. Prognosis... 2.6. Oksigen 2.6.1. Definisi Oksigen... 2.6.2. Komposisi Udara... 2.6.3. Proses Pernafasan... i ii iii iv v vi vii ix x xii xiii xiv xv 1 1 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 8 9 9 12 12 12 13 13 14 15 15 15 16 16 16 16 17 17

(12)

xii

2.7.3. Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik... 2.7.4. Komplikasi... 2.7.5. Klasifikasi Ruang Terapi Oksigen Hiperbarik... 2.7.6. Peralatan Tambahan untuk Ruang Udara Bertekanan Tinggi... 2.7.7. Faktor Pelaksanaan Terapi Oksigen Hiperbarik... 2.7.8. Cara Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik... 2.7.9. Efek Terapi Oksigen Hiperbarik pada Tuli Mendadak

(Sudden Deafness)... 2.7.10. Hiperbarik Center Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta... BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL... 3.1. Kerangka Konsep... 3.2. Definisi Operasional... BAB IV METODOLOGI PENELITIAN... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 4.2. Desain Penelitian... 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian... 4.3.1. Populasi... 4.3.2. Sampel... 4.4. Prosedur Penelitian... 4.4.1. Persiapan (Permohonan Izin Penelitian)... 4.4.2. Pengumpulan Data... 4.4.3. Pengolahan Data... 4.5. Analisa Data... 4.5.1. Rencana Analisis Data... BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 5.1. Hasil... 5.1.1. Sifat Gangguan Pendengaran Pasien Tuli Mendadak... 5.1.2. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Berdasarkan Usia... 5.1.3. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz... 5.2. Pembahasan...

5.2.1. Sifat Gangguan Pendengaran Pasien Tuli Mendadak... 5.2.2.Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Berdasarkan Usia... 5.2.3. Perubahan Tingkat Pendengaran (dB) Setelah Terapi Oksigen

Hiperbarik Pada Frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz... BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...

6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN. ... 25 26 27 28 28 29 30 31 33 33 33 35 35 35 35 35 35 36 36 36 37 37 37 40 40 40 40 41 43 43 43 44 45 45 46 47 51

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Diagnosa Tes Rinne, Tes Webber Dan Tes Schwabach... 11

Tabel 2.2. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran...15

Tabel 2.3. Komposisi udara dan unsur penyusunnya...17

Tabel 2.4. Tekanan parsial oksigen dan karbondioksida... 19

(14)

xiv

Gambar 2.1. Anatomi Telinga... 5 Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 33

(15)

xv

Daftar Lampiran

Lampiran 1. Data audiogram sebelum terapi oksigen hiperbarik... 51

Lampiran 2. Data audiogram setelah terapi oksigen hiperbarik... 52

Lampiran 3. Audiogram sebelum dan setelah terapi oksigen hiperbarik... 53

Lampiran 4. Sifat gangguan pendengaran tuli mendadak... 54

Lampiran 5. Perubahan tingkat pendengaran setelah terapi oksigen hiperbarik berdasarkan usia... 55

(16)

xvi

AD : Ambang Dengar

AC : Air Conduction / Konduksi Udara BC : Bone Conduction / Konduksi Tulang Bilateral : Dua Telinga

dB : Decibell

Hz : Hertz

Unilateral : Satu telinga

dB HL : Decibell Hearing Level dB SL : Decibell Sensation Level dB SPL : Decibell Sound Pressure Level

(17)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tuli mendadak (sudden deafness) adalah gejala menakutkan yang terjadi secara tiba-tiba (Bashiruddin J, 2007) dan disarankan langsung melakukan pengobatan (Stachler RJ et

al., 2012). Walaupun beberapa kepustakaan menyatakan bahwa tuli mendadak dapat pulih

spontan (Arslan N et al., 2011). Biasanya tuli mendadak bersifat unilateral dan kurang dari 2% bersifat bilateral (Topuz, 2010). Kehilangan pendengaran sensorineural secara tiba-tiba mempengaruhi 5 sampai 20 per 100.000 penduduk dengan sekitar 4000 kasus baru per tahun di Amerika Serikat (Stachler RJ et al., 2012).

Berdasarkan hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksanakan di tujuh provinsi di Indonesia menunjukan prevalensi dari tuli mendadak sebanyak 0,2% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Secara global WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 terdapat 250 juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran, 75 sampai 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara, 50% dari gangguan pendengaran ini sebenarnya dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang benar dan deteksi dini dari penyakit (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Menurut Chin-Saeng Cho et al. (2013), 32% sampai 65% dari kasus tuli mendadak dapat sembuh spontan. Prognosis untuk pemulihan tergantung pada sejumlah faktor, termasuk usia pasien, adanya vertigo saat onset, tingkat gangguan pendengaran, konfigurasi audiometri, dan waktu antara onset gangguan pendengaran dan pengobatan (Chin-Saeng Cho

et al., 2013).

Penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada 10-15% kasus (Rauch, 2008) sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebab terjadinya tuli mendadak yang disebut juga dengan idiopatik (Stachler RJ et al., 2012).Terapi yang diberikan untuk pasien tuli mendadak dengan pengobatan konvensional berupa vasodilasator, kortikosteroid, vitamin c dan neurobion. Sejalan dengan perkembangan teknologi, terapi untuk mencapai kesembuhan

(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tuli mendadak pun mengalami perkembangan. Salah satu teknologi yang digunakan untuk membantu mempercepat penyembuhan tuli mendadak adalah terapi oksigen hiperbarik (Bashiruddin J, dkk., 2007).

Terapi oksigen hiperbarik didefinisikan oleh Undersea and Hyperbaric Medical

Society (UHMS) sebagai pengobatan dimana pasien bernafas dengan oksigen 100% di dalam

ruang yang bertekanan tinggi dari tekanan atmosfir normal, yaitu 1 ATA (Atmosfir Absolut). Peningkatan tekanan harus sistemik dan dapat diterapkan dalam monoplace atau multiplace. Ruang multiplace bertekanan udara dengan oksigen diberikan melalui topeng wajah dan tabung endotrakeal, sedangkan ruang monoplace bertekananoksigen (Gill A.L, 2004). Terapi oksigen hiperbarik ini bersifat terapi tambahan untuk tuli mendadak (Bashiruddin J, dkk., 2007).

Sejak tahun 1960, terapi oksigen hiperbarik digunakan untuk perawatan tuli mendadak di Perancis dan German. Terapi oksigen hiperbarik untuk pasien tuli mendadak atau sudden deafness bermanfaat untuk meningkatkan pengiriman oksigen ke dalam jaringan koklea yang sangat sensitif terhadap iskemia. Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas, transportasi oksigen, hemodinamik, mengurangi hipoksia dan edema (Stachler RJ, 2012). Persentasi tingkat pemulihan pada anak-anak 72,4% dan orang dewasa 70,6%. Baik pada anak-anak dan orang dewasa menunjukkan tingkat pemulihan pendengaran secara signifikan. (Na, 2014).

Studi penelitian lain dilakukan pada 17 pasien tuli mendadak dengan jumlah peserta laki-laki 12 orang dan perempuan 5 orang dengan usia rata-rata adalah 35,3 tahun (rentang: 18-68). Dalam ruang hiperbarik, semua pasien bernapas 100% oksigen selama 60 menit dua kali sehari, baik sampai sembuh atau maksimal 30 sesi dimana sebelum dilakukan penelitian peserta diperiksa dengan lima frekuensi. Ditemukan pendengaran pasien di kisaran 61-93 dB pada 12 pasien, sementara 5 pasien di kisaran 41-60 dB. Setelah terapi oksigen hiperbarik, tingkat pendengaran dari 14 pasien berada dalam kisaran 0-26 dB, tingkat pendengaran 2 pasien meningkat menjadi 27-40 dB dan 1 pasien dengan tingkat pendengaran tetap di kisaran 41-60 dB. Tingkat pendengaran rata-rata untuk semua pasien dan untuk semua lima frekuensi dasar adalah 67,8 dB sebelum terapi, dibandingkan dengan 21,6 dB setelah terapi oksigen (Racic G., 2001). Hal ini menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan kemampuan pendengaran pasien tuli mendadak.

(19)

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di Indonesia, salah satu rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi oksigen hiperbarik adalah Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat. Tahun 2014 pasien tuli mendadak (sudden deafness) di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo sebanyak 123 pasien, jumlah ini meningkat dari 106 pasien pada tahun 2013. Pada tahun 2002 dilakukan penelitian tentang terapi oksigen hiperbarik terhadap penderita dengan diagnosa tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo. Pada 34 pasien yang diteliti terdapat 25 pasien yang mengalami perbaikan pendengaran. Penelitian tersebut hanya dilakukan pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz dan 4000 Hz dengan perbaikan pendengaran sebesar 13,7±23,1 dB, 14,1±21,9 dB dan 13,8±20,0 dB (wulandari, 2002). Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai Pengaruh Penggunaan Terapi Oksigen Hiperbarik pada Pasien Tuli Mendadak (Sudden Deafness) di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Periode 2014 dengan frekuensi tambahan 250 Hz, 2000 Hz dan 8000 Hz.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa penyakit tuli mendadak semakin meningkat. Pada tahun 2002, sudah dilakukan penelitian tentang terapi oksigen hiperbarik terhadap penderita dengan diagnosa tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz dan 4000 Hz (Wulandari, 2002). Penelitian ini akan dilakukan dengan penambahan pada frekuensi 250 Hz, 2000 Hz dan 8000 Hz di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi hiperbarik pada pasien tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo pada bulan Januari 2014 hingga Desember 2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi fungsi terapi oksigen hiperbarik terhadap pasien tuli mendadak.

2. Untuk mengetahui apakah ada perbaikan pendengaran setelah terapi oksigen hiperbarik berdasarkan umur.

3. Untuk mengetahui apakah adanya perbaikan pendengaran setelah terapi oksigen hiperbarik pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz.

(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan tentang penggunaan terapi hiperbarik, khususnya bagi pasien tuli mendadak atau sudden

deafness.

1.4.2. Secara Metodologi

Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik.

1.4.3. Secara Aplikatif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan ataupun kebijakan dalam pengobatan tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang berjudul “ Pengaruh Terapi Hiperbarik pada Pasien Tuli Mendadak (sudden deafness) di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode 2014”, membahas tentang penggunaan terapi hiperbarik pada pasien tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat. Data yang diambil berupa data pasien yang menderita penyakit tuli mendadak atau sudden deafness yang dilakukan dengan pendekatan retrospektif dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2015 sampai juni 2015 di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

(21)

5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran 2.1.1. Anantomi Alat Pendengaran

Gambar 1. Anatomi Telinga (Pearce, 2009).

Telinga terdiri dari tiga bagian: a. Telinga luar,

b. Telinga tengah,

c. Teliga dalam, telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu aparat vestibular untuk keseimbangan dan koklea untuk pendengaran.

Telinga luar dan tengah menghantarkan suara ke koklea, yang memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum suara ditransduksi oleh sel rambut menjadi kode neural dalam serat saraf pendengaran. Pada telinga luar terdapat konka yang paling penting secara akustik (Moller, 2006).

a. Telinga Luar

Telinga luar terdiri atas aurikel atau pina, meatus auditorius eksterna yang menghantarkan getaran suara menuju membran timpani.

(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Liang telinga berukuran 2,5 sentimeter, sepertiga luarnya adalah tulang rawan sementara dua pertiga dalamnya berupa tulang. Aurikel berbentuk tidak teratur serta terdiri atas tulang rawan dan jaringan fibrus, kecuali cuping telinga yang terutama terdiri dari lemak (Pearce, 2009).

b. Telinga tengah

Telinga tengah merupakan rongga timpani yang berisi udara. Di dalam tulang tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yaitu tiga tulang kecil yang tersusun seperti rantai bersambung dari membran timpani menuju rongga telinga dalam. Tulang sebelah luar adalah maleus, berbentuk seperti martil. Tulang yang berada di tengah disebut inkus atau landasan. Tulang stapes atau sanggurdi dikaitkan pada inkus dengan ujung yang lebih kecil dan dasarnya terkait pada membran fenestra vestibuli. Tulang-tulang pendengaran ini berfungsi mengalirkan getaran suara dari gendang telinga menuju rongga telinga dalam.

Prosesus mastoideus adalah bagian tulang temporalis yang terletak di belakang telinga, sementara ruang udara yang berada pada bagian atasnya adaah antrum mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah (Pearce, 2009).

Membran timpani memiliki bentuk agak oval dan pada ujung liang telinga berupa selaput tipis. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung bila dilihat dari liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars tensa dan bagian kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak diatas manubrium maleus. Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang berlanjut dari kulit liang telinga. Tuba eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan daerah nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari bagian tulang atau protimpanum yang terletak dekat rngga telinga tengah dan bagian tulang rawan yang membentuk celah tertutup saat berakhir di nasofaring (Moller, 2006).

c. Telinga dalam

Rongga telinga dalam berada dalam bagian os petrosum tulang temporalis. Rongga telinga dalam terdiri atas berbagai rongga yang menyerupai saluran-saluran dalam tulang temporais. Rongga-rongga itu

(23)

7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

disebut labirin tulang dan dilapisi membran sehingga membentuk labirin membranosa (Pearce, 2009).

Telinga dalam labirin terdiri dari koklea dan vestibular. Koklea atau rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari tiga buah kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang berisi cairan, yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media yang berlokasi di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilar. Pada membran basilar ini terdapat organ corti yang mengandung sel rambut (Moller, 2006).

Organ corti terdiri dari beberapa sel penunjang, satu sel indera bagian dalam dan tiga sel indera bagian luar. Sel-sel indera ini berhubungan dengan membran tektoria. Karena getaran pada stapes terjadi gelombang-gelombang yang berjalan ke perpilimfa dan endolimfa. Akibatnya, sel rambut dalam duktus koklearis akan bergerak terhadap membran tektoria. Pergeseran ini akan merangsang sel-sel rambut luar. Secara berirama sel-sel rambut luar akan berkontraksi sehingga pergeseran antara membran tektoria dan membran basal akan diperkuat dan selektivitas frekuensi diperbesar. Akibatnya, timbul depolarisasi pada sinaps sel-sel rambut bagian dalam. Membran basal bekerja menerima nada tinggi pada permulaan dan nada rendah pada dibagian akhir atau helikotrema (Moller, 2006).

Sistem cairan koklea dibagi dengan organ vestibular dan terdiri dari dua sistem, yaitu sistem perilimfatik, dimana komposisi cairan ionik menyerupai carian serebrospinal dan endolimfatik yang sistem cairan menyerupai cairan intraseluler. Dalam koklea ruang endolimfatik dipisahkan dari ruang perilimfatik oleh membran Reissner dan membran basilar. Komposisi cairan ionik perilimfatik berfungsi untuk sel-sel rambut. Ruang cairan perilimfatik dari telinga bagian dalam berkomunikasi dengan cairan serebrospinal dalam rongga tengkorak melalui saluran cair koklea yang menghubungkan ruang perilimfatik dengan ruang cairan kranial. Saluran tersebut memiliki diameter 0,05-0,5 mm. Ruang endolimfatik berkomunikasi dengan kantung endolimfatik melalui saluran

(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

endolimfatik. Kantung endolimfatik merupakan ruang antara dua lapisan dura meter. Kantung tersebut berada di dekat dinding tengkorak yaitu acousticus porus. Ketidakseimbangan tekanan pada ruang tersebut dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan (Moller, 2006).

Peredaran darah di telinga luar dialiri oleh cabang aurikulotemporal arteri temporalis superfisial di bagian anterior dan di bagian posterior disuplai oleh cabang aurikuloposterior arteri karotis eksterna. Kavum timpani disuplai oleh berbagai cabang arteri karotis eksterna (arteri meningea media, arteri faringeal asceden, arteri maksilaris dan arteri stilomastoid). Peredaran darah di telinga dalam disuplai oleh arteri labirin yang berasal dari arteri anterior inferior cerebellar atau arteri basilaris. Arteri labirin merupakan akhir dari arteri yang sedikit atau tanpa suplai darah ke koklea ( Moller, 2006).

2.1.2. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditankgapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea (Bashiruddin J, 2007). Getaran-getaran tersebut selanjutnya diteruskan menuju inkus, stapes dan maleus. Gerakan yang timbul pada setiap tulang akan memperbesar getaran yang kemudian disalurkan melalui fenestra vestibular menuju perilimfa (Pearce, 2009). Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolmifa sehingga menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria (Bashiruddin J, 2007).

Organ corti menumpang pada membran basilaris sel-sel rambut bergerak naik turun sewaktu membran basilaris bergetar. Karena rambut-rambut dari sel reseptor terbenam di dalam membran tektorial yang kaku dan stasioner, rambut-rabut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu membran basilaris menggeser posisinya terhadap membran tektorial. Perubhan bentuk mekanis rambut yang maju-mundur menyebabkan saluran-saluran ion gerbang mekanis pada sel-sel rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini menyebabkan perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang bergantian pada frekuensi yang sama dengan rangsangan suara semula (Lauralee S, 2001).

(25)

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dengan demikian, telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi gerakan-gerakan berosilasi membran basilaris yang membengkokkan pergerakan maju-mundur rambut di sel reseptor. Perubahan bentuk mekanis rambut-rambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan (secara bergantian) saluran di sel reseptor yang menimbulkan perubahan potensial berjenjang di reseptor sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara di terjemakan menjadi sinyal saraf yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara. (Lauralee S, 2001).

2.2. Jenis Gangguan Pendengaran 1. Gangguan pendengaran konduktif

Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda dan tuba auditiva. Gejala yang dialami pada gangguan pendengaran konduktif biasanya berupa adanya cairan yang keluar dari telinga (Bashiruddin J, 2007).

2. Gangguan pendengaran sensorineural

Gangguan pendengaran sensorineural kelainan teradpat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran (Bashiruddin J, 2007).

3. Gangguan pendengaran campuran

Bila gangguan pendengaran atau ketulian konduktif dan sensorineural terjadi bersamaan. Misalnya, radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli kenduktif) (Bashiruddin J, 2007).

2.3. Cara Pemeriksaan Pendengaran

Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni.

(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan di telinga luar dan telinga tengah, seperti atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen, sumbatan tuba eusachius serta radang telinga tengah. Kelainan di telinga tengah menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea (Bashiruddin J, 2007).

Secara fisiologik telinga dapat mendengar nada antara 20-18.000 Hz. Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz. Oleh karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala 512, 1024 dan 2048 Hz. Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan kualitatif. Bila salah saut frekuensi ini tergangu penderita akan sadar adanya gangguan pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala itu, maka diambil 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara bising di sekitarnya (Bashiruddin J, 2007).

Untuk mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai tes Rinne, tes Weber dan tes Schwabach secara bersamaan.

1. Cara pemeriksaan

1. Tes Rinne: tes ini membandingkan antara konduksi melalui tulang dan udara. Garputala digetarkan kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus (dibelakang telinga), setelah tidak mendengar getaran lagi garputala dipindahkan di depan liang telinga, tanyakan penderita apakah masih mendengarnya (J.F Gabriel, 1996).

2. Tes Weber: penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi (Bashiruddin J, 2007).

3. Tes Schwabach: tes ini membandingkan jangka waktu konduksi tulang melalui verteks atau prosesus mastoideus penderita dengan konduksi tulang sipemeriksa (J.F Gabriel, 1996).

(27)

11

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 2.1. Diagnosa Tes Rinne, Tes Weber dan Tes Schwabach (Bashiruddin J, 2007).

Tes Rinne Tes Weber Tes

Schwabach

Diagnosis Positif Tidak ada

lateralisasi Sama dengan pemeriksa Normal Negatif Lateralisasi ke telinga yang sakit Memanjang Tuli konduktif Positif Lateralisasi ke telinga yang sehat Memendek Tuli sensoineural 1. Tes berbisik

Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara kasar. Hal yang perlu diperhatikan adalah ruangan cukup tenang, dengan panjang minimal 6 meter. Pada nilai normal tes berbisik adalah 5/6-6/6 (Bashiruddin J, 2007).

2. Audiometri nada murni

Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian dari audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk memeriksa AC (hantaran udara), bone

conductor untuk memeriksa BC (hantaran tulang).

1. Frekuensi adalah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah getaran per detik dinyatakan dalam Hertz.

2. Intesitas bunyi dinyatakan dalan dB (decibell). Dikenal dengan dB HL (hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound pressure

level). dB HL dan dB SL dasarnya adalah subyektif, dan inilah yang

biasanya digunakan pada audiometer, sedang dB SPL digunakan apabila ingin mngetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara fisika.

3. Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi

(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis baik AC maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian (Bashiruddin J, 2007).

4. Notasi pada audiogram

Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC yang dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis putus-putus (intensitas yang diperiksa 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan telinga kanan warna merah (Bashiruddin J, 2007).

Nilai nol audiometrik (audiometric zero) dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun). Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama. (Bashiruddin J, 2007).

Telinga manusia paling sensitif terhadap bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang besar nilai audiometrik kira-kira 0,0002 dyne/cm2. Pada frekuensi 2000 Hz nilai audiometriknya lebih besar dari 0,0002 dyne/cm2. Pada audiogram angka-angka intensitas dalam dB bukan menyatakan liniar, tetapi merupakan kenaikan logaritmik secara perbandingan (Bashiruddin J, 2007).

2.4. Ambang Dengar (Bashiruddin J, 2007)

AD =

2.5. Tuli Mendadak 2.5.1. Definisi

Tuli mendadak atau sudden deafness adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis ketuliannya adalah sensorineural dan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui. Biasanya terjadi pada satu telinga (Bashiruddin J, 2007).

(29)

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5.2. Etiologi

Menurut Rauch, penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada 10-15% kasus, sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebabnya (idiopatik) (Rauch, 2008). Tuli mendadak juga dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain iskemia koklea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan tekanan atmosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit Meniere dan neuromakustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi adalah iskemia koklea dan infeksi virus (Bashiruddin J, dkk., 2007).

2.5.3. Patogenesis

Ada 4 teori postulasi terjadinya tuli mendadak yaitu infeksi viral labirin, gangguan vaskular labirin, ruptur membran intrakoklear dan penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan autoimun. Namun setiap jalur teori ini belum tentu terjadi pada setiap kasus tuli mendadak atau suden deafness.

1. Infeksi viral labirin

Prevalensi menunjukan 7 -13% pasien yang menderita tuli mendadak sebelumnya menderita infeksi virus (mumps, herpes). Terkadang dapat ditemukannya histopatologi pada telinga bagian dalam yang menunjukan adanya infeksi oleh virus. Gambaran histopatologi ditemukan adanya kerusakan di koklea berupa hilangnya sel–sel rambut dan sel penyokongnya, atrofi membrane tectorial, atrofi stria vascularis, dan hilangnya neuron (Marthur, 2015).

2. Gangguan vaskular labirin

Koklea diperdarahi oleh arteri auditiva interna, dimana pembuluh darah ini merupakan arteri ujung atau end-artery, sehingga bila terjadi gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Gangguan vaskular labirin bisa disebabkan oleh adanya trombus, emboli dan vasospasme yang dapat menyebabkan penurunan suplai darah ke koklea sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan terganggu (iskemia koklea) yang menyebabkan perubahan tekanan oksigen perilimfe (Marthur, 2015).

(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ruptur membran intrakoklear

Membran ini memisahakan telinga tengah dan telinga dalam. Pada koklea membran ini juga memisahkan ruang perilimfe dan endolimfe. Ruptur dari salah satu atau kedua membran ini dapat menyebabkan tuli mendadak. Kebocoran cairan perilimfe ke telinga tengah melalui tingkap lonjong dapat menyebabkan terjadinya tuli mendadak. Ruptur membran intrakoklear menyebabkan bercampurnya cairan perilimfe dan endolimfe sehingga terjadi perubahan potensial endokoklea (Marthur, 2015).

3. Penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan autoimun

Pada sebuah studi terhadap 51 pasien yang mengalami tuli mendadak, ditemukan adanya keterlibatan penyakit autoimun dan tuli mendadak (Marthur, 2015).

2.5.4. Gejala Klinis

Timbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak atau menahun secara tidak jelas. Kadang-kadang bersifat sementara atau berulang dalam serangan, tetapi biasanya menetap. Tuli yang bersifat sementara biasanya tidak berat dan berlangsung lama. Tuli dapat unilateral atau bilateral, dapat disertai dengan tinitus dan vertigo.

Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga, dapat disertai tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala dan tanda penyakit virus seperti, parotis, varisela, variola atau pada anamnesis baru sembuh dari penyakit virus tersebut. Pada pemeriksaan klinis tidak terdapat kelainan telinga (Bashiruddin J, 2007).

(31)

15

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5.5. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran

Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut International Standard

Organization (ISO) dan American Standard Association (ASA)

Tabel 2.2. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran Derajat Gangguan Pendengaran ISO ASA Pendengaran normal 10-25 dB 10-15 dB Ringan 26-40 dB 16-29 dB Sedang 41-55 dB 30-44 dB Sedang Berat 56-70 dB 45-59 dB Berat 71-90 dB 60-79 dB Sangat Berat Lebih 90 dB Lebih 80 dB

2.5.6. Diagnosa

Menurut Guidline American Academy of Otolaryngology-Head and Neck

Surgery, langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan tuli

sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes penala, pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ketulian atau

hearing loss diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural, atau

campuran. Tuli konduktif disebabkan oleh abnormalitas telinga luar, membran timpani, rongga udara telinga tengah, atau tulang pendengaran, struktur yang menghantarkan gelombang suara ke koklea. Sementara itu, tuli sensorineural disebabkan oleh adanya abnormalitas koklea, saraf auditorik, dan struktur lain yang mengolah impuls neural ke korteks auditorik di otak (Stachler R.J et al, 2012).

2.5.7. Pengobatan

1. Vasodilantasia yang cukup kuat misalnya dengan pemberian complamin injeksi disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral tiap hari.

2. Prednison (kortikosteroid) 4x10 mg (2 tablet), tapering off tiap 3 hari 3. Vitamin C 500 mg 1x1 tablet/hari

4. Neurobion (neurotonik) 3x1 tablet/hari 5. Diet rendah garam dan rendah kolestrol

(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5.8. Evaluasi Fungsi Pendengaran

1. Sangat baik, apabila perbaikan lebih dari 30 dB pada 5 frekuensi. 2. Sembuh, apabila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30 dB

pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan dibawah 25 dB pada frekuensi 4000 Hz.

3. Baik, apabila rerata perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi.

4. Tidak ada perbaikan, apabila terdapat perbaikan kurang dari 10 dB pada 5 frekuensi.

2.5.9. Prognosis

Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu; kecepatan pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat tuli saraf dan adanya faktor predisposisi. Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk sembuh, bila sudah lebih 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil. Penyembuhan dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh, hal ini disebabkan oleh karena faktor konstitusi pasien seperti pasien yang pernah mendapat pengbatan obat ototoksik yang cukup lama, pasien diabetes melitus, pasien dengan kadar lemak darah yang tinggi, pasien dengan viskositas darah yang tinggi dan sebagainya, walaupun pengobatan diberikan pada stadium yang dini (Bashiruddin J, 2007).

Pasien yang cepat mendapat pemberian kortikosteroid atau vasodilator mempunyai angka kesembuhan yang lebih tinggi, demikian pula dengan kombinasi pemberian steroid dengan heparinisasi dan karbogen serta steroid dengan obat fibrinolitik. Usia muda mempunyai angka perbaikan yang lebih besar dibandingkan usia tua (Bashiruddin J, 2007).

2.6. Oksigen

2.6.1. Definisi Oksigen

Molekul oksigen adalah salah satu dari komponen utama penyusun udara (Oxtoby et, al. 2007). Menurut Thomas (2005), oksigen ditemukan pertama kali pada awal abad ke-18, tepatnya pada tahun 1773 oleh ilmuwan kimia berkebangsaan Swedia Karl Scheele dan Joseph Priestley yang berkebangsaan Inggris. Oksigen memiliki simbol unsur O dan terletak pada golongan VI A pada

(33)

17

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sistem periodik bersama dengan belerang (S), selenium (Se), telurium (Te), dan polonium (Po). Atom ini termasuk ke dalam unsur non logam dan berwujud gas pada temperatur ruangan. Gas oksigen memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa pada kondisi normal. Sumber utama oksigen bebas di udara merupakan hasil dekomposisi uap air oleh pancaran sinar UV pada lapisan atas atmosfer(Oxtoby et. al, 2007).

2.6.2. Komposisi Udara

Tabel 2.3. Komposisi udara dan unsur-unsur penyusunnya (Oxtoby et. al, 2007)

No. Unsur Penyusun Jumlah (%) 1. Nitrogen (N2) 78,11 2. Oksigen (O2) 21,00 3. Argon (Ar) 0,93 4. Karbondioksida (CO2) 0,03 5. Neon (Ne) 1,82x10-5 6. Helium (he) 5,20x10-6 7. Metana (CH4) 1,50x10 -6 8. Kripton (Kr) 1,10x10-6 9. Hidrogen (H2) 5,00x10 -7 10. Dinitrogen oksida (N2O) 3,00x10 -7 11. Xenon (Xe) 8,70x10-8 2.6.3. Proses Pernafasan

Oksigen dibutuhkan manusia terutama dalam proses pernapasan sehingga dapat menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk aktivitas kerja sel tubuh (Harris, 2007). Jalur oksigen secara normal berasal dari udara bebas yang kemudian masuk melalui saluran pernapasan sehingga dapat digunakan untuk membantu proses metabolisme yang berlangsung di dalam tubuh. Proses pernapasan merupakan proses pertukaran gas yang berasal dari makhluk hidup dengan gas yang ada di lingkungannya. Pernapasan dapat terjadi, baik secara sadar ataupun tidak disadari. Proses masuknya udara dari luar tubuh sampai ke

(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam paru-paru dikenal dengan proses inspirasi, sedangkan proses keluarnya udara dari saluran pernapasan ke luar tubuh disebut proses ekspirasi (Rhoades et.

al, 2009).

Aliran udara yang masuk dan keluar dari paru-paru dikontrol oleh sistem saraf yang menjamin pola dan kecepatan pernapasan manusia secara normal. Proses pernapasan dimulai oleh sekelompok sel saraf pada batang otak yang bertugas sebagai pusat respirasi. Sel-sel ini akan mengirimkan sinyal pada otot diafragma dan otot perut untuk memulai pernapasan. Rata-rata kecepatan pernafasan pada manusia dewasa adalah 12-15 tarikan nafas per menit. Dari sekitar 500 ml setiap kali bernapas atau kira-kira 7 liter/menit udara yang masuk ke dalam paru-paru, sejumlah volume oksigen yang masuk ke dalam tubuh ± 1.47 liter/menit (Rhoades et. al, 2009).

Proses pernapasan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pernapasan eksternal, internal, dan seluler. Pernapasan eksternal adalah pertukaran udara antara darah dan atmosfer. Pernapasan internal adalah pertukaran udara yang terjadi antara darah dan sel-sel tubuh. Dan pernapasan seluler merupakan proses kimia yang terjadi di dalam mitokondria sel-sel (Rhoades et. al, 2009).

Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus, paru-paru, bronkiolus, dan alveolus. Udara pertama kali mengalir masuk melalui rongga hidung dan kemudian mengalami penyaringan dari debu dan kotoran yang ikut masuk karena ada bulu-bulu halus di dalam hidung. Selain berfungsi untuk menyaring kotoran, hidung juga berfungsi untuk memanaskan dan melembabkan udara dengan mengatur suhu udara pernapasan yang masuk. Setelah melewati hidung, udara akan masuk ke faring yang merupakan saluran penghubung antara rongga hidung dan tenggorokan. Selain itu faring berfungsi sebagai katup yang memisahkan antara saluran pernapasan (tenggorokan) dan saluran pencernaan (kerongkongan), jadi pada saat udara masuk katup ini akan menutup jalur saluran pencernaan (Davies et. al, 2003).

Selanjutnya udara yang dihirup masuk ke laring. Pada laring terdapat pita suara sehingga pada saat kita berbicara, bagian ini akan bergetar. Laring merupakan saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan. Setelah itu, udara akan menuju trakea, yaitu bagian yang tersusun atas empat lapisan, antara lain lapisan

(35)

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mukosa, lapisan submukosa, lapisan tulang rawan, dan lapisan adventitia. Trakea memiliki panjang ± 11.5 cm dengan diameter 2.4 cm. Trakea bercabang menjadi dua bronkus yang masing-masing menuju paru-paru kanan dan kiri. Di dalam paru-paru, bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus. Pada ujung-ujung bronkiolus terdapat sekumpulan kantong udara yang disebut alveolus. Di sekitar alveoulus terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah. Pada bagian ini memungkinkan terjadinya difusi antara udara alveolus dan udara pada kapiler-kapiler pembuluh darah. Bronkus, bronkiolus, dan alveolus membentuk satu struktur yang disebut paru-paru (Davies et. al, 2003).

Tempat proses pernapasan di dalam tubuh terjadi di bagian alveolus paru-paru, dimana terjadinya pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida yang akan diangkut dari dan ke dalam sel-sel tubuh. Pertukaran gas tersebut terjadi di dalam paru-paru dan jaringan tubuh secara difusi pasif karena adanya perbedaan tekanan. Pada dasarnya gas akan berdifusi dari bagian yag bertekanan parsial tinggi ke bagian yang bertekanan parsial rendah (Levitzky, 2003).

Tabel 2.4. Tekanan parsial oksigen dan karbondioksida (Levitzky, 2003).

Tempat Tekanan Parsial O2 (mmHg) Tekanan Parsial CO2 (mmHg) Atmosfer 160 0,2 Alveoli 104 40 Darah kaya O2 104 40 Darah miskin O2 40 45 Jaringan tubuh 40 45

Ketika darah berada di pembuluh kapiler, karbon dioksida akan berdifusi dari darah menuju udara di alveoli. Sebaliknya, oksigen akan berdifusi dari alveoli ke dalam darah. Pada saat meninggalkan paru-paru, darah yang kaya O2 memiliki

PaO2 yang tinggi dan PaCO2 yang rendah dibandingkan sebelum masuk

paru-paru. Setelah melewati jantung, darah tersebut akan dipompa melalui peredaran darah sistemik. Di dalam kapiler peredaran darah sistemik, perbedaan tekanan parsial menyebabkan terjadinya difusi oksigen dari darah menuju sel tubuh. Pada

(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

saat bersamaan, CO2 akan berdifusi dari sel-sel jaringan menuju darah. Setelah

melepas O2 dan mengangkut CO2, darah akan kembali ke jantung (Levitzky,

2003).

Sistem sirkulasi darah manusia termasuk ke dalam sistem peredaran darah tertutup dan ganda. Sistem sirkulasi tertutup artinya peredaran darah di dalam tubuh selalu berada di dalam pembuluh, sedangkan ganda berarti darah setiap bersirkulasi ke seluruh tubuh melewati jantung sebanyak dua kali. Sistem sirkulasi darah ganda terbagi menjadi dua jalur, yaitu sistem peredaran darah pulmonalis dan peredaran darah sistemik. Organ tubuh yang terlibat di dalam sistem peredaran darah secara umum adalah jantung, pembuluh darah, dan darah (Rhoades et. al, 2009).

Sistem peredaran darah pulmonalis terdiri dari pembuluh nadi (arteri) dan pembuluh balik (vena) yang mendistribusikan darah dari jantung ke paru-paru dan berlaku pula sebaliknya. Sistem ini diawali dari bilik (ventrikel) kanan jantung dan berakhir pada serambi (atrium) kiri jantung. Darah yang kaya oksigen yang berasal dari proses respirasi di dalam paru-paru akan didistribusikan melalui lintasan pulmonalis oleh pembuluh vena paru-paru menuju serambi kiri jantung, diteruskan ke bilik kiri, dan selanjutnya akan memasuki jalur sistemik (Johnson

et. al, 2003).

Pada jalur sistemik darah yang kaya O2 akan dipompa menuju seluruh

organ dan jaringan tubuh melalui aorta, arteri, arteriol, dan pembuluh darah kapiler. Selanjutnya darah yang telah menyalurkan oksigen ke seluruh jaringan tubuh, kemudian akan membawa karbon dioksida yang merupakan hasil sampingan proses metabolisme yang berlangsung di dalam sel untuk dibuang keluar tubuh. Darah yang kaya CO2 tersebut akan dibawa melalui pembuluh vena

sistemik menuju serambi kanan jantung, diteruskan ke bilik kanan jantung lalu menuju jalur pulmonalis kembali (Johnson et. al, 2003).

Bagian darah yang bertanggung jawab terhadap proses pengangkutan oksigen adalah sel darah merah (eritrosit). Hemoglobin merupakan protein utama pengangkut oksigen dan karbon dioksida di dalam sel darah merah. hemoglobin yang telah 100% jenuh dengan oksigen mampu mengikat 1.34 ml oksigen per

(37)

21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gram hemoglobin. Apabila di dalam 100 ml darah terdapat 15 gram hemoglobin berarti kandungan oksigen di dalamnya sebesar 20.1 ml/dl darah. Pada paru-paru tekanan parsial oksigen tinggi (90-100 mmHg) dan pH relatif tinggi sekitar 7.6, hemoglobin cenderung jenuh maksimum dengan oksigen.

Pembuluh kapiler Sel darah juga berfungsi untuk mengangkut gas CO2

yang terbentuk sebagai hasil akhir metabolisme dari dalam jaringan menuju ke luar tubuh. Secara keseluruhan, sekitar dua per tiga total kandungan CO2 berada di

dalam plasma dan hanya sepertiganya yang berada di dalam sel darah merah. Akan tetapi hampir semua CO2 darah harus masuk dan keluar sel darah merah

selama pengangkutan CO2 dari jaringan ke paruparu. Sejumlah 72% karbon

dioksida dalam tubuh manusia larut dalam plasma darah dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-) dan 8% lainnya dalam bentuk molekul karbondioksida.

Sisanya sebesar 20% diikat oleh hemoglobin dalam bentuk carbaminohemoglobin (Bain, 2006).

2.7. Terapi Oksigen Hiperbarik

Pengobatan oksigenasi hiperbarik sudah sejak abad ke-16 digunakan sebagai salah satu metode untuk menyembuhkan penyakit dan pengobatan. Tepatnya, di Inggris tahun 1662 oleh Henshaw, Ruang Udara Bertekanan Tinggi (Hyperbaric Chamber) digunakan untuk mengobati beberapa penyakit kulit dan rickets. Di Perancis tahun 1834 dr. Junot menyatakan adalnya penyembuhan bermana pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner yang diobati oleh hiperbarik. Sedangkan pada awal tahun 1900 di Inggris dr. John Haldane, berhasil menemukan tabel rekompresi dan penyelaman, sampai sekarang tabel rekompresi ini masih dipakai dalam pelayanan pengobatan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Pengobatan hiperbarik semakin berkembang pesat tahun 1956, dr. I. Boereina dari Belanda, melaporkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan jantung paru yang dilakukan dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT). Indonesia juga telah sejak lama ikut berperan dalam penggunaan pengobatan hiperbarik. Tepatnya tahun 1960, pengobatan hiperbarik mulai digunakan oleh

(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

TNI AL yang selanjutnya dikembangkan di Tanjung Pinang, Jakarta, Ambom dan Lakesla Surabaya, yang digunakan untuk menangani kasus-kasus cedera penyelaman seperti keracunan gas-gas pernapasan dan penyakit dekompresi (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Terapi oksigen hiperbarik pertama kali digunakan oleh Behnke pada tahun 1930 untuk menghilangkan simptom penyakit dekompresi (Caisson’s disease) setelah menyelam. Penyakit dekompresi adalah penyakit yang terjadi karena perubahan tekanan, misalnya saat menyelam atau naik pesawat terbang, yakni terjadi pelepasan dan mengembangnya gelembung gas dalam organ. Jika kita kembali ke tekanan awal, maka akan terjadi perubahan tekanan yang dapat mengganggu fungsi beberapa organ tubuh atau penyakit dekompresi (Sourabh B

et. al, 2012).

Kondisi ruang terapi oksigen hiperbarik harus memiliki tekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini daoat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau dalam ruang udara yang bertekanan tinggi yang dirancang baik untuk kasus penyelaman maupun pngobatan klinis. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki (10 meter), tekanan akan naik 1 atm. Tiap terapi diberikan 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml oksigen terlarut dalam 100 ml plasma, dan durasi rata-rata terapi sekitar 60-90 menit. Dosis yang digunakan pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman untuk pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan di atas 2,5 ATA mempunyai efek imunosupresif (Ali S et. al, 2014).

Disamping sebagai terapi untuk penyakit akibat penyelaman, saat ini hiperbarik juga telah digunakan di Indonesia sebagai pengobatan dalam terapi untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit klinis, seperti penyembuhan luka infeksi, luka bakar, membantu penyembuhan komplikasi diabetes melitus, serta untuk kesehatan dan kebugaran, terutama untuk pasien lanjut usia (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Dalam perkembangan di Indonesia, saat ini telah terdapat organisasi profesi berupa perhimpunan dokter spesialis dan perhimpunan seminat dalam

(39)

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

bidang hiperbarik, yaitu Perhimpunan Kedokteran Kelautan (PERDOKLA) dan Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia (PKHI). Organisasi diatas bekerja sama secara erat dengan Rumah Sakit Angkatan Laut dan Lembaga Kesehatan Angkatan Laut untuk melaksanakan pelayanan, pendidikan dan penelitian, pembinaan serta pengembangan hiperbarik sebagai pengobatan utama dan pengobatan tambahan dalam penyelenggaraan pelayanan medik di saarana pelayanan kesehatan di Indonesia (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Beberapa rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi oksigen hiperbarik adalah :

1. RSAL Dr. Ramelan, Surabaya 2. RS PT Arun, Aceh

3. RS AL Dr. Midiyato S, Tanjung Pinang 4. RS AL Dr. Mintohardjo, Jakarta

5. RS Pertamina, Cilacap 6. RS Pertamina, Balikpapan 7. RS Gunung Wenang, Manado 8. RSU Makasar

9. RS AL Halong, Ambon 10. RS Petromer, Sorong

11. RS Bethsaida, Serpong Tangerang

2.7.1. Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik

Terapi oksigen hiperbarik didefinisikan oleh Undersea and Hyperbaric

Medical Society (UHMS) sebagai pengobatan dimana pasien bernafas dengan

oksigen 100% dalam suatu ruangan yang bertekanan yang lebih besar dari 1 ATA (Gill A.L, 2004).

2.7.2. Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik

Indikasi mengacu pada lingkup dan standar untuk penggunaan yang sesuai dengan terapi oksigen hiperbarik. Di Cina indikasi dari terapi oksigen hiperbarik awalnya dirilis pada tahun 1982. Dengan praktek dan pengakuan CMA

(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Chinese Medical Association) merevisi indikasi yang direkomendasikan pada tahun 2004 untuk memasukkan 12 indikasi darurat dan indikasi non-darurat.

Indikasi darurat adalah penyakit di mana terapi oksigen hiperbarik harus diberikan sesegera mungkin. Berikut ini adalah indikasi darurat (Yan, 2015):

1. Karbon monoksida keracunan akut dan keracunan gas berbahaya lainnya; 2. Gangren gas, tetanus dan infeksi bakteri anaerob lainnya;

3. Penyakit dekompresi; 4. Sindrom emboli udara;

5. Setelah resusitasi cardiopulmonary (CPR) karena berbagai risiko disfungsi otak akut;

6. Bantuan dalam pengobatan syok; 7. Edema otak;

8. Edema paru (kecuali edema paru jantung); 9. Crush injure;

10. Suplai darah setelah transplantasi kulit; 11. Keracunan obat dan kimia;

12. Acute ischemia anoxic encephalopathy

Selain itu, indikasi non-darurat yang disetujui untuk digunakan: (1) keracunan karbon monoksida atau ensefalopati beracun lainnya; (2) tuli mendadak; (3) penyakit iskemik serebrovaskular (cerebral arterioclerosis,

transient ischemic attack, trombosis serebral, infark serebral); (4) craniocerebral injury (gegar otak, memar otak dari operasi pengangkatan hematoma intrakranial,

cedera batang otak); (5) pemulihan pendarahan otak; (6) fraktur penyembuhan; (7) serosa sentral peradangan retina; (8) keadaan vegetatif; (9) sindrom insufisiensi adaptasi dataran tinggi; (10) cedera saraf perifer; (11) intrakranial operasi tumor jinak; (12) penyakit periodontal; (13) ensefalitis virus; (14) kelumpuhan wajah; (15) osteomyelitis; (16) osteonekrosis aseptik; (17) cerebral palsy; (18) keterlambatan perkembangan janin; (19) diabetes dan kaki diabetik; (20) penyakit jantung koroner aterosklerotik (angina dan infark miokard); (21) kecepatan aritmia (fibrilasi atrium, denyut prematur, takikardia); (22) miokarditis; (23) penyakit pembuluh darah perifer, vaskulitis, misalnya, trombosis vena dalam, Raynaud; (24) vertigo; (25) ulkus kulit kronis (hambatan suplai darah arteri,

(41)

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kongesti vena, luka baring); (26) cedera tulang belakang; (27) ulkus peptikum; (28) kolitis ulserativa; (29) hepatitis menular (Menggunakan ruang khusus penyakit menular); (30) luka bakar; (31) radang dingin; (32) operasi plastik; (33) pencangkokan kulit; (34) cedera olahraga; (35) kerusakan radioaktif (tulang dan jaringan lunak, sistitis, dll); (36) tumor ganas (dengan radioterapi atau kemoterapi); (37) cedera saraf otic; (38) sindrom kelelahan; (39) angioneurotic

headache ; (40) pustular; (41) psoriasis; (42) pityriasisrosea; (43) multiple sclerosis; (44) sindrom Guillain Barre akut; (45) ulkus mulut berulang; (46) ileus

paralitik; (47) asma bronkial; dan (48) sindrom gangguan pernapasan akut (Yan, 2015).

2.7.3. Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik

CMA (Chinese Medical Association) menerbitkan kontraindikasi dar pengobatan oksigen hiperbarik pada tahun 2004, yang meliputi 4 kontraindikasi absolut dan 10 kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut adalah mereka di mana penggunaan terapi oksigen hiperbarik dilarang jika pasien disertai dengan berikut:

1. Pneumotoraks yang tidak diobati, pneumomediastinum diobati; 2. Pulmonarry bulla;

3. Perdarahan aktif dan penyakit hemoragik; atau 4. Pembentukan rongga TB dan hemoptisis.

Kontraindikasi relatif mengacu pada kondisi dimana penggunaan terapi oksigen hiperbarik pada pasien perlu diperhatikan dan mungkin dapat menyebabkan efek samping yang meningkatkan ketidaknyamanan atau komplikasi.

Terapi oksigen hiperbarik harus digunakan dengan hati-hati jika pasien memiliki salah satu kondisi berikut:

1. Infeksi saluran pernapasan atas yang parah; 2. Emfisema berat;

3. Penyakit bronkiektasis; 4. Infeksi sinus;

(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Tekanan darah tinggi (> 160/100 mmHg); 7. Bradikardia (<50 kali / menit);

8. Tumor ganas yang tidak diobati; 9. Ablasi retina;

10. Tahap awal kehamilan (3 bulan).

Pada tahun 2013, kontraindikasi baru untuk terapi oksigen hiperbarik dirilis oleh CMA (Chinese Medical Association). Kontraindikasi baru termasuk kontraindikasi mutlak dan kontraindikasi relatif. Satu-satunya kontraindikasi mutlak yaitu ketegangan pneumotoraks tanpa pengobatan.

Kontraindikasi relatif sebagai berikut: 1. Intraventricular external drainage;

2. Fraktur dasar tengkorak dengan kebocoran cairan serebrospinal; 3. Berat lahir <2000 gram pada prematur dan bayi lahir rendah berat; 4. Infeksi serius dari saluran pernapasan atas:

5. Tekanan darah tinggi (SBP> 180 mmHg, DBP> 110 mmHg;

6. Pasien dengan obstruktif kronik penyakit paru dengan retensi karbondioksida (Yan, 2015).

2.7.4. Komplikasi

Meskipun terapi oksigen hiperbarik memiliki aplikasi luas, komplikasi dalam penggunaan dapat terjadi. Dalam terapi oksigen hiperbarik, terdapat masalah pemerataan tekanan yang dominan mempengaruhi telinga tengah dan sinus hidung yang menyebabkan lesi barotraumatik. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan untuk menganalisa efek samping dari terapi oksigen hiperbarik, dilaporkan adanya toksisitas oksigen dan gangguan mata. Pada pasien yang dirawat secara rutin dengan terapi oksigen hiperbarik, dimana oksigen diberikan melalui masker wajah yang memiliki risiko toksisitas oksigen tiga kali lipat lebih besar dari biasanya. Tapi hasil komplikasi yang diamati berupa sementara (Devaraj, 2014).

(43)

27

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.7.5. Klasifikasi Ruang Terapi Oksigen Hiperbarik

1. Ruang Udara Bertekanan Tinggi/RUBT (Hyperbaric Chamber)

Ruang Udara Bertekanan Tinggi merupakan fasilitas utama yang dibutuhkan dalam pelayanan medik hiperbarik. Yang terpenting dalam mekanisme RUBT adalah adanya tekanan, maka oksigen di dalamnya memberikan tekanan yang lebih tinggi dari permukaan air laut. Ukuran, bentuk dan kapasitas tekan da RUBT sangat bervariasi (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Pembagian tipe RUBT adalah sebagai berikut: 1. RUBT ruang tunggal (monoplace)

Merupakan tipe RUBT yang sering digunakan. Pasien dapat dipindahkan ke dalam RUBT dengan oksigen yang diisi sesuai dengan tekanan, yaitu lebih dari 3 ATA. Digunakan untuk penanganan pasien individu, kasus infeksi dan perawatan intensif. Kelebihannya adalah mudah dioperasikan, mudah untuk ditempatkan, tidak membutuuhkan masker muka, mudah untuk mengobservasi pasien, serta hanya membutuhkan sedikit tenaga operator.

2. RUBT ruang ganda (multiplace)

Digunakan untuk pengobatan bersama beberapa pasien, dimana pasien bernafas melalui masker yang menutupi mulut dan hidung.

3. RUBT pengangkut (mobile/portable)

RUBT yang dapat dipindahkan dan bergerak kemana saja dibutuhkan, dapat langsung berfungsi di lokasi, bahkan di tempat parkir rumah sakit. Tipe ini sangat ideal untuk mendukung operasi militer dan dapat difungsikan sebaga rumah sakit di medan tempur serta dapat digunakan untuk mendukung penelitian dan terapi.

4. RUBT untuk testing dan latihan penyelam

Digunakan untuk melakukan uji coba terhadap penyelam, dimana ruangan tersebut disimulasikan sesuai dengan kedalaman penyelaman. 5. Small hyperbaric chamber

Digunakan untuk neonatus dan hewan percobaan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.7.6. Peralatan Tambahan untuk Ruang Udara Bertekanan Tinggi 1. Masker oksigen

2. Respirator dan ventilator 3. Peralatan untuk terapi, yaitu:

a. Peralatan resusitasi jantung dan paru b. Tabung endotrakeal

c. Suction

d. Peralatan infus 4. Peralatan diagnostik

a. Alat diagnostik kedokteran b. Alat monitor transkutan oksigen c. EKG

d. EEG

e. Alat ukur gas darah

f. Alat monitor tekanan intra kranial

5. Alat neurologi, yaitu optalmoskop dan dynamometer untuk mengukur spastisitas

6. Alat latihan, yaitu treadmill

Alat terapi, yaitu traksi servikal untuk luka cervical spine (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

2.7.7. Faktor Pelaksanaan Terapi Oksigen Hiperbarik

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan terapi oksigen hiperbarik:

1. Untuk kasus elektif diperhitungkan jumlah pasien minimal 6 orang

2. Untuk kasus emergensi tidak diperhitungkan jumlah minimal pasien dan pelaksanaanya 24 jam kerja

3. Untuk pasien yang tabel pengobatannya dosis terapi hiperbariknya sama disatukan dalam satu sesi terapi

4. Kasus lama dan baru: pasien yang baru pertama kali mengikuti terapi oksigen hiperbarik, dokter harus mengawasi apakah dia tahan terhadap perubahan tekanan (pressure test) serta apakah tanda-tanda keracunan oksigen (oxygen tolerance test)

(45)

29

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Faktor resiko penularan penyakit 1. Pemisahan masker yang dipakai 2. Sterilisasi masker

3. Masuk di RUBT yang lebih intensif

4. Luka yang berbau tidak dicampur dengan kasus penyakit lain

Apabila terapi oksigen hiperbarik dilaksanakan dengan RUBT ruang tunggal, maka poin a sampai 3 tidak dipertimbangkan.

6. Bagi pasien yang akan terbang sesudah pengobatan hiperbarik, penerbangan dilakukan dalam jangka waktu 72 jam setelah pengobatan terakhir

7. Bagi pasien dengan pengobatan hiperbarik untuk program kebugaran, penerbangan bileh dilakukan dalam janga waktu 4-6 jam setelah pengobatan terakhir

8. Bagi pasien penyakit dekompresi dan atau arterial gas emboli, diijinkan terbang setelah pengobatan hiperbarik dalam jangka 1-2 minggu setelah pengobatan terakhir untuk pasien yang tidk sadar, perlu dilakukan timpanoplasti oleh dokter spesialis THT atau dokter sepisalis kelautan dan dokter hiperbarik yang pernah mengikuti pelatihan timpanoplasti (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

2.7.8. Cara Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik

Efek yang disebabkan oleh oksigen hiperbarik pada tubuh dapat dibagi menjadi efek utama seperti peningkatan tekanan oksigen dan difusi dalam jaringan. Efek sekunder seperti vasokonstriksi, angiogenesis, proliferasi fibroblast dan meningkatkan pembunuhan leukosit oksidatif.

Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas yang terlarut dalam cairan atau jaringan sebanding dengan tekanan parsial gas yang bersentuhan dengan cairan atau jaringan. Dalam terapi oksigen hiperbarik, jumlah peningkatan oksigen yang dipasok, meningkatkan tekanan oksigen dalam jaringan, sehingga menjelaskan efek hiperoksia di jaringan hipoksia (Devaraj, 2014).

Ketika tekanan oksigen menurun, terjadi pengaktifan neutrofil. Neutrofil yang diaktifkan mengkonsumsi sejumlah besar oksigen, menyebabkan penurunan kadar oksigen lebih lanjut dalam jaringan hipoksia. Tingkat oksigen yang sangat

Gambar

Gambar 2.1.  Anatomi Telinga.....................................................................
Gambar 1. Anatomi Telinga (Pearce, 2009).
Tabel 2.1. Diagnosa Tes Rinne, Tes Weber dan Tes Schwabach  (Bashiruddin J, 2007).
Tabel 2.2. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran  Derajat Gangguan  Pendengaran  ISO  ASA  Pendengaran normal  10-25 dB  10-15 dB  Ringan  26-40 dB  16-29 dB  Sedang  41-55 dB  30-44 dB  Sedang Berat  56-70 dB  45-59 dB  Berat  71-90 dB  60-79 dB
+4

Referensi

Dokumen terkait

1) Mengikuti pelatihan petugas Listing SE2016. 2) Turut berpartisipasi dalam mensosialisasikan kegiatan SE2016. 3) Memberikan penjelasan tentang maksud, tujuan dan manfaat

Dengan ini Kelompok Kerja Bidang Barang Dan Jasa Lainnya mengumumkan hasil pelelangan untuk pekerjaan tersebut diatas sebagai

Pendidikan karakter diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi personal dan sosial sehingga menjadi warga negara yang baik (good care

Dari hasil penelitian yang penulis dapatkan, maka penulis menyimpulkan bahwa masyarakat kelurahan Ciater khususnya pasangan suami isteri yang melakukan variasi oral

Pelaksanaan Pentas Seni, Budaya dan Pagelaran Hiburan Rakyat Belanja Perlengkapan dan Peralatan Kantor / Sewa Sound System Tim Kesenian Pekan Budaya Dayak.. JB: Barang/jasa JP:

melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.... 9 Pilar

[r]

[r]