• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intan Baiduri Siregar 1 Haris Retno Susmiyati 2 Hairan 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Intan Baiduri Siregar 1 Haris Retno Susmiyati 2 Hairan 3"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 9 (2014)

http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2014

UPAYA PENEGAKAN HUKUM KEPEMILIKAN TANAH PERTANIAN

KERING YANG MELAMPAUI BATAS MAKSIMUM DI DAERAH

SANGAT PADAT PENDUDUK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 56 Prp TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH

PERTANIAN( Studi di Kelurahan Mugirejo Kecamatan Samarinda

Utara Kota Samarinda )

Intan Baiduri Siregar

1

(

baiduri_siregar@yahoo.co.id

)

Haris Retno Susmiyati

2

Hairan

3

Abstrak

Keberadaan sebidang tanah di kota Samarinda semakin susah didapatkan di karenakan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka dari itu dari pihak BPN menyarankan setiap pihak yang akan mendaftarkan tanahnya diwajibkan untuk mendaftarkan tanahnya, dan membuat kartu kendali yang fungsinya sebagai kartu masuk atau kartu pengantar untuk melakukan pengecekan di sebidang tanah yang akan di daftarkan. Tetapi yang terjadi di BPN peraturan tersebut tidak dilaksanakan secara optimal dikarenakan kurang efektifnya para aparat atau pejabat Kantor Pertanahan Kota Samarinda di dalam membatasi kepemilikan hak atas tanah, dan dengan mudahnya pihak-pihak yang bersangkutan memanipulasi atau tidak mematuhi peraturan tersebut. Upaya penegakan hukum terhadap kepemilikan tanah yang melampaui batas maksimum yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1, 2, dan 3 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak dapat berjalan optimal dikarenakan adanya beberapa faktor penghambat atau kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaannya seperti dari segi substansinya yang dilihat dari aturan yang mengatur sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan masyarakat karena di lihat dari sanksi yang di atur dalam Pasal 10 Ayat 1 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 terlalu ringan yang hanya dikenakan sanksi 3 bulan penjara atau denda Rp. 10.000,-“. Dari segi aparat dan sarana prasarananya kurang tegasnya para aparat atau pejabat yang berwenang dalam pihak-pihak yang melanggar ketentuan-ketentuan yang ada. Faktor lainnya bisa dilihat dari segi budaya masyarakat disini bisa dilihat dari segi pemikiran masyarakatnya yang berusaha dengan berbagai cara untuk memperolehnya atau bahkan memonopolinya dari kepemilikan tanah tersebut dengan cara melakukan penyuapan kepada aparat atau pejabat yang berwenang, dimaksudkan hanya dengan satu maksud dan tujuan yaitu memperoleh nilai ekonomis sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut.

1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2

Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 3 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

(2)

Pendahuluan

Negara Indonesia adalah Negara agraris dimana penduduknya sebagian besar bermata pencaharian dibidang pertanian (agraris) baik sebagai petani pemilik tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai buruh tani. Oleh karena itu tanah sebagai tempat berusaha merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Setiap orang membutuhkan tanah karena tidak ada aktivitas atau kegiatan orang yang tidak membutuhkan tanah. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah.

Arti penting tanah tersebut dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan :

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Jelas, bahwa tanah sebagai tempat berusaha, yang merupakan bagian dari permukaan bumi harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1945 Indonesia menghadapi masalah mendasar dibidang hukum pertanahan, yaitu terdapatnya masalah kepemilikan tanah yang tidak proposional, kebutuhan tanah pertanian yang meningkat terus serta didorong oleh jumlah pertambahan penduduk. Dalam mengatasi masalah tersebut sebagai Negara merdeka yang berdaulat penuh berusaha untuk mengatur kehidupan bernegara dengan mewujudkan hukum agraris nasional. Pembaharuan struktur keagrariaan terutama pada tanah pertanian dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semula tidak memiliki lahan olahan atau garapan untuk memiliki atau mempunyai lahan. Berbagai upaya telah dilakukan dan diawali pada tahun 1945 dengan penghapusan hak-hak istimewa di desa perdikan (desa-desa bebas).4 Selanjutnya pada Tahun 1958, Pemerintah menghapuskan tanah-tanah partikulir yang semula dijual kepada warga Negara Inggris, Arab dan Cina oleh Pemerintah Kolonial Belanda, selama masa kesulitan ekonomi pada awal abad ke 19. Dan berdasarkan Undang-undang Nomor 1

4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I. (Jakarta:Djambatan, Edisi Revisi 1999), hlm. 90.

(3)

Tahun 1958 tentang Tanah Partikulir, terhadap pemilik tanah diberikan pilihan untuk menjual tanahnya baik secara langsung kepada petani atau pemerintah untuk dibagi-bagikan. Dan pada saat yang bersamaan diusahakan untuk menyusun ketentuan hukum agrarian yang baru, ditandai dengan dibentuknya berbagai kepanitiaan dengan maksud untuk merombak ketentuan yang diatur dalam Agrarische Wet Tahun 1870.

Setelah melewati jalan panjang dan berliku, Bangsa Indonesia sepakat untuk melakukan pembaharuan dibidang keagrariaan pada periode tahun 1960-an sebagai perwujud1960-an dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 deng1960-an dikeluark1960-annya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960. Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA adalah dicanangkannya program landreform di Indonesia. Program dari landreform tersebut adalah :5

a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah; b. Larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai);

c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara;

d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;

e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;

f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampu kecil.

Sejak itu rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran. Tetapi kenyataannya dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam

(4)

masyarakat, dimana ada sekelompok kecil masyarakat memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan dan melampui batas dan di lain pihak kelompok terbesar dari masyarakat mempunyai tanah dalam jumlah yang sangat terbatas, bahkan banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama sekali dan terpaksa hidup sebagai buruh tani, yang berarti sangat bertentangan dari prinsip keadilan social.

Keadaan ini mengharuskan Pemerintah untuk mengatur pemilikan dan penguasaan tanah yang ada sedemikian rupa agar benar-benar bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia. GBHN Tahun 1988 menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh M. Yamin :6

“ Pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan social. Sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan dan penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah.”

Pengaturan pemilikan dan penguasaan tanah yang menjadi program landreform diatur dalam Pasal 7, 10, 17 UUPA. Pasal 7 UUPA berbunyi “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampui batas tidak diperkenankan”. Dalam pasal ini melarang apa yang dinamakan dengan groot grondbezitter yaitu larangan pemilikan tanah yang melampui batas atau disebut juga dengan istilah latifundia. Larangan pemilikan tanah secara latifundia dimaksudkan untuk mengakhiri dan mencegah bertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampui batas merugikan kepentingan umum, menciptakan tuan-tuan tanah dan banyak hal-hal negatif yang mungkin terjadi seperti tidak naiknya produksi, petani penggarap selalu akan menyewa dan uang sewa akan selalu meningkat sehingga pendapatan mereka akan terus berkurang. Kesejahteraan sosial dari masyarakat akan terus merosot dan condong tuan-tuan tanah memaksa para penyewanya untuk memberikan suara pada pemilu bagi golongan yang akan mempertahankan posisinya. Rakyat yang memerlukan tanah akan terus bertambah dan kemiskinan sudah tidak terelakkan

(5)

lagi. Hal ini akan menyebabkan semakin sempitnya atau hilangnya sama sekali kemungkinan bagi petani untuk memiliki tanah sendiri.

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 7 UUPA secara substansi tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Masih ada tanah-tanah hak milik yang luas dikuasai oleh satu orang atas nama beberapa pemilik dengan status hak milik, padahal menurut PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian telah memberikan batasan atas tanah pertanian. Dari hal tersebut jelas terlihat adanya ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah yang terjadi antara petani dan pengusaha-pengusaha papan atas. Untuk itu perlu adanya penetapan luas maksimum tanah pertanian agar tidak terjadi penumpukan tanah pertanian pada segelintir orang. Karena jika terjadi penumpukan pada segelintir orang, maka akan merugikan para petani yang menjadikan sawah sebagai alat produksi dan sumber mata pencaharian. Sebagai konsekwensi dari Pasal 7 UUPA yang tidak memperkenankan penguasaan tanah yang melampui batas maka dalam Pasal 17 UUPA diatur luas maksimum dan atau minimum yang boleh dimiliki oleh salah satu keluarga baik dengan hak milik atau dengan hak yang lain.

Sejalan dengan Pasal 17 UUPA, Boedi Harsono mengatakan: Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula. Tndakan itu diharapkan akan merupakan pula pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahan bekerja para petani penggarap tanah yang bersangkutan, yang telah menjadi pemiliknya.7

Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya berupa Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Undang-undang ini mengatur 3 masalah yang pokok, yaitu mengenai:

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan

7 Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 355.

(6)

pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampui kecil;

3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.8

Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 56 Tahun 1960 yang menyatakan seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering dan dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus, Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektar tersebut dengan paling banyak 5 hektar. Melalui Undang-undang ini luas tanah maksimum yang biasa dikuasai seseorang diatur secara rinci dengan mempertimbangkan tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi, kepadatan penduduk dan kesuburan tanah pertanian.

Penetapan luas maksimum dan minimum kepemilikan tanah merupakan langkah awal untuk melaksanakan program landreform dibidang tanah pertanian yang kemudian menjadi acuan untuk menentukan apakah seseorang mempunyai tanah pertanian yang melampui batas atau kecil. Berdasarkan Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 Pasal 3 ini juga setiap orang yang mempunyai tanah pertanian yang melampui batas maksimum diwajibkan untuk melaporkannya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.9 Setiap orang yang mempunyai tanah lebih tidak boleh mengalihkan tanah tersebut langsung kepada pihak lain tanpa memperoleh izin dari Kepala Kantor Pertanahan. Kepada pihak yang menjual atau tidak melaporkan kelebihan tanahnya diancam dengan pidana kurungan tiga bulan atau denda Rp.10.000. Kelebihan tanah tersebut diambil oleh Negara dengan memberikan ganti rugi dan selanjutnya diredistribusikan kepada petani yang tidak punya tanah dengan menetapkan skala prioritas penerima.10

8

Boedi Harsono, Op.Cit, hlm. 356

9 Ketentuan Pidana ini diatur dalam Pasal 11 UU No.56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. 10 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 8.

(7)

Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku tentang tanah semakin meningkat yaitu adanya pemilikan penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum yang di tentukan, sehingga akan terjadi ketimpangan dalam penguasaan tanah dimana satu pihak menguasai/memiliki tanah yang sangat luas sedangkan di lain pihak tidak memiliki sama sekali. Seperti yang terjadi di Kecamatan Samarinda Utara kota Samarinda, tepatnya di Jl. Damanhuri kel. Mugirejo dimana wilayah tersebut masih ada anggota masyarakat yang memiliki sebidang tanah pertanian dengan luas 9 ha. Sedangkan menurut undang-undang Nomor 56 Prp, Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, masyarakat hanya di perbolehkan memiliki tanah seluas 6 ha dan bisa ditambah 5 ha sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 56 Prp, Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Karena daerah Samarinda Utara termasuk wilayah sangat padat penduduk. Seperti juga yang disinyalir oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang Pembaharuan Hukum Agraria bahwa:11 Selain para perusahaan pertambangan yang mendapat konsesi dari pemerintah pusat berdasarkan kontrak kerja tersebut, banyak juga perusahaan-perusahaan lain yang mendapatkan kemudahan dalam penguasaan atas tanah tersebut. Banyak diantara perusahaan perkebunan yang juga dimiliki oleh para pegusaha papan atas. Selain itu penumpukan penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum oleh segelintir orang pun terjadi di kota-kota besar. Adanya kepemilikan tanah pertanian yang melampui batas maksimum, menimbulkan pertanyaan bagaimana penegakan hukum di Kecamatan Samarinda Utara dan apa saja faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum dalam permasalahan tersebut.

(8)

Pembahasan

1. Kepemilikan tanah pertanian yang melampaui batas lahan kering maksimum di wilayah padat penduduk yang melampaui batas maksimum di Kelurahan Mugirejo Kecamatan Samarinda Utara berdasarkan Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian menetapkan batas maksimum sesuai kepadatan penduduk di setiap wilayah, batas yang ditetapkan menjadi dua batas, yaitu :

1) Batas Minimum. Yang dimaksud dengan batas minimum adalah batas minimum kepemilikan tanah baik tanah pertanian maupun tanah non pertanian oleh seorang maupun orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain maupun bersama kepunyaan orang lain.12 Pengaturan mengenai batas minimum kepemilikan tanah diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UUPA yang menentukan bahwa dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. Pengaturan lebih lanjut diatur dalam UU No 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Batas minimum kepemilikan tanah seluas 2 Ha (dua hektar) yang diatur dalam butir (8) Penjelasan Umum UU No. 56 Prp Tahun 1960

2) Batas Maksimum. Yang dimaksud dengan batas maksimum adalah batas maksimum kepemilikan tanah baik tanah pertanian maupun tanah non pertanian oleh seseorang maupun orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama

12 Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda,(Jakarta: Mandar Maju, 2004).hlm. 173.

(9)

baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain maupun bersama-sama kepunyaan orang lain.13

2. Upaya penegakan hukum terhadap kepemilikan tanah yang melampaui batas maksimum di wilayah padat penduduk di Kelurahan Mugirejo Kecamatan Samarinda Utara Kota Samarinda berdasarkan Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

Pelaksanaan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Perundang-undangan mengenai kepemilikan tanah yang melampaui batas maksimum, khususnya yang ada dalam Pasal 1 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak dapat berjalan secara optimal khususnya di Kota Samarinda. Ini dikarenakan adanya beberapa faktor penghambat atau kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaanya yaitu :

a. Dari Segi Subtansinya

Dalam aturan yang ada dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan masyarakat yang ada pada saat ini. Dikatakan demikian adalah karena salah satunya dilihat dari pada sanksi yang ditetapkan dirasa terlalu ringan yaitu diatur dalam Pasal 10 Ayat 1 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, dimana dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa : “Barang siapa yang memiliki tanah melebihi dari pada batas maksimum dan tidak melaporkannya ke Kantor Pertanahan maka akan dikenakan sanksi 3 bulan penjara dan/atau denda 10.000,-“

Aturan yang menyatakan sanksi dalam Pasal 10 Ayat 1 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut dianggap sudah tidak dapat menimbulkan suatu efek rasa takut kepada masyarakat yang berusaha untuk melanggarnya, karena apabila dilihat dari pada sanksi atau ancaman hukumannya dan denda yang akan dijatuhkan dianggap terlalu ringan. Selain itu sebagai acuan atau panduan dalam pelaksanaan ketentuan yang tercantum dalam perundang-undangan ini tidak ada aturan pelaksanaanyang mengatur secara rinci bagaimana seharusnya

13 Herman Hermit, ibid; hlm 174.

(10)

pelaksanaan mengenai pembatasan akan kepemilikan hak atas tanah tersebut.

Pelaksanaan dari pada ketentuan yang termaksud dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 di Kota Samarinda oleh Kantor Pertanahan Kota Samarinda dilaksanakan dengan cara setiap pihak yang akan mendaftarkan tanahnya diwajibkan untuk membuat Surat Pernyataan, yang mana dalam surat pernyataan tersebut berisi penegasan bahwa pihak yang membuat surat pernyataan tersebut tidak memiliki tanah melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan. Berdasarkan fakta yang ada selama ini isi dari surat pernyataan yang dibuat oleh pihak yang bersangkutan tidak pernah dilakukan pengecekan akan kebenarannya oleh Kantor Pertanahan Kota Samarinda yang berarti disini peran dari Kantor Pertanahan dalam memantau kepemilikan hak atas tanah bagi seseorang atau satu keluarga bersifat pasif. Kantor Pertanahan dalam pelaksanaanya lebih mengutamakan adanya suatu kepercayaan kepada masyarakat yang akan mendaftarkan tanahnya tersebut dalam membuat surat pernyataan.

Menurut pendapat penulis disinilah letak dari kelemahan pelaksanaan ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dimana Kantor Pertanahan hanya bersandar pada adanya suatu kepercayaan masyarakat yang tidak dapat dipungkiri bahwa inilah yang dapat menjadi suatu penyebab dari adanya manipulasi atau pelanggaran yang akan dilakukan oleh masyarakat terhadap aturan tersebut. Selain diwajibkan membuat surat pernyataan, ada juga yang dinamakan dengan kartu kendali. Kartu kendali adalah sebagai kartu masuk atau dapat dikatakan sebagai kartu pengantar untuk dilakukan pengecekan akan kepemilikan pihak tersebut akan sebidang tanah. Apabila oleh Kantor Pertanahan dinyatakan bahwa pihak yang bersangkutan tersebut tidak memiliki tanah melebihi dari pada batas maksimum yang ditetapkan maka kartu kendali tersebut akan di cap atau di bubuhi stempel oleh Kantor Pertanahan yang berarti bahwa telah selesai dilakukan pengecekan.

(11)

b. Dari Segi Aparat dan Sarana Prasarana

Dilihat dari pada pelaksana aturan tersebut, baik itu dari pada aparat atau pejabat yang berwenang, sarana dan prasarana yang ada dan mendukung pelaksana peraturan tersebut. Apabila dilihat dari aparat atau pejabat, maka dilihat salah satunya adalah dari pada kurangnya pengetahuan yang dimiliki seputar ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan bagaimana dalam pelaksanaan aturan tersebut. Dengan berlandaskan faktor tersebut maka otomatis juga akan mempengaruhi kinerja dari pada aparat atau pejabat yang berwenang di dalam melaksanakan peraturan itu sendiri. Tidak adanya suatu kebijakan-kebijakan yang tegas dari pada aparat atau pejabat yang berwenang dalam menindak pihak-pihak yang melanggar ketentuan-ketentuan yang ada. Kenapa disebut demikian adalah karena selama ini walaupun aparat atau pejabat yang berwenang tersebut mengetahui adanya pihak yang mempunyai tanah yang melebihi dari pada batas maksimum mereka hanya diam dan tidak melakukan tindakan tegas atau bahkan dengan kata lain mereka malah berusaha untuk menutup-nutupi kondisi yang ada.

Kinerja dari pejabat yang berwenang juga tidak dapat berjalan secara optimal tanpa adanya sarana dan prasarana yang menunjang. Tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang otomatis harus dibarengi dengan tersedianya anggaran dana yang optimal juga, karena tidak dapat dipungkiri dalam pelaksanaan suatu aturan yang ada keberadaan akan ketersediaan anggaran dana yang cukup adalah merupakan faktor yang sangat vital. Misalnya seperti dalam pemantauan dari pada kepemilikan tanah yang dinyatakan dalam Surat Pernyataan, untuk mengetahui kebenaran dari pada pernyataan yang dibuat oleh pihak tersebut otomatis diperlukan suatu kinerja yang lebih seperti seperti dahulu ada yang disebut dengan Tim Investarisasi tanah, yang mana pada saat ini tidak ada lagi karena ketiadaan dana yang ada untuk membiayai kegiatan tersebut. Selain itu keadaan ini juga

(12)

mempengaruhi dari pada sosialisasi yang harus dilakukan oleh aparat atau pejabat Kantor Pertanahan kepada masyarakat mengenai penerapan aturan tersebut sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahui adanya peraturan ini. Selain itu apabila dilihat dari segi sarana prasarana yang menunjang pelaksanaan yang tidak dapat disediakan dikarenakan salah satunya adalah ketiadaan anggaran dana patut untuk dipertanyakan karena dengan melihat begitu banyaknya dana-dana yang mengalir deras bagi pelaksanaan suatu pengembangan pembangunan yang bahkan sampai menimbulkan tindak pidana korupsi. Disini dilihat begitu pentingnya suatu pelaksanaan pembatasan kepemilikan hak atas tanah untuk seseorang atau satu keluarga adalah guna untuk mencegah terjadinya konflik-konflik sosial yang timbul dimasyarakat dengan mengingat bahwa dari hari kehari kebutuhan akan tanah itu semakin besar dan begitu pula dengan nilai ekonomisnya. c. Dari Segi Budaya Masyarakat

Maksudnya disini adalah dilihat dari segi pemikiran ekonomis masyarakat. Dimana disadari bahwa semakin berkembangnya zaman maka semakin besar pula kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi oleh masyarakat untuk menunjang kehidupannya. Bahwa tanah adalah merupakan salah satu aset yang mempunyai nilai ekonomis tinggi yang dari hari kehari posisinya makin meningkat tidak dapat dipungkiri lagi. Maka dari itu banyak pihak-pihak yang berusaha dengan berbagai cara untuk memperolehnya atau bahkan memonopolinya dari pada kepemilikan hak atas tanah tersebut. Ini dimaksudkan hanya dengan satu maksud dan tujuan yaitu memperoleh nilai ekonomis sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut. Dan kondisi ini juga dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan atau sosialisasi kepada masyarakat akan adanya suatu peraturan yang membatasi kepemilikan hak atas tanah itu sendiri. Tetapi ada juga suatu keadaan dimana walaupun pihak tersebut mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu bertentangan dengan peraturan undang-undang yang ada, pihak tersebut berusaha agar apa yang dilakukannya itu dapat dianggap benar didepan hukum seperti

(13)

halnya memanipulasi surat pernyataan atau juga berusaha untuk melakukan penyuapan kepada aparat atau pejabat yang berwenang agar apa yang diperbuat tidak dikatakan sebagai suatu pelanggaran. Kebanyakan memang pihak-pihak yang memilikitanah yang luas atau boleh dikatakan telah melebihi dari pada batas maksimum yang telah ditetapkan oleh adalah merupakan pihak-pihak yang memang mempunyai tingkatan kedudukan dan pengaruh yang tinggi baik itu dalam pemerintahan atau masyarakat seperti pejabat-pejabat atau pengusaha.

Menurut pendapat penulis di sini perlu diciptakannya adanya suatu keadaan masyarakat diharuskan untuk mematuhi adanya aturan yang diberlakukan dan adanya ketegasan dalam pemberlakuan aturan tersebut yang mana sesuai dengan sifat dari hukum itu sendiri yaitu bersifat memaksa. Adanya suatu keadaan dimana masyarakat berusaha atau bahkan melanggar ketentuan yang termaksud dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian menandakan bahwa adanya ketidak tegasan dalam pelaksanaan aturan tersebut yang memang seharusnya dilakukan tanpa memandang siapa dan apa kedudukan serta jabatannya pihak tersebut atau dapat dikatakan adalah adanya suatu kelonggaran dalam pelaksanaan ketentuan tersebut yang berarti bahwa keadaan ini dapat dikaitkan dengan ketidak optimalnya pelaksanaan peraturan tersebut yang dipengaruhi baik itu segi subtansinya dalam hal sanksinya yang dianggap tidak berat dan dari segi aparat atau pejabat yang berwenang yang boleh dikatakan memberikan suatu peluang bagi masyarakat untuk melakukan tindakan pelanggaran.

Di sebutkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 bahwa :

“Orang-orang atau kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum wajib untuk melaporkan hal itu kepada Kepala Agraria

(14)

Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan di dalam waktu 3 bulan sejak mulai berlakunya peraturan ini. Kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut diperpanjang oleh Menteri Agraria”.

Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dinyatakan bahwa :

“Barang siapa sesudah memulai berlakunya peraturan ini memperoleh tanah pertanian yang dikuasai olehnya dari anggota-anggota keluarganya berjumlah lebih dari luas maksimum wajib berusaha supaya paling lambat 1 (satu) tahun sejak diperolehnya tanah tersebut jumlah tanah pertanian yang dikuasai itu luasnya tidak melebihi dari pada batas maksimum”

Jika ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian tidak dilaksanakan maka dalam Pasal 10 Ayat 1 dinyatakan bahwa :

“Barang siapa tidak melaksanakan kewajiban tersebut seperti tertera dalam Pasal 3 dan Pasal 6 maka akan dikenakan pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-“

Dalam Pasal 10 Ayat 4 Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 disebutkan bahwa :

“Jika terjadi tindak pidana seperti tersebut diatas makatanah yang selebihnya dari luas maksimum jatuh pada negara yaitu jika tanah tersebut semuanya milik terhukum dan/atau anggota-anggota keluarganya dengan ketentuan bahwa pihak tersebut diberi suatu kesempatan untuk mengemukakan keinginannya mengenai tanah yang jatuh pada negara itu dengan catatan tidak berhak atas ganti kerugian dalam bentuk apapun juga”

Berhubung dengan ketentuan bahwa pihak yang bersangkutan diberi suatu kesempatan dalam mengemukakan keinginannya mengenai tanah yang akan jatuh pada negara maka pengaturannya diatur dalam Pasal 8 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang

(15)

Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yaitu menyatakan bahwa :

“Pemilik tanah yang melebihi dari batas maksimum termaksud dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 diberi suatu kesempatan untuk mengajukan usul kepada Menteri Agraria mengenai bagian-bagian mana dari tanahnya yang pihak tersebut inginkan tetap menjadi miliknya”

Untuk tanah yang diserahkan secara sadar oleh pihak-pihak yang terkait maka penyelesainnya akan dilakukan dengan berlandaskan pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 17 Ayat 3 Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, dimana dinyatakan bahwa :

“Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum akan diambil oleh pemerintah dengan adanya suatu ganti kerugian, dan dimana dalam pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah” Penutup

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kesimpulan dari permasalahan pertama bahwa adanya 3 bidang tanah yang melebihi batas maksimum di daerah Mugirejo Kecamatan Samatrinda Utara Kota Samarinda yang dimiliki 3 orang berbeda, menurut penulis ketentuan pemberlakuan pembatasan bagi kepemilikan seseorang atau keluarga atas tanah di kota Samarinda sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang telah diterapkan. Dimana mengingat keberadaan sebidang tanah di kota Samarinda semakin susah didapatkan di karenakan semakin bertambahnya jumlah penduduk, upaya BPN untuk melaksanakan peraturan yaitu masyarakat yang ingin melakukan pendaftaran tanah diwajibkan untuk membuat surat

(16)

pernyataan dan surat kendali yang fungsinya sebagai kartu masuk atau pengantar untuk melakukan pengecekan sebidang tanah. Namun dari pihak BPN tidak melakukan pengecekan lahan dan dari pihak kecamatan tidak melakukan konfirmasi kepada pihak BPN. Berarti Kantor Pertanahan Kota Samarinda hanya berlandaskan pada adanya kepercayaan kepada masyarakat dalam pelaksanaannya. 2. Upaya penegakan hukum terhadap kepemilikan tanah yang

melampaui batas maksimum yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1, 2, dan 3 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak dapat berjalan optimal dikarenakan adanya beberapa faktor penghambat atau kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaannya seperti dari segi substansinya yang dilihat dari aturan yang mengatur sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan masyarakat karena di lihat dari sanksi yang di atur dalam Pasal 10 Ayat 1 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 terlalu ringan yang hanya dikenakan sanksi 3 bulan penjara atau denda Rp. 10.000,-“. Dari segi aparat dan sarana prasarananya kurang tegasnya para aparat atau pejabat yang berwenang dalam pihak-pihak yang melanggar ketentuan-ketentuan yang ada. Faktor lainnya bisa dilihat dari segi budaya masyarakat disini bisa dilihat dari segi pemikiran masyarakatnya yang berusaha dengan berbagai cara untuk memperolehnya atau bahkan memonopolinya dari kepemilikan tanah tersebut dengan cara melakukan penyuapan kepada aparat atau pejabat yang berwenang, dimaksudkan hanya dengan satu maksud dan tujuan yaitu memperoleh nilai ekonomis sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut.

B. Saran

1. Pemerintah Kota Samarinda harus bisa lebih tegas terhadap setiap masyarakat yang ingin melakukan pendaftaran tanah di Kelurahan Mugirejo dan melaksanakan prosedur yang sudah di tetapkan dari pihak BPN, karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tanah di Kota Samarinda.

(17)

2. Seharusnya ada perbaikan dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang dimana ada aturan yang mengatur dalam Pasal 10 Undang-undang 56 Prp Tahun 1960 “Barang siapa yang memiliki tanah melebihi dari pada batas maksimum dan tidak melaporkannya ke Kantor Pertanahan maka akan dikenakan sanksi 3 bulan penjara dan/atau denda Rp. 10.000,-“.

Karena sanksi tersebut sangat ringan jadi hingga sekarang masih adanya aparat-aparat yang tidak mengikuti aturan yang ditetapkan. Dan sebaiknya ada pengecekan setiap tahunnya di setiap Kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan tentang data masyarakat yang melakukan pendaftaran tanah, Jadi bisa langsung dilaksanakan pengecekkan lahan oleh pihak BPN Kota Samarinda. Agar nantinya tidak akan terjadi suatu monopoliakan keberadaan tanah yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik sosial di masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu aturan yang mana bukan hanya dalam bentuk tulisan dan lembaran tetapi juga harus dilaksanakan dengan seoptimal mungkin sehingga tujuan dari pada aturan tersebut dapat tercapai.

Daftar Pustaka A. Buku

Harsono, Budi, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta.

Hermit, Herman, 2004, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Pemda, Mandar Maju.

Kadir, Muhammad Abdul, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditiya Bakti, Bandung.

Perlindungan, A. P, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia. Mandar Maju, Bandung.

Ruchiat, eddy, 2006, Politik Pertanahan Nasional Hingga Orde Reformasi, PT. ALUMNI, Bandung.

Soekanto, Soejono, 1979, Penegakan hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.

Santoso, Urip, 2007, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Penerbit Kencana, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

(18)

Tim Lapera, 2001, Prinsip-prinsip Reforma Agraria, Penerbit Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.

Yamin, Muhammad, 2004, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan.

B. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

C. Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, Tesis dan Disertasi

Cristina Tien Agustina. S, (2010), Tinjauan Terhadap Kepemilikan Tanah Yang Melampaui Batas Maksimum Di Desa Jonggon Jaya Kecamatan Loa -Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda.

Mawardi, (2011), Tinjauan Hukum Terhadap Kepemilikan Tanah Pertanian Yang Melampaui Batas Maksimum Berdasarkan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Studi Di Kecamatan Samarinda Sebrang, Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda.

D. Artikel Internet

Daniel Nainggolan file:///F/baru/UOS..!! Pengertian Hak Atas Tanah.htm

Artikel “ http://sejarahkotasamarinda.blogspot.com/2014/01/sejarah-kota-samarinda-.html, diakses pada tanggal 20 Juni 2014 pukul 20.18 wita.

Referensi

Dokumen terkait

Alergi susu sapi merupakan salah satu alergi makanan yang sering dijumpai pada anak dengan riwayat atopik. Pada tahun pertama kehidupan, sistem imun seorang anak masih imatur dan

Pranatacara merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus karena orang yang melakukan pekerjaan tersebut biasanya memahami dengan benar susunan suatu acara dengan

Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan pembelajaran model PAKEM dapat meningkatkan prestasi pembelajaran

4.230.000,- yaitu merupakan kawasan pemukiman (Bangunan/Pekarangan) yang mempunyai fasilitas umum seperti sekolahan, pasar dan komplek perumahan, sehingga kenaikan

Mempertimbangkan pentingnya Kurikulum 2013 dan masih ditemukannya beberapa kendala teknis, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan kebijakan penataan

[r]

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara workplace bullying dan komunikasi interpersonal dengan

(2) Sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas