• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Benih Kacang Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Benih Kacang Tanah"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Benih Kacang Tanah

Kacang tanah termasuk tanaman kacang-kacangan dengan klasifikasi lengkap tanaman kacang tanah adalah sebagai berikut, divisi Spermathophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Papilionaceae, genus Arachis, spesies Arachis hypogaea (Pitojo, 2005).

Biji kacang tanah terdapat di dalam polong. Kulit luar (testa) bertekstur keras, berfungsi untuk melindungi biji yang berada di dalamnya. Biji terdiri atas lembaga dan keping biji, diliputi oleh kulit ari tipis (tegmen). Biji berbentuk bulat agak lonjong atau bulat dengan ujung agak datar karena berhimpitan dengan butir biji yang lain ketika di dalam polong. Warna kulit biji kacang tanah bervariasi yaitu merah jambu, merah, cokelat, merah tua, dan ungu. Ukuran bijinya juga bervariasi yaitu dari biji kecil berukuran sekitar 20 g/100 biji, biji sedang berukuran 50 g/100 biji, dan biji besar berukuran lebih dari 50 g/100 biji. Rendemen biji dari polong berkisar antara 50-70% (Pitojo, 2005).

Komposisi kimia benih kacang tanah didominasi oleh kandungan lemak dan protein. Kandungan lemak dalam benih kacang tanah berkisar 20-50% (Hidajat et al., 1999).

Tiap-tiap polong kacang tanah terdiri dari kulit (shell) 21-29%, daging biji (kernel) 69-72.40%, dan lembaga (germ) 3.10-3.6%. Kacang tanah mengandung asam-asam amino esensial yaitu arginin (2.27%), fenilalanin (1.52%), histidin (0.51%), isoleusin (0.99%), leusin (1.92%), lisin (1.29%), methionin (0.33%), triptophan (0.215%) dan valin (1.33%) (Khasanah, 2006). Kandungan tersebut bervariasi tergantung varietasnya.

Benih kacang tanah bermutu berdasarkan persyaratan Departemen Pertanian adalah: berasal dari pemanenan yang baru dan varietas unggul, daya tumbuh tinggi (lebih dari 90%) dan sehat, kulit benih mengkilap, tidak keriput, dan cacat, murni atau tidak tercampur dengan varietas lain, dan kadar air berkisar 9-12% (Departemen Pertanian, 2010).

(2)

Viabilitas dan Kemunduran Benih

Viabilitas benih adalah kemampuan benih untuk berkecambah dan menghasilkan kecambah normal. Hal ini berkaitan dengan hidup atau tidaknya benih yang bergantung pada kemampuan benih untuk berkecambah dan memproduksi kecambah normal. Selain itu, viabilitas benih menunjukkan tingkat hidup benih, aktivitas metabolismenya, dan kemampuan enzim di dalam benih untuk mengkatalis reaksi metabolisme yang dibutuhkan untuk perkecambahan dan pertumbuhan benih (Dina et al., 2006).

Keberhasilan suatu usaha pertanian salah satunya ditentukan oleh adanya benih yang bermutu tinggi. Namun, terdapat berbagai masalah yang dapat menghambat keberhasilan industri benih, masalah penting diantaranya adalah kemunduran benih (seed deterioration). Deteriorasi adalah proses kemunduran benih dalam hal penurunan viabilitas benih yang dapat berlangsung dengan cepat ataupun lambat. Proses ini terjadi segera setelah benih masak dan terus berlangsung selama benih mengalami proses pengolahan, pengemasan, penyimpanan, dan transportasi. Kemunduran benih tidak dapat dihentikan, namun bisa dikendalikan sehingga berlangsung lambat dengan penerapan ilmu dan teknologi yang sesuai (Justice dan Bass, 2002).

Indikasi kemunduran benih adalah penurunan vigor benih yang terlihat dari penurunan laju perkecambahan, serta dihasilkannya kecambah-kecambah yang lemah, berakar kecil atau abnormal. Vigor benih tertinggi tercapai pada saat benih masak fisiologis dan setelah itu benih akan semakin kehilangan vigor dan akhirnya mati. Hal ini terjadi karena sel yang mati di dalam benih bertambah banyak sampai akhirnya bagian-bagian penting tertentu tidak mampu lagi menjalankan fungsi utamanya. Proses-proses yang menyertai kemunduran benih antara lain adalah adanya perubahan kimiawi. Selama perkembangan benih, proses anabolik mendominasi dan menyebabkan perkembangan embrio dan cadangan makanan. Setelah kemasakan tercapai, perubahan proses kimiawi terus berlangsung, sehingga akhirnya proses katabolik mendominasi, dan kemunduran menjadi tampak. Perubahan kimiawi pada proses penuaan terjadi pada embrio maupun endospermanya. Perubahan lain yang menyertai kemunduran benih

(3)

adalah semakin menurunnya daya berkecambah. Laju perkecambahan dan pertumbuhan jagung merupakan pengukur perkembangan kemunduran yang paling konsisten dan peka. Salah satu indikasi dari kemunduran adalah penurunan vigor kecambah. Benih yang vigornya rendah akan menghasilkan panen yang rendah bila dibandingkan benih dengan vigor tinggi. Selain itu, proses yang menyertai kemunduran benih adalah perubahan sitologis. Salah satu perubahan yang berhubungan dengan penuaan benih adalah aberasi kromosom. Beberapa bukti menunjukkan bahwa kematian benih sering disertai dengan terbentuknya asam lemak bebas. Pada benih berkadar air 8-9% yang disimpan selama 2 tahun, daya berkecambahnya berkurang 8% dan kandungan asam lemaknya meningkat 14 satuan (Justice dan Bass, 2002).

Penelitian Tatipata (2008) menunjukkan bahwa benih kedelai yang disimpan pada kadar air benih awal 10% di dalam kantong terigu selama 3 bulan menunjukkan penurunan daya berkecambah dari 100% pada awal penyimpanan menjadi 96%. Penurunan daya berkecambah diawali oleh penurunan vigor sejak bulan ke-1. Hal tersebut diduga karena protein yang terkandung dalam benih kedelai bersifat higroskopis sehingga akan mengabsorbsi air lebih banyak jika benih disimpan di dalam kantong terigu. Meningkatnya kadar air benih dan kelembaban menyebabkan kerusakan protein meningkat dan menyebabkan terbentuknya radikal bebas dan terjadi peningkatan hasil metabolit sehingga mengakibatkan kerusakan protein membran. Bila protein rusak maka akan mengurangi transpor energi dan menyebabkan deteriorasi benih.

Daya simpan individu benih dipengaruhi oleh sepuluh faktor sifat dan kondisi berikut ini: pengaruh genetik, kondisi sebelum panen, struktur dan komposisi benih, benih keras, kemasakan benih, ukuran benih, dormansi benih, kadar air benih, kerusakan mekanik, serta vigor benih (Justice dan Bass, 2002).

Daya Simpan Benih Kacang Tanah

Penyimpanan kacang tanah oleh petani biasanya dilakukan dalam polongnya. Kondisi penyimpanan sangat mempengaruhi daya simpan benih. Menurut Pitojo (2005) penyimpanan benih kacang tanah yang tidak baik dapat menurunkan viabilitas dan biasanya hanya mampu bertahan paling lama empat

(4)

bulan (Pitojo, 2005). Di beberapa daerah di Indonesia, petani menggunakan karung goni, kaleng, keranjang bambu sebagai pengemas benih (Kasno et al., 1993).

Benih kacang tanah mampu bertahan selama delapan tahun tanpa penurunan viabilitas yang nyata sewaktu disimpan di The Southern Regional Plant Introduction Station pada suhu 10oC dan kelembaban nisbi 50% (Justice dan Bass, 2002). Jika disimpan di karung goni di luar ruangan, benih kacang tanah bisa kehilangan viabilitasnya hingga 50% setelah 12 bulan penyimpanan. Benih yang terpapar sinar matahari langsung akan kehilangan daya berkecambahnya secara cepat (Ashworth, 2002). Iklim Indonesia termasuk dalam iklim tropik bersuhu tinggi dan RH tinggi sepanjang tahun sehingga menyebabkan komoditas kacang tanah sangat mudah terkontaminasi Aspergillus flavus. Benih yang terserang cendawan ini daya berkecambahnya akan turun bahkan mati.

Menurut Tillman dan Wright (2002) benih kacang tanah yang disimpan tanpa polong memiliki kemungkinan rusak yang lebih besar karena kulit dari benih kacang tanah tipis dan tidak cukup mampu melindungi kacang tanah terhadap kerusakan dari luar. Pada penelitian Puspitasari (1990) didapatkan hasil bahwa benih kacang tanah kupas dapat bertahan sampai periode simpan 12 minggu jika disimpan dalam kemasan plastik polipropilen vakum pada kondisi kamar dengan DB 69.67%. Sedangkan bila disimpan dengan kemasan aluminium foil vakum pada kondisi kamar dapat bertahan sampai periode simpan 15 minggu dengan DB 65.33%. Benih kacang tanah kupas tidak dapat disimpan dalam plastik polietilen karena pada minggu ke sembilan DB benih hanya sekitar 60%. Pada penelitian Puspitasari tersebut juga didapatkan hasil bahwa penyimpanan benih kacang tanah berpolong terbaik menggunakan kemasan plastik polipropilen pada kondisi kamar selama periode simpan 18 minggu dengan DB turun menjadi 62.67%. Namun, daya berkecambah benih kacang tanah yang <80% tersebut menyebabkan benih tersebut sudah tidak dapat dijual lagi karena mutu fisiologisnya sudah sangat rendah. Penelitian Ginting dalam Kasno et al. (1993) memperlihatkan bahwa penyimpanan benih kacang tanah tanpa polong varietas Gajah dan Tapir dengan kaleng biskuit (kapasitas 5 kg) menunjukkan daya tumbuh di atas 80% selama 6 bulan (kadar air 5-7%).

(5)

Benih kacang tanah sebaiknya disimpan dalam bentuk polong. Benih yang terbuka dari polongnya berisiko mudah terserang hama gudang dan mudah turun daya berkecambahnya. Salah satu kelemahan kacang tanah adalah mudah terkontaminasi aflatoksin, karena tanaman ini rentan terhadap kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang menghasilkan mikotoksin jenis aflatoksin. Mikotoksin ini banyak ditemukan pada komoditas kacang tanah dan jagung (Pitojo, 2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aflatoksin mulai terbentuk 24 jam setelah kacang dicabut dari dalam tanah. Kondisi terbentuknya aflatoksin adalah pada interval suhu 10-40oC dengan RH > 80% (Syarief et al., 2003). Menurut Paramawati et al. (2006) kapang A. flavus dan A. parasiticus hidup dengan baik pada kacang tanah yang mempunyai water activity (aw) 0.80 (kurang lebih kadar air 12-13%).

Penjemuran kacang tanah kupas selama 6 jam mampu melemahkan 50% daya racun aflatoksin. Untuk meminimalkan kontaminasi aflatoksin, perlu dilakukan proses pascapanen hingga dicapai kadar air aman simpan dalam waktu yang relatif singkat (Paramawati et al., 2006), selanjutnya kacang tanah tersebut disimpan dalam kemasan yang mampu mencegah perkembangan kapang tersebut, sehingga tidak terjadi peningkatan kontaminasi aflatoksin.

Penelitian dalam bidang pangan oleh Paramawati et al. (2006) menyebutkan bahwa penurunan kadar air hingga < 12% dalam waktu kurang dari tiga hari akan menghasilkan kacang tanah dengan tingkat kontaminasi aflatoksin yang sangat rendah. Dalam penelitiannya, Paramawati menyimpan kacang tanah ose (kupas) pada kemasan plastik hermetik dengan menghilangkan sebagian besar udara (semi vakum). Penyimpanan dilakukan selama tiga bulan pada suhu kamar tanpa pengaturan lingkungan. Hasilnya penyimpanan selama tiga bulan menunjukkan terjadinya peningkatan aflatoksin pada kacang tanah kupas dari rata-rata 1.9 ppb menjadi 19.1 ppb, sedangkan pada kacang tanah polong kering juga meningkat dari rata-rata 0.3 ppb menjadi 6.3 ppb. Hasil ini masih di bawah ambang batas maksimal yang diperkenankan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) maupun United State Departement of Agriculture (USDA) yaitu 20 ppb.

(6)

Hasil penelitian ini menyiratkan bahwa kacang tanah kupas sebaiknya jangan disimpan terlalu lama.

Seed Coating

Perlakuan coating dalam industri benih sangat efektif karena dapat memperbaiki penampilan benih, meningkatkan daya simpan, mengurangi resiko tertular penyakit dari benih di sekitarnya, dan dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif, misalnya anti oksidan, anti mikroba, repellent, mikroba antagonis, zat pengatur tumbuh, dan lain-lain (Ilyas, 2003).

Syarat bahan coating yang digunakan antara lain mampu mempertahankan kadar air benih selama penyimpan, dapat menghambat laju respirasi seminimal mungkin, tidak bersifat toksik terhadap benih, bersifat mudah pecah dan larut apabila terkena air, bersifat porous, tidak mudah mencair, higroskopis, tidak bereaksi dengan pestisida yang digunakan dalam perawatan benih, bersifat sebagai perambat dan penyimpan panas yang rendah, harga relatif murah sehingga dapat menekan harga benih. Jenis bahan yang bisa digunakan dalam seed coating antara lain, diatomaceous earth, charcoal clay, methylethyl cellulose, arabic gum, dan polyvinyl alcohol (Kuswanto, 2003).

Tepung Curcuma

Metabolit sekunder merupakan produk tumbuhan yang diperoleh dari proses metabolisme sekunder. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang diketahui sangat penting untuk kehidupan tanaman, karena mempunyai kemampuan bioaktifitas dan mekanisme pertahanan untuk melawan dari serangan bakteri, virus, dan jamur untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya. Produk metabolit sekunder banyak dimanfaatkan manusia sebagai vitamin, bahan dasar obat, insektisida alami, pewarna, dan penyedap makanan. Sejumlah metabolit sekunder juga digunakan sebagai fungisida atau antibiotik untuk melindungi tanaman dari serangan jamur atau bakteri (Lenny, 2006).

Salah satu jenis tanaman yang menghasilkan senyawa metabolit sekunder dan dapat digunakan sebagai antimikroba dan fungisida alami adalah kunyit (Curcuma domestica Val). Kunyit merupakan salah satu tanaman dari famili

(7)

Zingiberaceae yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan baku obat tradisional. Famili Zingiberaceae yang tumbuh di dunia diperkirakan terdiri dari 47 genus dan 1400 spesies, baik yang tumbuh di daerah tropika maupun subtropika. Delapan spesies diantaranya terdapat di Indonesia dan banyak digunakan sebagai bahan obat, salah satunya adalah kunyit. Kandungan utama kunyit adalah minyak atsiri, kurkumin, pati, zat pahit, resin, protein, selulosa dan beberapa zat mineral. Kurkumin yang terkandung dalam kunyit merupakan suatu persenyawaan fenolik yang dapat mematikan mikroba dengan cara mendenaturasi protein sel dan merusak membran sel (Rukmana, 1995).

Kunyit merupakan salah satu alternatif fungisida nabati. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan fungisida nabati yang bersifat anti fungi cukup efektif dalam mengendalikan berbagai jenis patogen terbawa benih baik secara in vitro maupun in vivo. Tanaman ini menghasilkan produk baik dalam bentuk tepung, ekstrak atau minyak atsiri yang memiliki potensi sebagai pengendali patogen tanaman. Penggunaan kunyit sebagai anti fungi telah dilakukan terhadap beberapa jenis jamur diantaranya Coletotrichum falcatum Went, Fusarium moniliforme J. Sheld (Singh et al., 2002), dan Alternaria solani (Stangarlin et al., 2006). Ardiyanti (2003) juga mengungkapkan bahwa persenyawaan fenol yang terkandung pada kunyit dapat bersifat sebagai fungisida dan anti virus. Aktifitas fungisida dari rhizome kunyit mampu menekan Botrytis cineria, Erysiphe graminis, Phytophthora infestans, Pyricularia oryzae, Rhizoctonia solani secara in vivo.

Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan mengenai manfaat tepung curcuma dalam menjaga mutu benih. Penelitian Yullianida dan Murniati (2004) dengan perlakuan matriconditioning + kurkumin 4.17% secara eksogenus sebelum simpan terbukti mampu mempertahankan viabilitas benih bunga matahari hingga dua bulan. Sedangkan pada penelitian Lumbanraja (2006) pada benih pepaya yang direndam asam askorbat 350 ppm dan tepung curcuma 150 ppm mampu mempertahankan viabilitas dan vigor benih tersebut sampai dengan sembilan minggu. Perendaman dengan tepung curcuma 150 ppm sampai pada minggu ke-9 masih memiliki nilai daya berkecambah yang cukup tinggi sebesar 66.67%, sedangkan perlakuan asam askorbat 350 ppm mampu mempertahankan

(8)

viabilitas benih menjadi 74.76% dibandingkan kontrol yang hanya 56% dan telah mengalami kemunduran pada minggu ke-6.

Asam Askorbat

Asam askorbat adalah salah satu senyawa kimia yang disebut vitamin C. Struktur kimia asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 1. Asam askorbat atau disebut juga 2-oxo-L-threo-hexono-1.4-lactone-2.3-enediol dalam system IUPAC dan memiliki rumus molekul C6H8O5 dengan berat molekul 176.14 gram/mol. Senyawa ini berbentuk bubuk kristal kuning keputihan yang larut dalam air dan memiliki sifat-sifat antioksidan. Asam askorbat merupakan antioksidan menakjubkan yang melindungi sel dari stress ekstraseluler serta mampu menetralisir racun, melindungi sel dari senyawa oksigen reaktif dan radikal bebas serta mencegah kematian sel (Naidu, 2003). Senyawa ini penting dalam proses selular termasuk dalam pembelahan dan pembesaran sel serta dalam mengaktifkan aktivitas metabolisme ketika proses perkecambahan dimulai (Arrigoni et al., 1992).

Gambar 1. Struktur Kimia Asam Askorbat

Asam askorbat adalah antioksidan yang sangat efektif. Bahkan dalam jumlah yang kecil, asam askorbat dapat melindungi molekul-molekul penting di dalam tubuh seperti protein, lemak, dan asam nukleat dari kerusakan akibat radikal bebas dan reactive oxygen species yang dapat diproduksi selama proses metabolisme normal maupun yang berasal dari senyawa toksik maupun polusi (Gibson, 2005).

Asam askorbat dapat ditemukan pada sayuran, buah-buahan, dan juga organ hewan seperti hati, ginjal, dan otak. Selain itu, asam askorbat juga dapat

(9)

diperoleh melalui sintesis secara kimia. Asam askorbat dapat diproduksi dari glukosa melalui proses Reichstein, yang dikembangkan sekitar tahun 1930 menggunakan tahap pra fermentasi yang diikuti oleh proses kimia (Gibson, 2005). Pada penelitian Shaddad et al. (1989), perlakuan sebelum tanam benih Vicia faba dan Lupinus termis dalam larutan asam askorbat 50 ppm selama 4 jam menyebabkan kenaikan presentase perkecambahan, bobot kering kecambah, panjang kecambah, kandungan protein, karbohidrat, dan asam amino serta mampu mengatasi efek negatif yang ditimbulkan oleh cekaman salinitas. Asam askorbat dapat digunakan sebagai perlakuan benih sebelum simpan maupun sebelum tanam. Pada penelitian Yuningsih (2009) perlakuan pelapisan benih buncis dengan asam askorbat 350 ppm dengan periode simpan 20 minggu memiliki daya berkecambah tertinggi mencapai 96.67%. Sedangkan pada penelitian Hamama dan Murniati (2010) menyebutkan bahwa perlakuan asam askorbat 55 mM pada benih jagung varietas Arjuna dan Bisma sebelum tanam pada kondisi kekeringan dapat menaikkan daya berkecambah. Pada benih jagung varietas Arjuna, daya berkecambah benih tanpa perlakuan adalah 50.7% menjadi 68% setelah diberi perlakuan asam askorbat, sedangkan pada benih jagung varietas Bisma daya berkecambah benih tanpa perlakuan adalah 41.3% menjadi 88% setelah diberi perlakuan.

Arabic Gum

Arabic gum dihasilkan dari getah bermacam-macam pohon Acasia sp. di Sudan dan Senegal. Arabic gum pada dasarnya merupakan serangkaian satuan-satuan D-galaktosa, L-arabinosa, asam D-galakturonat dan L-ramnosa. Berat molekulnya antara 250 000 - 1 000 000. Arabic gum jauh lebih mudah larut dalam air dibanding hidrokoloid lainnya. Pada olahan pangan yang banyak mengandung gula, arabic gum digunakan untuk mendorong pembentukan emulsi lemak yang mantap dan mencegah kristalisasi gula. Selain itu, arabic gum juga dapat digunakan untuk pengikat flavor, pembentuk lapisan tipis, dan bahan pengental. Di Mesir, penggunaan arabic gum telah dikenal sejak zaman dahulu, yaitu sebagai bahan untuk pengawetan mayat (Toure, 2008). Menurut Imeson (1999), arabic

(10)

gum stabil dalam larutan asam. Nilai pH alami gum dari Acasia Senegal ini berkisar 3.9 - 4.9 yang berasal dari residu asam glukoronik.

Penelitian Setiawan (2005) mengenai coating benih cabai menggunakan perekat arabic gum menunjukkan hasil bahwa formula coating tidak bersifat toksik pada benih cabai. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai viabilitas yang masih tetap tinggi. Berdasarkan nilai tengahnya, perlakuan arabic gum 0.50 g/ml + pewarna hijau memiliki viabilitas potensial dan viabilitas total yang paling tinggi yaitu masing-masing bernilai 95% dan 98.5%.

Referensi

Dokumen terkait

Pada sebagian kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu

Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pada pasal 1 angka 1 dan juga pada Pasal 171 Kompilasi Hukum

Untuk skema PLTMH pemanfaatan air yang digunakan adalah dengan model Run off River (ROR), Dimana air sungai yang di perlukan hanya di belokan arahnya dan bendung

Permainan simulasi ini dimulai, tiap-tiap perwakilan kelompok menentukan topik yang akan dibahasnya dengan cara diundi. Kemudian masing-masing kelompok mengadakan diskusi

D D D Dengan kata lain, bila terjadi engan kata lain, bila terjadi engan kata lain, bila terjadi engan kata lain, bila terjadi perubahan jumlah permintaan dan

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh oleh Ryanda Bella Rengku (2012), yang menyatakan bahwa faktor internal berupa mental

Zeolit adalah salah satu contoh katalis asam padat, dan dipilih sebagai katalis karena memiliki beberapa keunggulan seperti mudah dipisahkan dari produk karena

proposal tahun 2016.Tahap pertama dan kedua itu sudah ada yang gugur, terus kemudian yang tidak gugur ini dikategorikan menjadi 3 cluster (kelompok,- red)), dimana