• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDY OF OCEANOGRAPHY AND FISHERIES IN PULO ACEH WATERS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDY OF OCEANOGRAPHY AND FISHERIES IN PULO ACEH WATERS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 10, No. 2, 2010

STUDY OF OCEANOGRAPHY AND FISHERIES IN PULO

Rizwa

Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Unsyiah

Abstract. Fish Abundance is strongly influenced by the bio

purpose, oceanographic research is needed to mapping the environmental information such as temperature, salinity, and chlorophyll spatial distribution, especially in the waters of Pulo Aceh. The objective of this study was to find out some oceanograpic parameter such as temperature, salinity, and chlorophyll

see the spasial distribution of fish in Pulo A

Sea temperature are between 27.3840 to 30.1638 ° C, salinity are 30.2003 0.1234-0.7325 ug/l. fish catches in the Pulo Aceh waters is g

Decapterus Sp and mackerel. The highest number of fish was found at Station 3

I. PENDAHULUAN

Produksi perikanan secara umum dapat dikaitkan dengan faktor-faktor fisik perairan laut seperti suhu, salinitas, kandungan klorofil, runoff sungai, percampuran yang disebabkan oleh angin serta faktor lainnya yang mendukung pertumbuhan ikan. [1,2,3]. Keberadaan ikan atau kelompok ikan dapat diketahui dengan memanfaatkan pengetahuan tentang persyaratan yang dibutuhkan oleh suatu spesies tertentu seperti suhu optimum atau metode termometrik. Pemanduan ini dap

efesiensi dalam kegiatan pencarian ikan pelagis. Proses reproduksi dan pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh suhu, yang kemudian dapat pula mempengaruhi kelimpahan spesies dan pergeseran rantai makanan di suatu wilayah

adalah faktor yang paling mudah diukur dan salah satu faktor penting yang mempengaruhi tingkah laku ikan, namun terdapat sejumlah faktor lainnya yang turut berpengaruh; sehingga perkiraan konsentrasi ikan berdasarkan suhu perlu dikaitkan pula dengan faktor-faktor fisik lainnya.

lingkungan dapat saling berinteraksi dalam menentukan distribusi dan ketersediaan ikan. Informasi tersebut dianalisis dan dimanfaatkan antara lain untuk mengidentifikasi kondisi lingkungan perairan yang dibutuhkan

pelagis tertentu untuk hidup dan berkembang biak, yang selanjutnya diprediksi sebagai lokasi

ground. Pendekatan prediksi ini telah digunakan

oleh nelayan asing untuk mengetahui dimana saja

STUDY OF OCEANOGRAPHY AND FISHERIES IN PULO

ACEH WATERS

Rizwan, Syahrul Purnawan, Edy Miswar

Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Unsyiah

is strongly influenced by the bio-physical properties of dynamic Indonesian waters. For this purpose, oceanographic research is needed to mapping the environmental information such as temperature, salinity, and specially in the waters of Pulo Aceh. The objective of this study was to find out some oceanograpic parameter such as temperature, salinity, and chlorophyll distribution at ten observation stations and also to see the spasial distribution of fish in Pulo Aceh waters. Study was conducted from Juli to September 2010. The ranges of Sea temperature are between 27.3840 to 30.1638 ° C, salinity are 30.2003-34.2060 ppt, and chlorophyll distribution are 0.7325 ug/l. fish catches in the Pulo Aceh waters is generally from small pelagic fish such as skipjack tuna,

The highest number of fish was found at Station 3

.

Produksi perikanan secara umum dapat dikaitkan faktor fisik perairan laut seperti suhu, salinitas, kandungan klorofil, runoff sungai, percampuran yang disebabkan oleh angin serta nya yang mendukung pertumbuhan ikan. ikan atau kelompok ikan dapat diketahui dengan memanfaatkan pengetahuan tentang persyaratan yang dibutuhkan oleh suatu spesies tertentu seperti suhu optimum atau metode termometrik. Pemanduan ini dapat memberikan efesiensi dalam kegiatan pencarian ikan pelagis. Proses reproduksi dan pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh suhu, yang kemudian dapat pula mempengaruhi kelimpahan spesies dan pergeseran wilayah [4]. Meskipun suhu dalah faktor yang paling mudah diukur dan salah satu faktor penting yang mempengaruhi tingkah laku ikan, namun terdapat sejumlah faktor lainnya yang turut berpengaruh; sehingga perkiraan konsentrasi ikan berdasarkan suhu perlu dikaitkan pula dengan Beberapa faktor lingkungan dapat saling berinteraksi dalam menentukan distribusi dan ketersediaan ikan. Informasi tersebut dianalisis dan dimanfaatkan antara lain untuk mengidentifikasi kondisi lingkungan perairan yang dibutuhkan oleh ikan pelagis tertentu untuk hidup dan berkembang biak, yang selanjutnya diprediksi sebagai lokasi fishing . Pendekatan prediksi ini telah digunakan oleh nelayan asing untuk mengetahui dimana saja

ada lumbung ikan, termasuk yang ada di perairan Aceh yang terkenal kaya dengan sumberdaya lautnya. Oleh karena itu, pemahaman mengenai karakteristik serta dinamika fenomena tersebut menjadi sangat penting terutama untuk mengkaji potensi perikanan tangkap di wilayah pesisir dan lautan.

Mengingat ikan-ikan pelagis merupakan hewan yang dapat berenang bebas dengan cepat dan penyebarannya sangat luas di laut, maka hewan hewan tersebut sangat sulit untuk diteliti dan mustahil kirannya mengurung mereka dalam kurungan dalam kondisi alamiah

itu diperlukan penelitian yang melihat kecenderungan keberadaan ikan di suatu tempat berdasarkan kondisi-kondisi tertentu, seperti keberadaan makanan atau kondisi perairan yang sesuai untuk jenis ikan tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan hubungan dasar antara keberadaan ikan dan kondisi oseanografi di perairan Pulo Aceh. Penelitian ini dibatasi hanya untuk melihat sebaran ikan di perairan Pulo Aceh dan kondisi oseanografi yang ada di daer

Mengingat perairan Pulo Aceh merupakan perairan yang tidak begitu luas sehingga memiliki kondisi yang cenderung seragam sehingga tidak memungkinkan mendapatkan hubungan empiris antara faktor oseanografi dan perikanan. Manfaat yang diberikan adalah tersedianya informasi kondisi oseanografi dan pemetaan sumberdaya perikanan untuk dimanfaatkan, serta peningkatan

STUDY OF OCEANOGRAPHY AND FISHERIES IN PULO

Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Unsyiah

physical properties of dynamic Indonesian waters. For this purpose, oceanographic research is needed to mapping the environmental information such as temperature, salinity, and specially in the waters of Pulo Aceh. The objective of this study was to find out some distribution at ten observation stations and also to ceh waters. Study was conducted from Juli to September 2010. The ranges of 34.2060 ppt, and chlorophyll distribution are enerally from small pelagic fish such as skipjack tuna,

ada lumbung ikan, termasuk yang ada di perairan ceh yang terkenal kaya dengan sumberdaya lautnya. Oleh karena itu, pemahaman mengenai karakteristik serta dinamika fenomena tersebut menjadi sangat penting terutama untuk mengkaji potensi perikanan tangkap di wilayah pesisir dan

n pelagis merupakan hewan yang dapat berenang bebas dengan cepat dan penyebarannya sangat luas di laut, maka hewan-hewan tersebut sangat sulit untuk diteliti dan mustahil kirannya mengurung mereka dalam dalam kondisi alamiah [5]. Oleh karena iperlukan penelitian yang melihat kecenderungan keberadaan ikan di suatu tempat kondisi tertentu, seperti keberadaan makanan atau kondisi perairan yang sesuai untuk jenis ikan tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan hubungan dasar antara keberadaan ikan dan kondisi oseanografi di perairan Pulo Aceh. Penelitian ini dibatasi hanya untuk melihat sebaran ikan di perairan Pulo Aceh dan kondisi oseanografi yang ada di daerah tersebut. Mengingat perairan Pulo Aceh merupakan perairan yang tidak begitu luas sehingga memiliki kondisi yang cenderung seragam sehingga tidak memungkinkan mendapatkan hubungan empiris antara faktor oseanografi dan perikanan. Manfaat alah tersedianya informasi kondisi oseanografi dan pemetaan sumberdaya perikanan untuk dimanfaatkan, serta peningkatan

(2)

36 efesiensi dan efektifitas penangkapan oleh para nelayan di sekitar perairan Pulo Aceh.

II. METODE PENELITIAN

Survei dilakukan dari bulan Juni hingga Oktober 2010 di perairan Pulo Aceh menggunakan kapal nelayan Ata Droe dan Victory ( 14 GT). Pengambilan data dilakukan pada titik-titik yang memiliki kedalaman minimum 30 meter dimana pukat cincin dapat beroperasi, untuk melakukan proses pegambilan data hasil tangkapan ikan. Pengukuran kedalaman perairan menggunakan data echosounder yang dikumpulkan oleh Panglima Laot Aceh dan data dari UCSD [6]. Setelah ditentukan lokasi yang sesuai maka pengambilan data dilakukan sebanyak sepuluh stasiun yang terletak di sekitar perairan Pulo Aceh. Sebaran lokasi pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 1. Pengambilan data oseanografi meliputi pengukuran suhu, salinitas, kandungan klorofil di perairan menggunakan instrumen CTD dengan ketebalan lapisan 30 meter. Selanjutnya dilihat pola sebaran parameter oseanografi berdasarkan profil menegak dan horizontal menggunakan software Surfer 8. Data hasil tangkapan diperoleh dengan cara menurunkan pukat cincin atau purse seine pada setiap titik sampel. Pukat cincin yang digunakan umumnya memiliki kedalaman operasional sekitar 30 meter dengan ukuran mata jaring adalah 3 inchi. Penangkapan dilakukan pada malam dan siang hari. Pada malam hari operasi penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan bantuan lampu sorot.

Data sebaran ikan juga diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh para nelayan. Umumnya nelayan Aceh merupakan nelayan tradisional yang umumnya fokus pada ikan demersal dekat pantai serta ikan pelagis ukuran kecil dan sedang. Biasanya mereka beroperasi harian dan berada pada daerah tidak begitu jauh dari pantai [7].

Sebagian besar ikan-ikan di Pulo Aceh tersebut ditangkap menggunakan purse seine atau pukat cincin. Alat tangkap ini sesuai untuk menangkap berbagai jenis ikan, terutama ikan-ikan pelagis kecil. Jenis alat tangkap lainnya yang digunakan seperti rawai untuk menangkap ikan pelagis, jaring insang untuk menangap hiu dan pari, serta pancing dan bubu untuk menangkap ikan-ikan karang seperti kerapu. Umumnya alat tangkap yang digunakan oleh nelayan memiliki kedalaman operasional sekitar 30 meter [7].

Gambar 1. Lokasi Penelitian di perairan Pulo Aceh

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perairan Pulo Aceh yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia membuat kontur dasar laut di sekitar Pulo Aceh memiliki dasar yang relatif dalam. Perairan dangkal hanya ditemukan di daerah yang tidak begitu jauh dari garis pantai. Data batimetri ini digunakan untuk menentukan lokasi penelitian yang tepat. Peta batimetri di perairan Pulo Aceh dapat dilihat pada G

ambar 2.

Gambar 2. Peta Batimetri di sekitar perairan Pulo Aceh. 1. Kajian Oseanografi

Kondisi oseanografi dapat digambarkan melalui pola sebaran suhu (°C), salinitas (‰) dan klorofil (ug/l) yang diukur pada sepuluh stasiun pengamatan. Sebaran horizontal dibagi berdasarkan tiga lapisan kedalaman yaitu permukaan, lapisan 15 meter, dan lapisan 30 meter.

Suhu

Kisaran suhu yang diperoleh dari hasil pengukuran menggambarkan bahwa perairan Pulo Aceh masih

95 95.1 95.2 95.3 95.4 BT (derajat) 5.6 5.7 5.8 L U ( d e ra ja t) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 P. P. P. 94.9 95 95.1 95.2 95.3 95.4 BT (derajat) 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 L U ( d e ra ja t) -1500m -800m -400m -200m -100m -50m -40m -30m -20m -15m -10m -5m 0m

(3)

37 dalam kategori lapisan hangat atau merupakan lapisan tercampur (mixed layer), mengingat lokasi penelitian memiliki kedalaman perairan yang relatif dangkal. Hasil pengukuran parameter suhu perairan (°C) menunjukkan nilai terendah 27.83 °C hingga yang tertinggi 30.16 °C dengan nilai rata-rata sebesar 29.66 °C dan standar deviasi 0.43. Suhu rata-rata per stasiun tertinggi berada pada Stasiun 10 sebesar 30.16 °C dan terendah pada Stasiun 8 sebesar 28.73 °C.

Secara umum profil menegak suhu menunjukkan nilai yang relatif lebih tinggi pada daerah permukaan dan semakin menurun seiring bertambahnya kedalaman.. Hal ini disebabkan karena daerah permukaan menerima intensitas matahari yang lebih tinggi, dan semakin berkurang pada daerah yang lebih dalam. Stasiun 10 memiliki suhu yang relatif tinggi yaitu sekitar 30 °C dari bagian permukaan hingga kedalaman 40 dan memperlihatkan sifat yang homogen pada lapisan tersebut. Hal ini menunjukkan terjadi proses percampuran massa air yang cukup kuat pada lapisan tersebut (Gambar 3). Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ross [8] dan Wyrtki [9] bahwa lapisan-lapisan/stratifikasi dalam perairan diakibatkan oleh beberapa faktor

misalnya untuk di lapisan permukaan dipengaruhi oleh curah hujan, penguapan, dinamika gerakan massa air, kecepatan angin yang bertiup di atasnya yang menyebabkan terjadinya gaya friksi antara angin dan air laut, sehingga akan menyebabkan pergerakan massa air dan terjadinya proses pengadukan air laut. Besar kecilnya kecepatan angin yang berhembus di atas permukaan laut akan mempengaruhi proses pengadukan massa air yang selanjutnya akan mempengaruhi ketebalan lapisan homogen.

Berdasarkan sebaran horizontal diperoleh nilai rata-rata sebesar 29.77 °C pada lapisan permukaan, 29.71 °C pada lapisan 15 meter dan lapisan 30 meter memiliki suhu rata-rata 29.37 °C (Gambar 4). Stasiun 8 dan 2 memiliki suhu yang cenderung lebih rendah pada tiap lapisannya. Perbedaan kisaran suhu tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan waktu pengukuran, kondisi pasut, kondisi meteorologi terutama angin dan hujan, kedalaman, dan lokasi pengukuran dan kondisi keterbukaan dari lepas pantai.

Gambar 3. Sebaran menegak suhu pada tiap stasiun pengamatan

Gambar 4. Sebaran suhu (°C) pada: (a) lapisan permukaan, (b) 15 meter, (c) 30 meter Suhu pada Stasiun 1-5

0 10 20 30 40 50 60 70 27 28 29 30 31

Suhu (de rajat)

K e d a la m a n ( m ) st 1 st2 st3 st4 st5

Suhu T ransek Stasiun 6-10 0 10 20 30 40 50 60 70 27 28 29 30 31 Suhu (derajat) K e d a la m a n ( m ) st6 st7 st8 st9 st10 94.9 94.95 95 95.05 95.1 95.15 95.2 95.25 95.3 95.35 95.4 BT (derajat) 5.5 5.55 5.6 5.65 5.7 5.75 5.8 L U ( d e ra ja t) 28 28.5 29 29.5 30 30.5 31 31.5 32 94.9 94.95 95 95.05 95.1 95.15 95.2 95.25 95.3 95.35 95.4 BT (derajat) 5.5 5.55 5.6 5.65 5.7 5.75 5.8 L U ( d e ra ja t) 28 28.5 29 29.5 30 30.5 31 31.5 32 94.9 94.95 95 95.05 95.1 95.15 95.2 95.25 95.3 95.35 95.4 BT (derajat) 5.5 5.55 5.6 5.65 5.7 5.75 5.8 L U ( d e ra ja t) 28 28.5 29 29.5 30 30.5 31 31.5 32

(a)

(b)

(c)

(4)

38

Salinitas

Salinitas terukur memiliki nilai 30.20 ‰ hingga 33.75 ‰ dengan rata-rata 33.27 ‰ dan standar deviasi 0.30. Salinitas rata-rata per stasiun terendah adalah 32.82 ‰ pada Stasiun 8 dan tertinggi berada pada Stasiun 2 sebesar 33.43 ‰. Profil menegak salinitas menunjukkan kecenderungan adanya pertambahan nilai seiring bertambahnya kedalaman (Gambar 5). Menurut Ross [8] salinitas akan mencapai maksimum pada lapisan di bawah haloklin (600 – 1000 m) akan tetapi perubahannya relatif kecil.

Berdasarkan sebaran horizontal salinitas pada lapisan permukaan diperoleh nilai rata-rata 32.98 ‰, 33.27 ‰ pada lapisan kedalaman 15 meter, dan 33.42 ‰ pada lapisan kedalaman 30 meter. Sebaran horizontal salinitas pada tiap lapisan kedalaman dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 5. Sebaran menegak salinitas pada tiap stasiun pengamatan

Gambar 6. Sebaran salinitas (‰) pada: (a) lapisan permukaan, (b) 15 meter, (c) 30 meter.

Daerah permukaan pada Stasiun 8 memiliki salinitas yang lebih rendah dibandingkan stasiun lain. Hal ini dapat disebabkan oleh masih terdapatnya pengaruh

runoff sungai dari Krueng Aceh yang membawa

massa air tawar yang cukup besar. Mengingat air

tawar memiliki densitas yang lebih rendah, maka massa air dengan salinitas yang lebih rendah akan cenderung berada di atas massa air bersalinitas tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Wyrtki [9] bahwa perubahan salinitas sangat dipengaruhi oleh

Salinitas T ransek Stasiun 6-10

0 10 20 30 40 50 60 70 30 31 32 33 Salinitas (‰ ) K e d a la m a n ( m ) st6 st7 st8 st9 st10

Salinitas pada Stasiun 1-5 0 10 20 30 40 50 60 70 30 31 32 33 Salinitas (‰ ) K e d a la m a n ( m ) st 1 st2 st3 st4 st5 94.9 94.95 95 95.05 95.1 95.15 95.2 95.25 95.3 95.35 95.4 BT (derajat) 5.5 5.55 5.6 5.65 5.7 5.75 5.8 L U ( d e ra ja t) 30 30.5 31 31.5 32 32.5 33 33.5 94.9 94.95 95 95.05 95.1 95.15 95.2 95.25 95.3 95.35 95.4 BT (derajat) 5.5 5.55 5.6 5.65 5.7 5.75 5.8 L U ( d e ra ja t) 30 30.5 31 31.5 32 32.5 33 33.5 94.9 94.95 95 95.05 95.1 95.15 95.2 95.25 95.3 95.35 95.4 BT (derajat) 5.5 5.55 5.6 5.65 5.7 5.75 5.8 L U ( d e ra ja t) 30 30.5 31 31.5 32 32.5 33 33.5

(a)

(c)

(b)

(5)

39 struktur geografis, masukan air tawar dari sungai-sungai besar, curah hujan, penguapan dan sirkulasi massa air.

Klorofil

Hasil pengukuran parameter klorofil (ug/l) pada sepuluh stasiun di perairan Pulo Aceh menunjukkan nilai terendah 0.12 ug/l dan yang tertinggi 0.73 ug/l. Nilai rata-rata yang didapat sebesar 0.36 ug/l dan standar deviasi 0.10. Nilai klorofil rata-rata per stasiun tertinggi berada pada Stasiun 8 sebesar 0.53 ug/l dan yang terendah pada Stasiun 10 sebesar 0.25 ug/l. Profil klorofil (µg/l) tiap stasiun tidak menunjukkan adanya stratifikasi kandungan klorofil antar kedalaman dengan sedikit kecenderungan lebih tinggi pada lapisan dekat dasar perairan (Gambar 7). Sebaran horizontal klorofil pada lapisan permukaan

memiliki nilai rata-rata 0.33 ug/l, Lapisan 15 meter memiliki klorofil rata-rata 0.35 ug/l, dan 0.41 ug/l pada lapisan kedalaman 30 meter. Lapisan kedalaman 30 meter memiliki kandungan klorofil rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan lapisan kedalaman lainnya dimana hal tersebut dapat disebabkan oleh tingginya kandungan zat hara yang tersuspensi di lapisan dekat dasar laut dan akumulasi input zat hara yang berasal dari daratan khususnya di sekitar Stasiun 8. Tingginya kandungan klorofil pada Stasiun 8 dapat disebabkan oleh posisinya yang relatif dekat dengan muara sungai. Kondisi ini memberikan daerah tersebut pasokan nutrien yang berasal dari

runoff sungai. Sebaran horizontal kandungan

klorofil dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7. Sebaran menegak klorofil (ug/l) pada tiap stasiun

Gambar 8. Sebaran klorofil (ug/l) pada: (a) lapisan permukaan, (b) 15 meter, dan (c) 30 meter

95 95.1 95.2 95.3 95.4 BT (derajat) 5.6 5.7 5.8 L U ( d e ra ja t) 0.15 0.4 0.65 95 95.1 95.2 95.3 95.4 BT (derajat) 5.6 5.7 5.8 L U ( d e ra ja t) 0.15 0.4 0.65 95 95.1 95.2 95.3 95.4 BT (derajat) 5.6 5.7 5.8 L U ( d e ra ja t) 0.15 0.4 0.65

(a)

(b)

(c)

Klorofil T ransek Stasiun 6-10 0 10 20 30 40 50 60 70 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Klorofil (ug/l) K e d a la m a n ( m ) st6 st7 st8 st9 st10 Klorofil pada Stasiun 1-5

0 10 20 30 40 50 60 70 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Klorofil (ug/l) K e d a la m a n ( m ) st 1 st2 st3 st4 st5

(6)

40

Data Tangkapan

Referensi hasil tangkapan ikan pada waktu dilakukan penelitian menggunakan data hasil tangkapan ikan yang didaratkan pada TPI Lampulo pada bulan Juli hingga September tahun 2009 dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh [10]. Berdasarkan data data tersebut diperoleh informasi bahwa ikan cakalang merupakan hasil tangkapan terbesar yang didaratkan oleh nelayan yang beroperasi di sekitar perairan Pulo Aceh, yaitu rata-rata mencapai 819.98 kg/hari. Selain itu juga terdapat ikan layang dan tuna sirip kuning yang mencapai rata-rata 348.33 kg dan 217.72 kg per hari.

Berdasarkan data hasil tangkapan diketahui bahwa tangkapan ikan-ikan pelagis penting seperti cakalang, tuna, dan tongkol cenderung lebih besar pada bulan Agustus s.d. Desember sehingga nilai rata-rata hasil tangkapan untuk ikan-ikan jenis tersebut menjadi besar [10]. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pola ruaya ikan-ikan pelagis tersebut dan dapat pula disebabkan oleh berdekatan dengan muson timur (Juni-September) yang banyak membawa zat hara ke lapisan permukaan, sehingga lapisan permukaan menjadi subur seperti yang terjadi di sekitar Pulau Jawa [11,12].

Data hasil tangkapan juga diperoleh melalui pengamatan langsung dan pemberian kuisioner bagi para nelayan yang beroperasi di sekitar perairan Pulo Aceh (Gambar 9). Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa tangkapan besar banyak ditemukan pada Stasiun 3. Posisi Stasiun 3 yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia memungkin terjadinya pengangkatan massa air (upwelling) akibat defleksi yang disebabkan oleh perubahan kedalaman dasar laut yang semakin dangkal menuju arah timur Samudera Hindia. Adanya upwelling memberikan peluang untuk meningkatkan ptensi perikanan di daerah tersebut. Selain itu kandungan klorofil yang tinggi di sekitar Stasiun 3, terutama pada Stasiun 2 dan 8, turut memberikan pengaruh yang tidak langsung terhadap keberadaan ikan di Stasiun 3. Hal ini dapat dijelaskan dengan terori

location shifting dimana daerah yang kaya klorofil

sebagai indikator tingginya fitoplankton akan terdapat banyak ikan-ikan kecil, terutama pemakan plankton. Berdasarkan rantai makanan maka ikan kecil tersebut akan dimakan oleh ikan yang lebih besar, dan seterusnya. Sesuai dengan

sifat nekton, ikan akan bergerak aktif, sehingga terdapat kemungkinan ikan-ikan yang lebih besar ditemukan di sekitar bagian luar daerah yang kaya klorofil.

Gambar 9. Hasil tangkapan harian harian nelayan pada tiap stasiun

Ikan yang tertangkap pada Stasiun 3 umumnya merupakan ikan pelagis kecil seperti kembung, tongkol, sarden, lemuru dan selar yang umumnya tertangkap menggunakan purse seine. Ikan hiu dan pari juga ditemukan pada Stasiun ini. Stasiun 1 dan 2 memiliki jenis tangkapan ikan yang cenderung sama dengan Stasiun 3, namun memiliki nilai yang lebih rendah, terutama pada Stasiun 2 yang memiliki arus yang cukup kuat sehingga nelayan jarang beroperasi pada daerah tersebut. Kuatnya arus pada Stasiun 2 dapat disebabkan karena massa air Samudera Hindia bergerak melalui selat sempit yang memisahkan Pulau Nasi dan Pulau Breueh.

Pada Stasiun 4 dan 5 ditemukan tangkapan ikan kerapu, hiu dan pari. Posisi Stasiun 4 dan 5 yang berada tidak terlalu jauh dari keberadaan terumbu karang di utara Pulau Breueh memungkinkan jenis-jenis ikan karang tertangkap pada daerah tersebut. Biasanya ikan-ikan tersebut tertangkap oleh nelayan yang menggunakan purse seine sebagai hasil sampingan, selain ada beberapa nelayan yang memang khusus menangkap ikan-ikan karang menggunakan pancing dan bubu. Sedangkan hasil tangkapan pada Stasiun 6 hingga 10 umumnya merupakan ikan-ikan pelagis kecil seperti lemuru, selar, kembung, tongkol dan tuna. Sumberdaya ikan yang ditemukan di perairan Pulo Aceh umumnya merupakan jenis ikan pelagis kecil. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya neritik yang penyebarannya terutama

0 2 4 6 8 10 12 14 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Stasiun T a n g k a p a n ( to n /h a ri )

(7)

41 dekat pantai, di daerah di mana terjadi proses penaikan massa air (up welling) dan poorly

behaved karena makanan utamanya adalah

plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan [13]. Meskipun Stasiun 8 memiliki suhu yang rendah dan kandungan klorofil yang tinggi namun tidak disertai dengan jumlah tangkapan yang tinggi pula pada stasiun tersebut. Hal ini diduga akibat ikan di sekitar daerah tersebut sudah banyak banyak dieksploitasi, mengingat posisinya yang dekat dengan TPI Lampulo. Kemungkinan lain adalah adanya shifting lokasi dalam proses rantai makanan di sekitar perairan Pulo Aceh.

Ikan merupakan hewan berdarah dingin yang memiliki kisaran suhu optimum yang dibutuhkan agar metabolisme tubuh dapat berlangsung dengan baik. FAO [14] menyebutkan bahwa sejumlah ikan-ikan pelagis seperti tuna memiliki toleransi suhu antara 18- 31°C. Perairan Pulo Aceh memiliki kisaran suhu yang bernilai 27.3840 - 30.1638 °C sehingga memungkinkan keberadaan ikan pelagis di daerah tersebut.

KESIMPULAN

Hasil Pengukuran suhu memperlihatkan bahwa suhu perairan bernilai 27.83 -30.16 °C dengan rata-rata 29.66 °C dimana Stasiun 8 memiliki suhu rata-rata terendah yaitu sebesar 28.7314 °C dan tertinggi pada Stasiun 10 sebesar 30.16 °C. Salinitas bernilai 30.20 - 33.75 ‰ dengan rata-rata 33.27 ‰, nilai rata-rata per stasiun terendah berada pada Stasiun 8 yaitu 32.82 ‰ dan tertinggi adalah 33.43 ‰ pada Stasiun 2. Kandungan klorofil bernilai 0.12-0.73 ug/l dengan rata-rata 0.36 ug/l. Kandungan rata-rata klorofil per stasiun tertinggi ditemukan pada Stasiun 8 sebesar 0.53 ug/l dan terendah pada Stasiun 10 yakni sebesar 0.25 ug/l.

Hasil tangkapan ikan di perairan Pulo Aceh umumnya merupakan ikan pelagis kecil seperti cakalang, layang, tuna, kembung, dan lain-lain. Tangkapan ikan paling banyak ditemukan pada Stasiun 3, yang dapat disebabkan oleh pengaruh sifat fisik massa air Samudera Hindia yang terdapat pada stasiun ini.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Lembaga Penelitian Unsyiah, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh dan Lembaga Panglima Laot Aceh- Lampulo atas segala bantuan yang telah diberikan selama penelitian ini berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

1. R.R. Dickson and K. M. Brander, 1993, Effects of a changing windfield on cod stocks of the North Atlantic. In: ICES Symposium on

cod and climate change, 31

2. K.I. Stergiou, E. D. Christou and G. Petrakis, 1997, Modelling and forecasting monthly fisheries catches: comparison of regression, univariate and multivariate time series methods, Fisheries Research Vol. 29: 55-95. 3. D.V.P. Conway, S. H. Coombs and C. Smith,

1998, Feeding of anchovy Engraulis encrasicolus larvae in the northwestern Adriatic Sea in response to changing hydrobiological conditions. Marine Ecology

Progress Series 175: 35-49.

4. G.D. Sharp and Douglas R. McLain, 1993, Fisheries, El nino-southern Oscillation and Upper-Ocean Temperature Records: an Eastern Pasific Example. OCEANOGRAPHY Vol. 6, No. 1

5. A. Nontji, 2002, Laut Nusantara, Djambatan- Jakarta. 367

6. University of California San Diego. 2010. earth topography. http://www.topex.ucsd

.edu/marine_topo [September 2010].

7. FAO. 2007. An overview of the impact of the tsunami on selected coastal fisheries resources in Sri Lanka and Indonesia. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Regional Office for Asia and the Pasific. Thailand.

8. D.A. Ross, 1970, Introduction to Oceanography, Meredith Corporation, New

York.

9. K. Wyrtki, 1961, Physical oceanography of

the South-East Asian Waters, Naga Report

(8)

42 10. DKP-Aceh, 2009, Statistik Perikanan

Tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh.

11. N. Hendiarti, Suwarso, A. Edvin, A. Khairul, A. Retno, I.S. Suhendar, B. W. Ikhsan, 2005, Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around Java, Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005

12. M. Potier and B. Sadhotomo, 1995, Exploitation of the large and medium seiners fi sheries, 195– 214 in BIODYNEX: Biology, Dynamics, Exploitation of the small pelagic

fishes in the Java Sea, M. Potier and S. Nurhakim, eds. AARD/ORSTOM.

13. A. Mallawa, 1996, Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat, Lokakarya agenda penelitian program COREMAP II Kabupaten Selayar

14. Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2010. Thunnus albacares (Bonaterre, 1788)-Scombridae. http://www. fao.org/figis/servlet/Ferd?ds= species&fid=2 497 [September 2010].

Gambar

Gambar 1.  Lokasi Penelitian di perairan Pulo Aceh
Gambar 3. Sebaran menegak suhu pada tiap stasiun pengamatan
Gambar 5. Sebaran menegak salinitas pada tiap stasiun pengamatan
Gambar 7. Sebaran menegak klorofil (ug/l) pada tiap stasiun
+2

Referensi

Dokumen terkait

Secara normal domba memiliki saluran pencernaan mulai dari mulut, esophagus, lambung (rumen, reticulum, omasum, dan abomasum), usus halus (duodenum, jejenum, dan

Sistem komunikasi dengan menggunakan RS485 ini dapat digunakan untuk komunikasi Sistem komunikasi dengan menggunakan RS485 ini dapat digunakan untuk komunikasi data antara 32

BPJS Kesehatan menyampaikan kinerjanya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden,

Penilaian kinerja guru  pemula dilakukan sebagaimana penilaian kinerja yang diterapkan terhadap guru lain (senior) pada setiap tahun, dengan menggunakan Lembar Hasil

Penelitian ini akan membuat model penyesuaian tranfer knowledge SECI dengan unsur budaya lokal masyarakat sekitar (local knowledge) mengingat karakteristik pengusaha kerupuk

memberikan kontribusi nyata terhadap kepuasan konsumen dengan asumsi harga yang tepat dan terjangkau terhadap sebuah produk berpengaruh nyata, dengan harga yang sesuai

Dapatan kajian ini dikumpulkan dalam usaha pengkaji menghasilkan model hibrid ‘Art+Architecture Graphic Presentation Drawing’ (A+AGPD).Teori pemodelan Albert Bandura dan

Bahagian ini menerangkan metod y a n g digunakan dalam proses pembangunan sistem pakar iaitu Metod Kejuruteraan Pengetahuan (Durkin 1994) yang terdiri enam (6)