4 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spermatozoa
Sperma adalah sel yang berfungsi mengantarkan DNA dari jantan ke sel telur. Sel sperma diproduksi di testis oleh proses dinamis yang dikenal sebagai "spermatogenesis", proses ini menunjukkan kesamaan besar di antara organisme. Struktur dasar dari sperma yaitu kepala, bagian tengah, dan ekor. Namun, ada variasi luas dalam morfologi sperma di seluruh spesies, seperti perbedaan dalam hal ukuran keseluruhan sperma, bentuk dan jumlah sperma yang dihasilkan (Prakash, et al., 2013).
2.2 Struktur Spermatozoa
Setiap sperma adalah sel motil yang rumit, kaya akan DNA, dengan kepala yang sebagian besar terdiri dari bahan kromosom yang ditutupi oleh struktur seperti topi yaitu akrosom. Akrosom adalah organel mirip lisosom yang kaya akan enzim yang terlibat dalam penetrasi sperma pada sel telur dan kejadian lain yang berhubungan dengan pembuahan. Ekor motil sperma dibungkus oleh selubung yang mengandung banyak mitokondria pada bagian proksimal. Membran spermatid akhir dan spermatozoa mengandung bentuk kecil khusus enzim pengonversi angiotensin (ACE) yang disebut germinal angiotensin-converting enzyme (gACE) (Barrett, et al., 2019).
(Barrett, et al., 2019)
Gambar 1.1 Struktur Spermatozoa, terdiri dari kepala (akrosom, nukleus), badan, dan ekor
2.2.1 Pembentukan Sperma
Pembentukan sperma atau Spermatogenesis adalah proses dinamis perkembangan sel-sel spermatogenik dari tahap spermatogonia sampai terbentuk spermatozoa (Unitly, et al, 2014). Prosesnya dapat dibagi lagi menjadi tiga fase; proliferasi spermatogonia, pembelahan meiosis spermatosit, dan perubahan dinamis dalam bentuk dan isi inti dari spermatid haploid (spermiogenesis) (Komeya, et al., 2018). Spermatogenesis berlangsung di dalam tubuli seminiferi testis. Spermatogonia, spermatosit, dan spermatid berasosiasi secara spesifik membentuk siklus spermatogenik atau staging yang bervariasi antar spesies.
Pada fase ploriferasi spermatogonium akan bermitosis sebanyak 2 kali sehingga terbentuk spermatosit primer. Setelah pembelahan mitotik terakhir, spermatosit primer masuk ke fase istirahat ketika kromosom-kromosom terduplikasi dan untai-untai rangkap tersebut tetap menyatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiosis pertama. Selama meiosis, setiap spermatosit primer (dengan jumlah diploid 46 kromosom rangkap) membentuk dua spermatosit sekunder (masing-masing dengan jumlah haploid 23 kromosom rangkap) selama pembelahan meiosis pertama,
akhirnya menghasilkan empat spermatid (masingmasing dengan 23 kromosom tunggal) akibat pembelahan meiosis kedua (Hall, 2016). Setelah itu akan dilakukan pengemasan yang dikenal sebagai spermiogenesis. Sperma pada hakikatnya adalah sel yang "ditelanjangi", yaitu sebagian besar sitosol dan semua organel yang tidak dibutuhkan untuk menyampaikan informasi genetik sperma ke ovum telah disingkirkan. Karena itu, sperma dapat bergerak cepat, hanya membawa serta sedikit beban untuk melaksanakan pembuahan (Sherwood, 2016). Spermatozoa sebagai produk spermatogenesis mengalami migrasi dari tubuli seminiferi testis menuju epididimis untuk maturasi dan disimpan sementara. Stimulasi menyebabkan sebagian spermatozoa dialirkan melalui vas deferens menuju ampula untuk ditambahkan cairan dari accessory sex glands membentuk semen yang siap diejakulasikan.
Testosteron sebagai androgen utama yang diproduksi oleh sel-sel interstitial leydig, berperan dalam regulasi spermatogenesis, yaitu memacu pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel spermatogenik. Di samping itu testosteron juga berperan dalam menstimulasi pertumbuhan serta memelihara struktur dan fungsi organ-organ reproduksi (termasuk saluran dan kelenjar), serta memunculkan dan mempertahankan ciri kelamin jantan sekunder (Fitria, et al., 2015).
(Mescher, 2016)
2.3 Rokok Konvensional
2.3.1 Definisi Rokok Konvensional
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 56 tahun 2017 menyebutkan bahwa “rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.”
2.3.2 Kandungan Asap Rokok Konvensional
Jumlah komponen kimia pada asap rokok yang telah diidentifikasi mencapai 4.800 macam. Produksi bahan kimia yang terkandung dalam asap rokok dipengaruhi oleh kesempurnaan pembakaran dan juga temperaturnya. Beberapa unsur pokok pada asap rokok dalam bentuk gas diantaranya adalah karbon monoksida, dan nitrogen dioksida. Sedangkan dalam bentuk partikulat diantaranya adalah nikotin, tar, dan metal. (Halliwell & Gutteridge, 2015).
Aliran asap rokok dibagi menjadi dua, yaitu aliran asap pada saat rokok diisap (main stream), dan aliran asap pada saat tidak diisap (sidestream) (Harlev, et al., 2015). Untuk menganalisa kandungan kimia asap dilakukan dengan smoking machine, yang dilengkapi filter Cambridge untuk menangkap kondensat asap. Massa asap dibagi menjadi dua sebagai berikut:
a. Asap yang tertangkap filter Cambridge pada saat rokok diisap smoking machine sebagai kondensat asap. Kondensat asap ini disebut TPM (total particulate matter) yang komponen utamanya adalah air, nikotin, dan tar. Kondensat kering, adalah TPM setelah dikurangi air, sedangkan tar adalah TPM setelah dikurangi air dan nikotin. Kandungan kimia tar terdiri atas bermacam-macam senyawa.
b. Asap yang lolos dari filter Cambridge pada saat rokok diisap smoking machine dan asap yang keluar saat tidak diisap atau asap samping (sidestream). Kandungan kimia dari massa asap ini tercantum pada Tabel 2.3. Selain itu di dalam asap ini juga terkandung B-a-P (benzo - a - pyrine) dan TSNA (tobacco spesific nitrosamine). (Tirtosastro & Murdiyati, 2010) Tabel 2.1 Hasil analisis komponen kimia utama asap yang tertangkap filter Cambridge
Senyawa µg/batang rokok Senyawa µg/batang rokok
Nikotin 100-3000 Scopoletin 15-30
Nornikotin 5-150 Polifenol lain
Anatabin 5-15 Cyclotenes 40-70 Anabasin 5-12 Quiñónez 0,5 Alkaloid tembakau yang lain - Solanesol 600-1000 Bipyridils 10-30 Neophytadienes 200-350 n-Hentriacontane 100 Limonene 30-60
Total nonvolatil HC 300-400 Terpenes lain
Naftalena 2-4 Asam asetat 100-150
Naftalena lain 3-6 Asam stearate 50-75
Penanthrene 0,2-0,4 Asam oleat 40-110
Anthracenes 0,05-0,10 Asam linoleat 150-250
Fluorenes 0,6-1,0 Asam linolenat 150-250
Pyrenes 0,3-0,5 Asam laktat 60-80
Fluoranthenes 0,3-0,45 Indol 10-15
Karsinogen PAH 0,1-0,25 Skatole 12-16
Fenol 80-160 Indol lain
Fenol lain 60-180 Quinolines 2-4
Catechol 200-400 Aza-arenes lain
Dihydroxybenzenes
lain
200-400 (Tirtosastro & Murdiyati, 2010)
Tabel 2.2 Hasil analisis komponen kimia utama asap yang lolos filter Cambridge Senyawa Konsentrasi/batang
rokok (% aliran asap total)
Senyawa Konsentrasi/batang rokok (% aliran asap total) Nitrogen 280-120 mg
(56-64%)
Methyl-formate 20-30 µg
Oksigen 50-70 mg (11-14%) Asam volatil lain 5-10 µg Karbon dioksida 45-65 mg (9-13%) Formaldehida 20-100 µg Karbon
monoksida
14-23 mg (2-5%) Asetaldehida 400-1400 µg
Air 7-12 mg (1,5-2,5%) Acrolein 60-140 µg
Argon 5 mg (1%) Aldehida volatil
lain
60-140 µg
Hidrogen 0,5-1,0 mg Aseton 100-650 µg
Amonia 10-130 µg Keton volatil lain 50-100 µg Nitrogen oksida
Nox
100-680 µg Methanol 80-100 µg
Hidrogen sianida 400-500 µg Alkohol volatil lain
10-30 µg Hidrogen sulfida 20-90 µg Acetonitrile 100-150 µg Metana 1,0-2,0 mg Volatile nitriles
lain
50-80 µg
Volatile alkene 0,4-0,5 mg Furan 20-40 µg
Volatine alkenes lain 1,0-1,6 mg Volatile furanes lain 45-125 µg Isoprene 0,2-0,4 mg Pyridine 20-200 µg Butadiena 25-40 µg Picolines 15-80 µg Asetilena 20-35 µg 3-Vinylpyridine 7-30 µg
Benzena 6-70 µg Volatile pyridines lain 20-60 µg Toluena 5-90 µg Pyrrole 0,1-10 µg Syrene 10 µg Pyrrolidine 10-18 µg Hidrokarbon aromatik lain 15-35 µg N-Methyl pyrrolidine 2,0-3,0 µg Asam format 200-600 µg Volatile Pyrazines 3,0-8,0 µg
Asam asetat 300-1700 µg Metil amina 4-10 µg
Asam propionat 100-300 µg Amines aliphatic lain
3-10 µg (Tirtosastro & Murdiyati, 2010)
2.4 Rokok Elektronik
2.4.1 Definisi Rokok Elektronik
Rokok elektronik adalah perangkat yang dioperasikan dengan baterai yang secara elektronnik memanaskan larutan untuk membuat aerosol yang dapat dihirup. Larutan ini atau yang disebut e-liquid yang dipanaskan biasanya mengandung propilen glikol atau gliserin, air, nikotin, dan perasa. Rokok elektronik tidak mengandung tembakau, tidak mengandung asap dan tidak mengandalkan pembakaran (McNeill, et al., 2015). Electronic cigarette (rokok elektronik) atau e-cigarette merupakan salah satu NRT (Nicotine Replacement Therapy) yang menggunakan listrik dari tenaga baterai untuk memberikan nikotin dalam bentuk uap dan oleh WHO disebut sebagai Electronic Nicotine Delivery System (ENDS). Electronic cigarette dirancang untuk memberikan nikotin tanpa pembakaran tembakau dengan tetap memberikan sensasi merokok pada penggunanya. Electronic cigarette diciptakan di Cina lalu dipatenkan tahun 2005 dan dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai merek seperti NJOY, EPuffer, blu cigs, green smoke, smoking everywhere, dan lain-lain. Secara umum sebuah e-cigarette terdiri dari 3 bagian yaitu: battery (bagian yang berisi baterai), atomizer (bagian yang akan memanaskan dan menguapkan larutan nikotin) dan catridge (berisi larutan nikotin) seperti terlihat pada gambar di bawah ini. (Tanuwihardja, 2012)
(Tanuwihardja, 2012)
Gambar 2.3 Struktur E-Cigarette
Cara penggunaan e-cigarette seperti merokok biasa, saat dihisap lampu indikator merah pada ujung e-cigarette akan menyala layaknya api pada ujung rokok, lalu hisapan tersebut membuat chip dalam e-cigarette mengaktifkan baterai yang akan memanaskan larutan nikotin dan menghasilkan uap yang akan dihisap oleh pengguna (Tanuwihardja, 2012).
2.4.2 Kandungan Asap Rokok Elektronik
Kandungan pada cairan rokok elektronik berbeda-beda, namun pada umumnya berisi larutan terdiri dari 4 jenis campuran yaitu nikotin, propilen glikol, gliserin, air dan flavoring (perisa). Nikotin adalah zat yang sangat adiktif yang dapat merangsang sistem saraf, meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Selain itu, nikotin terbukti memiliki efek buruk pada proses reproduksi, berat badan janin dan perkembangan otak anak. Kandungan kadar nikotin dalam likuid rokok elektronik bervariasi dari kadar rendah hingga kadar tinggi. Namun seringkali kadar nikotin yang tertera di label tidak sesuai dan berbeda signifikan dari kadar yang diukur sebenarnya (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2015).
Dibawah ini merupakan beberapa kandungan yang terdapat pada rokok elektronik :
Glikol: merupakan komponen utama dalam rokok elektronik yaitu propilen glikol dan gliserin
Nikotin: Beberapa studi menemukan kandungan yang besar pada konsentrasi nikotin di seluruh merek, label, kartrid, dan cairan isi ulang. Beberapa studi yang lain menemukan kandungan yang lebih kecil
Logam: Kadmium, merkuri, timbal, dan arsenik masuk dalam daftar 10 bahan kimia yang menjadi perhatian publik WHO karena potensi toksisitasnya (Pisinger, 2015). Sebuah studi menemukan bahwa konsentrasi timbal dan kromium dalam rokok elektronik berada dalam kisaran rokok konvensional, sedangkan nikel hingga 100 kali lebih tinggi daripada rokok konvensional (Fernandez, 2015). Studi lain menemukan kandungan tembaga dalam rokok elektronik >6 kali lebih tinggi daripada asap rokok konvensional, penelitian lain menemukan kandungan timah dalam cairan rokok eletronik sama seperti pada rokok konvensional (Pisinger, 2015). Dan ditemukan konsentrasi kadmium, timah, nikel dan arsenik jauh lebih rendah daripada dalam asap rokok konvensional (Chen, 2015).
Table 2.3 Kandungan Kimia Asap Rokok Elektronik
Chemical class Analyte Smoking machine;
aerosol collection details Instrumentation: CRM/ISO standard Carbonyls Acetaldehyde Acrolein Crotonaldehyde Formaldehyde KC Automation 5- port linear ; 5 sets of 20 puffs
UPLC-UV; CRM N°74a
Aromatic amines 4-Aminobiphenyl 1- Aminonaphthale ne 2- Aminonaphthale ne Cerulean 20-port linear; 100 puffs pr battery exhaustion GC-MS; (Cambridge filter pad collection) Volatile organic compounds Acrylonitrile Benzene 1,3 Butadiene Isoprene Toluene KC automation 5-port linear; 100 puffs or battery exhaustion GC-MS; CRM N°70b Tobacco spesific nitrosamines NNK NNN KC automation 5-port linear; 100 puffs or battery exhaustion LC-MS/MS; CRM N°75ⅽ
Ammonia Ammonia Cerulean 20 port
linear; 100 puffs or battery exhaustion IC-CD; (2 impingers with acidic aqueus solution) Polyaromatic hydrocarbons
Benzo[a]pyrene Cerulean 20 port linear; 100 puffs or battery exhaustion GC-MS; (Cambridge filter pad collection) CRM N°58d /ISO 22634e �
Carbon monoxide Carbon monoxide Cerulean 20 port linear; 2 sets of 50 puffs CO anaylzer (IR) with SM450; CRM N°5f /ISO 8454g (Flora, et al., 2016)
2.5 Pengaruh Asap Rokok Terhadap Spermatozoa
Dikarenakan bahwa rokok mengandung lebih dari 4000 zat berbahaya, maka timbul kekhawatiran bahwa merokok dapat menyebabkan efek yang merugikan pada reproduksi pria. Pertama dan utama, rokok dapat menyebabkan berkurangnya kualitas sperma yaitu volume, kepadatan, motilitas, kelangsungan hidup, dan morfologi. Selain itu, gangguan hormon sistem reproduksi, disfungsi
spermatogenesis, proses pematangan sperma dan gangguan fungsi spermatozoa juga telah diamati pada perokok (Dai, et al., 2015).
Nikotin dalam asap rokok dapat menstimulasi medula adrenal untuk melepaskan katekolamin yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat, sehingga mekanisme umpan balik antara hipotalamus, hipofise anterior dan testis menjadi terganggu. Akibatnya sintesis hormon testosteron terganggu dan spermatogenesis juga terganggu (Putra, 2014).
Karbon monoksida merupakan gas beracun yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen serta bahan-bahan lainnya yang terkandung dalam rokok yang berbahaya dan merugikan bagi tubuh, sehingga berakibat pada kematian sel karena kekurangan oksigen (Putra, 2014)
2.6 Reactive Oxygen Species
Reactive Oxygen Species (ROS) adalah radikal bebas yang diturunkan dari oksigen. Infertilitas pria sangat berkorelasi dengan kelebihan ROS dalam semen manusia, menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan antara radikal bebas dan antioksidan sehingga terjadilah stress oksidatif. Pada kondisi stress oksidatif akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid, kerusakan DNA dan apoptosis sel (Bui, et al., 2018).
2.6.1 Sumber ROS
Sumber ROS berasal dari endogen dan eksogen, sumber utama ROS endogen adalah spermatozoa imatur dan leukosit dalam plasma mani. Spermatozoa imatur mengandung surplus sitoplasma residual di bagian tengah flagel. Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) adalah enzim
sitoplasma yang menstimulasi sistem oksidoreduktase dependen NADH mitokondria, yang kemudian mengarah pada produksi ROS
Jumlah leukosit dalam plasma seminal meningkat dengan infeksi saluran genital dan / atau peradangan (yaitu, epididimitis dan prostatitis.). Leukosit positif peroksidase dapat menghasilkan kira-kira 1.000 kali lebih banyak ROS daripada spermatozoa dengan meningkatkan produksi nikotinamid-adenin dinukleotida fosfat (NADPH) (Fatima, 2018).
Faktor ekstrinsik seperti merokok, asupan alkohol, dan paparan radiasi dan logam berat industri telah dikaitkan dengan peningkatan ROS dan infertilitas pria (Alahmar, 2019). Merokok telah dikaitkan dengan penurunan konsentrasi sperma, motilitas, dan perubahan morfologi (Sharma, et al., 2016). Merokok juga menimbulkan respons inflamasi kronis yang merekrut leukosit ke saluran genital dan menyebabkan peningkatan substansial dalam kadar ROS mani, serta peningkatan kerusakan DNA sperma (Bisht, et al., 2017)
2.6.2 Peroksidase Lipid
Spermatozoa rentan terhadap stress oksidatif karena membran plasma mereka mengandung persentase asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) yang luar biasa tinggi. Maka dengan tingginya produksi ROS akan menyebabkan kerusakan yang disebut dengan peroksidase lipid. Peroksidase lipid membran sel sperma ini menyebabkan hilangnya fluiditas dan integritas membran yang diperlukan untuk fusi sperma-oosit. Peroksidase lipid memiliki dua fase: fase pertama adalah "inisiasi," yang
merupakan abstraksi atom hidrogen dari asam lemak tak jenuh, dan fase kedua adalah "propagasi," yang merupakan pembentukan radikal alkil lipid yang diikuti dengan reaksi cepat dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksil lipid.
Produk peroksidase lipid adalah malondialdehyde (MDA), diena terkonjugasi, dan produk peroksidasi sekunder seperti aldehida jenuh dan tak jenuh, keton, asam oksida dan hidroksil, dan hidrokarbon jenuh dan tak jenuh (mis. Etana dan pentana) (Takeshima, et al., 2018).
Pada kondisi stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organ membran sel sehingga motilitas menurun (Tooy, et al., 2016). Radikal bebas juga dapat menurunkan frekuensi gerakan ekor spermatozoa karena radikal bebas menyebabkan produksi ATP mitokondria rendah. Mitokondria merupakan tempat proses perombakan atau katabolisme untuk menghasilkan energi bagi pergerakan ekor spermatozoa (Batubara, et al., 2013).
2.6.3 Kerusakan DNA
Radikal bebas memiliki kemampuan untuk secara langsung merusak DNA sperma dengan menyerang basis purin dan pirimidin. ROS menyebabkan kerusakan melalui pemutusan DNA untai tunggal dan ganda, cross links, dan penyusunan ulang kromosom. Sebagian besar genom sperma (85%) terikat dengan nukleoprotamin pusat yang melindunginya dari serangan radikal bebas. Pria yang tidak subur sering memiliki protaminasi yang kurang, yang dapat membuat DNA sperma
mereka lebih rentan terhadap kerusakan ROS. Mekanisme lain kerusakan DNA sperma adalah apoptosis yang diprakarsai radikal bebas, yang mengarah pada penghancuran DNA yang dimediasi caspase (Wagner, et al., 2017). Kadar ROS yang tinggi menyebabkan respons apoptosis yang tinggi dan tidak teratur. Peningkatan kadar caspase, khususnya caspase 3 dan caspase 9, serta peningkatan eksternalisasi fosfatidilserin telah dilaporkan dalam ejakulasi pria infertil (Bui, et al., 2018). ROS mampu mengganggu membran mitokondria dalam dan luar untuk melepaskan sitokrom C. Sitokrom C ini mengaktifkan caspases apoptosis. Mekanisme induksi apoptosis pada spermatozoa oleh ROS ini terbukti pada pria infertil, karena kadar sitokrom C yang tinggi ditemukan dalam plasma mani pria infertil, yang merupakan indikator kerusakan mitokondria yang parah (Dutta, et al., 2019).
(Wagner, et al., 2017)
Gambar 2.4 Stres oksidatif dan kerusakan pada DNA, mitokondria, dan membran plasma spermatozoa
2.7 Stres
Stres didefinisikan sebagai ancaman nyata atau yang dirasakan dari peristiwa buruk internal atau eksternal (atau stresor) terhadap homeostasis atau kesejahteraan suatu organisme (Nargund, 2015). Stres adalah fenomena multidimensi yang melibatkan sistem saraf dan endokrin. Langkah pertama dalam respon stres adalah persepsi ancaman (stressor). Setiap kali ada beberapa stresor - nyata atau yang dibayangkan, ia bertindak pada tingkat otak. Di otak, hipotalamus yang merasakan stresor. Ketika hipotalamus menghadapi ancaman, ia melakukan beberapa fungsi spesifik: 1. mengaktifkan sistem saraf otonom (SSO) 2. Merangsang poros Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) dengan melepaskan Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) dan 3. Sekresi arginine vassopresin (Antidiuretic Hormone ADH). SSO terdiri dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis. SSO mengatur aktivitas visceral seperti sirkulasi, pencernaan, respirasi, pengaturan suhu dan beberapa organ vital.
Sistem simpatik bertanggung jawab atas respons fight-or flight. Katekolamin: epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin) dilepaskan di berbagai sinapsis saraf. Pelepasan katekolamin ini menyebabkan beberapa perubahan seperti peningkatan denyut jantung dan kekuatan vasodilatasi kontraksi miokard arteri di seluruh otot yang bekerja dan vasokonstriksi arteri ke otot yang tidak bekerja; pelebaran pupil dan bronkus dan pengurangan aktivitas pencernaan dalam tubuh. Semua perubahan ini diperlukan untuk mempersiapkan tubuh menghadapi respons pertarungan atau pelarian. Efek dari hormon ini bertahan selama beberapa detik. Fungsi sistem saraf parasimpatis
berlawanan dengan fungsi sistem saraf simpatis dan membantu dalam konservasi energi dan relaksasi.
Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) bekerja di kelenjar hipofisis anterior, kelenjar endokrin yang terletak di otak. Pada stimulasi oleh CRH, hipofisis anterior mengeluarkan Adrenocorticotropin Hormone (ACTH). ACTH dilepaskan dari kelenjar hipofisis anterior sebagai respons terhadap CRH merangsang kelenjar adrenal yang terletak di ginjal. Ada dua bagian adrenal yaitu bagian luar disebut korteks dan bagian dalam disebut medula. ACTH menstimulasi korteks adrenal untuk melepaskan kortikoid (glukokortikoid dan mineralokortikoid). Fungsi utama glukokortikoid adalah melepaskan energi, yang diperlukan untuk mengatasi efek buruk stresor. Energi dilepaskan oleh konversi glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis) dan juga oleh pemecahan lemak menjadi asam lemak dan gliserol (lipolisis). Selain itu kortikoid ini memiliki beberapa fungsi lain seperti: meningkatkan produksi urea, menekan nafsu makan, menekan sistem kekebalan tubuh, memperburuk iritasi lambung, terkait perasaan depresi dan kehilangan kontrol. Ini adalah gejala yang umumnya terlihat pada seseorang di bawah tekanan.
Mineralokortikoid (aldosteron) meningkatkan retensi Na + dan menghilangkan K+. Ini meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan volume darah. Bagian medula kelenjar adrenal mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin. Fungsi hormon-hormon ini sama dengan fungsi yang dikeluarkan dari ujung saraf sistem saraf simpatis. Hormon-hormon ini disekresikan oleh medula adrenal, memperkuat fungsi sistem saraf simpatik. Pelepasan hormon-hormon ini dari medula adrenal bertindak sebagai sistem cadangan untuk
memastikan cara yang paling efisien untuk bertahan hidup secara fisik. Efek yang ditimbulkan oleh epinefrin dan norepinefrin (Sharma, 2018).
Glukokortikoid mempengaruhi fungsi testis pada berbagai tingkat aksis HPG melalui reseptornya dalam neuron hipotalamus, kelenjar hipofisis dan testis. Pada tingkat hipotalamus, reseptor glukokortikoid berkontribusi terhadap downregulasi yang dimediasi oleh glukokortikoid dari sumbu HPG. Penurunan regulasi GnRH oleh glukokortikoid menyebabkan penurunan pelepasan LH dan FSH secara pulsatil dari kelenjar hipofisis. Glukokortikoid juga mengurangi respons testis terhadap LH dan konsentrasi reseptor LH pada hewan dan manusia, yang menyebabkan berkurangnya sekresi testosteron (Nargund, 2015).
(Sherwood, 2016)
Gambar 2.5 Integrasi respons stres oleh hipotalamus. Pada awalnya stressor akan menstimulasi hipotalamus mengaktifkan sistem saraf simpatis, melepaskan Corticotrophin
Releasing Hormone (CRH), dan sekresi vasopressin. Sistem saraf simpatis akan melepas
katekolamin yang akan berpengaruh pada peningkatan denyut jantung, vasokonstriksi pembuluh darah dan relaksasi organ pencernaan. Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) akan menstimulasi hipofisis anterior untuk melepas ACTH yang akan merangsang korteks adrenal untuk melepaskan kortisol, sehingga menyebabkan peningkatan metabolism dan memobilisasi simpanan energi. Vasopressin akan menyebabkan retensi garam dan air untuk meningkatkan volume plasma dan mempertahankan tekanan darah.