• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK)

Jumlah IPHHK di Jawa Timur sampai dengan tahun 2011 tercatat sebanyak 467 industri dengan jumlah IPHHK terbanyak adalah industri dengan kapasitas dibawah 2.000 m3/tahun yaitu 274 industri. Selanjutnya adalah IPHHK dengan kapasitas antara 2.000 s/d 6.000 m3/th sebanyak 108 industri dan IPHHK dengan kapasitas diatas 6.000 m3/tahun sebanyak 85 industri.

Meskipun jumlah industri semakin bertambah setiap tahunnya, akan tetapi kenyataannya tidak semua industri pengolahan kayu ini beroperasi dengan

baik. Beberapa IPHHK menghentikan produksi dan sebagian lainnya

menurunkan kapasitas produksinya yang berimplikasi terhadap penurunan

produksi produk kayu. Permasalahan utama yang dihadapi IPHHK saat ini

adalah kesulitan untuk memperoleh bahan baku disamping permasalahan lain seperti inefisiensi industri dan daya saing produk yang rendah.

Penurunan jumlah dan kapasitas produksi dapat mempengaruhi

perekonomian Jawa Timur antara lain dengan banyaknya pemutusan tenaga kerja dengan karyawan industri hasil hutan dan lambatnya pertumbuhan ekonomi. Hal ini tidak sejalan dengan misi dari revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan sesuai Permenhut No. P.10/Menhut-II/2011 yaitu bagaimana hutan dan industri kehutanan meningkat memberikan lapangan kerja sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Sektor industri kayu pernah mengalami masa jayanya pada periode 1980 sampai akhir 1990 an. Pada masa itu perolehan devisa dari industri perkayuan mencapai US$ 6 miliar hingga US$ 7 miliar. Akan tetapi kerusakan hutan alam yang parah karena over eksploitasi industri kayu menyebabkan pemerintah menetapkan kebijakan “Soft Landing” sejak tahun 2003. Pokok isinya kebijakan ini adalah mengurangi peran hutan alam sebagai pemasok kayu untuk industri perkayuan, seperti pulp/kertas, kayu lapis dan industri kayu pertukangan lain untuk menjamin keberadaan dan kelestarian hutan alam. Implikasi kebijakan ini menyebabkan penurunan ekspor produk perkayuan, perolehan devisa, pajak, kesempatan kerja dan menurunnya pertumbuhan ekonomi dari subsektor barang dari kayu dan hasil hutan lainnya.

(2)

Gambar 14. Industri Plywood Berbahan Baku Sengon di Lumajang

Pada tahun 2011 industri barang kayu dan hasil hutan mulai menunjukan tanda-tanda kebangkitan setelah beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. Kementerian Perindustrian mencatat industri ini tumbuh sebesar 3,01% dibandingkan periode yang sama tahun 2010 karena permintaan yang meningkat dan harga komoditas kayu dunia yang sedang tinggi. Pertumbuhan industri sendiri dilihat secara menyeluruh seperti jumlah industri, volume produksi dan ekspor.

Pertumbuhan ini didorong oleh berkembangnya hutan tanaman rakyat di berbagai daerah terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat yang

menjadi sentra pemasok bahan baku kayu rakyat. Disamping itu industri

kehutanan yang memanfaatkan bahan baku rakyat semakin mendapatkan tempat di pasar internasional. Reaksi pasar internasional ini didukung dengan adanya issu dan gerakan anti illegal logging yang dinilai telah menghancurkan hutan tropis.

Kayu tanaman masyarakat dianggap sebagai salah satu komoditas yang ramah lingkungan. Disamping itu gencarnya semangat untuk mempromosikan produk yang ramah lingkungan dan adanya procurement policy dari negara pengimpor kayu yang hanya akan menerima produk kayu legal yang dapat dipertanggungjawabkan asal-usulnya, telah merubah kebijakan industri dalam hal pemenuhan bahan bakunya (Dir BIKPHH, 2006)

(3)

Ditinjau dari segi lokasi industri di Jawa Timur, total IPHHK terbanyak berada pada Kabupaten Lumajang, Gresik dan Jombang. Untuk industri dengan kapasitas diatas 6.000 m3/th paling banyak berada di Kabupaten Lumajang,

Surabaya dan Gresik. Industri ini merupakan industri besar yang menyerap

jumlah tenaga kerja dan bahan baku yang banyak serta produk akhir berorientasi untuk eksport seperti plywood dan veneer.

Menurut Weber dalam Rustiadi et al., (2009), tanpa adanya perbedaan biaya produksi antar lokasi, maka keputusan penempatan lokasi industri manufaktur akan ditentukan oleh dua faktor yaitu (1) Bobot Bahan baku dan bobot produk akhir yang akan diangkut ke pasar; dan (2) jarak tempuh dari bahan baku dan produk yang harus dipindahkan.

Faktor-faktor yang akan mempengaruhi lokasi industri secara regional

adalah ongkos trasport dan biaya tenaga kerja. Apabila faktor-faktor lain

diabaikan maka lokasi industri akan terletak pada tempat-tempat yang

mempunyai ongkos trasport yang minimum. Ongkos transport ini meliputi

ongkos pengangkutan bahan-bahan baku ketempat produksi dan ongkos pengangkutan hasil/produksi ke tempat konsumen (Sitorus, 2010). Ongkos trasportasi tergantung dari : (1) Berat dan volume yang diangkut (2) Jarak yang ditempuh (3) Sistem dan alat trasportasi yang dipakai (4) Keadaan daerah dan keadaan jaringan jalan serta (5) macam barang yang diangkut. Hal ini dapat menjelaskan kenapa sebagian besar industri dengan kapasitas diatas 6.000 m3/tahun membangun pabrik di daerah Surabaya dan Gresik.

Pada awalnya pasokan bahan baku berasal dari hutan alam dari luar jawa seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang pengangkutannya menggunakan

transportasi laut. Kayu log ini masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak di

Surabaya sebelum akhirnya diangkut ke industri menggunakan transportasi darat. Sebagian besar produk dari industri besar adalah untuk keperluan eksport yang pengangkutannya juga menggunakan kapal laut. Letak pelabuhan yang dekat menyebabkan industri membangun pabrik pengolahan kayu di Surabaya dan Gresik untuk meminimalkan biaya transportasi dan biaya lainnya disamping fasilitas pendukung transportasi lain yang dimiliki Surabaya sebagai ibukota provinsi dan Gresik sebagai satelitnya lebih baik dari daerah lain. Ini juga terlihat pada gambar 15 dimana industri berkapasitas 2.000-6.000 m3/tahun terbesar berada di Gresik dan Surabaya.

(4)

Gambar 15. Sebaran IPHHK menurut Kabupaten se Jawa Timur Tahun 2011

Gambar 15 nenunjukkan bahwa industri berskala relatif kecil yaitu dibawah 2.000 m3/thn terbanyak berada pada Kabupaten Jombang, Sumenep dan Malang. Hal ini dikarenakan industri tersebut umumnya memproduksi kayu gergajian. Sehingga lokasinya mendekati sumber bahan baku baik dari Perum Perhutani maupun dari hutan rakyat dan biasanya untuk memenuhi kebutuhan kayu lokal seperti kayu pertukangan, mebel dan sebagainya.

- 10 20 30 40 50 60 70 Kab. Banyuwangi Kab. Bojonegoro Kab. Gresik Kab. Jember Kab. Jombang Kab. Kediri Kab. Lamongan Kab. Lumajang Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Malang Kab. Mojokerto Kab. Nganjuk Kab. Ngawi Kab. Pacitan Kab. Pasuruan Kab. Ponorogo Kab. Probolinggo Kab. Sidoarjo Kab. Sumenep Kab. Trenggalek Kab. Tuban Kab. Tulungagung Kota Kediri Kota Malang Kota Surabaya

Jumlah IPPHK Jawa Timur Tahun 2011

(5)

5.2 Identifikasi Jenis Tanaman Prioritas untuk Pengembangan Hutan Rakyat di Jawa Timur

Penetapan jenis tanaman yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di Jawa Timur adalah berdasarkan kebutuhan industri kayu yang terdapat di Jawa Timur, berdasarkan prefensi masyarakat mengenai tanaman apa yang lebih disukai untuk ditanam serta berdasarkan potensi hutan rakyat eksisting di Jawa Timur.

5.2.1 Kebutuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu

Dari seluruh IPHHK yang terdaftar di Provinsi Jawa Timur, Kebutuhan bahan baku industri primer hasil hutan di Provinsi Jawa Timur sesuai dengan kapasitas produksi dapat dilihat pada tabel 8 berikut.

Tabel 8 Kebutuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Dan Kapasitas

Produksi Di Provinsi Jawa Timur

< 2.000 m3/th 2.000-6.000 m3/th >6.000 m3/th 1 2 3 4 5 6 7 1 Kab. Banyuwangi 19.850 2500 40000 62.350 124.700 2 Kab. Bojonegoro 7.455 6500 10000 23.955 47.910 3 Kab. Gresik 19.230 160380 566500 746.110 1.492.220 4 Kab. Jember 2.484 100000 102.484 204.968 5 Kab. Jombang 42154 326000 368.154 736.308 6 Kab. Kediri 18550 8300 89100 115.950 231.900 7 Kab. Lamongan 2975 2.975 5.950 8 Kab. Lumajang 29970 73656 667300 770.926 1.541.852 9 Kab. Madiun 39825 40000 79.825 159.650 10 Kab. Magetan 24000 24.000 48.000 11 Kab. Malang 31600 27606 59.206 118.412 12 Kab. Mojokerto 130 22000 22.130 44.260 13 Kab. Nganjuk 6000 6.000 12.000 Kab. Ngawi 18000 18.000 36.000 14 Kab. Pacitan 8200 44000 52.200 104.400 15 Kab. Pasuruan 22750 35050 353500 411.300 822.600 16 Kab. Ponorogo 14525 14.525 29.050 17 Kab. Probolinggo 15000 52000 184500 251.500 503.000 18 Kab. Sidoarjo 7298 6060 101500 114.858 229.716 19 Kab. Sumenep 28940 28.940 57.880 20 Kab. Trenggalek 23544 33846 57.390 114.780 21 Kab. Tuban 2605 9700 12.305 24.610 22 Kab. Tulungagung 6876 6.876 13.752 23 Kota Kediri 6000 6.000 12.000 24 Kota Malang 1500 4920 6.420 12.840 25 Kota Surabaya 6000 97000 238900 341.900 683.800 Jumlah 375.461 523.518 2.807.300 3.706.279 7.412.558

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur dan Data Olahan

No Kabupaten Kapasitas Produksi Jumlah Kebutuhan Bahan Baku (rendemen 50%)

(6)

Apabila setiap tahun seluruh industri sebagaimana pada tabel 8, diasumsikan berproduksi sesuai dengan kapasitas produksinya maka akan membutuhkan bahan baku sekitar 7,4 juta M3dengan kebutuhan terbesar adalah pada industri dengan kapasitas diatas 6.000 m3/tahun.

Jenis produksi IPHHK di Jawa Timur umumnya berupa veneer, plywood dan kayu gergajian. Berdasarkan jenis produksi ini maka kebutuhan bahan baku kayu bulat sebagaimana pada tabel 9.

Tabel 9. Kebutuhan Bahan Baku IPHHK perjenis Produksi

Lokasi IPHHK Kebutuhan Bahan Baku Per Jenis Produksi

Plywood/veneer (m3) Kayu Gergajian (m3)

Banyuwangi 80.000 44.700 Bojonegoro 1.000 46.910 Gresik 609.000 907.220 Jember 188.000 18.968 Jombang 600.000 136.308 Kediri 165.000 70.800 Lamongan 0 5.950 Lumajang 557.300 133.300 Madiun 80.000 79.650 Magetan 48.000 0 Malang 18.212 100.200 Mojokerto 30.000 14.260 Nganjuk 0 12.000 Ngawi 0 36.000 Pacitan 76.000 28.400 Pasuruan 574.000 247.600 Ponorogo 0 29.050 Probolinggo 297.000 202.000 Sidoarjo 46.000 183.716 Sumenep 0 114.880 Trenggalek 0 114.780 Tuban 0 24.610 Tulungagung 0 13.752 KotaKediri 0 12.840 KotaMalang 0 12.000 Surabaya 0 572.600 Jumlah 3.369.512 3.162.494

(7)

Pada tabel 9 terlihat bahwa umumnya jenis produksi IPHHK di Jawa Timur adalah untuk plywood/veneer dan kayu gergajian. Kebutuhan bahan baku untuk plywood sedikit lebih banyak dibandingkan untuk kayu gergajian. IPHHK yang memproduksi plywood dan veneer terbesar berada pada Kabupaten Gresik,

Jombang, Lumajang dan Pasuruan. Sedangkan IPHHK dengan kebutuhan

bahan baku terbesar untuk kayu gergajian berada di Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya.

5.2.2 Suplai Bahan Baku IPHHK

Bahan baku IPHHK di Jawa Timur antara lain berasal dari hutan alam, hutan tanaman industri (HTI), land clearing HTI, Industri Pengolahan Kayu lain, hutan rakyat, kayu perkebunan dan impor kayu bulan sebagaimana pada Gambar 16. 0 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000 800.000 900.000 1.000.000 1.100.000 1.200.000 2008 2009 2010 2011

Gambar 16. Sumber Bahan Baku Bagi Industri Kapasitas > 6.000 M3/Tahun

Dari grafik pada gambar 16 diatas terlihat bahwa sampai dengan tahun 2008, kayu yang berasal dari hutan alam masih mendominasi pasokan bahan baku terhadap industri di Jawa Timur. Akan tetapi mulai tahun 2009, pasokan dari hutan alam ini semakin turun sementara pasokan dari hutan rakyat semakin meningkat.

Berdasarkan data-data pasokan bahan baku yang ada di Jawa Timur diatas baik yang berasal dari luar Jawa, dari hutan produksi Perum Perhutani

(8)

Unit II Jawa Timur maupun kayu yang berasal dari hutan rakyat di Jawa Timur maka suplai bahan baku dapat dianalisis secara tabular sebagai berikut :

Tabel 10 Suplai Bahan Baku di Jawa Timur

2006

2007

2008

2009

2010

1 Kayu Asal Luar Jawa

615.191,69 1.104.302,60 1.053.540,78 1.415.517,72 1.453.248,49

2 Perhutani

336.314,00

537.151,00

491.187,00

416.223,01

348.367,00

3 Hutan Rakyat

569.488,00

839.442,67

977.106,87 1.317.370,87 1.739.896,97

Jumlah

1.520.993,69 2.480.896,27 2.521.834,65 3.149.111,60 3.541.512,45

Tahun

No

Sumber Bahan Baku

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2011

Pada tabel 10 terlihat jumlah total bahan baku yang masuk dan beredar di Jawa Timur setiap tahun cenderung meningkat. Untuk tahun 2010 suplai bahan baku adalah sekitar 3,5 juta m3. Dari analisa kebutuhan bahan baku dengan asumsi industri berproduksi maksimal sesuai dengan kapasitas produksinya dan dengan meniadakan adanya aliran kayu bulat dari satu IPHHK ke IPHHK lain, maka kebutuhan bahan baku adalah sekitar 7,4 juta m3. Ini berarti suplai bahan baku defisit sekitar 3,9 juta m3.

Adanya kekurangan pasokan bahan baku diharapkan dapat terpenuhi

dari pengembangan hutan rakyat. Kekurangan pasokan bahan baku apabila

dipenuhi dari hutan rakyat dengan asumsi produksi perhektar 100 m3/ha berarti ekuivalen dengan 30.000 Ha. Dengan menggunakan daur rata-rata hutan rakyat adalah 10 tahun, maka diperkirakan kebutuhan pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur adalah seluas 300.000 Ha.

5.2.3 Potensi Hutan Rakyat Jawa Timur

Semakin langkanya kayu yang berasal dari hutan alam dan negara, membuat industri akhirnya mencari alternatif kayu lain. Jika selama ini umumnya industri menggunakan kayu jenis rimba seperti meranti, nyantoh, pulai, atau rimba campuran lainnya pada tahun-tahun terakhir industri telah memanfaatkan kayu yang berasal dari hutan rakyat seperti jati, sengon, jabon, mahoni dan sebagainya.

(9)

Khusus untuk jenis cepat tumbuh, misalnya sengon (Paraserianthes

falcataria), telah cukup memberikan andil terhadap pemenuhan kebutuhan bahan

baku industri perkayuan khusunya industri veneer dan plywood.

Tabel 11 Produksi Tahunan Hasil Hutan Rakyat Jawa Timur Berdasarkan Jenis Kayu 2009 2010 2011 (m3) (m3) (m3) 1 2 3 4 5 1. Jati 117.607,03 598.666,22 620.778,30 2. Mahoni 32.323,91 174.383,56 78.304,39 3. Acacia 8.698,11 235.817,01 79.284,03 4. Pinus 10.027,11 80.086,86 34.591,55 5. Gmelina 9.289,42 959,95 13.299,11 6. Sengon 1.059.588,33 281.406,68 1.265.150,23 7. Sonokeling 8.003,69 17.516,11 17.639,64 8. Mindi 2.800,09 1.080,34 13.469,43 9. Rimba Lainnya 61.676,39 346.020,47 58.016,71 Jumlah 1.310.014,08 1.735.941,20 2.180.533,39

NO. Jenis Kayu Rakyat

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur

Berdasarkan tabel 11 terlihat bahwa produksi kayu bulat yang berasal

dari hutan rakyat di Jawa Timur setiap tahunnya semakin meningkat. Dari

berbagai jenis kayu yang berasal dari hutan ini, sengon merupakan jenis kayu dengan jumlah produksi tertinggi disamping jati. Hal ini terkait dengan adanya program sengonisasi dari pemerintah yang dimulai sekitar tahun 1990 dan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menanam hutan rakyat terutama dari

fast growing species. Masyarakat saat ini cenderung lebih menyukai menanam sengon dan jabon karena dengan daur tebang yang relatif pendek (5-7 tahun) telah mampu memberikan manfaat ekonomi dan ekologi bagi masyarakat.

Pada daerah penelitian yaitu Kabupaten Lumajang yang saat ini merupakan sentra produksi sengon di Jawa Timur, masyarakat tidak lagi

mengandalkan bantuan bibit dari pemerintah. Masyarakat dengan kesadaran

sendiri secara swadaya mengusahakan bibit berkualitas untuk penanaman sengon dilahan miliknya karena telah merasakan manfaat dari harga jual kayu sengon yang cenderung semakin tinggi dengan biaya penanaman dan pemeliharaan yang relatif rendah dibandingkan dengan tanaman semusim.

(10)

Meningkatnya produksi dan luasan penanaman sengon setiap tahunnya ternyata mendorong munculnya pembangunan industri pengolahan kayu rakyat. Saat ini beberapa industri veneer dan plywood dari bahan baku kayu sengon mendirikan pabrik di sentra-sentra produksi sengon seperti Lumajang dan Jombang untuk mendekati sumber bahan baku.

Dengan kondisi bahan baku sekarang, memaksa IPHHK terutama

berkapasitas diatas 6.000 m3/tahun akhirnya menyesuaikan teknologi

pengolahan kayu yang digunakan dengan kondisi bahan baku yang tersedia saat

ini. Teknologi yang digunakan berubah sehingga bisa dipergunakan untuk

mengolah kayu berdiameter kecil seperti mesin rotary yang mampu mempeeling kayu bulat menjadi veneer dengan menyisakan empulur hanya sekitar 3 cm

sehingga dapat menghemat bahan baku. Komponen veneer sengon

memberikan kontribusi yang cukup signifikan sebagai bahan pembentuk plywood, dengan kandungan mencapai 70%. Hal ini merupakan peluang bagi kayu yang berasal dari hutan rakyat.

Produksi jati di Jawa Timur setiap tahun cenderung meningkat meskipun tidak sebesar sengon. Meskipun daur tebang jati lama yaitu lebih dari 20 tahun, namun masyarakat di Jawa Timur tetap menyukai jati karena harga jual kayunya yang tinggi serta kemampuannya untuk tumbuh pada lahan kering berkapur yang banyak terdapat didaerah utara Jawa Timur. Disamping itu jati banyak ditanam sebagai pembatas lahan milik petani dengan harapan menjadi “tabungan” yaitu dijual pada saat petani membutuhkan uang dengan jumlah yan besar.

Penanaman hutan rakyat jati pada Kabupaten Bangkalan dan Tuban selain memberikan manfaat ekonomi bagi petani hutan rakyat, juga memberikan manfaat ekologi dengan merehabilitasi lahan yang kering, berkapur dan miskin

hara sehingga luasan lahan kritis pada daerah tersebut makin berkurang.

Sedangkan untuk daerah-daerah yang lebih subur, bagi petani penanaman jati merupakan tabungan yang dipanen pada saat petani perlu untuk pengeluaran yang besar seperti hajatan dan sebagainya. Jati untuk keperluan ini biasanya ditanam pada batas tanah milik.

Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, luas hutan rakyat meningkat setiap tahunnya dari seluas 262.279 Ha pada tahun 2006 sampai 664.560 Ha pada tahun 2010. Perkembangan luas hutan rakyat dapat dilihat pada tabel 12.

(11)

Table 12 Perkembangan Luas Hutan Rakyat Jawa Timur 2006 2007 2008 2009 2010 1 2 4 5 6 7 8 1 Bangkalan 17.446 17.466 17.446 17.446 18.221 2 Banyuwangi 11.977 11.977 11.953 18.375 20.375 3 Kota Batu 800 800 800 800 800 4 Blitar 5.865 5.865 5.856 30.111 33.872 5 Bojonegoro 27.430 28.180 28.180 28.180 29.230 6 Bondowoso 1.475 1.475 10.000 10.000 11.675 7 Gresik 1.961 150 3.170 3.170 3.620 8 Jember 14.598 14.598 18.603 18.349 19.124 9 Jombang 14.743 14.743 14.743 17.818 18.255 10 Kediri 3.033 3.033 3.033 21.006 21.046 11 Malang 19.000 19.000 19.000 33.664 35.669 12 Lamongan 60 7.098 - 60 4.110 13 Lumajang 3.051 48.599 51.461 53.589 59.364 14 Madiun 6.326 7.987 7.987 8.778 11.428 15 Magetan 605 605 605 605 1.090 16 Mojokerto - 300 300 300 1.525 17 Nganjuk 11.482 11.482 11.482 11.482 12.732 18 Ngawi 2.810 5.520 10.999 10.999 10.999 19 Pacitan 63.615 63.615 65.951 65.951 66.616 20 Pamekasan 2.403 2.403 2.403 2.403 3.378 21 Pasuruan 1.554 1.554 19.880 21.451 22.491 22 Kota Pasuruan - 1.961 1.961 1.961 1.961 23 Ponorogo 18.403 18.403 41.395 41.395 44.898 24 Probolinggo 5.802 5.802 22.962 22.962 23.652 25 Sampang 10.450 11.942 15.243 16.219 17.799 26 Sidoarjo - - 700 800 800 27 Situbondo - - 16.396 5.691 6.441 28 Sumenep 874 874 7.883 7.883 8.995 29 Trenggalek 14.637 14.637 14.637 126.140 129.115 30 Tuban 1.129 1.129 13.484 13.484 17.169 31 Tulungagung 750 750 13.833 950 8.110 Jumlah 262.279 321.948 452.346 612.022 664.560

NO. KAB./ KOTA LUAS HUTAN RAKYAT (Ha.)

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2011

Dari tabel 12 terlihat bahwa kabupaten yang memiliki hutan rakyat terluas adalah Kabupaten Trenggalek, Pacitan dan Lumajang. Akan tetapi bila dilihat dari hasil produksi, Kabupaten yang memproduksi kayu rakyat paling banyak adalah Lumajang, Pacitan dan Malang sedangkan Kabupaten Trenggalek

cenderung rendah. Hal ini dikarenakan peningkatan luasan hutan rakyat di

Trenggalek baru terjadi pada tahun 2009 sehingga saat ini belum berproduksi. Produksi hutan rakyat yang besar di Lumajang adalah jenis Sengon. Seiiring dengan bertambahnya jumlah industri pengolahan sengon, maka hutan rakyat di Kabupaten Lumajang sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan bahan baku secara lokal sehingga menyerap produksi dari hutan rakyat di Kabupaten sekitar.

(12)

Berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2009 berdasarkan penafsiran citra satelit, bahwa dari luas

hutan rakyat 664.560 Ha estimasi potensi kayu tegakan adalah total adalah

sekitar 3.755.950 m3 atau rata-rata volume kayu per- Ha adalah sebesar 30

m3/Ha. Dengan mengasumsikan bahwa rata-rata umur tebang atau daur dari

keseluruhan jenis pohon penyusun tegakan hutan rakyat adalah 10 tahun dapat diestimasi jumlah produksi atau tebangan kayu tahunan yang tetap menjamin kelesatarian hutan rakyat. Taksiran tebangan tahunan (etat) hutan rakyat di Provinsi Jawa Timur dapat dihitung dengan menggunakan rumus Von Monthel yaitu : R V V s t 2  Di mana:

Vt : Volume tebangan tahunan (m3/tahun)

Vs : Volume sediaan tegakan standing stock (m3)

R : Daur tanaman (tahun).

Berdasarkan rumus Von Monthel tersebut maka tebangan tahunan

maksimum yang menjamin kelestarian hutan rakyat di Provinsi Jawa Timur

adalah sebesar 3.115.000 M3/tahun. Apabila dibandingkan dengan rata-rata produksi atau tebangan tahunan yang dilaporkan dari data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur selama 5 tahun terakhir dari tahun 2005-2009 yaitu sebesar 2,5 juta m³/tahun maka dapat dikatakan antara taksiran produksi dan realisasinya masih dalam batas kelestarian

Untuk menjaga pasokan kayu yang berkelanjutan, Pemerintah Provinsi dalam rancangan RTRW mentargetkan luas penanaman hutan rakyat sampai dengan tahun 2029 adalah minimal 400.000 Ha pada 29 Kabupaten dan Kota Batu. Kebijakan ini diharapkan mampu merehabilitasi lahan kritis, memenuhi target 30% dari wilayah merupakan kawasan hutan dan mempertahankan pasokan bahan baku kayu secara berkesinambungan dan lestari karena kontinuitas ketersediaan bahan baku dan tataniaga kayu rakyat merupakan masalah yang perlu mendapat prioritas penyelesaian bagi kelangsungan industri di masa mendatang.

(13)

5.2.4 Preferensi Masyarakat

Untuk mendukung pengembangan hutan rakyat di daerah, pemerintah pada tahun terakhir mendorong pembentukan Kebun Bibit Rakyat (KBR) di tiap

kabupaten untuk membantu memudahkan masyarakat memperoleh bibit

tanaman kayu yang berkualitas dan untuk meminimalkan jarak dan biaya transportasi sehingga biaya bibit dapat ditekan. Untuk pembentukan KBR ini Dinas Kehutanan Provinsi menerima usulan dari Kabupaten untuk jenis-jenis bibit

yang akan dikembangkan. Berdasarkan usulan tersebut, diketahui preferensi

masyarakat terhadap jenis tanaman kayu apa yang berpotensi dan paling diminati oleh masyarakat untuk ditanam pada masing-masing wilayah Kabupaten di Jawa Timur sebagaimana Tabel 13.

Tabel 13 Preferensi Masyarakat terhadap Tanaman Kayu di Jawa Timur

No DAS Kabupaten Akasia Gmelina Jabon Jati Mahoni Sengon Suren Trembesi

1 Brantas Bangkalan 1 1 0 1 1 1 0 0 2 Brantas Blitar 0 0 1 1 0 1 0 0 3 Brantas Jombang 0 1 1 1 1 1 0 0 4 Brantas Kediri 1 0 1 1 1 1 0 0 5 Brantas Malang 0 0 1 0 1 1 1 0 6 Brantas Mojokerto 0 1 1 1 1 1 1 0 7 Brantas Nganjuk 0 1 1 1 0 1 0 1 8 Brantas Pamekasan 0 0 0 1 1 1 0 0 9 Brantas Sampang 1 1 0 1 1 1 0 1 10 Brantas Sidoarjo 0 0 1 0 0 1 0 0 11 Brantas Sumenep 1 0 0 1 1 1 0 0 12 Brantas Trenggalek 0 0 1 1 0 1 0 0 13 Brantas Tulungagung 0 1 1 1 0 1 0 0 14 Sampean Banyuwangi 0 1 1 1 1 1 0 0 15 Sampean Bondowoso 0 0 0 0 0 1 0 0 16 Sampean Jember 0 0 1 0 1 1 0 0 17 Sampean Lumajang 0 1 1 0 1 1 1 0 18 Sampean Pasuruan 1 0 1 0 0 1 1 0 19 Sampean Probolinggo 0 0 1 0 0 1 1 0 20 Sampean Situbondo 0 1 0 1 0 0 0 0 21 Solo Bojonegoro 0 1 0 1 1 1 0 0 22 Solo Gresik 0 0 0 1 1 1 0 0 23 Solo Lamongan 0 0 0 1 1 0 0 0 24 Solo Madiun 0 0 0 1 1 0 0 0 25 Solo Magetan 0 0 0 1 0 0 0 0 26 Solo Ngawi 0 0 1 1 0 0 0 0 27 Solo Pacitan 0 1 1 1 0 1 0 0 28 Solo Ponorogo 1 1 1 1 0 1 0 1 29 Solo Tuban 0 1 0 1 1 0 0 0 6 13 17 22 16 23 5 3 JUMLAH

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur dan Data Olahan

(14)

Sengon merupakan jenis tanaman yang paling banyak diminati. Untuk daerah yang termasuk dalam DAS Solo, masyarakat lebih menyukai Jati sedangkan DAS Sampean adalah Sengon dan Jabon. Preferensi tertinggi DAS Brantas adalah Sengon, Jati dan Jabon

5.2.5 Tinjauan Finansial Pengembangan Hutan Rakyat

Guna mengetahui apakah pengembangan ketiga jenis tanaman terpilih memang layak untuk diusahakan maka dilakukan tinjauan analisis finansial

kelayakan pengusahaan hutan rakyat. Data yang digunakan dalam analisis

finansial berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data

pemasaran, harga kayu, kesenangan masyarakat dan prospek kayu.

Pengambilan data primer dilakukan dengan metode pengamatan langsung

dilapangan dan wawancara langsung dengan responden. Responden terpilih

dari petani hutan rakyat, pedagang dan pelaku industri.

Di Jawa Timur pengelolaan hutan rakyat umumnya berupa agroforestry atau tumpang sari dan tanaman kayu-kayuan dengan jenis tanaman yang beragam. Bahkan dilapangan ada yang menanam dengan sistem polikultur dan multistratum. Pada sistem polikultur, petani menanam berbagai jenis tanaman kayu pada suatu hamparan. Contohnya adalah pada hutan rakyat di Kabupaten Bangkalan dimana petani menanam Jati, Sengon dan Mahoni pada satu hamparan. Sedangkan untuk multistratum merupakan penanaman dengan tajuk tegakan bertingkat. Sistem ini sering ditemui pada hutan rakyat di Kabupaten

Lumajang. Stratum 1 adalah tanaman sengon, kemudian stratum kedua

ditanami tanaman pisang, stratum tiga tanaman kopi dan paling bawah adalah talas dan empon-empon.

Meskipun dilapangan sebagian besar petani mengusahakan budidaya hutan rakyat secara agroforestry akan tetapi analisa finansial pengusahaan hasil

hutan pada penelitian ini hanya dibatasi pada pola monokultur. Hal ini

disebabkan terlalu beragamnya tanaman semusim yang ditumpangsari dengan tanaman kayu serta perbedaan waktu panen menyulitkan untuk menghitung analisisnya.

Analisis finansial hutan rakyat sangat penting dilakukan untuk mengetahui kelayakan pengusahaannya melalui perhitungan kriteria investasi. Instrumen ini akan membantu pengembang hutan rakyat (petani) untuk memilih komposisi

(15)

jenis yang sebaiknya dikembangkan dan menentukan daur yang paling menguntungkan melalui berbagai pilihan (Rachman E, et al 2008)

Untuk menghitung analisa finansial, biaya yang digunakan diperoleh dari data primer dari petani di lapangan berupa biaya bibit, pupuk, insektisida dan biaya tenaga kerja. Sedangkan harga jual kayu diperoleh dari industri di Gresik dan Lumajang serta dari petani dan pedagang perantara.

Asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini adalah hutan rakyat yang dikembangkan pada kondisi lahan ideal dengan jarak tanam 3 x 3 m sehingga

diperoleh jumlah tanaman sejumlah 1.100 tanaman perhektar. Penjarangan

dilakukan sebanyak dua yaitu umur 10 dan 15 tahun untuk jati, dan satu kali untuk Jabon dan Sengon yaitu pada umur 3 tahun.

Tabel 14 Analisa Finansial Tanaman Jati, Sengon dan Jabon per Hektar

No

Analisa Pengusahaan Per Daur Tebang Pengusahaan Per 20 Tahunan

Finansial Jati Sengon Jabon Jati Sengon Jabon

(20 Tahun) (6 Tahun) (5 Tahun)

1 NPV

(Rpx1.000) 189.594 101.590 99.048 189.594 232.007 277.342

2 IRR (%) 25,53% 97,58% 99,77% 25,53% 98% 100,52%

3 BCR (%) 9,91 9,69 9,42 9,91 10,29 8,46

Berdasarkan Tabel 14, hasil analisis untuk hutan rakyat Jati dengan daur

tebang 20 (dua puluh) tahun memenuhi kriteria kelayakan usaha untuk

dilakukan. Ini terlihat dari nilai NPV yang positif, B/C Rasio lebih dari 1 serta

tingkat bunga yang berlaku sekarang masih lebih kecil dari nilai IRR. NPV

menunjukkan kelebihan benefit dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan

pada suatu tingkat bunga tertentu. Pada hutan rakyat jati keuntungan yang

diperoleh jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada tingkat bungan 6,5 % adalah Rp. 180.212.000,- B/C Ratio pada analisa hutan rakyat jati adalah 6,88. Ini menunjukkan benefit yang diperoleh adalah hampir 7 kali lipat benefit dari cost yang telah dikeluarkan. Internal Rate of Return (IRR) menggambarkan kemampuan suatu usaha dalam mengembalikan bunga pinjaman. Dengan tingkat suku bunga yang berlaku saat ini (6,5%) usaha ini masih layak untuk dikembangkan sampai suku bunga naik sebesar 24,50 %.

Analisis terhadap kelayakan usaha sengon dan jabon juga menunjukkan

(16)

NPV pada sengon dengan daur 6 tahun dan tingkat suku bunga 6,5 % menunjukan nilai positif, B/C Ratio yang juga lebih besar dari 0 dan IRR lebih besar dari tingkat suku bunga saat ini. Demikian juga untuk pengusahaan hutan rakyat Jabon dimana nilai NPV > 0; Net B/C Ratio > 1; IRR > tingkat bunga yang berlaku sehingga usaha hutan rakyat layak dilaksanakan.

Dari seluruh analisis finansial yang dilakukan, maka nilai NPV tertinggi adalah pada jabon dengan pengusahaan selama 20 tahun dengan nilai NPV Rp. 277.342,- sedangkan terendah adalah pada jabon sekali daur (5 tahun). Hal ini dapat dimengerti bahwa daur tebang jabon yang lebih pendek dari jenis lain menyebabkan dalam 20 tahun jabon bisa berproduksi hingga 4 kali sehingga hasil penjualan yang diperoleh petani juga lebih cepat dan lebih sering dibanding jenis jati dan sengon. Hal ini juga berlaku untuk nilai IRR. Dimana Nilai IRR terendah adalah pada penanaman jati yaitu 25%. Menurut Ichwandi et al (2005) semakin pendek daur tebang akan semakin mempercepat pengembalian investasi .

Analisis finansial sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : komposisi jenis yang dikembangkan, daur ekonomis vegetasinya, tingkat suku bunga dan biaya-harga yang berlaku di suatu daerah sehingga hasil kajian analis ini bersifat site spesifik, artinya keputusan yang diperoleh dari kajian ini tidak secara otomatis bisa diterapkan ditempat lain. Namun karena standar biaya yang dipakai adalah yang berlaku umum di Jawa Timur, maka analisis ini dapat menggambarkan kelayakan usaha hutan rakyat se provinsi Jawa Timur.

Semua nilai kelayakan dari analisis finansial usaha pengembangan hutan rakyat ini didukung oleh semakin baiknya harga kayu dipasaran serta discount rate BI yang juga semakin turun sehingga investasi hutan rakyat semakin menarik untuk dilakukan. Disamping itu, analisis yang dilakukan baru sistem monokultur dan belum menghitung keuntungan yang didapat dari tanaman semusim bila usaha hutan rakyat dilakukan secara agroforestry yaitu dengan

memanfaatkan lahan dibawah tegakan. Dari beberapa penelitian terdahulu

pengusahaan hutan rakyat dengan sistem agroforestry dapat memberikan

keuntungan lebih pada petani. Dari berbagai literatur, analisa finansial

pengusahaan hutan rakyat dengan sistem agroforestry atau tumpang sari

memberikan hasil yang lebih baik daripada pola monokultur. Penanaman jati

dengan mangga, jagung dan padi di Kabupaten Sumendang menunjukan nilai NPV Rp. 13.505.330, BCR 2,25 dan IRR 47,83 % lebih tinggi daripada

(17)

penanaman jati murni dimana nilai NPV Rp. 1.626.930,

22,21% (Romansah, 2007) Demikian juga dengan penelitian Rachmi (2006)

menunjukkan tumpang sari sengon dengan nenas, pepaya, jagung dan cabe di Kabupaten Kediri menunjukkan hasil a

pengusahaan monokultur.

5.2.6 Penetapan Jenis Tanaman Hutan Rakyat

Penetapan komoditas yang akan dikembangkan di hutan rakyat adalah berdasarkan analisis data tabular kebutuhan industri kayu dan produksi kayu rakyat di Jawa Timur tahun 2010

dibudidayakan di Jawa Timur dan

preferensi petani mengenai jenis komoditas yang ingin ditanam dilahan milik mereka maupun stakeholders lain

ekologi, ekonomi dan sosial bagi suatu wilayah. Kriteria pemilihan jenis

tumbuh (2) Harga jual yang tinggi (3) Kemudahan pemasaran karena

permintaan pasar yang tinggi

pemeliharaan, (6) kesesuaian agroklimat dan (7) memberikan manfaat ekologi yaitu mampu memperbaiki kondisi lahan.

Permintaan kayu yang berasal dari hutan rakyat di Jawa Timur cenderung meningkat setiap tahun. Berdasarkan

Kabupaten se Jawa Timur dapat dilihat jumlah produksi hutan rakyat pertahun.

Sumber : Kementerian Kehutanan, 2012

Gambar 1 0 500.000 1.000.000 1.500.000 Ju m la h (H a)

penanaman jati murni dimana nilai NPV Rp. 1.626.930,-, BCR 1,59 dan IRR

22,21% (Romansah, 2007) Demikian juga dengan penelitian Rachmi (2006)

menunjukkan tumpang sari sengon dengan nenas, pepaya, jagung dan cabe di Kabupaten Kediri menunjukkan hasil analisa finansial lebih tinggi daripada pola pengusahaan monokultur.

Penetapan Jenis Tanaman Hutan Rakyat

Penetapan komoditas yang akan dikembangkan di hutan rakyat adalah berdasarkan analisis data tabular kebutuhan industri kayu dan produksi kayu rakyat di Jawa Timur tahun 2010, studi literatur jenis kayu yang potensial untuk dibudidayakan di Jawa Timur dan serta wawancara responden baik dari preferensi petani mengenai jenis komoditas yang ingin ditanam dilahan milik mereka maupun stakeholders lain tanaman apa yang akan memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial bagi suatu wilayah.

Kriteria pemilihan jenis-jenis tanaman hutan rakyat adalah : (1) Cepat

tumbuh (2) Harga jual yang tinggi (3) Kemudahan pemasaran karena

permintaan pasar yang tinggi (5) Kemudahan dalam penanaman dan

pemeliharaan, (6) kesesuaian agroklimat dan (7) memberikan manfaat ekologi yaitu mampu memperbaiki kondisi lahan.

Permintaan kayu yang berasal dari hutan rakyat di Jawa Timur cenderung meningkat setiap tahun. Berdasarkan ijin tebang yang dikeluarkan oleh Dinas Kabupaten se Jawa Timur dapat dilihat jumlah produksi hutan rakyat pertahun.

Sumber : Kementerian Kehutanan, 2012

Gambar 17 Grafik Produksi Hutan Rakyat di Jawa Timur

Jenis Tanaman

, BCR 1,59 dan IRR

22,21% (Romansah, 2007) Demikian juga dengan penelitian Rachmi (2006)

menunjukkan tumpang sari sengon dengan nenas, pepaya, jagung dan cabe di nalisa finansial lebih tinggi daripada pola

Penetapan komoditas yang akan dikembangkan di hutan rakyat adalah berdasarkan analisis data tabular kebutuhan industri kayu dan produksi kayu studi literatur jenis kayu yang potensial untuk serta wawancara responden baik dari preferensi petani mengenai jenis komoditas yang ingin ditanam dilahan milik tanaman apa yang akan memberikan manfaat

jenis tanaman hutan rakyat adalah : (1) Cepat

tumbuh (2) Harga jual yang tinggi (3) Kemudahan pemasaran karena

(5) Kemudahan dalam penanaman dan

pemeliharaan, (6) kesesuaian agroklimat dan (7) memberikan manfaat ekologi

Permintaan kayu yang berasal dari hutan rakyat di Jawa Timur cenderung ijin tebang yang dikeluarkan oleh Dinas Kabupaten se Jawa Timur dapat dilihat jumlah produksi hutan rakyat pertahun.

Produksi Hutan Rakyat di Jawa Timur

2009 2010 2011

(18)

Dari grafik produksi kayu rakyat sebagaimana Gambar 17 diatas terlihat

bahwa produksi tertinggi adalah kayu sengon, jati dan mahoni. Hal ini

disebabkan selain ketiga jenis ini memiliki area tanam terluas pada tanah milik masyarakat, juga untuk memenuhi permintaan pasar terhadap ketiga jenis kayu ini yang relatif tinggi. Permintaan terhadap kayu sengon dan jabon cenderung semakin meningkat setiap tahunnya terutama oleh industri plywood.

Kayu sengon mempunyai bentuk bulat memanjang yang mengakibatkan kayu ini mudah dikupas untuk dibuat veneer tanpa perlakuan pendahuluan (Siregar, et al. 2010) Selain sebagai bahan baku plywood, sengon banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti kayu gergajian, papan partikel dan

pulp. Selain permintaan yang tinggi, sengon semakin disukai petani untuk

dibudidayakan karena sengon merupakan jenis fast growing species (FGS) dimana kayunya bisa dipanen dalam waktu relatif singkat, hanya 5 tahun.

Walaupun umur panen Jati tergolong lama yaitu diatas 40 tahun, namun permintaan akan jati tetap tinggi. Hal ini dikarenakan kayunya yang kuat dan kelas awetnya yang tinggi. Disamping itu harga kayu jati juga jauh lebih tinggi

dibanding kayu jenis FGS. Dengan karakteristik kayunya, kayu jati banyak

digunakan untuk mebel dan bahan bangunan. Data dari Asosiasi Mebel

Indonesia (2008), permintaan kayu jati di Indonesia mencapai 7 juta kubik pertahun dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Akan tetapi hanya sebesar 700.000 m3 saja yang dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri baik dari hutan produksi maupun hutan rakyat. Saat ini telah banyak dikembangkan tanaman jati varietas unggul (genjah) seperti jati unggul nusantara, jati emas, jati super dan jati plus perhutani yang diharapkan dapat berproduksi dalam kurun waktu yang relatif singkat dan dapat diperoleh nilai produksi yang cukup menjanjikan (Sumarna, 2011)

Walaupun produksi jabon Jawa Timur belum tinggi akan tetapi akhir-akhir ini permintaan terhadap kayu jabon dari industri semakin tinggi. Industri plywood menyukai jabon karena memiliki batang yang lurus dan mudah untuk dibuat veneer tanpa perlakuan khusus. Sedangkan minat petani untuk menanam jabon mulai tinggi karena Jabon memiliki kelebihan yaitu cepat tumbuh. Dalam jangka waktu 5 tahun kayunya sudah mencapai diameter 30-40 cm. Selain itu Jabon juga cenderung tahan terhadap serangan penyakit (Mansyur et al, 2011). Jabon

(19)

banyak digunakan untuk industri plywood, papan blok, fiber block, papan partikel dan pulp.

Berdasarkan beberapa hasil analisa diatas maka ditetapkanlah tanaman yang potensial untuk dikembangkan pada hutan rakyat di Jawa adalah jenis Jati, sengon dan jabon yang diharapkan akan memberikan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial bagi masyarakat.

5.3 Identifikasi kesesuaian Lahan untuk pengembangan hutan rakyat

Pada umumnya ketiga jenis tanaman penghasil kayu potensial yang telah terpilih diatas telah banyak dikembangkan di Provinsi Jawa Timur baik di hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani maupun secara swadaya oleh

masyarakat. Meskipun tanaman kayu tidak memerlukan persyaratan tumbuh

yang tinggi, akan tetapi agar memberi manfaat optimal bagi petani, maka perlu dikaji kesesuaian lahan untuk pengembangan masing-masing jenis.

Analisis kesesuaian lahan menggunakan peta Landsystem Jawa dan data Reppprot sebagaimana gambar 18 yang telah diupdate dengan peta curah hujan, kelerengan dan elevasi tahun 2010

(20)

5.3.1 Kesesuaian Lahan Jati

Dari hasil analisis kesesuaian lahan seperti Tabel 15 dan Gambar 19 terlihat bahwa lahan yang sesuai untuk pengembangan tanaman Jati di Jawa Timur adalah seluas 3,3 juta Ha atau sekitar 69 % dari wilayah Jawa Timur, sedangkan 1,4 juta Ha (29%) tidak sesuai.

Tabel 15 Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Jati di Jawa Timur

N o Kabupaten Sesuai (Ha) Tidak Sesuai (Ha) Tidak Ada Data

(Ha) Jumlah(Ha)

Kesesuaian Berdasarkan Luas Wilayah (%) 1 BANGKALAN 47.616 113.832 17 161.464 29 2 BANYUWANGI 157.529 199.235 4.196 360.960 44 3 BLITAR 161.661 10.077 3.522 175.260 92 4 BOJONEGORO 178.922 51.791 411 231.125 77 5 BONDOWOSO 102.164 52.152 0 154.316 66 6 GRESIK 58.645 65.874 1 124.520 47 7 JEMBER 244.050 88.487 0 332.537 73 8 JOMBANG 110.787 1.281 1 112.069 99 9 KEDIRI 135.635 16.687 0 152.322 89 10 KOTA BATU 19.908 0 0 19.908 100 11 KOTA BLITAR 3.311 0 0 3.311 100 12 KOTA KEDIRI 6.343 338 0 6.681 95 13 KOTA MADIUN 3.391 0 0 3.391 100 14 KOTA MALANG 10.995 0 0 10.995 100 15 KOTA MOJOKERTO 29 1.997 0 2.025 1 16 KOTA PASURUAN 878 2.732 0 3.611 24 17 KOTA PROBOLINGGO 5.196 68 0 5.264 99 18 KOTA SURABAYA 1.971 30.880 0 32.851 6 19 LAMONGAN 91.707 82.480 667 174.855 52 20 LUMAJANG 141.569 38.171 0 179.740 79 21 MADIUN 107.592 4.201 0 111.793 96 22 MAGETAN 67.590 8.397 0 75.988 89 23 MALANG 263.062 79.512 4.582 347.156 76 24 MOJOKERTO 78.368 19.089 0 97.457 80 25 NGANJUK 123.972 5.013 0 128.985 96 26 NGAWI 133.393 259 0 133.652 100 27 PACITAN 68.111 73.694 12 141.818 48 28 PAMEKASAN 118.265 8.543 0 126.808 93 29 PASURUAN 111.034 39.380 914 151.327 73 30 PONOROGO 91.062 50.198 0 141.261 64 31 PROBOLINGGO 141.696 30.866 74 172.637 82 32 SAMPANG 54.062 4.816 0 58.879 92 33 SIDOARJO 0 69.294 0 69.294 0 34 SITUBONDO 71.586 95.033 0 166.620 43 35 SUMENEP 129.493 10.069 55.726 195.287 66 36 TRENGGALEK 57.727 66.862 132 124.722 46 37 TUBAN 137.728 60.051 0 197.779 70 38 TULUNGAGUNG 89.318 25.046 538 114.901 78 JUMLAH 3.326.368 1.406.404 70.794 4.803.566 69

(21)

G a m b a r 1 9 . P e ta K e se s u ia a n L a h a n d a ri L a h a n T e rse d ia u n tu k H u ta n R a kya t Ja ti d i Ja w a T im u r

(22)

Pada gambar 19, seluruh wilayah kabupaten dan kota di Jawa Timur memiliki kesesuaian lahan untuk tanaman jati dengan kesesuaian lahan terbesar

adalah pada Kabupaten Malang dan Jember. Sedangkan apabila dibanding

dengan luas wilayah maka yang memiliki persentase tinggi adalah Kota Malang, Batu, Mojokerto, Blitar dan Kabupaten Ngawi dimana lahan yang sesuai untuk jati meliputi seluruh wilayahnya. Hal ini dikarenakan jati memiliki syarat tumbuh yang relatif mudah.

Secara umum agar dapat tumbuh dengan optimal, tanaman jati membutuhkan iklim dengan curah hujan optimum 1.500-2.000 mm/tahun dengan suhu udara rata-rata 250C -300C. Kelembaban optimal yang dibutuhkan jati sekitar 80% dengan intensitas cahaya cukup tinggi antara 75-1005 (Djaenuddin,

et al. 1994). Tanaman jati idealnya ditanam diareal dengan topografi yang

relatif datar (hutan dataran rendah) atau memiliki kemiringan lereng < 20 % (Sumarna, 2011). Jati dapat tumbuh optimal pada ketinggian 0-700 m dpl.

Curah hujan secara fisik dan fisiologis berpengaruh terhadap sifat gugurnya daun dan kualitas produk kayu. Pada daerah dengan musim kemarau panjang, jati akan menggugurkan daunnya dan lingkaran tahun yang terbentuk tampak artistik. Pada daerah yang sering turun hujan atau curah hujannya tinggi (>1.500 mm/tahun) jati tidak menggugurkan daun dan lingkaran tahun kurang menarik.

Jati tidak terlalu terikat pada suatu jenis tanah tertentu, tetapi jati tumbuh baik pada tanah yang sarang, mengandung Ca dan P cukup serta pH tanah antara 6-8. Pada tanah yang berbatu, kekurangan air, sangat kering dan jelek aerasinya, termasuk juga tanah yang dangkal, pertumbuhan jati dapat menjadi sangat bengkok dan bercabang rendah. Tanaman jati tumbuh bagus pada lahan dengan kondisi fraksi lempung, lempung berpasir, atau pada lahan liat berpasir, solum dalam, dan keasaman (pH) tanah sekitar 6 (Sumarna, 2001)

5.3.2 Kesesuaian Lahan Sengon

Keberhasilan penanaman sengon sangat dipengaruhi oleh kondisi biofisik lokasi yang akan ditanami. Seberapa jauh tingkat kesesuaiannya tergantung dari kecocokan antara persyaratan tumbuh tanaman dengan kondisi biofisik lokasi penanaman. Kondisi biofisik yang tidak sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan mengakibatkan pertumbuhan tanaman akan terganggu, sehingga secara ekonomis tanaman tersebut tidak menguntungkan (Soemarmo, 2010)

(23)

G a m b a r 2 0 P e ta K e se s u a ia n L a h a n d a ri L a h a n ya n g T e rse d ia u n tu k H u ta n R a kya t S e n g o n d i Ja w a T im u r

(24)

Dari analisis kesesuaian lahan sebagaimana Gambar 20, hampir 84% atau sekitar 4,03 juta Ha wilayah daratan Jawa Timur memiliki kesesuaian lahan untuk pertumbuhan Sengon sedangkan 15% atau sekitar 702.665 Ha lahan tidak

sesuai untuk ditanami sengon. Hal ini karena karena syarat tumbuh sengon

yang relatif lebih mudah. Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah,

bahkan pada tanah yang drainasenya jelek atau tandus serta lebih toleran terhadap ketinggian yaitu sampai 1.600 m dpl

Temperatur yang dibutuhkan sengon berkisar dari 15-40oC, dan kisaran optimumnya adalah 22 - 28oC; curah hujan berkisar antara 750 - 2500 mm/tahun dengan bulan kering mencapai 6 bulan. Sengon dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, kedalaman (>50 cm), konsistensi gembur (lembab), permeabilitas sedang, drainase baik, tingkat kesuburan sedang, tekstur lempung dan lempung berdebu; pH tanah berkisar 4.5 - 8.2, dan kisaran optimum pH 5.5 - 7.8 Kesesuaian lahan untuk tanaman sengon dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Sengon di Jawa Timur

No Kabupaten Sesuai (Ha) Tidak Sesuai (Ha) Tidak Ada Data

(Ha) Jumlah(Ha)

Kesesuaian Berdasarkan Luas Wilayah (%) 1 BANGKALAN 47.616 113.832 17 161.464 29 2 BANYUWANGI 224.623 132.141 4.196 360.960 62 3 BLITAR 170.822 916 3.522 175.260 97 4 BOJONEGORO 186.815 43.898 411 231.125 81 5 BONDOWOSO 153.500 816 0 154.316 99 6 GRESIK 58.645 65.874 1 124.520 47 7 JEMBER 306.105 26.432 0 332.537 92 8 JOMBANG 110.787 1.281 1 112.069 99 9 KEDIRI 152.322 0 0 152.322 100 10 KOTA BATU 19.908 0 0 19.908 100 11 KOTA BLITAR 3.311 0 0 3.311 100 12 KOTA KEDIRI 6.681 0 0 6.681 100 13 KOTA MADIUN 3.391 0 0 3.391 100 14 KOTA MALANG 10.995 0 0 10.995 100 15 KOTA MOJOKERTO 29 1.997 0 2.025 1 16 KOTA PASURUAN 878 2.732 0 3.611 24 17 KOTA PROBOLINGGO 5.196 68 0 5.264 99 18 KOTA SURABAYA 1.971 30.880 0 32.851 6 19 LAMONGAN 101.135 73.052 667 174.855 58 20 LUMAJANG 170.482 9.258 0 179.740 95 21 MADIUN 111.534 259 0 111.793 100 22 MAGETAN 74.393 1.594 0 75.988 98 23 MALANG 342.077 497 4.582 347.156 99 24 MOJOKERTO 78.376 19.081 0 97.457 80 25 NGANJUK 128.985 0 0 128.985 100 26 NGAWI 133.493 159 0 133.652 100

(25)

No Kabupaten Sesuai (Ha) Tidak Sesuai (Ha) Tidak Ada Data

(Ha) Jumlah(Ha)

Kesesuaian Berdasarkan Luas Wilayah (%) 27 PACITAN 138.842 2.963 12 141.818 98 28 PAMEKASAN 118.265 8.543 0 126.808 93 29 PASURUAN 138.713 11.701 914 151.327 92 30 PONOROGO 138.063 3.198 0 141.261 98 31 PROBOLINGGO 171.052 1.510 74 172.637 99 32 SAMPANG 54.062 4.816 0 58.879 92 33 SIDOARJO 0 69.294 0 69.294 0 34 SITUBONDO 138.073 28.547 0 166.620 83 35 SUMENEP 129.493 10.069 55.726 195.287 66 36 TRENGGALEK 123.906 684 132 124.722 99 37 TUBAN 163.415 34.364 0 197.779 83 38 TULUNGAGUNG 112.153 2.211 538 114.901 98 JUMLAH 4.030.107 702.665 70.794 4.803.566 84

Berdasarkan tabel 16, hampir seluruh Kabupaten dan Kota di Jawa Timur memiliki kesesuaian lahan untuk tanaman Sengon kecuali Kabupaten Sidoarjo. Wilayah yang memiliki kesesuaian lahan terbesar adalah Kabupaten Malang yaitu 342.077 Ha atau sekitar 99 % dari luas wilayahnya. Sedangkan wilayah yang memiliki kesesuaian terkecil adalah Sidoarjo, Surabaya, Kota Mojokerto dan Kota Pasuruan karena wilayah-wilayah ini memiliki tanah dengan sistem Makasar dan Kajapah yang tidak sesuai untuk pertumbuhan Sengon

5.3.3 Kesesuaian Lahan Jabon

Jabon memiliki kelebihan yaitu teknik budidayanya relatif mudah, sebarannya luas, bernilai ekonomi tinggi dan memiliki fungsi estetika, ekologis maupun sosial (Mansur, 2011). Meskipun budidaya Jabon relatif mudah, namun

tanaman ini lebih menyukai tempat yang lembab. Jabon dapat tumbuh pada

ketinggian 0-1.000 m dpl. Kondisi lingkungan tumbuh yang dibutuhkan oleh

Jabon adalah tanah lempung, podsolik cokelat dan aluvial lembab.

Dibandingkan kedua jenis tanaman lainnya, kesesuaian lahan untuk jabon merupakan yang paling kecil. Lahan yang sesuai untuk jabon adalah 47 % dari luas Provinsi Jawa Timur atau seluas 2.258.424 Ha ini sebagaimana terlihat pada peta kesesuaian lahan tanaman Jabon pada Gambar 21 dan tabel kesesuaian lahan pada Tabel 17 berikut ini.

(26)
(27)

Tabel 17 Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Jabon di Jawa Timur

No Kabupaten Sesuai SesuaiTidak Jumlah Kesesuaian Berdasarkan

Luas Wilayah (%)

(Ha) (Ha) (Ha)

1 BANGKALAN 34.580 126.884 161.464 21 2 BANYUWANGI 64.079 296.882 360.960 18 3 BLITAR 140.372 34.888 175.260 80 4 BOJONEGORO 185.524 45.600 231.125 80 5 BONDOWOSO 40.512 113.803 154.316 26 6 GRESIK 20.651 103.869 124.520 17 7 JEMBER 91.138 241.399 332.537 27 8 JOMBANG 105.132 6.936 112.069 94 9 KEDIRI 129.003 23.319 152.322 85 10 KOTA BATU 5.173 14.735 19.908 26 11 KOTA BLITAR 3.311 0 3.311 100 12 KOTA KEDIRI 6.681 0 6.681 100 13 KOTA MADIUN 3.391 0 3.391 100 14 KOTA MALANG 10.995 0 10.995 100 15 KOTA MOJOKERTO 29 1.997 2.025 1 16 KOTA PASURUAN 787 2.824 3.611 22 17 KOTA PROBOLINGGO 0 5.264 5.264 0 18 KOTA SURABAYA 1.916 30.935 32.851 6 19 LAMONGAN 76.910 97.945 174.855 44 20 LUMAJANG 55.382 124.358 179.740 31 21 MADIUN 98.862 12.931 111.793 88 22 MAGETAN 55.669 20.319 75.988 73 23 MALANG 245.503 101.653 347.156 71 24 MOJOKERTO 52.805 44.651 97.457 54 25 NGANJUK 112.683 16.302 128.985 87 26 NGAWI 115.169 18.483 133.652 86 27 PACITAN 67.103 74.715 141.818 47 28 PAMEKASAN 59.974 66.834 126.808 47 29 PASURUAN 72.682 78.645 151.327 48 30 PONOROGO 98.583 42.677 141.261 70 31 PROBOLINGGO 24.619 148.018 172.637 14 32 SAMPANG 27.043 31.836 58.879 46 33 SIDOARJO 0 69.294 69.294 0 34 SITUBONDO 9.442 157.177 166.620 6 35 SUMENEP 21.169 174.118 195.287 11 36 TRENGGALEK 80.071 44.651 124.722 64 37 TUBAN 51.160 146.620 197.779 26 38 TULUNGAGUNG 90.322 24.579 114.901 79 JUMLAH 2.258.424 2.545.142 4.803.566 47

Dari tabel 17, kesesuaian lahan terbesar untuk Jabon adalah di Kabupaten Malang dan terkecil adalah Kabupaten Sidoarjo, Kota Mojokerto dan Kota Pasuruan. Hal ini disebabkan karakter jabon yang memerlukan tanah yang lembab sehingga membutuhkan curah hujan yang relatif tinggi.

Jabon yang ditanam di lahan yang memiliki kedalaman air tanah dangkal atau di tempat yang tergenang air biasanya pertumbuhannya akan terganggu

(28)

meskipun tidak sampai menyebabkan kematian. Genangan air bisa menyebabkan pertumbuhan jabon menjadi tidak produktif, daun menguning dan rontok serta jarak antar ruas menjadi pendek dan cabang terkumpul di bagian pucuk pohon. Kondisi iklim tempat tumbuh yang sesuai untuk Jabon adalah tipe iklim basah sampai dengan kering dengan tipe curah hujan A sampai D.

5.4 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan

Data penggunaan lahan eksisting Jawa Timur, diperoleh dari interpretasi citra. Citra yang dipergunakan adalah landsat TM7 tahun 2011 sebagaimana Gambar 22.

Gambar 22. Citra Landsat Provinsi Jawa Timur Tahun 2011

Berdasarkan hasil interpretasi, penggunaan lahan eksisting

dikelompokkan menjadi empat belas kelas yaitu perairan darat berupa danau, sungai atau waduk, bandara, belukar/semak, hutan, hutan mangrove, industri, pertanian lahan kering, lahan terbuka,pelabuhan, pemukiman, perkebunan, rawa,

sawah dan tambak. Dari pengkelasan tersebut 67 % merupakan lahan-lahan

kering. Hasil dijitasi citra Landsat Provinsi Jawa Timur 2011 disajikan sebagai peta penggunaan lahan eksisting pada Gambar 23.

(29)

G a m b a r 2 3 P e ta P e n g g u n a a n L a h a n E ksi s ti n g T a h u n 2 0 1 1 d i Ja w a T im u r

(30)

Luasan penggunaan/penutupan lahan yang persentasenya besar meliputi sawah dengan luas 1,4 juta Ha (31%), hutan seluas 1 juta Ha (21%) pertanian lahan kering 786.000 Ha (16%) dan pemukiman seluas 560.000 Ha (11%) sedangkan kelas lain memiliki persentase luasan relatif kecil sebagaimana terlihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Pengunaan Lahan Eksisting

NO JENIS PENGGUNAAN LUAS (Ha) PERSENTASE (%)

1 AIR/DANAU/SUNGAI/WADUK 19.678 0,41 2 BANDARA 758 0,02 3 BELUKAR/SEMAK 393.863 8,20 4 HUTAN 1.008.212 20,99 5 HUTAN MANGROVE 17.509 0,36 6 INDUSTRI 4.897 0,10

7 PERTANIAN LAHAN KERING 786.984 16,38

8 LAHAN TERBUKA 18.745 0,39 9 PELABUHAN 713 0,01 10 PEMUKIMAN 562.154 11,70 11 PERKEBUNAN 418.690 8,72 12 RAWA 2.282 0,05 13 SAWAH 1.489.414 31,01 14 TAMBAK 79.766 1,66 TOTAL 4.803.665 100

Dari tabel 18 diatas terlihat bahwa luas hutan eksisting di Jawa Timur adalah sekitar 1 juta Ha. Sedangkan luasan penetapan kawasan hutan adalah 1.354.395,82 Ha (Dishutprov Jatim, 2011). Lebih kecilnya luas hutan saat ini terjadi karena adanya perubahan tutupan lahan dimana kawasan hutan mulai terkonversi menjadi pemukiman, ladang, tanah terbuka dan lain-lain.

5.5 Analisis Ketersediaan Lahan

Analisis ketersediaan lahan yang digunakan adalah berdasarkan analisis spasial menggunakan overlay antara peta penggunaan lahan eksisting, kawasan hutan dan peta rencana penggunaan lahan sesuai arahan RTRW Provinsi Jawa

Timur. Wilayah yang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat secara

(31)

1. Bukan merupakan kawasan hutan (hutan konservasi, hutan lindung, taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa dan taman hutan raya)

2. Merupakan tanah terbuka atau padang rumput yang berpotensi sebagai

lahan kritis

3. Merupakan kawasan budidaya pertanian lahan kering (non sawah)

4. Bukan merupakan kawasan perkebunan

5. Bukan Pemukiman dan kawasan industri/jasa

6. Bukan kawasan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang

ditetapkan sebagai zona khusus seperti zona industri, pemukiman atau

lainnya.

Meskipun pada kondisi lapangan hutan rakyat juga dikembangkan pada pekarangan rumah, pematang sawah dan perkebunan namun pada penelitian ini analisa ketersediaan lahan untuk pengembangan hutan rakyat dibatasi sampai lahan pertanian semusim.

Gambar 24 Kawasan Hutan Provinsi Jawa Timur

Tumpang tindih/overlay pertama dilakukan antara peta penggunaan lahan

(32)

dilakukan query area pengguna lain dengan kemungkinan kesesuaian untuk pengembangan hutan rakyat dan area yang merupakan prioritas penghijauan seperti padang rumput dan tanah kosong.

Hasil query menunjukkan bahwa lahan yang tersedia untuk

pengembangan hutan rakyat prioritas adalah seluas 253.605 Ha yang

merupakan padang rumput dan tanah kosong diluar kawasan hutan. Sedangkan apabila pengembangan hutan rakyat mencakup area pertanian kering semusim maka ketersediaan lahan secara spasial adalah seluas 871.579 Ha.

Gambar 25 Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat

Dilihat dari grafik pada Gambar 25, maka daerah memiliki ketersediaan lahan untuk pengembangan hutan rakyat prioritas berupa lahan kosong,

belukar/semak adalah kabupaten Sumenep, Pacitan dan Situbondo.

Daerah-daerah tersebut sebagian besar memang terdiri dari lahan kering dan memiliki

86.214 13.916 34.164 9.598 22.248 15.433 24.684 8.351 11.132 3.004 12.567 35.189 11.055 14.524 51.466 8.542 6.814 8.524 71.530 29.950 42.775 18.231 45.474 72.669 21 38.241 100.519 14.843 49.398 10.503 0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 BANGKALAN BANYUWANGI BLITAR BOJONEGORO BONDOWOSO GRESIK JEMBER JOMBANG KEDIRI KOTA BATU LAMONGAN LUMAJANG MADIUN MAGETAN MALANG MOJOKERTO NGANJUK NGAWI PACITAN PAMEKASAN PASURUAN PONOROGO PROBOLINGGO SAMPANG SIDOARJO SITUBONDO SUMENEP TRENGGALEK TUBAN TULUNGAGUNG Lahan Tersedia

(33)

karakteristik kurang subur, jenis tanah kurang sesuai untuk pertanian semusim atau memiliki curah hujan yang rendah.

G a m b a r 2 6 P e ta K e te rs e d ia a n L a h a n u n tu k P e n g e m b a n g a n H u ta n R a ky a t d i Ja w a T im u r

(34)

Pada lahan prioritas seperti padang dan tanah terbuka, pengembangan hutan rakyat selain memberikan manfaat secara ekonomi juga diharapkan akan memberikan manfaat secara ekologi dengan memperbaiki kualitas lingkungan dan menurunkan luas lahan kritis yang masih relatif besar di Jawa Timur.

Selanjutnya apabila analisis spasial dengan GIS ketersediaan lahan dilakukan dengan menambahkan kawasan budidaya pertanian lahan kering maka potensi pengembangan hutan rakyat adalah seluas 871.579 Ha yang tersebar di 30 Kabupaten/kota. Kabupaten dengan luasan terbesar adalah di Kabupaten Sumenep seluas 100.519 Ha dan kabupaten lain diatas 40.000 Ha

adalah Sampang, Bangkalan, Pacitan, Malang dan Tuban. Secara geografis

kabupaten yang memiliki potensi pengembangan hutan rakyat dengan

memasukan kawasan pertanian lahan kering/semusim adalah kabupaten yang terletak di pulau madura dan di selatan Jawa Timur. Hal ini dikarenakan daerah tersebut memiliki lahan pertanian yang juga luas.

Berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang, rencana pengembangan pertanian lahan kering di wilayah Provinsi Jawa Timur seluas kurang lebih 849.033 Ha atau 17,76 % dari luas Jawa Timur yang dilaksanakan di daerah-daerah yang belum terlayani oleh jaringan irigasi, kawasan pertanian lahan kering juga digunakan untuk pengembangan hutan rakyat dan tanaman perkebunan. Dalam RTRW Provinsi Jawa Timur 2009-2029, sebagian besar wilayah diarahkan untuk pengembangan pertanian lahan basah atau untuk sawah. Hal ini dikarenakan Jawa Timur yang merupakan lumbung padi nasional dan merupakan penyumbang beras terbesar di Indonesia. Pencetakan sawah baru disiapkan untuk mencegah defisit beras. Untuk menunjang kebijakan lahan pangan berkelanjutan dan menjaga produktivitas beras di Jawa Timur, lahan yang direncanakan sebagai pertanian lahan basah, tidak dimasukan dalam penelitian ini.

Dalam RTRW 2009-2011 Pemprov Jawa Timur telah memasukkan hutan rakyat sebagai salah satu rencana pola ruang. Hutan rakyat dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan iklim makro, memenuhi kebutuhan akan hasil hutan dan berada pada lahan-lahan masyarakat dan dikelola oleh masyarakat. Rencana kawasan hutan rakyat di Jawa timur seluas kurang lebih 400.000 Ha.

(35)

Gambar 27 Rencana Pola Ruang Provinsi Jawa Timur

Berdasarkan rencana pola ruang Provinsi Jawa Timur sebagaimana Gambar 27, kawasan hutan rakyat tersebut dijumpai di Kabupaten Bangkalan, Banyuwangi, Blitar, Bojonegoro, Bondowoso, Gresik, Jember, Jombang, Kediri, Lamongan, Lumajang, Madiun, Magetan, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi,

Pacitan, Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo,

Situbondo, Sumenep, Trenggalek, Tuban, Tulungagung dan Kota Batu. Wilayah perkotaan lain seperti Surabaya, Kota Malang, Kota Probolinggo, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Madiun dan Kota Mojokerto tidak termasuk dalam wilayah pengembangan hutan rakyat karena fungsinya sebagai kawasan perkotaan. Untuk itu dalam penelitian ini meskipun ke 8 (delapan) kota tersebut memiliki lahan potensial, namun tidak dimasukkan sebagai arahan pengembangan hutan hutan rakyat di Jawa Timur.

Rencana kawasan hutan rakyat yang ditetapkan Bapeda Provinsi Jawa Timur pada peta rencana pola ruang apabila di overlay dengan peta penggunaan lahan eksisting dan peta kawasan hutan, ternyata hanya memiliki luasan sekitar 350.000 Ha dengan sebagian wilayah termasuk kawasan hutan lindung, hutan

(36)

tidak menggunakan peta digital RTRW Jawa Timur namun hanya menggunakan arahan pengembangan hutan rakyat yaitu meliputi 29 Kabupaten dan 1 Kota.

5.6 Kelembagaan Hutan Rakyat di Jawa Timur

5.6.1 Mekanisme perdagangan kayu rakyat

Saat ini mekanisme perdagangan kayu rakyat melibatkan minimal 3 stakeholder. Petani sebagai produsen, pedagang perantara yang membeli ke

petani kemudian menjual ke pihak IPHHK. Mekanisme ini terbentuk karena

industri kayu terutama dengan kapasitas besar tidak mau membeli dalam partai kecil karena dianggap merepotkan dalam mengumpulkan dan mengurus perijinannya serta transportasi, sehingga mereka lebih menyukai membeli dari pedagang perantara.

Gambar 28 Mekanisme Perdagangan Kayu Jati

Gambar 29 Mekanisme Perdagangan Kayu Sengon dan Jabon

Pada Gambar 28 dan Gambar 29 terlihat bahwa sistem tataniaga kayu rakyat yang berlaku saat ini cenderung merugikan petani karena petani menjual

Produsen/ Petani Pengepul/P edagang Perantara Pedagang Besar Sawmill/IPHHK Kapasitas < 6000 m3/th IPHHK kapasitas

>

6000 m3/th Industri Meubeler Konsumen

Produsen/

petani

Pengepul

Pedagang

Besar

IPHHK <

6.000 m3/th

IPHHK >

6.000 m3/th

Konsumen

(37)

kayunya ke pengepul/tengkulak dengan harga rendah. Harga yang rendah disebabkan oleh (a) Penjualan dalam bentuk tegakan (borongan) sehingga

keuntungan rendah, (b) tengkulak pembeliannya dengan sistem ijon. (b)

Penjualan dalam bentuk kayu bulat ke luar daerah sehingga nilai tambah bagi masyarakat rendah (Effendi, 2008).

Petani biasanya menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri dengan sistem tebang butuh, dimana petani tidak sepenuhnya mengikuti teknis silvikultur

memanen sesuai dengan daur tebang. Umpamanya daur sengon adalah 5-7

tahun, akan tetapi petani telah menjual saat berumur 4 tahun karena membutuhkan biaya kepada pedagang pengepul. Hal ini menyebabkan harga jual kayu tersebut rendah disamping pedagang pengepul biasanya memberikan tafsiran volume yang rendah karena keterbatasan petani dalam menghitung volume tegakan.

Untuk penebangan, biasanya dilakukan oleh pedagang pengepul. Biaya trasnportasi dan biaya administrasi mulai dari ijin tebang sampai pengangkutan

juga ditanggung oleh pedagang. Margin keuntungan pedagang berdasarkan

informasi yang diperoleh adalah sekitar 20-40 %.

Pada mekanisme perdagangan kayu Jati, pedagang pengepul menjual

kayu log dari petani kepada pedagang besar antar kabupaten atau kepada

industri pengolah kayu lokal. Kayu hasil olahan biasanya berupa kayu gergajian kemudian dijual lagi kepada industri besar, industri meubel, konsumen atau dibeli lagi oleh pedagang besar. Kemudian pedagang besar menjual baik kayu bulat atau kayu olahan tersebut ke industri besar atau ke konsumen.

Mekanisme perdagangan kayu Sengon dan Jabon yaitu kayu yang dibeli oleh pengepul kemudian dijual kepada pedagang besar yang memilah-milah grade kayu untuk dijual lagi kepada IPK kecil atau besar. Sebagian dari pengepul membawa kayu ke sawmill lokal untuk diolah menjadi kayu gergajian sebelum menjual ke IPHHK atau dijual keluar daerah.

Dengan mekanisme seperti ini rantai perdagangan telah melewati beberapa pedagang sehingga marjin harga tertinggi adalah ditingkat pedagang perantara sementara petani tidak mendapatkan keuntungan yang tinggi. Dengan adanya pola kemitraan diharapkan dapat memperndek mata rantai pedagang

perantara. Petani diharapkan bergabung dalam suatu kelembagaan seperti

Kelompok Tani Hutan Rakyat membentuk suatu kelembagaan baik berupa koperasi atau lembaga keuangan mikro yang dapat secara langsung menjual

(38)

hasil panen kayu kepada IPHHK yang menjadi mitra dengan harga pasar berlaku dengan meminimilkan campur tangan pedagang perantara dan dengan umur

panen sesuai daur tebang teknis. Dengan mekanisme seperti ini diharapkan

margin keuntungan tengkulak dapat dinikmati oleh petani sendiri sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani secara nyata.

5.6.2 Pola Kemitraan Eksisting

Permasalahan bagi petani hutan rakyat adalah rendahnya modal usaha,

terbatasnya pengetahuan/keterampilan dalam budidaya, pemanenan atau

pemasaran yang menyebabkan mutu kayu rakyat menjadi rendah, lemahnya organisasi yang menaungi petani dalam pemasaran dan perijinan dan tidak adanya akses ke industri/IPHHK besar. IPHHK menghendaki pasokan bahan baku dari kayu rakyat dengan standar tertentu dan kontinuitas pasokan. Inilah yang menyulitkan petani untuk menjual langsung produksi kayunya langsung ke industri.

Upaya mengatasi kesenjangan antara petani dengan industri salah satunya adalah dengan pola kemitraan. Dasar pertimbangan pola kemitraan ini adalah pihak perusahaan perlu kontinuitas bahan baku kayu, sedangkan pihak masyarakat perlu bantuan modal kerja, sumberdaya manusia (SDM) yang menguasai teknologi dan pengetahuan hutan rakyat dan kepastian pemasaran (Hidayat 2000). Keberhasilan pembangunan hutan rakyat tidak hanya diukur oleh keberhasilan tanaman tetapi juga diukur dalam pemanfaatan hasilnya yaitu oleh adanya kepastian pasar bagi hasil hutan rakyat.

Kemitraan yang selama ini berjalan di Jawa Timur, mitra usaha hutan rakyat umumnya baru bersifat menjanjikan pemasarannya namun tidak menjamin akan menampung seluruh hasil produksi. Bahkan petani dibebaskan bila ada yang ingin menjual kepada pihak luar. Kemitraan dengan perjanjian petani menjual seluruh hasil panen kepada mitra tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada saat panen petani tidak selalu menjual kepada mitra karena ada pihak lain yang menawar dengan harga lebih tinggi dari industri mitra. Hal ini menyulitkan berjalannya kemitraan karena belum ditemukan suatu pola yang dianggap saling menguntungkan kedua belah pihak.

Bentuk kemitraan lain adalah kemitraan dari pemerintah melalui program Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR), kemitraan antara pengusaha/industri

(39)

kelompok tani, kemitraan petani dengan lembaga keuangan dan sebagainya. Banyak pola kemitraan yang telah dikembangkan mekipun hasilnya masih belum sesuai yang diharapkan

Beberapa tahun terakhir pemerintah telah berperan dalam memfasilitasi pembangunan pola kemitraan antara kelompok tani hutan rakyat dengan IPHHK. Kementrian Kehutanan melalui Balai Pengelolaan DAS sejak tahun 2008 telah membangun areal model hutan rakyat pola kemitraan inti plasma sebagai pola dasar pembuatan hutan rakyat dengan ikatan kerjasama yang menguntungkan antara masyarakat hutan rakyat dengan pengusaha industri perkayuan, disamping efek positif pembuatan hutan rakyat yang dapat mengurangi tekanan eksploitasi terhadap hutan sebagaimana pada Tabel 19

Tabel 19 Pola Kemitraan Yang Dibangun BPDas Brantas

Sumber : BPDAS Brantas

Pada Tabel 19 terlihat dari 6 (enam) industri yang digandeng BPDAS Brantas, hanya 4 (empat) industri yang berperan secara aktif dalam memberikan bantuan kepada petani mitra baik berupa banytuan bibit, sarana produksi lain, bimbingan teknis maupun membangun calon plasma.

Dari hasil wawancara di lapangan, industri kurang tertarik untuk membangun hutan rakyat pola kemitraan dengan pola inti plasma seperti pada perkebunan, karena tanaman kehutanan disamping daur produksi yang lama, juga merupakan tanaman yang sekali panen sehingga tidak ada jaminan

VOLUME DIBANGUN

Desa Kabupaten (Ha) (Tahun)

1 Desa Jabung Malang CV. SengonInti 50 2008 Gunung Baik Mitra pasif

2 Desa Dalisodo Malang CV. SengonInti 30 2009 Subur Baik Mitra pasif

3 Ngadirenggo Blitar PT. Kutai TimberIndonesia 50 2008 Sido Asri Baik Mitra aktif 4 Tegalsari Blitar PT. Kutai TimberIndonesia 25 2009 Sido Subur Baik Mitra aktif

5 Pakel Trenggalek CV. Halmahera 50 2008 Gotong Baik Mitra aktif

6 Dukuh Trenggalek CV. Halmahera 25 2009 Sri Lestari Baik Mitra aktif

7 Bendo Nganjuk CV. GunungJati 50 2008 Ngudi Karyo Baik Mitra pasif

8 Duren Nganjuk CV. GunungJati 25 2007 GadingMakmur Baik Mitra pasif

9 Mojokembang Mojokerto CV. Tina Jaya Sakti 50 2008 Tanimulyo Baik Mitra pasif 10 Penanggungan Mojokerto CV. Tina Jaya Sakti 25 2009 SuburMakmur Baik Mitra pasif 11 Sumber Agung Malang PT. Sejahtera Usaha Bersama 25 2010 Sumber Makmur Baik Mitra aktif 12 Purwodadi Malang PT. Sejahtera Usaha Bersama 50 2011 Tani Makmur Baik Mitra aktif 13 Sumberejo Blitar PT. Sejahtera Usaha Bersama 50 2011 Ngudi Utomo Baik Mitra aktif 14 Mlijon Trenggalek PT. Sejahtera Usaha Bersama 50 2011 Margo Subur Baik Mitra aktif 15 Bareng Jombang PT. Sejahtera Usaha Bersama 50 2011 Tegalrejo Baik Mitra aktif 16 Bleberan Mojokerto PT. Sejahtera Usaha Bersama 50 2011 Lestari Baik Mitra aktif KET

LOKASI NAMA MITRA

NO NAMA KELOMPOK

(40)

kontinuitas pasokan bahan baku. IPHHK yang diwawancarai juga beralasan bahwa bahan baku yang mereka butuhkan rata-rata 5.000 m3/bulan tidak mungkin terpenuhi hanya dengan 1 kelompok tani. Pihak IPHHK lebih menyukai pola kemitraan dengan sistem memberikan bantuan bibit dan sarana produksi tanpa ada kewajiban masyarakat untuk menjual hasil panen kepada IPHHK tersebut. Saat ini yang banyak berjalan adalah IPHHK memberikan bantuan bibit gratis sebanyak-banyaknya untuk mendorong masyarakat menanam hutan rakyat. Pemberian bibit diharapkan mampu meningkatkan produksi kayu rakyat sehingga ditahun-tahun mendatang produksi melimpah sehingga kesulitan bahan baku teratasi serta harga bisa stabil.

Hasil wawancara dengan pihak petani, masih banyak yang belum memahami tentang pola kemitraan. Sebagian besar hanya menginginkan suatu bentuk kemitraan berupa bantuan bibit dan sarana produksi serta adanya kepastian seluruh produksi mereka diterima mitra dengan harga diatas harga pasar. Bahkan petani hutan rakyat jati tidak menginginkan adanya kemitraan yang mengikat mengenai hasil produksi. Hal ini disebabkan IPHHK menuntut adanya mutu kayu yang diproduksi termasuk umur panen dan diameter kayu, sedangkan petani menjual kayu sesuai kebutuhan. Kayu yang belum masak panen sering sudah dijual dengan alasan walau bagaimanapun jati tetap memiliki

harga. Disamping itu semakin bersaingnya IPHHK dalam memperoleh kayu

rakyat membuat persaingan harga juga semakin tinggi, sehingga petani menginginkan adanya kebebasan untuk menjual kepada pedagang yang membeli dengan harga lebih tinggi.

Pihak pemerintah yang diwawancara lebih menyukai adanya kemitraan yang saling menguntungkan semua pihak. Industri memberi bantuan bibit, sarana produksi, bimbingan bahkan kredit usaha lunak untuk penanaman hutan rakyat serta adanya jaminan semua produksi kayu rakyat akan ditampung oleh industri mitra. Sedangkan pihak petani mempunyai kewajiban untuk menanam mengikuti kaidah silvikultur dan menanam kayu sesuai kebutuhan industri mitra serta menjaga mutu kayu yang dihasilkan dan menjual hasil panen ke industri mitra dengan harga pasar yang wajar pada saat panen.

Dengan adanya kemitraan yang baik, pemerintah menginginkan

terjaganya pasokan bahan baku industri, meningkatnya kesejahteraan petani serta terjaganya ekosistem dengan semakin banyaknya hutan rakyat.

(41)

5.7 Pola Kemitraan Prioritas Menurut Stakeholders

Dalam menentukan prioritas pola kemitraan hutan rakyat di Jawa Timur dilakukan dengan Analitycal Hierarchy Process (AHP). Suatu proses Hirarki Analitik yang dilakukan untuk mendapatkan bobot prioritas pola kemitraan yang berdasarkan struktur hirarki masalah yang dibangun dari studi literatur serta informasi yang didapat dari wawancara responden ekspert yang terkait dengan kegiatan hutan rakyat. Hasil rangkuman dari berbagai sumber tersebut didapatkan empat pola kemitraan dan 3 aspek.

Dengan metode pembobotan terhadap hasil kuisioner maka diperoleh hasil sebagaimana berikut :

Gambar 30 Hasil Pembobotan dari Kuisioner Keterangan :

1. Pola A merupakan pola kemitraan dimana IPHHK memberikan bantuan bibit

tanpa ada perjanjian bagi petani untuk menjual hasil panen kayu ke IPHHK yang bersangkutan

2. Pola B merupakan kemitraan dimana IPHHK memberikan bantuan bibit,

saprodi dan bimbingan teknis dengan perjanjian seluruh hasil panen dijual ke IPHHK yang bersangkutan

3. Pola C merupakan kemitraan dimana IPHHK memberikan kredit lunak

kepada petani yang pengembalian setelah panen dengan bunga yang telah disepakati.

Bentuk Pola Kemitaan Antara Industri dan Masyarakat

MODAL USAHA 0,75 PEMASARAN 0,11 BIMBINGAN TEKNIS 0,14 POLA A 0,23 POLA B 0,35 POLA C 0,32 POLA 0,10

(42)

4. Pola D merupakan kemitraan dengan sistem inti plasma. Dimana IPHHK merupakan inti dan petani adalah plasma. Inti memberikan modal, sarana produksi dsb dengan perjanjian penjualan hasil panen ke inti dengan memotong biaya produksi yang telah dikeluarkan

Pada gambar 30, berdasarkan kuisioner yang dijawab oleh responden, dan setelah dilakukan pembobotan untuk masing-masing aspek pertanyaan, dari segi modal usaha maka pola kemitraan yang dianggap menguntungkan adalah Pola C, dimana bantuan kredit lunak merupakan kemudahan modal usaha bagi petani hutan rakyat. Dari aspek pemasaran, maka pola kemitraan yang dipilih responden adalah pola B dimana pihak industri berkewajiban untuk membeli hasil panen petani mitra. Pola B juga merupakan bentuk kemitraan yang dipilih responden untuk aspek penyuluhan dan bimbingan teknis dalam pengembangan hutan rakyat karena pada pola B, pihak industri berkewajiban membimbing petani agar hasil panen yang dihasilkan sesuai dengan standar permintaan industri bersangkutan.

Skor akhir AHP menunjukkan bahwa pola kemitraan Pola B memiliki

rangking tertinggi yang merupakan preferensi dari masyarakat untuk

pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur. Pola B merupakan pola kemitraan

dimana industri memberikan bibit dan bantuan sarana produksi serta

memberikan bimbingan terhadap budidaya hutan rakyat dan menampung hasil panen petani, sedangkan petani berkewajiban untuk menanam sesuai kaidah silvikultur dan menjual hasil panen ke perusahaan mitra dengan harga yang telah disepakati.

5.8 Pola Kemitraan Potensial

Model pola kemitraan industri dan petani membuat kesepakatan dimana industri memberi bantuan sarana produksi dan bimbingan dan petani menjual hasil panen ke industri telah pernah dicobakan di Provinsi Jawa Timur, namun dalam kenyataannya tidak bisa berjalan lancar. Industri yang menjadi mitra kesulitan dalam pendistribusian bantuan bibit dan sarana produksi pertanian seperti pupuk, obat-obatan dan pendampingan sedangkan petani masih menggunakan sistem jual butuh dalam pemasaran kayu dan masih tingginya peranan tengkulak atau pedagang pengepul dalam mekanisme pasar kayu rakyat. Untuk itu perlu adanya suatu kelembagaan yang menjembatani antara industri dengan petani hutan rakyat.

Gambar

Gambar 14. Industri Plywood Berbahan Baku Sengon di Lumajang
Gambar 15 nenunjukkan bahwa industri berskala relatif kecil yaitu dibawah 2.000 m3/thn terbanyak berada pada Kabupaten Jombang, Sumenep dan Malang
Tabel 8 Kebutuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Dan Kapasitas Produksi Di Provinsi Jawa Timur
Tabel 9. Kebutuhan Bahan Baku IPHHK perjenis Produksi Lokasi IPHHK Kebutuhan Bahan Baku Per Jenis Produksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Use reasonable care and exercise independent professional judgment when conducting investment analysis, making investment recommendations, taking investment actions, and engaging

Klaster A , merupakan kabupaten/kota prioritas strategis nasional yang termasuk dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di

Selama tahap pertumbuhan dan pembentukan tulang serta guna mencapai PBM, pria membutuhkan lebih banyak kalsium daripada wanita selama 20 tahun pertama kehidupan mereka

(2) Gerakan Literasi Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk penyediaan bahan bacaan keluarga, penguatan pemahaman tentang pentingnya

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui kemampuan memori mahasiswa Prodi Pendidikan Sains pada materi tata nama senyawa kompleks; 2) mengidentifikasi pengaruh kemampuan

Berbeda dengan buruh perempuan, buruh laki-laki tidak melakukan pekerjaan reproduktif melainkan beristirahat atau melanjutkan pekerjaan produktif sebagai tambahan

AIPNI Peran perawat dalam menunjang kesehatan pariwisata berbasis masyarakat di Bali Lombok, Oktober tahun 2015 10 Udayana International Nursing Conference. Analisis

sebagian besar penduduk Indonesia. Perencanaan pengembangan lahan wilayah pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan potensi kemampuan wilayah. Perencanaan