• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis Tugas dan Lingkungan Belajar Matematika yang Berorientasi pada Kemampuan Berpikir Kreatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jenis Tugas dan Lingkungan Belajar Matematika yang Berorientasi pada Kemampuan Berpikir Kreatif"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Jenis Tugas dan Lingkungan Belajar Matematika

yang Berorientasi pada Kemampuan Berpikir Kreatif

Ressy Rustanuarsi

Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Jalan Colombo No 1, Karangmalang, Depok, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

ressyrustanuarsi93@yahoo.com

Abstrak— Dalam menjalani kehidupan, kita tentu tidak terlepas dari aktivitas berpikir. Cara berpikir (ways of thinking) merupakan isu penting yang perlu mendapat perhatian khusus untuk dikembangkan dengan baik sejak dini. Salah satunya adalah berpikir kreatif yang menjadi bagian dari keterampilan abad 21 (21st Century Skills) sehingga harus dimiliki oleh siswa untuk menghadapi tantangan hidup kedepan. Kemampuan berpikir kreatif dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menghasilkan ide-ide baru untuk menyelesaikan masalah. Melalui Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016, pemerintah menetapkan salah satu Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah adalah keterampilan berpikir dan bertindak yang kreatif. Beberapa upaya yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif siswa adalah dengan mendesain tugas yang relevan dan menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Satu diantara jenis tugas yang dapat digunakan adalah tugas pemodelan (modelling task). Artikel ini akan mengkaji apa yang dimaksud dengan modelling task, bagaimana perannya dalam upaya pengembangan kemampuan berpikir kreatif, serta lingkungan belajar seperti apa yang dapat mendukung pengembangan kemampuan berpikir kreatif.

Kata kunci: Berpikir Kreatif, Modelling Task, Lingkungan Belajar Matematika

I. PENDAHULUAN

Memasuki abad 21, Indonesia memerlukan sumber daya manusia yang unggul. Mencermati hal ini, sektor pendidikan menjadi salah satu sektor sangat yang diharapkan dapat mewujudkannya yaitu dengan melahirkan lulusan yang memenuhi kompetensi keterampilan abad 21. Beberapa kompetensi yang perlu dimiliki lulusan seperti: 1) cara berpikir (ways of thinking), yaitu kreatif, inovatif, berpikir kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, pembelajar, dan metakognisi; 2) cara bekerja (ways of

working), yaitu komunikasi dan kolaborasi; 3) penguasaan alat untuk bekerja (tools for working), yaitu

literasi ICT dan informasi; 4) kemampuan menjalani kehidupan (living in the world), yaitu bagaimana seharusnya hidup sebagai warga negara, kehidupan dan karir, serta tanggung jawab pribadi dan sosial [1]. Keterampilan-keterampilan tersebut perlu dilatih sejak dini kepada siswa melalui pembelajaran di kelas.

Pendidikan matematika memiliki peran besar bagi pengembangan keterampilan-keterampilan abad 21 khususnya melatih cara berpikir siswa. Salah satu fokus pembelajaran matematika adalah pengembangan kemampuan berpikir kreatif. Hal ini tercantum dalam Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 tentang kurikulum sekolah menengah pertama yaitu mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir secara logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, inovatif, serta kemampuan berkerjasama [2]. Dengan melatih siswa berpikir kreatif dalam menyelesaikan masalah matematika, harapannya siswa akan terbiasa kreatif dalam menemukan ide-ide baru untuk menciptakan hal baru maupun menyelesaikan permasalahan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun pendidikan memiliki peran sentral dalam mengembangkan kreativitas siswa, namun isu ini belum sepenuhnya mendapat perhatian guru. Menurut Shriki dalam Panaoura & Panaoura [3], banyak guru mengakui kurangnya pengalaman sebelumnya atau persiapan yang tepat untuk mengembangkan kreativitas siswa. Padahal seiring berkembangnya penelitian-penelitian yang telah dilakukan, guru dapat memperkaya pengetahuannya mengenai bagaimana menjadi fasilitator yang mampu membantu siswa mengembangkan

(2)

kreativitasnya, sehingga dapat menciptakan pembelajaran inovatif dan lingkungan belajar yang mendukung.

Sejatinya kemampuan berpikir dibangun berdasarkan pengalaman pribadi, serta turut dipengaruhi oleh emosi, budaya, lingkungan rumah, dan pendidikan [4]. Karena pengalaman pribadi turut mendukung, maka dengan melatih dan membiasakan siswa berpikir kreatif menjadi hal yang penting. Ketika siswa memperoleh cara berpikir yang baik, hal tersebut akan tersimpan dalam skema siswa dalam bentuk pengetahuan yang sewaktu-waktu dapat digunakannya kembali ketika menghadapi situasi yang relevan. Pendidikan juga turut berpengaruh pada pengembangan berpikir kreatif, sehingga hal ini menjadi tantangan guru agar mampu mendesain pembelajaran yang dapat memfasilitasi pengembangan kemampuan berpikir kreatif siswa. Hal ini didukung oleh Adams & Hamm [4] bahwa berpikir kreatif adalah proses alamiah manusia yang dapat diperkuat melalui kesadaran dan latihan. Oleh karena itu, dengan membiasakan serta melatih siswa menyelesaikan tugas yang memerlukan pemikiran kreatif, maka siswa berpotensi menjadi individu yang kreatif.

Mann dalam Panaoura & Panaoura [3] mengungkapkan bahwa menciptakan situasi belajar yang autentik dimana siswa berpikir, merasakan, dan memecahkan masalah nyata perlu dilakukan untuk mendorong kreativitas siswa. Beberapa penelitian juga telah menunjukkan pentingnya membuat siswa terlibat dalam tugas yang sesuai yang dapat mendorong kreativitas matematis siswa [3]. Salah satu alternatif jenis tugas yang dapat digunakan adalah tugas pemodelan (modelling task). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dan & Xie [5] mengenai hubungan keterampilan pemodelan matematika dan level berpikir kreatif siswa, diperoleh bahwa koefisien korelasi antara keduanya sebesar 0,815. Hal ini mengindikasikan adanya korelasi positif yang kuat antara kedua kompetensi ini. Ini juga membuktikan bahwa pemodelan matematika diperlukan untuk melatih kreativitas siswa. Namun, tidak hanya jenis masalah (tugas) yang digunakan yang penting untuk dipertimbangkan, tetapi memikirkan pengaturan fisik kelas dan iklim pengajaran juga penting [6]. Dalam artikel ini akan dibahas tentang pengertian berpikir kreatif beserta aspek-aspeknya, tugas pemodelan (modelling task), bagaimana perannya dalam upaya pengembangan kemampuan berpikir kreatif, dan lingkungan belajar seperti apa yang dapat mendukung pengembangan kemampuan berpikir kreatif.

II. PEMBAHASAN

A. Berpikir Kreatif dan Aspek-Aspeknya

Kreativitas adalah kemampuan untuk melihat sesuatu dengan cara baru, melihat masalah dengan cara yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain, serta mampu memberikan solusi yang baru, unik, dan efektif [7]. Secara khusus, Lavenson dalam Panaoura & Panaoura [3] mengartikan kreativitas dalam matematika sebagai pengambilan keputusan non algoritma serta pemikiran yang berbeda dan fleksibel yang memungkinkan seseorang untuk menggunakan berbagai cara dan perspektif yang berbeda untuk memecahkan suatu masalah.

Berpikir kreatif merupakan kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi namun tetap memiliki tujuan. Ketika seseorang berpikir kreatif dalam menyelesaikan suatu masalah, pemikiran divergen akan menghasilkan banyak ide untuk menemukan solusi. Disisi lain, pemikiran logis akan menyimpulkan ide mana yang berguna untuk menyelesaikan masalah [8]. Dengan demikian, baik pemikiran divergen dan pemikiran logis selalu digunakan dalam proses berpikir kreatif.

Guilford dalam Chen [9] menyebutkan karakteristik dari berpikir divergen yaitu adanya kemampuan-kemampuan kognitif seperti: (1) kelancaran (fluency), yaitu kemampuan-kemampuan untuk menghasilkan banyak ide atau solusi terhadap masalah dengan cepat, (2) keluwesan (flexibility), yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan keragaman pendekatan terhadap sebuah masalah secara serempak, (3) keaslian (originality), yaitu kecenderungan untuk menghasilkan ide yang berbeda dari kebanyakan orang, (4) keterincian (elaboration), yaitu kemampuan untuk berpikir dengan ide-ide yang rinci. Karakteristik berfikir divergen tersebut juga merupakan aspek dari berpikir kreatif, menurut Adam & Hamm [10] berpikir kreatif dipandang sebagai kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), dan

(3)

keterincian (elaboration). Lebih lanjut Mahmudi [11] menjelaskan aspek berpikir kreatif matematika sebagai berikut.

1. Kelancaran meliputi kemampuan menyelesaikan masalah dan memberikan banyak jawaban terhadap masalah tersebut atau memberikan banyak contoh atau pernyataan terkait konsep atau situasi matematis tertentu.

2. Keluwesan meliputi kemampuan menggunakan beragam strategi penyelesaian masalah atau memberikan beragam contoh atau pernyataan terkait konsep atau situasi matematis tertentu. 3. Kebaruan meliputi kemampuan menggunakan strategi yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa

untuk menyelesaikan masalah atau memberikan contoh atau pernyataan yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa.

4. Keterincian meliputi kemampuan menjelaskan secara terperinci, runtut, dan koheren terhadap prosedur matematis, jawaban, atau situasi matematis tertentu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif dalam matematika merupakan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah matematika secara divergen yaitu dengan menunjukkan kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), dan keterincian (elaboration).

B. Tugas Pemodelan (Modelling Task) dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir kreatif

Bekenaan dengan tugas matematika, Hsu [12] menyatakan bahwa tugas matematika dapat berupa persamaan sederhana (simple equations), soal cerita (word problem), dan aktivitas pengukuran (measurement activities). Adapun kategori permintaan kognitif yang dibutuhkan siswa saat menyelesaikan tugas terdiri dari empat level yaitu: hafalan (memorization), prosedur tanpa koneksi (procedures without

connections), prosedur dengan koneksi (procedures with connections), dan kegiatan matematika (doing mathematics). Stein [13] menjelaskan bahwa pada level doing mathematics mencakup berbagai jenis tugas

yang tidak memiliki strategi yang disarankan secara eksplisit atau implisit untuk menyelesaikannya, sehingga memerlukan pemikiran non algoritma. Level ini mencakup tugas yang bersifat non rutin untuk mengeksplorasi konsep matematika secara mendalam, mengandung kompleksitas dari situasi kehidupan nyata, atau mewakili abstraksi matematis. Salah satu jenis tugas yang termasuk adalah tugas pemodelan (modellling task).

Sebelum dibahas mengenai modellling task, perlu dipahami apa itu pemodelan matematika (mathematical modelling). Ang [14] mendefinsikan pemodelan matematika sebagai proses merepresentasikan masalah dunia nyata kedalam istilah matematika untuk dipahami dan ditemukan solusinya. Ang juga menjelaskan bahwa pemodelan matematika dianggap sebagai penyederhanaan atau abstraksi dari situasi dunia nyata yang kompleks menjadi bentuk matematis atau mengubah masalah dunia nyata menjadi masalah matematika. Selanjutnya, masalah matematika diselesaikan dengan menggunakan metode matematika yang dikenal, kemudian solusi yang diperoleh diterjemahkan kedalam istilah nyata. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemodelan matematika merupakan sebuah proses untuk menyelesaikan masalah dunia nyata menggunakan matematika, dimana masalah nyata dibawa kedalam matematika untuk diselesaikan, kemudian solusi yang diperoleh dikembalikan ke konteks nyata. Adapun tugas yang berkenaan dengan pemodelan matematika dikenal sebagai tugas pemodelan (modelling task).

Oswalt [15] mengartikan modellling task sebagai “a mathematically-rich problem that engages

students in mathematical thinking, drawing upon their previously learned knowledge and supporting their understanding of the mathematical concepts currently being covered.” Pengertian ini mengandung arti

bahwa modelling task dipandang sebagai masalah yang kaya dengan konsep matematika, yang dapat melibatkan siswa dalam pemikiran matematis, memanfaatkan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya, serta mendukung pemahaman siswa tentang konsep matematis yang sedang dibahas. Zöttl et al. [16] menambahkan bahwa kriteria terpenting untuk modelling task bukanlah pada tingkat keaslian dan kompleksitas yang setinggi mungkin, namun pada seberapa relevansinya bagi siswa. Meskipun demikian,

modelling task yang memadai harus membutuhkan proses pemodelan yang lengkap untuk diselesaikan.

Maaß dalam Zöttl et al. [16] menjelaskan bahwa kompetensi pemodelan mencakup keterampilan dan kemampuan untuk melakukan proses pemodelan secara tepat, berorientasi pada tujuan, serta kemauan

(4)

untuk menerapkannya. Proses pemodelan digambarkan sebagai tujuh langkah pemodelan yang dapat dilihat pada Gambar 1.

GAMBAR1.PROSES PEMODELAN

Blum [17] menjelaskan langkah-langkah pemodelan pada Gambar 1 sebagai berikut.

1. Mengkonstruksi masalah (constructing), yaitu memahami situasi dari masalah yang diberikan kemudian mengkonstruksinya kedalam bentuk model situasional.

2. Menstruktur dan menyederhanakan (stucturing and simplying). Stucturing berarti menyusun situasi masalah dengan cara menentukan variabel yang ada dalam masalah tersebut. Sementara

simplying berarti menyederhanakan situasi masalah dengan mendefinisikan masalah agar dapat

membantu dalam penyusunan model nyata dari situasi masalah. Pendefinisian masalah harus logis dan sesuai dengan konteksnya.

3. Matematisasi (mathematising), yaitu mengubah model sebenarnya (model nyata) menjadi model matematis yang memuat persamaan tertentu ataupun variabel.

4. Bekerja dengan matematika (working mathematically), yaitu melakukan perhitungan sehingga menghasilkan solusi matematis.

5. Menafsirkan solusi (interpreting), yaitu solusi matematis yang diperoleh dikembalikan pada konteks awal masalah nyata sebagai hasil nyata.

6. Memvalidasi solusi (validation), yaitu memastikan apakah perlu mengulangi proses pemodelan dengan mempertimbangkan apakah hasil nyata yang diperoleh sebelumnya sudah relevan atau masuk akal dengan konteks awal beserta data-datanya.

7. Menyajikan solusi (exposing), yaitu memaparkan solusi akhir dari masalah.

Berikut ini disajikan contoh dari modelling task beserta penjelasan alternatif penyelesaiannya dengan merujuk pada langkah pemodelan Blum.

Contoh Modelling task

Seorang petani memiliki ladang berbentuk persegi panjang. Ia bermaksud menanam jagung di ladang tersebut. Tanaman-tanaman jagung tersebut harus memiliki jarak yang cukup, baik jarak dari pinggir ladang maupun jarak antar tanaman. Hitunglah kemungkinan banyaknya tanaman jagung yang dapat ditanam. Jika beberapa rincian informasi tidak tersedia, tentukanlah informasi tersebut dengan cara mengestimasinya.

Penyelesaian:

1. Constructing, pada langkah ini siswa memahami masalah dengan membentuk model situasional. Diketahui : Ladang berbentuk persegi panjang.

Tanaman jagung harus berjarak dari sisi jalan Ditanya : Banyaknya tanaman jagung yang dapat ditanam

2. Structuring dan simplying, pada langkah ini siswa perlu membuat struktur masalah (structuring) dengan mengestimasi informasi-informasi penting yang diperlukan namun tidak tersedia pada masalah. Misalnya, siswa harus menentukan ukuran ladang. Siswa juga perlu menyederhanakan situasi masalah (simplying) yaitu dengan mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “jarak yang cukup”. Dengan kata lain, siswa harus menentukan sendiri berapa jarak tanam dari pinggir ladang dan jarak antar tanaman dengan realistik. Alternatif struktur masalah yang mungkin dibuat siswa adalah sebagai berikut.

(5)

Dimisalkan: Ukuran ladang dengan panjang 18 m dan lebar 10 m Jarak tanam tiap pinggir ladang adalah 1 m

Jarak tanam antar tanaman adalah 40 cm

Dengan menamai area yang akan ditanami jagung sebagai daerah ABCD, maka ilustrasi dari struktur masalah yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 2.

GAMBAR2.ILUSTRASI MASALAH

3. Mathematising, pada langkah ini siswa perlu mengubah model nyata kedalam bentuk model matematika yang terdiri dari persamaan dengan variabel tertentu.

Karena panjang ladang adalah 18 m, maka:

m m m cm

Dimisalkan adalah banyak tanaman sepanjang sisi AB, maka ( ) adalah banyaknya jarak yang terbentuk sepanjang sisi AB dari tiap dua tanaman yang berdekatan. Dengan demikian diperoleh:

(1)

Karena lebar ladang adalah 10 m, maka:

m m m

Dimisalkan adalah banyak tanaman sepanjang sisi AD, maka ( ) adalah banyaknya jarak yang terbentuk sepanjang sisi AD dari tiap dua tanaman yang berdekatan. Dengan demikian diperoleh:

(2)

4. Working mathematically, pada langkah ini siswa menyelesaikan bentuk matematis yang telah disusunnya dengan melakukan perhitungan sehingga diperoleh solusi matematis.

Berdasarkan (1) maka banyak tanaman sepanjang sisi AB adalah:

Berdasarkan (2) maka banyak tanaman sepanjang sisi AD adalah: Banyak tanaman keseluruhan

5. Interpreting, yaitu siswa menafsirkan solusi matematis yang diperoleh kedalam konteks awal. Hasil interpretasinya adalah: kemungkinan banyaknya tanaman jagung yang dapat ditanam dengan jarak tanam dari pinggir ladang sejauh 1 m dan jarak antar tanaman 40 cm adalah sebanyak 861 tanaman.

6. Validating, setelah dikembalikan kedalam konteks nyata, siswa memikirkan kembali apakah hasil nyata yang dipeolehnya masuk akal. Jika dirasa tidak, maka tahapan pemodelan dapat diulangi. Dapat dilihat pada Gambar 1 bahwa langkah pemodelan membentuk sebuah siklus. Dengan demikian, apabila solusi tersebut dapat diterima, masuk akal, serta realistis maka dapat dilanjutkan menyajikan solusi akhir. Namun, apabila solusi yang diperoleh tidak masuk akal,

(6)

maka dapat melihat kembali struktur masalah yang dibuat sebelumnya, proses matematisasi, dan perhitungan yang telah dilakukan.

7. Exposing, pada langkah ini siswa menyajikan solusi akhir yaitu:

Banyak tanaman jagung yang mungkin dapat ditanam oleh petani adalah sebanyak 861 tanaman.

Modelling task yang disajikan tersebut bersifat terbuka (open). Siswa diminta untuk menentukan

sendiri struktur masalah dan strategi penyelesaiannya. Perumusan masalah yang bersifat terbuka dan membutuhkan penyederhanaaan realitas yang kompleks, memungkinkan siswa untuk mengembangkan solusinya sendiri sesuai dengan kemampuan mereka [18]. Selain itu, berkaitan dengan representasi masalah, Swan [19] mengungkapkan bahwa banyak masalah matematika dari masalah nyata dimulai dengan informasi yang diberikan dalam berbagai representasi, sehingga memungkinkan siswa menggunakan caranya sendiri dalam merepresentasikannya misalnya dengan kata-kata, diagram, tabel, persamaan, dan grafik. Ini menunjukkan bahwa modelling task yang bersifat terbuka berpotensi melatih kemampuan berpikir kreatif siswa pada aspek kelancaran (fluency).

Selain itu, penyelesaian modelling task ini juga menggunakan beragam strategi, sehingga akan melatih keluwesan (flexibility) siswa. Siswa juga dituntut untuk memikirkan sendiri ide penyelesaiannya sehingga berpotensi menghasilkan ide baru yang berbeda dari kebanyakan siswa lainnya. Pengalaman ini memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan aspek keaslian (originality) dalam berpikir kreatif. Selain itu, siswa juga dilatih untuk menjelaskan prosedur matematis yang digunakan serta jawaban yang diperolehnya secara rinci dan runtut, yang merupakan aspek keterincian (elaboration) dalam berpikir kreatif. Dengan demikian, modelling task dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan berpikir kreatifnya.

C. Lingkungan Belajar yang dapat Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif

Dalam NCTM [20] disebutkan bahwa pengajaran matematika yang efektif membutuhkan pemahaman dan apa yang siswa ketahui dan perlukan untuk dipelajari, bersifat menantang dan dapat mendukung siswa untuk belajar dengan baik. Dengan demikian, apabila fokus guru adalah melatih keterampilan berpikir kreatif kepada siswa, maka guru harus menciptakan lingkungan belajar yang mendukung kompetensi tersebut secara optimal. Adapun lingkungan belajar yang dapat mendorong pemikiran kreatif adalah lingkungan belajar yang memberikan kepercayaan, kehangatan hubungan, keterbukaan, rasa aman di kelas, saling menerima dan mendorong pemikiran yang berbeda, dan menekankan bahwa setiap siswa memiliki kemampuan untuk menjadi kreatif [21].

Selaras dengan hal tersebut, menurut Kiymaz et al. [22] kemampuan berpikir kreatif seseorang salah satunya bergantung pada faktor pribadi antara lain: (1) memiliki kepercayaan diri (confidence), (2) termotivasi dalam pemecahan masalah, (3) memiliki kemauan dan ketekunan (willing and persistence) dalam memecahkan masalah, dan (4) selektif dalam memecahkan masalah. Untuk itu guru harus menghadirkan lingkungan belajar yang memberikan siswa rasa percaya diri, membuat siswa termotivasi, serta membuat siswa mau dan tekun dalam memecahkan masalah.

Salah satu cara agar siswa memiliki kepercayaan diri adalah dengan setting belajar kolaboratif. Melalui setting kolaboratif, guru membantu siswa mendapatkan kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka dan kemampuan kelompok untuk bekerja menyelesaikan masalah dan akibatnya mereka tidak bergantung pada guru karena dapat memvalidasi pemikiran mereka. Keuntungan dari setting kolaboratif lainnya adalah bepengaruh terhadap motivasi siswa [4].

Sementara ketekunan (persistence) siswa ditandai dengan: (1) terus mengerjakan tugas walaupun proses penyelesaiannya (solution pathway) tidak jelas bagi mereka; (2) terus mengerjakan tugas bahkan jika proses penyelesaiannya (solution pathway) telah diidentifikasi atau masalahnya sudah diselesaikan; (3) bersedia untuk merekam pemikiran mereka dan langkah-langkah dalam solusi mereka; (4) menjelaskan ide mereka dan mendengarkan penjelasan orang lain [23]. Dalam penelitian Sullivan [23] ditemukan ada siswa yang terus bertahan dengan tugas yang sulit (tekun) karena ia merasa nyaman dengan hubungan antara guru dan siswa serta tahu bahwa guru akan membimbingnya ketika ia merasa

(7)

sedang berjuang menyelesaikan tugas tersebut. Oleh karena itu, peran pentng guru adalah menghadirkan suasana pembelajaran yang nyaman bagi siswa dan guru harus membimbing siswa.

III. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan mengenai kajian teori dapat disimpulkan bahwa modelling task berpotensi melatih kemampuan berpikir kreatif siswa. Beberapa alasan yang mendasari hal ini adalah sebagai berikut: (1) modelling task yang bersifat terbuka dimana siswa dituntut menentukan sendiri struktur masalah dan strategi penyelesaiannya berpotensi melatih kemampuan berpikir kreatif siswa pada aspek kelancaran (fluency), (2) modelling task yang penyelesaiannya menggunakan beragam strategi akan melatih keluwesan (flexibility) siswa, (3) modelling task menuntut siswa untuk memikirkan sendiri ide penyelesaiannya sehingga siswa berpotensi untuk menghasilkan ide baru sehingga akan ,mengembangkan aspek keaslian (originality), (4) modelling task melatih siswa untuk menjelaskan prosedur matematis yang digunakan serta jawaban yang diperoleh secara rinci sehingga melatih siswa pada aspek keterincian (elaboration). Sementara lingkungan belajar yang mendukung pengembangan kemampuan berpikir kreatif adalah lingkungan belajar yang dapat memberikan kepercayaan, kehangatan hubungan, keterbukaan, rasa aman, saling menerima, mendorong pemikiran yang berbeda, dan menekankan bahwa setiap siswa memiliki kemampuan untuk menjadi kreatif. Selain itu menciptakan lingkungan belajar yang membuat siswa termotivasi dalam pemecahan masalah dan memiliki kemauan serta ketekunan dalam memecahkan masalah juga penting untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir kreatif.

DAFTAR PUSTAKA

[1] M. Binkley, “Defining twenty-first century skills,” in Assesment and teaching of 2lst century skills, P. Griffm, B. McGaw, and E. Care, Eds. Dordrecht: Springer, 2012, pp. 17-65.

[2] Kemendikbud, “Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 58 tahun 2014 tentang kurikulum sekolah menengah pertama,” 2014.

[3] A. Panaoura, and G. Panaoura, "Teachers’ awareness of creativity in mathematical teaching and their practice," in IUMPST: The Journal, vol. 4 (Curriculum), 2014.

[4] D. Adams, & M. Hamm, “Tomorrow’s innovators: Essential skills for a changing world,” Plymouth, PY: Rowman & Littlefield Education, 2012.

[5] Q. Dan., J. Xie., "Mathematical modelling skills and creative thinking levels: An experimental study,” in Kaiser, G., Blum, W., Ferri, R., & Stllman, G. (Eds), Trends in teaching and learning of mathematical modelling, London: Springer, 2011, pp. 457-466.

[6] A. B. Powell, I. C. Borge, I. C., and G. I. Fioroti, “Challenging tasks and mathematics learning,” in. Challenging mathematics in and beyond the classroom, E.J. Barbeau, P.J. Taylor, Eds. New ICMI Study Series 12, 2012, pp. 133-170.

[7] D. McGregor, "Developing thinking: developing learning," Poland: Open University Press, 2007. [8] E. Pehnoken, "The state-of art in mathematical creativity,” ZDM, 29 (3), 1997, pp. 63-67. [9] C. Chen, “Turning points: the nature of creativity,” Beijing: Higher Education Press

[10] D. Adams, & M. Hamm, “Demystify math, science, and technology: creativity, innovation, and problem solving,” Plymouth, PY: Rowman & Littlefield Education, 2013.

[11] A. Mahmudi, “Mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis,” Dipresentasikan dalam Konferensi Nasional Matematika XV, Manado: UNIMA, 2010.

[12] W. M. Hsu, “Examining the types of mathematical tasks used to explore the mathematics instruction by elementary school teachers,” in Creative Education, vol 4, 2015, pp. 396-404.

[13] M. K. Stein, M.S. Smith, M. A. Henningsen, and E. A. Silver, “Implementing standards-based mathematics instruction: A casebook for professional development,” New York, NY: Teachers College Press.

[14] Ang, K.C., Teaching and Learning Mathematical Modelling with Technology, (plenary lecture) Proceedings of the 15th Asian Technology Conference in Mathematics, Kuala Lumpur, Malaysia, 2010, pp 19-29.

[15] S. Oswalt, "Mathematical modeling in the high school classroom" LSU Master's Theses. 2012. http://digitalcommons.lsu.edu/gradschool_theses/3306

(8)

[16] L. Zottl, S. Ufer, K. Reiss, "Assessing modelling competencies using a aultidimensional IRT Approach," In Kaiser, G., Blum, W., Ferri, R., & Stllman, G. (Eds), Trends in teaching and learning of mathematical modelling, London: Springer, 2011, pp. 396-404.

[17] W. Blum., “Can modelling be taught and learnt? Some answers from empirical research”. In Kaiser, G., Blum, W., Ferri, R., & Stllman, G. (Eds), Trends in teaching and learning of mathematical modelling, London: Springer, 2011, pp. 15-30.

[18] G. Kaiser, & K. Maaß, "Modelling in lower secondary mathematics classroom – problems and opportunities," In Warner, Blum. (Ed). Modelling and applications in mathematic education. New York: Springer Since+Business Media, LCC, 2011, pp: 99-108.

[19] M. Swan, R. Turner, et al, "The roles of modelling in learning mathematics," In Warner, Blum. (Ed). Modelling and applications in mathematic education, New York: Springer Since+Business Media, LCC, pp: 275-1284.

[20] NCTM. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM.

[21] S. Mrayyan, " Investigating mathematics teachers' role to improve students’ creative thinking ," In American Journal of Educational Research, 2016, Vol. 4, No. 1, pp. 82-90

[22] Y. Kiymaz., B. Sriraman., H. L., Kyeong, "Prospective secondary mathematics Teachers’ mathematical creativity in problem solving," In B. Sriraman and K.H. Lee (eds.), The elements of reativity and giftedness in mathematics, 2011, pp. 173–191. [23] P. Sullivan, & A. Mornane, “Exploring teachers’ use of, and students’ reactions to challenging mathematics tasks,” Math Ed

Gambar

GAMBAR 1. P ROSES   P EMODELAN
GAMBAR 2. I LUSTRASI  M ASALAH

Referensi

Dokumen terkait

Rincian Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Tidak Langsung Satuan Kerja Perangkat Daerah.. Rekapitulasi Belanja Langsung menurut Program dan

real estate yang diproksikan melalui ROI. Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa variabel persediaan, periode piutang dan siklus konversi kas dapar

Bukan suatu hal yang mustahil juga apabila nantinya kisah ODHA tersebut akan menjadi catatan kecil dari sebuah zaman. Zaman yang sangat primitif karena masih menganggap AIDS

yan ang g ak akan an se seiim mba bang ng de deng ngan an ar arus us k kas as m mas asuk uk y yan ang g dihasilkan dari in!estasi" rus kas yang mengambil

Hasil uji organoleptik es krim jagung manis menunjukkan bahwa konsentrasi non dairy cream dan jenis zat penstabil yang digunakan tidak berpengaruh pada rasa dan aroma tetapi

Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Gibson dan Mangkuprawiro, Yudianto (2008) yang melakukan penelitian tentang “Pengaruh Kepuasan Kerja dan Motivasi Kerja

kesejahteraan rakyat yang diantaranya meliputi aspek ekonomi dan Pendidikan oleh pemerintah dewasa ini belum menunjukan hasil sesuai yang diharapkan rakyat Indonesia

Justru dari Coedes lah orang yang pertama mempunyai perhatian tentang Sriwijaya dan sekaligus menyebutkan Palembang-lah sebagai pusat dan ibukota Sriwijaya