• Tidak ada hasil yang ditemukan

RASIO SIRINGIL-GUAIASIL PENYUSUN LIGNIN KAYU DAUN LEBAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROSES DELIGNIFIKASI DHIAH NURHAYATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RASIO SIRINGIL-GUAIASIL PENYUSUN LIGNIN KAYU DAUN LEBAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROSES DELIGNIFIKASI DHIAH NURHAYATI"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

RASIO SIRINGIL

DAUN LEBAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROSES

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

RASIO SIRINGIL-GUAIASIL PENYUSUN LIGNIN KAYU

DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROSES

DELIGNIFIKASI

DHIAH NURHAYATI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

GUAIASIL PENYUSUN LIGNIN KAYU

DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROSES

(2)

Syringyl-Guaiacyl Ratio of Hardwood Lignin and Its Influence to Delignification Process

1)

Dhiah Nurhayati, 2)Wasrin Syafii, 2)Deded Sarip Nawawi

INTRODUCTION Lignin is one of the wood component influencing the quantity and quality of pulp. Degradation and dissolution of lignin occurred during delignification phase. This research was intended to determine the content of lignin and the syringyl-guaiacyl ratio in hardwood, and its correlation to delignification.

MATERIAL AND METHODS The delignification process were conducted by cooking of Acacia auriculiformis, Acacia mangium, Acacia sp. (hybrid), Eucalyptus grandis, Eucalyptus urophylla, and Eucalyptus camaldulensis in alkaline solution for 30, 60, and 90 minutes at 120oC. Lignin content was determined with Klason lignin procedure. Klason lignin is an insoluble fraction after hydrolyses wood meal in H2SO4 72% and 3%. The ratio of syringyl and guaiacyl was determined by the Alkaline Nitrobenzene Oxidation method. Ratio of syringyl to guaiacyl expressed as the ratio of (syringaldehyde+siringic acid)/(vannilin+vanillic acid). The delignification process was calculated as a difference of lignin content of wood before and after treatment. Assuming lignin content dissolved in the filtrate was determined by permanganate consumption procedure.

RESULTS AND DISCUSSIONS Research result showed that lignin content of six wood species varied from 19,30 to 26,96%, and it decreased by increased of cooking time. The ratio of syringyl-guaiasyl was 1,27 of Acacia sp (hybrid), 1,08 of Acacia auriculiformis and 0,98 of Acacia mangium, however, the higher S/G ratio was observed on Eucalyptus species, which are 2,94 for Eucalyptus camaldulensis, 2,93 for Eucalyptus grandis, and 2,57 for Eucalyptus urophylla. There was indication that delignification process correlated to S/G ratio. The higher delignification rate was obtained from wood species with higher S/G ratio. It seems that S/G ratio is one of the parameter representing reactivity of lignin, especially in related to delignification during alkaline pulping process. Research result, also, showed that there was strong relationship between the dissolution of lignin with the syringyl-guaiacyl ratio of wood lignin. The higher proportion of syringyl unit in lignin causing easier delignification and higher dissolving of lignin.

Keyword : Klason Lignin, Delignification, Syringyl-guaiacyl Ratio

1)

Student of Forest Product Department, Faculty of Forestry,IPB

2)

Lecture of Forest Product Department, Faculty of Forestry,IPB

(3)

RINGKASAN

Dhiah Nurhayati (E24054254). Rasio Siringil-Guaiasil Penyusun Lignin Kayu Daun Lebar dan Pengaruhnya terhadap Proses Delignifikasi. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.

Lignin merupakan salah satu komponen kimia penyusun kayu yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas pulp yang dihasilkan dalam proses pulping. Pada tahap delignifikasi terjadi degradasi dan pelarutan lignin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kadar lignin dan proporsi kandungan siringil dan guaiasil penyusun lignin (rasio S/G) pada kayu daun lebar, dan hubungannya dengan delignifikasi. Jenis kayu yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas Acacia auriculiformis, Acacia mangium, Acacia sp. (hibrida), Eucalyptus grandis, Eucalyptus urophylla, dan Eucalyptus camaldulensis. Proses pulping dilakukan dengan pemasakan serbuk kayu dalam larutan alkali (NaOH) selama 30, 60, dan 90 menit pada suhu 120oC. Kadar lignin ditentukan dengan prosedur lignin klason. Lignin klason merupakan fraksi tidak terlarut setelah serbuk kayu dihidrolisis dengan H2SO4 72% dan 3%. Rasio siringil dan guaiasil ditentukan dengan metode Alkaline Nitrobenzene Oxidation, dan dinyatakan sebagai (syringaldehyde+syringic acid)/(vanillin+vanillic acid). Delignifikasi dihitung dari perbandingan kadar lignin kayu sebelum dan setelah perlakuan. Asumsi lignin yang terlarut dalam filtrat dihitung dengan prosedur konsumsi permanganat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lignin klason pada 6 jenis kayu bervariasi antara 19,30-26,96%. Jika dibandingkan kadar lignin klason tiga jenis kayu Eukaliptus lebih tinggi dibandingkan Akasia. Nilai lignin klason ini akan semakin rendah dengan semakin lama waktu pemasakan. Dari pengujian rasio siringil-guaiasil diperoleh nilai rasio S/G 1,27 untuk Acacia sp. (hibrida), 1,08 untuk A. auriculiformis dan 0,98 untuk A. mangium, sedangkan nilai rasio S/G yang lebih tinggi ditemukan pada jenis Eukaliptus, yaitu 2,94 pada E. camaldulensis, 2,93 pada E. grandis, dan 2,57 pada E. urophylla. Perbedaan nilai rasio siringil dan guaiasil menunjukkan adanya reaktifitas komponen penyusun lignin yang berbeda dan akan berpengaruh pada proses pulping, terutama dalam tahap delignifikasi. Pada kayu dengan rasio siringil-guaiasil lignin yang lebih tinggi menyebabkan laju delignifikasi yang lebih tinggi pula.

Hubungan rasio S/G dan kelarutan lignin pada pemasakan 30 menit memberikan koefisien determinasi sebesar 0,45, pada pemasakan 60 menit sebesar 0,76, dan pada pemasakan 90 menit sebesar 0,57. Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat adanya korelasi positif dimana kelarutan lignin meningkat dengan semakin tingginya rasio siringil-guaiasil penyusun lignin sehingga laju delignifikasi pun akan semakin cepat. Hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa siringil lignin merupakan faktor penting dalam reaksi delignifikasi selama proses pulping alkali. Semakin tinggi proporsi unit siringil penyusun lignin maka semakin mudah reaksi delignifikasi dan semakin tinggi lignin yang terlarut.

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rasio Siringil-Guaiasil Penyusun Lignin Kayu Daun Lebar dan Pengaruhnya terhadap Proses Delignifikasi adalah karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2009

Dhiah Nurhayati NIM E24054254

(5)

RASIO SIRINGIL-GUAIASIL PENYUSUN LIGNIN KAYU

DAUN LEBAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROSES

DELIGNIFIKASI

DHIAH NURHAYATI

E24054254

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Rasio Siringil-Guaiasil Penyusun Lignin Kayu Daun Lebar dan Pengaruhnya terhadap Proses Delignifikasi Nama Mahasiswa : Dhiah Nurhayati

NIM : E24054254

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. NIP. 19541017 198003 1 004 NIP. 19660113 199103 1 001

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 19611126 198601 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta dapat menyusun skripsi dengan judul “Rasio Siringil-Guaiasil Penyusun Lignin Kayu Daun Lebar dan Pengaruhnya terhadap Proses Delignifikasi” dengan baik.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas tentang hubungan antara kerakteristik lignin, kadar lignin klason dan proporsi monomer siringil-guaiasil pada beberapa jenis kayu akasia dan eukaliptus dengan laju delignifikasi pada proses pulping. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi informasi bagi industri pulp dan kertas dalam menentukan bahan baku yang tepat untuk mencapai optimalisasi proses.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. dan Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. selaku pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop., Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr., dan Ibu Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, M.Sc. selaku penguji yang telah memberikan nasehat, saran dan motivasi kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, bapak, kakak dan adik tercinta serta keluarga besar Bagian Kimia Hasil Hutan atas perhatian, semangat, doa dan dukungan yang sangat besar kepada penulis, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan sehingga penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun agar menjadi lebih baik. Semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Oktober 2009

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 22 Juli 1987 dari pasangan Achmad Dhofir dan Rukmiwati, SE. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis memulai pendidikan di TK Aisyiah Bustanul Athfal pada tahun 1992-1993, kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 3 Brebes pada tahun 1993-1999, pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Brebes pada tahun 1999-2002 dan melanjutkan ke SMA Negeri 1 Brebes pada tahun 2002-2005.

Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis masuk Fakultas Kehutanan dengan Mayor Teknologi Hasil Hutan pada tahun 2006 dan memilih Bagian Kimia Hasil Hutan sebagai bidang keahlian pada tahun 2008.

Selama pendidikan di Fakultas Kehutanan, kegiatan praktek yang pernah diikuti oleh penulis antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Indramayu dan Linggarjati, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat dan Praktek Kerja Lapang di PT Andatu Lestari Plywood Lampung. Selain itu penulis juga menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun 2008 serta Dendrologi tahun 2008-2009. Kegiatan kemahasiswaan yang pernah diikuti penulis antara lain ASEAN Forestry Student Association Local Committe IPB (2006-2009), Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (2006/2007), Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB (2007/2008), serta beberapa kepanitiaan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul “Rasio Siringil- Guaiasil Penyusun Lignin Kayu Daun Lebar dan Pengaruhnya terhadap Proses Delignifikasi”, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR TABEL ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 2 1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lignin ... 3

2.2 Delignifikasi ... 4

2.3 Karakteristik Kayu yang Diteliti ... 5

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 8

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 8

3.3 Metode Penelitian ... 9

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Lignin dan Rasio Siringil-Guaiasil Lignin ... 14

4.2 Delignifikasi ... 16

4.3 Kelarutan Polisakarida ... 20

4.4 Hubungan Rasio Siringil-Guaiasil dengan Delignifikasi ... 22

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 26

5.2 Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Struktur monomer lignin ... 4

2. Perubahan kadar lignin akibat perlakuan alkali ... 17

3. Kelarutan lignin selama pemasakan ... 17

4. Hubungan waktu pemasakan dengan konsumsi permanganat lindi hitam 19 5. Perubahan kadar holoselulosa akibat perlakuan pemasakan alkali ... 21

6. Perubahan kadar alphaselulosa akibat perlakuan pemasakan alkali ... 21

7. Korelasi kelarutan lignin pemasakan 30 menit dengan rasio S/G... 23

8. Korelasi kelarutan lignin pemasakan 60 menit dengan rasio S/G... 23

(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Sifat fisis, morfologis dan komponen kimia kayu akasia ... 6 2. Kadar lignin klason dan rasio S/G 6 jenis kayu ... 14 3. Kadar lignin kayu setelah perlakuan delignifikasi ... 16

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Kadar air serbuk dan kelarutan dalam ethanol benzene ... 31 2. Kandungan polisakarida dan konsumsi permanganat pada berbagai

perlakuan pulping... 32 3. Kromatogram pengujian cincin aromatik penyusun lignin Acacia

mangium dengan menggunakan Gas Kromatografi ... 33 4. Kromatogram pengujian cincin aromatik penyusun lignin Eucalyptus

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulping adalah proses mengolah kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya menjadi serat-serat individu yang saling terpisah satu dengan lainnya dengan cara mekanis, kimia, maupun semikimia. Terdapat beberapa macam proses pulping yang digunakan pada industri saat ini, salah satunya adalah proses alkali. Pada proses alkali ini dalam pemisahan seratnya digunakan bahan pemasak larutan alkali yang akan melarutkan sebagian besar lignin untuk mendapatkan sebanyak mungkin serat-serat selulosa yang terkandung dalam kayu pada suhu dan tekanan tertentu.

Lignin sebagai salah satu komponen penyusun kayu yang mempengaruhi jumlah dan kualitas pulp yang dihasilkan oleh industri pulp dan kertas. Kadar lignin dalam kayu berkisar antara 15-35% dan sebagian besar tersimpan dalam dinding sel sekunder. Kayu yang umum digunakan dalam pembuatan pulp dan kertas di Indonesia adalah jenis kayu daun lebar. Lignin kayu daun lebar tersusun atas coniferyl alcohol (unit guaiasil) dan sinapyl alcohol (unit siringil) dengan perbandingan tertentu. Komposisi guaiasil dan siringil lignin pada tiap spesies berbeda, bahkan pada lapisan dinding sel satu spesies, dan perbedaan ini akan mempengaruhi laju pelarutan lignin atau delignifikasi yang terjadi selama proses pulping.

Perbedaan laju delignifikasi bukan hanya dipengaruhi oleh jumlah lignin tetapi juga oleh reaktivitas komponen penyusun lignin. Sudah diketahui bahwa kadar lignin adalah faktor penting dalam proses pulping. Semakin tinggi kadar lignin kayu maka konsumsi bahan kimia pemasak akan semakin tinggi dan waktu pemasakan yang lebih lama untuk mencapai tingkat pemasakan tertentu (Fengel dan Wegener 1995; Sjostrom 1995; Casey 1980). Lebih lanjut ditemukan bahwa terdapat perbedaan laju delignifikasi antara jenis kayu daun jarum dan kayu daun lebar pada kondisi pemasakan yang sama (Fergus dan Goring 1970a). Hal ini kemungkinan karena rendahnya kadar lignin kayu daun lebar dibandingkan kayu daun jarum. Akan tetapi pada jenis kayu daun lebar

(14)

yang memiliki keragaman struktur kimia lignin yang tinggi belum jelas apakah lebih mudahnya proses pulping diantara kayu daun lebar semata sebagai implikasi dari perbedaan kadar lignin atau perbedaan laju delignifikasi dari siringil dan guaiasil penyusun makromolekul lignin.

Penelitian ini mengkaji kemungkinan korelasi antara karakteristik lignin, kadar lignin klason dan proporsi monomer siringil-guaiasil dengan delignifikasi pada beberapa jenis kayu akasia dan eukaliptus.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini antara lain untuk mengukur kadar lignin dan proporsi kandungan siringil dan guaiasil penyusun lignin (rasio S/G) pada kayu akasia dan eukaliptus, dan hubungannya dengan delignifikasi pada proses pulping alkali.

1.3 Manfaat

Penelitian terhadap karakteristik lignin pada kayu sebagai bahan baku pulp dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan informasi bagi industri pulp dan kertas dalam menentukan bahan baku yang tepat untuk mencapai optimalisasi proses.

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lignin

Lignin adalah salah satu komponen kimia struktural yang terkandung di dalam kayu yang sangat berperan dalam menentukan kekuatan dan sifat fisis dari kayu. Achmadi (1990) menyatakan bahwa lignin merupakan polimer yang tersusun atas unit-unit fenilpropana. Polimer lignin bercabang banyak dan membentuk struktur berdimensi tiga. Lebih dari 2/3 unit fenilpropana pada lignin dihubungkan dengan ikatan eter dan sisanya dengan ikatan karbon-karbon.

Ditinjau dari strukturnya, lignin adalah polimer kompleks dengan berat molekul tinggi. Struktur lignin sangat stabil dan sulit dipisahkan serta memiliki bentuk yang bervariasi. Lignin terdapat diantara sel-sel dan di dalam dinding sel. Diantara sel-sel, lignin merekatkan antar sel penyusun kayu tersebut sedangkan dalam dinding sel lignin memberikan ketegaran pada sel. Konsentrasi lignin yang tertinggi terdapat dalam lamela tengah dan semakin kecil pada lapisan dinding sekunder (Haygreen dan Bowyer 1989; Sjostrom 1995).

Berdasarkan komposisi monomer penyusunnya, lignin dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Lignin Guaiasil dan Lignin Guaiasil-Siringil. Lignin Guaiasil merupakan polimer dari unit coniferyl alcohol dan banyak terkandung dalam kayu daun jarum (softwood) dengan kadar lignin 23-32%. Lignin kayu daun jarum bersifat lebih homogen yang terutama disusun oleh unit guaiasil sekitar 90% dan sisanya p-hydroxy coumaryl. Lignin kayu daun lebar (hardwood) yang dikenal sebagai Lignin Guaiasil-Siringil bersifat lebih heterogen karena tersusun atas guaiasil dan siringil dengan kadar lignin dalam kayu 20-28%. Keragaman proporsi siringil dan guaiasil terdapat diantara jenis kayu yang berbeda (Akiyama et al. 2005), sedangkan perbedaan yang lebih kecil terdapat pada bagian kayu dalam pohon yang sama dan kayu reaksi (Akiyama et al. 2003; Donaldson 2001).

(16)

(1)

Gambar 1 Struktur monomer lignin. (1) p alkohol, (3) sinapil alkoh

Keragaman proporsi guaiasil dan siringil unit penyusun lignin juga ditemukan pada jaringan kayu yang berbeda dalam satu batan

sama. Sel serat umumnya lebih banyak mengandung lignin dengan proporsi siringil yang lebih dominan, sedangkan se

lignin guaiasil (Fergus dan Goring 1970a

2.2 Delignifikasi

Delignifikasi merupakan reaksi kimia terpent

kimia. Hal ini karena dalam proses pulping kimia bertujuan un mendegradasi dan melarutkan lignin sebanyak

menghindari kerusakan pada serat selulosa seminimal mungkin. Proses delignifikasi pada proses

delignification (delignifikasi awal), dan residual delignification

adalah penghilangan total lignin tanpa serangan bahan kimia terhadap polisakarida. Produk yang dihasilkan setelah penghilangan lignin diseb holoselulosa. Namun belum ada metode delignifikasi yang dapat memenuhi persyaratan tersebut secara ideal

Tahap delignifikasi awal atau sangat penting dalam proses

suhu < 140°C dan hanya sedikit lignin yang hilang, sekitar 20 lignin yang terkandung dal

(2) (3)

Struktur monomer lignin. (1) p-coumaril alkohol, (2) coniferil , (3) sinapil alkohol.

Keragaman proporsi guaiasil dan siringil unit penyusun lignin juga ditemukan pada jaringan kayu yang berbeda dalam satu batang pohon yang Sel serat umumnya lebih banyak mengandung lignin dengan proporsi siringil yang lebih dominan, sedangkan sel pori lebih banyak disusun oleh unit

guaiasil (Fergus dan Goring 1970a; Fukushima dan Terashima 1991).

Delignifikasi merupakan reaksi kimia terpenting dalam proses pulping Hal ini karena dalam proses pulping kimia bertujuan un mendegradasi dan melarutkan lignin sebanyak-banyaknya dengan menghindari kerusakan pada serat selulosa seminimal mungkin. Proses delignifikasi pada proses pulping alkali terbagi menjadi tiga tahap, yaitu

(delignifikasi awal), bulk delignification (delignifikasi curah) elignification (delignifikasi sisa). Delignifikasi yang ideal adalah penghilangan total lignin tanpa serangan bahan kimia terhadap polisakarida. Produk yang dihasilkan setelah penghilangan lignin diseb holoselulosa. Namun belum ada metode delignifikasi yang dapat memenuhi persyaratan tersebut secara ideal (Fengel dan Wegener 1995).

Tahap delignifikasi awal atau initial delinification merupakan fase yang sangat penting dalam proses pulping. Dalam fase ini terjadi impregnasi pada suhu < 140°C dan hanya sedikit lignin yang hilang, sekitar 20-25% dari total lignin yang terkandung dalam kayu terdegradasi (Smook 1994).

coumaril alkohol, (2) coniferil

Keragaman proporsi guaiasil dan siringil unit penyusun lignin juga g pohon yang Sel serat umumnya lebih banyak mengandung lignin dengan proporsi l pori lebih banyak disusun oleh unit ; Fukushima dan Terashima 1991).

ing dalam proses pulping Hal ini karena dalam proses pulping kimia bertujuan untuk banyaknya dengan menghindari kerusakan pada serat selulosa seminimal mungkin. Proses alkali terbagi menjadi tiga tahap, yaitu initial (delignifikasi curah) (delignifikasi sisa). Delignifikasi yang ideal adalah penghilangan total lignin tanpa serangan bahan kimia terhadap polisakarida. Produk yang dihasilkan setelah penghilangan lignin disebut holoselulosa. Namun belum ada metode delignifikasi yang dapat memenuhi

merupakan fase yang ini terjadi impregnasi pada 25% dari total

(17)

2.3 Karakteristik Kayu yang Diteliti

Penelitian ini menggunakan tiga jenis kayu akasia dan kayu eukaliptus, yaitu spesies Acacia mangium Willd, Acacia auriculiformis A. Cunn ex Benth, Acacia sp. (hibrida), Eucalyptus grandis Hill ex Maiden, Eucalyptus camaldulensis Dehnh, dan Eucalyptus urophylla S. T. Blake.

Kayu akasia termasuk dalam famili Leguminosae. Akasia merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak ditanam di Hutan Tanaman Industri karena tergolong fast growing spesies dan banyak digunakan sebagai bahan baku industri pulp dan kertas dan fuelwood (Faucon 2005).

Malik et al. (2000) menyebutkan bahwa A. mangium tersebar secara alami di Queensland Utara Australia, Papua New Guinea hingga Provinsi Papua dan Maluku. Mangium mampu beradaptasi terhadap tanah asam dan dapat tumbuh subur di dataran rendah tropis yang lembab serta tidak toleran terhadap naungan. Mangium menjadi pilihan untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan. Mangium tidak hanya ditanam sebagai bahan baku industri pulp dan kertas tetapi juga untuk bahan baku papan komposit.

Acacia auriculiformis A. Cunn ex Benth merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat (multipurpose). Jenis ini digunakan selain sebagai bahan baku pulp dan furniture juga dimanfaatkan untuk mengendalikan erosi, bahan bakar (fuelwood) serta tanaman hias dan peneduh jalan. Dalam FACTnet (1996) disebutkan bahwa A. auriculiformis termasuk jenis endemik di Australia bagian utara, Papua New Guinea dan Indonesia bagian timur. Tanin yang terkandung dalam kayu gubalnya mampu mengusir jamur yang menyerang kayu.

Acacia sp. (hibrida) yang digunakan merupakan persilangan dari A. mangium dan A. auriculiformis. Mekanisme polinasi dan sifat biologis dari Acacia sp. (hibrida) terus diselidiki menggunakan mikroskop cahaya dan elektron. Acacia sp. (hibrida) memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan. Kha (2004) menyebutkan bahwa Acacia sp. (hibrida) yang ditanam di Vietnam memiliki volume batang 2-3 lebih besar dibandingkan A. mangium dan 3-4 kali lebih besar dibandingkan A. auriculiformis pada umur yang sama. Berat jenis Acacia sp. (hibrida) berada antara selang berat jenis A.

(18)

mangium dan A. auriculiformis. Sifat fisik dan mekanis Acacia sp. (hibrida), seperti kembang susut, penyerapan air, kekuatan tekan, MOR, dan ketahanan belah juga berada diantara kedua induknya. Penggunaan Acacia sp. (hibrida) sebagai bahan baku pulp sangat menguntungkan karena proses pulping lebih efisien dan menghasilkan kertas yang lebih berkualitas.

Tabel 1 Sifat fisis, morfologis dan komponen kimia kayu akasia

Sifat yang terkandung Acacia mangium Acacia auriculiformis 1. Sifat Fisis dan Morfologis

Massa jenis (gr/cm3) Panjang serat : Minimum (mm) Maksimum (mm) Rata-rata (mm) Diameter serat : Luar, D (µ) Lumen, L (µ) Tebal dinding, W (µ) Bilangan Runkel, 2W/L 2. Komponen Kimia Alfa Selulosa Holoselulosa Pentosa Ekstraktif Lignin Abu 0,39 0,28 1,33 0,85 11,97 5,84 3,06 1,05 39,92 73,12 16,50 3,00 23,14 0,64 0,53 0,31 1,65 1,04 12,31 5,93 3,18 1,07 45,52 75,52 17,20 2,73 23,98 0,53 Sumber: Uzair dan Sugiharto (1989) dalam Purba (1990)

Kayu eukaliptus termasuk ke dalam famili Myrtaceae. Eucalyptus grandis Hill ex Maiden berasal dari pesisir timur Australia. Di Australia jenis ini disebut juga Rose gum atau Flooded gum. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan hutan primer. Tingginya mencapai 40 - 50 meter dengan diameter 1,2 – 1,8 meter, kulit batangnya tipis dan mudah rontok. Rose gum merupakan jenis eukaliptus yang penting karena memiliki nilai jual yang tinggi. Jenis Eukaliptus ini banyak digunakan sebagai bahan baku pulp dan kayu bakar, serta berpotensi sebagai tiang, palet, vinir dan produk lainnya (Meskimen dan John 2000).

Eucalyptus camaldulensis Dehnh atau sering disebut juga River red gum atau Murray red gum merupakan jenis pohon dengan tinggi 20 – 50 meter

(19)

dengan diameter 1 - 2 meter, kulit batang halus, berwarna putih, abu, hijau kekuningan. E. camaldulensis merupakan jenis eukaliptus yang memiliki penyebaran terluas. Daerah penyebaran alaminya mencakup sebagian besar daratan Australia, yang terletak pada kisaran 12°48`LS hingga 38°15`LS di Victoria. E. camaldulensis banyak ditanam di negara-negara tropis dan sub-tropis, dan diperkirakan merupakan tanaman yang paling luas ditanam di tanah-tanah kering dan semi-kering. Di habitat alaminya, E. camaldulensis menjadi tumbuhan penciri daerah di sepanjang aliran sungai atau pada dataran tergenang. Di sebelah selatan Australia, tumbuhan ini sering dijumpai tumbuh pada hutan terbuka dan daratan berpohon (woodland) pada daerah-daerah perbukitan dan pegunungan, pada kisaran ketinggian 20 - 700 m dpl. Selain digunakan sebagai bahan baku pulp, E. camaldulensis banyak digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan (jembatan dan kapal), jalan, furnitur, lantai atau kotak (Wardiyono 2008).

Eucalyptus urophylla S. T. Blake merupakan jenis pohon yang selalu hijau dengan tinggi lebih dari 45 meter dan batang bebas cabang pada ketinggian 30 meter dengan diameter lebih dari 2 meter. Jenis ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar, bahan baku pulp dan kertas, bahan konstruksi, serta atsiri (Prosea 2000). E. urophylla pertama kali diperkenalkan di Brazil dan termasuk jenis tumbuhan yang dapat tumbuh dengan baik di daerah tropik dan subtropik dengan curah hujan lebih dari 1000 mm per tahun (Hillis dan Brown 1978).

(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada bulan April hingga Juli 2009.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian a) Kayu

Sampel uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kayu daun lebar yang terdiri atas Acacia auriculiformis A. Cunn ex Benth yang berasal dari Vietnam, Acacia mangium Willd dari Indonesia, Acacia sp. (hibrida) dari Vietnam, Eucalyptus grandis Hill ex Maiden dari Afrika Selatan, Eucalyptus urophylla S. T. Blake dari Vietnam, dan Eucalyptus camaldulensis Dehnh dari Thailand.

b) Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan kimia pereaksi, bahan pelarut dan bahan kimia penolong lainnya antara lain ethanol 95%, benzene (C6H6 grade), asam asetat (CH3COOH), asam sulfat (H2SO4), sodium hidroksida (NaOH), ethylvanilin, nitrobenzen, diklorometana, ethyl ether, kalium permangat (KMnO4), larutan kanji, aquades.

c) Alat

Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau, Willey mills, oven, timbangan dan saringan elektrik, soxhlet, gelas ukur, desikator, pemanas air, autoclave, erlenmeyer, pipet, kertas saring, aluminium foil, magnetic stirrer, pH meter, corong, pengaduk kaca. Pengujian rasio siringil-guaiasil dilakukan dengan menggunakan alat Gas-Kromatografi.

(21)

3.3 Metode Penelitian 1. Desain penelitian

Tingkat delignifikasi selama tahap awal proses pulping alkali dapat diketahui melalui pendekatan perubahan kandungan komponen kimia lignin akibat perlakuan alkali panas. Delignifikasi diukur dari perbedaan kadar lignin sebelum dan setelah perlakuan pemasakan alkali. Tingkat delignifikasi tersebut kemudian dianalisis hubungannya dengan rasio siringil-guaiasil penyusun molekul lignin.

Diagram alir penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

2. Persiapan Contoh Uji

Bagian kayu Acacia auriculiformis, Acacia mangium, Acacia sp. (hibrida), Eucalyptus grandis, Eucalyptus urophylla, dan Eucalyptus camaldulensis yang digunakan merupakan campuran kayu gubal dan

Sampel Kayu (40-60 mesh) Perlakuan NaOH pada suhu 120 °C, selama 30, 60, 90 menit Pengujian : • Lignin Klason • Rasio S/G • Holoselulosa • Alpha selulosa Ekstraksi Ethanol/Benzene (1:2) Pengujian : • Lignin Klason • Holoselulosa • Alpha-selulosa Residu Pengujian : • Konsumsi Permanganat Filtrat (Black Liquor) Ethanol/Benzene

Ekstrak

(22)

kayu teras dalam bentuk chips. Sampel kayu dibuat menjadi serpihan-serpihan kecil kemudian dikering-udarakan dan digiling dengan Willey mills. Serbuk yang telah digiling disaring menggunakan saringan elektrik sehingga didapatkan ukuran partikel lolos saringan 40-60 mesh. Serbuk kemudian disimpan dalam wadah tertutup.

3. Ekstraksi Ethanol Benzene

Untuk melakukan pengujian kadar lignin klason, holoselulosa, dan alpha-selulosa, serbuk contoh uji terlebih dahulu diekstraksi dengan ethanol benzene. Ekstraksi dilakukan dengan metode standar TAPPI T 204 om 88. Serbuk kayu sebanyak 6 gram diekstraksi dalam alat sokhlet dan dengan 300 ml campuran ethanol benzene (1:2) selama 6-8 jam. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105±3°C hingga beratnya konstan.

Kadar zat ekstraktif yang larut dalam ethanol benzene (1:2) % kelarutan = BKTA - BKTE x 100%

BKTA

BKTA : berat kering serbuk sebelum ekstraksi BKTE : berat kering serbuk setelah ekstraksi

4. Perlakuan Proses Pulping

Sebanyak 6 gram serbuk kayu 40-60 mesh didelignifikasi dengan 60 ml larutan NaOH ekuivalen dengan alkali aktif 20% dari bobot sampel kayu. Pemasakan dilakukan pada suhu 120oC selama masing-masing 30, 60, 90 menit. Setelah masing-masing perlakuan sampel disaring dan dicuci dengan air destilata hingga volume filtrat mencapai 300 ml. Residu kemudian dikering-udarakan lalu dihitung kelarutannya dan diuji lignin klason, holoselulosa, dan alpha-selulosa. Filtrat diuji konsumsi permanganatnya untuk menentukan asumsi lignin yang terdegradasi.

(23)

5. Penentuan Kadar Lignin Klason

Pengujian kadar lignin klason mengacu pada prosedur modifikasi seperti yang dinyatakan dalam Dence (1992). Serbuk kayu sebanyak 0,5 gram dihidrolisis dengan asam sulfat (H2SO4) 72% selama 3 jam pada suhu ruangan. Hidrolisis dilanjutkan pada konsentrasi asam sulfat 3% pada suhu 120°C selama 30 menit dengan menggunakan autoclave. Padatan lignin disaring dengan kertas saring dan filtrat ditampung. Padatan lignin klason dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105±3°C selam 12 jam.

% lignin = B x 100% A

A = berat serbuk awal (gram) B = berat lignin (gram)

6. Penentuan Kadar Holoselulosa

Pengujian kadar holoselulosa dilakukan dengan merujuk pada Browning (1967). Sampel serbuk kayu bebas ekstraktif sebanyak 2 gram berat kering ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml. Sampel kemudian ditambahkan 100 ml air destilata, 1 gram sodium klorit dan 0,5 ml asam asetat glasial. Sampel dipanaskan dengan waterbath pada suhu 80°C. Setiap penambahan waktu reaksi selama 1 jam pemanasan, ditambahkan 1.0 gram sodium klorit dan 0,5 ml asam asetat glasial sampai sebanyak 4 kali penambahan dan waktu reaksi total selama 5 jam. Sampel kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya. Sampel dicuci dengan air destilata panas sampai filtrat berwarna bening, kemudian sampel dibilas dengan 25 ml asam asetat 10%, lalu dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel dikeringkan pada suhu 105±3°C selama 24 jam, didinginkan dan ditimbang sampai beratnya konstan.

Holoselulosa (%) = A x 100% B

A = berat holoselulosa (gram) B = berat sampel kering oven (gram)

(24)

7. Penentuan Kadar α-Selulosa (ASTM 1103D)

Sebanyak 1,5 gram holoselulosa ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 10 ml NaOH 17,5% pada suhu 20°C dan diaduk-aduk hingga terbasahi merata. Setelah reaksi selama 5 menit, setiap selang interval 5 menit ditambahkan lagi 5 ml NaOH 17,5% sebanyak tiga kali, dan dibiarkan selama 30 menit sehingga total waktu menjadi 45 menit. Setelah 45 menit, ditambahkan 33 ml air destilata dan diaduk, kemudian dibiarkan selama 1 jam. Sampel kemudian disaring dan dibilas dengan 100 ml larutan NaOH 8,3%. Sampel kemudian dicuci dengan air destilata, kemudian dibilas dengan 15 ml asam asetat 10%, dan dicuci kembali hingga bebas asam. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105±3°C hingga beratnya konstan, dinginkan dan timbang.

Alpha-selulosa (%) = A x 100% B

A = berat alpha-selulosa (gram) B = berat kering serbuk (gram)

8. Penentuan Rasio Siringil-Guaiasil Penyusun Lignin

Pengujian rasio siringil dan guaiasil penyusun lignin dilakukan dengan metode Alkaline Nitrobenzene Oxidation. Produk oksidasi diuji dengan alat Gas-Chromatografi sebagai produk vanilin, asam vanilat (vanilic acid), siringaldehida, dan asam siringat (siringic acid). Rasio siringil terhadap guaiasil dinyatakan sebagai perbandingan antara (siringaldehida+asam siringat) dengan (vanilin+asam vanilat).

9. Penentuan Konsumsi Permanganat

Pengujian ini dilakukan dengan mengacu pada TAPPI T 241 su 71. Sebanyak 60 ml air dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian tambahkan 10 ml filtrat hasil pemasakan proses pulping dan diaduk menggunakan magnetic stirrer. Setelah itu ditambahkan 4 ml H2SO4 dan 10 ml KMnO4 0,1 N. Pada menit ke-5 setelah penambahan

(25)

KMnO4 diukur suhu larutan, dan pada menit ke-10 ditambahkan 2 ml KI 1 M kemudian segera dititrasi dengan Thiosulfate 0,05 N. Setelah larutan berwarna kekuningan ditambahkan indikator kanji, lalu dititrasi hingga larutan menjadi tidak berwarna (bening). Titrasi dilakukan pula pada blanko.

P = (b– a) x N Thiosulfat) / 0,1 x 100% ml KMnO4

P = Permanganat yang dikonsumsi b = ml thiosulfat pada blanko a = ml thiosulfat pada contoh uji

(26)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kadar Lignin dan Rasio Siringil-Guaiasil Lignin

Lignin merupakan bahan pengikat antar sel penyusun kayu yang bersifat stabil dan sulit dipisahkan. Besarnya kadar lignin dalam kayu akan mempengaruhi proses pulping serta kualitas produk kertas yang dihasilkan. Lignin pada kayu daun lebar memiliki sifat yang lebih heterogen dibandingkan dengan lignin kayu daun jarum, karena lignin kayu daun lebar tersusun atas komponen siringil dan guaiasil. Kadar lignin klason kayu daun lebar sendiri bervariasi pada masing-masing jenis yang berbeda (Tabel 2).

Tabel 2 Kadar lignin klason dan rasio S/G 6 jenis kayu Jenis Kayu Rasio S/G Lignin klason (%)

Acacia mangium 0,96 23,80 Acacia auriculiformis 1,08 19,30 Acacia sp. (hibrida) 1,27 21,00 Eucalyptus urophylla 2,57 26,61 Eucalyptus grandis 2,93 25,11 Eucalyptus camaldulensis 2,94 26,95

Kandungan lignin kayu daun lebar lebih rendah dibandingkan pada kayu daun jarum, yaitu berkisar antara 20-25% dan dapat mencapai lebih dari 30% pada kayu tropis (Sjostrom 1995). Kadar lignin hasil penelitian bervariasi antara 19,30-26,96%. Dalam genus Acacia, kadar lignin klason tertinggi pada Acacia mangium dan terendah Acacia auriculiformis sedangkan pada genus Eucalyptus diperoleh kadar lignin klason tertinggi pada Eucalyptus camaldulensis dan terendah pada Eucalyptus grandis. Jika kadar lignin klason kedua genus tersebut dibandingkan maka terlihat bahwa kadar lignin klason tiga jenis kayu genus Eucalyptus lebih tinggi dibandingkan Acacia.

Kadar lignin dalam kayu memberikan pengaruh terhadap proses pulping. Semakin kecil kadar lignin kayu maka proses pulping akan semakin mudah dan waktu pemasakan yang lebih singkat karena berhubungan dengan jumlah lignin yang sedikit. Kayu dengan kadar lignin tinggi akan memerlukan waktu pemasakan yang lebih lama pada tahap delignifikasi. Berdasarkan kadar ligninnya, kayu

(27)

akasia seharusnya akan lebih mudah dalam proses pulping dibandingkan jenis eukaliptus karena kadar lignin jenis akasia lebih rendah dibandingkan eukaliptus. Namun sudah banyak diketahui bahwa eukaliptus termasuk jenis kayu yang disukai oleh banyak industri untuk dibuat pulp karena kemudahannya untuk diolah dalam proses pulping. Hal ini menunjukkan bahwa diantara jenis kayu daun lebar selain kadar lignin terdapat faktor lain yang menentukan laju delignifikasi selama proses pulping terjadi. Keragaman unit penyusun lignin kayu daun lebar dan reaktifitasnya diduga sebagai faktor yang juga memiliki andil dalam menentukan cepat-tidaknya laju delignifikasi.

Data pada Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan kandungan siringil dan guaiasil pada masing-masing spesies yang berbeda, walaupun termasuk dalam genus yang sama. Hal ini sesuai dengan penelitian Akiyama et al. (2005) yang menyatakan perbedaan proporsi siringil dan guaiasil terdapat diantara jenis yang berbeda. Penelitian Fergus dan Goring (1970b) juga menunjukkan adanya perbedaan rasio siringaldehida terhadap vanilin pada genus yang sama. Perbedaan proporsi unit siringil dan guaiasil juga terdapat pada jaringan fiber dan vessel.

Perbedaan nilai rasio siringil dan guaiasil yang cukup besar terlihat dalam genus Acacia dibandingkan dengan genus Eucalyptus. Nilai rasio siringil dan guaiasil tertinggi adalah 1,27 untuk jenis Acacia sp. (hibrida), sedangkan Acacia auriculiformis sebesar 1,08 dan Acacia mangium sebesar 0,98, sedangkan pada jenis Eukaliptus didapatkan nilai rasio siringil dan guaiasil yang hampir sama pada jenis Eucalyptus camaldulensis dan Eucalyptus grandis, yaitu 2,94 dan 2,93, dan rasio siringil dan guaiasil yang paling rendah pada Eucalyptus urophylla sebesar 2,57. Perbedaan kandungan unit monomer penyusun lignin ini selain ditentukan oleh sifat genetik dari masing-masing spesies juga dipengaruhi oleh perbedaan tempat tumbuh. Keragaman rasio siringil dan guaiasil penyusun lignin juga terlihat pada satu batang yang sama, misalnya antara jaringan kayu reaksi dan kayu normal (Syafii dan Nawawi 2008).

Perbedaan nilai rasio siringil dan guaiasil menunjukkan adanya reaktifitas komponen penyusun lignin yang berbeda dan akan berpengaruh pada proses pulping, terutama dalam tahap delignifikasi atau proses degradasi dan pelarutan lignin. Hal ini berdasarkan pada adanya perbedaan reaktifitas dari unit siringil

(28)

lignin dibandingkan dengan unit guaiasil (Tsutsumi et al. 1995). Semakin tinggi nilai rasio siringil dan guaiasil berarti semakin banyak kandungan siringil dalan kayu. Hal ini akan menyebabkan kayu semakin mudah untuk didelignifikasi dalam proses pulping.

4.2. Delignifikasi

Perlakuan delignifikasi kayu dilakukan pada masing-masing waktu pemasakan 30, 60, dan 90 menit. Perubahan kadar lignin akibat perlakuan delignifikasi disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 2.

Tabel 3 Kadar lignin kayu setelah perlakuan delignifikasi

Jenis Kayu Rasio S/G Lignin klason (%) Kadar ektraktif (%) pH kontrol Perlakuan pemasakan 30 menit 60 menit 90 menit Acacia mangium 0,96 23,80 22,12 21,62 21,94 9,04 4,84 Acacia auriculiformis 1,08 19,30 13,43 14,33 13,19 6,53 4,84 Acacia sp. (hibrida) 1,27 21,00 19,87 19,90 20,09 7,78 5,01 Eucalyptus urophylla 2,57 26,61 20,83 19,58 20,00 9,14 4,74 Eucalyptus grandis 2,93 25,11 18,38 18,61 18,61 7,89 4,57 Eucalyptus camaldulensis 2,94 26,95 21,68 19,59 20,71 6,39 5,02

Pada penelitian ini dilakukan perlakuan pemasakan dengan alkali pada suhu 120oC dan diperoleh banyaknya lignin dalam kayu yang terlarut sebesar 1-7 % terhadap bobot kering kayu. Laju kelarutan lignin tertinggi terjadi pada selang waktu pemasakan hingga 30 menit kemudian cenderung konstan setelah waktu pemasakan 60 menit (Gambar 2 dan 3). Hal ini kemungkinan disebabkan pada kisaran suhu tersebut belum mampu melarutkan lignin yang terkandung dalam kayu lebih banyak. Proses delignifikasi selama proses pulping berlangsung tidak hanya dipengaruhi oleh suhu pemasakan, tetapi juga konsentrasi bahan kimia yang digunakan serta waktu pemasakan (Casey 1980).

(29)

Gambar 2 Perubahan kadar lignin akibat perlakuan alkali. (AM: Acacia mangium; AA: Acacia auriculiformis; AH: Acacia sp. (hibrida); EG: Eucalyptus grandis; EC: Eucalyptus camaldulensis; EU: Eucalyptus urophylla)

Proses delignifikasi pada tahap awal atau initial delignification proses pulping alkali terjadi pada suhu kurang dari 140oC. Pada tahap ini proses impregnasi dan ekstraksi berlangsung. Proses penghilangan lignin yang sangat cepat merupakan karakteristik proses ekstraksi sehingga lignin yang terlarut masih relatif sedikit (Smook 1994; Sjostrom 1995). Pada Gambar 3 terlihat bahwa secara umum pada kayu dengan rasio siringil-guaiasil lignin yang lebih tinggi menyebabkan laju delignifikasi yang lebih tinggi pula. Tingginya laju delignifikasi ini diduga sangat terkait dengan kandungan unit siringil yang lebih tinggi dibandingkan unit guaiasil sehingga bersifat lebih reaktif.

Gambar 3 Kelarutan lignin selama pemasakan.

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 AM AA AH EG EC EU L ig n in ( % ) Jenis Kayu

0 menit 30 menit 60 menit 90 menit

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 30 60 90 L ig n in ( % )

Waktu Pemasakan (menit)

Acacia mangium Acacia auriculiformis Acacia sp (hibrida) Eucalyptus grandis Eucalyptus camaldulensis Eucalyptus urophylla

(30)

Secara umum kadar lignin klason dalam kayu akasia dan eukaliptus semakin rendah sebanding dengan semakin lamanya waktu yang diperlukan untuk proses pemasakan. Dalam jumlah larutan pemasak yang sama, dengan semakin lama waktu pemasakan maka lignin yang larut dalam larutan sisa pemasakan atau black liquor akan semakin besar pula yang ditunjukkan oleh semakin meningkatnya konsumsi permanganat dari lindi hitam (Gambar 4). Dalam beberapa perlakuan terjadi kenaikan kadar lignin pada waktu pemasakan yang lebih lama. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh larutan pemasak. Saat terjadi pelarutan lignin, terjadi pula reaksi kondensasi pada lignin itu sendiri serta adanya komponen karbohidrat yang terhidrolisis sehingga seolah-olah kadar lignin menjadi tinggi.

Degradasi dan kelarutan lignin selama proses pulping alkali dapat dipengaruhi pula oleh kadar zat ekstraktif yang berbeda pada masing-masing kayu. Walaupun tidak menunjukkan korelasi yang kuat antara kandungan zat ekstraktif dalam kayu akasia dan eukaliptus dengan kelarutan ligninnya selama proses pulping, namun terdapat kecenderungan bahwa jenis kayu dengan kadar ekstraktif yang tinggi dapat menyebabkan laju delignifikasi menjadi semakin rendah. Hal ini terjadi karena bahan kimia pemasak yang digunakan dalam proses pulping untuk melarutkan lignin juga bereaksi dan dikonsumsi oleh zat ekstraktif. Ini menyebabkan ketersediaan bahan kimia pemasak untuk mendegradasi lignin menjadi berkurang sehingga tingkat delignifikasi menjadi lebih rendah dan lignin yang terlarut semakin kecil.

Selain itu masih terdapat faktor lain yang bisa mempengaruhi delignifikasi, yaitu keasaman kayu atau nilai pH. Pada proses pulping alkali, kondisi bahan baku yang cenderung bersifat asam (nilai pH kurang dari 7) dapat menyebabkan terjadinya konsumsi bahan pemasak (alkali) oleh asam-asam yang terdapat dalam kayu (Sjostrom 1995). Akibat konsumsi alkali ini ketersediaan bahan kimia pemasak menjadi semakin sedikit dan menyebabkan delignifikasi lebih rendah.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dalam penilaian mutu kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas perlu memperhatikan faktor kadar lignin, reaktifitas lignin, kadar ekstraktif dan keasaman kayu, karena faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap reaksi delignifikasi yang terjadi selama proses pulping

(31)

berlangsung dan berdampak pada efisiensi dan optimalisasi industri pulp dan kertas.

Gambar 4 Hubungan waktu pemasakan dengan konsumsi permanganat lindi hitam.

Pengaruh kandungan zat ekstraktif, nilai pH kayu dan sifat kimia lignin dengan kelarutan lignin juga ditunjukkan dengan nilai konsumsi permanganat larutan lindi hitam. Konsumsi permanganat yang diperoleh dari larutan hasil pemasakan atau lindi hitam menunjukkan tingkat kelarutan lignin selama proses pulping atau pemasakan berlangsung. Semakin tinggi konsumsi permanganat larutan lindi hitam maka semakin banyak lignin yang terlarut. Pada Gambar 4 terlihat semakin lama proses pulping berlangsung maka nilai konsumsi permanganat semakin besar pula. Hal ini menunjukkan semakin lama waktu pemasakan maka jumlah lignin yang terlarut semakin banyak.

Pada Tabel 3 juga terlihat adanya kecenderungan nilai konsumsi permanganat akan semakin rendah dengan semakin tingginya kadar ekstraktif dalam kayu. Semakin tinggi pH kayu atau keasaman kayu yang semakin rendah menyebabkan nilai konsumsi permanganat semakin tinggi. Hal tersebut sejalan dengan dugaan pengaruh ekstraktif dan nilai pH terhadap delignifikasi selama proses pulping. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 0 30 60 90 K o n su m si P er m a n g a n a t (% )

Waktu Pemasakan (menit)

Acacia mangium Acacia auriculiformis Acacia sp. (hibrida) Eucalyptus grandis Eucalyptus camaldulensis Eucalyptus urophylla

(32)

4.3. Kelarutan Polisakarida

Reaksi kimia utama dalam proses pulping adalah delignifikasi. Pada tahap delignifikasi bahan kimia pemasak diharapkan dapat mendegradasi dan melarutkan lignin yang terkandung dalam kayu sebanyak-banyaknya tanpa merusak komponen kimia penting lainnya, seperti polisakarida. Namun pada kenyataannya penggunaan bahan kimia pemasak ini selain mendegradasi lignin juga bereaksi dengan polisakarida kayu. Sehingga sangat sulit menghindari terjadinya kerusakan polisakarida selama tahap delignifikasi berlangsung dalam proses pulping.

Fraksi polisakarida total yang terkandung di dalam kayu dinyatakan sebagai holoselulosa. Polisakarida berperan sebagai penguat tekstur dan sumber energi. Nilai holoselulosa pada 6 jenis kayu yang diteliti berkisar antara 73,35 – 78,25 %, dimana nilai tertinggi pada masing-masing genus adalah Acacia auriculiformis dan Eucalyptus grandis sedangkan nilai terendah pada tiap genus adalah Acacia sp. (hibrida) dan Eucalyptus urophylla. Secara umum pada genus Acacia memiliki kadar holoselulosa yang lebih tinggi dibandingkan ketiga jenis Eucalyptus.

Setelah perlakuan pulping alkali, kadar holoselulosa pada sampel kayu akasia dan eukaliptus mengalami perubahan yang bervariasi. Sementara itu kelarutan holoselulosa pada setiap perlakuan pemasakan meningkat sejalan dengan penambahan waktu perlakuan. Secara umum kelarutan polisakarida semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu yang digunakan dalam pemasakan.

Pada penelitian ini, kelarutan polisakarida tertinggi terjadi pada waktu 30 menit awal perlakuan pemasakan alkali (Gambar 5). Dalam proses pulping alkali, tahap awal delignifikasi adalah tahap yang perlu mendapat perhatian karena selain terjadi pelarutan lignin juga terjadi degradasi polisakarida kayu oleh larutan pemasak yang digunakan (Sjostrom 1995). Untuk mengurangi terjadi kerusakan pada polisakarida kemudian dilakukan banyak modifikasi proses pulping alkali, diantaranya dengan melakukan penambahan anthraquinone maupun elemen sulfur dalam larutan pemasak (Smook 1994). Penambahan elemen sulfur akan menahan karbohidrat sedangkan anthraquinone akan mengurangi terjadinya reaksi pengupasan atau peeling reaction.

(33)

Gambar 5 Perubahan kadar holoselulosa akibar perlakuan pemasakan alkali. (AM: Acacia mangium; AA: Acacia auriculiformis; AH: Acacia sp. (hibrida); EG: Eucalyptus grandis; EC: Eucalyptus camaldulensis; EU: Eucalyptus urophylla)

Fraksi polisakarida yang terlarut pada tahap awal perlakuan alkali terutama adalah hemiselulosa. Hal ini didasarkan pada hasil pengujian kadar alphaselulosa yang diperoleh dengan melarutkan hemiselulosa dari holoselulosa. Kadar alphaselulosa semua kayu setelah perlakuan alkali relatif konstan, terlihat dari kelarutannya yang relatif kecil (Gambar 6). Yang membedakan kadar holoselulosa dengan alphaselulosa terutama adalah kadar hemiselulosa. Hemiselulosa lebih rentan terhadap degradasi karena memiliki struktur molekul polimer yang relatif pendek dengan rantai polimer bercabang sehingga lebih mudah larut. Alphaselulosa adalah fraksi selulosa yang memiliki polimer dengan derajat kristalin yang tinggi sehingga lebih tahan terhadap pelarut alkali.

Gambar 6 Perubahan kadar alphaselulosa akibat perlakuan pemasakan alkali. (AM: Acacia mangium; AA: Acacia auriculiformis; AH: Acacia sp.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 AM AA AH EG EC EU H o lo se lu lo sa ( % ) Jenis Kayu

0 menit 30 menit 60 menit 90 menit

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 AM AA AH EG EC EU α -s e lu lo sa ( % ) Jenis Kayu

(34)

(hibrida); EG: Eucalyptus grandis; EC: Eucalyptus camaldulensis; EU: Eucalyptus urophylla)

Banyaknya polisakarida dalam kayu yang terlarut, sekitar 15-20%, akan mempengaruhi rendemen pulp yang dihasilkan. Besarnya kadar holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) adalah nilai rendemen pulp potensial yang bisa diperoleh setelah proses pulping. Fraksi polisakarida ini bukan saja dapat berpengaruh pada rendemen pulp akan tetapi juga berpengaruh pada kualitas produk kertas yang akan dihasilkan. Dalam penelitian ini diperoleh kadar holoselulosa dan alpaselulosa dari kedua genus memiliki nilai yang tidak jauh berbeda sehingga kedua genus tersebut akan menghasilkan kertas dengan kualitas yang sama baik.

4.4. Hubungan Rasio Siringil-Guaiasil dengan Delignifikasi

Jumlah dan sifat lignin jenis kayu daun lebar ditentukan oleh komposisi siringil dan guaiasil yang menyusunnya. Gugus fungsi metoksil yang lebih banyak pada unit siringil, yaitu pada posisi C-3 dan C-5 dari cincin aromatik, membuatnya lebih reaktif dibandingkan unit guaiasil yang hanya memiliki satu unit gugus fungsi metoksil, sehingga ikatan antara unit-unit siringil lebih mudah untuk diputuskan dibandingkan ikatan antara unit-unit guaiasil. Tsutsumi et al. (1995) melakukan penelitian pada ikatan lignin β-aryl ether dari siringil dan guaiasil dan menemukan bahwa siringil lebih cepat dan mudah bereaksi dibandingkan guaiasil. Reaktifitas siringil yang tinggi inilah yang mempercepat laju delignifikasi pada kayu daun lebar dibandingkan kayu daun jarum.

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara rasio siringil guaiasil penyusun lignin dengan kelarutan lignin (Gambar 7, 8, dan 9). Hubungan rasio S/G dan kelarutan lignin pada pemasakan 30 menit memberikan koefisien determinasi sebesar 0,45, pada pemasakan 60 menit sebesar 0,76, dan pada pemasakan 90 menit sebesar 0,57. Sehingga secara umum pada berbagai tingkat delignifikasi, unit siringil memegang peranan penting dalam reaksi delignifikasi.

(35)

Gambar 7 Korelasi kelarutan lignin pemasakan 30 menit dengan rasio S/G.

Gambar 8 Korelasi kelarutan lignin pemasakan 60 menit dengan rasio S/G.

y = 1.6875x + 1.1042 R2 = 0.4542 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 K e la r u ta n L ig n in ( % ) Rasio S/G y = 2.4304x + 0.0087 R2= 0.7626 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 K a la u ta n L Ig n in ( % ) Rasio S/G

(36)

Gambar 9 Korelasi kelarutan lignin pemasakan 90 menit dengan rasio S/G.

Dari persamaan tersebut terlihat adanya korelasi positif dimana kelarutan lignin meningkat dengan semakin tingginya rasio siringil-guaiasil penyusun lignin sehingga laju delignifikasi pun akan semakin cepat. Hal ini sesuai dengan penelitian Fergus dan Goring (1970a) yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan laju delignifikasi antara jenis kayu daun jarum dan kayu daun lebar pada kondisi pemasakan yang sama. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kandungan lignin yang berbeda dan komponen penyusun lignin yang berbeda pula antara kayu daun jarum dan kayu daun lebar.

Penelitian ini lebih menegaskan bahwa laju delignifikasi lebih ditentukan oleh perbedaan tipe unit monomer penyusun lignin. Hal ini menjawab pula fenomena yang terjadi bahwa diantara jenis kayu daun lebar sendiri terdapat perbedaan laju delignifikasi walaupun memiliki kadar lignin yang hampir sama. Perbedaan laju delignifikasi ini disebabkan oleh perbedaan komposisi siringil dan guaiasil sebagai komponen penyusun lignin kayu daun lebar. Semakin tinggi kandungan siringil dibandingkan guaiasil dalam kayu akan menyebabkan kandungan metoksil yang semakin tinggi pula, sehingga lignin bersifat lebih reaktif dan berimplikasi pada semakin cepatnya laju delignifikasi dan semakin mudahnya proses pulping berlangsung. Rahmawati (1999) juga menyatakan

y = 2.0121x + 0.6749 R2= 0.5646 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 K e la r u ta n L ig n in ( % ) Rasio S/G

(37)

bahwa pada beberapa jenis kayu yang berbeda terdapat indikasi bahwa rasio siringil-guaiasil lignin berpengaruh pada laju delignifikasi selama proses pulping.

Hasil yang sama juga diperoleh Gonzales et al. (1999) dan del Rio et al. (2005) yang melakukan penelitian terhadap beberapa jenis kayu eukaliptus bahwa pada kayu dengan kandungan unit siringil yang tinggi lebih mudah untuk dilakukan proses pulping karena memiliki laju delignifikasi yang lebih tinggi. Jadi mudah-tidaknya suatu jenis kayu diproses pulping berkaitan dengan proporsi tipe monomer penyusun lignin. Hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa siringil lignin merupakan faktor penting dalam reaksi delignifikasi selama proses pulping alkali. Semakin tinggi proporsi unit siringil penyusun lignin maka semakin mudah reaksi delignifikasi dan semakin tinggi lignin yang terlarut.

(38)

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Kadar lignin kayu daun lebar berbeda diantara jenis kayu begitu pula dengan rasio monomer penyusun ligninnya.

2. Perbedaan rasio monomer penyusun lignin bisa terjadi pada kadar lignin kayu yang sama, sehingga diantara jenis kayu dengan kadar lignin yang sama bisa memiliki reaktifitas yang berbeda.

3. Terdapat kecenderungan semakin tinggi nilai rasio S/G menyebabkan laju delignifikasi akan semakin tinggi pula karena lignin dalam kayu semakin reaktif.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan pengujian dengan jumlah sampel yang lebih banyak untuk mendapatkan hubungan yang lebih akurat antara rasio S/G dengan delignifikasi selama proses pulping.

2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang korelasi karakter kimia lignin dengan delignifikasi pada setiap tahapan delignifikasi selama proses pulping alkali.

.

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Akiyama T, H Goto, DS Nawawi, W Syafii, Y Matsumoto, G Meshitsuka. 2005.

Erythro/Threo Ratio of Β-O-4 Structure as an Important Structural Characteristics of Lignin. Part 4: Variation in The Erythro/Threo Ratio in Softwood and Hardwood Lignin’s and Its Relation to Syringyl/Guaiacyl Ratio. Holzforschung 59:276-281.

Akiyama T, Y Matsumoto, T Okuyama, G Meshitsuka. 2003. Erythro/Threo Ratio of Β-O-4 Structure as an Important Structural Characteristics of Lignin. Part 3: Ratio Of Erythro and Threo Forms Of Β-O-4 Structure in Tension Wood Lignins. Phytochemistry 64:1157-1162.

Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. New York: Wiley Interscience Publisher.

Casey JP. 1980. Pulping Chemistry and Chemical Technology. Volume ke-1. New York: Interscience Publisher.

del Rio JC, A Gutierrez, M Hernando, P Landin, J Romero, AT Martin. 2005. Determination the Influence of Eucalypt Lignin Composition in Paper Pulp Yield Using Py-GC/MS. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 74: 110-115.

Dence CW. 1992. Determination of Lignin. Di dalam. Lin SY & Dence CW. Methodes in Lignin Chemistry. Springer-Verlag. Berlin. Pp. 33-61.

Donaldson LA. 2001. Lignification and Lignin Topochemistry an Ultrasctructural View. Phytochemistry 57: 3651-3662.

FACTnet. 1996. Acacia auriculiformis-a Multipurpose Tropical Wattle. Diakses melalui http://www.winrock.org/fnrm/factnet/factnet.htm [12 November 2008].

Faucon P. 2005. Earleaf Acacia, Northern Black Wattle. Diakses melalui http://www.naturebase.net/ [12 November 2008].

Fengel D dan G Wegener. 1995. Kimia Kayu, Ultrastruktur dan Reaksi-reaksi. Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Fergus BJ and DAI Goring. 1970a. The Location of Guaiacyl and Syringyl Lignin in Birch Xylem Tissue. Holzforschung 24: 113-117.

(40)

Fergus BJ and DAI Goring.1970b. The Distribution if Lignin in Birch Wood as Wetermined by Ultraviolet Microscopy. Holzforschung 24: 118-124. Fukushima K and T Terashima. 1991. Heterogeneity in Formation of Lignin and

Structure of Lignin in Compression Wood of Pinus thumbergii Studied by Microautoradiography. Wood Sciences and Technology 25: 371-381. Gonzales-Villa FJ, G Almendros, JC del Rio, F Martin, A Gutierrez, J Romero.

1999. Ease of Delignification Assesment of Wood from Different Eucalyptus Species by Phyrolysis (TMAH)-GC/MS and CP/MAS 13C-NMR spectrometry. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 49: 295-305.

Haygreen JG dan JL Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar, Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hillis WE and AG Brown. 1978. Eucalypts for Wood Production. Adelaide: Griffin Press Limited.

Kha LD. 2004. Role of Acacia Hybrid in the Reforestation Program in Vietnam. Research Centre for Forest Tree Improvement, Forest Science Institute of Vietnam. Diakses melalui http://iufro.boku.ac.at/iufro/iufronet/d2/wu2080/ nftnews3.htm [12 November 2008].

Malik J, A Santoso dan O Rohman. 2000. Sari Hasil Penelitian Mangium (Acacia mangium Willd). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. Diakses melalui http://hutbunkabtasik.wordpress.com

[12 November 2008].

Meskimen G and KF John. 2000. Rose Gum Eucalyptus. Diakses melalui

http://www.na.fs.fed.us/pubs/silvics_manual/Volume_2/eucalyptus/grandis .htm [23 Desember 2008].

Prosea. 2000. A Tree Species Reference and Selection Guide: Eucalyptus urophylla. Diakses melalui http://www.worldagroforestrycentre.org/ sea/Products/AFDbases/AF/index.asp [23 Desember 2008].

Purba F. 1990. Sifat Fisik Pulp Acacia mangium Willd Hasil Proses Soda Aq [Skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Rahmawati N. 1999. Struktur Lignin Kayu Daun Lebar dan Pengaruhnya terhadap Laju Delignifikasi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu Dasar-dasar dan Penggunaan. Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

(41)

Smook GA. 1994. Handbook for Pulp and Paper Technologists. Vancouver: Angus Wilde Publication Inc.

Syafii W dan DS Nawawi. 2008. Rasio Stereoisomer Erythro dan Threo Struktur Ikatan β-O-4 dan Hubungannya dengan Tipe Cincin Aromatic Penyusun Makromolekul Lignin. Laporan Hibah Fundamental LPPM-IPB.

Tsutsumi Y, R Kondo, K Sakai, H Imamura. 1995. The Difference of Reactivity between Syringyl Lignin and Guaiacyl in Alkaline System. Holzforschung 49: 423-428.

Wardiyono. 2008. Detil data Eucalyptus camaldulensis Dehnh. Diakses melalui

(42)
(43)

Lampiran 1 Kadar air serbuk dan kelarutan dalam ethanol benzene

Kadar air serbuk

Nama Jenis Berat awal

serbuk (g) BKT serbuk (g) Kadar Air (%) Acacia mangium 0.500 0.459 8.93 Acacia auriculiformis 0.499 0.461 8.24 Acacia sp. (hibrida) 0.502 0.454 10.57 Eucalyptus grandis 0.501 0.454 10.35 Eucalyptus camaldulensis 0.499 0.453 10.15 Eucalyptus urophylla 0.501 0.463 8.210

Kelarutan dalam ethanol benzene

Nama Jenis Berat awal

serbuk (g) KA (%) BKT serbuk awal (g) BKT serbuk et.benzen (g) ekstraktif terlarut (%) Acacia mangium 6.000 8.93 5.508 5.010 9.041 Acacia auriculiformis 6.000 8.24 5.544 5.182 6.530 Acacia sp. (hibrida) 6.001 10.57 5.426 5.004 7.782 Eucalyptus camaldulensis 6.000 10.15 5.447 5.099 6.387 Eucalyptus grandis 6.001 10.35 5.438 5.009 7.889 Eucalyptus urophylla 6.000 8.21 5.545 5.038 9.142

(44)

Lampiran 2 Kandungan polisakarida dan konsumsi permanganat pada berbagai perlakuan pulping

Kandungan polisakarida pada berbagai perlakuan pulping

Nama Jenis

Kontrol Perlakuan Pemasakan

30 menit 60 menit 90 menit

Holo selulosa (%) Alpha selulosa (%) Holo selulosa (%) Alpha selulosa (%) Holo selulosa (%) Alpha selulosa (%) Holo selulosa (%) Alpha selulosa (%) Acacia mangium 75.98 41.64 59.84 41.42 60.96 41.68 60.24 42.95 Acacia auriculiformis 78.25 38.58 60.55 39.99 59.73 39.72 57.43 39.79 Acacia sp. (hibrida) 76.13 41.11 61.27 42.21 61.14 45.4 60.36 41.07 Eucalyptus grandis 73.93 36.96 58.20 41.51 57.87 39.77 58.51 41.40 Eucalyptus camaldulensis 73.65 36.60 52.58 37.03 52.50 37.19 53.08 38.65 Eucalyptus urophylla 73.35 37.60 55.53 38.81 56.18 38.95 55.81 39.85

Konsumsi permanganat pada berbagai perlakuan pulping

Nama Jenis Perlakuan Pemasakan

30 menit 60 menit 90 menit

Acacia mangium 53.00 55.75 59.75 Acacia auriculiformis 60.00 67.50 67.50 Acacia sp. (hibrida) 58.25 62.50 61.75 Eucalyptus grandis 52.50 56.25 59.25 Eucalyptus camaldulensis 50.50 53.25 57.50 Eucalyptus urophylla 52.50 55.75 59.50

(45)
(46)

Lampiran 3 Kromatogram pengujian cincin aromatik penyusun lignin Acacia mangium dengan menggunakan Gas Kromatografi

Vanilin Internal Syringaldehy de Vanilic acid Siringic acid

(47)

Lampiran 4 Kromatogram pengujian cincin aromatik penyusun lignin Eucalyptus camaldulensis dengan menggunakan Gas Kromatografi

Vanilli Internal Syringaldehyd e Vanillic Siringic acid

Gambar

Gambar 1   Struktur  monomer  lignin.  (1)  p alkohol, (3) sinapil alkoh
Tabel 1  Sifat fisis, morfologis dan komponen kimia kayu akasia
Diagram alir penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
Tabel 2  Kadar lignin klason dan rasio S/G 6 jenis kayu  Jenis Kayu  Rasio S/G   Lignin klason (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait