• Tidak ada hasil yang ditemukan

KLASIFIKASI DAN DISTRIBUSI TANAH GAMBUT INDONESIA SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KLASIFIKASI DAN DISTRIBUSI TANAH GAMBUT INDONESIA SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK PERTANIAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KLASIFIKASI DAN DISTRIBUSI TANAH GAMBUT

INDONESIA SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK

PERTANIAN

D. Subardja dan Erna Suryani

Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114, Telp. 0251-8323011 (csar@indosat.net.id)

Abstrak. Tanah gambut Indonesia diklasifikasikan sebagai Histosol atau Organosol

terbentuk dari bahan tanah organik, u mu mnya jenuh air, mengandung karbon (C) organik 12-18% tergantung kandungan liat tanah. Kedalaman tanah gambut disepakati minima l 50 cm tanpa me mpe rtimbangkan tingkat de ko mposisinya. Penyebarannya di Indonesia tidak begitu luas, hanya sekitar 7% dari seluruh wilayah daratan Indonesia atau sekitar 13,2 juta ha yang banyak diju mpai teruta ma di daerah rawa -ra wa di Pu lau Su matera, Ka limantan dan Papua. Luasan tanah gambut Indonesia diperoleh dari hasil ko mpilasi data selama periode 1990-2000. Data luasan tanah gambut terbaru yang dikeluarkan oleh Ba lai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, tahun 2011 sekitar 14,9 juta ha. Be rdasarkan tingkat deko mposisi atau kematangannya, tanah gambut Indonesia terbagi dala m 3 ke las, yaitu tanah gambut saprik (Saprist) yang telah terdekomposisi lanjut, ga mbut hemik (He mist) yang terdekomposisi sedang dan gambut fibrik (Fibrist) yang belum atau sedikit terdekomposisi. Tanah gambut hemik me miliki penyebaran paling luas di Indonesia, yaitu sekitar 80% dari tanah gambut Indonesia atau 10,6 juta ha, sedangkan tanah gambut fibrik dan gambut saprik masing-masing 8% (1,1 juta ha) dan 12% (1,5 juta ha). Sekitar lebih dari 10 juta ha tanah gambut yang terdiri dari gambut hemik dan saprik cukup potensial untuk pertanian. Sedangkan tanah gambut fibrik ka rena faktor ke matangan dan daya dukung yang rendah untuk pertumbuhan tanaman ma ka menjadi t idak sesuai pemanfaatannya untuk pertanian. Pemberian pupuk anorganik dan ame lioran serta tata kelo la air secara tepat akan mempercepat dekomposisi dan peningkatan produktivitas tanah gambut secara berkelanjutan. Saat ini pe manfaatan tanah gambut untuk pertanian mu lai d ibatasi terkait issu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, sehingga harus mengacu kepada INPRES No. 10/ 2011 dan Permentan No. 14/ 2009.

Katak unci: Tanah gambut, klasifikasi, distribusi, pe manfaatan, pertanian, Indonesia

PENDAHULUAN

Pe mbangunan pertanian di masa yang akan datang dihadapkan pada empat tantangan utama, yaitu: (a) ke rusakan dan degradasi sumberdaya lahan dan air, (b) peningkatan variabilitas dan perubahan iklim; (c) penciutan dan alih fungsi (konversi) lahan pertanian subur, dan (d) frag mentasi lahan pertanian dan keterbatasan sumberdaya lahan potensial. Pada hal di sisi lain, untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan serta target pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, perluasan areal pertanian baru masih sangat dibutuhkan, baik untuk pangan maupun komoditas lainnya. Hingga tahun 2035,

(2)

dibutuhkan tambahan lahan sekitar 12 – 15 juta ha, sekitar 3,5 juta diantaranya adalah untuk pencetakan sawah baru (Tim Sinja k BBSDLP, 2011).

Tanah gambut yang luasnya sekitar 13-14 juta ha merupakan salah satu alternatif yang cukup potensial untuk dijadikan lahan pertanian bahkan sebagian diantaranya secara ekonomi dan sosial berasosiasi dan menjadi sumber kesejahteraan masyarakat. Secara agronomi, d iperikira kan sekitar 40-50% lahan gambut potensial/sesuai untuk dike mbangkan menjadi lahan pertanian. Umu mnya lahan gambut tergolong sesuai ma rjinal (t ingkat kesesuaian rendah) untuk berbagai jenis tanaman pangan dengan faktor pembatas utama media pera karan yang masa m, asam organik yang beracun, unsur hara rendah dan drainase yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Sebagian lahan gambut telah dibuka oleh penduduk setempat secara swadaya atau oleh pemerintah me la lui progra m transmigrasi. Sebagian dari area yang sudah dibuka menjadi terlantar karena salah dala m pengelolaannya. Ka rena keterbatasan lahan produktif, a khirnya lahan gambut juga dimanfaatkan untuk ekstensifikasi pertanian terutama untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan tanaman pangan. Namun demikian pe manfaatan lahan gambut, terutama untuk pertanian menimbu lkan berbagai polemik, teruta ma dika itkan dengan dampaknya terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan kerusakan lingkungan.

Dala m ma kalah in i dibahas mengenai kara kteristik dan klasifikasi tanah -tanah gambut di Indonesia menurut sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (USDA) dan sistem klasifikasi tanah nasional serta disrtibusi dan pemanfaatannya untuk pertanian. Potensi dan kendala pengelolaan tanah gambut juga sedikit dibahas terkait dengan peningkatan produksi pangan dan pembatasan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian khususnya dala m pengembangan perkebunan.

KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH GAMBUT INDONESIA

Tanah gambut terbentuk dari bahan tanah organik, umu mnya jenuh air, mengandung karbon (C) organik 18% atau lebih bila fraksi minera l mengandung liat 60% atau lebih, atau me miliki 12% atau lebih karbon organik bila fra ksi mineral tida k mengandung liat, atau mengandung karbon organik 12 sa mpai 18% b ila kandungan liat di antara 0 dan 60%. Bila tidak pernah jenuh air a la mi min imu m mengandung karbon organik 20% . Kedala man tanah gambut minima l 40 c m b ila bahan telah terdekomposisi sedang (hemik) sa mpai lanjut (saprik) atau minimal 60 c m jika belu m atau sedikit terdeko mposisi (fibrik), atau setidak-tidaknya tanah gambut me miliki leb ih dari seteng ah lapisan tanah teratas 80 cm me rupakan bahan tanah organik (Soil Survey Staff, 2010). Da la m pra kteknya di lapangan, kedala man gambut di Indonesia telah disepakati minima l sedalam 50 c m tanpa me mpe rtimbangkan tingkat de ko mposisi atau ke matangannya.

(3)

Bahan tanah gambut berasal dari sisa-sisa tanaman yang sudah mati, baik yang sudah maupun belum me lapuk. Timbunan terus bertambah karena perkembangan biota pengurai terhambat oleh kondisi lingkungan anaerob dan miskin mineral sehingga proses dekomposisi terhambat. Oleh karena itu, lahan ga mbut banyak diju mpai d i daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umu mnya merupakan proses pedogenik.

Berdasarkan t ingkat deko mposisi atau ke matangannya, tanah gambut Indonesia terbagi dalam 3 kelas, yaitu tanah gambut saprik, gambut hemik dan gambut fibrik. Tanah gambut fibrik mengandung lebih dari ¾ bagian volume tanah berupa serat -serat yang belum atau sedikit terdeko mposisi, berat isi sangat ringan <0,1 g c m-3, kandungan air sangat tinggi berdasarkan berat keringnya, sangat labil, masih mengala mi banyak perubahan secara fisik dan atau kimia , daya dukung terhadap pertumbuhan tanaman sangat rendah sehingga tidak sesuai pemanfaatannya untuk pertanian. Tanah gambut hemik terde ko mposisi sedang, mengandung serat tanaman kurang dari 50%, kandungan air sedang, berat isi >0,1 g c m-3, sebagian bahan telah mengala mi perubahan secara fisik dan kimia, daya dukung terhadap pertumbuhan tanaman tergolong sedang. Tanah gambut saprik telah mengala mi de ko mposisi paling lanjut, mengandung jumlah serat tanaman sangat sedikit, berat isi terberat (>0,2 g c m-3), dan kandungan air terendah, biasanya berwarna ke labu gelap sampai hita m, pa ling stabil, berubah sangat sedikit dengan bertambahnya waktu baik secara fisik maupun kimia, dan me mbe rikan e misi paling rendah.

Tanah gambut Indonesia diklasifikasikan menurut Taksonomi Tanah sebagai Histosol (Soil Survey Staff, 2010) atau menurut Klasifikasi Tanah Nasional sebagai Organosol (Soepraptohardjo, 1961; Suhardjo dan Soepraptohardjo, 1981). Pada tingkat sub-ordo dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi atau ke matangannya, terdiri dari Fibrists, He mists, dan Saprists. Pada tingkat grup, berdasarkan sifat dan cirinya sebagian besar diklasifikasikan sebagai Haplofibrists, Haplohemist, dan Haplosaprists atau setara Organosol Fibrik, Organosol Hemik dan Organosol Saprik. Sebagian tanah gambut hemik mengandung bahan sulfidik (sulfat masam) d i dala m kedala man 100 c m dari permu kaan tanah yang diklasifikasikan sebagai Sulfihe mists. Penyebaran Haplohemists sangat dominan di Indonesia.

DISTRIBUSI TANAH GAMBUT DI INDONESIA

Tanah gambut di Indonesia tersebar terutama di Su matera, Ka limantan dan Papua me liputi luas lebih dari 13,2 juta hektar atau sekitar 7% dari luas daratan Indonesia. Data luasan

(4)

luasan tanah gambut terbaru yang dilaporkan oleh Ba la i Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2011) mencapai 14,9 juta ha, tersebar terutama di Su matera, Ka limantan dan Papua. Penyebarannya selalu berada atau berasosiasi dengan daerah rawa-ra wa. Berdasarkan data awal, tanah gambut hemik me miliki penyebaran paling luas di Indonesia, yaitu sekitar 80% (10,6 juta ha) dari luas tanah gambut di Indonesia. Sekitar 2,1 juta ha merupakan tanah gambut he mik bersulfat masam (Su lfihe mists), sedangkan tanah gambut fibrik dan gambut saprik masing -masing 8% (1,1 juta ha) dan 12% (1,5 juta ha). Se kitar 8,4 juta ha tanah gambut hemik potensial untuk pertanian. Luas dan penyebaran gambut di masing-masing provinsi di Indonesia yang diperoleh dari hasil ko mpilasi peta tanah tinjau dan eksplorasi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (2000) disajikan pada Tabel 1.

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN TANAH GAMBUT DI

INDONESIA

Pe manfaatan tanah gambut hemik dan gambut saprik cukup potensial untuk pertanian, namun perlu kehati-hatian, ka rena bila salah ke lola a kan dapat menimbu lkan kerusakan tanah (sifat tidak balik, subsiden) dan lingkungan (pencemaran dan peningkatan emisi karbon). Tanah ga mbut saprik dangkal (<100 c m) paling cocok untuk pertanian khusu snya untuk tanaman pangan dan hortikultura sayuran dan buah -buahan semusim. Pe mbe rian pupuk anorganik dan ame lioran serta tata kelola air secara tepat akan me mpercepat peningkatan produktivitas tanah gambut secara berkelanjutan. Saat ini pe manfaatan tanah gambut untuk pertanian mulai dibatasi terkait issu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, sehingga harus mengacu kepada INPRES No. 10/2011 dan Pe rmentan No. 14/ 2009.

Tanah gambut me miliki kara kteristik yang sangat berbeda dengan tanah minera l. Tanah gambut alami me miliki sifat hidrofilik dan ma mpu menahan air sampai 13 kali bobot keringnya . Oleh karenanya ga mbut secara fisik le mbe k serta me miliki BD dan daya menahan beban yang rendah (Nugroho et al. 1997). Bila didrainase, lahan gambut akan mengala mi subsiden (penurunan permu kaan), dan potensial mengala mi ke ring tidak ba lik (irriversible drying) dan bersifat hidrofobik. Karena asam-asam organiknya tinggi maka tanah gambut me mpunyai t ingkat ke masaman yang tinggi dengan kisaran sekitar p H 3 - 4. Tanah gambut oligotropik di pedala man, banyak dipengaruhi air hujan me miliki tingkat ke masaman leb ih tinggi dibandingkan gambut eutropik di tepi pantai yang dipengaruhi air laut (Sa la mpak, 1999). Tanah gambut di Indonesia umu mnya tergolong gambut kayuan yang bila me lapuk menghasilkan asam-asam fenolat yang bersifat racun bagi tanaman (Sabiha m et al. 1997). Keberadaan asam-asam fenolat in i menjadi kendala utama dala m budidaya tanaman di lahan gambut. Secara inherent, gambut tropis memiliki kandungan

(5)

basa-basa dan hara yang rendah, baik hara makro maupun mikro. Ha l ini berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan.

Tabel 1. Luas dan penyebaran tanah gambut di Indonesia

No Provinsi Fibrists Hemists Saprists Jumlah (ha) Haplofibrists Haplohemists Sulfihemists Haplosaprists

1 Lampung - 1.171 780 - 1.951 2 Sumsel - 866.737 398.903 178.921 1.444.561 3 Bengkulu - 17.861 10.248 1,660 29.769 4 Jambi - 378.025 94.540 157.476 630.041 5 Riau - 2.321.768 482.734 1.065.112 3.869.614 6 Sumbar - 71.706 18.383 29.420 119.509 7 Sumut - 141.529 74.896 19.457 235.882 8 Aceh - 155.411 66.529 37.078 259.018 9 Kalbar 365.982 1.035.882 297.696 - 1.699.560 10 Kalteng 518.977 1.192.060 275.729 - 1.986.766 11 Kalsel 6.306 93.691 38.788 - 138.785 12 Kaltim 209.582 402.612 10.217 - 622.411 13 Sulut - 5.371 - - 5.371 14 Sulteng - 20.630 9.497 - 30.127 15 Sulsel - 70.846 - - 70.846 16 Sultra - 21.399 - - 21.399 17 Maluku - 24.885 - - 24.885 18 Papua - 1.637.114 374.666 - 2.011.780 Jumlah (ha) 1.100.847 ( 8%) 8.458.698 (64%) 2.153.606 (16%) 1.489.124 (12%) 13.202.275 (100%)

Sumber: Kompilasi data periode 1990-2000

Kawasan gambut sebagai bagian dari ekosistem rawa me miliki mu lti fungsi antara lain fungsi ekonomi, pengatur hidrologi, lingkungan, budaya dan biodiversity. Dari sisi ekonomi lahan gambut adalah sumber pendapatan petani. Dari aspek hidro logi, lahan gambut adalah penyangga hidrologi kawasan untuk menghindari banjir dan ke keringan. Dari segi lingkungan lahan gambut menyimpan cadangan karbon sangat besar yang potensial mengala mi e misi. Se mentara itu dari sisi pelestarian keane ka -raga man hayati, lahan gambut adalah habitat asli beberapa jenis tanaman langka seperti ra min, je lutung rawa serta berbagai jenis burung dan ikan.

Sesuai dengan Keppres No. 32/ 1990 dan Permentan No. 14/ 2009, ga mbut dengan ketebalan <3 m masih bisa digunakan untuk budidaya tanaman dengan syarat tidak masuk dala m kawasan lindung, substratumnya bukan pasir kuarsa dan tingkat kematangannya saprik atau he mik. Untuk ka wasan yang me menuhi syarat tersebut, dalam pe manfaatannya harus tetap berdasarkan pendekatan konservasi. Na mun untuk beberapa daerah yang me miliki lahan ga mbut yang luas, imp le mentasi Keppres tersebut menjad i dile ma ka rena perekonomian daerah dan masyarakatnya sangat tergantung pada lahan gambut. Kasus di

(6)

Kalimantan Ba rat menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan petani terhadap lahan gambut rata-rata mencapai 82,89%. Tingkat ketergantungan yang paling tinggi adalah petani karet dan sayuran yaitu masing-masing 91,33% dan 91,21%. Sedangkan petani kelapa sawit dan jagung masing-masing sebesar 80,31% dan 53,68% Ka rena dominannya lahan gambut seperti di Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Pontianak, maka pemanfaatan lahan gambut bukan merupakan p ilihan, me lainkan suatu keharusan. Ekspansi pertanian ke lahan ga mbut dapat dilihat dari perubahan tutupan lahan yang signifikan dapat dia mati dari daerah-daerah yang sangat ekstensif menge mbangkan perkebunan (Tim Sinja k BBSDLP, 2011).

Secara fisik, jika diganggu/dibuka lahan gambut bersifat fragil (ringkih) dan dibutuhkan teknologi dan penanganan yang khusus dan dengan input tinggi. Jika dibuka dan didrainase, terjadi percepatan dekomposisi dan peningkatkan emisi GRK (teruta ma CO2) dengan laju 200 -750 ton CO2e ha-1 akibat deforestasi, gangguan tata air (hidrologi), subsidensi dan ancaman kebakaran lahan. Na mun demikian, disisi lain peningkatan kebutuhan terhadap pangan dan perlunya dukungan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara siginfikan, dibutuhkan tambahan areal pertanian baru secara progresif 400-650 ribu ha tahun-1 atau sekitar lahan sawah sekitar 2-3,5 juta ha hingga tahun 2035, dan lahan ke ring seluas 6-10 juta. Sekitar 5-6 juta ha lahan potensial tersedia untuk perluasan lahan pertanian adalah lahan gambut. Apalagi pemanfaatan lahan minera l juga me mpunyai beberapa persoalan, seperti konflik dan status kepemilikan, tersebar sporadis dan dalam ha mparan semp it (Tim Sinja k BBSDLP, 2011).

Teknologi pengelolaan lahan ga mbut yang ut ama me liputi pengelolaan air, ame liorasi dan pe mupukan dan pemilihan jenis tanaman yang sesuai. Pe mbuatan saluran drainase mikro sedala m 50 - 100 c m mut lak d iperlukan, kecuali untuk tanaman padi sawah cukup dengan kema lir 20-30 c m. Fungsi drainase adalah untuk me mbuang keleb ihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mengurangi kadar asam-asam organik. Te knologi a me liorasi dan pe mupukan dapat mengatasi kendala ke masa man tanah, unsur beracun dan kahat unsur hara. Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala rea ksi tanah masam dan keberadaan asam organik beracun sehingga media peraka ran tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah minera l, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk men ingkatkan pH dan basa-basa tanah (Subiksa et al. 1997; Sa la mpa k, 1999). Pe milihan ko moditas yang sesuai juga menjadi penentu keberhasilan pengelolaan tanah gambut.

KESIMPULAN

1. Tanah gambut di Indonesia mencapai luasan 13-14 juta ha, u mu mnya jenuh air dan diju mpai atau berasosiasi dengan daerah rawa-rawa yang tersebar terutama di P. Sumatera (Su msel, Riau), Ka limantan (Ka lbar, Ka lteng) dan Papua. Berdasarkan

(7)

tingkat dekomposisinya dibedakan atas tanah gambut fibrik (Fib rists), gambut hemik (He mists) dan gambut saprik (Saprists). Tanah gambut hemik sangat dominan penyebarannya di Indonesia dan potensial untuk pengembangan pertanian.

2. Berdasarkan kara kteristiknya, tanah gambut hemik dan gambut saprik dapat dimanfaatkan untuk tujuan pertanian, namun masih perlu kehati-hatian dala m pengelolaannya untuk mencegah kerusakan tanah dan lingkungan. Sedangkan tanah gambut fibrik mengingat tingkat deko mposis i dan daya dukungnya terhadap pertumbuhan tanaman masih sangat rendah maka menjad i tida k sesuai pemanfaatannya untuk pertanian dan sebaiknya diperuntukkan sebagai kawasan konservasi/hutan lindung.

3. Pe manfaatan tanah gambut untuk pertanian ke depan telah mulai dibatasi dengan mengacu kepada Inpres No. 10/2011 dan Kepmentan No 14/2009.

DAFTAR PUSTAKA

Ba lai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). 2011. Peta Lahan Ga mbut Indonesia Ska la 1:250.000. Do k. BBSDLP Edisi Dese mber 2011.

Nugroho K., G. Gianina zzi, and IPG Wid jaja Adhi. 1997. Peat hydraulic characteristics. International Peat Sy mp . Pa langkaraya. Ed. J Keyzer an d S. Page. Peat and Biodiversity. Sa ma ra Ltd. Published.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia Ska la 1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian, Departe men Pertanian Sabiha m, S., TB. Prasetyo, and S. Dohong. 199 7. Phenolic acid in Indonesian peat.

In:Rie ley and Page (Eds). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Sa mara Publ. Ltd. UK

Sala mpa k. 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan ame lio ran tanah minera l berkadar besi tinggi. Disertasi Progra m Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Ta xonomy. 11 th Ed. USDA -Natura l Resources Conservation Service. Washington DC.

Soepraptohardjo, M. 1961. Sistim Klasifikasi Tanah di Bala i Penyelid ikan Tanah. Kongres Nasional Ilmu Tanah I. Bogor.

Subiksa, IGM., Kusumo Nugroho, Sholeh and Widjaja Adhi. 1997. The effect of ame liorants on the chemica l properties and productivity of peat soil. In: Rie ley and Page (Eds). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Sama ra Publ. Ltd. UK

Suhardjo, H dan M. Soepraptohardjo. 1981. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survei dan Pe metaan Tanah Daerah Transmigrasi. Publ. No. 28/ 1981. Proyek P3MT, Pusat Penelit ian Tanah. Bogor.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

- Tidak termasuk Andic Humudept karena tidak memiliki fraksi tanah halus dengan berat isi 1.0 g/cm 3 atau kurang pada keseluruhan satu horison atau lebih dengan ketebalan 18 cm

Lahan Gambut Satu Juta Hektar Kalimantan Tengah dan analisis sifat-sifat. kimia tanah lapisan atas (0-30 cm) dilakukan di laboratorium

Dari tabel 1, dapat disimpulkan bahwa semakin besar suhu pemanasan suatu tanah gambut maka semakin kecil nilai berat air yang ada pada rongga dan nilai berat isi kering juga

Total ruang pori tanah (RPT) adalah seluruh pori-pori dalam suatu isi tanah utuh yang dinyatakan dalam persen (%), dapat dianalisa dengan metode berat dan volume...

Hal lain pada tanah gambut tanpa dan penggenangan tanaman nyamplung mengalami penurunan berat basah (g), tinggi tanaman (cm) dan diameter batang. Hal ini diduga

Pengaruh pembakaran berulang pada lahan gambut terhadap beberapa karakteristik tanah di Desa Rasau Jaya Umum Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat.. Bhomia RK dan

Hal ini membuktikan bahwa pengaplikasian mikroba dengan carrier molase pada tanah gambut dapat mereduksi kandungan logam berat yang terkandung, terkecuali untuk

Fungi merombak fosfor organik tanah gambut yang sukar larut menjadi unsur hara fosfor yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan karet. Menurut Cuningham dan Kuiack (1992), fosfor