• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHAPAN EVALUASI BAHAYA GUNUNG API TAPAK PLTN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TAHAPAN EVALUASI BAHAYA GUNUNG API TAPAK PLTN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 195

TAHAPAN EVALUASI BAHAYA GUNUNG API

TAPAK PLTN

Nur Siwhan dan Emy Triharjiyati

BAPETEN, Jl. Gadjah Mada No. 8 Jakarta 10120, email:[email protected]

ABSTRAK

Tahapan Evaluasi Bahaya Gunung Api Tapak PLTN. BAPETEN sudah menerbitkan aturan

terkait dengan evaluasi tapak PLTN yaitu Perka BAPETEN No. 2 Tahun 2008 tentang Evaluasi Tapak Reaktor Daya Aspek Kegunungapian. Seiring dengan perkembangan metodologi evaluasi bahaya gunung api untuk tapak PLTN, terdapat tahapan evaluasi yang baru yaitu kajian awal, karakterisasi sumber aktivitas gunung api sebagai kejadian awal, penapisan bahaya, dan terakhir adalah evaluasi bahaya pada tapak. Tahapan tersebut dimulai dari pengumpulan bukti aktivitas gunung api yang berumur < 10 juta tahun. Tahapan selanjutnya adalah karakterisasi aktivitas gunung api terutama aktivitas gunung api kuarter dan kaldera gunung api pliosen serta bukti aktivitas letusan terkini/holosen. Jika ditemukan bukti tersebut maka tahapan selanjutnya adalah penapisan bahaya gunung api. Tahapan yang terakhir adalah evaluasi bahaya pada tapak. Tahapan evaluasi ini berbeda dengan tahapan evaluasi di Perka BAPETEN No.2 Tahun 2008. Dapat disarankan bahwa tahapan evaluasi ini dapat digunakan sebagai masukan untuk revisi Perka BAPETEN tersebut.

Kata kunci: gunung api kuarter, kaldera pliosen, aktivitas holosen

ABSTRACT

Volcanic Hazard Evaluation Stages Of NPP Site. Bapeten has published rules relating to the

nuclear power plant site evaluation BAPETEN Chairman Degree No. 2 of 2008 on the Power Reactor Site Evaluation for volcanic aspect. Along with the development of volcanic hazard evaluation methodology for siting nuclear power plants, there is a new method of the evaluation of the initial study, the characterization of the source of volcanic activity as the initiating event, screening hazards, and the last is the evaluation of hazards at the site. The initial evaluation is collect all information/evidence volcanic activity that was < 10 Ma. The next stage is characterization of quarternary volcanic activity, caldera Pliocene volcanic and evidence of current activity/Holocene. If such evidence are found then the next stage is screening of volcano hazards. The last stage is evaluation of hazards at the site. This stage of evaluation is different with the stage evaluation in BAPETEN Chairman Degree No. 2 of 2008. This evaluation stage can be used as input for the revision Bapeten Chairman Degree.

(2)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 196

1. PENDAHULUAN

Terdapat beberapa instalasi nuklir yang terletak dekat ataupun berpotensi terkena bahaya gunung api seperti PLTN di Armenia, PLTN di Kyushu yang berpotensi terkena bahaya jatuhan tephra, PLTN Bataan di Filipina, Yucca mountain di Amerika Serikat, dan usulan calon tapak PLTN di Muria. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempertimbangkan memanfaatkan tenaga nuklir untuk keperluan pembangkit listrik, sehingga Indonesia membutuhkan seperangkat aturan terkait dengan evaluasi tapak. Posisi Indonesia yang terletak di jalur gunung api menimbulkan potensi bahaya eksternal yang dapat membahayakan keselamatan pengoperasian PLTN seperti : jatuhan tephra, aliran piroklastik, pembukaan lubang erupsi baru, misil gunung api, tsunami, dan lain-lain.

Terkait dengan masalah

tersebut, BAPETEN yang

berkepentingan untuk mengawasi pemakaian energi nuklir sudah banyak mempunyai aturan mengenai evaluasi tapak yaitu bagian 5 Pasal 74 Perka BAPETEN No. 5 Tahun 2007

tentang Ketentuan Keselamatan Evaluasi tapak Reaktor Nuklir yang menyatakan bahwa Pemohon Evaluasi Tapak (PET) harus mengumpulkan data dan informasi mengenai gunung berapi yang relevan dari sumber yang tersedia maupun dari kegiatan evaluasi. Dalam pasal 75 Perka BAPETEN No 5 Tahun 2007 disebutkan bahwa potensi bahaya yang berhubungan dengan aktivitas gunung api harus diselidiki. Perka BAPETEN No. 2 Tahun 2008 tentang Evaluasi Tapak Reaktor Daya Aspek Kegunungapian membahas lebih rinci tentang evaluasi bahaya gunung api tetapi dengan adanya perkembangan metodologi untuk mengevaluasi bahaya gunung api maka dirasakan bahwa Perka tersebut perlu untuk ditinjau ataupun direvisi.

Makalah ini membahas mengenai tahapan yang diperlukan untuk mengevaluasi bahaya gunung api, sehingga evaluasi tersebut menjadi lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan metodologi terbaru.

(3)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 197

2. BASIS DATA DALAM

EVALUASI BAHAYA GUNUNG API

Keakurasian kajian bahaya gunung api bergantung pada pemahaman dari : karakter dari tiap-tiap sumber gunung api didalam wilayah geografis kajian; luasnya konteks kegunungapian, geologi dan tektonik dari beberapa sumber gunung api dan; tipe, magnitude dan frekuensi potensi fenomena yang dihasilkan dari tiap sumber tersebut. Untuk mendapatkan kajian bahaya gunung api yang komprehensif maka diperlukan informasi detail pada masing-masing sumber gunung api di wilayah terpilih dan dikompilasi ke dalam basis data.

Di sini ditekankan pentingnya mempunyai basis data yang harus[1] : (a) Menggabungkan seluruh informasi (baik dari nasional maupun internasional) untuk mendukung keputusan pada tiap tahap kajian bahaya gunung api. Informasi ini juga harus berisi informasi tambahan tentang : statistik arah angin dalam semusim (kecepatan sebagai fungsi dari ketinggian), data curah hujan dan salju, data yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi ketidakstabi-lan lereng gunung api yang dapat

mengakibatkan tanah longsor dan puing-puing longsoran, seperti model elevasi digital, peta topografi, dan pola drainase.

(b) Fleksibel untuk mengakomodasi peningkatan level informasi, kelengkapan dan integrasi sebagai tahapan analisis hingga tahap selanjutnya yang artinya adalah bahwa variabel-variable data tersebut dapat ditambah dengan variabel lain jika ternyata ada data-data baru dan metode baru, hal ini karena basis data merupakan data yang siap digunakan kapanpun dan dengan metode apapun. (c) Menggabungkan pernyataan atau

rekaman terkait ketidakpastian, kualitas data atau pemeringkatan, sumber data, dan informasi terkait lainnya yang dapat bermanfaat dalam mengkaji keyakinan bukti dan keandalan data. Jika informasi yang tersedia tidak lengkap maka dapat menggunakan informasi gunung api analog/setipe sebagai informasi tambahan. Demikian pula pada distribusi spasial dari produk gunung api yang ditemukan pada gunung api analog/setipe dapat berguna dalam membantu menentukan nilai jarak penapisan (sdv). Sewaktu-waktu informasi analog dimanfaatkan dalam

(4)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 198 kajian bahaya, data tersebut harus

dimasukkan dalam basis data.

(d) Menyajikan struktur perlakuan dokumen data selama kajian bahaya gunung api. Struktur tersebut akan merekam bukti dan interpretasi dimana keputusan ilmiah akan diambil, dan juga untuk data jaminan mutu. Misalnya, seluruh data yang digunakan untuk menformulasi kriteria penapisan dan keputusan konsekuensinya harus terdapat dalam basis data. Data apapun yang dipertimbangkan dalam kajian tapi ditolak atau tidak digunakan harus tetap dipelihara di dalam basis data dan diidentifikasi. Justifikasi harus diberikan mengapa data tertolak ini tidak dipertimbangkan dalam kajian.

3. EVALUASI BAHAYA

GUNUNG API

Basis data tersebut harus diolah dan dievaluasi melalui beberapa tahapan evaluasi sehingga keakurasian kajian bahaya gunung api tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

- Tahap 1 (kajian awal)

Tahap kajian awal ini fokus pada dua pertimbangan utama yaitu definisi dari wilayah geografis yang memadai untuk kajian awal bahaya gunung api, meliputi potensi sumber

bahaya gunung api, dan pengumpulan bukti aktivitas kegunungapian dalam wilayah selama 10 juta tahun terakhir. Dimana wilayah geografis tersebut bergantung pada masing-masing kondisi alam di lokasi dan tipe fenomena gunung api.

Wilayah geografis yang dimaksud di kajian ini adalah wilayah geografis seperti di dalam kajian/investigasi seismik, yaitu meliputi wilayah dengan jangkauan ± 500 km yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya gunung api yang berumur lebih muda dari 10 juta tahun berdasarkan data2 sekunder (laporan teknis/makalah publikasi, laporan teknis/makalah yang tidak dipublikasikan, dan bahan dari sumber lain yang relevan), dan juga data-data primer (jika data-data sekunder tidak tersedia/tidak memadai). Wilayah dekat meliputi jangkauan 25 – 50 km dengan tujuan melakukan investigasi geologi sebaran gunung api menggunakan peta geologi gunung api dengan skala yang lebih kecil 1 : 50.000, manifestasi gunung api dan fenomena bahaya gunung api berdasarkan data-data sekunder dan/atau data-data-data-data primer. Sedangkan untuk sekitar tapak 5 km dan spesifik tapak 1 km bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang fenomena bahaya gunung api lebih rinci menggunakan

(5)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 199 data-data analisis yang lebih lengkap

yang dapat berupa data-data pemboran, data endapan tephra di permukaan, data dating (umur) dan lain-lain, berdasarkan data-data primer dan data-data sebelumnya yang tersedia. Jika hasil dari investigasi diatas tidak menemukan gunung api yang berumur lebih muda dari 10 juta tahun maka tidak diperlukan analisis lebih lanjut.[4]

Pada kajian awal ini perlu memperhatikan fenomena aliran permukaan energi tinggi seperti fenomena ledakan (blast) gunung api yang dapat dengan cepat melewati halangan topografi dengan mempertimbangkan topografi antara tapak dengan potensi sumber gunung api. Pada tahap ini dilakukan evaluasi bukti-bukti aktivitas gunung api yang terjadi dalam 10 juta tahun terakhir. Kurangnya kegiatan gunung api dalam 10 juta tahun terakhir menyiratkan bahwa dari probabilitas letusan masa depan kurang dari 10-7, sehingga diperlukan data-data dengan penentuan radiometrik modern.[1]

3.2. Tahap 2 (karakterisasi sumber aktivitas gunung api sebagai kejadian awal)

Jika hasil dari kajian awal tahap 1 menunjukkan terdapatnya gunung

api atau wilayah gunung api yang lebih muda dari 10 juta tahun daerah geografi tersebut, maka perlu untuk dikembangkan model konseptual proses gunung api pada wilayah tersebut yang mencakup analisis setting tektonik gunung api, tingkat aktivitas erupsi, dan informasi tentang tren geologi yang serupa.[4]

Gunung api yang

konsisten/sama dengan model konseptual untuk proses gunung api, dan seluruh gunung api dengan aktifitas < 10.000 tahun harus dikarakterisasi lebih lanjut. Jika dapat dijustifikasi menggunakan model konseptual gunung api bahwa tidak ada potensi letusan kredible dimasa depan, maka gunung api tersebut ditapis keluar.[4]

Jika terdapat bukti aktivitas gunung api kemudian kemungkinan terjadi letusan di masa depan maka kajian bahaya dilanjutkan ke Tahap 3. Bukti aktivitas gunung api saat ini meliputi : sejarah letusan gunung api, aktivitas gunung api yang sedang berlangsung, sistem hidrotermal aktif (misalnya, kehadiran fumarol), dan fenomena terkait.

Bukti letusan selama 10.000 tahun terakhir merupakan indikator dimana letusan di masa depan adalah kredibel, sehingga perlu dilakukan

(6)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 200 penanggalan radiometrik gunung api

karena memberikan bukti secara langsung bahwa letusan gunung api terjadi pada Holosen. Beberapa gunung api yang pernah meletus dalam 2 tahun terakhir dan sistem gunung api seperti daerah gunung api atau sistem kaldera yang pernah meletus dalam 5 juta tahun terakhir juga harus dikaji. Kriteria 2 dan 5 juta tahun ini penting dalam evaluasi bahaya gunung api di Indonesia karena kebanyakan gunung api di Indonesia berumur 2-5 juta tahun. Kriteria tambahan dalam menentukan gunung api sebagai berumur 10.000 tahun meliputi : (i) produk gunung api diatas bahan rombakan glasial Pleistosen terakhir, (ii) bentukan lahan gunung api muda di daerah dimana erosi terjadi setelah ribuan tahun, dan (iii) pola vegetasi yang seharusnya jauh lebih berkembang jika substrat gunung api berumur lebih dari ratusan (atau ribuan) tahun. Kriteria 10 ribu tahun ini juga dilakukan di PLTN Armenia, terutama karena kurangnya data-data gunung api yang berumur lebih dari 10 ribu tahun, sehingga evaluasi yang dilakukan adalah dengan mencari bukti aktivitas letusan terkini.[3]

Pada tahap ini dilakukan analisis

probabilistik dan deterministik untuk menentukan potensi kejadian di masa depan dan juga untuk menentukan probabilitas terlampauinya fenomena bahaya gunung api mencapai tapak. Potensi kejadian yang dianalisis tersebut dapat terjadi dari kegiatan letusan gunung api ataupun non letusan, semisal kegagalan lereng gunung api yang diakibatkan letusan sebelumnya.

Metode probabilistik dalam kajian ini dapat berdasarkan pendekatan berdasarkan frekuensi terulangnya letusan gunung api, metode bayesian yang dapat

menggabungkan informasi

kegunungapian tambahan, atau proses model level, yang berdasarkan pada hubungan waktu-volume produk letusan.[1]

Metode deterministik dapat menggunakan gunung api yang setipe (analog) untuk menentukan durasi maksimal letusan dan menggunakan durasi maksimal jeda sebagai permulaan. Pendekatan deterministik tambahan dapat memanfaatkan tren waktu-volume atau tren petrologi dalam sistem gunung api.

Jika dapat ditemukan bahwa aktivitas gunung api di masa mendatang di wilayah geografis tersebut dianggap tidak mungkin, maka tidak diperlukan lagi analisis lebih lanjut dan tidak diperlukan lagi

(7)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 201 penyelidikan bahaya gunung api lebih

lanjut untuk tapak ini. Sebaliknya, jika kurang adanya bukti yang cukup, maka analisis tambahan dan kajian bahaya sebaiknya dilanjutkan ke Tahap 3.

Penyebutan kapabilitas pada kajian ini tidak hanya bergantung pada waktu erupsi terakhir, tetapi lebih bergantung pada kredibilitas erupsi gunung api di masa depan yang dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti analisis laju perulangan letusan, kajian aktivitas kondisi terkini dari gunung api menggunakan investigasi geofisik dan geokimia, analisis kecenderungan geokimia dari produktivitas magma dan analisis seting tektonik gunung api.

Konsep kapabilitas ini juga digunakan dalam mengkaji potensi Gunung Api Natib dan Gunung Api Mariveles menghasilkan fenomena bahaya yang mungkin mencapai PLTN Bataan (BNPP) di Filipina.[2]

3.3. Tahap 3 (Penapisan bahaya) Jika teridentifikasi potensi aktivitas gunung api di masa depan pada wilayah tapak, harus dianalisis masing-masing potensi fenomena bahaya yang mempengaruhi tapak. Jika fenomena ini tidak mencapai tapak, maka fenomena tersebut dapat ditapis untuk diabaikan.

Keputusan penapisan juga harus

mempertimbangkan apakah fenomena tersebut mungkin timbul dari proses sekunder atau skenario yang terdiri dari urutan peristiwa gunung api yang kompleks/peristiwa gabungan dari beberapa fenomena bahaya gunung api. Pendekatan deterministik dalam mengkaji bahaya pada langkah ini dapat didasarkan pada penapisan nilai jarak untuk fenomena tertentu. Penapisan nilai jarak dapat didefinisikan dalam hal tingkat maksimum yang diketahui dari produk erupsi tertentu. Jika tapak tersebut berada di luar jarak penapisan untuk fenomena gunung api spesifik maka tidak lagi diperlukan analisa lebih lanjut untuk fenomena itu dan jika aktivitas gunung api di masa depan dimungkinkan muncul dan tapak tersebut masuk kedalam jarak penapisan untuk fenomena gunung api tertentu maka gunung api atau wilayah gunung api harus dipertimbangkan kapabel, dan kajian bahaya spesifik tapak harus dilakukan.

Pendekatan yang saling melengkapi untuk mengkaji bahaya pada tahap ini adalah untuk mengestimasi probabilitas kondisional fenomena gunung api spesifik dari letusan gunung api yang mencapai tapak.

(8)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 202 Model konseptual dari gunung

api, meliputi sifat dan evolusi proses gunung api, harus menginformasikan estimasi probabilitas peristiwa gunung api dengan magnitudo yang

besar. Jika model

alternatif/konseptual dapat menjelaskan ketersediaan data, dan perbedaan-perbedaan di model tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara investigasi tambahan dalam jangka waktu yang sesuai, maka evaluasi bahaya final perlu mempertimbangkan semua model.[4] 3.4. Tahap 4 (Evaluasi bahaya pada tapak)

Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam evaluasi bahaya pada tapak. Hasil dari tahapan ini harus memberikan informasi yang memadai untuk menetapkan apakah dasar desain atau solusi lainnya untuk bahaya gunung api tersebut dapat diterapkan. Apabila dasar desain atau solusi lainnya untuk bahaya gunung api tersebut tidak dapat diterapkan, maka tapak di anggap tidak layak.

Diperlukan kombinasi dari pendekatan probabilistik dan deterministik untuk mengkaji bahaya tersebut. Pada metode deterministik, nilai ambang batas ditentukan

berdasarkan pengamatan empiris dari aktivitas gunung api di masa lalu, informasi dari gunungapi analog, dan atau simulasi numeris proses gunung api. Keberterimaan tapak dan keputusan dasar desain berdasarkan pada apakah nilai ambang batas ini terlampaui atau tidak.

Metoda probabilistik menggunakan rentang pengamatan empiris, informasi analog dari gunungapi lain dan/atau simulasi numeris untuk mengembangkan distribusi terhadap kemungkinan bahwa fenomena bahaya tidak akan melampaui besaran tertentu. Keberterimaan tapak dan keputusan dasar desain diperoleh dari analisis distribusi kebolehjadian.

Masing-masing fenomena bahaya gunung api yang dimasukkan ke dalam dasar desain harus dikuantifikasi sehingga bahaya tersebut dapat dibandingkan dengan karakteristik dasar desain dari kejadian eksternal lainnya.[4]

Tahapan evaluasi bahaya gunung api tersebut diperlihatkan pada gambar 1[4] :

(9)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 203 Gambar 1. Tahapan Evaluasi Bahaya Gunung Api

4. KESIMPULAN

[13] Tahapan evaluasi bahaya gunung api dimulai dari kajian awal yang berupa pengumpulan bukti-bukti aktivitas gunung api < 10 juta tahun, dan jika ditemukan aktivitas yang

berumur < 10 juta tahun maka harus dilakukan tahapan evaluasi selanjutnya. [14] Tahapan evaluasi selanjutnya adalah dengan karakterisasi aktivitas gunung api yaitu dengan mencari bukti-bukti aktivitas letusan terkini/holosen, dan juga aktivitas

(10)

PROSIDING | SKN BAPETEN 2012 204 gunung api Kuarter (2.6 juta tahun) dan

kaldera Pliosen (5 juta tahun).

[15] Jika ditemukan bukti-bukti tersebut maka dilakukan penapisan bahaya gunung api di tapak.

[16] Jika terdapat potensi fenomena bahaya gunung api ke tapak, maka harus dilakukan pemodelan bahaya. [17] Gunung api spesifik tapak, hasil dari pemodelan bahaya tersebut digunakan sebagai kriteria untuk menetapkan dasar desain dan kriteria keberterimaan tapak.

[18] Tahapan evaluasi ini dapat digunakan sebagai masukan untuk merevisi Perka BAPETEN No. 2 Tahun 2008 tentang Evaluasi Tapak Reaktor Daya Aspek Kegunung apian. DAFTAR PUSTAKA

[1] INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY, VolcanicHazards

in Site Evaluation for Nuclear Installations, DS 405 Rev.09.02, 2010

.[2] C. B. Connor, R. S. J. Sparks, M. Díez, A. C. M. Volentik and S. C. P Pearson in “Volcanic and Tectonic Hazard Assesment for Nuclear Facilities” (ed. Connor et al.), Cambridge University Press, New York, 2009.

[3] A. Karakhanian, R. Jrbashyan, V. Trifonov, H. Philip, S. Arakelian, A. Avagyan, H. Baghdassaryan, V. Davtian, Yu. Ghoukassyan ”Volcanic Hazards in Region of the Armenian Nuclear Power Plants” Journal of volcanology and Geothermal Research 126 (2003) 31- 62.

[4] Nur Siwhan, Emy Triharjiyati, Laporan Hasil Kajian Pengkajian Teknis Pengawasan Tapak Reaktor Daya Aspek Vulkanologi, 2011

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh good governance (akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, efektivitas-efisiensi) terhadap kinerja

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

produksi barong liong, ada pengrajin gelang, ada juga wirausaha, lebih banyak makanan” Pada bahasan ini, kesimpulan secara keseluruhannya adalah bahwa masyarakat di

Pendampingan ini bertujuan untuk membantu pengembangan materi promosi daring dalam bentuk foto dan video promosi dalam sosial media bagi para penjahit kain endek di Singaraja..

Hasil simulasi seperti model yang disajikan pada persamaan (4) menunjukkan pertumbuhan tinggi dari umur tegakan lima tahun sampai dua puluh tahun mencapai 2 m, sementara

Hal tersebut sejalan dengan penelitian Thomas (2011), mengatakan para lansia yang ikut serta berpartisipasi dan menghabiskan lebih banyak waktu pada kegiatan

カムチベット語燕門・斯口戛 [Sakar] 方言の文法スケッチ 鈴木 博之 キーワード:カムチベット語、雲嶺山脈西部下位方言群、格体系、動詞接辞

Jadi kebanyakan negara menyimpan mata uang Dollar dari pada Euro, karena dollar menjadi satu-satunya alat pembayaran untuk komoditi minyak (minyak merupakan