• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

8

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum RSU Puri Raharja Denpasar

RSU Puri Raharja pada awalnya merupakan Rumah Bersalin Sederhana yang didirikan pada tahun 1972. Seiring dengan perkembangannya, Rumah Bersalin Sederhana ini ditingkatkan statusnya dan diresmikan oleh Gubernur Daerah Tingkat 1 Bali selaku Ketua Dewan Pembina KOPRI Provinsi Bali menjadi RSU Puri Raharja yaitu pada tanggal 29 November 1989 yang bertepatan dengan Ulang Tahun KOPRI. RSU Puri Raharja kemudian diserahkan pengelolaannya oleh Menkes kepada Yayasan Kesejahteraan KOPRI Provinsi Bali berdasarkan Ijin Menteri Kesehatan RI No.: 0222/YANMED/RSKS/PA/SK/1991. Pada bulan September tahun 2003 RSU Puri Raharja berubah status badan hukumnya dari yayasan menjadi PT. Puri Raharja yang sahamnya dimiliki oleh Pemda Bali, KOPRI Pusat dan KOPRI Bali (Profil Rumah Sakit Umum Puri Raharja, 2012).

RSU Puri Raharja memiliki beberapa fasilitas pelayanan kesehatan yang terdiri dari 3 unit pelayanan kesehatan yaitu unit pelayanan rawat jalan (UGD, Poliklinik Umum, Poliklinik Gigi, Poliklinik Kebidanan dan Kandungan, Poliklinik Bedah, BKIA, General Check Up dan lain-lain), unit pelayanan rawat inap (Pelayanan Penyakit Dalam, Pelayanan Penyakit Syaraf, Pelayanan Bedah dan lain-lain) dan unit pelayanan penunjang (Instalansi Radiologi, Instalasi Farmasi, Instalansi laboratorium, Instalasi Gizi dan lain-lain) (Profil Rumah Sakit Umum Puri Raharja, 2012).

(2)

Unit pelayanan rawat inap merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar yang dimiliki oleh rumah sakit ini. Pada perkembangannya, unit pelayanan rawat inap yang dimiliki oleh RSU Puri Raharja telah mengalami peningkatan dalam hal penyediaan tempat tidur. Sampai pada tahun 2011, RSU Puri Raharja telah memiliki 72 kamar yang terdiri dari 8 kelas dan 1 ruang ICU (5 Tempat Tidur). Kelas kamar yang dimiliki terdiri dari Kelas Wijaya Kusuma (1 Tempat Tidur), VVIP (10 Tempat Tidur), VIP A (9 Tempat Tidur), VIP B (9 Tempat Tidur), VIP C (11 Tempat Tidur), Kelas I (16 Tempat Tidur), Kelas II (20 Tempat Tidur) dan Kelas III (14 Tempat Tidur). Tarif yang berlaku pada pelayanan rawat inap di RSU Puri Raharja yaitu Rp 745.000 pada VVIP, Rp 600.000 pada VIP A, Rp 575.000 pada VIP B, Rp 550.000 pada VIP C, Rp 475.000 pada Kelas I, Rp 330.000 pada Kelas II dan Rp 250.000 pada Kelas III (Profil Rumah Sakit Umum Puri Raharja, 2012).

2.2 Kemampuan dan Kemauan Membayar

Menurut Mukti (2003) menjelaskan bahwa dalam menetapkan tarif pelayanan kesehatan selain mempertimbangkan biaya satuan pelayanan dan tarif pesaing juga perlu diketahui kemampuan dan kemauan membayar konsumen. Kemampuan dan kemauan membayar konsumen sangat penting sebab tanggapan konsumen terhadap pelayanan akan mempengaruhi tingkat penggunaan pelayanan dan pendapatan yang diperoleh dari unit pelayanan tersebut terutama dampak efisiensi dan equity terhadap harga pelayanan kesehatan yang akan dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan membayar.

Konsep kemampuan serta kemauan ini mendasari setiap keinginan individu atau masyarakat dalam memilih suatu alternatif menurut konsep ekonomi yang berlaku. Permintaan terhadap pelayanan dapat diartikan bertemunya kemampuan dan

(3)

kemauan membayar pada diri seseorang. Menurut Tjiptoheryjanto (1994) dalam penelitian Munawar (2003) berpendapat bahwa kemampuan dan kemauan membayar terkait dengan kumpulan sejumlah faktor sosial demografi (seperti usia, pendidikan dan status kesehatan) dan suatu kumpulan faktor ekonomis seperti masalah moneter (misalnya obat-obatan) serta aspek non moneter seperti biaya (waktu ) untuk mencari pelayanan, tingkat pendekatan dalam kaitannya dengan tingkat biaya pelayanan dan kemampuan mendapatkan uang.

2.2.1 Kemampuan Membayar

Kemampuan membayar pasien terhadap pelayanan kesehatan sangat tergantung dari jumlah penghasilan yang diterimanya. Menurut Sumarwan (2003) dalam Endang Indriasih (2010) menyatakan bahwa konsumen merasa tidak nyaman jika harus mengungkapkan pendapatan yang diterimanya dan sebagian merasa bahwa pendapatan adalah suatu hal yang bersifat pribadi sehingga konsumen tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Oleh sebab itu hal yang dapat dilakukan dengan menggunakan metode lain dalam mengukur pendapatan konsumen atau rumah tangga yaitu dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga. Jumlah pengeluaran rumah tangga inilah yang dianggap sebagai indikator pendapatan rumah tangga.

Menurut BPS tahun 2002 dalam Endang Indriasih (2010) menyatakan bahwa pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran rumah tangga akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan menjadi pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas pemintaan terhadap makanan pada umumnya rendah sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Engels law yang dikutip oleh Harianto (2001) dalam Endang Indriasih (2010) menyatakan bahwa

(4)

proporsi angaran rumah tangga yang dialokasikan untuk membeli pangan akan semakin kecil pada saat tingkat pendapatan meningkat.

Kemampuan membayar adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal. Menurut Varley (1995) dalam Agastya menyatakan bahwa kemampuan membayar adalah minat konsumen untuk membayarkan sejumlah (uang) atas suatu barang atau jasa tertentu. Pendekatan yang digunakan dalam analisis kemampuan membayar didasarkan pada alokasi biaya untuk pemenuhan terhadap kebutuhan sehari-hari dari pendapatan rutin. Secara garis besar kemampuan membayar dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kemampuan membayar non food expenditure, kemampuan membayar non esensial expenditure dan kemampuan membayar esensial

expenditure. Pada dasarnya besar kemampuan membayar untuk pelayanan kesehatan

adalah jumlah pengeluaran untuk barang non esensial tersebut. Asumsinya adalah kalau seseorang mampu mengeluarkan belanja untuk barang-barang non esensial maka tentu juga mampu mengeluarkan biaya untuk pelayanan kesehatan yang sifatnya esensial. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan membayar konsumen. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membayar adalah sebagai berikut :

1. Harga barang (biaya kesehatan)

Kecenderungan biaya kesehatan yang konsisten dalam kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan dapat disebabkan antara lain :

a. Kenaikan yang tajam dalam biaya pelayanan kesehatan termasuk obat-obatan

b. Perubahan dalam struktur penduduk

(5)

d. Peningkatan kualitas tindakan medis termasuk teknik pengujian dan diagnosis lanjut yang semakin canggih, perlengkapan alat bantu, transplantasi oragn dan teknologi perawatan kesehatan lain yang semakin maju.

2. Pendapatan konsumen

Biaya pelayanan kesehatan umumnya meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan. Disamping biaya dokter umumnya dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi pasien. Responden yang berpendapatan tinggi cenderung lebih sering dan ekstensif dalam pelayanan keseatan. Responden yang berpendapatan tinggi juga lebih sering memeriksa dan memelihara kesehatan dibanding kelompok responden yang berpendapatan rendah. Begitu pula dengan biaya pelayanan kesehatan, responden yang berpendapatan tinggi menuntut lebih banyak pelayanan lanjutan sehingga biaya kesehatan lebih tinggi. Faktor yang mempengaruhinya antara lain pengetahuan dan kesadaran terhadap kesehatan dari kelompok responden yang memiliki pendapatan tinggi lebih baik dibandingan dengan responden berpendapatan lebih rendah. 3. Jumlah anggota keluarga

Semakin banyak jumlah anggota keluarga akan semakin banyak pula kebutuhan untuk memenuhi kesehatannya dan secara otomatis akan semakin banyak alokasi dana dari penghasilan keluarga per bulan yang harus disediakan.

Pada prinsipnya terdapat dua batasan kemampuan membayar yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan membayar konsumen dalam membayar pelayanan kesehatan. Batasan kemampuan membayar tersebut dibedakan menjadi dua batasan yaitu :

(6)

1. Kemampuan membayar 1 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan 5% dari pengeluaran pangan non esensial dan non makanan. Batasan ini didasarkan bahwa pengeluaran untuk non makanan dapat diarahkan untuk keperluan lain termasuk untuk kesehatan.

2. Kemampuan membayar 2 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan jumlah pengeluaran untuk konsumsi alkohol, tembakau, sirih dan pesta/upacara. Batasan ini didasarkan kepada pengeluaran yang sebenarnya dapat digunakan secara lebih efisien dan efektif untuk kesehatan. Misalnya dengan mengurangi pengeluaran alkohol/tembakau/sirih untuk kesehatan.

Dalam laporan penelitian Lilis Muntamah (2010) terdapat beberapa penjelasan mengenai kemampuan membayar menurut beberapa ahli. Menurut Mukti (2001) menyebutkan bahwa untuk mengetahui kemampuan membayar masyarakat dapat dilihat dari sisi pengeluaran untuk keperluan yang bersifat tersier seperti pengeluaran rekreasi, sumbangan kegiatan sosial dan biaya rokok. Menurut Gani dkk (1997) berpendapat bahwa kemampuan masyarakat membayar biaya pelayanan kesehatan dapat dilihat dari pengeluaran tersier non pangan. Sedangkan menurut Sosilowati dkk (2001) berpendapat bahwa kemampuan membayar biaya pelayanan kesehatan dapat diukur dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi kebutuhan di luar kebutuhan dasar. Dalam hal ini antara lain minuman dan makanan jadi, minuman beralkohol, tembakau, rokok, sirih serta pengeluaran pesta yang diukur setahun. Kemampuan untuk membayar berhubungan dengan tingkat pendapatan dan biaya jasa pelayanan lain yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup.

Mendukung pernyataan di atas batasan kemampuan membayar yang dipakai oleh beberapa negara-negara di dunia yang sudah menjadi rekomendasi WHO yang

(7)

disampaikan oleh Xu.et al (2005) adalah 5% dari kapasitas membayar rumah tangga atau dalam rumus :

CTP adalah kapasitas membayar yang diperoleh dari pengeluaran non pangan ditambah dengan pengeluaran pangan non esensial. Rumus di atas merupakan rumus yang direkomendasikan sebagai batasan kemampuan rumah tangga. Kapasitas membayar rumah tangga atau Disposible Income merupakan sebuah nilai yang dapat dipakai sebagai dasar untuk melihat kemampuan membayar masyarakat. Batasan ini dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi suatu negara (Hariyadi, 2008).

Kemampuan membayar konsumen memiliki hubungan dengan penetapan tarif yang ditetapkan. Hubungan antara tarif pelayanan kesehatan dengan kemampuan membayar adalah sebagai berikut :

1. Tarif lebih kecil dari kemampuan membayar

Apabila terjadi kondisi ini maka kemampuan masyarakat sangat baik karena tarif yang diberlakukan ternyata lebih kecil dari daya beli masyarakat. Pada kondisi ini masyarakat mampu membeli jasa dan barng yang ditawarkan tanpa memikirkan untuk mencari alternatif lain.

2. Tarif hampir sama dengan kemampuan membayar

Pada kondisi ini pemakai jasa berkemampuan hampir sama dengan tarif yang diberlakukan. Tidak semua masyarakat mampu membeli barang dan jasa tersebut, ada kemungkinan sebagian masyarakat menggunakan alternatif lain. 3. Tarif sama dengan kemampuan membayar

Apabila terjadi kondisi seperti ini maka kemampuan dari masyarakat sangat buruk karena tarif yang diberlakukan ternyata lebih besar dari daya beli

(8)

masyarakat, maka sebagian besar masyarakat tidak mampu membeli barang atau jasa yang ditawarkan (Hadi,2008).

2.2.2 Kemauan Membayar

Kemauan membayar yaitu besarnya dana yang mau dibayarkan keluarga untuk kesehatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tongal Sihol Nababan dan Juara Simanjuntak terdapat beberapa definisi dari beberapa ahli mengenai kemauan membayar. Adapun definisi tersebut antara lain menurut Zhao dan King (2005) yang berpendapat bahwa kemauan membayar adalah harga maksimum dari suatu barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada waktu tertentu. Sedangkan menurut Horrowith dan McConnel (2001) menekankan pengertian kemauan membayar pada berapa kesanggupan konsumen untuk membeli suatu barang. Di sisi lain kemauan membayar ditujukan untuk mengetahui daya beli konsumen berdasarkan persepsi konsumen (Dinauli, 1999). Dalam pendekatan kemauan membayar, output kesehatan lebih banyak ditawarkan pada pasien itu sendiri. Menurut Gani (1991) dalam Munawar (2003) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kemauan membayar pasien adalah pendapatan pasien, pengetahuan mengenai tarif, persepsi pasien dan penilaian terhadap pelayanan yang diterimanya.

Konsep kemauan membayar berbeda dengan konsep kemampuan membayar. Pada umumnya kemauan membayar lebih mencerminkan nilai yang dianut dan perilaku seseorang. Menurut Gertlet (2000) dalam Endang Indriasih (2010) menyatakan bahwa pendapatan dapat mempengaruhi penentuan pasien dalam memilih pengobatan yang dapat memaksimumkan kepuasan dan manfaat yang diperolehnya. Selain pendapatan dan harga, banyak faktor yang mempengaruhi seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga. Seseorang akan menggunakan pendapatan yang dimilikinya secara rasional untuk memaksimumkan

(9)

kepuasaan dan manfaat yang dirasakan. Kemauan membayar konsumen dapat dilihat dari data mengenai pengeluaran seseorang atau rumah tangga untuk pelayanan kesehatan. Secara teoritis, kemauan membayar tidak selalu sama dengan kemampuan membayar. Kondisi hubungan antara kemampuan membayar dengan kemauan membayar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :

1. Kemampuan membayar lebih besar dari kemauan membayar

Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan membayar lebih besar dari keinginan membayar jasa tersebut. Ini terjadi bila pengguna memiliki penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap pelayanan kesehatan rendah, pengguna pada kondisi ini disebut chocied riders. 2. Kemampuan membayar lebih kecil dari kemauan membayar

Kondisi ini merupakan kebalikan di atas dimana keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut lebih besar daripada kemampuan membayarnya. Hal ini mungkin terjadi bagi pengguna yang mempunyai penghasilan yang relatif rendah tetapi utilitas terhadap jasa tersebut tinggi sehingga keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut cenderung lebih dipengaruhi oleh utilitas. Pada kondisi ini pengguna disebut captive

riders.

3. Kemampuan membayar sama dengan kemauan membayar

Kondisi ini menunjukkan bahwa antar kemampuan dan keinginan membayar jasa yang dikonsumsi pengguna tersebut sama. Pada kondisi ini terjadi keseimbangan utilitas pengguna dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasa tersebut.

Pada prinsipnya penentuan tarif dapat ditinjau dari beberapa aspek utama dalam sistem pelayanan kesehatan. Aspek-aspek tersebut adalah :

(10)

1. Pengguna (User)

2. Operator (Pelayanan kesehatan) 3. Pemerintah (Regulator)

Bila parameter kemampuan membayar dan kemauan membayar yang ditinjau, maka aspek pengguna dalam hal ini dijadikan subyek dalam menentukkan nilai tarif yang diberlakukan dengan prinsip sebagai berikut :

1. Kemampuan membayar merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai tarif yang diberlakukan sedapat mungkin tidak melebihi kemampuan membayar kelompok masyarakat sasaran. Intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi langsung ataupun silang dibutuhkan pada kondisi dimana nilai tarif yang berlaku lebih besar dari kemampuan membayar sehingga didapat nilai tarif yang sama dengan nilai kemampuan membayar. 2. Kemauan membayar merupakan fungsi dari tingkat pelayanan kesehatan

sehingga bila nilai kemauan membayar masih berada di bawah kemampuan membayar maka masih dimungkinkan melakukan peningkatan nilai tarif dengan perbaikan kinerja pelayanan.

3. Bila perhitungan tarif berada jauh dibawah kemampuan membayar dan kemauan membayar maka terdapat keleluasaan dalam perhitungan/pengajuan tarif baru.

Dalam penelitian Leni Abdul Gani (2006) terdapat pendapat beberapa ahli mengenai metode pendekatan dalam menentukkan nilai kemauan membayar konsumen. Adapun metode pendekatan dalam menentukkan nilai kemauan membayar konsumen sebagai berikut :

(11)

Pendekatan supply demand merupakan pendekatan untuk menilai kesediaan membayar berdasarkan pada jumlah permintaan dan penawaran barang atau jasa. Argumen pendekatan ini menyatakan bahwa konsumen akan mengkonsumsi barang sampai pada tingkat kepuasan marginal dari unit terakhir konsumsi yang sama dengan harga pasar, dan secara sempurna

supplier akan mensuplai sampai biaya marginal mereka sama dengan harga

pasar. Kelemahan pendekatan ini tidak mempertimbangkan ketidaksempurnaan pasar.

2. Menanyakan secara lansung pada konsumen

Pendekatan kedua adalah dengan menanyakannya langsung pada pengguna berapa mereka bersedia untuk membayar (Altaf et al., 1992; Abelson, 1996). Disini mereka diberi suatu kondisi hipotetik. Tapi tetap saja biasnya sangat besar karena orang yang miskin lebih mampu untuk menilai sesuatu dibandingkan dengan masyarakat yang kaya. Sementara itu komponen lain yang orang lebih miskin pertimbangkan, lebih penting bagi mereka untuk bertahan hidup. Seringkali mereka memberikan penilaian yang sangat rendah supaya mereka tidak membayar terlalu mahal untuk pelayanan yang diberikan.

3. Pendekatan contingen valuation

Metode contingent valuation adalah teknik survai yang mencoba untuk mendapatkan informasi tentang preferensi individu/rumah tangga untuk suatu barang atau jasa/pelayanan (Abelson, 1996; Whittington, 1998). Responden pada survei diberi beberapa pertanyaan tentang berapa besar mereka memberi nilai suatu barang atau jasa/pelayanan. Teknik ini diistilahkan “contingent” karena barang atau jasa pada faktanya tidak perlu

(12)

disediakan oleh peneliti, penyediaan barang atau jasa adalah hipotetik/tidak nyata. Perkiraan berapa besar kesediaan untuk membayar pada metode contingent valuation muncul melalui beberapa cara (Abelson, 1996):

a. Metode Tawar Menawar (Bidding Game Technique)

Metode ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia membayar/menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point). Jika “ya” maka besarnya nilai uang diturunkan/dinaikkan sampai ke tingkat yang lebih tinggi. b. Metode Pertanyaan Terbuka (Open-Ended Question)

Metode ini dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah maksimal uang yang ingin dibayarkan. Kelebihan metode ini adalah responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai yang diberikan dan metode ini tidak menggunakan nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak akan menimbulkan bias pada titik awal. Sementara kelemahan nilai ini adalah kurangnya akurasi nilai yang diberikan dan terlalu besarnya variasi.

c. Metode Kartu Pembayaran (Payment Card)

Metode ini menawarkan suatu kartu yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan membayar atau kesediaan untuk menerima dimana responden tersebut dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai dengan preferensinya. Pada awalnya metode ini dikembangkan untuk mengatasi bias titik awal dari metode tawar menawar. Untuk meningkatkan kualitas metode ini terkadang

(13)

diberikan semacam nilai patokan yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan oleh orang dengan tingkat pendapatan tertentu. Kelebihan metode ini adalah memberikan semacam stimulan untuk membantu responden berpikir lebih leluasa tentang nilai tertentu seperti tawar menawar. Untuk menggunakan metode ini diperlukan pengetahuan statistik yang baik.

d. Metode Pertanyaan Pilihan Dikotomi (Close-Ended Referendum) Metode ini menawarkan responden sejumlah uang tertentu dan menanyakan apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang tersebut untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

2.3 Penetapan Tarif

Tarif merupakan sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan kegiatan pelayanan di rumah sakit yang dibebankan kepada masyarakat sebagai imbalan atas jasa yang diterimanya (Kepmenkes, 2003). Menurut Trisnantoro dalam Agastya menyatakan bahwa tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut sebuah rumah sakit bersedia memberikan jasa kepada pasien. Tarif rumah sakit sangat penting diperhatikan baik oleh rumah sakit swasta maupun rumah sakit pemerintah. Bagi rumah sakit swasta, penetapan tarif akan berpengaruh terhadap pendapatan yang berdampak pada kelangsungan operasional rumah sakit. Bagi rumah sakit pemerintah, tarif masih ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini berarti masih adanya kontrol yang ketat dari pemerintah terhadap penetapan tarif di rumah sakit pemerintah. Berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh rumah sakit konsumen dapat menilai apakah mutu pelayanan yang diberikan sebanding dengan besaran tarif yang

(14)

ditetapkan atau tidak. Terdapat beberapa tujuan dalam penetapan tarif rumah sakit yaitu sebagai berikut.

1. Mencapai CRR (Cost Recovery Rate) rumah sakit

Kemampuan rumah sakit untuk menutup biaya yang dikeluarkan dari pendapatan yang diperoleh sehingga tercapai target cost recovery yang memadai. Oleh sebab itu rumah sakit dalam menetapkan tarifnya bertujuan untuk menutup sebagian besar biaya yang dikeluarkan. Hal yang paling dasar dalam tahap ini adalah mengetahui besarnya biaya satuan untuk menetapkan tarif.

2. Subsidi Silang

Penetapan tarif juga memiliki tujuan untuk menyeimbangkan penggunaan pelayanan bagi masyarakat ekonomi rendah dan masyarakat ekonomi kuat mengingat terdapat perbedaan jumlah pendapatan yang ada di masyarakat. Pola subsidi silang dapat didasarkan pada kelas perawatan, pelayanan profit dan pelayanan non profit.

3. Maksimalisasi Pendapatan

Tujuan dalam menetapkan tarif juga untuk mendapatkan pendapatan maksimal yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan sehingga mendapatkan keuntungan. Pendapatan lebih besar memiliki pengaruh yang lebih baik unuk menutupi biaya tetap.

4. Maksimalisasi penggunaan pelayanan

Penetapan tarif juga bertujuan untuk memaksimalisasikan penggunaan pelayanan oleh masyarakat sehingga terkadang tarif yang ditetapkan lebih rendah untuk menarik minat masyarakat. Tetapi kondisi ini hanya dapat diterapkan pada kasus yang mempunyai unit cost rendah, tidak ada batas pendapatan dan setiap pelayanan dapat mmberikan pelayanan tambahan. Keadan

(15)

ini dapat tercapai bila total cost sama dengan total pendapatan. Kebijakan ini dapat menimbulkan persepsi negatif di masyarakat yaitu tarif rendah menyatakan mutu pelayanan yang rendah. Pada dasarnya kebijakan penetapan tarif ini cocok untuk rumah sakit yang menjalankan misi sosial.

5. Maksimalisasi laba

Penetapan tarif yang dilakukan oleh pihak manajemen rumah sakit juga bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh digunakan untuk investasi pengembangan rumah sakit di masa yang akan datang. Pada prakteknya, cara ini dapat dilakukan pada demand yang elastis dimana penetapan tarif yang rendah akan menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang tinggi. Pada demand yang tidak elastis, tarif yang lebih kecil mengakibatkan penurunan yang lebih kecil pada jumlah pelayanan tetapi total pendapatan akan meningkat.

2.4 Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit

Pelayanan rawat inap adalah suatu kelompok pelayanan kesehatan yang terdapat di rumah sakit yang merupakan gabungan dari beberapa fungsi pelayanan. Kategori pasien yang masuk rawat inap adalah pasien yang perlu perawatan intensif atau observasi ketat pada penyakitnya. Menurut Revans dalam penelitian Diah (2009) menyatakan bahwa pasien yang masuk pelayanan rawat inap mengalami tingkat transformasi yaitu :

1. Tahap Admission yaitu pasien dengan penuh kesabaran dan keyakinan dirawat dan tinggal di rumah sakit

(16)

3. Tahap Treatment yaitu berdasarkan diagnosis pasien dimasukkan dalam program perawatan dan terapi

4. Tahap Inspection yaitu secara terus menerus diobservasi dan dibandingkan pengaruh serta respon pasien atas pengobatan

5. Tahap Control yaitu setelah dianalisa kondisinya, pasien dipulangkan. Pengobatan diubah atau diteruskan namun dapat juga kembali ke proses untuk didiagnosa ulang

Jadi rawat inap adalah pelayanan pasien yang perlu menginap dengan cara menempati tempat tidur untuk keperluan observasi, diagnosa, dan terapi bagi individu dengan keadaan medis, bedah, kebidanan, penyakit kronis atau rehabilitasi medik atau pelayanan medik lainnya dan memerlukan pengawasan dokter dan perawat serta petugas medik lainnya setiap hari.

Referensi

Dokumen terkait

Ini adalah wilayah yang memuat faktor-faktor yang dianggap penting oleh konsumen tetapi pada kenyataannya faktor-faktor ini belum sesuai seperti yang diharapkan (tingkat kepuasan

Salim (1999), dalam penelitian tentang analisis faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh, menyatakan bahwa variabel

Secara sederhana, model tersebut berusaha untuk mempengaruhi konsumen melalui pemberian informasi yang kemudian dapat mempengaruhi sikap konsumen melalui pengenalan

Kualitas pelayanan elektronik (e-service quality) bisa mempengaruhi keputusan pembelian apabila konsumen merasa bahwa pelayanan yang diberikan oleh suatu situs atau aplikasi

Hasilnya ditegaskan oleh Ranaweera & Neely (2003) karena konsumen difasilitasi dengan kualitas pelayanan yang lebih baik akan menyebabkan tingkat yang lebih besar pada

Akibat harga jual kopi Arabika rakyat yang cenderung fluktuatif serta ketebatasan luas lahan yang diusahakan petani kopi Arabika akan mempengaruhi tingkat pendapatan petani

pelayanan kesehatan diperlukan sebagai berikut kemampuan konsumen untuk membayar pelayanan kesehatan (pendapatan keluarga, cakupan asuransi kesehatan dan juga pihak

Petugas harus lebih dulu berusaha untuk mengerti kemauan nasabah dengan cara mendengar penjelasan, keluhan atau kebutuhan nasabah secara baik agar pelayanan