• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PRAKTIK PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG.UNDANG DASAR 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PRAKTIK PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG.UNDANG DASAR 1945"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TANTO LAILAM

Fakultas H ukilnr Universitas Ban dar Lanrpun g, J I.ZA Paga| Alan] No.26, Labuhan Ratu. Bandar LanDung

ANALISIS PRAKTIK PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG

TERHADAP UNDANG.UNDANG

DASAR 1945

Abstruct

The sta dord Io examine./brnal verdication (Jbrmale toetsingrecht) o.f law agatnst I945 Constilttiofi in the Constilutional Court, covering: F irsI, Pancasila and Articles of 1915 Constitution. The conha4 can be assessed by value of Fou h Article of Pa casila and legal substance of Article 5 paragraph (l), Article 20, Article 21, Article 22A oJ 1915 Corslirrior?. Second, ,on- I945 constitution,for example is the general principles of law making process (algemene beginselen van behoorlijke wetgeving), the principles to assessetllacl o.f legislatio process (example: law naking process in House of Replesentdtires ol Indonesia). Thlrd, crimi al court decisions,

the decisians to assessed crininal olfbnse at law maki g process,.fbr example: corruption, brlbery, and others.

Key v,ords; Fonnal, biamination, Constihuional Review

I. PENDAHULUAN

S i s t e I n n o r n r a h u k u m In d o n e s i a (peraturan perundang-undangan) bersifat hierarkis. PcratLrran perundang-undangan yarg bcrlnku berada dalam suatu sisten yang berlapis-lapis dar berj enjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, be.laku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi, dan peraturan yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negaft (Staatfunclamental norz) Republik Indon(]sia, yajtu: Pancasila (Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998:39). H i e r a r k i a t a u je n j a n g p e . a t u r a n p e r undang-undangan benujuan melentukan deraj atnya masing-masing dengan konsekuensi jika ada peraturan yang b e r t e n t a n g a n m a k a y a n g d i n y a t a k a n berlaLu adalah yang derdjamya lebih linggi, dan yang rendah harus dibatalkan.

Dalamhal ini berlaku asas lex superiori derogat legi inferiori (huktm yal],g derajatnya lebih tinggi mengesampirgkan hukum yang derajahya lebih rendah) (Bagir Manan,2003:206). Empat dasar hukum yang mgngatur mengenai jenjang peraturan perundang-undangan di Indonesia, dasar hukum yang pernah berlaku (Tap M P R S N o . X X / M P R S / 1 9 6 6 te n t a n g Memorandum DPR GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perafu ran Perundang-undangan, T a p M P R N o . l l l / M P R / 2 0 0 0 t e n t a n g Sumber Hukum dan Tata Urutan Pemturan Perundang-undangar, dan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) dan dasar hukurn yang sedang berlaku (Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yaitu: (lihat tabel)

(2)

Tabel 1.

Pe$edaan Jenjang Pemturan Perufldang-ruldangan Tap MPRS No.

X)(/ MPRS/1966

Tap MPR No. III/ MPR/ 2000

UU No. 10 Tahun 2004 UU No.12 Tahun 2 0 1 I L lrtrD 1945 2. Tap MPR/S 3. UU/ Perppu 4, PP 5. Keppres 6. Peraturan pelaksanaan lalnnya 1. UUD 1945 2. Tap MPR/S

3, Iru

4. Perppu 5 , P P 6. Perda l. LIJD 1945 2. LrU/ Perppu 3 . P P 4. Peryres 5. Perda (Peraturan Propinsi, Peraturan Kabupaten/ Kota, dan Peraturan Desa L UUD 1945 2, Tap MPR 3. UU/ Perypu 4, PP 5. PerPres 6. Peraturan Gubemur 7. Peratunn Kabupatelt Kota Untuk menjaga heirarkisitas peraturan

perundang-undangan dr Indonesra sepeni di atas diperlukan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan yang berfungsi turn-rk menilai sekaligus menentu-kan peftentangan noma hukum tersebut. B e r d a s a r k a n P a s a l 2 4 C U U D 1 9 4 5 , Mahkanah Korstitusi menguji Undang-u n d a n g r e r h a d a p U U D . d a l a m h a l i n i Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar auu konsl irusi (the legitihlate interpreter of the c ons tituti on) ( I D ew a Gede Palguna, 2008 :

l7), yang kewenangannya meliputi pengujian formil, pengujian materiil, dan pengujian keberlakuan. Ketentuan tersebut diperkuat dengan adanya Undang-uldang No.24 Tahun 2003 tentang MahlGmah Konstitusi, Pasal 10 menyebutkan bahwaMahkamah Konstitusr berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni putusan MahkamahKonstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Pandangan penulis bahwa praktik pengujian formil Undang-Undang terhadap U n d a n g - U n d a n g D a s a r 1 9 4 5 m a s i h mengandung beberapa permasalahan, y a'itu]. P e r t a m a, hasnya makna pertentangan

norma hukum, terutama dalam pengujian formil (Asosiasi Pengajar Hukum Acara M a h k a m a h K o n s r i l u s i . 2 0 1 0 : 9 5 ) , h a l in r disebabkan belum adanya batasan dan kriteria yang jelas dalam menentukan pertentangan noma hukum, sebagai contoh pengujian Undang-undang No. 3 Tahun 2009 yang dalam pandangan Mahkamah Konstitusi d,tanggap cacat prosedural tetapi tidak dinyatakan bertentangan dengan U U D 1 9 4 5 d e n g a n a l a s a n d e m i a s a s kemanfaaatan, dalam hal ini tolok ukur l a n g d i g u n a l a n a d a l a h n o n k o n s r i r u s i bukan konstirusi. Menurut Machmud Azir bahwa pengertian bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi perlu mendapat penjelasan yang tepal (Machmud Aziz- Jurnal Kon:ritusi l/olume 3 Notnor 3 September 2006:142). Senada dengan pandangan tersebut, Saldi Isra mengemukakan bahwa makna pedentangan norma hukum tersebut harus dikaji dan dijelaskan secara tepat (Saldi Isra, 2010:308). Hasil penelitian Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas H u k u m U n i v e r s i t a s A n d a l a s , ju g a mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan berrentangan drngon Undang-unda gDasar I915?, sehingga pertanyaan tersebut menjadi penting untuk dikaji dan dijelaskan secara tepat dan bahkan diimplementasikan secara tepat pula oleh Mahlcmah Konsrrrusi lsaldi lsra. Yuliandri. 144 PRANATA HUKUM lloltme 6 Nomor 2 Juli 2011

(3)

Feri Amsar| Charles Simabu", Dayu Medina, danEdita Elda., 20l0:100).

Ked,a, Undang-Undang Dasar 1945 secara singkat menentukan "ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-undang diatur dengan Undang-undang (Pasal 22A). UUD 1945 secara eksplisit "menyerahkan" kewenangan kepada Legislatif untuk mengatur ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-undang. Berarti yang akan terjadi adalah menguji suatu fakta tentang tata cara pembentukan Undang-undang yang diahr dalam Undang-Undang No. l0Tahun 2004 (saat ini yang berlaku adalah Undang-Undang r.\o. 12 Tahun 20 I 1), prakis penguj ian formii pada tingkat ini adalah pengujian tentang pembentukan Undang-undang berdasarkan tolok ukur Undang-undang, termasuk yang menjadi tolok ukur adalah Undang-undang No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Dalam kenydtdan bahwa Undang-undang juga mendelegasikan pengaturan leblh lanjut dengan Peraturan tata tefiib yang berlaku pada dan bagi masing-masing lenrbaga yang terlibat dalam pembentukan Undang-undang. Hal ini memunculkan pertanyaanl sejauh nlana petlgujian Jbrmil terhadt:tp pembentukan Undang-undang harus

mengikuti pe/dturan non kanstitusil Dalam praktik pengujian formil, adalah a r g u m e n l u r i d i s M a l , k a n r a h K o n " t i t u s i dalam putusan No. 27|PUU-VII/2009 halaman 82-83 diuraikanbahwa: " Peraturun Tata tertib DPR RI Na.18/DPR Rl/2005 adalah merupakan bagidn yang sangat penting dalatn perkara a quo untuk melakukan pengujian.fornil UU No. 3 Tahun 2049 rcrhadup UUD 1915, karena hanya berdasarkan Pelaturan Tala Tertib lersebul dapat ditentukan apakah DPR telah memberikan persetujuafu telhadop RUU yang dibahasnya sebagai syaral pembentukan Unda g-undang yang

dihatuskan oleh UUD 1915.

Berdasar hal di atas dalam praktrk pengujran formil di \4ahlamah Kon>tirusi bisa saja toiok ukur yang digunakan d a l a m m e n i l a i p e r t e n t a n g a n n o r m a hukum Undang-Undang terhadap UUD

1 9 , 1 5 l i d r k h d n l a I U D l s 4 5 s a j a . r e r a p i juga Asas-Asas Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan yang baik yang hanya dijumpai dalam materi Undang-Undang, Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil proseduralnya itu m e n g a l i r d a r i d e l e g a s i k e w e n a n g a n menunrl Lonslil!r5i. Ketentrran terakhir ini tidak dialur secara jelas dalam konsritusi maupun dalam Undang-undang Mahkamah K o n s t i t u s i m a u p u n d a l a m P e r a t u r a n Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005, yang menjadi pertanyaan bisakah dalam pengujian Undang-undang terhadap UUD

1945 menggunakan tolok ukur Pemturan Tata Tertib Dewan Per$akilan Rakyat atau peraturan perundang-undangan lainnya. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik rumusan permasalahan, yaitu bagaimana praktik penguj ian fbmii Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

1945 oleh Mabkamah Konstitusi ?

II. PEMBAHASAN Cotrstitutional Reiew

C o n s titu t io nal review atau pengujian konslinuon.rl rnerupaka n penguj ran mengenar konstitusioialitas dari nomla hukum yang sedang di L:ji Quclicial revie\t on the cotrstitutionalit! af hA, yang pengLrj iannya dilakukan dengan menggunakan alat ukur konstitusi (JimlyAsshiddiqie, 2005 :7). Dalam pandzngan M. FajrulFala:r-kh (Juma1 Mimbar Hukum No.38/l/2001: l5) bahwa upaya menjaga dan menegakkan konstitusi disebut c on s tit Lliona I reiew, al"|inya produk-produk dan perbuatan hukum harus sesuai dan tidak berlentangan dengan konstitusi.

(4)

Constitutional rerierl itu sendiri sebenamya dapat dilihat sebagai buah perkembangan gagasan modem tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), ptinsip pem isahan kekuasaan (s ep a r a I io n of p owe rs), serta perlindungan d a n p e m a J u a n h a k a s a s i m a n u s i a (the protection of ./indame lal ights). D a l a m s i s t e m c o n s l i t u t i o n a l r e v i e w tercakup dua tugas pokok, yaitur (1) untuk menj am in berfungsinya sistem demokrasi dalan hubungan perimbangan peran atau inlerplay an16r s6l6ng kekuasaan iegislatif, ekseL-utif dan yudikatif. Dengan perkataan lain, constitaional revlew dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kewenangan oleh salah saru cabang kekuasean

"edemikian rupa terhadap cabang kekuasaan lain; (2) untuk melindungi setiap individu warga negara dari dari penyalahgunaan keL-uasaan oleh lembaga ncgara yang merugikan hak-hak fundanrcntal mereka yang dijamin dalam konstitusi (Jinrly Asshiddiqie, 2005: 8 - 9 ) .

I d e p e n g u j i a n k o n s t i t u s i o n a l (conslitutional review) ini telah demikian l u a s d i t e r i m a d a n d i p r a k t i k a n d i d u n i a sebagai hasil perkenbangan ketatanegaraan d i m a s i n g - m a s i n g n e g a r a , s e h i n g g a perkembangan masing-masing negara tentu berbeda, namun yang jelas bahwa t r a d i s i p e n e g a k a n k o n s t r t u s r s e b a g a i barometer penyelenggaraan kegiatan bemegara di dunia terus berkembang luas, d a n s e m a k i n d i a k u i p u l a b a h w a id e pengujian konstitusional itu memang di-perlukan dalam rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan konstirusi dalam praktik sehari-hari. Perkembangan constitulional /erlep, membawa wacana dengan memunculkan istilah khusus judicial constitulional review yang

digunakan dalam membicarakan proses uji konstitus ionalitas yang dilakukan oleh lembaga peradilan saja (MuchanadAli

Safa' at, Majalah Konstitusi- Berita Mahkamah Konslituri, No. l4 Joauori-Febtuari 2006:4'1),

Dalam pandangan M. Fajrul Falaakh (Jumal Mimbar Hukum No.38/l/2001: l5) bahwa di dunia intemasional tidak terdapat satu model bakr constilulio al rcvie\|. berbagai negara dengan tradisi hukum y a n g s a m a m e n g g u n a k a n m o d e l yang berbeda, tampaklya faktor tradlsl hukum. teoripolitrk yang dianut. konsliluci yang disusun dan pilihan politik ikut mewamai penFsunan model tersebut, secara u m u m m o d e l - m o d e l t e r s e b u t d a p a t disederhanakan ke dalam dua kategori, yaitu: judicial review dan constitutiohal court. Negara-negara seperti Amerika. India. Australia, Canada, menerapkan rnodel judicial rciew dalam model ini lembaga

peradilan yang biasa memeriksa perkara p u b l i k d a n p r i v a t b e r w e n a n g u t u k memeriksa konstitusionalitas produk dan perbuatan hukum, meskipun produk dan perbuatan hukum dihasilkan oleh, misalnya lembaga legislatif yang berwenang m e n e t a p k a n d a n m e r u b a h k o n s t i t u s i . Maka dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung dan lembagaperadilan di bawahnya berfungsi sebagai sang pengawal dan penafsir konstitusi (the guardian and the interpreter of the constilution). Argurnen model ini sangat jelas, karena kekuasaan n e g a r a d i p i s a h - p i s a h k e d a l a m fu n g s i dan lembaga-lembaga yang berbeda (eksekutif, legislatif, dan eksekutif), maka harus ada lembaga yang menjalankan fungsinya mengadili sesuai hukum, yaitu lembaga ludikatif

Sebaliknya $odel constitulio al corrt (peradilan atau Mahkamah Konstihrsi), menempatkan mekanisme hak uji pada lembaga mandiri di luar lembaga dan sistem peradilan yang ada, dan bukan pula lembaga perwakilan rakyat. Negara-negara seperti Jerman. Perancis. Italia. Mesir. termasuk Indonesia mengadopsi model ini, model ini berpendapat bahwa lembaga 146 PR"4NATA HUKUM l/olume 6 Nomor 2 Juti 20ll

(5)

dipandang tidak representatifuntuk mewakili merupakan pengujian atas suatu konstitusi, apalagi sccara historis hakim- produk hukum yang bukan dari segi materi hakim di lenbaga tersebut tidak terlatih nya, Sri Soemantri (1986:28) mendefenisi-secara profesional Llntuk menangani kan pcngujian fonnil atau hak uji fomil masalah-masalah konslitusi yang sclalu adalah wewenang uniuk menilai, terkait dengan bidang kenegaraan, politik, apakah sriatu produk legislatif scpcrti dan kebijakan publik (M. .l-ajrul Falaakh, ulldang-undang misalnya terjelma melalui Jumal Mimbar Huknm No.38/l/2001 : l5). cara cara Q)race(lure) sebagaimana yang Ketentuan pcngujian konstitusional di telah ditentukan/ diatur dalam peraturan Indonesiajuga mengalami perkembangan pcrundang-undangan berlaku atau tidak, sebclum pcngu.jian konstitusional menjadi sedangkan Harun Alrasid mengemuka kewenanganMahkanah Konstitusj, mjsalnya kan bahu'a hak menguji formil adalah Indonesia pernah rnemiliki skema mengenai prosedur pembuatan undang-const[tutionul re|le|, yang menjadi undang (Asosiasi Pengajal Hukum Acara kewenanga[ Maje]is Pennusyawaratan Mahkamah KonstitLlsi, .?010. 92). Sementara Rakyat, sejak sidang tahunan MPR 2000, Mahtud MD (2009:258-259) mengcmukakan lenbaga tcrtinggi ini memiliki kewenangan bahwa uji formal berkcnaan delgan mengnji undang-undang di hadapan prosedumya yang diaoggap melanggar dipilih oleh lembaga pcrwakilan rakyat

konstitusi dan Ketetapan MPR. atau salah, kesalahan prosedur dan atau peradilan yang konvensional yang Pengujian Formil Undang- Lindang keangotaannya bcrdasarkan karir atau Terhadap Undang-Undang Dasar

Pengujian formil (/bna eele toetsing)

Dalam pandangan JimLyAsshiddiqie mekanisme (misalnya pembuatannya tidak (200617) bahwa untuk ncnilai dan nrenguji menuxttingkaFtingkatpembahasan atau lidak konstitusionalitassuatuUndang-Undang, kuorum).

d a p r l m e n p e - g u n : r l , a r h c b c l a p a a l a t M. Fajrul Falaakh (Konpa.r Edisi ukur atau penilaiyaitu: Sabtu 03 April 2000.;l) mengemukakan a. Naskah Undang-Undang dasar resmi bahwa hak menguji formaL (prosedurall

tcrtulis; untuk nenentukan benar tidaknya cara

b. Dokur[en dokunen tedulis yang mcncrbitkan suatLr peratlrmn perundang-terkait erat dengan naskah Undang- undangan, atau wewenang untuk Undang dasar itu seperli risalah- risalah, menilai apakah suatu produk hukum tclah keputusan dan ketetapai Majelis memenuhi semua prosedur (procedure) Permusyawaratan Rakyat, Undang- pembentukannya sebagainrana telah Undang tertentu, pemturan tata tertib dll; diteltukan/ diatur dalam peraturan per-c. Nilai- nilaikonstitusi yang hidup daiam undang-undangan yang berlaku ataukah

praktek kctatancgaraan yang telah tidak. Jadi yang diuji dalan pengujian dianggap sebagai bagian yang formil adalah prosedur pembentukan sualu tak terpisahkan dari keharusan dan peralumn perundang-undangarl, nlisalnya kebiasaan dalam penyclcnggrMn kegiatan dalam proses penerbitan Pclatumn Penedntah bemegala; Pengganti Undang-undang diharuskan d. Nilai- nilai yang hidup dari kcsadaran nemenuhi syarat "hal ikhrval kegentingan

kognitif rakyat serta kenyataan yang menaksa" da11Peratumn Pemerintah perilaku politik dan hukum warga Pengganti Undang-undang itu harus negara yang dianggap sebagai kcbiasaan dicabutjika ditolak oleh DPR (Pasal22 LIIID dan keharusan yang ideal dalam peri 1945). Penahaman lebih luas mengcnai kehidupan berbangsa dan bemegara. f'engen idn Nnguiiar forrril di'anparkan oleh

(6)

JimlyAsshiddiqie (dalarn Fatrnawati, 2005:xv-xvi), bahwa pengujian dilakukan terhadap form ata.u format dan aspek-aspek

fonnalisasi substansi norma yang diatur i t u m e n j a d i b e n t u k h u k u m t e r t e n t u menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum. Aspek format, forfial, dan formalisasi itu sendiri cukup luas calupannya, yaitu mulai dari proses persiapan berupa p e r a n c a n g a n s a m p a i p a d a t a h a p pengundangan dan bahkan pemberlakuan s u a t u n o r m a m e n j a d i n o r m a y a n g mengikat untuk umum. Dalam pandangannya bahwa pengujian formil tidak mencakup p r o s e s p e m b e n t u k a n u n d a n g - u n d a n g dalam arti sempit, tctapi juga nencakup pengujian mengenai aspck bentuk undang-u n d a n g , d a n p e n r b e r l a k u a n u n d a n g -undang yang tidak lagr tergolong sebagai bagian dari proses pembenlukan undang-undang (Jimly Asshiddiqie, 2006:56), juga dijelaskan bahwa pengujian formil berkaitan dengan soal-soal proseduraldanberkenaan dengan legalitas kompctensi institusi yang membentuknya (Fatmawati, 2005r5).

Pengertian yang dapat dikembangkan dalam rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil itu bersifat sangat kompleks, secara umum kritefia yang dapat dipakai untuk menilaj suatu objek pengujian (undang-undang terhadap Undang-undang Dasar) dari segi formalnya (forneele loetsirg) adalah sejauh mana peraturan di atas ditetapkan dalam bentuk yang tcpat (app op riate Jb r m), oleh institusi yang tepat (appo p r ia te i t1 s I i I u tion) dan menunrt prosedur yang tepal (a ppo p r i a t e Penjabaran dalam beberapa hal: (l) pengujian atas pclaksanaan tata cara dan prosedur pembcntukan undang-undang, baik dalam hal pembahasan maupun d a l a m p e n g a m b i l a n k e p u t u s a n a t a s rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undaig; (2) pelgujian atas bcntuk,

format, atau struktur undang-undang; (3) pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil keputusan da)am proses pembentukan undang-undang; (4) pengujian atas hal-halyang lain yang tidaktermasuk pengujian materiil. Keempat kategori pengu.jian formil tersebut di atas, dapat disederhana kan menjadi dua kelompok, yaitu: pengujian atas proses pembentukan undang-undang dan pengujian atas hal lain yang tidak termasuk penguj iar materiil (J imly AsshJdd rqie. 2006:5"/).

Dalam Peratumn \4ahl€mah Konslirusi (PMK) No.06/PMK/2005, Pasal4 ayat (3) mengatur pengertian pengujian formil bahw a " pe n g4j i an fo r n i I ad a I a h penguj ia n undang-undang yang berkenaan tlengan ptoses pembe tukan undang-undang dan hal-hal )'a g ttdak termasuk pengujian mate I i i 1 ". Peraturan Mahkamah Konstitusi di atas kalimat terakhir dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut rnaknanya termasuk aspek keberlakuan sebuah undang-undang (Asosiasi PengaJar H u k u m A c a r a M a h k a m a h K o n s t i t u s i , 2010:95).

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie (2006:63) bahwa pengujian keberlakuan mempakan bagian dari pengujian formil dengan mendasarkan argumen bahwa pengujian formil termasuk pengujian a t a s h a l - h a l y a n g t i d a k t e r m a s u k dalam pengujian materiil, misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.0 I 8/PIJU-V2003 mengenai pengujian Undang-Undang No.45 Tahun 1999, yang dalam praktiknya Mahkamah Konstitusi memaknai pengujian formil sebagaimana dical:up oleh pertimbongan Mahkamah Konstitusi dalan menyatakan Undang-undang a guo bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan keberlakuan sebuah undang-undang. Menurut penulis bahwa argumen tersebut masih bias, sebab dalam pengujian undang-undang a qao didasarkan pada penimbangan materi atau substansi Undang-unda1\g a quo yang secara 148 PRANATA HUKUM l/olune 6 No or 2 Juli 20ll

(7)

keseluruhan menimbulkan ketidakpastian hukum dan secara sosial politis dapat b e r a k i b a t k o n f l i k d a l a l n n l a s y a r a k a l , b u k a n k a h i n i b a g i a n d a r i p e n g u j i a n maleriil dlnrJnJn) a r)lalr r)yr substansi nya yang nrenimbulkan kctidakpastian hul.m dan konllik dim:xyarakat.

Tolok Ukur Pengujian Formil Undang-UndangTerhadap Undang-Lndang Dasar 1945

T o l o k u k u r p e r t c n t a u g a n n o r l n a hukum dalanr pengujian fbrlnil Undang-U n d a n g T e r h a d a p Undang-U n d a n g - U n d a n g D a s a r I 9 d i u l r l r V a h k c n r . r h K o n s l i t u s i , yaitu: I T o l o k U k u r K o n s t i t u s i ( U n d a n g -Undang Dasar 1945) P a s . r l l l n l r r r u n l t m b . r l , J r U U I J 1 9 4 5 d i s e b u t k a n b r l l \ a L U D l 9 - 1 5 l e r d r r r atas Pembukaan dan Pasal-pasal, dalan') pa[dangan Maria Farida Indrdti Suprapto (1998:48) bahwa UUD 1945 terdi atas dua Lelonrpok norma, pcmbukaan dan batang tubuh (pasal-pasal). PcmbuL.Lan UUD ( P a n c a s i l a ) d i n a k n a i s e b a g a i s l a a l s -JundaDtenl4l n ornt atau norn]a fundamcntal/ dasar ncgara, sedangkan B a t a n g t u b u l r l p . r s a l - p . r : : r l r d r m a k n . r i sebagai r /d4rrg/ !4dgc:/.! alau aturan dasarnegara.

Pa.al-lir.al (baranE lubulr) dintaLniti sebagai s taetsgrundg.ezlj atau aturan dasar negara atau aturan pokok negara merupakan kelompok norma hukum di bau'ah nornra fundamcntal negara, norma-norma dari aturan dasar ini nrerupakan aturan-aturan umum yang masih bersilat garis besar sclringga meflrpakan norma tunggal dan bchLm diseftai dcngan nomla sekunder, dalan UUD 1945 alumn dasar negara atau aturan pokok negara tertuang d a l a m P a s a l - p a s a 1 U n d a n g - u n d a n g Dasar 1945, yang dimaksud Pasal-Pasal adalah dari Bab I Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 sanrpai pada Bab XVI Pcrubahan Undang-Undang Dasar Pasal 3 7 UUD 1945,

termasuk 3 (tiga) Pasal atufaD pelalihan dan 2 (dua) Pasalaturan tambahan.

Benentangan dengan Undang-undang D a s a r 1 9 4 5 d a l a m a r t i l b r m i l a d a l a l r p r o s e s p e n r b e n t u k a n u n d a n g - u n d a n g y a n g t i d a k s e s u a i d c n g a n P a n c a s i l a dan konstitusi (UUD 1945), lebih tegas dikemukakan oleh Mahfud MD (bahan pada K liah Untnn di Fakultds Hukunt U 1 1 , Y o g y a k a r t a . 6 J u n i 2 0 l l r l , l - 1 5 ) , bahwd lugaj utama MahkirDlalr Kon,ritl15i mencgakkan konstitusi schingga dalanl praktik selalu mengutanlakan ketentuan konstitusional berdasarkan UUD I 945.

Dalam melaksanakan iirngsi terscbut. kctika Mahkarnah Konstitusi menetrukilri undang-undang yang nyiita-nyata ber-t e n ber-t a n g a n d e n g a n k o n s t i t u s i m a k a Mahkamah Konstitusi akan nlcngutamakan pcncgakan kesdr lan sesuri ji\ a k on\1,lus r. dengan alasan bahwa Pancas ila menekankan pentingnya adil dan keadilan. Pancasila danPembukaan UUD 1945 nrenjadi "tolok ukui" dan "batu uji" utanra, sehingga dapat menguji Undang-undang langsung terhadap Pancasila atau Pcnlbukaan UUD

1 9 4 5 .

D a h m p r a k t i k M a h k a n r c h K o n s t i t u s r Pancasila diterjcmahkan dalarn pulusan-putusan scbagai bentuk-bentuk penernuan keadilan substantif. Dalam hal ini, antara y a n g f o r m a l - p r o s e d u r a l d a n / a t a u substantif, Mahkamah Konstitusi memilih yang lebih adil sesuai dengan karakter kasus yang spesifik. Merujuk pada hasil p e n e l i t i a n P u s a K o , b a h \ l a p e n g u j i a n o l e h l e n l b a g a y u d i s i a l r n e r u p a k a n suatu rrlstfumcn pengawAsdn terhadap pcnuangan Pancasila di dalan] peraturan perundang-undangan, agar Lrndang-undang l i d a k b e r r e n t a n g a n d c n g a n U U D l q 4 5 dcn lalsafch brn8.a (Saldr Ijra. Yuliandr. Feri Ansari, Charles Simabua, Dayu Medina, dan Edita Elda., 2010r.1 62). Bertentangan dengan Pancasila, tolok ukunrya adalah Sila Kccmpat "Kcrakyatar yang dipimpin olch hikmat dalirnr Pcmrusyawantixl/ Penvaki latl". lnatisis Pvktik Pensiian Fonttil UU Tefiadap UUD 1945...(Tanto Luilatn) 149

(8)

Bertentangan dengan Pasal-Pasal LILID 1 9 4 5 t e r k a i t d e n g a n k e w e n a n g a n pembentukan undang-undaag yang dilakukan o l e h D P R d a n P r e s i d e n , m i s a l n y a : suatu undang-undang tidak dibahas secara b e r s a m a o l e h D P R d a n P r e s i d e n l e l a p i langsung disetujui saja, tentunya kasus ini akan bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) yang mengatur bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan dibahas dalam arti bahwa secara faktual suatu undang-undang te$ebut dibahas mate nya bukan hanya disetujui oleh Dewan Psrwakilan Rakyat dan Presiden.

2, Tolok UkurNon Konstitusi

Kewenangan Vahkamah Konsrirusi adalah menguji Undang-Undang terhadap U n d a n g - U n d a n g D a s a r 1 9 4 5 , y a n g tolok ukurnya adalah Pembukaan dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945. Jika ketentuan Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 tidak mengatur secara rinci atau mendelegasikan pengaturan kepada peraturan di bawahnya, maka u n t u k m e w u j u d k a n k e a d i l a n d a l a m p u t u s a n p e n g u j i a n u n d a n g - u n d a n g terhadap Undang-Undang Dasar I945 d i p e r l u k a n r o l o k J k u r I a i n r r y a . y a k n i nonkonstitusi.

Non konstitusi dalam afii peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang Dasar 1945 (Konstitusi) baik Pembukaan maupun Pasal-Pasalnya, seperti: Undang-Undang (ketentuan Asas-Asas Pembentukan Peraluran Perundang-Undangan Yang Baik secara normatif terdapat dalam Undang-Undang No.12 T a h u n 2 0 1 I . ) / P e r a t u r a n P e m e r i n t a h Pengganti Undang-undang, Peratuian Peme ntah, Peraturan Presid€n, Peraturan Daerah Propinsi dan Kabupaten/ Kota, Peraturan Tata tenib Dewan Perwakilan Rakyat, dan lainnya, temasuk juga Putusan Pengadilan. NamJn dalxrn .ubbaha.an ini

p e n u l i s h a n y a m e n g k a j i A s a s - A s a s Pembel1tukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik.

Dalam pandangan Jimly Asshrddrqie ( 2 0 0 6 : 7 ) a l a t u k u r a t a u p e n i l a r k o n s t i t r , " i -onalitas undang-undang, yaitu: ( 1) Naskah Undang-Urdang Dasar resmi tertulis; (2) Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah Undang-Undang Dasar itu, sepefti I risalah- risalah, keputusan dan ketetapan MPR, Undang-Undang tenenru. peraruran tata renib. dllr (l) Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian yang lak lerfisahlan dari keharusan dan kebiasaan dalarrr penyelenggaraan kegiatan bemegaraj (4) Nilai- nilai yang hidup dari kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan prilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan yang ideal dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat ha1 tersebut merupakan sumber dalam keseluruhan tatanan hukum tata negara, atan constitutional /alr yang dapat dijadikan alat pengukur atau p e n i l a i d a l a m r a n g k a p e n g u j i a n konstitusionalitas suatu undang-undang, sebab pengertian konstitusionalitas itu bukanlah konsep yang sempit yang hanya terpaku kepada apa yang tertulis dalam naskah Undang-undang Da.Jr lq45 saja. Pandangan Jimly Asshiddiqie dalam menilai konstitusionalitas undang-undang dapat menggunakan ketentuan non konslirusi (misalnya peraturan tata tertib), namun pandangan tersebut tidak menjelaskan s e c a r a d e l a i l t e n t a n g im p l e m e n t a s i non konstitusi dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

1 9 4 5 .

Intinya penulis sependapat dengan pandangan Jimly Asshiddiqie teisebut, namun menurut penulis bahwa penggunaan non konstitusi (Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik) hanya terbatas padapengujian formil 150 PRANATA HUKITM Volune 6 Nomar 2 Juli 2011

(9)

t e r u t a m a b e r k a i t a n d e n g a n p ro s e s p e m b e n t u k a n u n d a n g - u n d a n g , d a n tidak tepat digunakan dalam pengujian m a r e r i i l . P a n d d r g a n l a i n b < r a . a l d r M a r u a r a r S i a h a a n , b a h l v a t o l o k u k u r pengujian lbrmil Undang-undang t e r h a d d p I n d a n g - U n d r r g D d . , r r lq 4 5 dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang No. l0 Tahun 2004 tentang Pembentukarl P e r a t u r a n P e r u n d a n g u n d a n g a n ( n o n konstitusi: pparr.!), diatur bah$'a: "dalam membeltuk Peratuan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peiaturan Per'uidang-undangan yang baik. Ketentuan dalanr Undang-undang i n r s u d a h r r d a k b e r l a k u . l r n g s a a t r n i bcrlaku adalah Undang-Undang No. I 2 Tahun 201 1 teltang PembentrLkan Peraturan Penmdang-Undangan.

Asas-asas pembentukan peraturall perundang-undangan y angbatk (a I ge mel1e beginselen t,an behoorlijke wetgeving), Philipu. V.Hadlor nrenl elr' rtny.r sebrgri asas-asas umum pembentukan aturan hukun yangbaik (a/ge mene beginselen ran behoollijke regelgeNlnlr. Mcnurut A. Hamid S Attamimi, asas asas urnum pembentukan peraturan per-undang unoangan yang b a r l -n e ' u p r k a n a . : . . a s a " ) a n s b e r f , r n g s i u n t u k r n e m b e r i k a n p e d o m a n d a n bimbingan bagi penuangan isi peralumn k e d a l a n b c n t u k d a n s u s u n a n y a n g s e s u a i , s e h i n g g a t e p a t p c n g g u n a a n m e t o d e p e m b e n t u k r n n ) a . 5 c r t a c e s u a i dengan proses dan prosedur pembentukan l ang relah ditentukcn (A. Hcm.d. S A nrrn imi.

1 9 9 0 : 3 3 1 ) .

Pandangai senada dikemukakan oleh Yusril lhza Mahendra (2002i152), bah*,a asas-asas hukum pembentukan peraturan perundang-undangan yang bark m e r u p a k a n c o d i t i o s i | e q u a n o n bagi berhasilnya suatu peratuan perundang-undangan yang dapat diterima dan b e r l a k u d i 1 n a s y a r a k a t , k a r e n a t e l a h mendapatkarr dukungan landc'an fi losoll.. )arridis d.m sosiologis.

Mcnurut Van der Vlies, asas-asas p c m b c n t u k a n p e r a t u r a n p e r u n d a n g -undangan yang baik dapat dibagi r11enjadi dua bagian, yaitu: asas fornal ll'ornele beginselen) dan asas matcriil (t dteriele beginsele ). Asas lormal meliputi: (1) het beginselen vdn dLtidelijke doelstelling (asas tujuan yangjelas);(2) het beginselen rdn het juiste o,"gdar? (asas organ/ l e m b a g a y a n g t c p a t ) : ( 3 ) h e t noorlzakerlijkheids beginselen (asas perlunya pengaturan): \4) het beginselen van uitvaerbaarheids (asas dapat dilaksanakan); (5) het heginselen vn aor.re/?crs (asas konsensus). Asas materiil meliputi: ( 1) llel 6cgl, selen van duideliike ter inologie en duidelijke st^stenatiek (asas terminologi dan siste atika yang jelas); (2) het beginselen van de kenhaar -h e i d ( a s a s d a p a t d i k e n a l i ) ; ( 3 ) i e . rech tstelij kh eids beginselen (asas pcrlakuan yang sama dalam hukum), (-7 het rechtzekerheicls beginselen (asas kepastian hukun);dan (5) het beginselen van de individuele rechtsherleling (asas p e l a k s a n a a n h u k u m s e s u a i d c n g a n keadaarindividual) (Van derVlies, 2005: 196-197). Dalan konsteks ke Indonesia-an, menurutA. Hamid S.Attarnimi (1990:331,, asas-asas pembentukan peraturan perundamg-undangan yang baik meliputi: (a) citahukum lndonesia (Pancasila); (b) asas negara bcrdasarkan hukum; (c) asas pcmcrintahan berdasarkan sistem konstitusi; (d) asas-asas

lainnya-Asas-asas pcmbcntukan pcraturan p e r u n d a n g - u n d a n g a n y a n g b a i k bennanfaat bagi penyiapan, penyusunan, d a n p e m b e n t u k a n s u a t u p e r a t u r a n perundang-uDdangarl, yal1g selanj utnya dapat digunakan hakim untuk melakukan pcngujian (/oeber) agar pcraturan tcrscbut memenuhi asas dimaksud (A. Hamid S . A t t a m i m i , 1 9 9 0 : 3 3 1 ) . M e r u j u k pada paldangan tersebut, bahwa l'iakinr Mahkamah Konstitusi dapat nelakukan pelgujian Undang-uldang dengan tolok ukur

(10)

a s a s - a s a s p e m b e n t u k a n p e r a t r r a n perudang-undangan yang baik. Menurut P h i l i p u s M . H a d j o n , a s a s . a s a s u m u m pembentukan aturan hukun yang baik dapat berfungsi sebagai dasar pengujian dalam pembentukan aturan hukum (ujiformil) maupun sebagai dasar pengujian terhadap aturan hukum yang berlaku (uji materiit). Senada dengan pandangan tersebut, dikemukakan oleh Yuliandri b a h w a d a l a m h u b u n g a n n y a d e n g a n pelaksanaan fungsi asas.asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dijadikan dasar dalam pelak-sanaan penguj ian terhadap undang-undang baik secara materiilmaupun formil (Yuliandri, 2009:223).

Penulis kurang sependapat dengan pandangan Philipus M.Hadjon danYuliandri di atas terkait uji materiil, dalam arti bahwa asas.asas umum pgmbcntukan peraturan perundar g-un dangan yang baik kurang tepat dijadikan tolok ukur p€nguj ian rnateriil oleh Mahkamah Konstitusi, sebab akan mengacaukan pemahaman dan praktik pengujian formil dan materiil itu sendid. Pengujian formil menitikberatkan pada proses pembentukan undang-undang apakah sesuai dengan konstitusi dan asas-asas umum pembentukaan peraturan perundang-undangan yang baik, sedangkan pengujian materiil terkait apakah norma hulom atau substansi undang-undang bertentangan dengannormaatausubstnsiUndang-udang Dasar 1945 melalui berbagai metode p e n a f s i r a n h u k u r n h a k i m M a h k a m a h Konstitnsi.

Pandangan lain berasal dari mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan (2005: 22-23), bahwa alat uji formil pengujian undang-undang tcrhadap Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilihat dalam Pasal 5 U n d a n g - U n d a n g N o . l 0 T a h u n 2 0 0 4 tentang Pemb€ntukan Penturan Pembentukan Peraturan Perun dan g- un dangan (non konstitusii perulll), diatur bahwa: "dalam membenhrkPeraluran Perundang- undangan

(non konstitusir per!/i,t), diatur bahwa: "dalam membentuk Peraturan Perundang-u n d a n g a n h a r u s b e r d a s a r k a n p a d a asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputii (a) kejelasan t u j u a n ; (b ) k e l e m b a g a a n a t a u o r g a n pembcntuk yang tepat; (c) kesesuaian a n t s r a j e n i s d a n m a t e r i m u a t a n ; ( d ) dapat dilaksanakan; (€) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; (g) keterbukaan.

Berdasarkan penggunaan pendekatan pgrundang-undangan dengan melakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan p e r u n d a n g - u n d a n g a n y a n g t e r k a i t , penulis menemukan beberapa ketontuan n o n k o n s t i t u s i y a n g d i j a d i k a n t o l o k ukur penguJ ian. yarru: Pasal 5 dan 6 Undang-unddng No,l2 Tahun 2011, Undong-undang No.27 Tahun 2009, Peraturan Presiden No,68 Tahun 2005, dan Peraturan Tata tertib D e w a n P e r w a k i l a n R a k y a t . D e n g a n diundangkannya Undang-Undang No. l2 Tahun 20 I I tentang Pembentukan Peraruran Pemb€ntukan Pemturan Pen-ndang-undangan yang menggantikan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, maka merujuk pada pendapat Maruarar Siahaan tersebut, maka tolok ukumya adalah Pasal 5 Undang-Undang No.12 Tahun 201l, bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus d i l a k u k a n b e r d a s a r k a n p a d a a s a s Pembenhkan Perafu ran Perundang-mdangan yang bailq yang meliputi :

a. Kejelasan tujuan, yang dimaksud d e n g a n " a s a s k e j e la s a n t u j u a n " adalah bahwa setiap Penlbentukan P e r a t u r a n P e r u n d a n g - u n d a n g a n harus menrpunyai tujuan yang jelas yang hendal dicapai;

b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yarg tepat, yang dimaksud dengan " a s a s k e l e m b a g a a n a t a u p e j a b a t pembentuk yang tepat" adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pej abat Pembcntuk Peraturan 152 PL4NAA HUKUM voltone 6 No' or 2 Juli 20ll

(11)

Perundang-undangan yang berwenang. Perafu ran Perundang-undangan lersebul dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak ber$enang; c. Kesesuaian anlara jenis. hierarli, dan

m a t e r i m u a l a n . y o n g d i m a k s u d dengan "asas kesesuaian antara jenis, h i e r a r k r , d a n m a t e r i m u a t a n ' a d a l a h bahua dalam Pcn)bentulan Peraturari Pcrundang-undangcn harus benar.benar m e m p e r h a t i k a n m a t e r i m u a l a n y a n g tepat sesuai dengan jeds dan hierarki Pe.aturan Peiundang-undangan;

d. Dapat dilalsanal<an. l ang dirnalsud dengan "asas dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pemberltukan Perafl nan Perundang-u n d a n g a n h a r u s r n e m - p e r h i t u n g k a n efeLlivitas Peraturan Pcnurdang-undangan tenebut di dalam masyarakat, baik secara fi losofis, sosiologis, mar,rpun luridis.

e . K c d a ) a g u n a a n d a n k e h a . i l g u n a a n . y a n g d i m a k s u d d e n g a n " a s a s kedayagu11aan dan kehasilgunaan" a d a l a h b a h w a s c l r a f P e r a l u r a n P e r -u n d a n g - -u n d a n g a n d i b u a t k a r e n a m c m a n g b e n a r - b e n : r d i b u r u h L l n d a n b e r m a n f a a t d a l a m m e n g a t u r kehidupan bcnrasyarakat, berbangsa, dan bemegara;

f. Kejelasan rumusan, yang dimaksud d e n g a n " a s a s L c j c l a s a n r u m u s a n " adalah bahwa setiap Pemturan Penmdang-undangan harus mcmenuhi pers) aralan teknis penyi.unan Peraturan Perundang-u n d a n g a n . s i s l c r n a t r k a . p r l i h a n k a t a arau istilah. sefla brhasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga

tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya; g. Keterbukaan, yang dimaksud dengan

" a s a s k e t e r b u k a a n " a d a l a h b a h w a dalamPembentuk PeraturanPenuldang-undangan mulai dari perencanaan, pen).usunan, penrbahasan, pcngesahan alau penetapar. d:rn pcnb'undangan bcrsifal

transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan mas5 arakat nrempun) ai k e s e m p a t a n y a n g s e l u a s - l u a s n y a untuk memberikan masukan dalam Pembenlukan Peraturan Perundano-undangan.

Menurut penulis tidak hanya merujuk p a d a P a s a l 5 U n d a n g - U n d a n g N o . 1 2 T a h u n 2 0 1 1 . t e t a p i l u g a P a s a l 6 U n d a n g -Undang No.l2 Tahun 2011. Pasal6 berkaitan dengan proses pembenrukan yang melipuri p r o s e s p e n e n t u a n m a t e r l u n o a n g -undang, sebab penenfuan materi merupakan bagian dari proses pembentukan undang-undang, selain itu apakah penentuan materi undang-undang sesuai dengan a s a s d a l a m P a s a l 6 a t a u ti d a k h a n y a d a p a t d i k e t a h u i d a l a m p r o s e s pembentukannya, bahrva maieri muatan Undang-undang harus mencerminkan asas, yaitu:

a. Pengayoman, yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa s e t i a p M a t e r i M u a t a n P e r a t u r a n Perundang-undangan harus berfungsi m e m b e r i k a n p e l i n d u n g a n u n t u k menciptakan ketentmman masyarakat; b. Kemanusiaan, yang dimaksud dengan

"asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Penndang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;

Kebangsaan, yang dimaksud dengan " a s a s k e b a n g s a a n " a d a l a h b a h w a s e t i a p M a t e r i M u a t a n P e r a t u r a n Perundang-undangan harus mencerminkan s i f a t d a n w a t a k b a n g s a I n d o n e s i a yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuarl Rcpublik Indonesia;

Kekeluargaan, yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap maten muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan prinsip c ,

(12)

musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiappenganbiiankeputusan; e. Kenusantaraan, yang dimaksud dengan

"asas kenusantaraall" adalah bahwa s e t i a p M a t e r i M u a t a n P e r a t u r a n P e r u n d a n g - u n d a n g a n s e n a n t i a s a memperhatikan kepcntingan seluruh wilayah lndonesia dan Materi Muatan Pcratumn Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian d a r i s i s t e m h u k u m n a s i o n a l y a n g berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negan Republik Indonesra Tahun 1945;

f. Bhinneka tunggal ika, yangdimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturall Perundangundangan hanrs memperhati-kan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khLrsus daerah serta budaya dalan kehidupan b e r m a s y a r a k a t , b e r b a n g s a , d a n

bemegam;

g. Keadilan, yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap Mate Muatan Peraturan Perundaog-undangan harus mcncerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga nega,'a;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukurl dan pemerintahan, yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam hu|-um dan pemeintahan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat ha1 yang bersifat membedakan bcrdasr-kan l.lar belakang. anrara lain. agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

i. Keterlibarl dan kepastian hukum, yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat nlelalui jamjnan kepastian huklun.

j. Keseimbangan, keserasian, dan ke-s e l a r a ke-s a n , y a n g d i m a k s u d d e n g a n " a s a s k e s e i m b a n g a n , k e s e r a s i a n , dan kcselarasan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan k e s e i m b a n g a n , k e s e r a s i a n , d a n k e s e l a r a s a n , a n t a r a k e p e n t i n g a n individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

k. Asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing, maksudnya materl muatan Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan", antara lain: dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman talpa kesa]ahan, asas pembi[aan narapidana, dan asas praduga tak bersalah, dalam Hukun Perdata, misalnya, dalamhr <run perjanjian, antara l a i n , a s a s k e s e p a k a t a n , k e b e b a s a n berkontrak, dan itikad baik.

Implementasi asas-asas tersebut lebih lanjut tertuang dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Presiden No.68 Tahun 2005 tentang Tata Cara M empersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan pemerintah Ponggallti Undang-urldang, Rancangan Peraturan Pcnredntah, dan Rancangan Peraturan Prcsiden. P e m b e n t u L a n u n d a n g - u n d a n g d i n r l a i bertentangan dengan asas-asas pembenfukan peraturan perundang-undangan yang baik, harus dibultikan dengan adanya fbkta hukum, misalnya asas penentuan materi atau asas pembentukan pemtu-an pcrundang-undanga:r s e c a r a n l a t e r i i l , b a h w a ji k a d a l a m pembentukan undang-undang ada faktor kesengajaan atau kelupaan tidak melnasuk-kan mate undang-undang sesuai dcngan Pasal 6 perihal asas penentuan materl meliputi: pengayoman; kcmanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahar, k e t e r t i b a n d a n k e p a s t i a n h u k u m ; keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; 154 PRANATA HAKaM yolune 6 Nonot 2 Juli 2011

(13)

dan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing, makapembentukanundang-undang befientangan dengan asas di atas, jika salah satu ketentMn asas di atas dilanggar tentu akan berdampak pada pembatalan undang-undang secara keseluruhan.

Selain itu, misalnya dalam pembahasan Undang-Undang De*,an Perwakilan Ral:yat tidak melibatkan nlasyarakat (panisipasi) atau misalnya tidak kuorum, dan lainnya. J a d i k e t e n t u a n A s a s - a s a s U m u m Penbentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik dijadikan dasar dalam menilar fakta proses pcmbcnn,kan undang" undang, bukan menilai apakah norma hukum Undang-undang yang di uji oleh Mahkamah bertentangan dengan non konstitusi (misalnya Peraturan Tata Tertib). A r t jn y a d a l a m p e n g u j i a n u n d a n g -undang terhadap Undang-undang Dasar I 945 yang drlakrkan olch V.rhkamah Konslitu.i. a d a l a h m e n i l a i f a k t a p e m b e n t u k a n undang-undang apakah telah sesuai dengan konstitusi, khususnya Pasal 5 ayat ( 1), Pasal 20, dan Pasa]21, Pasal22A Undang-undang Dasar 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.27l PUU-VII/2009 merupakan contoh nyata b a h w a p e r t e n t a n g a n n o r m a h u k u m dalam pengujian udang-undang menggunal<an tolok ukur asas-asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dalam pefiimbangan yuridis Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa berdasarkan tolok ukur asas kekeluargaan dan asas keterbukaan terbukti adanya cacal prosedural dalam pembentukan

Undang-undang yang diuji yang pada dasarnya bertentangan dengai kolstitusi, nan]un demi asas kemanfaatan hukum Undang-undang ini dinyatakan tidak berlentangan dengan truD 1945. Pendapat Mahkamah Konstitusiberkaitan hal di atas, yaitu:

a. Adan) a temuan oleh Mal*amah Konsnttsi. berupa cacat prosedur dalam proses pembentukan Undang-Undang yang dimohonkan untLrk diuj i.

harus difahami sebagai koreksi atas proses pembentukan Undang-Undang yang sehma ini drpraktrkkan sebagai telah sesuai dengan LIJD I 945

b. Temuan Mahkamah Konstitusi tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam proses pembentukan Undarlg-Undang agar sesuai dengan UUD 1945, baru disampaikan oleh Mahkamah dalam putusan perkara a quo sehingga tidak tepat kalau diterupkan untuk menguj i proses pembentukan Undang-Undang sebelun putusa,:r ini;

c. Meskipun terdapat cacat prosedurai dalam pembentukan UU a 4ro! namun secara materiil Undang-Undang tersebut tidak menimbulkan peNoalan hukum

d. Apabila Undang-Un dang a quoyangcacat prosedural tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena: (i) dalam Undang-Undang a 4ao justru terdapat substansi pengaturan

yang isinya lebih baik dad Undang-Undang yang diubah; (ii) sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalarrr sistem kelembagaan yang diatur dalam Undang-Undang .? qro dan yang berkaitan denganberbagai Undang-Undang, antara lain Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kelnasaan Kehakiman, Undang-Undang N0.49 Tahun 2009 tentang Perubahan KeduaAtas Undang'Undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan U m u m . d a r l e r r b a g a l a i n . e p e r t i hubungan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung yang sekarang telah berjalan berdasarkan LJtl 3/2009; e. Atas pcrtimbangan tersebut dan deml

asas manfaat untuk tercapainya tujuan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa UU yang dimohonkanpengujian tersebut tidak perlu dinyatakan sebagaiIILI yang tidak mempunyai kekuatan hukum mcngikat; artinya Undang-Undang a 4uo tetap mempunyai kekmtan hukm berlaku. Analkk Ptaktik Pcnsujian FormiL UU Terhadap UUD t915. .(Tdnta Lailan) 155

(14)

Cacat prosedural dalam pen]bentukan peraturan pcrunoang unalangan yang ditemukan Mahkanrah Konslitusi terkait fakta dilanggarnya asas kckeluargaan: "Menimbang bahwa dalan rapat pleno Tahap II pengesahan RUU perubahan Undang Undang tenlang Mehkamah Agung, setelah Ketua Sidang menawarkan persetujLlan RUL: kepada peserta sidang,

seotang peserta sidang Ijahyo Kunolo m engaj ukan in t etup s i d e nge n n e 4,a takan,

"Interupsi Ketuu, saya Tjahyo Kttmolo. Saya kira clari Ketua sudah menyampaikan fraksi-fraksi ndna lat1g e erina dan fraksi mana yang me alak. Sala kiruada

m e k a n i s m e s e b e l u n p e n g a n b i l a n k e p u r t ' s , . t n p . t i t i k D P R p o d a h a t i i n i Apakah akan dikompronikan kembali lewat mekanhne lobby atau karena ada yang menolak, (naka) nenggLtnalcan

mekanisne v()ting.

Kalau votittg, saya kira tidak menenuhi knrun pada malam hari t l melihat jumlah yang hadir Ataukah k;bby ataukah cukup disampaika sebageimana yang ketud sampaikan, atau ditltnld pengesdhan la menunggu kuorum-nya peserta.Ini ha la lawdran saja yangsayd s ampaikan ". Mahkanah bcryendapat apa yang ditawarkan dalanr interupsi tersebut adalah berkaitan dengan mekanisme pengambilan keputusan yang ditcmpuh oleh DPR, dan hal ini diatur dalam Pcraturan Tata Tefiib DPR Nomor 08/DPR RI/2005/2006. Pasal205 Peratunn Tata Tertib DPR2005/ 200b menyarakan. a;tar /1, Pctganbilan keputusan ddlam rapat DPR pada dasartt) a diu'altakan seiauh mufigkin dcngan , ara ntt., ou arolt uutuk n, ncapa; nu/hkat", dan "ayat (2) Ap.tbila cara pengambilan lceputusa sebagaimana

dimalcsud pada ayat (l) tiddk teryenuhi, keputusan dianbil berdasarkan suara terbanya('

Undang-Undang yang dimohonkan pergujiannya oleh para Pemohon telah melanggar ketentuan formil pengambilan 156 PRANATA HUKUM l/olu e 6 Namor 2

k e p u t u s a n y a n g b e r l a k u p a d a w a k t u itu, yaitu Pasal 205 Peraturan Tata Tertib D P R N o m o r 0 8 / D P R R l / 2 0 0 5 - 2 0 0 6 , yaitu. ayat (l) Pengambilan keputusan dalam rdp.rt DPR pada dasarnya tliusahakan sejatrh mungkitt dengan cara musyd\rdrah untuk mencapai mu/Akat , dan "ayal (2) Apahila cara pengambllan keputusan sebdgaimana climaksud pada ayat (l) tidak terpenuhi, kepulusan dianbil berdasarlcan suara terbanyak" dan Pasal 20 UUD 1945 sehingga cacat prosedur. Asas kekeluargaan yang di m a k s u d d e n g a n a d a l a h b a h u a s e t i a p materl Dluatan peraturan perundang-undanganharus menceminkan ruusyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Sekalipun pcmbentukan undang-u n d a n g d q a o b e r t e n t a n g a n d c n g a n asas kekeluargaan, namun oleh Mahkamah Konstitusi tidak dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dalam konteks inipenulis memiliki pendirian yang sama dengan Mahkamah Konstitusi dengan berbagai alasan, yal,t\! Pertdna, bahwa proses pembentukan hukum akar bcrimplikasi pada baik-buruknya materi yang di kandungnya, prosedur yang salah tidak selalu menyebabkan Undang-undang tersebut bermateri buruk, dan undang-undang 4 quo secara materiil tidak menimbulkan persoalan hukum dan.justru terdapat.ub.tan.i pengal,rran lang i. inl a lebih baik dari Undang-Undang yang d i u b a h . S e h i n g g a t i d a k t e p a t j i k a d j n y a l a l a n b e r t c n l a n g a n d e n g a n u n d a n g -undang dan tidak mempunyai kekuatan hukun nengikat.

Senada dengan pcndapat Mahkamah, penulis sependapatUU 17 quo dengan tidak dinyatakannyabeftentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, mengingat implikasi yang ditimbulkan berakibat teryuruknya sisten hukum dalanr pengaturan ke-lembagaai Mabkamah Agung dan hubungan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial, Juli 2All

(15)

l e b i h m e n g u t a m a k a n s u b s t a n s i d a r i pada prosedur pembeltukan. Alasan u t a m a p e n u l i s s e p e n d a p a t d e n g a n m e n g u l a m a k a n k e m a n f a a t a n . e b a g a i salah satu tujuan hukum untuk mewtjudkan s e m a l a - m a l a a p a y a n g b e r f a e d a h b a g i orang banyak. Sebab jika dinyatakan bertentangan denganUndang-UndangDasar

1945 justru akan merusak sistem hukum itu sendiri, menyebabkan hukum tidak bermanfaat dan lebih parahnya adalah m e n i m b u l k a n k e t i d a k p a s t i a n h u k u m hubungan kelembagaan MahkamahAgung dan Komisi Yudisial yal1g diatur dalam Undang-undang a quo.

Asas keterbukaan menjadi tolok ukur dalam pengujian undang-undang a quo, namun asas ini dikesampingkan o l e h M a h k a m a h K o n s t i t u s i , d a l a m menggunakan tolok ukur "asas keterbukaaf', Mahkamah Konstitusi tidak konsisten (l) Mahkamah tidak memperlimbangkan dalil pemohon bahwa pembenhrkan undang-undang a 4iro bertentangan dengan asas keterbukaan dalam Undang-undang No. I 0 Tahun 2004, tetapi justru membartah bahwa dalam pengujian undang-undang d i M a h k a m a h K o n s t i t u s i t o l o k u k u r yang digunakan adalah Undang-undang Dasar, bukan undang-undang. (2) tidak konsisten dalan] menggunakan ketentuan n o n k o n s t i t u s i , s e b a b m e r u j u k p a d a pendapat pada kajian a).asas kekeluargaan d i a t a s , b a h w a V a h k a n r a h K o n . r i r u s i menggunakan Pasal 205 Peraturan Tata Tedib DPR Nomor 08/DPR RI/2005/2006, yaifi: elat (l) Pengambilan keputrsan dalam rapdt DPR pada dasarnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah wltuk mencapai ufakal , dan "aydt (2) Apabila cara pengambildn keprtusan sebagaimana clinaksud pada ayat (l) tidakterpenuhi, keputusan .liambil b erd as arkan suara t etb any ak", blkalr kah ketentuan Pasal 205 te$ebut merupakan elaborasi asas kekeluargaan dalam Pasal 6 Un dang-Undaig No.l0 Tahun 2004.

Alasan asas kemanfataan sebagai tujuan hukum dalam pertimbangan Mahkamah merupakan as as-as a s pembentukan peratr.rmn perudang-undangan yangbaikjuga, mengenai asas tujuan yang jelas dan asas perlunya pengaturan

dari undang-undang, dalam arti bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dibentuk untuk mengatasi keadaan-keadaan yang menimbulkan permasalahan hukum ( V a n d e r V i i e s , 2 0 0 5 : 2 5 8 ) . A l a s a n pengeyampingan asas keterbukaan dalam putusan initentunya demi asas kemanfaatan sebagai hrjuan hukrun (asas tu.juan yangjelas). Secara I tloco fis ruj ua n h ul'um adalah mencapa i kedamaian, kedamaian dalam aI1i keserasian antara nilai keteftiban dengan ketentraman @umadi Purbacaraka dan Soedono Soekan,J,

1993:5).

Berdasarkan tujuan fi losofi s tersebut, m a k a d s a s l e m a n f a a t a n d a r i r i n d a , r g -undang adalah undang-undang tersebut memberikan kontribusi bagi penataan kelembagaan hubungan Komisi Yudisial dar Mahkamah Agung yang dalam undang-undang terdahulu menimbulkan banyak permdsaldhan. A"as perlunya pengaruran merupakan asas bahwa pembeltukan undang-undang yang berkaitan dibeituk untuk mengatasi masalah (Yuliandri, 2 009 : 142), jadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dibentuk untuk mengatasi pennasalahan kekosongan hukum.

3. Putusan Pengadilan

Ketentuan non konstitusi lainnya adalah putusan pergadilan pidana, dalam p a n d a n g a n S a l d i I s r a ( 2 0 1 0 ) b a h w a proses pembentukan Undang-undang melupakan masalah yang masih sering diperdebatkan dan sering diabaikan dani atau dilanggar aturan pioses pembentukan nya, yaitu dalam hal hubungan DPR dan DPD, partisipasi publik dalam pembentukan Undang-Undang, kehadiran anggota DPR dalam proses pengambilan keputusan di Rapat Panpuma, dan dalam hal terkuaknya praktik Analisis Plaktik Pensujian Fomil UU Terhodap UUD 1945 . Odnto Lailan) 157

(16)

moral haaard berupa suap dan/ atau korups i dalanl proscs pembentukai Undang-undang. Pandangan Saldi Isra ini sangat terkait dengan fakta tentang proses pembentukan Undang-undang yang hanya bisa dibuktikan dengan fakta-fakta yang a d a b a i k d i p e f s i d a n g a n m a u p u n n o n persidangan, sebagai nrisal praktik suap dilakukan dihotel, dan tempat lainnya.

Pasal l8 ayat (l ) PMK No. 06/PMK./ 2005 tenlang Pedoman Beracara Dalam Perkara Penguj ian Undang-Undang diatur, d a l a m h a l p e m o h o n m e n d a l i l k a r r adanya dugaan perbuatan pidana dalam p e m b e n t u k a n U n d a n g - U n d a n g y a n g dimohonkan pengujiannya, Mahkamah d a p a t m e n g h e n t i k a n s e m e n t a r a p c -meriksanaan permohonan atau menunda p u t u s a n . K o n s c k u e n s i d a r i p e n g u j i a n tbrmil, apabila pefmohonan diterima dan p e n b e n t u k a n p e r a t u r a n p e r u n d a n g -undangan dipandang terbukti bertentangan dengan UUD 1945 maka undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut akan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, k h u s u s n y a b c r t c n t a n g a t d e n g a n a s a s keterbukaan dalam pembentukanundang-undang (Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah KonstitLrsi, 2010:95). Alasannya disamping yang telah dipaparkan diatas termasuk karena adanya cacat huL-um dalam kehendak (misalnya suap) yang menyebab-kan undang-undang dibentuk bukan atas wewenang kelembagaan yang diatur jelas dalam UUD 1945 (Maruarar Siahaan, 2005:25).

Jika dalam proses penbentukan nya d a p a t d i b u k t i k a n a d a n y a t i n d a k pidana, misalnya slLap dan korupsi, untuk pembuktian adanya tindak pidana tersebut harus adanya putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tctap. Tindak pidana d a l a m p e m b e n t u k a n u n d a n g - u n d a n g benenBrgar I dengan Pasal I a) al { I r L ndang-undarg Dasar Iq45 bahu J negam lndoncsia adalah negara hukun.

B e r k a i t a n d e n g a n p r a k t i k s u a p dan korupsi dalam pembentukan Undang-undang. maka praklik suap dan korupsi harus dibuktikan melalui peradilan pidana yang hasilnya berupa "putusan pengadilan", jika ternyata dalam putusan pengadilan

pidana tersebut terbukti terjadi praktik suap dan korupsi dalam pcmberltukan undang-undang, maka menurut penulis bahwa "putusan pengadilan" tersebut Juga dapat dijadikan sebagai tolok ukur

dalam menentukan suafu undang-undang bertentangan dengan Undang-undang D a s a r 1 9 4 5 . S y a r a t s e b u a h p u t u s a n pengadilan dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai pertentangan nonna adalahl ( l ) d a l a m p e n g u j i a n f o r m i l t e r s e b u t , pemohon berpendapat bahwa undang-undang yang di uji mengandung cacat hukum karena pembentukannya di duga telah tedadi tindak pidana dan Mahkamah menilai permohonan pemohon lersebut terbukti; (2) putusan pengadilan pidarla tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.

C. PENUTT]P Kesimpulan

Tolok ukur yang digunakan dalam menilai pertentangan norma dalam penguj ian formil Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945 adalah adalah ( , ketentuan konstitusi, baik Pembukaan UUD

1945 (Pancasila) maupun Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar I 945, bertentangan dengan pembukaan (Pancasila) adalah d a l a m p r o s e s p e m b e n t u k a n u n d a n g -u n d a n g b e r l e n l a n g a n d e n g a n n l l a i -nilai Pancasila, sedangkan bertentangan dengan Pasal-Pasal dalam arti proses pembentukan tidak sesuai dengan norma k o n s t i t u s i . ( 2 ) T o l o k u k u r A s a s - a s a s Pembentukan Peratuan yang bai! (3 ) Tolok ukur putusan pengadilan pidana, dalam hal ini tolok ukur ini untuk membuktikan adaDya praktik suap atau korupsi dalam proses pembennlkan undang-undang, putusan 158 PRANATA HLIKIJM Volune 6 Nontor 2 Juli 20tt

(17)

pengadilan sebagai bukti sahih terjadi nya tindak pidana.

Saran

Saran yang diperlukan, yaitu perlu dipertegas penggunaan tolok ukur dalam pengujian formil (termasuk kriteria dan batasannya) dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, baik Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Asas-asas Umum Pembentukan PeGturan Perundang-undangan yang baik. Hal ini diperlukan agartolok ukur tersebut dapat dijadikan landasan praktik dalam menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan sebagai nilaidasar dari negara hukrm.

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Asosiasi Pengajar Huk-um Acara Mahkamah Konstrtrsi, Hulcum A.ara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Kon.titu.i. Jakarta,20l0.

A.Hamjd. S. Attamimi, Diserlasi "Peranan Keputusa Plesiden Republik Indones ia Da lam Menyelenggara kan Pemerintahan Negara, Suetu Studi Analisis Mengenai Keputusan Prcsiden yang Belfungsi Pengaturatl Dalam l..wun Itraktu Pelita I- Pelita 1trl, Program Doktor Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.

BagirManan. Teori da n Pol it i I Konst i tusi. FH UII Press, Yogyakarla, 2003. Fatmawati, Hak Menguj i (Toetsingrecht)

Yang Dimiliki Hakim Dalam Siste Hukum Jndonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2005.

Haiono, Kotxslitusi Sebagai Rumah Ba gsa, Sekjen MKRI, Jakarta, 2008.

I Dewa Gede Palgnna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Rerie\r da

WeUArc &ate, MKRI, Jakarta, 2008.

lazim Hamid| Retolusi Hukum Indonesia; MaAna. Kecluclukan. dan implil<a\i Hukum Naskah Proklamasi l7 Agustus 194 5 dalam Sistem Ketatanegaraan RI,Konpres, Jakarta, 2006.

Jirnly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Pe afsilct Hukum Tata Negar-, InHilco, Jakata, 1998.

--, 2005, Model-Model Pengujian Kons titusional di B erbagai Negar,., Konpress, Jakarta.

, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yasrif Watampone , Jakada, 2006.

Mahfud MD, Konsllasi dan Hukum dalam Kontloversi 1su, Raj awali Pers, Jakarta,2009.

-, Perdebotan H kum Tata Negara P o s c a A n a n d e m , n K o n r t i t u \ i , Rajawali Pers, Jakafi a, 2010.

Maria Farida Indrati Soeprapto, 11zl P enndan g-un d an gan ; D as ar- d as a r dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.

M a r u a r a r S i a h a a n , H u k u m A c a r a Mahkanah Ko stitusi Republik lrdoresia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Pumadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano, Ikthisar Anti omi: Aliran FllsaJat Sebagai La dasdn Filsafat Hukun, CYRajawali, Jakada, 1993.

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislas, V e n g u a t n y a M o d e l L e g i s l a s i P a r l e m e n l e r D a l a m S i s t e n l Ples idens icr I Indo ne s ia, Rajaw a1i Press, Jaka1ta,2010.

Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Eld,a, Perkembangan Penguj ian P e rund an g-u nd a nga n d i M a h kam a h Ko ns titusi (Dali B erhttlotm Tekstual ke Hukum Progresifl, Pusat Studi KonstitusiFakultasHukunrUniversitas Andalas dan Sekjens dan Kepaniteraan MKRI, Padang dan Jakafia, 2010.

(18)

Srj Soemantri Maftoso e\rlgnjo, Hak Me guji M a I e t i, t l J i / r J . , n . , . i J , A l u m n i , Bandung,1986.

Van derVlies, r&fa Pegangan Perancang Pe r a Lu r a n P e r u n dang- U nda n gan, t e r j . L i n u s D o l u d j a w a , D i r j e n d Peraturan Perundang-Undangan, Depanentcn Hukurn dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005.

Yuliandri, -lsas-,4sas Pembentukan Pe tatura n Pe rundang-undangan

Ya g Bailc. Gagasan Penbentukan Undang undang B er ke I anju tan, Rajanali Pers, Jakarta, 2009.

Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan S p , ? m a s i H u A u n d i l n d o t t . s i a (Cotaran dan G,?gd.d,r,. Sekrelarial Jendral Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jaka a,2002. Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di

Mahkamah Agung; Tiga Dekade Pe gujian Peraturdn Perunclang-Ltndallgan, l{ajawali Pers, Jakarta,

2009.

Makalah :

Machn]td Aziz, A s p e k- As p e lc Ko n s t I tu s i o n a I P e nb entukan P er atura Perundang-undanga , JnmalKoistitusi Volume 3 Nomor 3 September2006

Malfud MD, dalam " Pancasila Scbagai Dasar Ideologi Negara", bahan pada Kuliah Umun di Fakultas H kun UII, Yogyakafta,6 Jrui 2011.

M.Fajn-rl Falaakh, "Menggagas "Constitutional Review" di Indonesia", Kampas Edisi Sabtu 03 April 2000

, Skema Canstitutianal Re err di Indonesia: Tinjauan Kritis, I]ufial Milnbar Hukum No.3 8,[/200 I

- K , ' n . , t ; t u \ i D o l o n B , r h o g o i I o p i ' t 1 \ 1 a A n a . J u r r ' a l K o n s t i t u s i Volume 3 Nomor 3 September2006. R . M . A . B W i r a k u s u m a , B a g a i m a n a

Mengin|erpretdsika Ka stitusi Kitd, Jwnal Konstitusi Vol.I No.3 Mei2005

Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar 1 945

Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. l0 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peratu.an Perundang-Undangan

UndangNo.8 tahun 201I tentang Perubahan Alas Undar)g-Undang \o.24 lahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi L ndang-[ ndaug No. l2 Tahun 20 | I renlang

Pembenrukan Peraturan Perrndang-Undangan

P e r a t u r a n M a h l a m a l r K o n : L i r . r s r N o . 0 u PMK/2005 tentang PcdonEn Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-undang

Putusan Mahkamah Konstitusi :

Putusan Mahkamah Konstitusi No.o1 8/Pl,1J-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Propinsi Irian Jaya

Putusan Mahkamah Konstitusi No.27,trIru-VII/2009 tentang pengujian Ulrdang-Undang No.3 Tal'run 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.l4 Tchrul lq85 renrang \4ahi..amah Agurg

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan tidak signifikan variabel profesionalisme sebesar 0,184 dengan nilai signifikan sebesar 0,086&gt;0,05

Sehingga dapat disimpulkan bahwa mind mapping melalui brain based learning pada materi ikatan kimia di kelas eksperimen lebih berpengaruh positif terhadap hasil belajar

Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah subjek masih belum memadai untuk dilakukan generalisasi pada kasus yang lebih luas, perlu menentukan kriteria inklusi subjek

“Warga disini sudah terbiasa dengan pernikahan siri, mereka tidak akan asing jika melihat orang yang melakukan pernikahan siri, karena ini sudah terjadi sejak lama sekali dan

Dilihat dari orang yang membuat keputusan,euthanasia dibagi menjadi: 1 Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan Involuntary

26 Terdapat lima aspek pada penggunaan sutur yang dilihat menjadi isu dalam menyumbang kepada perlunya pensijilan halal bagi produk peranti perubatan, iaitu

Event Organizer atau sering disebut EO tidak jauh beda pengertiannya dengan sebuah kepanitiaan. Mulai dari level ‘Perpisahan Sekolah’ sampai ‘Pindah Jabatan’, EO

Bagi Warga Jemaat yang membutuhkan Pelayanan Khusus atau berkeinginan terlibat dalam kegiatan Sektor, Ibadah Rutin dapat menghubungi Koordinator Sektor masing