• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Naluri dasar manusia adalah selalu memerlukan manusia yang lainnya dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Naluri dasar manusia adalah selalu memerlukan manusia yang lainnya dan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Naluri dasar manusia adalah selalu memerlukan manusia yang lainnya dan bahkan juga ingin mengelompok antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hal ini1 sebagaimana yang disampaikan oleh Aristoteles bahwa manusia dikenal sebagai kelompok masyarakat (zoon politicon), maksudnya manusia tidak dapat hidup dalam isolasi atau terpencil sendiri, karena sudah nalurinya untuk hidup berdampingan dengan sesamanya. Selanjutnya hal ini2 juga oleh sarjana Belanda, Hugo Grotius menyebutkan keinginan bermasyarakat itu sebagai

Appertilius Societali, maksudnya sebagai realisasi dari keinginan hidup

bermasyarakat. Keinginan itu secara lebih luas diwujudkan dalam hubungan-hubungan antar kelompok, seterusnya antara negara-negara dalam masyarakat internasional. Keadaan inilah yang menjadi dasar dari timbulnya aktivitas komersial seperti aktivitas perdagangan3 dan bentuk-bentuk aktivitas komersial lainnya, baik yang dilakukan secara individual ataupun secara kelompok dalam

1 Iwayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm.

11.

2 Syahmin AK, 1997, Hukum Internasional & Publik, (jilid 4), PT Bina Cipta, Bandung,

hlm. 434-455.

3 Perdagangan merupakan aktivitas komersial awal yang dilakukan oleh manusia, para

pedagang dalam memenuhi kebutuhan hidup atau untuk memperoleh laba, dimana ketentuan-ketentuan hidup ataupun hukum yang mengatur aktivitas perdagangan tersebut. Pada abad-abad pertengahan, dibangun dan dikembangkan sendiri oleh para pedagang tersebut yang dikenal dengan Lex Mercatoria atau the law merchant, termasuk hakim dalam pemeriksaan dan pemutusan perkara dalam aktivitas perdagangan tersebut (merchantile dispute) juga dilakukan oleh pedagang sebagai hakimnya. Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip keadilan yang terkandung dalam “the law merchant”, menjadi dasar pembangunan hukum dagang diantara negara-negara di dunia. Lebih jauh baca Bab I dari buku “Commercial Law” yang ditulis oleh Roy Goode, edisi ke-3 terbitan Penguin Books, hlm. 1-23, dengan sub judul “The nature and source of commercial law”.

(2)

bentuk korporasi, tidak hanya pada cakupan nasional, akan tetapi juga internasional4, dimana akibat dari aktivitas komersial ini dapat menimbulkan perselisihan, baik yang terjadi antara suatu perusahaan, nasional maupun dari negara lain, dengan perusahaan, nasional maupun dari negara lain; antara sutu perusahaan, nasional maupun dari negara lain, dengan suatu pemerintahan, dalam negeri maupun asing; atau antara pemerintah dalam negeri dengan pemerintah asing.

Transaksi komersial umumnya didasarkan pada hubungan simbiosis mutualisme, kepercayaan (trust) di antara para pihak, namun hal itu tetap tidak akan dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya perselisihan di antara para pihak. Perselisihan tersebut dapat menimbulkan sengketa. Sengketa dapat terjadi setiap saat karena akibat timbulnya keadaan yang sekilas tampak tidak berarti dan kecil sehingga terabaikan. Biasanya muncul secara tiba-tiba dan tidak disangka-sangka, atau dapat terjadi tanpa diperhitungkan sebelumnya. Sejak awal kehidupan, manusia telah terlibat dengan masyarakat disekitarnya yang penuh dengan pertentangan, dan bersamaan dengan itu sejarah hukum berlangsung secara pararel dan yang selanjutnya dimanapun dapat saja diketemukan seseorang yang bertindak sebagai penengah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul secara adil dan tidak memihak5.

Sengketa tersebut tentunya memerlukan penyelesaian. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan dan di luar pengadilan.

4 Ricardo Simanjuntak, “Azas-azas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang

Internasional Sebuah Tinjauan Hukum” dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 4 Tahun 2008 “Kajian Hukum Kontrak Internasional” hlm. 13.

5 Priyatna Abdurrasyid, 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)

(3)

Bentuk penyelesaian sengketa yang amat dikenal dan sudah lama digunakan oleh orang adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini, di mata para pelaku usaha, sering kali menimbulkan permasalahan6, yang diantaranya adalah:

(1) lamanya proses beracara di persidangan perkara perdata;

(2) panjang dan lamanya tahap penyelesaian sengketa dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung;

(3) lama dan panjangnya proses penyelesaian melalui pengadilan membawa akibat pada tingginya biaya penyelesaian sengketa (legal cost) tersebut; (4) persidangan dilakukan secara terbuka, padahal di sisi lain kerahasiaan

merupakan sesuatu yang diutamakan dalam kegiatan bisnis;

(5) hakim yang memeriksa sengketa tersebut seringkali dilakukan oleh hakim yang kurang menguasai substansi sengketa/permasalahan yang berkaitan dengan perkara yang bersangkutan;

(6) adanya citra dunia peradilan di Indonesia yang tidak begitu baik di mata para pelaku bisnis.

Penegasan mengenai diperbolehkannya penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dapat diketahui dari penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

6 Editorial “Mencari Solusi Alternatif”, dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21,

(4)

Kehakiman (undang-undang ini sudah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan terakhir kali diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009), yang menyatakan bahwa “penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan”, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi oleh pengadilan.

Pada saat pembentukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ini, pembentuk undang-undang belum memiliki visi yang tegas mengenai arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa oleh karena arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa tersebut hanya dimasukkan dalam bagian penjelesan dan bukan di dalam batang tubuh undang-undang tersebut. Namun demikian penegasan pada bagian penjelasan tersebut dapat dikatakan sebagai perkembangan yang fundamental, karena pada dasarnya merupakan penegasan pemerintah tentang keberadaan lembaga arbitrase disamping peradilan umum. Kemudian, melalui ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, pemerintah, melalui pembentuk undang-undang, telah memiliki visi yang tegas dan jelas mengenai arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa dengan memasukkan ketentuan tentang arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa ke dalam batang tubuh undang-undang tersebut, dengan menyebutkan bahwa “upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.

(5)

Pada waktu pemerintahan Hindia Belanda menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) golongan berdasarkan Pasal 131 dan Pasal 163

Indische Staastregeling (IS). Berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi

golongan Eropa, dan mereka yang disamakan, berlaku hukum negeri Belanda yang juga disebut hukum barat, sedang bagi golongan Bumiputera, dan mereka yang disamakan, berlaku hukum adat mereka masing-masing. Selanjutnya bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya berlaku hukum barat dengan beberapa pengecualian. Apabila ada kepentingan umun dan kepentingan sosial yang dibutuhkan, maka bagi golongan Bumiputera dapat juga diberlakukan hukum barat7.

Perbedaan golongan tersebut membawa konsekwensi terhadap keberadaan badan-badan peradilan maupun hukum acara pemeriksaan perkara, di antaranya bagi golongan Bumiputera dan mereka yang disamakan kedudukannya menjadi wewenang Landraad, yaitu peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik dan sebagainya. Disamping itu, hukum acara yang dipergunakan untuk beberapa daerah juga berbeda bahkan sampai saat ini masih dirasakan akibat adanya penggolongan penduduk pada jaman pemerintahan Hindia Belanda tersebut8.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, hukum acara perdata pada Pengadilan Negeri dilakukan dengan memerhatikan ketentuan Undang-Undang Darurat tersebut adalah sebagai berikut:

7 Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, 2000, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hlm. 10.

8 Cicut Sutiarso, 2011, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, Yayasan

(6)

yaitu untuk daerah Jawa dan Madura yang berlaku adalah Het Herziene

Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia Yang Diperbarui: S.: 1848

No. 16, S. 1941 No. 44), sedangkan untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura berlaku Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg. atau Reglemen Daerah Seberang: S. 1927 No. 227)9.

Dasar hukum berlakunya arbitrase dinyatakan di dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 R.Bg yang intinya berbunyi: “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Meskipun pasal tersebut memberi kemungkinan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, akan tetapi tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai arbitrase di dalam HIR maupun R.Bg. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, diterapkan ketentuan yang terdapat di dalam hukum acara perdata bagi semua golongan yaitu Reglement op de

Bergerlijke Rechtsvordering (B.Rv) pada Buku Ketiga, Bab Pertama, Pasal 615

sampai dengan Pasal 651 yang mengatur tentang putusan wasit (arbitrase)10. Ketika pemerintahan dilakukan oleh Jepang yang menggantikan kedudukan penjajahan Belanda, dibentuk peradilan yang berlaku bagi semua orang Tihoo

Hooin. Badan peradilan ini merupakan kelanjutan dari Landraad, dan hukum

acaranya tetap berdasarkan HIR dan R.Bg, sehingga pada waktu penjajahan

9 Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

cetakan pertama, edisi ketujuh, hlm. 6.

(7)

Jepang tersebut penyelesaian perkara arbitrase tetap menunjuk berlakunya ketentuan di dalam B.Rv Pasal 615 sampai dengan Pasal 65111.

Setelah Indonesia merdeka, melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan usaha mengisi kekosongan hukum, jadi penyelesaian perkara arbitrase tetap berdasarkan ketentuan yang ada di dalam B.Rv atau Rv. sebagaimana dimuat di dalam Buku III bagian Pertama “Rechtsvordering (Rv)” dan merupakan Undang-Undang Arbitrase Nasional di awal kemerdekaan negara kita serta berlaku sampai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa12.

Kurang lebih berjalan 7 (tujuh) tahun setelah berlakunya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tepatnya pada tanggal 3 Desember 1977, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Marsekal Purn. Soewoto A. Sukendar memrakarsai berdirinya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Jakarta bersama Prof. Soebekti, S.H., Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Haryono Tijtrosoebono Ketua IKADIN, Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D., dan J.R. Abubakar, S.H. Hingga saat ini BANI merupakan arbitrase dalam bentuk lembaga (institusional) yang tertua di Indonesia13.

Akhirnya berdasarkan keadaan di atas dihubungkan dengan perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan baik nasional maupun internasional yang

11 Ibid, hlm. 13.

12 Bab XI Ketentuan Penutup Pasal 81 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

13 Hartini Mochtar Kasran, “Memahami Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Makalah Seminar Tentang “Arbitrase (ADR) dan E-Commerce”, 6 September 2000, Surabaya, hlm. 7.

(8)

menuntut suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui arbitrase atau bentuk lain dari alternatif penyelesaian sengketa, Pemerintah Indonesia berhasil menyusun dan memberlakukan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut14.

Arbitrase adalah lembaga hukum alternatif untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan15. Arbitrase sebagai institusi telah dipergunakan jauh sebelum mulai berlaku Common Law dan ada yang mengatakan bahwa arbitrase adalah cara menyelesaikan sengketa yang paling tua antara manusia16. Istilah arbitrase dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat17. Para pihak, baik yang mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami sengketa yang tidak mampu diselesaikan melalui musyawarah, sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada pengambil keputusan dengan cara-cara yang telah mereka tentukan bersama. Dengan cara ini, para pihak menghindari

14 Ibid, hlm. 8.

15 Hunter, Martil el., 1993, The Freshfields Guide to Arbitration and ADR, Kluwer,

Deventer, page 1: “The methods of resolving contract disputes may be devided into four main categories: -direct negotiation, -third party assisted (ADR,), -arbitration and –national courts”. Dikutip dari “Laporan Akhir Penelitian Tentang Hukum Tentang Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan (Alternative Dispute Resolutions)” oleh M. Yahya Harahap, S.H., Departemen Kehakiman RI Badan Pembinaan Hukum Nasional.

16 Komar Kantaatmadja, ”Beberpa Permasalahan Arbitrase Internasional,” Serangkaian

Pembahasan Bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia pada Temu Karya Hukum Perusahaan Dan Arbitrase, kantor Menko Ekuin dan Wesbang Bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta 22-23 Januari 1991, hlm. 4-5.

17 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu

(9)

penyelesaian sengketa melalui badan peradilan umum18. Priyatna Abdurrasyid19 berpendapat bahwa arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa-aps yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya – ketidak-sefahamannya-ketidak-sepakatannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter-majelis) ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim/peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut terdahulu untuk sampai kepada putusan yang final dan mengikat. Oleh karena itu dikatakan bahwa arbitrase adalah hukum prosedur dan hukum para pihak (“law of procedure” dan “law of the parties”).

Cara penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase ini merupakan pilihan logis dan banyak digunakan oleh para pengusaha terutama pengusaha-pengusaha yang berasal dari negara yang berbeda, penyebabnya adalah karena pihak asing umumnya kurang menyetujui dan merasa khawatir jika permasalahan hukum yang timbul dari kontrak dagang yang telah disepakati akan diputus oleh hakim negara lain dari negaranya. Hal ini dikarenakan sebagai pengusaha asing, mereka agak kurang paham dengan formalitas-formalitas berperkara di negara lain20. Arbitrase luar negeri merupakan salah satu cara menyelesaikan sengketa yang timbul dari kontrak/perjanjian, disamping cara menyelesaikan sengketa yang

18 Goodpaster et al., 1995, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan

Arbitrase Dagang di Indonesia, dalam Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2 (Arbitrase di Indonesia), Ghalia Indonesia, hlm. 19.

19 Loc. Cit.

(10)

lain, seperti negosiasi yang langsung dibantu oleh pihak ketiga atau melalui pengadilan domesitk. Disamping itu, penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase bukanlah suatu hal yang baru.21

Alasan lain mengapa pengusaha lebih menyukai pemakaian arbitrase dalam penyelesaian sengketa, yaitu dengan menggunakan arbitrase tersebut sengketa dapat lebih cepat diselesaikan dan lebih memuaskan dikarenakan dewan abitrase umumnya terdiri dari tiga orang arbitrator yaitu dua orang arbitrator ditunjuk oleh masing-masing pihak dan satu orang arbitrator dipilih bersama-sama, rata-rata adalah orang yang ahli dalam hal-hal yang dipersengketakan22. Sehingga diharapkan putusan yang dikeluarkan akan lebih cepat dan tentunya diharapkan pula putusan ini akan lebih memuaskan para pihak23. Alasan berikutnya penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan dagang diantara mereka. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa24.

21 Elkouri Frank et. al,. How Arbitration Works, (Wasingthon, 1974), page 2. sebagai

dikutip oleh Soebekti, “Memahami Arbitrase”. Seminar sehari Arbitrase, 16 November 1988, Yayasan Triguna, Kadin, Beni di Jakarta, November 1988, Varia Peradilan, Majalah Hukum Bulanan, Tahun IV No. 40, januari 1989. hal 1110 : Arbitration is a simple proceesing voluntary chosen by parties who want adisput determined by an impartial judge of their own mutual selction, whose decision, based on the merit of the case, they agreed in advance to accept as final and binding.. dikutip dibuku Dr. Tineke Louise Tuegeh Logdong, Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New York 1958.

22 Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Op. Cit., hlm. 38.

23 Huala Adolf, 2002, Arbitrase Komersial Internasional, Grafindo, Jakarta, hlm. 48. 24 M.CW. Pinto, ”Structure, Process, Outcome : toughts on the “essence” of

International Arbitration”, Leiden Journal of International Law, vol 6 No. 2 (agustus 1993), h 243, sebagaimana dikutip dalam buku Erman Rajaguguk, 2000, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Paratama, Jakarta, hlm. 2.

(11)

Arbitrase itu sendiri biasa digunakan oleh para pengusaha, baik nasional maupun internasional, sebagai suatu cara perdamaian25 untuk memecahkan ketidaksefahaman pihak-pihak dibidang kegiatan komersial. Sementara sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, berdasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, adalah sengketa-sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Perdagangan merupakan aktivitas komersial awal yang dilakukan oleh manusia, para pedagang dalam memenuhi kebutuhan hidup atau untuk memperoleh laba, dimana ketentuan-ketentuan hidup ataupun hukum yang mengatur aktivitas perdagangan tersebut.

Dalam Pasal 1 ayat (1) The United Nations Commission on International

Trade Law (UNCITRAL) Model Law on International Commercial Arbitration 1985 (UNCITRAL Model Law 1985) sebagaimana yang telah direvisi pada tahun

2006, menegaskan bahwa ketentuan Model Law ini mengatur arbitrase komersial internasional. Apa yang dimaksud komersial menurut Model Law ini adalah komersial (dagang) dalam arti luas26. Footnote ketentuan Pasal 1 UNCITRAL

Model Law tersebut menjelaskan bahwa pengertian komersial (dagang) harus

ditafsirkan secara luas. Ketentuan Pasal 1 UNCITRAL Model Law ini memberikan ruang lingkup contoh-contoh sengketa komersial apa saja yang dapat

25 Perdamaian adalah usaha penyelesaian sengketa yang paling baik, hal ini diatur di

dalam Pasal 130 HIR, 154 RBg.

26 Huala Adolf, 2014, Dasar-Dasar, Teori, Prinsip & Filosofi Arbitrase, CV Keni Media,

(12)

diselesaikan oleh Arbitrase. Sengketa yang dimaksud mencakup sengketa-sengketa yang berasal dari hubungan kontraktual atau bukan kontraktual yang didalamnya mencakup transaksi-transaksi antara lain di bidang jual beli barang dan jasa, perjanjian distribusi, enjinering, keagenan (commercial representation

and agency), factoring, leasing, konstruksi bangunan, konsultasi, lisensi,

penanaman modal, pembiayaan, perbankan, asuransi, eksploitasi sumber daya alam, kerjasama patungan, dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya di bidang industri, pengangkutan penumpang/barang melalui udara, air, kereta api dan jalan raya. Footnote Pasal 1 ayat (1) UNCITRAL Model Law ini selengkapnya berbunyi:

“The term “commercial” should be given a wide interpretation so as to

cover matters arising from all relationships of a commercial nature, whether contractual or not. Relationships of a commercial nature include, but are not limited to, the following transaction: any trade transaction for the supply of exchange of goods or services; distribution agreement; commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of works; consulting; engineering; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other forms of industrial or business cooperation; carriage of goods or passengers by air, sea, rail or road.”

Berdasarkan bahan-bahan yang Penulis uraikan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bawa yang dimaksud dengan sengketa komersial adalah setiap sengketa atau perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari hubungan yang bersifat komersial (arising from all relationships of a commercial nature).

Langkah yang harus diambil oleh arbiter setelah ia menutup proses persidangan adalah menyiapkan dan menetapkan putusannya. Tetapi sebelumnya ia berkewajiban untuk melakukan penelitian yang mendalam dan menyiapkan

(13)

pertimbangan yang wajar dalam membuat putusannya27. Arbiter atau majelis arbitrase, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Pada dasarnya para pihak yang bersengketa dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex

aequo et bono). Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan

berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende

regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter.

Dari uraian-uraian yang telah penulis uraikan di atas, hal-hal yang menjadi menarik bagi penulis adalah bahwa di dalam menyelesaikan sengketa komersial melalui arbitrase, dimana arbitrase ini adalah merupakan forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diadakan berdasarkan perjanjian tertulis para pihak yang bersengketa, ternyata arbiter atau majelis arbitrase dalam memutuskan suatu sengketa komersial tersebut diwajibkan berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).

B. Perumusan Masalah

27 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu

(14)

Berdasarkan uraian-uraian latar belakang masalah tersebut di atas, adapun rumusan masalah yang hendak penulis gagas untuk diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan prinsip ex aequo et bono oleh Arbiter atau Majelis

Arbitrase dalam memutus suatu sengketa komersial?

2. Bagaimanakah konsekwensi hukum dari penerapan prinsip ex aequo et bono oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase tersebut bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

C. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pengetahuan dan hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap data kepustakaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan tesis Universitas Gadjah Mada, dan terhadap penulisan maupun penulisan karya ilmiah, hingga kini penulis belum menemukan permasalahan yang sama dengan penulisan ini. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tesis ini merupakan karya orisinil penulis, dan karenanya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

D. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan ini, penulis memiliki dua tujuan, yaitu: 1. Tujuan Objektif:

(15)

a. Untuk mengetahui mengenai penerapan prinsip ex aequo et bono oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase dalam memutus suatu sengketa komersial; serta

b. Untuk mengetahui konsekwensi hukum dari penerapan prinsip ex aequo

et bono oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase tersebut bila bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Tujuan Subjektif:

a. Untuk memperoleh data konkrit berkaitan dengan obyek yang diteliti guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar “M.H.” pada Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; dan

b. Untuk pengendapan ilmu pengetahuan tentang hukum penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase, khususnya yang berkaitan dengan penerapan prinsip ex aequo et bono oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase.

E. Manfaat Penulisan

Apabila penulisan ini berhasil dilaksanakan, maka diharapkan penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

Untuk memenuhi persyaratan meraih gelar S2 pada Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain manfaat

(16)

yang telah penulis sebutkan sebelumnya, manfaat penulisan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan serta membina sikap ilmiah mahasiswa dalam menghadapi masalah-masalah yang timbul di bidang ilmu hukum khususnya praktisi hukum.

2. Manfaat Teoretis

Memberikan manfaat bukan saja bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri yaitu untuk memahami dan merumuskan tentang penerapan prinsip ex

aequo et bono oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase sebagai masukan bagi

akademisi khususnya fakultas hukum di Indonesia. 3. Manfaat Praktis

Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan masukan dan dapat menambah wawasan mengenai penerapan prinsip ex aequo et bono oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase serta dapat berguna bagi para arbiter, ahli hukum, praktisi hukum dan masyarakat luas.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA, bab ini terdiri dari: (1) Perihal kontrak dagang (komersial); (2) Pengeritan Teori dan Jenis Sengketa; (3) Tentang Arbitrase yang terdiri dari: Pengertian Arbitrase, Perjanjian Arbitrase, Bentuk Arbitrase, Putusan Arbitrase, Pelaksanaan Putusan

(17)

Arbitrase yang mencakup Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN, bab ini terdiri dari pengertian, jenis dan pendekatan penelitian, cara penelitian, sumber data, dan analisis data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, bab ini membahas dan menjawab rumusan masalah tentang : (1) penerapan prinsip ex aequo

et bono oleh Majelis Arbitrase dalam memutus suatu sengketa

komersial; serta (2) konsekwensi hukum dari penerapan prinsip ex

aequo et bono oleh Majelis Arbitrase tersebut bila bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V : PENUTUP, bab ini merupakan kesimpulan akhir dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang telah dilakukan diatas memiliki kemungkinan untuk dikembangkan dengan mengubah subjek penelitian dengan perbedaan yang lebih kompleks lagi, dengan

Penelitian tugas akhir yang dilakukan penulis berjudul “Investigasi Bawah Permukaan Segmen Cibeber Zona Sesar Cimandiri, Jawa Barat dengan Metode Audio Magnetotelurik

Dari hasil pengamatan mengenai aktivitas harian bekantan di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, aktivitas istirahat memiliki persentase yang cukup tinggi, yaitu

Penilai umtuk menilai kenerja, tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja dengan uraian atau deskripsi pekerjan dalam suatu periode tertentu, biasanya akhir tahun.Kegiatan ini

Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik t adalah jika nilai signifikansi t (p-value) < 0.05 maka hipotesis alternatif diterima atau dengan kata lain

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, sehingga peneliti memilih untuk melakukan penelitian yang berjudul “PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA BIDANG AKUNTANSI,

Sistem investigasi kematian yang wajib telah banyak diterapkan pada Negara berkembang (seperti Australia, Japan, USA, dan Eropa). Sistem memeriksa mayat sudah diberlakukan, sedangkan

Analisis Penerapan Budaya Organisasi di Panti Asuhan ‘Aisyiyah Nganjuk Setiap orang pasti menginginkan hasil yang terbaik dari setiap aktifitas yang. mereka