i
INVESTIGASI BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER
ZONA SESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN
METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh : ARI SETYANI NIM : 1113097000004
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii
INVESTIGASI BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER
ZONA SESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN
METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Disusun Oleh :
Ari Setyani 1113097000004
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017M
iii
INVESTIGASI
BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER ZONASESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh ARI SETYANI NIM: 1113097000004
iv
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “INVESTIGASI BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER ZONA SESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)” yang ditulis oleh Ari Setyani dengan NIM 1113097000004 telah diuji dan dinyatakan lulus dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis tanggal 20 September 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Fisika.
v
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Juli
Ari Setyani 1113097000004
vi ABSTRAK
Struktur bawah permukaan segmen Cibeber zona sesar Cimandiri, Jawa Barat dianalisa dan dipetakan dengan menggunakan metode audio magnetotelurik (AMT). Untuk mengetahui dimensionality dan regional strike yang tepat dan sesuai, maka perlu dilakukan analisa lebih lanjut. Analisa yang dapat dilakukan adalah analisa phase tensor dengan bantuan software Octave. Pemodelan bawah permukaan dipetakan menggunakan software GMT Hawaii. Pengukuran dilakukan pada dua lintasan sejajar (N166˚E) dengan panjang 10 km yang memotong sungai Cikondang di daerah Cibeber. Setiap lintasan terdiri dari 21 titik pengukuran dengan jarak antar titik 500 meter dan jarak antara kedua garis lintasan 4,5 km. Hasil analisa phase tensor menunjukkan arah regional strike daerah penelitian adalah N80˚E dan dimensionality yang sesuai adalah pemodelan 2 dimensi. Hasil pemodelan bawah permukaan menunjukan sepanjang permukaan daerah penelitian merupakan daerah yang konduktif, yang kemungkinan berkaitan dengan keberadaan batuan vulkanik di daerah penelitian. Pada daerah penelitian juga ditemukan daerah yang sangat konduktif hingga kedalaman 2 km di bawah permukaan. Keberadaan daerah konduktif tersebut dapat disimpulkan adanya keberadaan zona sesar Cimandiri di segmen Cibeber.
Kata Kunci: sesar Cimandiri, audio magnetotelurik, analisa phase tensor, pemodelan 2 dimensi
vii ABSTRACT
The subsurface structure of the Cibeber segment of Cimandiri fault, West Java have been investigated by using audio magnetotelluric (AMT) method. To determine the dimensionality and regional strike of the study area, the phase tensor analyses have been applied. In this study, Octave and GMT software have been used as the tools to image the results of the phase tensor analyses and subsurface imaging, respectively. There are 42 MT observation points which were deployed along two lines. Their lengths are about 10 km and direct to N166˚E. These lines were also through Cikondang river. The results present that the regional strike and the dimensionality of the study area are N80oE and 2-D, respectively. The modelling shows that near the surfaces are dominated by the conductive area, which highly associated with the volcanic in the study area. In addition, the result also shows the conductive areas from the surface to the depth of 2 km from the surface in the south east direction of the study area, which possibly related to the Cibeber segment of the Cimandiri fault.
Keywords: Cimandiri fault, audio magnetotelluric, phase tensor analysis, 2-D modelling
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa Allah SWT atas rahmat dan nikmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan laporan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian tugas akhir yang dilaksanakan
pada bulan Januari 2017 hingga April 2017 di Pusat Penelitian Fisika-Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2F-LIPI), kawasan Pusat Penelitian Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong. Penelitian tugas akhir yang dilakukan penulis berjudul “Investigasi Bawah Permukaan Segmen Cibeber Zona Sesar Cimandiri, Jawa Barat dengan Metode Audio Magnetotelurik (AMT)” yang bertujuan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana sains di Prodi Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sebagai sarana penulis menambah
pengetahuan dan pengalaman yang nantinya sangat bermanfaat di dunia kerja.
Dalam pelaksanaan tugas akhir ini penulis banyak mendapatkan dukungan
dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua saya Bapak Ngasir dan Ibu Nunik, yang telah
memberi kasih sayang dan dukungannya, baik moril maupun materil
ix
2. Kedua saudara saya Kakak Nur Syafi’I dan Adik Ahmad Reffa
Alfiansyah Ridhuan yang mendukung dan mendoakan keberhasilan
penulis hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan
sabar.
3. Bapak Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Arif Tjahjono, M.Si selaku Ketua Program Studi Fisika,
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Tati Zera, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
masukan dan pengarahan kepada penulis selama proses penyusunan
tugas akhir ini hingga akhir.
6. Bapak Dr. Bambang Widyatmoko, M.Eng selaku Kepala P2F-LIPI dan
Bapak Prabowo Puranto, S.Si selaku Kepala Sub Bagian Jasa dan
Informasi P2F-LIPI yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melaksanakan tugas akhir ini.
7. Ibu Febty Febriani, Ph.D selaku pembimbing saya melaksanakan tugas
akhir di P2F-LIPI yang dengan kesabaran telah menyempatkan dirinya
memberikan banyak ilmu, pengalaman, kesempatan, saran, dan
masukan kepada penulis.
8. ST. Rohmah, Esti Rustianti, Safitry Ramandhany, Arin Naripa dan
Sendiko Janu Winarno yang telah menemani saya semasa perkuliahan
di Fakultas Sains dan Teknologi Prodi Fisika dari semester 1 sampai
semester 8 dan selaku rekan tugas akhir saya di P2F-LIPI yang telah
x
9. Seluruh keluarga besar fisika UIN Jakarta angkatan 2013 dan
teman-teman peminatan geofisika yang telah memberikan semangat dan
hiburannya kepada penulis.
10. Semua pihak-pihak yang terkait dan berjasa dalam proses penyusunan
laporan ini yang mungkin tidak dapat di sebutkan satu persatu tanpa
mengurangi rasa terima kasih sedikitpun dari penulis.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan kalian. Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan
laporan ini sehingga besar harapan penulis untuk menerima saran dan kritik yang
membangun agar bisa menjadi lebih baik di masa mendatang. Penulis berharap
semoga laporan tugas akhir ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi pembaca
di masa yang akan datang.
Jakarta, Juni 2017
xi DAFTAR ISI
JUDUL ………...………. i
LEMBAR PENGESAHAN ………...…...… iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ……….... iv
LEMBAR PERNYATAAN ……….... v
ABSTRAK ……….... vi
KATA PENGANTAR ………....… viii
DAFTAR ISI ………....… xi
DAFTAR TABEL ……….... xiv
DAFTAR GAMBAR ……….... xv
DAFTAR LAMPIRAN ……….... xviii
BAB I PENDAHULULAN ………...…. 1 1.1 Latar Belakang ……….... 1 1.2 Rumusan Masalah ………....… 6 1.3 Batasan Masalah ………....… 7 1.4 Tujuan Masalah ………....… 7 1.5 Manfaat Penelitian ……….... 7 1.6 Sistematika Penulisan ……….... 8
BAB II LANDASAN TEORI ………..…….……. 9
2.1 Sesar ………...…. 9
2.1.1 Definisi Sesar ……….... 9
2.1.2 Ciri-Ciri Sesar ……….... 12
2.1.3 Klasifikasi Sesar ……….... 13
xii
2.2 Metode Audio Magnetotelurik ………..….. 16
2.2.1 Definisi Metode Audio Magnetotelurik (AMT) ....…… 16
2.2.2 Konsep Dasar Metode Magnetotelurik ……….... 17
2.2.3 Proses Terjadinya Metode Magnetotelurik …………...…. 19
2.2.4 Analisa Phase Tensor Caldwell et al. (2004) ………....…… 20
2.2.5 Teori Dasar Persamaan Medan Elektromagnet Maxwell….... 23
2.2.6 Skin Depth ( ) ………..…….. 26
2.2.7 Impedansi Tensor (Z) ……….... 26
2.2.8 Bumi Pada 1-D ………....…… 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….……... 30
3.1 Tempat Pelaksanaan ………..….. 30
3.2 Data ………...…. 30
3.2.1 Akuisisi Data Audio Magnetotelurik ……….... 30
3.2.2 Tahap Pengolahan Data AMT ……….... 34
3.3 Koordinat Titik Pengukuran AMT ………...……. 36
3.4 Peralatan dan Perlengkapan Pengolahan Data ………....…… 38
3.4.1 Peralatan Pengolahan Data ………..….. 38
3.4.2 Perlengkapan Pengolahan Data ………....… 39
3.5 Tahapan Pengolahan Data ……….... 39
3.6 Diagram Alir .………..…. 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………....…… 42
4.1 Line Daerah Penelitian ………....……… 42
4.2 Data Penelitian ………....…… 43
xiii
4.4 Analisa Phase Tensor ………...……. 47
4.5 Rotasi Data Penelitian ………..…….. 50
4.6 Koreksi Data Rotasi Penelitian ………....…… 53
4.7 Pemodelan 2 Dimensi ………....…… 55 4.7.1 Pemodelan Line 1 ………....……… 55 4.7.2 Pemodelan Line 2 ………..….. 58 BAB V PENUTUP ………..….. 61 5.1 Kesimpulan ………....…… 61 5.2 Saran ………..….. 62 DAFTAR PUSTAKA ………....………...………. 63 LAMPIRAN ………....……… 66
xiv
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1.1 Tektonik Indonesia (McCaffrey, 2009)...
2. Gambar 1.2 Gambar peta fisiologi Jawa Barat (setelah Darji et al.,
1994). (1) produk vulkanik kwater (2) dataran aluvial (3) zona
Bogor (4) kubah dan ridge di zona Bandung (5) zona
Cimandiri-Bandung (6) pegunungan selatan (7) jejak sesar Cimandiri...
3. Gambar 1.3 Segmen Cimandiri (G. I. Marliyani et al., 2016)...
4. Gambar 1.4 Peta Daerah Penelitian (G. I. Marliyani et al., 2016)....
5. Gambar 2.1 Morfologi sesar (a) fault (b) fault zone (c) shear zone (van der Pluijm, 2004)……….. 6. Gambar 2.2 Klasifikasi sesar menurut Anderson, 1951 (Davis dan
Reynolds, 1996)...
7. Gambar 2.3 (a) Unsur-unsur struktur sesar (Anderson, 1951) (b)
Komponen geometri pada bidang sesar (van der Pluijm, 2004)...
8. Gambar 2.4 Hanging wall dan foot wall (van der Pluijm, 2004)...
9. Gambar 2.5 Dip-slip fault (van der Pluijm, 2004)...
10. Gambar 2.6 Strike-slip fault (Van der Pluijm, 2004)...
11. Gambar 2.7 Oblique-slip fault (van der Pluijm, 2004)...
12. Gambar 2.8 Fenomena penjalaran gelombang elektromagnetik
(Unsworth, 2006)...
13. Gambar 2.9 Fenomena lightning activity dan solar wind
(www.eugeneoganova.blogspot.om, 2010)………..
14. Gambar 2.10 MT field layout (Daud, 2010)...
15. Gambar 2.11 Defleksi Proton dan Elektron pada Magnetopause
2 3 4 4 9 10 11 12 14 14 15 18 18 19
xvi
(Arumsari, 2007)………..
16. Gambar 2.12 Sifat elips phase tensor (Caldwell et al., 2004) ……..
17. Gambar 3.1 Gedung Baru P2F-LIPI Serpong ………..
18. Gambar 3.2 Peralatan MT type MTU 5A buatan Phoenix
Geophysics, Ltd Canada (http://www.phoenix-geophysics.com)...
19. Gambar 3.3 Sketsa instalasi sensor-sensor pengukuran MT di
lapangan (Widarto, 2008)……….
20. Gambar 3.4 Screenshot Data CM01.EDI...
21. Gambar 3.5 Diagram Alir Penelitian………
22. Gambar 4.1 Line Daerah Penelitian………
23. Gambar 4.2 Line 1 (1) Plot data koherensi CM02 (2) Plot data
koherensi CM03 ………...
24. Gambar 4.3 Line 1 (1) Plot data phase CM02 (2) Plot data phase CM03 ………... 25. Gambar 4.4 Line 1 (1) Plot data resistivitas CM02 (2) Plot data
resistivitas CM03………..
26. Gambar 4.5 Line 1 (1) Plot koreksi data koherensi CM02 (2) Plot
koreksi data koherensi CM03………..
27. Gambar 4.6 Line 1 (1) Plot koreksi data phase CM02 (2) Plot koreksi data phase CM03 ………..….. 28. Gambar 4.7 Line 1 (1) Plot koreksi data resistivitas CM02 (2) Plot
koreksi data resistivitas CM03 ………..………..
29. Gambar 4.8 Nilai skew angle (β) (a) Line 1 (b) Line 2……….
30. Gambar 4.9 Diagram rose (a) Frekuensi 0,1-1 Hz (b) Frekuensi 1-10 19 23 30 31 32 36 41 42 43 44 45 46 46 47 48
xvii
Hz (c) Frekuensi 10-100 Hz (d) Frekuensi 100-1.000 Hz (e)
Frekuensi 1.000-10.000 Hz (f) Semua frekuensi………..
31. Gambar 4.10 Line 2 (1) Plot data rotasi koherensi CM02 (2) Plot data rotasi koherensi CM04………...……….... 32. Gambar 4.11 Line 2 (1) Plot data rotasi phase CM02 (2) Plot data
rotasi phase CM04……… 33. Gambar 4.12 Line 2 (1) Plot data rotasi resistivitas CM02 (2) Plot
data rotasi resistivitas CM04……… 34. Gambar 4.13 Line 2 (1) Plot koreksi data rotasi koherensi CM02 (2)
Plot koreksi data rotasi koherensi CM04………..………
35. Gambar 4.14 Line 2 (1) Plot koreksi data rotasi phase CM02 (2) Plot koreksi data rotasi phase CM04………...………
36. Gambar 4.15 Line 2 (1) Plot koreksi data rotasi resistivitas CM02 (2)
Plot koreksi data rotasi resistivitas CM04………
37. Gambar 4.16 Pemodelan 2 dimensi line 1………
38. Gambar 4.17 Pemodelan 2 dimensi line 2………
49 51 52 52 54 54 55 56 58
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1. Data Koordinat Titik Pengukuran ... 66
2. Lampiran 2. Data .pt1 ………....………… 67
3. Lampiran 4. Daftar Hadir Tugas Akir …....……...…. 78 4. Lampiran 5. Daftar Kegiatan Tugas Akhir ……....…...…. 79 5. Lampiran 3. Surat Permohonan Tugas Akhir di LIPI, Serpong 82
6. Lampiran 6. Surat Keterangan Selesai Tugas Akhir …... 83
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia,
apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya
bumi setelah mati (kering) dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam
binatang dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi
(semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.”(Q.S. Al-Baqarah/2:164)
Bagi orang-orang yang mengerti dan berpikir mempelajari dan menjaga
apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi merupakan cara manusia untuk
mengetahui dan bersyukur atas tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”(Q.S. Asy-Syura/42:30)
Dalam surat Al-Waqi’ah ayat 4 menjelaskan bumi diguncangkan (gempa
bumi), kata gempa bumi didapatkan pada penyebutan kata rujjat terambil dari
kata raja yakni menggoncang dengan keras, ayat tersebut menggunakan bentuk
pasif yang mengesankan terjadinya hal tersebut dengan sangat mudah (Shihab,
2002).
Terjemahnya:”Apabila bumi diguncangkan sedasyat-dasyatnya.”(Q.S. Al-Waqi’ah/56:4)
2
Seperti yang sudah dipaparkan surat Asy-Syura/42 ayat 30 bahwa musibah
apa pun yang menimpa manusia semua itu disebabkan manusia itu sendiri begitu
pula bencana alam gempa bumi. Indonesia merupakan negara yang sangat rawan
terhadap bencana gempa-gempa tektonik, karena Indonesia terletak pada batas
pertemuan tiga lempeng besar dunia yang sangat aktif yaitu lempeng Eurasia,
lempeng Pasifik dan lempeng Australia (Gambar 1.1).
Gambar 1.1 Tektonik Indonesia (McCaffrey, 2009)
Akibat tumbukan antar lempeng itu maka terbentuk daerah penunjaman
atau subduksi. Zona subduktif sekitar lempeng Australia adalah busur sunda
(sunda strend). Daerah yang tedekat dengan busur sunda merupakan daerah Jawa
Barat. Ada empat perbedaan morfologi dan struktur di Jawa Barat, diantaranya:
daratan pantai utara Jawa Barat, perbukitan lipatan Bogor, zona Bandung yang
3
pegunungan selatan Jawa Barat (Van Bemmelan, 1949 dan Martodjojo, 1984).
Gambar 1.2 menunjukkan gambar peta fisiologi Jawa Barat.
Gambar 1.2 Gambar peta fisiologi Jawa Barat (setelah Darji et al., 1994). (1) produk
vulkanik kwater (2) dataran aluvial (3) zona Bogor (4) kubah dan ridge di zona Bandung (5) zona Cimandiri-Bandung (6) pegunungan selatan (7) jejak sesar Cimandiri
Batas antara zona Bandung dan pegunungan selatan memiliki arah strike
(trend) N70-80°E dari teluk Pelabuhan Ratu ke zona Bandung (Darji et al., 1994).
Batas tersebut disebut dengan sesar Cimandiri. Sesar Cimandiri adalah sesar aktif
yang terdapat di Selatan Sukabumi. Sesar Cimandiri ini berarah Barat Daya-Timur
Laut (Anugrahadi, 1993). Panjang zona sesar Cimandiri sekitar 100 km. Sesar
Cimandiri terbagi menjadi beberapa segmen (Gambar 1.3) yaitu Loji, Cidadap,
Nyalindung, Cibeber, Saguling dan Padalarang (G. I. Marliyani et al., 2016).
4
Peneliti akan mengkaji salah satu segmen yaitu segmen Cibeber seperti
yang ditunjukan pada Gambar 1.4. Sesar Cimandiri yang memiliki trend
N70-80°E merupakan sesar sinistral strike-slip (Dardji et al., 1994). Sesar Cimandiri
memiliki perpindahan horizontal sekitar 1 sampai 2 cm per tahun (Abidin et al.,
2009).
Gambar 1.4 Peta Daerah Penelitian (G. I. Marliyani et al., 2016)
Potensi kegempaan di daerah sesar Cimandiri tergolong cukup besar,
dengan melihat catatan-catatan gempa seperti gempa yang terjadi di Pelabuhan
Ratu (1900), Cibadak (1973), Gandasoli (1982), Padalarang (1910), Tanjungsari
(1972), Conggeang (1948) dan Kab Sukabumi (2001). Pusat gempa bumi yang
merusak ini terletak pada lajur sesar aktif Cimandiri (http://geodesy.gd.itb.ac.id/).
Oleh karena itu, penting untuk menganalisa struktur bawah permukaan di
sekitar daerah sesar Cimandiri. Peneliti menganalisa struktur bawah permukaan
daerah sesar Cimandiri terutama segmen Cibeber dengan menggunakan metode
audio magnetotelurik dari data hasil akuisisi di daerah tersebut. Metode Audio
Magnetotelurik (AMT) merupakan salah satu metode elektromagnetik domain
5
sumbernya. Variasi pada medan magnet bumi tersebut menghasilkan interval
frekuensi dari 0,1 Hz sampai 10 kHz. Interval frekuensi AMT yang lebar
memberikan kemampuan kepada kita untuk mempelajari sifat kelistrikan bawah
permukaan bumi dari permukaan hingga kedalam yang lebih besar. Interval
frekuensi yang lebar tersebut juga mengartikan bahwa metode ini dapat mengatasi
masalah lapisan tanah yang menutupi bahan galian (overburden) yang konduktif
dan memiliki penetrasi kedalaman yang besar. Metode AMT mengukur medan
listrik dan magnet pada dua arah yang saling tegak lurus. Hal ini dapat
memberikan informasi penting terkait electrical anisotropy di wilayah tertentu
(Daud et al., 2010). Electrical anisotropy adalah nilai kelistrikan tanah atau
batuan yang tidak seragam pada arah aliran rembesan yang berbeda, arah
mendatar berbeda dengan arah vertikal.
Sebelumnya sudah pernah dilakukan penelitian di daerah tersebut dengan
data yang sama. Dari hasil penelitian tersebut hasil pemodelan inversi pada kedua
lintasan menunjukkan lapisan bertahanan jenis >1000 Ωm berada di sekitar
kedalaman 500 meter yang diperkirakan merupakan batuan dasar. Tetapi pada sisi
selatan lintasan 2, lapisan tersebut tidak ada hingga kedalaman 2 km. Boleh jadi
lapisan batuan dasar di daerah selatan pada lintasan 2 terletak lebih dalam lagi,
sehingga dapat disimpulkan keberadaan sesar normal (Handayani et al., 2015).
Seperti metode geofisika lainnya, metode AMT pun memiliki
tahapan-tahapan tertentu agar dapat menggambarkan kondisi bawah permukaan. Secara
umum tahapan-tahapan tersebut adalah akuisisi data, pengolahan data, dan
interpretasi. Pada tahapan awal yaitu akuisis data, peneliti tidak melakukan hal
6
(Handayani et al., 2015). Sedangkan pada tahap pengolahan data peneliti akan
menggunkan metode yang berbeda yaitu menggunakan analisa phase tensor
(Caldwell et al., 2004) untuk menentukan dimensi pemodelan yang sesuai
(dimensionality) dan struktur regional segmen Cibeber dari sesar Cimandiri
sebagai analisa awal sebelum melakukan pemodelan bawah permukaan daerah
studi. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan pemodelan 2D dari program
yang dikembangkan oleh Ogawa dan Uchida (1996) dengan bantuan software
Octave dan software Generic Mapping Tool (GMT) Hawaii.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan yang
akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana mengolah data AMT dengan menggunakan analisa phase
tensor (Caldwell et al., 2004) dan pemodelan bawah permukaan dari
program yang telah dikembangkan oleh Ogawa dan Uchida (1996) ?
2. Bagaimana struktur bawah permukaan segmen Cibeber zona sesar
Cimandiri ?
1.3 Batasan Masalah
Adapun pembatasan masalah yang akan dikerjakan pada Tugas Akhir ini
adalah mempelajari setiap tahapan pengolahan data AMT yang berguna untuk
mengetahui struktur bawah permukaan segmen Cibeber dari zona sesar Cimandiri
7 1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisa dimensionality dan regional strike dari segmen Cibeber zona
sesar Cimandiri.
2. Menganalisa struktur bawah permukaan segmen Cibeber zona sesar
Cimandiri.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk proses mitigasi bencana
agar lebih tepat dan akurat khususnya yang berkaitan dengan aktivitas sesar
Cimandiri segmen Cibeber.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan mengacu pada buku pedoman akademik yang
diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang meliputi:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang pengertian, teori-teori, dan hasil penelitian
terdahulu yang digunakan sebagai landasan atau dasar dari penelitian ini.
8
Bab ini menguraikan tentang tempat penelitian, waktu penelitian, data
penelitian, koordinat titik pengukuran, peralatan dan perlengkapan kerja,
tahapan pengolahan data penelitian dan diagram alir.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan hasil dari pengolahan data AMT daerah sesar
Cimandiri segmen Cibeber menggunakan metode Audio Magnetotelurik
dengan bantuan software Octave dan software GMT Hawaii.
BAB V PENUTUP
9 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Sesar
2.1.1 Definisi Sesar
Billing (1959) mendefinisikan sesar sebagai bidang rekahan yang
disertai oleh adanya pergeseran relatif (displacement) satu blok terhadap
blok batuan lainnya. Jarak pergeseran tersebut dapat hanya beberapa
milimeter hingga puluhan kilometer, sedangkan bidang sesarnya mulai
dari yang berukuran beberapa centimeter hingga puluhan kilometer.
Sedangkan secara harfiah sesar adalah rekahan pada batuan yang telah
mengalami pergeseran melalui bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa
bidang sesar rekahan tunggal (fault plane). Tetapi lebih sering berupa jalur
sesar (fault zone), yang terdiri dari lebih dari satu sesar. Jalur sesar atau
gerusan (shear) mempunyai dimensi panjang dan lebar yang beragam, dari
skala minor atau sampai puluhan kilometer, seperti ditunjukan pada
10
Gambar 2.1 Morfologi sesar (a) fault (b) fault zone (c) shear zone (van der
Pluijm, 2004)
Kekar yang memperlihatkan pergeseran dapat pula dikatakan
sebagai sesar minor. Secara garis besar dapat dikelompokkan kedalam
tiga jenis sesar, yaitu : sesar naik, sesar mendatar, sesar normal. Hal ini diakibatkan oleh orientasi dan posisi tegasan maksimum (σ1), tegasan menengah (σ2), tegasan minimum (σ3). Dari hasil percobaan Anderson (1951) menyimpulkan jika: sigma satu vertikal maka akan terbentuk
patahan normal, sigma dua vertikal maka akan membentuk sesar mendatar,
sigma tiga vertikal maka akan membentuk sesar naik, seperti yang
ditunjukan pada Gambar 2.2 (Davis dan Reynolds, 1996).
Gambar 2.2 Klasifikasi sesar menurut Anderson, 1951 (Davis dan
Reynolds, 1996)
Untuk mengetahui klasifikasi sesar maka kita harus mengenali
unsur-unsur struktur geometri sesar (seperti pada Gambar 2.3) dapat dibagi
11
1. Bidang sesar adalah bidang rekahan tempat terjadinya pergeseran,
yang kedudukannya dinyatakan dengan jurus dan kemiringan.
2. Hanging wall adalah bagian terpatahkan yang berada di atas bidang sesar.
3. Foot wall adalah bagian terpatahkan yang berada di bawah bidang sesar.
4. Throw adalah besaran pergeseran vertikal pada sesar. 5. Heave adalah besaran pergeseran horizontal pada sesar. 6. Slip adalah pergeseran relatif sebenarnya.
7. Separation adalah pergeseran relatif semu.
8. Jurus Sesar (strike of fault) adalah arah garis perpotongan bidang
sesar dengan bidang horizontal dan biasanya diukur dari arah utara.
9. Kemiringan Sesar (dip of fault) adalah sudut yang dibentuk antara
bidang sesar dengan bidang horizontal, diukur tegak lurus strike.
10. Net slip adalah pergeseran relatif suatu titik yang semula berimpit
pada bidang sesar akibat adanya sesar.
11. Rake adalah sudut yang dibentuk oleh net slip dengan strike slip
(pergeseran horizontal searah jurus) pada bidang sesar.
(a) (b)
Gambar 2.3 (a) Unsur-unsur struktur sesar (Anderson, 1951) (b) Komponen geometri
12
Gambar 2.4 Hanging wall dan foot wall (van der Pluijm, 2004)
2.1.2 Ciri-Ciri Sesar
Secara garis besar, sesar dibagi menjadi dua, yaitu sesar tampak
dan sesar buta. Sesar tampak adalah sesar yang mencapai permukaan
bumi, sedangkan sesar buta adalah sesar yang terjadi di bawah permukaan
bumi dan tertutupi oleh lapisan seperti lapisan deposisi sedimen.
Pengenalan sesar di lapangan biasanya cukup sulit. Beberapa kenampakan
yang dapat digunakan sebagai penunjuk adanya sesar antara lain
(Faristyawan, 2012):
1. Adanya struktur yang tidak menerus (lapisan terpotong dengan
tiba-tiba).
2. Adanya perulangan lapisan atau hilangnya lapisan batuan.
3. Kenampakan khas pada bidang sesar, seperti cermin sesar, gores
garis.
4. Kenampakan khas pada zona sesar, seperti seretan (drag), breksi
sesar, horses, atau lices, milonit.
5. Silisifikasi dan mineralisasi sepanjang zona sesar.
13
7. Petunjuk fisiografi, seperti gawir (scarp), scarplets (piedmont
scarp), triangular facet, pembelokan sungai dan terpotongnya bagian depan rangkaian pegunungan struktural.
2.1.3 Klasifikasi Sesar
Ketika pergerakan patahan terjadi, satu bidang patahan bergeser
relatif terhadap bidang lainnya. Pergeseran tersebut dapat digambarkan
dengan menentukan vektor net-slip yang menghubungkan dua titik
berpasangan yang berada pada bidang berlawanan setelah terjadi patahan.
Untuk menentukan vektor net-slip, harus diketahui besar dan arahnya,
serta tipe pergeseran. Tipe pergeseran mendefinisikan perpindahan relatif
suatu bidang patahan terhadap bidang lainnya, salah satu bidang bergerak
ke atas atau ke bawah terhadap bidang lainnya, dan (atau) ke arah kanan
atau kiri bidang lainnya. Jika vektor net-slip sejajar dengan arah dip,
patahan disebut dip-slip fault. Jika vektor net-slip sejajar dengan arah
strike, patahan disebut strike-slip fault. Jika vektor net-slip tidak sejajar dengan arah dip maupun strike, patahan disebut obliqueslip fault (van der
Pluijm & Marshak, 1955).
Dip-slip fault dapat diklasifikasikan menjadi: (1) normal fault, yaitu jika batuan yang berada di atas bidang patahan bergerak relatif turun
terhadap batuan di bawah bidang patahan, (2) reverse fault, yaitu jika
batuan yang berada di atas bidang patahan bergerak relatif naik terhadap
batuan di bawah bidang patahan. Tipe-tipe dip-slip fault ditunjukkan pada
14
Gambar 2.5 Dip-slip fault (van der Pluijm, 2004)
Sesar naik (reverse fault) untuk sesar naik ini bagian hanging
wall-nya relatif bergerak naik terhadap bagian foot wall. Salah satu ciri sesar
naik adalah sudut kemiringan dari sesar itu termasuk kecil, berbeda dengn
sesar turun yang punya sudut kemiringan bisa mendekati vertikal.
Strike-slip fault dapat diklasifikasikan menjadi: (1) right-lateral (dextral), jika bidang pada sisi berseberangan bergerak relatif ke kanan
pengamat, (2) left-lateral (sinistral), jika bidang pada sisi berseberangan
bergerak relatif ke kiri pengamat. Tipe-tipe strike-slip fault ditunjukkan
pada Gambar 2.5 (van der Pluijm, 2004).
15
Sesar mendatar (strike slip fault / transcurent fault / wrench fault)
adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi.
Posisi tegasan utama pembentuk sesar ini adalah horizontal, sama dengan
posisi tegasan minimumnya, sedangkan posisi tegasan menengah adalah
vertikal. Umumnya bidang sesar mendatar digambarkan sebagai bidang
vertikal, sehingga istilah hanging wall dan foot wall tidak lazim digunakan
di dalam sistem sesar ini. Berdasarkan gerak relatifnya, sesar ini dibedakan
menjadi sinistral (mengiri) dan dekstral (menganan). Sedangkan
oblique-slip fault memiliki tipe gabungan dari kedua jenis patahan (dip-oblique-slip fault dan strike-slip fault), yaitu: (1) leftlateral/normal, (2) left-lateral/reverse,
(3) right-lateral/normal, dan (4) right-lateral/reverse. Tipe-tipe
oblique-slip fault ditunjukkan pada Gambar 2.6 (van der Pluijm, 2004).
Gambar 2.7 Oblique-slip fault (van der Pluijm, 2004)
2.1.4 Sesar Cimandiri
Daerah penelitian berada di segmen Cibeber zona sesar Cimandiri,
Jawa Barat. Segmen Cibeber berada di antara segmen Nyalindung dan
16
Cimandiri. Segmen zona sesar Cimandiri ada enam, yaitu Loji, Cidadap,
Nyalindung, Cibeber, Saguling dan Padalarang (G. I. Marliyani et al.,
2016).
Sesar Cimandiri merupakan batas yang memisahkan zona Bandung
dan pegunungan selatan, di mana sebagian besar zona Bandung tertutup
oleh batuan vulkanik. Sesar Cimandiri ini berarah Barat Daya-Timur Laut
(Anugrahadi, 1993). Hal tersebut seperti yang sudah dikemukakan oleh
Darji dkk (1994), bahwa batas antara zona Bandung dan pegunungan
selatan memiliki trend N70-80°E dari teluk Pelabuhan Ratu ke zona
Bandung.
2.2 Metode Audio Magnetotelurik
2.2.1 Definisi Metode Audio Magnetotelurik
Magnetotelurik (MT) merupakan teknik eksplorasi pasif yang
memanfaatkan spektrum lebar variasi geomagnet yang terjadi secara alami
sebagai sumber untuk induksi elektromagnetik ke dalam bumi. MT
berbeda dengan teknik geolistrik aktif yang mana sumber arusnya
diinjeksikan ke dalam tanah (Simpon & Bahr, 2005).
Metode AMT adalah salah satu metode elektromagnetik domain
frekuensi yang memanfaatkan variasi alami medan magnet bumi sebagai
sumbernya. Metode pengukuran magnetotelurik (MT) dan audio
magnetotelurik (AMT) secara umum adalah sama, perbedaannya hanya
pada cakupan frekuensi yang ditangkap. Semakin kecil frekuensi yang
dihasilkan maka semakin dalam hasil survei yang diperoleh. Metode MT
17
sekitar 21.5 jam), sedangkan metode AMT memperoleh data dari frekuensi
0.1 Hz sampai 10 kHz, di mana sumbernya berasal dari alam (arus telurik
yang terjadi sekitar ionosfer bumi).
Interval frekuensi yang lebar tersebut juga mengartikan bahwa
metode ini dapat mengatasi masalah lapisan tanah yang menutupi bahan
galian (overburden) yang konduktif dan memiliki penetrasi kedalaman
yang besar. Metode MT mengukur medan listrik dan magnet pada dua
arah yang saling tegak lurus. Hal ini dapat memberikan informasi penting
terkait electrical anisotropy di wilayah tertentu (Daud et al., 2010).
Metode MT pertama kali diperkenalkan oleh Tikhonov (1950) dan
Cagniard (1953) dengan konsep dasar mengukur komponen horizontal
medan elektromagnetik alamiah yang bersumber dari magnetosfer atau
ionosfer. Metode ini efektif digunakan untuk mendeteksi serta
memetahkan kontras tahanan jenis hingga kedalaman 2 – 3 km di bawah
permukaan (Zonge dan Hughes, 1991) dan memiliki interpretasi
kedalaman yang lebih pasti dibanding metode gravitasi dan magnetik
(Vozoff, 1972).
2.2.2 Konsep Dasar Metode Magnetotelurik
Medan elektromagnetik (EM) primer merambat menuju bumi yang
dianggap sebagai konduktif, sedangkan udara bersifat resistif. Kemudian
medan EM primer membentuk medan EM sekunder di dalam bumi (arus
eddy terinduksi, amplitudo dan fase gelombang berubah). Total medan EM
yang akan terukur oleh receiver pada alat MT adalah jumlah dari medan
18
Gambar 2.8 Fenomena penjalaran gelombang elektromagnetik (Unsworth, 2006)
Medan elektromagnetik dibentuk oleh dua sumber, yaitu lightning
activity dan solar wind. Lightning activity merupakan fenomena terjadinya petir yang menghasilkan frekuensi lebih besar dari 1 Hz, sedangkan solar
wind merupakan partikel bermuatan yang dipancarkan dari matahari menghasilkan frekuensi lebih kecil dari 1 Hz. Fenomena lightning activity
dan solar wind tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8 (Unsworth, 2006).
Gambar 2.9 Fenomena lightning activity dan solar wind
(www.eugeneoganova.blogspot.om, 2010)
Peralatan yang digunakan untuk merekam sinyal gelombang elektromagnetik dapat dilihat pada Gambar 2.9 yang mana dapat diketahui bahwa dalam proses pengukuran MT terdapat tiga sensor magnetik (Hx, Hy, Hz) dan empat sensor elektrik.
19
Gambar 2.10 MT field layout (Daud, 2010)
2.2.3 Proses Terjadinya Metode Magnetotelurik
Menurut Green (2003), ketika solar wind bertemu magnetosphere
bumi, elektron dan proton terdefleksi berlawanan arah yang menimbulkan
peningkatan arus listrik dalam plasma dan efek medan magnetik.
Perlapisan (interface) ini bergerak berpindah secara tak menentu sebagai
energi solar wind yang tiba. Hasil efek magnetik yang timbul di
magnetopause dengan kuat diubah oleh waktu saat menembus permukaan bumi dan diamati.
Gambar 2.11 Defleksi Proton dan Elektron pada Magnetopause (Arumsari,
20
Setelah mengenai bumi, medan elektromagnetik (EM) alam
hakikatnya merambat secara vertikal menuju bumi karena adanya kontras
resistivity yang besar pada lapisan udara-bumi, yang menyebabkan pembelokan/refraksi vertikal kedua medan (elektrik dan magnetik) yang
ditransmisikan ke dalam bumi. Medan EM kemudian berasosiasi dengan
arus telurik yang ada di bumi. Kemudian medan magnetik H menginduksi
batuan konduktif dalam lapisan bumi dan menghasilkan medan magnetik
sekunder B. Perubahan medan magnet horizontal menginduksi perubahan
medan listrik yang horizontal inilah yang akan diukur di permukaan.
2.2.4 Analisa Phase Tensor Caldwell et al. (2004)
Phase tensor merupakan phase dari bilangan komplek (real dan imajiner). Phase tensor dapat ditulis sebagai matriks berikut:
*
+ [
] (2.1) di mana . Turunan sederhana dari invarian phase tensor dapat ditulis sebagai berikut:
(trace) ....………... (2.2) (skew) ....………... (2.3) (determinan) …….... (2.4) dari persamaan tersebut dapat diturunkan ke persamaan fungsi berikut:
⁄ ………... (2.5)
[ ] ⁄ ………... (2.6)
21
sedangkan untuk persamaan berdasarkan nilai jumlah maksimum,
minimum dan sudut kemiringan (skew angle) dapat dilihat persamaan
berikut:
⁄ ⁄ ……… (2.8) ⁄ ⁄ ……… (2.9)
( ) ……… (2.10)
Invarian koordinat yang digunakan adalah nilai tensor maksimum
(max) dan minimum (min), maka fungsi sederhana dari sudut kemiringan
dapat ditulis sebagai berikut:
(
) …....……… (2.11)
Sudut ini dapat dianggap sebagai rotasi dan merupakan ukuran
asimetri tensor. Perhatikan bahwa bergantung pada kemiringan tensor , yang invarian di bawah rotasi tapi tanda berubah jika system koordinat direfleksikan. Selain itu, phase tensor juga dapat ditulis:
[
] ……… (2.12) Di mana adalah matriks rotasi:
[ ] ……… (2.13) adalah transformasi atau inversi matriks rotasi, di mana , dan
(
) ………....…… (2.14)
Dari sudut ini mengungkapkan bahwa tensor bergantung pada
22
dan sudut kemiringan dapat ditunjukkan oleh berputarnya sistem koordinat
Kartesian yang digunakan untuk mengekspresikan tensor. Rotasi dengan sudut θ dapat ditulis:
[ ] [ ] [ ] .…… (2.15) Di mana . Efek dari rotasi adalah merubah sudut menjadi sudut , semua parameter lainnya tidak berubah yaitu invarian
koordinat.
Jika phase tensor simetris (β = 0), maka principal values dari
sebuah tensor sama dengan eigenvalues-nya. Hal ini terjadi ketika
distribusi regional konduktivitas dari sebuah studi adalah cerminan
simetris, misalnya ketika distribusi regional konduktivitas 1-D atau 2-D.
Phase tensor simetris dan memiliki principal values yang sama, seperti pada kasus jika konduktivitas distribusi seragam atau 1-D, dari bidang
listrik akan linear terpolarisasi jika dari bidang magnetik linier
terpolarisasi. Pada kasus 2-D, principal values biasanya akan berbeda
(yaitu ≠ ) dan akan ada dua arah untuk bidang magnetik yang
terpolarisasi secara linier sehingga akan menimbulkan medan listrik yang
terpolarisasi secara linier juga
Secara grafik, phase tensor bisa diwakili oleh gambar elips seperti
23
tidak sama dengan nol. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi rotasi
sumbu utama dari phase tensor sebesar nilai β.
Gambar 2.12 Sifat elips phase tensor (Caldwell et al., 2004)
2.2.5 Teori Dasar Persamaan Medan Elektomagnetik Maxwell
Untuk memahami sifat dan atenuasi gelombang elektromagnetik
dibutuhkan persamaan Maxwell dalam bentuk yang berkaitan dengan
medan listrik dan magnet. Perhatikan persamaan berikut :
(Hukum Faraday) ... (2.16)
(Hukum Ampere) ... (2.17)
(Hukum Coulomb) ... (2.18) (Hukum Kontinuitas Fluks Magnet) (2.19) Dimana,
24 J = rapat arus (A/m2)
E = intensitas medan listrik (V/m) B = rapat fluks magnet (T)
H = intensitas medan magnet (A/m) D = pergeseran arus (C/m2)
Hukum Faraday pada persamaan (2.16) menjelaskan bahwa adanya
perubahan medan magnet terhadap waktu akan menyebabkan terbentuknya
medan listrik. Hukum Ampere pada persamaan (2.17) menjelaskan bahwa
medan magnet tidak hanya terjadi karena adanya sumber arus listrik,
namun dapat terjadi juga karena pengaruh perubahan medan listrik
terhadap waktu sehingga menginduksi medan magnet. Hukum Coulomb
pada persamaan (2.18) menjelaskan bahwa medan listrik disebabkan oleh
adanya muatan listrik yang berperan sebagai sumbernya, sedangkan
Hukum Kontinuitas Fluks Magnet pada persamaan (2.19) menjelaskan
bahwa tidak ada magnet yang bersifat monopol (Telford et al., 2004).
Selain Persamaan Maxwell, pada medium isotropis homogen
diaplikasikan persamaan lain agar penyelesaian persamaan medan menjadi
lebih sederhana sehingga didapat solusinya. Persamaan tersebut adalah:
……… (2.20)
……… (2.21)
……… (2.22)
dimana: adalah permeabilitas magnetik (Henry/m), adalah permitivitas listrik (Farad/m), adalah konduktivitas ( m atau Siemens/m), adalah tahanan jenis ( m).
25
Dengan asumsi bahwa sifat fisik medium tidak bervariasi terhadap
waktu dan posisi (isotropic homogen) serta perpindahan arus diabaikan,
Persamaan Maxwell dapat direduksi menjadi:
……… (2.23)
……… (2.24)
Apabila dilakukan operasi curl terhadap variabel medan listrik (E)
dan medan magnet (H) maka akan diperoleh Persamaan Gelombang
Helmholtz:
………... (2.25a) ………... (2.25b) Persamaan (2.25) merupakan Persamaan Telegrapher yang
menunjukan sifat penjalaran gelombang pada medan elektromagnetik,
yang mempunyai sifat difusif
dan sifat gelombang akustik . Kedua sifat ini penjalarannya tergantung dari frekuensi yang digunakan. Apabila
frekuensi yang digunakan adalah frekuensi tinggi (hingga ukuran
Mega/Gigahertz), maka yang mendominasi adalah sifat gelombang yang
dikenal sebagai fenomena gelombang akustik. Sedangkan frekuensi yang
digunakan dalam metode MT adalah frekuensi rendah (10-1 – 104 Hz),
sehingga sifat yang dominannya adalah sifat difusif. Konsekuensi dari hal
tersebut adalah resolusi akan semakin rendah pada kedalaman yang
26 2.2.6 Skin Depth (δ)
Kedalaman dari penetrasi variasi medan tergantung pada panjang
periode dan konduktivitas bawah permukaan. Ini disebut efek skin depth.
Skin depth (δ (ω)) di bumi homogen didefinisikan sebagai berikut:
(| |) ⁄ ( ) ⁄ ... (2.26) Dimana k adalah bilangan gelombang spasial, ω adalah frekuensi
sudut, σ adalah konduktivitas listrik, μ adalah permeabilitas magnetik
batuan. Skin depth mewakili pelepasan amplitudo medan elektromagnetik
secara eksponensial dengan kedalaman. Pada kedalaman (δ (ω)),
amplitudo medan elektromagnetik turun 1 / e atau sekitar 37% berkenaan
dengan nilainya di permukaan. Skin depth sebanding dengan akar kuadrat
periode (T) (T = 2π/ω). Hal ini menyimpulkan bahwa kedalaman kulit
meningkat dengan periode T.
2.2.7 Impedansi Tensor (Z)
Dalam metode MT, gelombang elektromagnetik merambat ke bumi
yang (homogen dan isotropik) dimana memiliki vektor gelombang medan
listrik dan medan magnet yang ortogonal satu sama lain. Rasio dari
intensitas medan listrik dan medan magnet (E/H) disebut sebagai
impedansi (Z) yang merupakan ukuran karakteristik dari sifat EM medium
sub permukaan dan merupakan fungsi dasar respon MT. Impedansi tensor,
Z( ), menghubungkan komponen kompleks horizontal medan listrik (E) dan medan magnet (H) pada frekuensi tertentu ( ). Pada media homogen,
27
perbandingan komponen ortogonal adalah dimana k adalah bilangan
gelombang dan adalah frekuensi sudut. Pada umumnya bumi 3-D, impedansi dinyatakan dalam bentuk matriks dalam koordinat Cartesian (x,
y horizontal dan z positif ke bawah):
……….……… (2.27) [ ] [ ] [ ] ……… (2.28) 2.2.8 Bumi Pada 1-D
Distribusi spasial menjadi dimensi geoelektrik (geoelectric
dimensionality) dalam MT dapat diklasifikasikan 1-D, 2-D atau 3-D.
Untuk kasus Bumi 1-D, distribusi konduktivitas hanya bergantung pada
kedalaman dan bervariasi sepanjang dua arah, yaitu satu arah horizontal
(misalnya, x arah) dan yang lainnya sepanjang arah vertikal (z). Sepanjang
arah horizontal lainnya (y) resistivitas tidak berubah dan arah ini disebut
arah pemogokan geoelektrik. Bila bumi adalah 2-D, ρ = ρ (x, z) dan
turunannya terhadap y sama dengan nol, ∂/∂y = 0. Dalam kasus bumi 2-D,
medan elektromagnetik total terbagi menjadi dua mode independen,
sebagai berikut:
1. Polarisasi E atau transvers elektrik, TE (medan listrik yang tegak
lurus, transvers terhadap bidang sumbu) atau medan listrik parallel
terhadap sumbu invarian y. Komponen medan menjadi Ey yaitu:
....…………...…… (2.29)
28
...…….………...… (2.30b) 2. Polarisasi H atau transvers magnet, TM (medan magnet tegak
lurus, transvers terhadap bidang simetri) atau medan listrik tegak
lurus terhadap sumbu invarian y. Komponen medan menjadi Hy
yaitu:
....………....… (2.31)
....…….………...…… (2.32a) ....…...………...…… (2.32b) Di bumi 2-D, elemen diagonal Z tidak ada: Zxx = Zyy = 0. Untuk
bumi 2-D, konduktivitasnya bervariasi sepanjang satu arah horizontal dan
juga dengan kedalaman, Zxx dan Zyy sama besarnya, namun berlawanan
tanda, sementara Zyx dan Zyx berbeda. Oleh karena itu, Persamaan 2.32b
dapat dinyatakan sebagai berikut:
[ ] [
] [
] ...……...…… (2.33) Dua komponen tensor impedansi dapat diformulasikan:
= ...……...…… (2.34a) ...……...…… (2.34b) Dengan sesuai nilai tahanan jenis semu, ρa:
| | ...……...…… (2.35a) | | ...……...…… (2.35b) Dan nilai fasa yang sesuai, φ:
29 ( ( ( )
) ) ...……...…… (2.36a)
30 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat Pelaksanaan
Tempat Pelaksanaan : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Serpong,
Tangerang Selatan. Kawasan Komplek PUSPIPTEK
Serpong, Tangerang Selatan.
Tanggal Pelaksanaan : 16 Januari 2017 s/d 31 Mei 2017
Waktu : 08.00 – 16.00 WIB
Gambar 3.1 Gedung Baru P2F-LIPI Serpong
3.2 Data
3.2.1 Akuisisi Data Audio Magnetotelurik
Peralatan yang digunakan untuk akuisisi terdiri dari satu buah
31
koil induksi magnetik, 6 buah sensor medan listrik (porouspot), 1 buah
laptop untuk memonitor data, GPS dan kabel-kabel (Gambar 2.12).
Sebelum melakukan akuisisi, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi sistem
MTU-5A box dan ketiga koil magnetik. Kalibrasi dilakukan dalam kondisi
sensor magnetik belum ditanam ke dalam tanah.
Gambar 3.2 Peralatan MT type MTU 5A buatan Phoenix Geophysics, Ltd
Canada (http://www.phoenix-geophysics.com)
Pada titik pusat pengukuran ditentukan empat titik dan dibuat garis
semu dengan memakai patok pada tiap-tiap titik. Garis semu tersebut
membagi daerah pengukuran menjadi empat kuadran, dimana sumbu x
berimpit dengan arah utara dan selatan; sumbu y berimpit dengan arah
barat dan timur. Jika kondisi daerah pengukuran merupakan kondisi ideal
untuk struktur 2-dimensi (2−D), maka porouspot Ey dan coil Hy
sebaiknya diarahkan tegak lurus struktur, sedangkan porouspot Ex dan coil
32
Gambar 3.3 Sketsa instalasi sensor-sensor pengukuran MT di lapangan
(Widarto, 2008)
1. Pemasangan Sensor Medan Listrik
Pemasangan sensor medan listrik yaitu dengan menanam 4
buah porouspot di titik utara, selatan, barat dan timur dari titik
pengukuran. Jarak antar tiap porouspot dari timur ke barat dan dari
utara ke selatan biasanya adalah 80-100 meter tergantung kepada
kondisi topografi daerah setempat. Penanaman porouspot
dilakukan dengan menggali lubang sedalam kurang lebih 30 cm.
Porouspot yang digunakan sebagai sensor medan listrik ini terbuat dari bahan Pb-PbCl2.
2. Pemasangan Sensor Magnetik
Sensor medan magnetik berupa koil induksi magnetik
ditanam pada kuadran yang berbeda. Susunan letak sensor
magnetik (Hx, Hy, Hz) pada masing-masing kuadran ditunjukan
oleh gambar 2.13. Koil induksi magnetik ini mempunyai panjang
33
Kuadran I terletak pada sumbu garis semu yang berarah
timur dan utara. Kuadran II terletak diantara arah barat dan selatan.
Kuadran III terletak diantara arah selatan dan timur. Pemasangan
koil magnetik harus dilakukan secara hati-hati, karena koil ini
sensitif terhadap cuaca, suhu, tekanan, dan benturan. Penanaman
koil Hx umumnya ditanam pada kuadran II dengan posisi
horizontal dan bagian yang tersambung dengan kabel menghadap
ke selatan. Koil ini ditanam sedalam 30-50 cm, dan posisi koil
harus tepat horizontal dengan arah utara-selatan.
Hal yang sama dilakukan pada koil Hy dan Hz tetapi
berbeda kuadrannya. Koil Hy berada pada kuadran IV dengan
bagian yang tersambung kabel menghadap ke barat. Sedangkan
untuk koil Hz sedikit berbeda dengan koil yang lainnya, karena koil
ini mngukur komponen vertikal. Koil Hz ditanam dengan posisi
vertikal pada kuadran I dengan posisi bagian yang tersambung
kabel berada di permukaan.
3. Pengaturan Konfigurasi Alat
Setelah instalasi alat selesai, seluruh kabel (sensor magnetik
dan sensor medan listrik) dan GPS disambungkan dengan MTU
box dan laptop. Pengisian parameter data, konfigurasi sistem dan
monitoring data selama akuisisi dilakukan dengan menggunakan
34 3.2.2 Tahapan Pengolahan Data AMT
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
sekunder dimana data yang didapat adalah data AMT yang diperoleh dari
hasil survei lapangan para geosciences Indonesia (Lina et al., 2015). Data
yang didapatkan dari rentang frekuensi 0.35 Hz sampai 10.400 Hz.
Pengukuran dilakukan pada dua lintasan sejajar (N166E) dengan panjang
10 km yang memotong sungai Cikondang di daerah Cibeber, Cianjur.
Setiap lintasan terdiri dari 21 stasiun pengukuran dengan jarak antara
stasiun 500 meter dan jarak antara kedua garis lintasan 4,5 km.
Pengukuran dilakukan selama empat hari dari tanggal 10 April 2015
sampai 13 April 2015.
Data AMT yang diperoleh dari akuisisi di lapangan berupa deret
waktu (time series). Data lapangan dalam deret waktu (time series) diubah
menjadi data dalam domain frekuensi (frequency domain) dengan
menggunakan program SSMT2000. Data input awal yang diperlukan
adalah data kalibrasi alat (.CLB), data kalibrasi sensor (.CLC), data
lapangan (.TS), dan data parameter tempat pengukuran (.TBL). Kemudian
dilanjutkan dengan penentuan parameter pengolahan data (edit PRM) dan
penentuan parameter yang akan digunakan dalam proses megubah deret
waktu menjadi deret frekuensi (make PFT). Setelah parameter-parameter
pengolahan data ditentukan, selanjutnya proses perubahan deret waktu
menjadi deret frekuensi (TS to FT). Kemudian pada tahap (process) akan
35
dilakukan proses pengurangan bising (reducing noise) dengan
menggunakan tekhnik robust processing.
Robust processing adalah teknik pemrosesan data berbasis statistika yang memanfaatkan pembobotan ulang (iterative weighting of
residual). Teknik ini digunakan untuk megidentifikasi dan menghapus pencilan luar (outliers) data yang terbias oleh non-Gaussian noise. Hasil
pengolahan data dengan menggunakan SSMT2000 adalah data output
pada frekuensi tinggi (.MTH) dan data output pada frekuensi rendah
(.MTL). Data output ini selanjutnya akan digunakan sebagai input pada
program MTeditor.
Program MTeditor bertujuan untuk memperbaiki kualitas data
dengan cara smoothing pada data apparent resistivity magnitude dan data
apparent resistivity phase. Proses smoothing dilakukan dengan cara manual, yaitu mengeliminasi titik-titik yang terdapat di kurva partial
apparent resistivity magnitude dan partial apparent resistivity phase. Setelah data berubah menjadi lebih halus, file hasil dari MTeditor
ini disimpan dalam bentuk file yang berekstensi .mpk untuk selanjutnya
di-export ke file dengan ekstensi .edi. Setelah itu, file dengan ekstensi .edi
di-export ke file dengan ekstensi .pt1 yang terlampir di Lampiran 2
sebagai data input untuk pemodelan. Contoh data dengan ekstensi .edi
36
Gambar 3.4 Screenshot Data CM01.EDI
3.3 Koordinat Titik Pengukuran Audio Magnetotelurik (AMT)
Pengukuran magnetotelurik (MT) dilakukan pada 42 stasiun yang berarah
dari timur ke barat daya. Stasiun pengukuran pertama diberi nama CM01,
sedangkan titik pengukuran terakhir diberi nama CM42. Informasi mengenai
37
Tabel 3.1 Koordinat dan Elevasi Titik Pengukuran
Nama Stasiun Pengukuran
Latitude (derajat) Longitude (derajat) Elevasi (m)
CM01 -6.9000 107.1078 548 CM02 -6.9044 107.1095 644 CM03 -6.9084 107.1105 659 CM04 -6.9130 107.1115 725 CM05 -6.9170 107.1124 723 CM06 -6.9220 107.1138 558 CM07 -6.9255 107.1148 546 CM08 -6.9307 107.1156 570 CM09 -6.9342 107.1171 540 CM10 -6.9390 107.1177 496 CM11 -6.9467 107.1161 487 CM12 -6.9476 107.1204 539 CM13 -6.9515 107.1226 519 CM14 -6.9576 107.1225 525 CM15 -6.9623 107.1243 531 CM17 -6.9688 107.1260 719 CM18 -6.9730 107.1271 823 CM19 -6.9754 107.1279 843 CM20 -6.9822 107.1291 835 CM21 -6.9859 107.1303 965 CM22 -6.8843 107.1510 443 CM23 -6.8876 107.1521 483 CM24 -6.8926 107.1515 450 CM25 -6.8978 107.1531 450 CM26 -6.9010 107.1551 458 CM27 -6.9061 107.1561 467 CM28 -6.9093 107.1571 460 CM29 -6.9128 107.1587 447 CM30 -6.9178 107.1597 454 CM31 -6.9220 107.1598 447 CM32 -6.9256 107.1604 417 CM32R -6.9281 107.1620 432 CM33 -6.9331 107.1633 463 CM34 -6.9369 107.1640 529 CM35 -6.9404 107.1648 519 CM36 -6.9442 107.1656 614 CM37 -6.9494 107.1671 692 CM38 -6.9531 107.1671 787 CM39 -6.9532 107.1671 840 CM40 -6.9614 107.1705 879 CM41 -6.9653 107.1709 907 CM42 -6.9701 107.1732 667
38
3.4 Peralatan dan Perlengkapan Pengolahan Data 3.4.1 Peralatan Pengolahan Data
Peralatan pengolahan data yang digunakan sebagai sarana
pencapaian tujuan penelitian terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Perangkat Lunak
a. Software Octave ( http://www.gnu.org/software/octave/), pertama
kali dikembangkan oleh John W. Eaton (Universitas Texas) yang
merupakan suatu perangkat lunak gratis (freeware) dan bahasa
tingkat tinggi untuk komputasi numerik dan visualisasi data.
b. Software GMT Hawaii (http://www.soest.hawaii.edu/gmt/),
dibuat oleh Paul Wessel dari Universitas Hawaii dan Walter
Smith dengan bantuan beberapa relawan dan didukung oleh
National Science Foundation. Software GMT Hawaii merupakan suatu perangkat lunak open source untuk plot data geografis dan
kartesian mulai dari yang sederhana x-y sampai peta kontur.
2. Perangkat Keras
a. Laptop/notebook HP Pavilion g series dengan spesifikasi
minimal processor AMD Dual Core dan RAM 2 GB yang
menggunakan sistem operasi Linux Ubuntu 14.04 LTS sebagai
sarana untuk mengaplikasikan perangkat lunak software Octave
untuk pengolahan data.
b. Komputer LIPI yang menggunakan sistem operasi Linux Ubuntu
14.04 LTS sebagai sarana untuk mengaplikasikan perangkat
39 3.4.2 Perlengkapan Pengolahan Data
Adapun perlengkapan pengolahan data yang dibutuhkan
diantaranya: flash-disc, hard-disc, buku, paper, bolpoin, handphone, CD
ROM, dll.
3.5 Tahapan Pengolahan Data
Ada beberapa tahapan dalam pengolahan data, diantaranya:
1. Data
Koordinat longitude dan latitude masing-masing stasiun diplot pada peta
topografi daerah penelitian untuk mengetahui letak semua stasiun yang tersebar
baik di line 1 maupun line 2 dengan bantuan software GMT Hawaii. Sedangkan
untuk data sekunder dalam bentuk file .pt1 dilakukan plot data berdasarkan 3
klasifikasi, yaitu koherensi, phase dan resistivitas terhadap fungsi frekuensi
dengan bantuan software Octave.
Dari hasil plot data sekunder apabila terdapat data yang noise
(gangguan/error bar yang besar) dilakukan koreksi data. Dalam koreksi data
bukan hanya data yang noise saja, melainkan juga nilai koherensi data yang
berada di bawah 0.5. Hal tersebut dilakukan karena nilai koherensi yang baik dan dianggap bagus adalah data dengan nilai koherensi ≥ 0.5. Setelah dilakukan koreksi data, kemudian dilakukan plot data ulang seperti sebelumnya dengan
software yang sama, yaitu software Octave. 2. Analisa Phase Tensor
Analisa phase tensor dilakukan dengan menggunakan metode yang
40
untuk mengetahui dimensi daerah penelitian yang akan menentukan proses
pengolahan data selanjutnya, yaitu untuk menentukan dimensi pemodelan yang
sesuai. Untuk mengetahui nilai dimensi daerah penelitian dilakukan plot sudut kemiringan beta β dengan menggunakan bantuan software Octave. Selain itu, analisa phase tensor juga dilakukan untuk mengetahui regional strike daerah
penelitian. Untuk mengetahui regional strike daerah penelitian peneliti harus
membuat diagram mawar dengan bantuan software Octave.
3. Pemodelan
Setelah diketahui regional strike daerah penelitian, data asli yang awalnya
0 derajat dirotasikan sesuai regional strike daerah penelitian. Dari data baru
tersebut dilakukan pengolahan data yang sama seperti pada tahapan awal
pengolahan data sekunder dengan bantuan software Octave. Apabila terdapat data
yang noise (gangguan/error bar yang besar) dilakukan koreksi data kembali
seperti pengolahan data sebelumnya.
Setelah diketahui dimensi pemodelan yang sesuai, kemudian selanjutnya
dilakukan pemodelan data untuk setiap linenya berdasarkan nilai resistivitasnya
dengan menggunakan program yang dikembangkan oleh Ogawa dan Uchida
41 3.6 Diagram Alir
42 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Line Daerah Penelitian
Lintasan (line) daerah penelitian ada dua, line tersebut sejajar (N166 E) dengan panjang 10 km yang memotong sungai Cikondang di daerah Cibeber,
Cianjur, Jawa Barat. Setiap line terdiri dari 21 stasiun pengukuran dengan jarak
antara stasiun 500 meter dan jarak antara kedua garis line 4,5 km. Dari data
tersebut dilakukan plot line daerah penelitian menggunakan software GMT
Hawaii dan diperoleh hasil sebagai berikut.
43
Terdapat 42 stasiun pengukuran yang terbagi menjadi dua line yang sejajar
dengan nama CM01 sampai CM42. Line 1 berawal dari CM01 sampai CM21 dan
line 2 berawal dari CM22 sampai CM42. Daerah penelitian terletak antara 6˚59’24’’LS sampai 6˚52’12’’LS dan 107˚06’00’’BT sampai 107˚11’24’’BT yang memiliki ketinggian di bawah 1.000 meter.
4.2 Data Penelitian
Berdasarkan data penelitian sekunder yang didapatkan dalam bentuk file
.pt1 dilakukan plot data dengan bantuan software Octave dengan 3 klasifikasi,
yaitu data koherensi, data phase dan data resititivitas. Ketiga data tersebut
kemudian diplot sebagai fungsi frekuensi.
1. Koherensi
(1) (2)
Gambar 4.2 Line 1 (1) Plot data koherensi CM02 (2) Plot data koherensi CM03
Hasil plot beberapa data titik pengukuran AMT berdasarkan nilai
koherensi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari gambar tersebut diketahui bahwa
nilai frekuensi berbanding lurus dengan nilai koherensi, semakin kecil nilai
44
besar nilai frekuensi maka semakin besar pula nilai koherensinya. Dan dapat
diketahui pula masih terdapat banyak data yang memiliki nilai koherensi di bawah
0,5.
2. Phase
(1) (2)
Gambar 4.3 Line 1 (1) Plot data phase CM02 (2) Plot data phase CM03
Hasil plot beberapa data titik pengukuran AMT berdasarkan nilai phase
dapat dilihat pada Gambar 4.3. Dari gambar tersebut diketahui bahwa nilai
frekuensi tidak mempengaruhi nilai phase. Pada saat frekuensi mendekati nol (0)
atau di bawah nol (0) nilai phase-nya cenderung tidak beraturan dan memiliki
error bar yang besar. Hal tersebut terjadi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari alam maupun aktivitas manusia.