• Tidak ada hasil yang ditemukan

INVESTIGASI BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER ZONA SESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INVESTIGASI BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER ZONA SESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

i

INVESTIGASI BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER

ZONA SESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN

METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)

Oleh : ARI SETYANI NIM : 1113097000004

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii

INVESTIGASI BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER

ZONA SESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN

METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sains (S.Si)

Disusun Oleh :

Ari Setyani 1113097000004

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438H/2017M

(3)

iii

INVESTIGASI

BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER ZONA

SESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sains (S.Si)

Oleh ARI SETYANI NIM: 1113097000004

(4)

iv

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “INVESTIGASI BAWAH PERMUKAAN SEGMEN CIBEBER ZONA SESAR CIMANDIRI, JAWA BARAT DENGAN METODE AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT)” yang ditulis oleh Ari Setyani dengan NIM 1113097000004 telah diuji dan dinyatakan lulus dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis tanggal 20 September 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Fisika.

(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Juli

Ari Setyani 1113097000004

(6)

vi ABSTRAK

Struktur bawah permukaan segmen Cibeber zona sesar Cimandiri, Jawa Barat dianalisa dan dipetakan dengan menggunakan metode audio magnetotelurik (AMT). Untuk mengetahui dimensionality dan regional strike yang tepat dan sesuai, maka perlu dilakukan analisa lebih lanjut. Analisa yang dapat dilakukan adalah analisa phase tensor dengan bantuan software Octave. Pemodelan bawah permukaan dipetakan menggunakan software GMT Hawaii. Pengukuran dilakukan pada dua lintasan sejajar (N166˚E) dengan panjang 10 km yang memotong sungai Cikondang di daerah Cibeber. Setiap lintasan terdiri dari 21 titik pengukuran dengan jarak antar titik 500 meter dan jarak antara kedua garis lintasan 4,5 km. Hasil analisa phase tensor menunjukkan arah regional strike daerah penelitian adalah N80˚E dan dimensionality yang sesuai adalah pemodelan 2 dimensi. Hasil pemodelan bawah permukaan menunjukan sepanjang permukaan daerah penelitian merupakan daerah yang konduktif, yang kemungkinan berkaitan dengan keberadaan batuan vulkanik di daerah penelitian. Pada daerah penelitian juga ditemukan daerah yang sangat konduktif hingga kedalaman 2 km di bawah permukaan. Keberadaan daerah konduktif tersebut dapat disimpulkan adanya keberadaan zona sesar Cimandiri di segmen Cibeber.

Kata Kunci: sesar Cimandiri, audio magnetotelurik, analisa phase tensor, pemodelan 2 dimensi

(7)

vii ABSTRACT

The subsurface structure of the Cibeber segment of Cimandiri fault, West Java have been investigated by using audio magnetotelluric (AMT) method. To determine the dimensionality and regional strike of the study area, the phase tensor analyses have been applied. In this study, Octave and GMT software have been used as the tools to image the results of the phase tensor analyses and subsurface imaging, respectively. There are 42 MT observation points which were deployed along two lines. Their lengths are about 10 km and direct to N166˚E. These lines were also through Cikondang river. The results present that the regional strike and the dimensionality of the study area are N80oE and 2-D, respectively. The modelling shows that near the surfaces are dominated by the conductive area, which highly associated with the volcanic in the study area. In addition, the result also shows the conductive areas from the surface to the depth of 2 km from the surface in the south east direction of the study area, which possibly related to the Cibeber segment of the Cimandiri fault.

Keywords: Cimandiri fault, audio magnetotelluric, phase tensor analysis, 2-D modelling

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim,

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan

Yang Maha Esa Allah SWT atas rahmat dan nikmat-Nya penulis dapat

menyelesaikan penulisan laporan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap

tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para

sahabatnya.

Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian tugas akhir yang dilaksanakan

pada bulan Januari 2017 hingga April 2017 di Pusat Penelitian Fisika-Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2F-LIPI), kawasan Pusat Penelitian Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong. Penelitian tugas akhir yang dilakukan penulis berjudul “Investigasi Bawah Permukaan Segmen Cibeber Zona Sesar Cimandiri, Jawa Barat dengan Metode Audio Magnetotelurik (AMT)” yang bertujuan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana sains di Prodi Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sebagai sarana penulis menambah

pengetahuan dan pengalaman yang nantinya sangat bermanfaat di dunia kerja.

Dalam pelaksanaan tugas akhir ini penulis banyak mendapatkan dukungan

dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.

Untuk itu dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua saya Bapak Ngasir dan Ibu Nunik, yang telah

memberi kasih sayang dan dukungannya, baik moril maupun materil

(9)

ix

2. Kedua saudara saya Kakak Nur Syafi’I dan Adik Ahmad Reffa

Alfiansyah Ridhuan yang mendukung dan mendoakan keberhasilan

penulis hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan

sabar.

3. Bapak Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Arif Tjahjono, M.Si selaku Ketua Program Studi Fisika,

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Tati Zera, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

masukan dan pengarahan kepada penulis selama proses penyusunan

tugas akhir ini hingga akhir.

6. Bapak Dr. Bambang Widyatmoko, M.Eng selaku Kepala P2F-LIPI dan

Bapak Prabowo Puranto, S.Si selaku Kepala Sub Bagian Jasa dan

Informasi P2F-LIPI yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk melaksanakan tugas akhir ini.

7. Ibu Febty Febriani, Ph.D selaku pembimbing saya melaksanakan tugas

akhir di P2F-LIPI yang dengan kesabaran telah menyempatkan dirinya

memberikan banyak ilmu, pengalaman, kesempatan, saran, dan

masukan kepada penulis.

8. ST. Rohmah, Esti Rustianti, Safitry Ramandhany, Arin Naripa dan

Sendiko Janu Winarno yang telah menemani saya semasa perkuliahan

di Fakultas Sains dan Teknologi Prodi Fisika dari semester 1 sampai

semester 8 dan selaku rekan tugas akhir saya di P2F-LIPI yang telah

(10)

x

9. Seluruh keluarga besar fisika UIN Jakarta angkatan 2013 dan

teman-teman peminatan geofisika yang telah memberikan semangat dan

hiburannya kepada penulis.

10. Semua pihak-pihak yang terkait dan berjasa dalam proses penyusunan

laporan ini yang mungkin tidak dapat di sebutkan satu persatu tanpa

mengurangi rasa terima kasih sedikitpun dari penulis.

Semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan kalian. Penulis

menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan

laporan ini sehingga besar harapan penulis untuk menerima saran dan kritik yang

membangun agar bisa menjadi lebih baik di masa mendatang. Penulis berharap

semoga laporan tugas akhir ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi pembaca

di masa yang akan datang.

Jakarta, Juni 2017

(11)

xi DAFTAR ISI

JUDUL ………...………. i

LEMBAR PENGESAHAN ………...…...… iii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ……….... iv

LEMBAR PERNYATAAN ……….... v

ABSTRAK ……….... vi

KATA PENGANTAR ………....… viii

DAFTAR ISI ………....… xi

DAFTAR TABEL ……….... xiv

DAFTAR GAMBAR ……….... xv

DAFTAR LAMPIRAN ……….... xviii

BAB I PENDAHULULAN ………...…. 1 1.1 Latar Belakang ……….... 1 1.2 Rumusan Masalah ………....… 6 1.3 Batasan Masalah ………....… 7 1.4 Tujuan Masalah ………....… 7 1.5 Manfaat Penelitian ……….... 7 1.6 Sistematika Penulisan ……….... 8

BAB II LANDASAN TEORI ………..…….……. 9

2.1 Sesar ………...…. 9

2.1.1 Definisi Sesar ……….... 9

2.1.2 Ciri-Ciri Sesar ……….... 12

2.1.3 Klasifikasi Sesar ……….... 13

(12)

xii

2.2 Metode Audio Magnetotelurik ………..….. 16

2.2.1 Definisi Metode Audio Magnetotelurik (AMT) ....…… 16

2.2.2 Konsep Dasar Metode Magnetotelurik ……….... 17

2.2.3 Proses Terjadinya Metode Magnetotelurik …………...…. 19

2.2.4 Analisa Phase Tensor Caldwell et al. (2004) ………....…… 20

2.2.5 Teori Dasar Persamaan Medan Elektromagnet Maxwell….... 23

2.2.6 Skin Depth ( ) ………..…….. 26

2.2.7 Impedansi Tensor (Z) ……….... 26

2.2.8 Bumi Pada 1-D ………....…… 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….……... 30

3.1 Tempat Pelaksanaan ………..….. 30

3.2 Data ………...…. 30

3.2.1 Akuisisi Data Audio Magnetotelurik ……….... 30

3.2.2 Tahap Pengolahan Data AMT ……….... 34

3.3 Koordinat Titik Pengukuran AMT ………...……. 36

3.4 Peralatan dan Perlengkapan Pengolahan Data ………....…… 38

3.4.1 Peralatan Pengolahan Data ………..….. 38

3.4.2 Perlengkapan Pengolahan Data ………....… 39

3.5 Tahapan Pengolahan Data ……….... 39

3.6 Diagram Alir .………..…. 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………....…… 42

4.1 Line Daerah Penelitian ………....……… 42

4.2 Data Penelitian ………....…… 43

(13)

xiii

4.4 Analisa Phase Tensor ………...……. 47

4.5 Rotasi Data Penelitian ………..…….. 50

4.6 Koreksi Data Rotasi Penelitian ………....…… 53

4.7 Pemodelan 2 Dimensi ………....…… 55 4.7.1 Pemodelan Line 1 ………....……… 55 4.7.2 Pemodelan Line 2 ………..….. 58 BAB V PENUTUP ………..….. 61 5.1 Kesimpulan ………....…… 61 5.2 Saran ………..….. 62 DAFTAR PUSTAKA ………....………...………. 63 LAMPIRAN ………....……… 66

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1.1 Tektonik Indonesia (McCaffrey, 2009)...

2. Gambar 1.2 Gambar peta fisiologi Jawa Barat (setelah Darji et al.,

1994). (1) produk vulkanik kwater (2) dataran aluvial (3) zona

Bogor (4) kubah dan ridge di zona Bandung (5) zona

Cimandiri-Bandung (6) pegunungan selatan (7) jejak sesar Cimandiri...

3. Gambar 1.3 Segmen Cimandiri (G. I. Marliyani et al., 2016)...

4. Gambar 1.4 Peta Daerah Penelitian (G. I. Marliyani et al., 2016)....

5. Gambar 2.1 Morfologi sesar (a) fault (b) fault zone (c) shear zone (van der Pluijm, 2004)……….. 6. Gambar 2.2 Klasifikasi sesar menurut Anderson, 1951 (Davis dan

Reynolds, 1996)...

7. Gambar 2.3 (a) Unsur-unsur struktur sesar (Anderson, 1951) (b)

Komponen geometri pada bidang sesar (van der Pluijm, 2004)...

8. Gambar 2.4 Hanging wall dan foot wall (van der Pluijm, 2004)...

9. Gambar 2.5 Dip-slip fault (van der Pluijm, 2004)...

10. Gambar 2.6 Strike-slip fault (Van der Pluijm, 2004)...

11. Gambar 2.7 Oblique-slip fault (van der Pluijm, 2004)...

12. Gambar 2.8 Fenomena penjalaran gelombang elektromagnetik

(Unsworth, 2006)...

13. Gambar 2.9 Fenomena lightning activity dan solar wind

(www.eugeneoganova.blogspot.om, 2010)………..

14. Gambar 2.10 MT field layout (Daud, 2010)...

15. Gambar 2.11 Defleksi Proton dan Elektron pada Magnetopause

2 3 4 4 9 10 11 12 14 14 15 18 18 19

(16)

xvi

(Arumsari, 2007)………..

16. Gambar 2.12 Sifat elips phase tensor (Caldwell et al., 2004) ……..

17. Gambar 3.1 Gedung Baru P2F-LIPI Serpong ………..

18. Gambar 3.2 Peralatan MT type MTU 5A buatan Phoenix

Geophysics, Ltd Canada (http://www.phoenix-geophysics.com)...

19. Gambar 3.3 Sketsa instalasi sensor-sensor pengukuran MT di

lapangan (Widarto, 2008)……….

20. Gambar 3.4 Screenshot Data CM01.EDI...

21. Gambar 3.5 Diagram Alir Penelitian………

22. Gambar 4.1 Line Daerah Penelitian………

23. Gambar 4.2 Line 1 (1) Plot data koherensi CM02 (2) Plot data

koherensi CM03 ………...

24. Gambar 4.3 Line 1 (1) Plot data phase CM02 (2) Plot data phase CM03 ………... 25. Gambar 4.4 Line 1 (1) Plot data resistivitas CM02 (2) Plot data

resistivitas CM03………..

26. Gambar 4.5 Line 1 (1) Plot koreksi data koherensi CM02 (2) Plot

koreksi data koherensi CM03………..

27. Gambar 4.6 Line 1 (1) Plot koreksi data phase CM02 (2) Plot koreksi data phase CM03 ………..….. 28. Gambar 4.7 Line 1 (1) Plot koreksi data resistivitas CM02 (2) Plot

koreksi data resistivitas CM03 ………..………..

29. Gambar 4.8 Nilai skew angle (β) (a) Line 1 (b) Line 2……….

30. Gambar 4.9 Diagram rose (a) Frekuensi 0,1-1 Hz (b) Frekuensi 1-10 19 23 30 31 32 36 41 42 43 44 45 46 46 47 48

(17)

xvii

Hz (c) Frekuensi 10-100 Hz (d) Frekuensi 100-1.000 Hz (e)

Frekuensi 1.000-10.000 Hz (f) Semua frekuensi………..

31. Gambar 4.10 Line 2 (1) Plot data rotasi koherensi CM02 (2) Plot data rotasi koherensi CM04………...……….... 32. Gambar 4.11 Line 2 (1) Plot data rotasi phase CM02 (2) Plot data

rotasi phase CM04……… 33. Gambar 4.12 Line 2 (1) Plot data rotasi resistivitas CM02 (2) Plot

data rotasi resistivitas CM04……… 34. Gambar 4.13 Line 2 (1) Plot koreksi data rotasi koherensi CM02 (2)

Plot koreksi data rotasi koherensi CM04………..………

35. Gambar 4.14 Line 2 (1) Plot koreksi data rotasi phase CM02 (2) Plot koreksi data rotasi phase CM04………...………

36. Gambar 4.15 Line 2 (1) Plot koreksi data rotasi resistivitas CM02 (2)

Plot koreksi data rotasi resistivitas CM04………

37. Gambar 4.16 Pemodelan 2 dimensi line 1………

38. Gambar 4.17 Pemodelan 2 dimensi line 2………

49 51 52 52 54 54 55 56 58

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1. Data Koordinat Titik Pengukuran ... 66

2. Lampiran 2. Data .pt1 ………....………… 67

3. Lampiran 4. Daftar Hadir Tugas Akir …....……...…. 78 4. Lampiran 5. Daftar Kegiatan Tugas Akhir ……....…...…. 79 5. Lampiran 3. Surat Permohonan Tugas Akhir di LIPI, Serpong 82

6. Lampiran 6. Surat Keterangan Selesai Tugas Akhir …... 83

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia,

apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya

bumi setelah mati (kering) dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam

binatang dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi

(semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.”(Q.S. Al-Baqarah/2:164)

Bagi orang-orang yang mengerti dan berpikir mempelajari dan menjaga

apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi merupakan cara manusia untuk

mengetahui dan bersyukur atas tanda-tanda kebesaran Allah SWT.

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”(Q.S. Asy-Syura/42:30)

Dalam surat Al-Waqi’ah ayat 4 menjelaskan bumi diguncangkan (gempa

bumi), kata gempa bumi didapatkan pada penyebutan kata rujjat terambil dari

kata raja yakni menggoncang dengan keras, ayat tersebut menggunakan bentuk

pasif yang mengesankan terjadinya hal tersebut dengan sangat mudah (Shihab,

2002).

Terjemahnya:”Apabila bumi diguncangkan sedasyat-dasyatnya.”(Q.S. Al-Waqi’ah/56:4)

(20)

2

Seperti yang sudah dipaparkan surat Asy-Syura/42 ayat 30 bahwa musibah

apa pun yang menimpa manusia semua itu disebabkan manusia itu sendiri begitu

pula bencana alam gempa bumi. Indonesia merupakan negara yang sangat rawan

terhadap bencana gempa-gempa tektonik, karena Indonesia terletak pada batas

pertemuan tiga lempeng besar dunia yang sangat aktif yaitu lempeng Eurasia,

lempeng Pasifik dan lempeng Australia (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Tektonik Indonesia (McCaffrey, 2009)

Akibat tumbukan antar lempeng itu maka terbentuk daerah penunjaman

atau subduksi. Zona subduktif sekitar lempeng Australia adalah busur sunda

(sunda strend). Daerah yang tedekat dengan busur sunda merupakan daerah Jawa

Barat. Ada empat perbedaan morfologi dan struktur di Jawa Barat, diantaranya:

daratan pantai utara Jawa Barat, perbukitan lipatan Bogor, zona Bandung yang

(21)

3

pegunungan selatan Jawa Barat (Van Bemmelan, 1949 dan Martodjojo, 1984).

Gambar 1.2 menunjukkan gambar peta fisiologi Jawa Barat.

Gambar 1.2 Gambar peta fisiologi Jawa Barat (setelah Darji et al., 1994). (1) produk

vulkanik kwater (2) dataran aluvial (3) zona Bogor (4) kubah dan ridge di zona Bandung (5) zona Cimandiri-Bandung (6) pegunungan selatan (7) jejak sesar Cimandiri

Batas antara zona Bandung dan pegunungan selatan memiliki arah strike

(trend) N70-80°E dari teluk Pelabuhan Ratu ke zona Bandung (Darji et al., 1994).

Batas tersebut disebut dengan sesar Cimandiri. Sesar Cimandiri adalah sesar aktif

yang terdapat di Selatan Sukabumi. Sesar Cimandiri ini berarah Barat Daya-Timur

Laut (Anugrahadi, 1993). Panjang zona sesar Cimandiri sekitar 100 km. Sesar

Cimandiri terbagi menjadi beberapa segmen (Gambar 1.3) yaitu Loji, Cidadap,

Nyalindung, Cibeber, Saguling dan Padalarang (G. I. Marliyani et al., 2016).

(22)

4

Peneliti akan mengkaji salah satu segmen yaitu segmen Cibeber seperti

yang ditunjukan pada Gambar 1.4. Sesar Cimandiri yang memiliki trend

N70-80°E merupakan sesar sinistral strike-slip (Dardji et al., 1994). Sesar Cimandiri

memiliki perpindahan horizontal sekitar 1 sampai 2 cm per tahun (Abidin et al.,

2009).

Gambar 1.4 Peta Daerah Penelitian (G. I. Marliyani et al., 2016)

Potensi kegempaan di daerah sesar Cimandiri tergolong cukup besar,

dengan melihat catatan-catatan gempa seperti gempa yang terjadi di Pelabuhan

Ratu (1900), Cibadak (1973), Gandasoli (1982), Padalarang (1910), Tanjungsari

(1972), Conggeang (1948) dan Kab Sukabumi (2001). Pusat gempa bumi yang

merusak ini terletak pada lajur sesar aktif Cimandiri (http://geodesy.gd.itb.ac.id/).

Oleh karena itu, penting untuk menganalisa struktur bawah permukaan di

sekitar daerah sesar Cimandiri. Peneliti menganalisa struktur bawah permukaan

daerah sesar Cimandiri terutama segmen Cibeber dengan menggunakan metode

audio magnetotelurik dari data hasil akuisisi di daerah tersebut. Metode Audio

Magnetotelurik (AMT) merupakan salah satu metode elektromagnetik domain

(23)

5

sumbernya. Variasi pada medan magnet bumi tersebut menghasilkan interval

frekuensi dari 0,1 Hz sampai 10 kHz. Interval frekuensi AMT yang lebar

memberikan kemampuan kepada kita untuk mempelajari sifat kelistrikan bawah

permukaan bumi dari permukaan hingga kedalam yang lebih besar. Interval

frekuensi yang lebar tersebut juga mengartikan bahwa metode ini dapat mengatasi

masalah lapisan tanah yang menutupi bahan galian (overburden) yang konduktif

dan memiliki penetrasi kedalaman yang besar. Metode AMT mengukur medan

listrik dan magnet pada dua arah yang saling tegak lurus. Hal ini dapat

memberikan informasi penting terkait electrical anisotropy di wilayah tertentu

(Daud et al., 2010). Electrical anisotropy adalah nilai kelistrikan tanah atau

batuan yang tidak seragam pada arah aliran rembesan yang berbeda, arah

mendatar berbeda dengan arah vertikal.

Sebelumnya sudah pernah dilakukan penelitian di daerah tersebut dengan

data yang sama. Dari hasil penelitian tersebut hasil pemodelan inversi pada kedua

lintasan menunjukkan lapisan bertahanan jenis >1000 Ωm berada di sekitar

kedalaman 500 meter yang diperkirakan merupakan batuan dasar. Tetapi pada sisi

selatan lintasan 2, lapisan tersebut tidak ada hingga kedalaman 2 km. Boleh jadi

lapisan batuan dasar di daerah selatan pada lintasan 2 terletak lebih dalam lagi,

sehingga dapat disimpulkan keberadaan sesar normal (Handayani et al., 2015).

Seperti metode geofisika lainnya, metode AMT pun memiliki

tahapan-tahapan tertentu agar dapat menggambarkan kondisi bawah permukaan. Secara

umum tahapan-tahapan tersebut adalah akuisisi data, pengolahan data, dan

interpretasi. Pada tahapan awal yaitu akuisis data, peneliti tidak melakukan hal

(24)

6

(Handayani et al., 2015). Sedangkan pada tahap pengolahan data peneliti akan

menggunkan metode yang berbeda yaitu menggunakan analisa phase tensor

(Caldwell et al., 2004) untuk menentukan dimensi pemodelan yang sesuai

(dimensionality) dan struktur regional segmen Cibeber dari sesar Cimandiri

sebagai analisa awal sebelum melakukan pemodelan bawah permukaan daerah

studi. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan pemodelan 2D dari program

yang dikembangkan oleh Ogawa dan Uchida (1996) dengan bantuan software

Octave dan software Generic Mapping Tool (GMT) Hawaii.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan yang

akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana mengolah data AMT dengan menggunakan analisa phase

tensor (Caldwell et al., 2004) dan pemodelan bawah permukaan dari

program yang telah dikembangkan oleh Ogawa dan Uchida (1996) ?

2. Bagaimana struktur bawah permukaan segmen Cibeber zona sesar

Cimandiri ?

1.3 Batasan Masalah

Adapun pembatasan masalah yang akan dikerjakan pada Tugas Akhir ini

adalah mempelajari setiap tahapan pengolahan data AMT yang berguna untuk

mengetahui struktur bawah permukaan segmen Cibeber dari zona sesar Cimandiri

(25)

7 1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa dimensionality dan regional strike dari segmen Cibeber zona

sesar Cimandiri.

2. Menganalisa struktur bawah permukaan segmen Cibeber zona sesar

Cimandiri.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk proses mitigasi bencana

agar lebih tepat dan akurat khususnya yang berkaitan dengan aktivitas sesar

Cimandiri segmen Cibeber.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan mengacu pada buku pedoman akademik yang

diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang meliputi:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang pengertian, teori-teori, dan hasil penelitian

terdahulu yang digunakan sebagai landasan atau dasar dari penelitian ini.

(26)

8

Bab ini menguraikan tentang tempat penelitian, waktu penelitian, data

penelitian, koordinat titik pengukuran, peralatan dan perlengkapan kerja,

tahapan pengolahan data penelitian dan diagram alir.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil dari pengolahan data AMT daerah sesar

Cimandiri segmen Cibeber menggunakan metode Audio Magnetotelurik

dengan bantuan software Octave dan software GMT Hawaii.

BAB V PENUTUP

(27)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Sesar

2.1.1 Definisi Sesar

Billing (1959) mendefinisikan sesar sebagai bidang rekahan yang

disertai oleh adanya pergeseran relatif (displacement) satu blok terhadap

blok batuan lainnya. Jarak pergeseran tersebut dapat hanya beberapa

milimeter hingga puluhan kilometer, sedangkan bidang sesarnya mulai

dari yang berukuran beberapa centimeter hingga puluhan kilometer.

Sedangkan secara harfiah sesar adalah rekahan pada batuan yang telah

mengalami pergeseran melalui bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa

bidang sesar rekahan tunggal (fault plane). Tetapi lebih sering berupa jalur

sesar (fault zone), yang terdiri dari lebih dari satu sesar. Jalur sesar atau

gerusan (shear) mempunyai dimensi panjang dan lebar yang beragam, dari

skala minor atau sampai puluhan kilometer, seperti ditunjukan pada

(28)

10

Gambar 2.1 Morfologi sesar (a) fault (b) fault zone (c) shear zone (van der

Pluijm, 2004)

Kekar yang memperlihatkan pergeseran dapat pula dikatakan

sebagai sesar minor. Secara garis besar dapat dikelompokkan kedalam

tiga jenis sesar, yaitu : sesar naik, sesar mendatar, sesar normal. Hal ini diakibatkan oleh orientasi dan posisi tegasan maksimum (σ1), tegasan menengah (σ2), tegasan minimum (σ3). Dari hasil percobaan Anderson (1951) menyimpulkan jika: sigma satu vertikal maka akan terbentuk

patahan normal, sigma dua vertikal maka akan membentuk sesar mendatar,

sigma tiga vertikal maka akan membentuk sesar naik, seperti yang

ditunjukan pada Gambar 2.2 (Davis dan Reynolds, 1996).

Gambar 2.2 Klasifikasi sesar menurut Anderson, 1951 (Davis dan

Reynolds, 1996)

Untuk mengetahui klasifikasi sesar maka kita harus mengenali

unsur-unsur struktur geometri sesar (seperti pada Gambar 2.3) dapat dibagi

(29)

11

1. Bidang sesar adalah bidang rekahan tempat terjadinya pergeseran,

yang kedudukannya dinyatakan dengan jurus dan kemiringan.

2. Hanging wall adalah bagian terpatahkan yang berada di atas bidang sesar.

3. Foot wall adalah bagian terpatahkan yang berada di bawah bidang sesar.

4. Throw adalah besaran pergeseran vertikal pada sesar. 5. Heave adalah besaran pergeseran horizontal pada sesar. 6. Slip adalah pergeseran relatif sebenarnya.

7. Separation adalah pergeseran relatif semu.

8. Jurus Sesar (strike of fault) adalah arah garis perpotongan bidang

sesar dengan bidang horizontal dan biasanya diukur dari arah utara.

9. Kemiringan Sesar (dip of fault) adalah sudut yang dibentuk antara

bidang sesar dengan bidang horizontal, diukur tegak lurus strike.

10. Net slip adalah pergeseran relatif suatu titik yang semula berimpit

pada bidang sesar akibat adanya sesar.

11. Rake adalah sudut yang dibentuk oleh net slip dengan strike slip

(pergeseran horizontal searah jurus) pada bidang sesar.

(a) (b)

Gambar 2.3 (a) Unsur-unsur struktur sesar (Anderson, 1951) (b) Komponen geometri

(30)

12

Gambar 2.4 Hanging wall dan foot wall (van der Pluijm, 2004)

2.1.2 Ciri-Ciri Sesar

Secara garis besar, sesar dibagi menjadi dua, yaitu sesar tampak

dan sesar buta. Sesar tampak adalah sesar yang mencapai permukaan

bumi, sedangkan sesar buta adalah sesar yang terjadi di bawah permukaan

bumi dan tertutupi oleh lapisan seperti lapisan deposisi sedimen.

Pengenalan sesar di lapangan biasanya cukup sulit. Beberapa kenampakan

yang dapat digunakan sebagai penunjuk adanya sesar antara lain

(Faristyawan, 2012):

1. Adanya struktur yang tidak menerus (lapisan terpotong dengan

tiba-tiba).

2. Adanya perulangan lapisan atau hilangnya lapisan batuan.

3. Kenampakan khas pada bidang sesar, seperti cermin sesar, gores

garis.

4. Kenampakan khas pada zona sesar, seperti seretan (drag), breksi

sesar, horses, atau lices, milonit.

5. Silisifikasi dan mineralisasi sepanjang zona sesar.

(31)

13

7. Petunjuk fisiografi, seperti gawir (scarp), scarplets (piedmont

scarp), triangular facet, pembelokan sungai dan terpotongnya bagian depan rangkaian pegunungan struktural.

2.1.3 Klasifikasi Sesar

Ketika pergerakan patahan terjadi, satu bidang patahan bergeser

relatif terhadap bidang lainnya. Pergeseran tersebut dapat digambarkan

dengan menentukan vektor net-slip yang menghubungkan dua titik

berpasangan yang berada pada bidang berlawanan setelah terjadi patahan.

Untuk menentukan vektor net-slip, harus diketahui besar dan arahnya,

serta tipe pergeseran. Tipe pergeseran mendefinisikan perpindahan relatif

suatu bidang patahan terhadap bidang lainnya, salah satu bidang bergerak

ke atas atau ke bawah terhadap bidang lainnya, dan (atau) ke arah kanan

atau kiri bidang lainnya. Jika vektor net-slip sejajar dengan arah dip,

patahan disebut dip-slip fault. Jika vektor net-slip sejajar dengan arah

strike, patahan disebut strike-slip fault. Jika vektor net-slip tidak sejajar dengan arah dip maupun strike, patahan disebut obliqueslip fault (van der

Pluijm & Marshak, 1955).

Dip-slip fault dapat diklasifikasikan menjadi: (1) normal fault, yaitu jika batuan yang berada di atas bidang patahan bergerak relatif turun

terhadap batuan di bawah bidang patahan, (2) reverse fault, yaitu jika

batuan yang berada di atas bidang patahan bergerak relatif naik terhadap

batuan di bawah bidang patahan. Tipe-tipe dip-slip fault ditunjukkan pada

(32)

14

Gambar 2.5 Dip-slip fault (van der Pluijm, 2004)

Sesar naik (reverse fault) untuk sesar naik ini bagian hanging

wall-nya relatif bergerak naik terhadap bagian foot wall. Salah satu ciri sesar

naik adalah sudut kemiringan dari sesar itu termasuk kecil, berbeda dengn

sesar turun yang punya sudut kemiringan bisa mendekati vertikal.

Strike-slip fault dapat diklasifikasikan menjadi: (1) right-lateral (dextral), jika bidang pada sisi berseberangan bergerak relatif ke kanan

pengamat, (2) left-lateral (sinistral), jika bidang pada sisi berseberangan

bergerak relatif ke kiri pengamat. Tipe-tipe strike-slip fault ditunjukkan

pada Gambar 2.5 (van der Pluijm, 2004).

(33)

15

Sesar mendatar (strike slip fault / transcurent fault / wrench fault)

adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi.

Posisi tegasan utama pembentuk sesar ini adalah horizontal, sama dengan

posisi tegasan minimumnya, sedangkan posisi tegasan menengah adalah

vertikal. Umumnya bidang sesar mendatar digambarkan sebagai bidang

vertikal, sehingga istilah hanging wall dan foot wall tidak lazim digunakan

di dalam sistem sesar ini. Berdasarkan gerak relatifnya, sesar ini dibedakan

menjadi sinistral (mengiri) dan dekstral (menganan). Sedangkan

oblique-slip fault memiliki tipe gabungan dari kedua jenis patahan (dip-oblique-slip fault dan strike-slip fault), yaitu: (1) leftlateral/normal, (2) left-lateral/reverse,

(3) right-lateral/normal, dan (4) right-lateral/reverse. Tipe-tipe

oblique-slip fault ditunjukkan pada Gambar 2.6 (van der Pluijm, 2004).

Gambar 2.7 Oblique-slip fault (van der Pluijm, 2004)

2.1.4 Sesar Cimandiri

Daerah penelitian berada di segmen Cibeber zona sesar Cimandiri,

Jawa Barat. Segmen Cibeber berada di antara segmen Nyalindung dan

(34)

16

Cimandiri. Segmen zona sesar Cimandiri ada enam, yaitu Loji, Cidadap,

Nyalindung, Cibeber, Saguling dan Padalarang (G. I. Marliyani et al.,

2016).

Sesar Cimandiri merupakan batas yang memisahkan zona Bandung

dan pegunungan selatan, di mana sebagian besar zona Bandung tertutup

oleh batuan vulkanik. Sesar Cimandiri ini berarah Barat Daya-Timur Laut

(Anugrahadi, 1993). Hal tersebut seperti yang sudah dikemukakan oleh

Darji dkk (1994), bahwa batas antara zona Bandung dan pegunungan

selatan memiliki trend N70-80°E dari teluk Pelabuhan Ratu ke zona

Bandung.

2.2 Metode Audio Magnetotelurik

2.2.1 Definisi Metode Audio Magnetotelurik

Magnetotelurik (MT) merupakan teknik eksplorasi pasif yang

memanfaatkan spektrum lebar variasi geomagnet yang terjadi secara alami

sebagai sumber untuk induksi elektromagnetik ke dalam bumi. MT

berbeda dengan teknik geolistrik aktif yang mana sumber arusnya

diinjeksikan ke dalam tanah (Simpon & Bahr, 2005).

Metode AMT adalah salah satu metode elektromagnetik domain

frekuensi yang memanfaatkan variasi alami medan magnet bumi sebagai

sumbernya. Metode pengukuran magnetotelurik (MT) dan audio

magnetotelurik (AMT) secara umum adalah sama, perbedaannya hanya

pada cakupan frekuensi yang ditangkap. Semakin kecil frekuensi yang

dihasilkan maka semakin dalam hasil survei yang diperoleh. Metode MT

(35)

17

sekitar 21.5 jam), sedangkan metode AMT memperoleh data dari frekuensi

0.1 Hz sampai 10 kHz, di mana sumbernya berasal dari alam (arus telurik

yang terjadi sekitar ionosfer bumi).

Interval frekuensi yang lebar tersebut juga mengartikan bahwa

metode ini dapat mengatasi masalah lapisan tanah yang menutupi bahan

galian (overburden) yang konduktif dan memiliki penetrasi kedalaman

yang besar. Metode MT mengukur medan listrik dan magnet pada dua

arah yang saling tegak lurus. Hal ini dapat memberikan informasi penting

terkait electrical anisotropy di wilayah tertentu (Daud et al., 2010).

Metode MT pertama kali diperkenalkan oleh Tikhonov (1950) dan

Cagniard (1953) dengan konsep dasar mengukur komponen horizontal

medan elektromagnetik alamiah yang bersumber dari magnetosfer atau

ionosfer. Metode ini efektif digunakan untuk mendeteksi serta

memetahkan kontras tahanan jenis hingga kedalaman 2 – 3 km di bawah

permukaan (Zonge dan Hughes, 1991) dan memiliki interpretasi

kedalaman yang lebih pasti dibanding metode gravitasi dan magnetik

(Vozoff, 1972).

2.2.2 Konsep Dasar Metode Magnetotelurik

Medan elektromagnetik (EM) primer merambat menuju bumi yang

dianggap sebagai konduktif, sedangkan udara bersifat resistif. Kemudian

medan EM primer membentuk medan EM sekunder di dalam bumi (arus

eddy terinduksi, amplitudo dan fase gelombang berubah). Total medan EM

yang akan terukur oleh receiver pada alat MT adalah jumlah dari medan

(36)

18

Gambar 2.8 Fenomena penjalaran gelombang elektromagnetik (Unsworth, 2006)

Medan elektromagnetik dibentuk oleh dua sumber, yaitu lightning

activity dan solar wind. Lightning activity merupakan fenomena terjadinya petir yang menghasilkan frekuensi lebih besar dari 1 Hz, sedangkan solar

wind merupakan partikel bermuatan yang dipancarkan dari matahari menghasilkan frekuensi lebih kecil dari 1 Hz. Fenomena lightning activity

dan solar wind tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8 (Unsworth, 2006).

Gambar 2.9 Fenomena lightning activity dan solar wind

(www.eugeneoganova.blogspot.om, 2010)

Peralatan yang digunakan untuk merekam sinyal gelombang elektromagnetik dapat dilihat pada Gambar 2.9 yang mana dapat diketahui bahwa dalam proses pengukuran MT terdapat tiga sensor magnetik (Hx, Hy, Hz) dan empat sensor elektrik.

(37)

19

Gambar 2.10 MT field layout (Daud, 2010)

2.2.3 Proses Terjadinya Metode Magnetotelurik

Menurut Green (2003), ketika solar wind bertemu magnetosphere

bumi, elektron dan proton terdefleksi berlawanan arah yang menimbulkan

peningkatan arus listrik dalam plasma dan efek medan magnetik.

Perlapisan (interface) ini bergerak berpindah secara tak menentu sebagai

energi solar wind yang tiba. Hasil efek magnetik yang timbul di

magnetopause dengan kuat diubah oleh waktu saat menembus permukaan bumi dan diamati.

Gambar 2.11 Defleksi Proton dan Elektron pada Magnetopause (Arumsari,

(38)

20

Setelah mengenai bumi, medan elektromagnetik (EM) alam

hakikatnya merambat secara vertikal menuju bumi karena adanya kontras

resistivity yang besar pada lapisan udara-bumi, yang menyebabkan pembelokan/refraksi vertikal kedua medan (elektrik dan magnetik) yang

ditransmisikan ke dalam bumi. Medan EM kemudian berasosiasi dengan

arus telurik yang ada di bumi. Kemudian medan magnetik H menginduksi

batuan konduktif dalam lapisan bumi dan menghasilkan medan magnetik

sekunder B. Perubahan medan magnet horizontal menginduksi perubahan

medan listrik yang horizontal inilah yang akan diukur di permukaan.

2.2.4 Analisa Phase Tensor Caldwell et al. (2004)

Phase tensor merupakan phase dari bilangan komplek (real dan imajiner). Phase tensor dapat ditulis sebagai matriks berikut:

*

+ [

] (2.1) di mana . Turunan sederhana dari invarian phase tensor dapat ditulis sebagai berikut:

(trace) ....………... (2.2) (skew) ....………... (2.3) (determinan) …….... (2.4) dari persamaan tersebut dapat diturunkan ke persamaan fungsi berikut:

⁄ ………... (2.5)

[ ] ⁄ ………... (2.6)

(39)

21

sedangkan untuk persamaan berdasarkan nilai jumlah maksimum,

minimum dan sudut kemiringan (skew angle) dapat dilihat persamaan

berikut:

⁄ ⁄ ……… (2.8) ⁄ ⁄ ……… (2.9)

( ) ……… (2.10)

Invarian koordinat yang digunakan adalah nilai tensor maksimum

(max) dan minimum (min), maka fungsi sederhana dari sudut kemiringan

dapat ditulis sebagai berikut:

(

) …....……… (2.11)

Sudut ini dapat dianggap sebagai rotasi dan merupakan ukuran

asimetri tensor. Perhatikan bahwa bergantung pada kemiringan tensor , yang invarian di bawah rotasi tapi tanda berubah jika system koordinat direfleksikan. Selain itu, phase tensor juga dapat ditulis:

[

] ……… (2.12) Di mana adalah matriks rotasi:

[ ] ……… (2.13) adalah transformasi atau inversi matriks rotasi, di mana , dan

(

) ………....…… (2.14)

Dari sudut ini mengungkapkan bahwa tensor bergantung pada

(40)

22

dan sudut kemiringan dapat ditunjukkan oleh berputarnya sistem koordinat

Kartesian yang digunakan untuk mengekspresikan tensor. Rotasi dengan sudut θ dapat ditulis:

[ ] [ ] [ ] .…… (2.15) Di mana . Efek dari rotasi adalah merubah sudut menjadi sudut , semua parameter lainnya tidak berubah yaitu invarian

koordinat.

Jika phase tensor simetris (β = 0), maka principal values dari

sebuah tensor sama dengan eigenvalues-nya. Hal ini terjadi ketika

distribusi regional konduktivitas dari sebuah studi adalah cerminan

simetris, misalnya ketika distribusi regional konduktivitas 1-D atau 2-D.

Phase tensor simetris dan memiliki principal values yang sama, seperti pada kasus jika konduktivitas distribusi seragam atau 1-D, dari bidang

listrik akan linear terpolarisasi jika dari bidang magnetik linier

terpolarisasi. Pada kasus 2-D, principal values biasanya akan berbeda

(yaitu ) dan akan ada dua arah untuk bidang magnetik yang

terpolarisasi secara linier sehingga akan menimbulkan medan listrik yang

terpolarisasi secara linier juga

Secara grafik, phase tensor bisa diwakili oleh gambar elips seperti

(41)

23

tidak sama dengan nol. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi rotasi

sumbu utama dari phase tensor sebesar nilai β.

Gambar 2.12 Sifat elips phase tensor (Caldwell et al., 2004)

2.2.5 Teori Dasar Persamaan Medan Elektomagnetik Maxwell

Untuk memahami sifat dan atenuasi gelombang elektromagnetik

dibutuhkan persamaan Maxwell dalam bentuk yang berkaitan dengan

medan listrik dan magnet. Perhatikan persamaan berikut :

(Hukum Faraday) ... (2.16)

(Hukum Ampere) ... (2.17)

(Hukum Coulomb) ... (2.18) (Hukum Kontinuitas Fluks Magnet) (2.19) Dimana,

(42)

24 J = rapat arus (A/m2)

E = intensitas medan listrik (V/m) B = rapat fluks magnet (T)

H = intensitas medan magnet (A/m) D = pergeseran arus (C/m2)

Hukum Faraday pada persamaan (2.16) menjelaskan bahwa adanya

perubahan medan magnet terhadap waktu akan menyebabkan terbentuknya

medan listrik. Hukum Ampere pada persamaan (2.17) menjelaskan bahwa

medan magnet tidak hanya terjadi karena adanya sumber arus listrik,

namun dapat terjadi juga karena pengaruh perubahan medan listrik

terhadap waktu sehingga menginduksi medan magnet. Hukum Coulomb

pada persamaan (2.18) menjelaskan bahwa medan listrik disebabkan oleh

adanya muatan listrik yang berperan sebagai sumbernya, sedangkan

Hukum Kontinuitas Fluks Magnet pada persamaan (2.19) menjelaskan

bahwa tidak ada magnet yang bersifat monopol (Telford et al., 2004).

Selain Persamaan Maxwell, pada medium isotropis homogen

diaplikasikan persamaan lain agar penyelesaian persamaan medan menjadi

lebih sederhana sehingga didapat solusinya. Persamaan tersebut adalah:

……… (2.20)

……… (2.21)

……… (2.22)

dimana: adalah permeabilitas magnetik (Henry/m), adalah permitivitas listrik (Farad/m), adalah konduktivitas ( m atau Siemens/m), adalah tahanan jenis ( m).

(43)

25

Dengan asumsi bahwa sifat fisik medium tidak bervariasi terhadap

waktu dan posisi (isotropic homogen) serta perpindahan arus diabaikan,

Persamaan Maxwell dapat direduksi menjadi:

……… (2.23)

……… (2.24)

Apabila dilakukan operasi curl terhadap variabel medan listrik (E)

dan medan magnet (H) maka akan diperoleh Persamaan Gelombang

Helmholtz:

………... (2.25a) ………... (2.25b) Persamaan (2.25) merupakan Persamaan Telegrapher yang

menunjukan sifat penjalaran gelombang pada medan elektromagnetik,

yang mempunyai sifat difusif

dan sifat gelombang akustik . Kedua sifat ini penjalarannya tergantung dari frekuensi yang digunakan. Apabila

frekuensi yang digunakan adalah frekuensi tinggi (hingga ukuran

Mega/Gigahertz), maka yang mendominasi adalah sifat gelombang yang

dikenal sebagai fenomena gelombang akustik. Sedangkan frekuensi yang

digunakan dalam metode MT adalah frekuensi rendah (10-1 – 104 Hz),

sehingga sifat yang dominannya adalah sifat difusif. Konsekuensi dari hal

tersebut adalah resolusi akan semakin rendah pada kedalaman yang

(44)

26 2.2.6 Skin Depth (δ)

Kedalaman dari penetrasi variasi medan tergantung pada panjang

periode dan konduktivitas bawah permukaan. Ini disebut efek skin depth.

Skin depth (δ (ω)) di bumi homogen didefinisikan sebagai berikut:

(| |) ⁄ ( ) ⁄ ... (2.26) Dimana k adalah bilangan gelombang spasial, ω adalah frekuensi

sudut, σ adalah konduktivitas listrik, μ adalah permeabilitas magnetik

batuan. Skin depth mewakili pelepasan amplitudo medan elektromagnetik

secara eksponensial dengan kedalaman. Pada kedalaman (δ (ω)),

amplitudo medan elektromagnetik turun 1 / e atau sekitar 37% berkenaan

dengan nilainya di permukaan. Skin depth sebanding dengan akar kuadrat

periode (T) (T = 2π/ω). Hal ini menyimpulkan bahwa kedalaman kulit

meningkat dengan periode T.

2.2.7 Impedansi Tensor (Z)

Dalam metode MT, gelombang elektromagnetik merambat ke bumi

yang (homogen dan isotropik) dimana memiliki vektor gelombang medan

listrik dan medan magnet yang ortogonal satu sama lain. Rasio dari

intensitas medan listrik dan medan magnet (E/H) disebut sebagai

impedansi (Z) yang merupakan ukuran karakteristik dari sifat EM medium

sub permukaan dan merupakan fungsi dasar respon MT. Impedansi tensor,

Z( ), menghubungkan komponen kompleks horizontal medan listrik (E) dan medan magnet (H) pada frekuensi tertentu ( ). Pada media homogen,

(45)

27

perbandingan komponen ortogonal adalah dimana k adalah bilangan

gelombang dan adalah frekuensi sudut. Pada umumnya bumi 3-D, impedansi dinyatakan dalam bentuk matriks dalam koordinat Cartesian (x,

y horizontal dan z positif ke bawah):

……….……… (2.27) [ ] [ ] [ ] ……… (2.28) 2.2.8 Bumi Pada 1-D

Distribusi spasial menjadi dimensi geoelektrik (geoelectric

dimensionality) dalam MT dapat diklasifikasikan 1-D, 2-D atau 3-D.

Untuk kasus Bumi 1-D, distribusi konduktivitas hanya bergantung pada

kedalaman dan bervariasi sepanjang dua arah, yaitu satu arah horizontal

(misalnya, x arah) dan yang lainnya sepanjang arah vertikal (z). Sepanjang

arah horizontal lainnya (y) resistivitas tidak berubah dan arah ini disebut

arah pemogokan geoelektrik. Bila bumi adalah 2-D, ρ = ρ (x, z) dan

turunannya terhadap y sama dengan nol, ∂/∂y = 0. Dalam kasus bumi 2-D,

medan elektromagnetik total terbagi menjadi dua mode independen,

sebagai berikut:

1. Polarisasi E atau transvers elektrik, TE (medan listrik yang tegak

lurus, transvers terhadap bidang sumbu) atau medan listrik parallel

terhadap sumbu invarian y. Komponen medan menjadi Ey yaitu:

....…………...…… (2.29)

(46)

28

...…….………...… (2.30b) 2. Polarisasi H atau transvers magnet, TM (medan magnet tegak

lurus, transvers terhadap bidang simetri) atau medan listrik tegak

lurus terhadap sumbu invarian y. Komponen medan menjadi Hy

yaitu:

....………....… (2.31)

....…….………...…… (2.32a) ....…...………...…… (2.32b) Di bumi 2-D, elemen diagonal Z tidak ada: Zxx = Zyy = 0. Untuk

bumi 2-D, konduktivitasnya bervariasi sepanjang satu arah horizontal dan

juga dengan kedalaman, Zxx dan Zyy sama besarnya, namun berlawanan

tanda, sementara Zyx dan Zyx berbeda. Oleh karena itu, Persamaan 2.32b

dapat dinyatakan sebagai berikut:

[ ] [

] [

] ...……...…… (2.33) Dua komponen tensor impedansi dapat diformulasikan:

= ...……...…… (2.34a) ...……...…… (2.34b) Dengan sesuai nilai tahanan jenis semu, ρa:

| | ...……...…… (2.35a) | | ...……...…… (2.35b) Dan nilai fasa yang sesuai, φ:

(47)

29 ( ( ( )

) ) ...……...…… (2.36a)

(48)

30 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat Pelaksanaan

Tempat Pelaksanaan : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Serpong,

Tangerang Selatan. Kawasan Komplek PUSPIPTEK

Serpong, Tangerang Selatan.

Tanggal Pelaksanaan : 16 Januari 2017 s/d 31 Mei 2017

Waktu : 08.00 – 16.00 WIB

Gambar 3.1 Gedung Baru P2F-LIPI Serpong

3.2 Data

3.2.1 Akuisisi Data Audio Magnetotelurik

Peralatan yang digunakan untuk akuisisi terdiri dari satu buah

(49)

31

koil induksi magnetik, 6 buah sensor medan listrik (porouspot), 1 buah

laptop untuk memonitor data, GPS dan kabel-kabel (Gambar 2.12).

Sebelum melakukan akuisisi, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi sistem

MTU-5A box dan ketiga koil magnetik. Kalibrasi dilakukan dalam kondisi

sensor magnetik belum ditanam ke dalam tanah.

Gambar 3.2 Peralatan MT type MTU 5A buatan Phoenix Geophysics, Ltd

Canada (http://www.phoenix-geophysics.com)

Pada titik pusat pengukuran ditentukan empat titik dan dibuat garis

semu dengan memakai patok pada tiap-tiap titik. Garis semu tersebut

membagi daerah pengukuran menjadi empat kuadran, dimana sumbu x

berimpit dengan arah utara dan selatan; sumbu y berimpit dengan arah

barat dan timur. Jika kondisi daerah pengukuran merupakan kondisi ideal

untuk struktur 2-dimensi (2−D), maka porouspot Ey dan coil Hy

sebaiknya diarahkan tegak lurus struktur, sedangkan porouspot Ex dan coil

(50)

32

Gambar 3.3 Sketsa instalasi sensor-sensor pengukuran MT di lapangan

(Widarto, 2008)

1. Pemasangan Sensor Medan Listrik

Pemasangan sensor medan listrik yaitu dengan menanam 4

buah porouspot di titik utara, selatan, barat dan timur dari titik

pengukuran. Jarak antar tiap porouspot dari timur ke barat dan dari

utara ke selatan biasanya adalah 80-100 meter tergantung kepada

kondisi topografi daerah setempat. Penanaman porouspot

dilakukan dengan menggali lubang sedalam kurang lebih 30 cm.

Porouspot yang digunakan sebagai sensor medan listrik ini terbuat dari bahan Pb-PbCl2.

2. Pemasangan Sensor Magnetik

Sensor medan magnetik berupa koil induksi magnetik

ditanam pada kuadran yang berbeda. Susunan letak sensor

magnetik (Hx, Hy, Hz) pada masing-masing kuadran ditunjukan

oleh gambar 2.13. Koil induksi magnetik ini mempunyai panjang

(51)

33

Kuadran I terletak pada sumbu garis semu yang berarah

timur dan utara. Kuadran II terletak diantara arah barat dan selatan.

Kuadran III terletak diantara arah selatan dan timur. Pemasangan

koil magnetik harus dilakukan secara hati-hati, karena koil ini

sensitif terhadap cuaca, suhu, tekanan, dan benturan. Penanaman

koil Hx umumnya ditanam pada kuadran II dengan posisi

horizontal dan bagian yang tersambung dengan kabel menghadap

ke selatan. Koil ini ditanam sedalam 30-50 cm, dan posisi koil

harus tepat horizontal dengan arah utara-selatan.

Hal yang sama dilakukan pada koil Hy dan Hz tetapi

berbeda kuadrannya. Koil Hy berada pada kuadran IV dengan

bagian yang tersambung kabel menghadap ke barat. Sedangkan

untuk koil Hz sedikit berbeda dengan koil yang lainnya, karena koil

ini mngukur komponen vertikal. Koil Hz ditanam dengan posisi

vertikal pada kuadran I dengan posisi bagian yang tersambung

kabel berada di permukaan.

3. Pengaturan Konfigurasi Alat

Setelah instalasi alat selesai, seluruh kabel (sensor magnetik

dan sensor medan listrik) dan GPS disambungkan dengan MTU

box dan laptop. Pengisian parameter data, konfigurasi sistem dan

monitoring data selama akuisisi dilakukan dengan menggunakan

(52)

34 3.2.2 Tahapan Pengolahan Data AMT

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data

sekunder dimana data yang didapat adalah data AMT yang diperoleh dari

hasil survei lapangan para geosciences Indonesia (Lina et al., 2015). Data

yang didapatkan dari rentang frekuensi 0.35 Hz sampai 10.400 Hz.

Pengukuran dilakukan pada dua lintasan sejajar (N166E) dengan panjang

10 km yang memotong sungai Cikondang di daerah Cibeber, Cianjur.

Setiap lintasan terdiri dari 21 stasiun pengukuran dengan jarak antara

stasiun 500 meter dan jarak antara kedua garis lintasan 4,5 km.

Pengukuran dilakukan selama empat hari dari tanggal 10 April 2015

sampai 13 April 2015.

Data AMT yang diperoleh dari akuisisi di lapangan berupa deret

waktu (time series). Data lapangan dalam deret waktu (time series) diubah

menjadi data dalam domain frekuensi (frequency domain) dengan

menggunakan program SSMT2000. Data input awal yang diperlukan

adalah data kalibrasi alat (.CLB), data kalibrasi sensor (.CLC), data

lapangan (.TS), dan data parameter tempat pengukuran (.TBL). Kemudian

dilanjutkan dengan penentuan parameter pengolahan data (edit PRM) dan

penentuan parameter yang akan digunakan dalam proses megubah deret

waktu menjadi deret frekuensi (make PFT). Setelah parameter-parameter

pengolahan data ditentukan, selanjutnya proses perubahan deret waktu

menjadi deret frekuensi (TS to FT). Kemudian pada tahap (process) akan

(53)

35

dilakukan proses pengurangan bising (reducing noise) dengan

menggunakan tekhnik robust processing.

Robust processing adalah teknik pemrosesan data berbasis statistika yang memanfaatkan pembobotan ulang (iterative weighting of

residual). Teknik ini digunakan untuk megidentifikasi dan menghapus pencilan luar (outliers) data yang terbias oleh non-Gaussian noise. Hasil

pengolahan data dengan menggunakan SSMT2000 adalah data output

pada frekuensi tinggi (.MTH) dan data output pada frekuensi rendah

(.MTL). Data output ini selanjutnya akan digunakan sebagai input pada

program MTeditor.

Program MTeditor bertujuan untuk memperbaiki kualitas data

dengan cara smoothing pada data apparent resistivity magnitude dan data

apparent resistivity phase. Proses smoothing dilakukan dengan cara manual, yaitu mengeliminasi titik-titik yang terdapat di kurva partial

apparent resistivity magnitude dan partial apparent resistivity phase. Setelah data berubah menjadi lebih halus, file hasil dari MTeditor

ini disimpan dalam bentuk file yang berekstensi .mpk untuk selanjutnya

di-export ke file dengan ekstensi .edi. Setelah itu, file dengan ekstensi .edi

di-export ke file dengan ekstensi .pt1 yang terlampir di Lampiran 2

sebagai data input untuk pemodelan. Contoh data dengan ekstensi .edi

(54)

36

Gambar 3.4 Screenshot Data CM01.EDI

3.3 Koordinat Titik Pengukuran Audio Magnetotelurik (AMT)

Pengukuran magnetotelurik (MT) dilakukan pada 42 stasiun yang berarah

dari timur ke barat daya. Stasiun pengukuran pertama diberi nama CM01,

sedangkan titik pengukuran terakhir diberi nama CM42. Informasi mengenai

(55)

37

Tabel 3.1 Koordinat dan Elevasi Titik Pengukuran

Nama Stasiun Pengukuran

Latitude (derajat) Longitude (derajat) Elevasi (m)

CM01 -6.9000 107.1078 548 CM02 -6.9044 107.1095 644 CM03 -6.9084 107.1105 659 CM04 -6.9130 107.1115 725 CM05 -6.9170 107.1124 723 CM06 -6.9220 107.1138 558 CM07 -6.9255 107.1148 546 CM08 -6.9307 107.1156 570 CM09 -6.9342 107.1171 540 CM10 -6.9390 107.1177 496 CM11 -6.9467 107.1161 487 CM12 -6.9476 107.1204 539 CM13 -6.9515 107.1226 519 CM14 -6.9576 107.1225 525 CM15 -6.9623 107.1243 531 CM17 -6.9688 107.1260 719 CM18 -6.9730 107.1271 823 CM19 -6.9754 107.1279 843 CM20 -6.9822 107.1291 835 CM21 -6.9859 107.1303 965 CM22 -6.8843 107.1510 443 CM23 -6.8876 107.1521 483 CM24 -6.8926 107.1515 450 CM25 -6.8978 107.1531 450 CM26 -6.9010 107.1551 458 CM27 -6.9061 107.1561 467 CM28 -6.9093 107.1571 460 CM29 -6.9128 107.1587 447 CM30 -6.9178 107.1597 454 CM31 -6.9220 107.1598 447 CM32 -6.9256 107.1604 417 CM32R -6.9281 107.1620 432 CM33 -6.9331 107.1633 463 CM34 -6.9369 107.1640 529 CM35 -6.9404 107.1648 519 CM36 -6.9442 107.1656 614 CM37 -6.9494 107.1671 692 CM38 -6.9531 107.1671 787 CM39 -6.9532 107.1671 840 CM40 -6.9614 107.1705 879 CM41 -6.9653 107.1709 907 CM42 -6.9701 107.1732 667

(56)

38

3.4 Peralatan dan Perlengkapan Pengolahan Data 3.4.1 Peralatan Pengolahan Data

Peralatan pengolahan data yang digunakan sebagai sarana

pencapaian tujuan penelitian terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Perangkat Lunak

a. Software Octave ( http://www.gnu.org/software/octave/), pertama

kali dikembangkan oleh John W. Eaton (Universitas Texas) yang

merupakan suatu perangkat lunak gratis (freeware) dan bahasa

tingkat tinggi untuk komputasi numerik dan visualisasi data.

b. Software GMT Hawaii (http://www.soest.hawaii.edu/gmt/),

dibuat oleh Paul Wessel dari Universitas Hawaii dan Walter

Smith dengan bantuan beberapa relawan dan didukung oleh

National Science Foundation. Software GMT Hawaii merupakan suatu perangkat lunak open source untuk plot data geografis dan

kartesian mulai dari yang sederhana x-y sampai peta kontur.

2. Perangkat Keras

a. Laptop/notebook HP Pavilion g series dengan spesifikasi

minimal processor AMD Dual Core dan RAM 2 GB yang

menggunakan sistem operasi Linux Ubuntu 14.04 LTS sebagai

sarana untuk mengaplikasikan perangkat lunak software Octave

untuk pengolahan data.

b. Komputer LIPI yang menggunakan sistem operasi Linux Ubuntu

14.04 LTS sebagai sarana untuk mengaplikasikan perangkat

(57)

39 3.4.2 Perlengkapan Pengolahan Data

Adapun perlengkapan pengolahan data yang dibutuhkan

diantaranya: flash-disc, hard-disc, buku, paper, bolpoin, handphone, CD

ROM, dll.

3.5 Tahapan Pengolahan Data

Ada beberapa tahapan dalam pengolahan data, diantaranya:

1. Data

Koordinat longitude dan latitude masing-masing stasiun diplot pada peta

topografi daerah penelitian untuk mengetahui letak semua stasiun yang tersebar

baik di line 1 maupun line 2 dengan bantuan software GMT Hawaii. Sedangkan

untuk data sekunder dalam bentuk file .pt1 dilakukan plot data berdasarkan 3

klasifikasi, yaitu koherensi, phase dan resistivitas terhadap fungsi frekuensi

dengan bantuan software Octave.

Dari hasil plot data sekunder apabila terdapat data yang noise

(gangguan/error bar yang besar) dilakukan koreksi data. Dalam koreksi data

bukan hanya data yang noise saja, melainkan juga nilai koherensi data yang

berada di bawah 0.5. Hal tersebut dilakukan karena nilai koherensi yang baik dan dianggap bagus adalah data dengan nilai koherensi ≥ 0.5. Setelah dilakukan koreksi data, kemudian dilakukan plot data ulang seperti sebelumnya dengan

software yang sama, yaitu software Octave. 2. Analisa Phase Tensor

Analisa phase tensor dilakukan dengan menggunakan metode yang

(58)

40

untuk mengetahui dimensi daerah penelitian yang akan menentukan proses

pengolahan data selanjutnya, yaitu untuk menentukan dimensi pemodelan yang

sesuai. Untuk mengetahui nilai dimensi daerah penelitian dilakukan plot sudut kemiringan beta β dengan menggunakan bantuan software Octave. Selain itu, analisa phase tensor juga dilakukan untuk mengetahui regional strike daerah

penelitian. Untuk mengetahui regional strike daerah penelitian peneliti harus

membuat diagram mawar dengan bantuan software Octave.

3. Pemodelan

Setelah diketahui regional strike daerah penelitian, data asli yang awalnya

0 derajat dirotasikan sesuai regional strike daerah penelitian. Dari data baru

tersebut dilakukan pengolahan data yang sama seperti pada tahapan awal

pengolahan data sekunder dengan bantuan software Octave. Apabila terdapat data

yang noise (gangguan/error bar yang besar) dilakukan koreksi data kembali

seperti pengolahan data sebelumnya.

Setelah diketahui dimensi pemodelan yang sesuai, kemudian selanjutnya

dilakukan pemodelan data untuk setiap linenya berdasarkan nilai resistivitasnya

dengan menggunakan program yang dikembangkan oleh Ogawa dan Uchida

(59)

41 3.6 Diagram Alir

(60)

42 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Line Daerah Penelitian

Lintasan (line) daerah penelitian ada dua, line tersebut sejajar (N166 E) dengan panjang 10 km yang memotong sungai Cikondang di daerah Cibeber,

Cianjur, Jawa Barat. Setiap line terdiri dari 21 stasiun pengukuran dengan jarak

antara stasiun 500 meter dan jarak antara kedua garis line 4,5 km. Dari data

tersebut dilakukan plot line daerah penelitian menggunakan software GMT

Hawaii dan diperoleh hasil sebagai berikut.

(61)

43

Terdapat 42 stasiun pengukuran yang terbagi menjadi dua line yang sejajar

dengan nama CM01 sampai CM42. Line 1 berawal dari CM01 sampai CM21 dan

line 2 berawal dari CM22 sampai CM42. Daerah penelitian terletak antara 6˚59’24’’LS sampai 6˚52’12’’LS dan 107˚06’00’’BT sampai 107˚11’24’’BT yang memiliki ketinggian di bawah 1.000 meter.

4.2 Data Penelitian

Berdasarkan data penelitian sekunder yang didapatkan dalam bentuk file

.pt1 dilakukan plot data dengan bantuan software Octave dengan 3 klasifikasi,

yaitu data koherensi, data phase dan data resititivitas. Ketiga data tersebut

kemudian diplot sebagai fungsi frekuensi.

1. Koherensi

(1) (2)

Gambar 4.2 Line 1 (1) Plot data koherensi CM02 (2) Plot data koherensi CM03

Hasil plot beberapa data titik pengukuran AMT berdasarkan nilai

koherensi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari gambar tersebut diketahui bahwa

nilai frekuensi berbanding lurus dengan nilai koherensi, semakin kecil nilai

(62)

44

besar nilai frekuensi maka semakin besar pula nilai koherensinya. Dan dapat

diketahui pula masih terdapat banyak data yang memiliki nilai koherensi di bawah

0,5.

2. Phase

(1) (2)

Gambar 4.3 Line 1 (1) Plot data phase CM02 (2) Plot data phase CM03

Hasil plot beberapa data titik pengukuran AMT berdasarkan nilai phase

dapat dilihat pada Gambar 4.3. Dari gambar tersebut diketahui bahwa nilai

frekuensi tidak mempengaruhi nilai phase. Pada saat frekuensi mendekati nol (0)

atau di bawah nol (0) nilai phase-nya cenderung tidak beraturan dan memiliki

error bar yang besar. Hal tersebut terjadi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari alam maupun aktivitas manusia.

Gambar

Gambar 1.1 Tektonik Indonesia (McCaffrey, 2009)
Gambar 1.2 menunjukkan gambar peta fisiologi Jawa Barat.
Gambar 1.4 Peta Daerah Penelitian (G. I. Marliyani et al., 2016)
Gambar 2.1 Morfologi sesar (a) fault (b) fault zone (c) shear zone (van der  Pluijm, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi makanan berlemak dengan nilai lemak viseral.. Hal ini berdasarkan

Sedangkan Ikan Kerapu merupakan k omoditas unggulan di pulau Siko, Laigoma dan­ Gafi.­ Secara­ umum­ komoditas­ cakalang­ dan tuna adalah komoditas yang berbasis pada upaya

Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh

Pembuatan cetakan pada mesin molding yang semula banyak menggunakan bahan dari besi atau baja, maka untuk saat ini sudah mulai dikembangkan pembuatan cetakan

Imam as-Sakhawi (831-902 H/1427-1497 M), murid utama al-Ħāfiẓ Ibn Ħajar, menjelaskan bahwa kitab Bulūg-Marām pada awalnya ditulis untuk putra satu-satunya yang merupakan

Saya aktif pada kelompok diskusi untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru dengan model Cooperative Learning tipe Jigsaw yang dipadukan media power point dan

(hablumminannas), dan hubungan dengan alam sekitarnya. Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap

Pelanggan C-SPOT yang memiliki hobi mengoleksi buku, terutama buku buku yang sudah jarang ditemui di pasar, juga bisa memesan buku yang mereka inginkan, baik buku baru maupun buku